• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Tingkat Disparitas di Sumatera Barat Disparitas Antar Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Tingkat Disparitas di Sumatera Barat Disparitas Antar Wilayah"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Tingkat Disparitas di Sumatera Barat

Disparitas pembangunan merupakan suatu fenomena universal yang dialami oleh suatu wilayah baik di dunia secara umum maupun skala provinsi sendiri di Indonesia. Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari 19 kabupaten/kota tentu memiliki perkembangan pembangunan yang tidak sama. Guna mengetahui tingkat ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat maka pada penelitian ini dilakukan pendekatan menggunakan Indeks Williamson untuk mengetahui ketimpangan antar wilayah dan Indeks Theil untuk mendekomposisi sumber disparitas tersebut. Data yang digunakan adalah nilai PAD, pendapatan total, PDRB harga berlaku dan PDRB harga konstan.

Disparitas Antar Wilayah

Nilai indeks yang dihasilkan dalam analisis Indeks Williamson memiliki nilai lebih besar dari nol (Gambar 12). Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan di Provinsi Sumatera Barat. Hasil analisis Indeks Williamson dengan menggunakan data PAD ternyata lebih tinggi apabila dibandingkan dengan menggunakan data lainnya dimana untuk indeks seluruh kabupaten/kota hasilnya 0,58, sedangkan untuk data pendapatan total sekitar 0,49, PDRB atas harga berlaku 0,34, dan PDRB atas harga konstan sekitar 0,38. Nilai indeks yang tinggi dari data PAD tersebut menunjukan bahwa kemampuan suatu daerah mengelola potensi yang terdapat di wilayah masing-masing masih belum merata.

Angka nominal Indeks Williamson Kota Padang sebesar 116,236 miliar rupiah masih sangat dominan dibandingkan dengan kabupaten dan kota lainnya, namun apabila dijadikan per kapita maka nilai PAD Kota Padang hanya sekitar 136,676 juta rupiah. Angka tersebut menjadi lebih rendah bila dibandingkan PAD per kapita Kota Sawahlunto yang berjumlah 445,202 juta rupiah karena penduduk Kota Padang yang berjumlah 838.190 jiwa jauh lebih besar dibandingkan penduduk Kota Sawahlunto dengan jumlah 57.120 jiwa. Wilayah yang memiliki PAD per kapita di

(2)

atas rata – rata PAD per kapita provinsi (143,557 juta rupiah) seperti Kota Sawahlunto, Kota Payakumbuh, Kota Bukittinggi, dan Kota Padang Panjang menunjukkan tingkat produktifitas wilayah tersebut menjadi lebih baik dibandingkan dengan wilayah yang memiliki PAD per kapita rendah seperti Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupeten Padang Pariaman, dan Kabupaten Agam.

Sumber : Hasil Analisis

Gambar 12. Indeks Williamson Sumatera Barat

Hasil Indeks Williamson antara wilayah perbatasan dengan yang bukan perbatasan pada seluruh jenis data yang digunakan menghasilkan nilai ketimpangan yang lebih besar pada wilayah bukan perbatasan dibandingkan wilayah perbatasan. Pada wilayah perbatasan menggunakan data PAD hasilnya adalah 0,53 sementara wilayah non perbatasan 0,57, sedangkan data pendapatan total 0,39 berbanding 0,55, data PDRB harga berlaku 0,33 berbanding 0,20, dan data PDRB harga konstan 2000 nilainya adalah 0,33 berbanding 0,19. Nilai ini bisa terjadi karena wilayah yang berada pada perbatasan kemampuan wilayahnya masih rendah namun jumlah penduduk yang lebih sedikit sehingga menghasilkan angka per kapita yang besar dan relatif merata. Sedangkan untuk wilayah non perbatasan terdapat Kota Padang dengan angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya ditambah juga pada

0.58 0.53 0.57 0.49 0.41 0.52 0.28 0.60 0.59 0.59 0.55 0.41 0.61 0.31 0.34 0.24 0.33 0.20 0.34 0.21 0.16 0.46 0.57 0.35 0.44 0.35 0.76 0.41 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90

Sum Bar Perbatasan Non Perbatasan

Kabupaten Kota Pemekaran Induk

In d e ks Wi lli am son Klasifikasi Wilayah PAD ' 08 PAD ' 07 PDRB ' 08 PDRB ' 07

(3)

wilayah non perbatasan ini terdapat wilayah kabupaten dan kota. Wilayah kabupaten dan kota jelas memiliki jumlah penduduk yang berbeda karena kabupaten memiliki luas yang jauh lebih besar dari kota dan kecenderungan jumlah penduduk yang juga lebih banyak kecuali pada Kota Padang yang merupakan ibukota Sumatera Barat.

Pengelompokkan berdasarkan kabupaten dan kota nilai Indeks Williamson yang diperoleh hampir sama dengan pengelompokkan berdasarkan wilayah perbatasan dan bukan perbatasan yaitu terjadinya indeks yang lebih tinggi pada kota dibandingkan dengan kabupaten. Hasil yang sedikit berbeda diperoleh dengan menggunakan data PAD dimana indeks pada kota sedikit lebih baik dibandingkan kabupaten yaitu 0,41 berbanding 0,49. Data tersebut mengindikasikan bahwa tingkat ketimpangan di wilayah kabupaten lebih tinggi dibandingkan wilayah kota. Hal tersebut terjadi karena ada beberapa wilayah kabupaten yang tingkat PAD sangat rendah seperti Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Sijunjung.

Hasil Indeks Williamson wilayah kota yang lebih baik dibandingkan wilayah kabupaten dapat terjadi karena pengaruh tingkat sumber daya manusia (SDM). Berdasarkan data Sumatera Barat dalam angka 2009, jumlah mahasiswa yang ada di wilayah kota sebanyak 121.112 orang (9,27 persen jumlah penduduk), tenaga dosen sebanyak 8.334 orang (0,64 persen), dan jumlah perguruan tinggi negeri 14 buah serta perguruan tinggi swasta 60 buah. Sementara untuk wilayah kabupaten jumlah mahasiswa sebanyak 12043 orang (0,35 persen), tenaga dosen sebanyak 1534 orang (0,04 persen), dan jumlah perguruan tinggi negeri 2 buah serta perguruan tinggi swasta 28 buah.

Selanjutkan pengelompokkan antara wilayah kabupaten hasil pemekaran dengan wilayah kabupaten induk menghasilkan nilai Indeks Williamson yang lebih besar pada kelompok kabupaten pemekaran. Pada data PAD Indeks Williamson pada wilayah pemekaran sebesar 0,52 sedangkan wilayah induk hanya sekitar 0,28, untuk data penghasilan total 0,47 berbanding 0,13, data PDRB harga berlaku 0,21 berbanding 0,16, dan data PDRB harga konstan 2000 nilainya 0,18 berbanding 0,16.

(4)

Dekomposisi Sumber Disparitas

Dekomposisi sumber disparitas di Provinsi Sumatera Barat dilakukan dengan analisis Indeks Theill. Pengelompokkan wilayah terdiri dari wilayah perbatasan dengan bukan perbatasan, wilayah kabupaten dan kota, serta wilayah pemekaran dan induk dengan data yang digunakan PDRB harga berlaku, PDRB harga konstan, PAD, dan pendapatan total tahun 2008.

Berdasarkan hasil analisis Gambar 13 menggunakan data PDRB harga berlaku 2008 untuk kelompok wilayah perbatasan dengan bukan perbatasan serta kelompok wilayah pemekaran dan induk sumber disparitas terbesar terdapat dalam kelompok wilayah sementara untuk kelompok wilayah kabupaten dan kota sumber disparitas terbesar terdapat antar kelompok wilayah. Hasil yang sama juga terjadi dengan menggunakan dua data lainnya yaitu PDRB harga konstan 2000 dan PAD sedangkan menggunakan data pendapatan total seluruh kelompok wilayah tersebut sumber disparitasnya terjadi dalam kelompok wilayah.

Sumber : Hasil Analisis

Gambar 13. Indeks Theil Provinsi Sumatera Barat

Ket : APB = Antar Wilayah Perbatasan/Bukan ADB = Dalam Wilayah Perbatasan/Bukan AKK = Antar Wilayah Kabupaten/Kota DKK = Dalam Wilayah Kabupaten/Kota

API = Antar Wilayah Pemekaran/Induk DDI = Dalam Wilayah Pemekaran/Induk 15.81 36.17 9.52 0.06 84.19 63.83 90.48 99.94 56.71 66.05 53.38 5.72 43.29 33.95 46.62 94.28 14.10 9.85 19.06 11.36 85.90 90.15 80.94 88.64 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 PDRB B'08 PDRB K'08 PAD'08 PT'08 In d e ks Th e il Jenis Data APB DPB AKK DKK API DPI

(5)

Hasil indeks Theil tersebut menunjukkan bahwa secara umum sumber disparitas perekonomian di Provinsi Sumatera Barat berasal dari dalam kelompok wilayah atau antar kabupeten/kota. Hal ini berarti dalam pengambilan kebijakan pengembangan wilayah di Provinsi Sumatera Barat tidak bisa dipandang dalam lingkup kelompok wilayah namun harus lebih spesifik lagi yaitu dalam lingkup kabupeten/kota, sehingga kebijakan yang diambil disesuaikan dengan karakteristik dan potensi masing-masing kabupeten/kota.

Perkembangan dan Karakteristik Wilayah Kabupaten/Kota di Sumatera Barat Pengembangan wilayah merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk menentukan perkembangan dan karekteristik wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat dari segi ekonomi dilakukan analisis tipologi Klassen, indeks entropy, dan analisis FA, dari segi infrastruktur wilayah analisis skalogram serta dari faktor fisik dilihat kemampuan lahan dan tingkat kerawanan bencana.

Tipologi Klassen Provinsi Sumatera Barat

Tipologi Klassen merupakan salah satu analisis untuk mengetahui tingkat perkembangan dan karakteristik wilayah dari segi ekonomi. Hasil penggelompokkan wilayah dari analisis dapat menunjukkan terjadinya tingkat disparitas wilayah di Provinsi Sumatera Barat. Kelompok wilayah yang masuk dalam kategori kuadrat I adalah wilayah yang maju dengan laju pertumbuhan dan tingkat PDRB per kapitanya lebih besar dari pemerintah provinsi serta pada kuadrat IV terjadi sebaliknya. Adanya perbedaan kuadrat dari kabupaten/kota yang ada mengindikasikan telah terjadi disparitas di Provinsi Sumatera Barat.

Hasil analisis tipologi Klassen (Tabel 11) dengan menggunakan indikator laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita tahun 2008 diperoleh hasil untuk kategori wilayah maju terdapat lima wilayah atau sekitar 26,32 persen. Wilayah yang

(6)

masuk dalam kategori wilayah maju ini adalah Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Pasaman Barat, Kota Padang, Kota Solok, dan Kota Bukittinggi. Pada Kuadrat kedua, wilayah dengan kategori maju tapi tertekan adalah Kabupaten Solok, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Dharmasraya, Kota Padang Panjang dan Kota Payakumbuh.

Tabel 11. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota Sumatera Barat

Laju Pertumbuhan Ekonomi

Di Atas Rata-Rata Di Bawah Rata-Rata

PDRB P er K a p ita Di Ata s Ra ta -Ra ta Daerah Maju:

Lima Puluh Kota, Pasaman Barat, Kota Padang, Kota

Solok, Kota Bukittingi

Daerah Maju Tapi Tertekan:

Solok, Padang Pariaman, Agam, Dharmasraya, Kota Padang Panjang, Kota Payakumbuh

Di B a wa h R a ta -Ra ta Daerah Berkembang: Kepulauan Mentawai, Kota

Sawahlunto, Kota Pariaman

Daerah Relatif Terbelakang: Pesisir Selatan, Sijunjung, Tanah

Datar, Pasaman, Solok Selatan

Sumber : Hasil Analisis

Sementara itu kategori wilayah yang masuk dalam kelompok wilayah berkembang adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota Sawahlunto, dan Kota Pariaman. Wilayah pada kuadrat ke-III ini merupakan wilayah yang sangat berpotensi untuk berkembang. Pada kelompok terakhir terdapat lima wilayah yang masuk dalam kategori wilayah relatif terbelakang yaitu Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman, dan Kabupaten Solok Selatan. Secara spasial hasil analisis tipologi Klassen kabupaten/kota di Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 14.

Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pasaman Barat yang berada pada kawasan perbatasan masuk ke dalam kategori wilayah maju. Keberadaan Pasaman Barat dalam kelompok ini merupakan suatu pencapaian yang baik mengingat wilayah ini adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Pasaman dan oleh Kementrian Percepatan Daerah Tertinggal masuk dalam kategori wilayah miskin. Sesuai dengan data awal dalam melakukan analisis tipologi klassen, berarti tingkat laju pertumbuhan ekonomi

(7)

dan PDRB per kapita Kabupaten Pasaman Barat berada diatas rata-rata. Pencapaian yang baik sebagai wilayah pemekaran oleh Kabupaten Pasaman Barat tidak diikuti oleh Kabupaten Solok Selatan yang masuk kategori wilayah yang relatif terbelakang.

Keberadaan Solok Selatan sebagai daerah baru hasil pemekaran pada kelompok wilayah terbelakang mungkin bisa dipahami, namun masuknya Kabupaten Pasaman yang merupakan induk dari Kabupaten Pasaman Barat tentu hal yang sangat disayangkan karena berdasarkan data jelas bahwa laju pertumbuhan dan PDRB per kapitanya berada di bawah wilayah hasil pemekarannya sendiri. Hal yang sama juga bisa jadi pertimbangan oleh Kabupaten Pesisir Selatan yang sangat gencar memiliki wacana untuk melakukan pemekaran wilayah karena berdasarkan Tipologi Klassen mereka belum mampu untuk berkompetisi dengan kabupaten/kota lain yang ada di Provinsi Sumatera Barat.

(8)

Diversifikasi Aktivitas Ekonomi

Diversifikasi aktivitas ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat dalam penelitian ini dilakukan dengan mengggunakan analisis indeks entropy. Prinsip indeks entropy adalah semakin tinggi nilai entropy yang dihasilkan berarti wilayah tersebut semakin berkembang. Semakin tinggi perbedaan diversifikasi ekonomi antara kabupaten/kota yang ada menunjukkan bahwa disparitas yang terjadi juga semakin besar. Gambaran dari analisis entropy ini dapat digunakan untuk meningkatkan diversifikasi ekonomi pada wilayah yang pertumbuhan ekonominya statis agar perbedaan antara wilayah yang maju dapat dikurangi. Aktivitas suatu wilayah dapat dicerminkan dari perkembangan sektor-sektor perekonomian dalam PDRB. Hasil perhitungan indeks entropy di Provinsi Sumatera Barat pada Tabel 12. Tabel 12. Indeks Entropy Provinsi Sumatera Barat

Tani Tam Ind List Kon Dag Angk Keu Jasa Tot

Kep. Mentawai 0,04 0,00 0,01 0,00 0,00 0,02 0,01 0,00 0,01 0,09 Pesisir Selatan 0,07 0,01 0,03 0,00 0,02 0,05 0,01 0,01 0,04 0,25 Solok 0,10 0,01 0,02 0,00 0,02 0,04 0,03 0,01 0,03 0,27 Sijunjung 0,04 0,03 0,01 0,00 0,02 0,02 0,02 0,01 0,03 0,19 Tanah Datar 0,09 0,01 0,04 0,00 0,03 0,04 0,02 0,01 0,05 0,29 Pd. Pariaman 0,07 0,02 0,04 0,01 0,02 0,04 0,07 0,01 0,05 0,33 Agam 0,11 0,02 0,04 0,01 0,02 0,05 0,02 0,02 0,05 0,33 Lima Puluh Koto 0,09 0,03 0,04 0,00 0,01 0,06 0,02 0,01 0,05 0,32 Pasaman 0,08 0,01 0,01 0,00 0,01 0,02 0,01 0,01 0,03 0,18 Solok Selatan 0,03 0,01 0,01 0,00 0,01 0,02 0,01 0,00 0,01 0,09 Dharmasraya 0,05 0,01 0,01 0,00 0,02 0,02 0,01 0,01 0,02 0,16 Pasaman Barat 0,09 0,01 0,07 0,00 0,01 0,07 0,02 0,01 0,03 0,30 Kota Padang 0,07 0,03 0,14 0,03 0,06 0,17 0,19 0,09 0,15 0,92 Kota Solok 0,01 0,00 0,01 0,00 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,08 Kota Sawahlunto 0,01 0,02 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01 0,00 0,02 0,08 Kota Pd. Panjang 0,01 0,00 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,07 Kota Bukittinggi 0,00 0,00 0,02 0,00 0,01 0,03 0,03 0,02 0,03 0,14 Kota P. Kumbuh 0,01 0,00 0,01 0,00 0,01 0,02 0,03 0,01 0,03 0,13 Kota Pariaman 0,03 0,00 0,01 0,00 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,11 Total 1,00 0,20 0,53 0,08 0,31 0,71 0,56 0,26 0,68 4,34 Entropy Maks 5,14 Perkemb. Wil. 0,84

(9)

Hasil indeks entropy secara sektoral di Provinsi Sumatera Barat nilai tertinggi dimiliki oleh sektor pertanian dengan 1,00272 atau sekitar 23,12 persen dari total sembilan sektor yang dianalisis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor utama yang dimiliki oleh sebagian besar wilayah kabupaten/kota yang ada di Sumatera Barat. Sektor berikutnya yang memiliki keragaman tinggi adalah sektor perdagangan dengan indeks 0,77160 atau sekitar 16,40 persen dan sektor keragaman paling rendah adalah sektor listrik, gas, dan air dengan indeks 0,08445 atau sekitar 1,95 persen.

Entropy maksimum yang mampu dihasilkan Provinsi Sumatera Barat untuk data PDRB 2008 adalah 5,14 dan perkembangan wilayah yang mampu dicapai sekitar 84,37 persen. Berdasarkan hasil analisis entropy tersebut terlihat bahwa keberagaman aktivitas Kota Padang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Nilai entropy Kota Padang sebesar 0,92 dari 4,34 total entropy kabupaten/kota yang ada jelas sangat mempengaruhi perkembangan Sumatera Barat secara keseluruhan. Berdasarkan diversifikasi ekonomi tersebut dapat menunjukkan terjadinya disparitas di Provinsi Sumatera Barat. Keragaman aktivitas di Kota Padang yang mencapai 21,32 persen sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang rata – rata diversifikasi ekonominya hanya sebesar 4,37 persen. Persentase yang tinggi pada Kota Padang menunjukan bahwa sektor perekonomian di Sumatera Barat tidak terdistribusi secara merata.

Wilayah yang memiliki keragaman aktivitas ekonominya yang relatif tinggi adalah Kabupaten Padang Pariaman (7,72 persen), Kabupaten Agam (7,61 persen), dan Kabupaten Lima Puluh Kota (7,43 persen). Secara makro dari pengamatan dilapangan terlihat memang ketiga wilayah kabupaten tersebut memilki aktivitas perekonomian yang relatif beragam. Beberapa wilayah keragaman aktivitas ekonominya masih sangat rendah yaitu di bawah tiga persen seperti Kota Padang Panjang (1,59 persen), Kota Sawahlunto (1,83 persen), Kota Solok (1,85 persen), Kabupaten Kepulauan Mentawai (2, 04 persen), Kabupaten Solok Selatan (2,14 persen), Kota Pariaman (2, 61 persen), dan Kota Payakumbuh (2, 91 persen).

(10)

Keragaman yang rendah pada wilayah kota terjadi karena hanya mengandalkan sektor jasa (pajak) dan pada wilayah kabupaten hanya pada sektor pertanian (sawah). Kerja sama antar wilayah perlu di dorong oleh pemerintah provinsi agar diversifikasi ekonomi antar wilayah kabupaten/kota yang ada lebih merata.

Faktor Utama Perkembangan Wilayah Provinsi Sumatera Barat

Proses analisis multivariat dengan metode faktor analisis didasarkan pada faktor-faktor yang menggambarkan perkembangan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat. Perbedaan perkembangan wilayah dari nilai indeks berbasis faktor menggambarkan disparitas wilayah yang terjadi pada kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Beberapa wilayah akan memiliki indeks yang baik sementara wilayah lainnya memiliki indeks yang kurang bagus sehingga perbedaan tersebut terlihat dengan jelas. Nilai indeks yang diperoleh oleh setiap kabupaten/kota tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam merumuskan alternatif strategi dalam mengurangi disparitas yang terjadi.

Data yang digunakan diperoleh dari data potensi desa tahun 2008 dan Sumatera Barat dalam angka tahun 2008 serta faktor fisik wilayah yang dikelompokkan ke dalam 6 (enam) bidang (kependudukan, ekonomi wilayah, pelayanan sosial, sarana perkotaan, aksebilitas, dan biofisik wilayah) dan terdiri dari 34 variabel. Pengelompokkan tersebut bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan interpretasi yang akan digunakan sebagai faktor penentu terjadinya disparitas di Provinsi Sumatera Barat.

Kelompok kependudukan terdiri dari 5 (lima) variabel yaitu : kepadatan penduduk, persentase keluarga petani, persentase keluarga pra sejahtera, persentase rumah permanen, dan persentase tingkat buta huruf. Dari 5 (lima) variabel bidang kependudukan tersebut dapat disederhanakan menjadi 1 (satu) variabel baru yang memiliki eigenvalue lebih dari satu yaitu faktor satu dengan nilai eigenvalue sebesar 3,03 dan mewakili 60,54 persen dari total variabelitas. Hasil analisis faktor untuk bidang kependudukan ditunjukkan pada Tabel 13.

(11)

Tabel 13. Eigenvalues Bidang Kependudukan

Value Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 3,03 60,54 3,03 60,54

Sumber: Hasil Analisis

Penciri dari masing-masing faktor tersebut ditunjukkan oleh faktor loading yang menunjukkan tingkat keeratan suatu variabel terhadap variabel yang terbentuk. Semakin besar nilai factor loading-nya, maka semakin nyata variabel tersebut dapat dimasukkan dalam salah satu faktornya, begitu pula sebaliknya. Suatu factor loading disebut nyata apabila angka mutlaknya minimal sama dengan 0,70 yang ditunjukkan dengan huruf tebal pada Tabel 14.

Berdasarkan hasil factor loading seperti ditunjukkan pada Tabel 23 untuk bidang kependudukan terdapat 1 (satu) faktor utama yang diwakili oleh persentase keluarga pra sejahtera, persentase rumah permanen, dan persentase tingkat buta huruf. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa semakin besar jumlah keluarga pra sejahtera dan tingkat buta huruf di Provinsis Sumatera Barat maka jumlah rumah permanen akan semakin berkurang.

Tabel 14. Factor Loadings Bidang Kependudukan

Variabel Faktor 1

Kepadatan -0,610

Keluarga Petani 0,633 Keluarga Prasejahtera 0,915 Rumah Permanen -0,795 Tingkat Buta Huruf 0,887

Expl.Var 3,027

Prp.Totl 0,605

Sumber: Hasil Analisis

Sementara untuk kelompok bidang pelayanan sosial terdiri dari 7 (tujuh) variabel yaitu : rasio tempat sekolah (TK negeri dan swasta, SD sederajat negeri dan swasta, SMP sederajat negeri dan swasta, SMA sederajat negeri dan swasta, dan PT

(12)

negeri dan swasta) terhadap 1000 penduduk, rasio tempat kesehatan (Rumah Sakit negeri dan swasta, Puskesmas, Puskesmas pembantu) terhadap 1000 penduduk, rasio tempat penjualan obat/apotik terhadap 1000 penduduk, rasio tempat ibadah terhadap 1000 penduduk, rasio tenaga dokter terhadap 1000 penduduk, rasio tenaga bidan/perawat terhadap 1000 penduduk, dan rasio guru terhadap 1000 penduduk.

Tabel 15. Eigenvalues Bidang Pelayanan Sosial

Value Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 3,89 55,56 3,89 55,56 2 1,97 28,21 5,86 83,77

Sumber: Hasil Analisis

Dari Tabel 15 variabel bidang pelayanan sosial dapat disederhanakan menjadi 2 (dua) variabel baru yang memiliki eigenvalues lebih dari satu (Tabel 16). Kedua faktor tersebut berturut – turut mewakili 55,56 persen dan 28,21 persen dari total variabel dengan nilai eigenvalues sebesar 3,89 dan 1,97. Kedua faktor tersebut mewakili 83,77 persen dari total variabel. Ini berarti apabila delapan variabel disederhanakan menjadi dua variabel baru, maka kedua variabel tersebut dapat menjelaskan 83,77 persen dari total variabelitas ke delapan variabel. Adapun penciri dari masing – masing faktor tersebut ditunjukkan oleh factor loading sebagaimana terlihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Factor Loadings Bidang Pelayanan Sosial

Variabel faktor 1 faktor 2 Sklh 0.000 -0.991 Temkes -0.922 0.095 Obat -0.908 0.139 Ibadah 0.323 -0.908 Dokt -0.891 -0.172 Bidan -0.915 -0.168 Guru -0.693 -0.289 Expl.Var 3.889 1.975 Prp.Totl 0.556 0.282 Sumber: Hasil Analisis

(13)

Berdasarkan hasil factor loading seperti yang ditunjukkan pada Tabel 16. dapat dijelaskan bahwa faktor – faktor utama dari bidang pelayanan sosial di Provinsi Sumatera Barat adalah sebagai berikut :

i. Faktor 1 dapat dikelompokkan sebagai indikator kualitas kesehatan yang terdiri dari variabel tempat kesehatan, tempat penjualan obat/apotik, jumlah dokter, dan jumlah bidan/perawat. Berdasarkan faktor tersebut terlihat bahwa semakin banyak jumlah fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, posyandu, dan lainnya maka jumlah tenaga kesehatan juga akan semakin meningkat.

ii. Faktor 2 sebagai indikator fasilitas pendidikan yang diwakili oleh jumlah sekolah dan jumlah tempat ibadah. yang mana kedua variabel tersebut memiliki nilai yang negatif yang berarti bahwa penurunan jumlah sarana pendidikan juga diikuti oleh penurunan sarana peribadatan

Kelompok berikutnya untuk bidang sarana perkotaan memiliki nilai eigenvalues sebesar 4,06 dan mewakili 81,21 persen dari total variabel (Tabel 17). Data yang digunakan untuk kelompok sarana perkotaan yaitu : persen kepala keluarga yang berlanggan PLN, persen kepala keluarga yang berlanggan telpon, persen kepala keluarga yang berlanggan PDAM, rasio lembaga keuangan/bank terhadap 1000 penduduk, dan rasio toko terhadap 1000 penduduk.

Tabel 17. Eigenvalues Bidang Sarana Perkotaan

Value Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 4,06 81,21 4,06 81,21

Sumber: Hasil Analisis

Nilai eigenvalues sebesar 4,06 tersebut menghasilkan 1 (satu) factor loading (Tabel 18) yang diwakili oleh semua variabel. Nilai yang dimiliki oleh kelima variabel tersebut saling berkorelasi negatif, yang menunjukkan bahwa apabila jumlah keluarga menggunakan PLN berkurang maka jumlah keluarga yang menggunakan telpon dan PDAM juga akan ikut berkurang. Keterkaitan tersebut juga terjadi dengan

(14)

keberadaan lembaga keuangan dan tempat perdagangan yang ikut berkurang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelima variabel dari sarana perkotaan tersebut saling mempengaruhi. Keberadaan jaringan listrik PLN, telpon, dan PDAM diharapkan akan mendorong munculnya fasilitas perekonomian seperti perbankan dan pasar.

Tabel 18. Factor Loadings Bidang Sarana Perkotaan

Variabel Faktor 1 Pelanggan PLN -0,929 Pelanggan Telepon -0,927 Pelanggan PAM -0,929 Jumlah Bank -0,946 Jumlah Toko -0,762 Expl.Var 4,061 Prp.Totl 0,812

Sumber: Hasil Analisis

Analisis faktor utama untuk bidang ekonomi wilayah merupakan sektor – sektor dari PDRB ditambah dengan nilai PAD dan pendapatan total. Sembilan sektor PDRB tersebut disederhanakan menjadi empat sektor menjadi sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor ekonomi sekunder (PDRB industri per kapita, PDRB listrik air dan gas per kapita, PDRB konstruksi per kapita, PDRB perdagangan per kapita, PDRB angkutan per kapita), dan sektor ekonomi tersier (PDRB keuangan per kapita, dan PDRB jasa – jasa per kapita).

Tabel 19. Eigenvalues Bidang Ekonomi Wilayah

Value Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 2.89 48.24 2.89 48.24 2 1.45 24.12 4.34 72.36

Sumber: Hasil Analisis

Nilai eigenvalues (Tabel 19) yang dimiliki dari enam variabel tersebut berturut – turut sebesar 2,89 dan 1,45 yang mewakili 48,24 persen dan 24,12 persen dari total variabel. Variabel ekonomi wilayah tersebut menghasilkan dua Factor

Loadings yang diwakili oleh indiks ekonomi tersier sebagai faktor 1 dan indeks

(15)

Tabel 20. Factor Loadings Bidang Ekonomi Wilayah

Variabel Faktor 1 Faktor 2 Tani -0.751 -0.132 Tamb -0.174 0.615 Sekun 0.876 -0.094 Ters 0.928 0.265 Pad 0.396 0.867 Pentol 0.216 0.831 Expl.Var 2.425 1.916 Prp.Totl 0.404 0.319 Sumber: Hasil Analisis

Selanjutnya untuk kelompok bidang biofisik wilayah yang terdiri dari 6 (enam) variabel yang diwakili oleh variabel persen kawasan lindung per luas wilayah, tingkat kerentanan bencana, persen kemampuan lahan kelas II dan kelas III per luas wilayah, persen kemampuan lahan kelas VII dan kelas VIII per luas wilayah, persen kemiringan lereng < 15 per luas wilayah, dan persen kemiringan lereng > 45 per luas wilayah. Hasil analisis faktor untuk bidang biofisik wilayah ditunjukkan oleh Tabel 30. yang dapat disederhanakan menjadi 2 (dua) variabel baru yang memiliki nilai

eigenvalues lebih dari satu. Nilai eigenvalues yang dimiliki oleh kedua variabel

tersebut sebesar 3,99 untuk faktor satu dan 1,01 untuk faktor dua dan mewakili sekitar 83,46 persen dari total variabel.

Tabel 21. Eigenvalues Bidang Biofisik Wilayah

Value Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 3,99 66,48 3,99 66,48 2 1,02 16,98 5,01 83,46

Sumber: Hasil Analisis

Bidang biofisik wilayah memiliki dua factor loading seperti yang ditunjukkan pada Tabel 22. Faktor 1 (indikator topografi wilayah) berkorelasi negatif dengan kemampuan lahan kelas II – III dan kemiringan lereng < 15 serta berkorelasi positif dengan kemampuan lahan kelas VII – VIII dan kemiringan lereng > 45. Hal ini menunjukkan apabila semakin banyak terdapat kemampuan lahan kelas VII – VIII

(16)

dan kemiringan lereng > 45 maka kemampuan lahan kelas II – III dan kemiringan lereng < 15 akan semakin berkurang. Sementara faktor 2 (kerawanan bencana) memiliki satu variabel yang diwakili oleh variabel tingkat kerawanan bencana.

Tabel 22. Factor Loadings Bidang Biofisik Wilayah

Variabel Faktor 1 Faktor 2

Kawasan Lindung 0,661 -0,041

Kerawanan Bencana -0,147 0,987 Kemampuan Lahan Kelas 2-3 -0,953 -0,197 Kemampuan Lahan Kelas 7-8 0,951 -0,040 Kemiringan Lereng < 15 -0,916 0,023 Kemiringan Lereng > 45 0,938 0,047

Expl.Var 3,989 1,019

Prp.Totl 0,665 0,170

Sumber: Hasil Analisis

Sementara untuk bidang aksebilitas terdiri dari 5 (lima) variabel yaitu : jarak ke ibukota provinsi, jarak ke ibukota provinsi tetangga terdekat, rasio panjang jalan terhadap luas wilayah per jumlah penduduk, persen jumlah desa yang memiliki jalan aspal, dan ongkos rata – rata ke ibukota provinsi. Hasil analisis faktor untuk bidang aksebilitas dapat disederhanakan menjadi 1 (satu) variabel baru seperti ditunjukkan oleh Tabel 23. Nilai Eigenvalues yang dimiliki oleh variabel baru tersebut adalah sebesar 3,49 yang mewakili 69,73 persen dari total variabel.

Tabel 23. Eigenvalues Bidang Aksebilitas

Value Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 3,49 69,73 3,49 69,73

Sumber: Hasil Analisis

Bidang aksebilitas hanya memiliki 1 (satu) factor loading (Tabel 24) yang berkorelasi positif terhadap variabel jarak ke ibukota provinsi, jarak ke ibukota provinsi tetangga terdekat, ongkos rata – rata ke ibukota provinsi dan berkorelasi negatif dengan jumlah desa yang memiliki jalan aspal. Hasil ini menunjukkan bahwa

(17)

semakin jauh jarak ke ibukota provinsi maka biayanya juga semakin besar dan wilayah (desa) yang memiliki jalan aspal akan semakin berkurang.

Tabel 24. Factor Loadings Bidang Aksebilitas

Variabel Faktor 1

Jarak ke Ibukota Provinsi 0,916 Jarak ke Ibukota Provinsi Tetangga 0,877

Panjang Jalan -0,587

Rasio Jalan per Desa -0,841 Ongkos ke Ibukota Provinsi 0,909

Expl.Var 3,486

Prp.Totl 0,697

Sumber: Hasil Analisis

Nilai indeks berbasis analisis faktor kabupaten/kota di Provinsis Sumatera Barat disajikan pada Tabel 25. Kelompok kolom positif menunjukkan apabila nilai yang diperoleh semakin tinggi maka wilayah tersebut semakin baik, sementara kelompok kolom negatif menunjukkan hal sebaliknya yaitu apabila semakin rendah indeks maka wilayah tersebut semakin baik.

Wilayah yang paling banyak memiliki indeks tertinggi adalah Kota Bukittinggi yaitu untuk indikator tingkat kemiskinan, tempat kesehatan, sarana perkotaaan, dan aksesibilitas. Hasil indeks untuk Kota Bukittinggi menunjukkan bahwa tingkat perkembangan wilayahnya relatif lebih baik dari wilayah lainnya di Provinsi Sumatera Barat. Dari indikator tingkat kemiskinan terlihat indeks wilayah kota secara umum lebih baik dibandingkan wilayah kabupaten. Nilai indeks Kabupaten Kepulauan Mentawai yang sangat rendah menunjukkan bahwa wilayah tersebut jauh tertinggal berdasarkan indikator tingkat kemiskinan dibandingkan wilayah lainnya. Untuk itu perhatian khusus perlu diberikan oleh pemerintah provinsi agar disparitas dari faktor tingkat kemiskinan dapat dikurangi.

Perbedaan yang jelas terlihat antara wilayah kota dengan wilayah kabupaten dapat dilihat dari indikator ekonomi tersier, indikator tempat kesehatan, dan indikator sarana perkotaan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sarana perkotaan dan fasilitas

(18)

kesehatan mampu untuk meningkatkan perekonomian suatu wilayah terutama dari sektor tersier. Kabupaten Kepulauan Mentawai, Solok Selatan, dan Pasaman merupakan wilayah yang berkontribusi besar dalam menimbulkan disparitas di Sumatera Barat dari sektor perekonomian tersier. Untuk indikator sarana perkotaan dan fasilitas kesehatan ketiga wilayah tersebut juga belum memilki fasilitas perkotaan dan kesehatan yang memadai.

Tabel 25. Nilai Indeks Berbasis Analisis Faktor Kabupaten/Kota di Sumatera Barat

Kabupaten/Kota Faktor Utama Positif Negatif Et Pm Tm Tk Sp Tw Kb As Tp Kepulauan Mentawai -1.243 1.189 3.284 0.325 0.798 0.294 0.643 3.331 -1.071 Pesisir Selatan -0.567 -0.860 0.637 0.870 0.706 0.143 0.268 0.046 0.890 Solok -0.843 -0.386 0.494 0.646 0.741 1.031 0.912 -0.099 -1.677 Sijunjung -0.713 0.313 0.816 0.673 0.571 1.002 -1.088 0.357 -0.417 Tanah Datar -0.416 -0.624 -0.041 0.592 0.501 0.812 0.599 -0.355 -0.438 Padang Pariaman -0.034 -0.831 0.210 0.980 0.588 -0.628 0.053 -0.486 -1.024 Agam -0.675 -0.683 -0.216 0.432 0.708 -0.415 1.495 0.100 -0.315

Lima Puluh Kota -0.491 -0.323 0.131 0.759 0.610 1.042 -0.797 -0.070 -0.143

Pasaman -0.979 -0.356 0.116 0.848 0.488 1.384 -0.474 0.378 0.154 Solok Selatan -0.921 -0.144 0.122 0.616 0.805 0.841 -1.119 0.949 1.886 Dharmasraya -0.593 -0.038 -0.184 0.295 0.502 -0.285 -1.961 0.738 0.863 Pasaman Barat -0.172 -1.009 0.284 0.872 1.051 -0.914 1.345 0.341 0.649 Kota Padang 2.359 -1.207 -1.154 -0.117 -0.575 0.209 -0.223 -0.809 1.675 Kota Solok 1.162 0.700 -0.711 -2.000 -1.242 0.047 0.847 -0.730 0.512 Kota Sawahlunto 0.167 3.201 -0.134 -1.378 -0.263 0.634 0.716 -0.022 -1.664 Kota Padang Panjang 0.918 0.708 -1.098 -0.888 -1.801 0.064 0.219 -1.013 0.300

Kota Bukittinggi 1.718 -0.057 -1.373 -2.139 -2.248 -1.697 0.959 -1.122 0.467

Kota Payakumbuh 1.009 0.180 -0.637 -0.620 -1.249 -1.404 -1.081 -0.633 0.230

Kota Pariaman 0.315 0.226 -0.546 -0.765 -0.692 -2.161 -1.313 -0.900 -0.878

Sumber: Hasil Analisis

Keterangan : et = ekonomi tersier

tm = tingkat kemiskinan pm = produktivitas masyarakat tk = tempat kesehatan tw = topografi wilayah tp = tempat pendidikan kb = kerentanan bencana sp = sarana perkotaan as = aksebilitas

Positif = Semakin tinggi nilainya, semakin baik Negatif = Semakin rendah nilainya, semakin baik

(19)

Berdasarkan hasil produktivitas masyarakat dan tempat pendidikan terlihat sebagian wilayah kota memilki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Hasil tersebut dapat terjadi karena pendapatan wilayah dibagi dengan jumlah penduduk dimana penduduk wilayah kota terutama Kota Padang jauh lebih banyak dibandingkan wilayah lainnya. Dari hasil tempat pendidikan ada dua variabel yang berpengaruh yaitu rasio jumlah sekolah dan jumlah tempat peribadatan per jumlah penduduk. Khusus untuk tempat peribadatan di Provinsi Sumatera Barat semakin luas wilayahnya maka jumlah tempat peribadatan juga semakin banyak.

Berdasarkan indikator aksebilitas jarak terjauh dan ongkos tertinggi ke ibukota provinsi terjadi di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Hal ini terjadi karena wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan satu – satunya wilayah kepulauan yang letaknya terpisah dari kabupaten/kota yang lainnya. Penambahan rute pelayaran antar pulau ke ibukota provinsi dan jumlah kapal untuk trasportasi perlu ditingkatkan agar biaya yang dilakukan bisa diminimalisir. Keberadaan badara perintis Rokot di Pulau Sipora perlu dioptimalkan agar masyarakat memiliki pilihan noda transportasi dan frekuensi aliran orang dan barang bisa meningkat. Sementara Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang, dan Kota Pariaman merupakan wilayah yang memiliki rasio jalan per luas wilayah yang paling tinggi dibandingkan wilayah lainnya sehingga biaya transportasi dan waktu tempuh ke ibukota provinsi dan ibukota provinsi tetangga bisa dioptimalkan.

Wilayah yang relatif aman dari faktor bencana adalah Kabupaten Dharmasraya, Kota Pariaman, dan Kabupaten Sijunjung serta wilayah yang paling rentan akan bencana adalah Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat, dan Kota Bukittinggi. Kabupaten Agam merupakan wilayah di Provinsi Sumatera Barat yang berbatasan dengan Samudera Hindia dan juga berada di sekitar Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Dari indikator topografi wilayah yang relatif baik ditemukan di Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, dan Kota Payakumbuh serta topografi wilayah yang kurang baik berada di Kabupaten Pasaman, Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Kabupaten Sijunjung.

(20)

Hirarki Perkembangan Wilayah

Penentuan hirarki perkembangan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat dilakukan dengan menggunakan metode skalogram. Berdasarkan analisis skalogram maka akan dapat ditentukan tingkat perkembangan masing – masing wilayah kabupaten/kota yang ada sehingga disparitas wilayah di Sumatera Barat dapat diketahui terutama dari faktor kelengkapan infrastruktur wilayah.

Data yang digunakan untuk menentukan perkembangan hirarki

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat antara lain sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, dan perekonomian suatu wilayah dari BPS dan Bappeda Sumatera Barat (Lampiran 1). Berdasarkan hasil analisis (Tabel 26) maka diperoleh kabupaten/kota yang memiliki indeks perkembangan tertinggi adalah Kota Padang sebesar 107,75 poin, diikuti Kota Bukittinggi dengan 140,37 poin dan Kota Solok sebesar 104,03 poin. Sementara wilayah yang memiliki indeks perkembangan terendah adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan 31,79 poin, serta Kabupaten Pasaman Barat dengan 50,56 poin dan Kabupaten Solok Selatan dengan 50,71 poin.

Untuk data jumlah fasilitas dan jumlah jenis, Kota Padang terlihat memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah lain yaitu 6127 untuk jumlah fasilitas dan 77 untuk jumlah jenis. Urutan berikut untuk jumlah fasilitas dimiliki oleh Kabupaten Agam dan Kabupaten Lima Puluh Kota dengan jumlah masing – masing 4896 dan 3498. Jumlah jenis terbanyak setelah Kota Padang adalah Kota Bukittingi dan Kota Payakumbuh dengan jumlah 76 dan 65. Jumlah terendah untuk fasilitas dimiliki oleh Kota Padang Panjang dengan jumlah 682 dan jumlah jenis fasilitas terendah dimiliki oleh Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan jumlah 39 jenis.

Sesuai dengan Tabel 26 terdapat dua wilayah yang memiliki hirarki 1 yaitu Kota Padang dan Kota Bukittinggi. Kota Padang merupakan kota terbesar dan sekaligus pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Barat yang ditetapkan sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional dalam RTRWN Tahun 2010 - 2030. Sementara Kota Bukittinggi merupakan kota kedua terbesar yang merupakan salah satu pusat

(21)

perdagangan utama di Pulau Sumatera yang juga dikenal sebagai icon wisatanya Provinsi Sumatera Barat. Wilayah yang berhirarki 2 terdiri atas enam wilayah yaitu Kota Solok, Kota Sawahlunto, Kota Padang Panjang, Kota Payakumbuh, Kota Pariaman dan Kabupaten Lima Puluh Kota sementara sebelas wilayah lainnya masuk ke dalam hirarki 3.

Tabel 26. Indeks Perkembangan Wilayah Provinsi Sumatera Barat

Kabupaten / Kota Jumlah Fasilitas Jumlah Jenis IPW Hirarki Kepulauan Mentawai 1102 39 31,79 Hirarki 3

Pesisir Selatan 3419 55 60,90 Hirarki 3

Solok 3415 52 51,65 Hirarki 3

Sijunjung 2501 51 54,10 Hirarki 3

Tanah Datar 3666 59 75,34 Hirarki 3

Padang Pariaman 3945 52 48,42 Hirarki 3

Agam 4896 60 95,73 Hirarki 2

Lima Puluh Kota 3498 51 64,99 Hirarki 3

Pasaman 2315 56 51,07 Hirarki 3

Solok Selatan 860 49 50,71 Hirarki 3

Dharmasraya 1858 50 58,10 Hirarki 3

Pasaman Barat 2837 53 50,56 Hirarki 3

Kota Padang 6127 77 152,79 Hirarki 1

Kota Solok 1039 64 104,03 Hirarki 2

Kota Sawahlunto 1147 59 103,50 Hirarki 2

Kota Padang Panjang 682 61 98,43 Hirarki 2 Kota Bukittinggi 1844 76 140,37 Hirarki 1

Kota Payakumbuh 1338 65 89,95 Hirarki 2

Kota Pariaman 1033 58 88,39 Hirarki 2

Sumber : Hasil Analisis

Keterangan : IPW = Indeks Perkembangan Wilayah

Secara spasial (Gambar 15), dapat dilihat bahwa wilayah yang masuk ke dalam hirarki 1 dan hirarki 2 merupakan wilayah administrasi kota kecuali Kabupaten Agam yang masuk ke dalam hirarki 2. Pada gambar tersebut terlihat bahwa wilayah yang berada pada kawasan perbatasan, wilayah hasil pemekaran dan wilayah induk, serta wilayah yang dikategorikan miskin berdasarkan Kepmen PPD seluruhnya masuk ke dalam hirarki 3.

(22)

Gambar 15. Peta Hirarki Wilayah Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.

Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Barat tidak merata karena wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang tinggi hanya berada pada bagian tengah. Wilayah yang berada pada bagian Utara dan Selatan serta Barat perkembangan wilayahnya masih rendah. Wilayah yang masuk kategori hirarki 1 dan hirarki 2 pada umumnya adalah wilayah kota, namun belum mampu meningkatkan perkembangan wilayah kabupaten yang ada disekitarnya. Pada wilayah bagian Utara dan Selatan serta Barat tersebut yang memilki hirarki 3 perlu ditingkatkan jumlah sarana dan prasarana sosial seperti sekolah, tempat kesehatan, pasar terpadu, jaringan jalan dan yang lainnya agar lebih merata untuk dapat mempercepat perkembangan wilayah yang bersangkutan dan mengurangi disparitas wilayah.

(23)

Kondisi Fisik Wilayah Provinsi Sumatera Barat

Perbedaan karakteristik limpahan sumber daya alam menurut Anwar (2005) merupakan salah satu penyebab terjadinya disparitas antar wilayah. Untuk itu dalam penelitian ini karakteristik kondisi fisik di Provinsi Sumatera Barat dikaji untuk mengetahui perbedaan fisik khususnya kemampuan lahan, tutupan lahan, dan kerentanan terhadap bencana yang mengakibatkan terjadinya disparitas wilayah. Hasil analisis faktor fisik wilayah akan digabungkan dengan analisis sebelumnya dari faktor ekonomi dan infrastruktur wilayah. Kondisi topografi Provinsi Sumatera Barat yang sangat bervariasi mulai dataran rendah hingga dataran tinggi secara tidak langsung menimbulkan beragam tutupan lahan dan juga penggunaan lahannya.

Kemampuan Lahan Provinsi Sumatera Barat

Identifikasi kemampuan lahan bertujuan untuk mengetahui karakteristik lahan di Provinsi Sumatera Barat yang selanjutnya digunakan sebagai variabel dalam menentukan penyebab terjadinya disparitas. Data yang digunakan adalah Peta Satuan Lahan Sumatera Barat dengan skala 1 : 250.000. Klasifikasi kemampuan lahan dilihat pada tingkat kelas dengan atribut lereng permukaan, tekstur tanah, permeabilitas, dan kedalaman efektif, hasil identifikasi dari kelas kemampuan lahan di Provinsi Sumatera Barat terlihat pada Gambar 16.

Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa pesebaran kelas kemampuan lahan di Provinsis Sumatera Barat tidak merata. Dari hasil analisis terdapat tujuh kelas kemampuan lahan dari delapan kelas yang ada, dimana untuk kelas I tidak dijumpai. Klasifikasi untuk kelas VIII terdapat sekikat 24,98 persen (Tabel 27) yang banyak dijumpai pada bagian Selatan dan Utara Provinsi Sumatera Barat yaitu wilayah Kabupaten Solok Selatan di bagian Selatan dan wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota dibagian Utara. Pemanfaatan lahan yang tepat pada kelas ini adalah untuk hutan lindung dan sebaiknya dibiarkan secara alami karena pembatas dan ancaman yang dimiliki sangat berat.

(24)

Klasifikasi kemampuan lahan paling luas adalah kemampuan lahan kelas VII yaitu 17.193,38 ha (40,65 persen). Kemampuan lahan kelas VII juga memiliki hambatan dan ancaman yang sangat besar untuk dimanfaatkan. Penggunaan lahan yang tepat selain hutan lindung bisa digunakan sebagai hutan produksi. Wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, dan Kabupaten Pasaman merupakan beberapa wilayah yang banyak terdapat kemampuan lahan kelas VII.

Gambar 16. Peta Kelas Kemampuan Lahan Provinsi Sumatera Barat.

Kemampuan lahan kelas II dapat dikategorikan dapat kelompok penggunaan yang baik karena memiliki berbagai macam alternatif pilihan untuk penggunaannya. Ada beberapa hambatan untuk melakukan pemanfaatan lahan pada kelas ini sehingga diperlukan kehati – hatian dan tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan. Lahan kelas ini ditemukan di sebagian kecil wilayah Kabupaten Pasaman Barat bagian utara, Kabupaten Dharmasraya bagian utara, dan Kabupaten Pesisir Selatan bagian selatan.

(25)

Sementara kemampuan lahan kelas III memiliki tingkat hambatan lebih besar dibandingkan lahan kelas II namun masih dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Distribusi kemampuan lahan kelas III tersebut dijumpai pada wilayah yang memiliki kemampuan lahan kelas II ditambah pada beberapa bagian di Kota Padang bagian barat, Kabupaten Solok bagian utara, Kabupaten Agam bagian timur, serta Kota Solok dan Kota Bukittinggi.

Tabel 27. Persentase Luas Kemampuan Lahan Provinsi Sumatera Barat Kemampuan Lahan Luas (Ha) Persentase

Kelas_2 622.50 1.47 Kelas_3 7659.55 18.11 Kelas_4 2832.43 6.70 Kelas_5 1506.90 3.56 Kelas_6 1646.45 3.89 Kelas_7 17193.38 40.65 Kelas_8 10562.89 24.98 Danau 267.91 0.63 Total 42292 100

Sumber : Bappeda Sumbar (diolah)

Klasifikasi kemampuan lahan kelas IV, kelas V, dan kelas VI tidak terlalu dominan dijumpai. Persebarannya kemampuan lahan kelas IV terdapat di Kepulauan Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pasaman Barat dan Kota Sawahlunto. Untuk klasifikasi kemampuan lahan kelas V yang terbanyak dijumpai di bagian selatan Kabupaten Pesisir Selatan dan beberapa wilayah di Kabupaten Pasaman Barat. Kemampuan lahan kelas VI terdapat di Kabupaten Agam serta bagian selatan dari Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Solok Selatan.

Berdasarkan hasil analisis kemampuan lahan tersebut apabila suatu wilayah memiliki lahan kelas II – III maka produktivitas dari sektor pertaniannya dapat dikembangkan. Kemampuan lahan yang baik dapat menjadi daya dukung dalam meningkatkan perkembangan wilayah bersangkutan. Sementara pada kemampuan lahan kelas VII – VIII merupakan tantangan tersendiri pada wilayah tersebut karena harus mampu mencari alternarif lain untuk meningkatkan produktivitas wilayahnya tanpa melanggar ketentuan pemanfaatan kawasan hutan dalam RTRW.

(26)

Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat

Identifikasi faktor fisik berikutnya adalah penggunaan lahan aktual di Provinsi Sumatera Barat berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Provinsi Sumatera Barat (Gambar 17). Klasifikasi atas tutupan lahan yang ada secara garis besarnya dibagi atas sepuluh kelas yaitu : 1) hutan; 2) industri; 3) padang ilalang; 4) perairan darat; 5) perkampungan; 6) perkebunan; 7) persawahan; 8) pertambangan; 9) pertanian tanah kering; dan 10) tanah terbuka.

Gambar 17. Peta Tutupan Lahan Provinsi Sumatera Barat.

Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa kawasan hutan dominan ditemukan di Sumatera Barat yaitu sekitar 58,46 persen (Tabel 28). Rangkaian Bukit Barisan yang melintang sepanjang wilayah Sumatera Barat mempengaruhi banyaknya areal yang masih berstatus hutan. Beberapa kawasan ditetapkan sebagai suaka alam ataupun cagar alam seperti cagar alam Kerinci Sebelat dan cagar alam Batang Pangean pada bagian Selatan, cagar alam Lembah Anai dan cagar alam Baringin Sati pada bagian Tengah, serta cagar alam Rimbo Panti dan Gunung Sago pada bagain Utara.

(27)

Tabel 28. Persentase Luas Tutupan Lahan Provinsi Sumatera Barat

Tutupan Lahan Luas (Ha) Persentase

Hutan 24724.60 58.46

Padang 3211.89 7.59

Perkebunan 4991.28 11.80

Pertanian tanah kering 4861.63 11.50

Persawahan 3290.52 7.78 Tanah terbuka 124.12 0.29 Perkampungan 709.05 1.68 Industri 2.24 0.01 Pertambangan 5.58 0.01 Perairan darat 371.09 0.88 Total 42292 100

Sumber : Bappeda Sumbar(diolah)

Tutupan lain seperti padang atau alang – alang serta tanah terbuka yang tandus masih banyak ditemui terutama pada bagian utara Provinsi Sumatera Barat yaitu di wilayah administrasi Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Pasaman. Kedua kabupaten tersebut merupakan wilayah yang cocok untuk areal perkebunan terutama tanaman sawit, namun berdasarkan data peta di atas ternyata tutupan lahan tersebut masih banyak yang mengindikasikan bahwa wilayah bersangkutan belum mampu mengoptimalkan pengelolaan lahan dengan baik. Penyebaran areal budidaya seperti pemukiman, persawahan, dan industri yang tidak merata mengindikasikan bahwa terjadi ketimpangan dalam hal pengelolaan lahan menjadi lebih optimal. Keberadaan lahan budidaya tersebut terutama pemukiman lebih dominan ditemukan pada wilayah kota.

Evaluasi Kesesuaian Kemampuan Lahan dengan Tutupan Lahan

Evaluasi kecocokan lahan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode tumpang tindih (overlay) antara peta kemampuan lahan dengan peta tutupan lahan. Kelas kemampuan lahan yang ada terdiri dari tujuh kelas dari delapan kelas yang ada dan tutupan lahan terdiri dari sepuluh jenis penutup lahan. Hasil dari overlay tersebut seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 18.

(28)

Gambar 18. Peta Kecocokan lahan Provinsi Sumatera Barat.

Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa banyak ditemukan ketidakcocokan lahan yakni sekitar 11,17 persen (Tabel 29). Penyimpangan yang terjadi paling banyak ditemukan pada bagian utara Sumatera Barat yaitu di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pasaman. Pada bagian tengah juga ditemukan ketidaksesuaian tepatnya di jalur lintas antara Padang dan Solok dimana ini merupakan wilayah yang sering mengalami longsor. Ketidaksesuaian pada bagian selatan Suamtera Barat lebih disebabkan karena banyaknya penduduk yang melakukan usaha budidaya perkebunan rakyat pada kawasan lindung. Sementara pada bagian barat khususnya di utara Kabupaten Kepulauan Mentawai juga ditemukan ketidaksesuaian pemanfaatan lahan yang diakibatkan karena masih banyaknya penduduk asli daerah ini yang tinggal di kawasan hutan sehingga secara tidak langsung mereka melakukan pembudidayaan areal yang ada disekitar pemukiman.

(29)

Tabel 29. Persentase Luas Kecocokan Lahan Provinsi Sumatera Barat Kecocokan Lahan luas (Ha) Persentase

Cocok 37217.40 88.00

Tidak Cocok 4722.07 11.17

Danau 352.53 0.83

Total 42292 100

Sumber : Bappeda Sumbar (diolah)

Identifikasi Tingkat Kerawanan Bencana di Provinsi Sumatera Barat

Bencana Tsunami yang terjadi di Aceh dan Nias pada penghujung tahun 2004 mengejutkan sekaligus menyadarkan semua elemen di Indonesia terutama pemerintah bahwa kondisi geografis Indonesia sangat rentan terjadinya bencana. Semenjak peristiwa tersebut pemerintah lebih serius untuk menanggulangi bencana mulai dari pembuatan payung hukum (UU No.24 Tahun 2007), pembentukan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), hingga melakukan berbagai sosialisasi dan simulasi terhadap masyarakat.

Pengertian bencana adalah suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam atau ulah manusia sehingga menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (RPB Sumbar : 2008). Kondisi tutupan lahan dan kemampuan lahan yang bervariasi di Provinsi Sumatera Barat secara tidak langsung mempengaruhi tingkat kerawanan bencana pada kabupaten/kota yang ada. Identifikasi tingkat kerawanan bencana dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari kabupaten/kota yang ada di Sumatera Barat terhadap potensi bencana yang dimilikinya. Jenis bencana yang diidentifikasi yaitu gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, dan kekeringan.

Wilayah Sumatera Barat dilalui oleh rangkaian Sirkum Mediterania sehingga banyak ditemukan gunung api aktif. Berdasarkan Gambar 19 terlihat bahwa Provinsi Sumatera Barat merupakan wilayah yang sangat tinggi tingkat bahaya gempa. Peraturan gempa Indonesia menempatkan Provinsi Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi yang memiliki percepatan gempa maksimum. Pemerintah Provinsi Sumatera

(30)

Barat sendiri memasukan bencana gempa bumi pada dokemen RPB ke dalam resiko tingkat pertama (paling mendesak untuk ditangani). Dari lima tingkatan bahaya gempa, hampir semua wilayah Sumatera Barat masuk ke dalam kategori lima kecuali Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Lima Puluh Kota masuk kategori empat serta Kabupaten Dharmasraya masuk kategori tiga.

Gambar 19. Peta Tingkat Bahaya Gempa Bumi Provinsi Sumatera Barat.

Letak Sumatera Barat yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia mengakibatkan wilayah ini berpotensi besar terjadi bencana gelombang tsunami. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh para ahli geologi dan didukung oleh dokumen dari pemerintah Belanda (RPB Sumbar : 2008) bahwa pada tahun 1797 dan 1893 gelombang tsunami yang cukup besar pernah malanda Kota Padang. Bukti yang paling mutakhir bahwa Provinsi Sumatera Barat sangat berpotensi akan bencana tsunami adalah yang terjadi pada Bulan Oktober 2010 di wilayah bagian Barat Pulau

(31)

Sikakap Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai dimana lebih dari 300 orang meninggal dunia (www.sumbarprov.go.id).

Tingkat bahaya tsunami kabupaten/kota di Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 20, dimana Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki tingkat kerawanan yang paling tinggi (Tingkat 5) dibanding wilayah lain. Letak geografi Kabupaten Kepulauan Mentawai yang jauh terpisah dari Pulau Sumatera dan berada di lautan lepas Samudera Hindia tentu sangat riskan terhadap tsunami. Wilayah lain yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia seperti Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Pasaman Barat juga memiliki potensi yang tinggi terhadap tsunami. Dari Gambar 20, wilayah tersebut masuk dalam kategori empat, sementara wilayah lainnya relatif aman (tingkat 1).

(32)

Selain gempa bumi dan tsunami, bencana banjir juga dikategorikan ke dalam resiko tingkat satu. Secara spasial tingkat bahaya banjir di Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Peta Tingkat Bahaya Banjir Provinsi Sumatera Barat.

Beberapa sungai besar yang mengalir dari arah pegunungan sebelah timur ke arah pantai di bagian barat adalah salah satu penyebabnya. Secara tradisional, perkembangan penduduk di Indonesia dimulai dari daerah pinggir sungai seperti asal usul masyarakat di Kabupaten Solok, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Dharmasraya, dan Kabupaten Agam. Lokasi yang berada pada sekitar sungai menyebabkan potensi terjadinya banjir juga besar terutama pada saat musim hujan.

Berdasarkan Gambar 21 terdapat lebih dari setengah jumlah kabupaten/kota di Sumatera Barat berkategori tingkat empat atau tinggi yaitu Kota Padang, Kota Solok, Kota Padang Panjang, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh, Kabupaten Solok,

(33)

Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Kabupaten Pasaman. Terdapat beberapa wilayah yang berstatus kota memiliki tingkat bahaya banjir tinggi, walaupun bukan dilalui oleh sungai besar, lebih diakibatkan pada kesalahan dalam sistem tata kotanya. Wilayah lain yang kategori banjirnya agak tinggi adalah Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sementara wilayah lainnya masuk dalam ketegori sedang yaitu Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Agam, Kabupaten Sijunjung, dan Kabupaten Dharmasraya. Kota Sawahlunto merupakan satu – satunya wilayah di Sumatera Barat.

Kategori tingkat risiko bencana oleh Pemerintah Sumatera Barat dibagi atas tiga, tingkat pertama selain gempa bumi, gelombang tsunami, dan banjir juga terdapat bencana non alam yaitu epidemik wabah penyakit dan penyalahgunaan narkoba. Kategori risiko tingkat kedua adalah penanggulangan bencana yang harus segera ditangani dan kategori tingkat ketiga adalah bencana yang dapat ditangani secara bertahap. Dalam analisis ini untuk ketegori tingkat kedua yang dianalisis adalah bencana longsor dan letusan gunung api, sementara bencana kategori tingkat ketiga adalah bencana kekeringan.

Peta tingkat bahaya longsor di Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 22. Kategori tertinggi untuk tingkat bahaya longsor terdapat di Kabupaten Solok, Kota Solok, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Jalur transportasi yang menghubungkan Kota Padang ke Kota Solok dan Kota Padang ke Kota Bukittinggi merupakan jalur yang paling sering terjadi longsor. Tingkat bahaya longsor di Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Solok Selatan masuk kategori tinggi atau tingkat empat. Wilayah paling aman untuk bencana longsor adalah Kota Pariaman (tingkat 1) dan Kabupaten Dharmasraya juga relatif aman (tingkat 2). Sementara untuk wilayah lainnya seperti Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung, Kota Sawahlunto, dan Kota Padang Panjang masuk kategori sedang (tingkat 3).

(34)

Gambar 22. Peta Tingkat Bahaya Longsor Provinsi Sumatera Barat.

Bencana lain dalam kategori dua di Provinsi Sumatera Barat adalah bahaya letusan gunung api. Penyebab terdapatnya beberapa wilayah yang masuk dalam kategori sangat tinggi untuk bencana gunung api ini adalah terdapatnya empat gunung api yang masih aktif yaitu Gunung Talang, Gunung Merapi, Gunung Kerinci, dan Gunung Talamau. Pada tahun 2007 yang lalu Gunung Talang sempat mengeluarkan lahar meskipun tidak menyebabkan bencana besar. Untuk waktu yang telah lama masyarakat Sumatera Barat pernah merasakan bencana yang diakibatkan oleh letusan Gunung Merapi yang menimbulkan banyak korban jiwa dan harta.

Berdasarkan Gambar 23 terlihat wilayah yang masuk kategori lima adalah wilayah yang berada pada sekitar empat gunung tersebut yaitu : Kabupaten Pasaman Barat disekitar Gunung Talamau, Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi, dan Kabupaten Tanah Datar disekitar Gunung Merapi dan Gunung Singgalang, serta Kota Solok dan Kabupaten Solok disekitar Gunung Talang. Untuk wilayah Kota Pariaman,

(35)

Kabupaten Padang Pariaman, dan Kabupaten Pasaman masuk dalam ketegori bahaya tingkat 2 karena masih ada kemungkinan akan terkena dampak dari letusan gunung tersebut sementara wilayah lainnya relatif aman (tingkat 1).

Gambar 23. Peta Tingkat Bahaya Letusan Gunung Api Provinsi Sumatera Barat. Untuk bencana kekeringan, semua kabupaten/kota yang ada di Sumatera Barat masuk dalam kategori empat yang berarti tinggi. Pada beberapa wilayah dalam skala kecil masih sering terjadi kekeringan di Sumatera Barat. Berdasarkan gambaran dari beberapa bencana yang diuraikan di atas terlihat bahwa Provinsi Sumatera Barat merupakan wilayah yang sangat berpotensi terjadinya berbagai bencana alam. Upaya yang tepat dalam melakukan mitigasi bencana perlu dilakukan agar korban jiwa dan harta dapat diminimalisir. Di sisi lain wilayah yang terkena bencana akan terkendala untuk menjalankan pertumbuhan wilayahnya sehingga wilayah tersebut akan menjadi tertinggal dengan wilayah lain yang tidak mengalami bencana.

(36)

Penggabungan dari semua jenis bencana yang dianalisis sebelumnya diperoleh skor untuk setiap wilayah kabupaten/kota yang ada seperti yang tersaji pada Tabel 30. Jumlah skor untuk setiap wilayah diperoleh dengan mengalikan nilai tingkat kerawanan bencana dengan angka tiga untuk bencana kategori 1 (gempa bumi, tsunami, banjir), angka dua untuk bencana kategori 2 (longsor dan letusan gunung api), dan angka satu untuk bencana kategori 3 (kekeringan). Jumlah skor tersebut dibagi menjadi tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa hampir seluruh kabupeten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat masuk dalam kategori tingkat kerawanan bencana yang tinggi, enam wilayah yang masuk kategori sedang dan tidak ada wilayah yang termasuk kategori rendah. Tabel 30. Tingkat Kerawanan Bencana Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat

Kabupaten / Kota Tingkatan Kerawanan Bencana Skor Kategori Gem Tsu Ban Long GA Ker

Kepulauan Mentawai 15 15 9 10 2 4 55 Tinggi

Pesisir Selatan 15 12 9 8 2 4 50 Tinggi

Solok 15 3 12 10 10 4 54 Tinggi

Sijunjung 12 3 6 6 2 4 33 Sedang

Tanah Datar 15 3 12 6 10 4 50 Tinggi

Padang Pariaman 15 12 9 6 4 4 50 Tinggi

Agam 15 12 6 6 10 4 53 Tinggi

Lima Puluh Kota 12 3 12 10 2 4 43 Sedang

Pasaman 15 3 12 6 4 4 44 Sedang

Solok Selatan 15 3 12 8 2 4 44 Sedang

Dharmasraya 9 3 6 4 2 4 28 Sedang

Pasaman Barat 15 12 6 6 10 4 53 Tinggi

Kota Padang 15 12 12 8 2 4 53 Tinggi

Kota Solok 15 3 12 10 10 4 54 Tinggi

Kota Sawahlunto 15 3 3 6 2 4 33 Sedang

Kota Padang Panjang 15 3 12 6 10 4 50 Tinggi

Kota Bukittinggi 15 3 12 10 2 4 46 Tinggi

Kota Payakumbuh 15 3 12 10 2 4 46 Tinggi

Kota Pariaman 15 12 9 2 4 4 46 Tinggi

Sumber : Hasil Analisis Keterangan :

Gem = Gempa Bumi Long = Longsor Tsu = Tsunami GA = Gunung Api Ban = Banjir Ker = Kekeringan

(37)

Secara spasial kategori tingkat kerawanan bencana pada setiap wilayah di Provinsi Sumatera Barat dapat di lihat pada Gambar 25. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa enam wilayah masuk kategori sedang adalah Kabupaten Pasmaan, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok Selatan, dan Kota Sawahlunto. Lima wilayah yang masuk kategori tingkat bencana sedang tersebut berada pada wilayah perbatasan, sementara wilayah yang memiliki tingkat bencana tinggi secara umum berbatasan dengan laut atau berada di sekitar kawasan pegunungan.

Gambar 25. Peta Tingkat Bencana Provinsi Sumatera Barat.

Sintesis Aspek Ekonomi, Infrastruktur, dan Fisik

Penggabungan antara hasil tipologi Klassen dan entropy dari sektor ekonomi, indeks perkembangan wilayah dari sektor infrastruktur dan tingkat kerawanan bencana dari faktor fisik dilakukan untuk melihat perkembangan wilayah yang terjadi

(38)

di Sumatera Barat. Hasil pada Tabel 31 menunjukkan terdapatnya disparitas antar wilayah kabupaten/kota dari kesuluruhan faktor. Berdasarkan penggabungan terlihat bahwa wilayah yang memiliki hirarki 1 masuk dalam kategori wilayah maju dan memiliki diversifikasi ekonomi yang tinggi. Kota Padang dan Kota Bukittinggi merupakan wilayah yang baik dari segi ekonomi juga memiliki infrastruktur wilayah yang lengkap. Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Pasaman, dan Kabupaten Solok Selatan karena memiliki perkembangan wilayah yang rendah (hirarki 3) dan berada pada kuadrat ke IV (terbelakang) dalam tipologi Klassen, serta memiliki diversifikasi ekonomi yang rendah (< 5 persen).

Tabel 31. Nilai IPW, Tipologi Klassen, Indeks Entropy, Sektor Unggulan, dan Tingkat Kerawanan Bencana Provinsi Sumatera Barat

Kabupaten/Kota Klassen % Entropy IPW Bencana

Kepulauan Mentawai Berkembang 2.04 hirarki 3 Tinggi

Pesisir Selatan Terbelakang 5.65 hirarki 3 Tinggi

Solok Tertekan 6.18 hirarki 3 Tinggi

Sijunjung Terbelakang 4.32 hirarki 3 Sedang

Tanah Datar Terbelakang 6.66 hirarki 3 Tinggi

Padang Pariaman Tertekan 7.72 hirarki 3 Tinggi

Agam Tertekan 7.61 hirarki 2 Tinggi

Lima Puluh Kota Maju 7.43 hirarki 3 Sedang

Pasaman Terbelakang 4.16 hirarki 3 Sedang

Solok Selatan Terbelakang 2.14 hirarki 3 Sedang

Dharmasraya Tertekan 3.80 hirarki 3 Sedang

Pasaman Barat Maju 6.99 hirarki 3 Tinggi

Kota Padang Maju 21.32 hirarki 1 Tinggi

Kota Solok Maju 1.88 hirarki 2 Tinggi

Kota Sawahlunto Berkembang 1.83 hirarki 2 Sedang

Kota Padang Panjang Tertekan 1.59 hirarki 2 Tinggi

Kota Bukittinggi Maju 3.15 hirarki 1 Tinggi

Kota Payakumbuh Tertekan 2.91 hirarki 2 Tinggi

Kota Pariaman Berkembang 2.61 hirarki 2 Tinggi

Sumber : Hasil Analisis

Tani : Pertanian Dag : Perdagangan, Hotel dan Restoran Tamb : Pertambangan dan Penggalian Akt : Pengangkutan dan Komunikasi

Ind : Industri Pengolahan Keu : Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Lgas : Listrik, Gas dan Air Bersih Jasa : Jasa-Jasa

(39)

Perbedaan dari segi ekonomi dan infrastruktur wilayah tersebut akan mengakibatkan disparitas yang tinggi antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat. Perhatian lebih perlu diberikan oleh pemerintah provinsi terhadap wilayah yang tertinggal tersebut agar disparitas yang terjadi dapat dikurangi. Sementara untuk kategori bencana di Provinsi Sumatera Barar perlu penanganan yang serius dari pemerintah daerah provinsi karena hampir seluruh wilayah kabupaten/kota yang ada masuk dalam kerentanan tinggi. Hanya terdapat enam wilayah yang memiliki tingkat kerentanan bencana kategori sedang yaitu Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, dan Kota Sijunjung.

Identifikasi Sektor Unggulan Sebagai Alternatif Upaya Mengatasi Disparitas di Provinsi Sumatera Barat

Setiap pemerintah daerah dalam era otonomi harus mampu mengoptimalkan dengan baik potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Daerah memiliki independensi dalam menentukan sektor atau komoditi yang menjadi prioritas pengembangan. Keterbatasan dana merupakan alasan utama bagi semua daerah untuk bisa menetapkan sektor prioritas dalam hal ini adalah sektor unggulan. Sektor unggulan merupakan sektor perekonomian yang diharapkan mampu menjadi penggerak utama perekonomian wilayah secara keseluruhan. Untuk menentukan apakah suatu sektor merupakan sektor unggulan bagi suatu daerah atau tidaknya, dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis Location Quotient (LQ ) untuk melihat sektor basis dan Shift Share Analysis (SSA) untuk mengetahui dekomposisi pertumbuhan ekonomi.

Sektor Basis Kabupaten/Kota di Sumatera Barat

Identifikasi sektor basis menggunakan analisis LQ dapat digunakan untuk menanggulangi disparitas yang terjadi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat. Wilayah yang banyak memiliki nilai LQ > 1 berarti memilki pilihan untuk mengembangkan sektor unggulan di wilayah tersebut. Dengan diketahuinya sektor unggulan maka masing – masing wilayah dapat mengoptimalkan sektor tersebut untuk menanggulagi ketertinggalan dari wilayah lainnya.

Gambar

Gambar 12. Indeks Williamson Sumatera Barat
Gambar 13. Indeks Theil Provinsi Sumatera Barat
Gambar 14. Peta Tipologi Klassen Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat
Tabel 13.  Eigenvalues Bidang Kependudukan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada Berita Acara Pembuktian Kualifikasi Nomor : 675/ULP-Pokja-I-JK /2016 tanggal 24 Mei 2016, pekerjaan Penyusunan Rencana Pembangunan Industri

Peneliti :He’em. Narasumber :Tapi nanti kita naik level atas, bukan komunikasi massa lagi, tapi massa komunikasi. Massa komunikasi adalah proses penyampaian pesan

Segala hormat, puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaan yang telah diberikan kepada kami, sehingga skripsi kami yang

MASYARAKAT PEMDES Puskesmas/Ranap BPD K Poktan/Pokmas PPL/Posludes Sekolah Kopdit/Bank RT/RW LembagaAdat Linmas Gereja/Biara Polindes PKK Koptan/UPH UPK/BKAD

Kentang yang cocok untuk industri keripik harus mempunyai kandungan gula &lt;0,05%, bobot kering &gt;20%, kandungan bahan padatnya tinggi ( ≥ 16,7%), bentuk umbi baik, dan

Prayitno (2013:103) menjelaskan bahwa kinerja guru BK meliputi konsep dasar BK, bidang pelayanan, jenis layanan dan kegiatan pendukung, serta aspek-aspek terkait

Penelitian juga pernah dilakukan oleh Takariani (2013) tentang pengaruh sinetron remaja di televisi swasta terhadap sikap mengenai gaya hidup hedonis pada

Wawancara dengan SB di Palangka Raya,... 123 Wawancara dengan SR di Palangka Raya,... 124 Wawancara dengan AA di Palangka Raya,... 125 Wawancara dengan Dr. SM di Palangka