• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Perencanaan Pembangunan Regional 2.1.1. Pertumbuhan Regional

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai rill, artinya diukur dalam harga konstan. Hal itu juga menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transfer payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah (Richardson, 1991).

Ada dua cara pendekatan yang dapat digunakan (Richardson, 1991). Pertama, mengadaptasi model-model ekonomi makro yang digunakan dalam teori pertumbuhan agregatif dan yang kedua menafsirkan pertumbuhan suatu daerah menurut struktur dinamika industrinya. Untuk pendekatan yang pertama terdapat tiga model umum yang digunakan yaitu model Neo-klasik, Basis Ekspor, dan Harrod-Domar.

Dalam model Neo-klasik tingkat pertumbuhan terdiri dari tiga sumber yaitu akumulasi modal, tenaga kerja, dan residu–yang dapat dinamakan sebagai kemajuan teknik (Richardson, 1991). Sedangkan menurut model Basis Ekspor, pertumbuhan suatu daerah tergantung pada pertumbuhan industri-industri

(2)

ekspornya dan kenaikan permintaan yang bersifat ekstrim bagi daerah yang bersangkutan adalah penentu pokok dari pertumbuhan regional. Sektor-sektor perekonomian suatu daerah dikelompokkan menjadi sektor basis dan non basis. Sektor basis merupakan sektor yang memiliki keunggulan komparatif (dibanding dengan daerah lain dalam lingkup wilayah yang lebih luas) dengan sasaran utama untuk diekspor ke daerah lain.

Pada model Harrod-Domar, memfokuskan peranan kunci kepada investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi, lebih diutamakan tentang watak ganda yang dimiliki investasi. Dia menciptakan pendapatan (dampak permintaan) dan memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal (dampak penawaran). Selama investasi neto tetap berlangsung, pendapatan nyata dan output akan semakin membesar. Model ini juga dapat digunakan untuk menganalisa pertumbuhan regional dengan cara memperhitungkan perpindahan modal dan tenaga kerja interregional (Richardson, 1991). Semakin tinggi hasrat masyarakat di suatu daerah untuk menabung dan apabila rasio modal-output mereka semakin rendah, dengan demikian daerah tersebut akan bertumbuh semakin cepat. Impor neto adalah tambahan kepada tabungan total suatu daerah, maka daerah-daerah yang memiliki surplus impor dapat tumbuh lebih cepat dari daerah-daerah lainnya.

2.1.2. Produk Domestik Regional Bruto

Salah satu indikator ekonomi makro yang berperan dalam membuat perencanaan kebijaksanaan dalam pembangunan, menentukan arah pembangunan serta mengevaluasi hasil pembangunan suatu wilayah adalah Produk Domestik

(3)

Regional Bruto. PDRB dapat dijadikan sebagai indikator laju pertumbuhan ekonomi sektoral agar dapat diketahui sektor-sektor mana saja yang menyebabkan perubahan pada pertumbuhan ekonomi. Besar kecilnya PDRB yang dapat dihasilkan oleh suatu wilayah/daerah tergantung oleh besarnya sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan, jumlah dan mutu sumberdaya manusia, kebijaksanaan pemerintah, letak geografis serta tersedianya sarana dan prasarana di wilayah tersebut. Terdapat beberapa ukuran pendapatan nasional , diantaranya: Gross National Product (GNP) atau Produk Nasional Bruto (PNB), Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB), Net National Product (NNP)

atau Produk Nasional Neto (PNN), dan National Income (NI) atau Pendapatan Nasional (PN) (Dumairy, 1996).

Menurut Gilis et al (2004), Produk Nasional Bruto (PNB) adalah penjumlahan nilai produk akhir barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) tanpa menghitung nilai produk antara. Produk Domestik bruto (PDB) sama dengan PNB tetapi dalam perhitungannya mengeluarkan pendapatan warga negara yang berada di luar negeri tapi memasukkan seluruh produksi dalam negeri termasuk pendapatan yang diterima warga negara asing. Sedangkan PDB untuk tingkat wilayah regional pada sebuah Negara dikenal dengan sebutan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perhitungan PDRB dapat dilakukan dengan dua metode antara lain (Dumairy, 1996):

(4)

a. Metode Langsung

Dalam menghitung PDRB dengan metode langsung, perhitungan diserahkan sepenuhnya pada kepada data daerah yang terpisah dari data nasional, sehingga hasil perhitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Dalam metode ini PDRB dapat diukur dengan tiga pendekatan yaitu:

1. Pendekatan Produksi

PDRB merupakan jumlah barang dan jasa terakhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah menjadi 11 sektor (dapat juga dibagi menjadi 9 sektor) yaitu: (1) pertanian; (2) pertambangan dan penggalian; (3) industry pengolahan; (4) listrik, gas, dan air minum; (5) bangunan; (6) perdagangan; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) bank dan lembaga keuangan lainnya; (9) sewa rumah; (10) pemerintahan; dan (11) jasa-jasa.

2. Pendekatan Pendapatan

PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang turut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu setahun. Balas jasa produksi yang dimaksud meliputi upah dan gaji, sewa tanah, modal, dan keuntungan. Semuanya dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam hal ini mencakup juga penyusutan dan pajak-pajak tak langsung neto. Jumlah semua komponen pendapatan ini per sektor disebut nilai tambah bruto sektoral. Oleh sebab itu PDRB menurut pendekatan

(5)

pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor atau lapangan usaha.

3. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir, meliputi (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan; (2) pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok; (3) pengeluaran konsumsi pemerintah; serta (4) ekspor neto (yaitu ekspor dikurang impor) dalam jangka waktu setahun.

b. Metode Tidak Langsung / Alokasi

Menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional kedalam masing-masing kelompok kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.

Pemakaian masing-masing metode pendekatan sangat tergantung pada data yang tersedia. Pada kenyataannya, pemakaian kedua metode tersebut akan saling mendukung satu sama lain, karena metode langsung akan mendorong peningkatan mutu atau kualitas data daerah.

Dilihat dari penjelasan diatas PDRB dari suatu daerah/wilayah lebih menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh penduduk sekitar yang bersangkutan. Walaupun demikian, PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.

(6)

2.2. Ketimpangan

2.2.1. Ketimpangan Pendapatan

Dua model pertumbuhan yang dijelaskan di atas, yaitu teori Neo-klasik dan Harrod-Domar memberikan perhatian khusus pada peran kapital berupa kegiatan investasi yang ditanamkan di suatu daerah. Setiap daerah memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menarik investor untuk berinvestasi di daerahnya, hal ini jelas akan berpengaruh pada kemampuan daerah untuk bertumbuh sekaligus menciptakan perbedaan kemampuan dalam menghasilkan pendapatan. Investasi akan lebih menguntungkan bila dialokasikan pada daerah yang dinilai dapat menghasilkan “return” yang besar dalam jangka waktu yang

relatif singkat. Mekanisme pasar yang demikian justru akan menyebabkan ketidakmerataan, daerah yang relatif maju akan bertumbuh dengan cepat meninggalkan daerah yang pertumbuhannya relatif lambat. Hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya ketimpangan pendapatan sehingga diperlukan suatu perencanaan kebijakan yang matang dari pemerintah dalam rangka mengarahkan alokasi investasi menuju kemjuan ekonomi yang berimbang di seluruh wilayah dalam negara.

Menurut Wie (1981), pertumbuhan ekonomi yang pesat pada umumnya disertai pembagian pendapatan yang semakin timpang. Negara yang semata-mata hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhitungkan pendistribusian pendapatan negaranya akan memunculkan ketimpangan-ketimpangan diantaranya:

(7)

1. Ketimpangan pendapatan antar golongan atau ketimpangan relatif, ketimpangan pendapatan antar golongan ini biasanya diukur dengan menggunakan koefisien gini. Kendati koefisien gini bukan merupakan koefisien yang ideal untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi pendapatan.

2. Ketimpangan antar masyarakat kota dengan masyarakat pedesaan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi perbedaan perolehan pendapatan antar masyarakat desa dengan masyarakat kota (urban-rural income disparieties). Untuk membedakan hal ini, digunakan dua indikator pertama dibandingkan antara tingkat pendapatan didaerah pedesaan dan perkotaan. Kedua, disparitas pendapatan daerah pedesaan dan perkotaan.

3. Ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah, satu kajian sisi lain dalam melihat ketimpangan-ketimpangan pendapatan nasional adalah ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi antar daerah di berbagai daerah di Indonesia, yang mengakibatkan pola terjadinya ketimpangan pendapatan antar daerah (region income disparieties). Ketimpangan pendapatan ini disebabkan oleh penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata serta dalam laju pertumbuhan daerah dan belum berhasilnya usaha-usaha perubahan yang merata antar daerah di Indonesia.

Kuznets (1957) dalam Todaro (1999) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada

(8)

tahap selanjutnya distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang dikenal dengan “U Hypothesis” atau kurva Kuznets “U-terbalik”, karena

perubahan longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan. Hipotesa ini dihasilkan oleh kajian empiris yang diambil dari pola pertumbuhan sejumlah negara di dunia, bahwa pada tahap-tahap awal pertumbuhan ekonomi terjadi trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan. Lambat laun sejalan dengan pertumbuhan pembangunan ekonomi setelah mencapai tahap tertentu ketimpangan tersebut akan menghilang digantikan dengan hubungan korelasi positif antara pemerataan dan pertumbuhan. Pola tersebut timbul karena pada tahap awal pembangunan cenderung lebih dipusatkan pada sektor modern yang sedikit menyerap tenaga kerja. Sektor modern bertumbuh dengan cepat meninggalkan sektor tradisional (sektor pertanian). Kesenjangan antar sektor modern dan sektor tradisional ini menyebabkan adanya ketimpangan. Ketimpangan pendapatan cenderung tinggi karena sebahagian besar penduduk masih berpendapatan rendah, dan sektor modern telah berkembang tanpa perubahan struktur produksi dan alokasi tenaga kerja yang sesuai untuk suatu pertumbuhan ekonomi modern secara menyeluruh.

2.2.2. Pengukuran Ketimpangan

Merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara dikalangan penduduknya tercermin pada distribusi pendapatan nasional. Terdapat beberapa tolok ukur atau kriteria untuk menilai kemerataan distribusi yang dimaksud, diantaranya yaitu:

(9)

1. Kurva Lorenz

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk secara kumulatif pula. Misalkan data yang tersedia adalah jumlah penduduk dan pendapatannya (bisa kita gunakan unit terkecil, seperti individu atau kabupaten/kota). Langkah awal adalah menyusun data individu atau penduduk tersebut menurut tingkat pendapatan mereka secara berurutan. Kemudian bergerak dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, kurva Lorenz akan memplotkan proporsi dari total pendapatan yang dikuasai penduduk.

100 C 90 80 70 60 50 40 30 20 10 B O 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Jumlah Penduduk (%) (Sumber: Dumairy, 1996)

Keterangan: Titik A mencerminkan 60 persen penduduk berpendapatan terendah yang menghasilkan atau hanya memiliki 20 persen pendapatan nasional.

Gambar 2.1. Kurva Lorenz

A Juml ah P enda pa tan ( % )

(10)

Bentuk kurva Lorenz seperti pada Gambar 2.1. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar. Sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka akan mencerminkan keadaan yang semakin memburuk, distribusi pendapatan nasional akan semakin timpang atau tidak merata.

2. Indeks Gini

Corrado Gini merumuskan suatu ukuran untuk menghitung tingkat ketimpangan pendapatan personal secara agregatif yang diterima diatas tingkat tertentu. Hasil temuannya itu lebih dikenal dengan gini coefficient atau Indeks Gini.

Koefisien gini adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka 0 hingga 1, yang menjelaskan kadar kemerataan pendapatan. Koefisien yang semakin mendekati 0 menjelaskan bahwa distribusi pendapatan yang semakin merata, sebaliknya jika semakin membesar mendekati 1 maka tingkat ketimpangan di daerah tersebut semakin besar. Angka rasio gini secara visual langsung dapat ditaksir dari kurva Lorenz, yaitu perbandingan luas area yang terletak diantara kurva Lorenz dan diagonal terhadap luas area segitiga OBC. Semakin melengkung kurva Lorenz, akan semakin luas area yang dibagi sehingga Koefisien Gini akan semakin membesar, yang menyiratkan distribusi pendapatan yang semakin timpang.

(11)

Distribusi pendapatan daerah menggambarkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu daerah di kalangan penduduknya (Todaro, 2003). Negara-negara yang ketimpangannya tinggi maka koefisien gininya terletak antara 0,50 sampai 0,70. Sedangkan untuk Negara-negara yang ketimpangannya relatif rendah maka koefisien gininya berkisar antara 0,20 sampai 0,35.

Dalam melakukan pengukuran terhadap ketimpangan pendapatan khususnya antar daerah perkotaan dan pedesaaan, maka ukuran koefisien Gini ini juga sering digunakan, dengan rumus:

0 < G < 1 Dimana:

G = Rasio Gini

fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas-i

Xi = Proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas-i Yi = Proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas-i

3. Kriteria Bank Dunia

Bank Dunia yang bekerja sama dengan Institute of Development Studies

menentukan kriteria tentang penggolongan distribusi pendapatan, apakah

……….

……… (2.1)

……….……. (2.2)

……… … (i)

(12)

dalam keadaan ketimpangan yang parah, sedang, atau ringan. Kriteria tersebut menunjukkan bahwa:

a. Jika 40 persen penduduk suatu negara berpendapatan terendah menikmati sekitar kurang dari 12 persen jumlah pendapatan negara tersebut maka hal ini termasuk kedalam ketimpangan yang cukup tinggi atau yang dianggap parah.

b. Kelompok kedua adalah 40 persen dari jumlah penduduk yang berpendapatan terendah, tapi hanya menerima antara 12 sampai dengan 17 persen dari seluruh pendapatan negara. Golongan ini masih dapat dikatakan sebagai keadaan dengan ketimpangan yang sedang.

c. Jika golongan penduduk yang 40 persen tersebut memperoleh lebih dari 17 persen dari total pendapatan negaranya, maka ketimpangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan dikatakan cukup merata.

4. Indeks Williamson

Indeks Williamson ini diperkenalkan oleh Jeffry G Williamson (1965), perhitungan nilai ini didasarkan pada coefficient of variation (CV) dan Williamson memodifikasi perhitungan ini dengan menimbangnya dengan proporsi penduduk wilayah. Berbeda halnya dengan gini coefficient yang memerlukan data yang cukup spesifik seperti jumlah rumah tangga untuk menghitung nilai distribusi pendapatan seluruh rumah tangga dalam suatu daerah Negara. Indeks Williamsons menggunakan data PDRB per kapita atas dasar harga konstan baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten untuk dapat melihat ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah dalam

(13)

sebuah wilayah. Semakin besar angka Indeks Williamson ini semakin besar pula tingkat ketimpangan yang terjadi. Indeks Williamson ini dapat dihitung dengan rumus (Tambunan, 2003):

……….… (2.3)

Dimana:

CVw = Indeks ketimpangan daerah Williamson

fi = Jumlah penduduk di daerah ke-i (jiwa)

n = Penduduk total (jiwa)

= PDRB perkapita atas dasar harga konstan di daerah ke-i (rupiah) = PDRB perkapita atas dasar harga konstan untuk propinsi (rupiah)

2.3. Sektor Pertanian

2.3.1. Peranan Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi

Pada umumnya negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah negara agraris. Sektor pertanian mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan negara-negara berkembang, sebahagian ahli ekonomi memandang sektor pertanian adalah sektor penunjang yang positif dalam pembangunan ekonomi pada negara itu.

Beberapa ahli telah mengemukakan pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Todaro (2003) yang mengemukakan pembangunan pertanian sebagai syarat mutlak bagi pembangunan nasional bagi khususnya di

(14)

negara dunia ketiga. Dia melihat sekitar dua per tiga dari bangsa yang miskin menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, sebagian besar kelompok miskin tersebut bertempat tinggal di pedesaan.

Johnston dan Mellor (1961) dalam Jhingan (1990) menyebutkan bahwa peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi adalah:

1. Sumber utama penyediaan bahan makanan. 2. Sumber penghasilan dan pajak.

3. Sumber penghasilan devisa yang diperlukan untuk mengimpor modal, bahan baku, dan lain-lain.

4. Pasar dalam negeri untuk menampung hasil produksi industri pengolahan dan sektor bahan pertanian lainnya.

Daniel (2002) mengemukakan tiga alasan utama mengapa sektor pertanian perlu dibangun lebih dulu:

1. Barang-barang hasil industri memerlukan dukungan daya beli masyarakat. Umumnya pembeli barang-barang hasil industri sebagian besar berada dalam lingkungan sektor pertanian. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga memenuhi kebutuhan peralatan dan bahan untuk usaha di sektor pertanian diperlukan barang hasil industri. Oleh karena itu, masyarakat sektor pertanian harus ditingkatkan lebih dulu pendapatannya.

2. Untuk menekan ongkos produksi dari komponen upah dan gaji diperlukan tersedianya bahan-bahan makanan yang murah dan terjangkau, sehingga upah dan gaji yang diterima dapat dapakai untuk memenuhi kebutuhan pokok guru dan pegawai. Keadaan ini bisa tercipta bila produksi hasil pertanian terutama

(15)

pangan dapat ditingkatkan sehingga harganya lebih rendah dan terjangkau oleh daya beli.

3. Industri membutuhkan bahan baku yang berasal dari sektor pertanian, karena itu produksi bahan-bahan industri memberikan basis bagi pertumbuhan itu sendiri. Keadaan ini bisa tercipta sedemikian rupa sehingga merupakan suatu siklus dan kerja sama yang saling menguntungkan.

Di negara berkembang yang mengalami peningkatan laju pertumbuhan penduduk akibat kemerosotan yang tajam angka kematian dan penurunan yang lambat dalam tingkat kesuburan akan memerlukan permintaan bahan pangan yang lebih besar lagi. Kebutuhan pangan bagi masyarakat dapat tercapai dengan cara meningkatkan produktivitas pertanian sehingga dapat memperbesar output yang dihasilkan. Meningkatkan daya beli daerah pedesaan sebagai hasil perluasan output dan produktivitas pertanian akan cenderung menaikkan permintaan atas barang manufaktur dan memperluas ukuran pasar itu sendiri.

Selanjutnya permintaan seperti pupuk, peralatan yang lebih baik, traktor dan fasilitas irigasi di sektor pertanian akan mendorong perluasan sektor industri lebih jauh lagi. Selain itu, pada saat surplus pertanian akan diangkut ke daerah perkotaan dan barang manufaktur diangkat ke daerah pedesaan, sarana pengangkutan dan perhubungan akan berkembang. Dampak jangka panjang perluasan sektor sekunder dan tersier ini akan membentuk kenaikan keuntungan di sektor-sektor tersebut, apakah sektor tersebut dikelola oleh swasta ataupun pemerintah.

(16)

Tambahan devisa juga dapat dihasilkan oleh sektor pertanian. Meningkatnya produktivitas pertanian akan memacu peningkatan volume ekspor nasional, sehingga perolehan devisa meningkat. Dengan demkian surplus pertanian mendorong pembentukan modal jika barang-barang modal tersebut diimpor dengan menggunakan devisa dari hasil pertanian. Meningkatnya penerimaan pertanian menjadi jalan terbaik bagi pembentukan modal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memobilisasi pendapatan dari sektor pertanian melalui pajak hasil bumi, pajak tanah, pajak pendapatan hasil pertanian dan biaya-biaya lainnya. Terakhir, kenaikan pendapatan daerah pedesaan sebagai hasil surplus dari hasil pertanian cenderung memperbaiki kesejahteraan masyarakat daerah pedesaan, sehingga standar kehidupan sebahagian rakyat pedesaan meningkat.

Peranan sektor pertanian juga tercermin pada saat Indonesia dilanda krisis. Sektor ini terbukti mampu bertahan selama krisis dan dapat tetap menghasilkan devisa bagi Indonesia disaat sektor-sektor lain ikut terpuruk terbawa gejolak krisis moneter 1998. Depresiasi rupiah terhadap dollar yang cukup besar pada saat itu menyebabkan harga komoditi ekspor pertanian dalam rupiah pada saat itu melonjak sangat tinggi, sehingga mendorong peningkatan volume ekspor. Peningkatan volume ekspor tersebut juga karena produk-produk Indonesia dapat bersaing baik secara kompetitif maupun secara komparatif di pasar internasional (Daniel, 2002).

(17)

2.3.2. Pembangunan Pertanian dan Pemerataan Pendapatan

Menurut Soekartawi (2002), pembangunan pertanian pada dasarnya diarahkan untuk memenuhi keinginan yang ingin dicapai yaitu untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pertanian secara lebih merata. Pembangunan pertanian dilakukan dengan cara meningkatkan produksi, produktivitas tenaga kerja, tanah dan modal. Dengan usaha tersebut maka, partisipasi aktif petani dan masyarakat pedesaan dapat ditingkatkan, sehingga peningkatan tingkat produksi pertanian dapat dicapai secara efisien dan dinamis diikuti pembagian surplus ekonomi antar berbagai pelaku ekonomi secara lebih adil, serta pengembangan sistem agribisnis yang efisien.

Sektor pertanian menjadi prioritas utama karena ditinjau dari berbagai segi memang merupakan sektor yang cenderung dominan dalam ekonomi nasional. Pembangunan pertanian didorong dari segi penawaran dan dari segi fungsi produksi melalui penelitian-penelitian, pengembangan teknologi pertanian yang terus-menerus, pembangunan prasarana sosial dan ekonomi di pedesaan dan investasi-investasi oleh negara dalam jumlah besar. Pertanian kini dianggap sebagai sektor pemimpin “leading sector” yang diharapkan mendorong

perkembangan sektor-sektor lainnya (Mubyarto, 1989).

Secara konseptual maupun empiris sektor pertanian layak untuk menjadi sektor andalan ekonomi termasuk sebagai sektor andalan dalam pemerataan tingkat pendapatan masyarakat yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Dalam proses transformasi pembangunan juga mempunyai peran yaitu (Tripustika, 2005):

(18)

1. Kontribusi produk, yaitu sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan bagi pekerja di sektor industri, selain itu juga sebagai penyedia bahan baku industri.

2. Kontribusi pasar, yaitu rumah tangga di sektor pertanian adalah sasaran utama konsumsi output yang dihasilkan di sektor industri.

3. Kontribusi devisa, yaitu berperan sebagai penyumbang devisa atas ekspor barang-barang yang diproduksinya.

Menurut Mosher (1965) dalam Mubyarto (1989) ada lima syarat mutlak pembangunan pertanian yaitu:

1. Adanya pasar untuk hasil-hasil usaha tani. 2. Teknologi yang senantiasa berkembang.

3. Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal. 4. Adanya perangsang produksi bagi petani.

5. Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinu.

Di lain pihak, Siboro (2006) berpendapat sektor pertanian masih menghadapi berbagai kendala permasaalahan antara lain:

1. Peningkatan kemampuan petani dalam berbagai kegiatan produksi telah menimbulkan surplus produksi pada berbagai komoditi tetapi permintaannya masih terbatas.

2. Peningkatan mutu produksi yang masih lambat.

3. Tingkat produktivitas dan kontinuitas produksi yang masih rendah. 4. Munculnya tuntutan pelestarian lingkungan.

(19)

2.4. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan untuk tingkat nasional pernah dilakukan oleh Uppal dan Handoko (1986) dalam Hendra (2004) dengan menggunakan formulasi Williamsons (CVw) untuk tahun 1976-1980. Uppal dan Handoko mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan PDRB di luar sektor pertambangan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat tendensi menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan, pola pertumbuhan yang belum mengarah pada perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan ketimpangan dan faktor yang cenderung dapat menurunkan ketimpangan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan terhadap propinsi.

Tabel 2.1. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau

Tahun Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Lainnya 1984 0,2460 0,5680 0,4381 0,0522 0,3435 1985 0,2459 0,5377 0,4629 0,0408 0,3582 1986 0,2470 0,5177 0,4420 0,0423 0,3780 1987 0,2460 0,5120 0,4710 0,0390 0,3324 1988 0,2521 0,5054 0,4595 0,0460 0,4129 1989 0,2157 0,6209 0,4681 0,0508 0,4183 1990 0,1931 0,6034 0,4516 0,0515 0,4086 1991 0,1814 0,6041 0,4448 0,0580 0,4507 1992 0,1860 0,6108 0,4502 0,0591 0,4550 1993 0,1883 0,6158 0,4404 0,0632 0,4775 Sumber: Tadjoedin (1996) dalam Hendra (2004)

Tadjoedin (1996) juga mengukur besarnya ketimpangan antar pulau dengan hasil yang menunjukkan bahwa pulau yang perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian (Pulau Sumatera) mempunyai tingkat ketimpangan yang

(20)

relatif kecil dibandingkan dengan pulau yang perekonomiannya didominasi oleh sektor industri (Pulau Jawa). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian tidak berada pada posisi dikotomis dengan pemerataan.

Tabel 2.2. Indeks Ketimpangan Pendapatan Indonesia

Tahun

Di Luar Migas

Sjafrizal U & H Tadjoedin Tadjoedin, et al

1971 0,369 1972 0,406 1973 0,415 1974 0,483 1975 0,462 1976 0,4631 0,415 1977 0,4609 0,396 1978 0,4344 0,429 1979 0,5240 0,417 1980 0,4433 0,425 1981 0,445 1982 0,438 1983 0,498 1984 0,4875 0,515 1985 0,4714 0,494 1986 0,4600 0,474 1987 0,4567 0,471 1988 0,4609 0,465 1989 0,5632 0,493 1990 0,5385 0,484 1991 0,5392 0,536 1992 0,5442 0,535 1993 0,5489 0,923 0,544 1994 0,938 0,643 1995 0,962 0,653 1996 0,966 0,654 1997 0,982 0,671 1998 0,965 0,605

Sumber: Uppal dan Handoko (1986), Tadjoedin (1996), dan Tadjoedin et al (2001) dalam Hendra (2004)

(21)

Begitu juga dengan Tadjoedin (1996) dalam Hendra (2004) yang juga mengukur ketimpangan pendapatan nasional dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama, hanya saja dilakukan pengukuran untuk tahun 1984-1993. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan selama periode analisis. Tadjoedin, et al, (2001) melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan nasional untuk tahun 1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan menggunakan PDRB perkapita menurut kabupaten/kota yang ada di Indonesia berdasarkan harga konstan 1993. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat ketimpangan semakin meningkat.

Sjafrizal (2000) dalam Tambunan (2003), menganalisis ketimpangan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan memakai PDRB tahun 1971-1998. Dengan menggunakan formulasi yang sama, hasil yang diperoleh menunjukkan adanya tendensi peningkatan ketimpangan ekonomi antar propinsi di Indonesia sejak awal 1970-an.

Hendra (2004) melakukan penelitian tentang peranan sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Propinsi Lampung. Dengan menggunakan Indeks Williamson, Hendra menganalisis ketimpangan daerah Lampung pada tahun 1995-2001. Untuk melihat peranan sektor pertanian, dia membandingkan besarnya ketimpangan pendapatan daerah dengan dan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketimpangan semakin meningkat jika sektor pertanian dikeluarkan dari perhitungan. Hendra juga melakukan analisis korelasi, sehingga didapat hubungan negatif yang kuat antara kontribusi pertanian dan Indeks

(22)

Ketimpangan, yang berarti peningkatan produktivitas pertanian akan menurunkan ketimpangan pendapatan yang terjadi.

Tabel 2.3. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah di Propinsi Lampung Tahun 1995-2001 Tahun CVw Penurunan Persentase Ketimpangan Pendapatan Daerah (%) Tanpa PDRBSektor Pertanian Dengan PDRB Sektor Pertanian 1995 0,8373 0,4404 47,4 1996 0,8380 0,4499 46,3 1997 0,8391 0,4846 42,2 1998 0,8369 0,4426 47,1 1999 0,7951 0,4207 47,1 2000 0,7793 0,4160 46,6 2001 0,7680 0,4068 47,0 Sumber: Hendra (2004)

Nugroho (2004) melakukan penelitian dengan judul “Disparitas

Pembangunan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat”. Dengan menggunakan alat analisis Indeks Williamson, ternyata pertumbuhan ekonomi daerah yang memiliki wilayah pesisir di bagian selatan Jawa Barat sebagian besar digerakkan oleh basis pertanian. Sebelum krisis, antara tahun 1993-1996 rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah yang memiliki wilayah pesisir selatan Jawa Barat sebesar 6,93 persen, bagian utara Jawa Barat selama krisis 1997-2000 pertumbuhannya lebih lambat yaitu -1,38 persen dibandingkan bagian barat Jawa Barat yaitu -0,35 persen. Hal ini menunjukkan perekonomian yang berbasis pertanian lebih tahan menghadapi krisis. Ketimpangan Pembangunan antar kecamatan tertinggi terdapat di Kabupaten Ciamis yaitu 1,54. Sementara

(23)

ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Garut, Subang, dan Karawang relatif sama yaitu 1,00. Ditemukan bahwa ketimpangan pembangunan sebagian besar berasal dari kecamatan-kecamatan non pesisir.

Kristiyanti (2007) menganalisis sektor basis perekonomian dan peranannya dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di propinsi Jawa Timur pada tahun 2001-2005. Berdasarkan perhitungan, sektor pertanian merupakan salah satu sektor basis Propinsi Jawa Timur pada tahun 2004-2005. Ketimpangan pendapatan di propinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpangan yang sangat tinggi karena menunjukkan angka Indeks Williamson yang lebih besar dari satu, besar nilai ketimpangan pada periode 2001-2005 berturut-turut yaitu: 1,1150; 1,1008; 1,1015; 1,1104; dan 1,0915. Hal ini mengindikasikan upaya pemerintah Jawa Timur untuk menciptakan pemerataan belum optimal. Sektor basis yang memiliki peranan terbesar dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan di Propinsi Jawa Timur adalah sektor pertanian dengan rata-rata sebesar 19 persen. Sektor Industri pengolahan dan sektor perdagangan justru memberikan dampak negatif bagi ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan rata-rata sebesar 45 persen selama periode analisis.

Fitria (2006), menganalisis tentang kesenjangan antar kabupaten/kota di pulau Jawa pada periode 1993-2004. Dengan menggunakan Indeks Williamson, diperoleh bahwa kesenjangan (ketimpangan) sebelum krisis selama periode 1993-1998 memburuk. Pada tahun 1993 kesenjangan antar kabupaten kota sebesar 0,991 sedangkan pada tahun 1998 menjadi 0,9924. Akan tetapi setelah krisis

(24)

keenjangan membaik, tahun 2004 kesenjangan kembali menyentuh angka 0,991. Tingkat konvergensi antar kabupaten/kota di pulau Jawa selama periode 1993-2004 tidak terjadi. Dengan menganggap pendidikan pendidikan mempengaruhi konvergensi pendapatan, maka tingkat konvergensi antar kabupaten/kota di pulau Jawa selama periode 1993-2004 tidak terjadi dan tidak signifikan.

Soetopo (2009) menganalisis ketimpangan pendapatan yang terjadi antar pulau di Indonesia pada periode 1996-2006. Dengan menggunakan Indeks Williamson, enam pulau tergolong dalam taraf ketimpangan yang rendah dengan nilai Indeks Ketimpangan antara 0,210 sampai 0,261. Untuk ketimpangan yang terjadi di dalam setiap pulau yang terdiri dari propinsi-propinsi yang berada pada taraf ketimpangan yang tinggi untuk Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku dan Irian yaitu antara 0,521 - 0,966, pada Pulau Sulawesi taraf ketimpangannya relatif rendah yaitu antara 0,050 - 0,109, sedangkan untuk pulau Bali taraf ketimpangannya sedang yaitu antara 0,379 - 0,498.

Penelitian-penelitian sebelumnya sudah menghitung Indeks ketimpangan Indonesia antar pulau, Indeks ketimpangan Indonesia antara KBI dan KTI, Indeks Ketimpangan propinsi Jawa Timur, serta Indeks Ketimpangan propinsi Lampung. Belum ada penelitian yang meneliti Indeks Ketimpangan di Pemerintah Aceh pada periode 2000-2007. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini mengambil judul “Peranan Sektor Pertanian dalam Pertumbuhan Ekonomi dan Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pemerintah Aceh”.

(25)

2.5. Kerangka Pemikiran

Tingkat keberhasilan suatu negara dapat dilihat dari seberapa besar tingkat pertumbuhan ekonominya. Penerapan strategi pembangunan nasional yang hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata menimbulkan masalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan itu sendiri. Ketimpangan itu sendiri penyebabnya adalah pada awal pertumbuhan negara-negara yang sedang berkembang selalu dipusatkan pada peningkatan sektor modern yang cenderung sedikit dalam menyerap tenaga kerja. Sektor tradisional (pertanian) yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar selama ini seolah-olah terlupakan, sehingga sektor modern lebih cepat berkembang. Peningkatan yang cepat pada sektor modern menyebabkan kesenjangan antara sektor modern dan sektor tradisional sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan. Untuk menanggulangi hal diatas perlu adanya strategi baru bagi pemerintah agar berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan.

Pada awal masa pemerintahan orde baru, pembangunan ekonomi dipusatkan hanya pada Pulau Jawa, dan hanya pada sektor-sektor tertentu saja dengan harapan akan terjadi efek penetesan kebawah (trickle down effect), sehingga sektor-sektor lainnya akan ikut meningkat. Akan tetapi efek penetesan kebawah yang diharapkan tidak terjadi, bahkan timbul masalah baru. Pemusatan pembangunan ekonomi berakibat pada terjadinya ketimpangan pendapatan. Pemerintah sebaiknya melakukan pembangunan secara lebih merata.

(26)

Kemiskinan di derah Pemerintah Aceh yang cukup tinggi, tapi memiliki PDRB perkapita yang besar, sehingga memperkuat anggapan bahwa telah terjadi ketimpangan. Sektor pertanian menjadi sektor unggulan di daerah Pemerintah Aceh. Sumbangan sektor pertanian tergolong cukup besar. Sektor pertanian yang merupakan mata pencaharian masyarakat Aceh yang sebahagian besar tergolong menengah kebawah diharapkan dapat mengurangi masalah ketimpangan pendapatan antar daerah di Pemerintah Aceh. Dengan berkembangnya sektor pertanian akan mampu mendorong berkembangnya sektor perekonomian yang lain sehinggga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Peningkatan produktivitas di sektor pertanian akan meningkatkan pendapatan masyarakat menengah kebawah yang bekerja pada sektor pertanian. Peningkatan pendapatan ini akan meningkatkan taraf hidup masyarakat pada sektor pertanian yang jumlahnya cukup besar. Semakin banyak masyarakat yang tertarik pada sektor pertanian, semakin berkembang sektor pertanian, sehingga “range” PDRB perkapita antar daerah yang didominasi oleh sektor pertanian dan

daerah yang di dominasi oleh sektor non pertanian semakin sempit. Pada akhirnya ketimpangan pendapatan daerah semakin kecil.

(27)

Indeks Williamsons Analisis Korelasi Indeks Ketimpangan dengan mengikutserta kan PDRB sektor pertanian Indeks Ketimpangan tanpa mengikutserta kan PDRB sektor pertanian Hubungan antara PDRB sektor pertanian dan PDRB per kapita Hubungan antara Indeks Ketimpangan dan PDRB sektor pertanian Dinamika Ketimpangan Implikasi Kebijakan Uji beda statistik

Peranan Sektor Pertanian

Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Pemerintah Aceh

Ketimpangan

keterangan

= alur penelitian

= ruang lingkup analisis penelitian

(28)

2.6. Hipotesis

Untuk memberi arahan dalam melakukan analisis data, dikemukakan hipotesis berikut:

1. Sektor Pertanian memberikan kontribusi paling besar terhadap PDRB, penyerapan tenaga kerja, dan laju pertumbuhan ekonomi daerah Pemerintah Aceh dibanding dengan sektor-sektor lainnya.

2. Sebagaimana terjadi di tingkat nasional ketimpangan pendapatan juga terjadi di daerah Pemerintah Aceh.

3. Sektor Pertanian mempunyai peranan yang besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan di daerah Pemerintah Aceh.

4. Dinamika ketimpangan pendapatan yang semakin menurun di Pemerintah Aceh.

5. Ada korelasi negatif antara kontribusi sektor pertanian dengan Indeks ketimpangan.

6. Ada korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan PDRB sektor pertanian.

Gambar

Gambar 2.1. Kurva Lorenz
Tabel 2.2.  Indeks Ketimpangan Pendapatan Indonesia
Gambar 2.2.  Kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, pandangan dunia, bagi strukturalisme-genetik, tidak hanya seperangkat gagasan abstrak dari suatu kelas mengenai kehidupan manusia dan dunia tempat

Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan (Q.S. Iman atau percaya pada Hari Akhir atau Hari Kiamat mempunyai makna penting bagi orang-orang yang beriman. Pada hari

• Unjuk kerja: Menyapa dan mengucapkan selamat, terima kasih, dan permohonan maaf dengan kata dan kalimat yang sesuai 5 jp • Buku Tematik Kelas III Bahasa Indonesia •

[r]

KECACATAN PARTISIPASI SEKOLAH UNTUK WANITA USIA 10-49 PENGHASILAN RATA RATA/BLN STATUS

Hasil penelitian ini relavan dengan penelitian yang dilakukan yang oleh Aisa Rahmi Syarif yang berjudul Pengaruh Hutang terhadap Profitabilitas perusahaan (Studi

Berdasarkan hasil analisis dari perbandingan dengan standar rasio industri lain, dapat disimpulkan Bahwa Manchester United PLC memiliki tingkat profitabilitas yang

3. Melakukan pengumpulan Data. Data- data dikumpulkan melalui mesin pencarian dengan menggunakan kata kunci “sistem administrasi perpajakan modern”, “kepatuhan perpajakan”,