• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 10, No. 2, Oktober 2010 ISSN Jurnal Agripet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume 10, No. 2, Oktober 2010 ISSN Jurnal Agripet"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

Halaman

Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah

Akhmad Sodiq 1-8

Purifikasi Imunoglobulin Yolk Pada Ayam yang Divaksin terhadap Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli

Darmawi, Ummu Balqis, Risa Tiuria, Muhammad Hambal dan Samadi 9-15 Pengaruh Pengurangan Jagung Sebagai Sumber Pati terhadap Laju Alir Pellet

Pada Proses Produksi Berkesinambungan

Yuli Retnani, Reani SyafrinaRachman dan Heri Ahmad Sukria 16-20 Pertambahan Bobot Badan dan Waktu Pembusukan Daging Ayam Broiler

yang Diberi Ekstrak Jaloh Dikombinasi dengan Kromium

Sugito, Erdiansyah R, Azhari, dan M. Isa 21-26

Penambahan Molases Untuk Meningkatkan Kualitas Amoniasi Jerami Padi dan Pengaruhnya terhadap Produk Fermentasi Rumen Secara In-Vitro

Muhamad Bata dan Nur Hidayat 27-33

Kemampuan Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum Menghambat Salmonella typhymurium Secara In Vitro

Zuraida Hanum 34-39

Pengaruh Penggunaaan Tepung Buah Mengkudu terhadap Bobot Organ Pencernaan Ayam Pedaging

Nurhayati 40-44

Kajian Potensi Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Kabupaten Aceh Besar

Samadi, Yunasri Usman dan Mira Delima 45-53

Kualitas Karkas Domba Lokal yang Diberi Pakan Jerami Padi Fermentasi dengan Suplementasi Minyak Kedelai

Peni Patriani, Juni Sumarmono dan Wardana Suryapratama 54-58 Pengaruh Imbangan Jerami Padi, Dedak Padi dan Onggok Terfermentasi

terhadap Kecernaan dan Produk Fermentasi Rumen Secara In Vitro

Suwandyastuti, Rimbawanto dan Ning Iriyanti 59-63

Volume 10, No. 2, Oktober 2010

ISSN 1411-4623

Jurnal

Agripet

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

(2)

JURNAL

Agripet

JURUSAN PETERNAKAN, FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

DARUSSALAM – BANDA ACEH

Tim Redaksi

Ketua

: Dr. Ir. Samadi, M.Sc.

Anggota

: Dr. Ir. M. Yunus Ibrahim, M.Sc.

Dr. Ir. M. Aman Yaman, M.Sc.

Dr. Ir. Yusdar Zakaria, M.S.

Dr. Ir. Agus Nashri, M.Si.

Ir. Asril M. Rur. Sc.

Ir. Sulaiman Ibrahim, M.Sc.

Ir. Cut Aida Fitri, M.Si

Administrasi dan Kesekretariatan

: Mega Husni, S.Pt

Alamat Redaksi

: Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian

Universitas Syiah Kuala

Darussalam - Banda Aceh

Telp.: (0651) 51097, 51977 Pes. 253, 4312.

Hp : 0813 8373 6633

e-mail : agripet_unsyiah@yahoo.com

Jurnal Agripet merupakan jurnal ilmu-ilmu berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan

teknologi peternakan yang dikeluarkan pertama sekali tahun 2000 oleh Jurusan Peternakan,

Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala.

Terbit 2 (dua) kali dalam setahun pada Bulan April dan Oktober.

(3)

Jurnal

Agripet

Halaman Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya

di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah

Akhmad Sodiq 1-8

Purifikasi Imunoglobulin Yolk Pada Ayam yang Divaksin terhadap Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli

Darmawi, Ummu Balqis, Risa Tiuria, Muhammad Hambal dan Samadi 9-15 Pengaruh Pengurangan Jagung Sebagai Sumber Pati terhadap Laju Alir Pellet

Pada Proses Produksi Berkesinambungan

Yuli Retnani, Reani SyafrinaRachman dan Heri Ahmad Sukria 16-20 Pertambahan Bobot Badan dan Waktu Pembusukan Daging Ayam Broiler

yang Diberi Ekstrak Jaloh Dikombinasi dengan Kromium

Sugito, Erdiansyah R, Azhari, dan M. Isa 21-26

Penambahan Molases Untuk Meningkatkan Kualitas Amoniasi Jerami Padi dan Pengaruhnya terhadap Produk Fermentasi Rumen Secara In-Vitro

Muhamad Bata dan Nur Hidayat 27-33

Kemampuan Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum Menghambat Salmonella typhymurium Secara In Vitro

Zuraida Hanum 34-39

Pengaruh Penggunaaan Tepung Buah Mengkudu terhadap Bobot Organ Pencernaan Ayam Pedaging

Nurhayati 40-44

Kajian Potensi Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Kabupaten Aceh Besar

Samadi, Yunasri Usman dan Mira Delima 45-53

Kualitas Karkas Domba Lokal yang Diberi Pakan Jerami Padi Fermentasi dengan Suplementasi Minyak Kedelai

Peni Patriani, Juni Sumarmono dan Wardana Suryapratama 54-58 Pengaruh Imbangan Jerami Padi, Dedak Padi dan Onggok Terfermentasi

terhadap Kecernaan dan Produk Fermentasi Rumen Secara In Vitro

Suwandyastuti, Rimbawanto dan Ning Iriyanti 59-63

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

(4)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

1

Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya

di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah

(Goat farming pattern and their productivity in the area of eks-karesidenan

banyumas, central java) Akhmad Sodiq1 1

Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman Jln. Dr. Soeparno, Po. Box 110, Purwokerto, Jawa-Tengah

ABSTRACT Goats play an important role in the

livelihood of rural people in upland and lowland farming systems in the areas of Eks-Karesidenan Banyumas Central Java. The main focus of this study presented in this paper, consist of (i) documenting the regional goat farming pattern, and (ii) find out the level of goat productivity in their farming. Importance of this study related to the development strategic fof their goat farming. Study was conducted in the areas of Eks-Karesidenan Banyumas Central Java (consist of Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, and Cilacap regencies). Upland and lowland areas were selected by purposive sampling method. Qualitative and quantitative descriptive statistic was applied in this study. Most of goats are raised within traditional system, characterized by small-scale production. The production in upland and lowland areas focused on single purposes for producing kid goats from Peranakan Etawah (PE) and Jawa Randu (JR)

breeds. PE goats focus on dual purposes for producing milk and meat are mostly found on upland. Flock size of PE and JR goats in upland and lowland ranges from 2 to 9 head (mean: 3.8 head) and from 1 to 6 head (mean: 2.7 head), respectively. Flock size of PE goat focus on dual purposes ranges from 8 to 75 head. PE and JR goats in upland and lowland were dominated by double litter, followed by single and triplets. The highest litter size (1.89 kids) was found in lowland, followed by single purpose of PE and JR goats in upland (1.78 kids), and dual porposes PE goats in upland areas (1.66 kids). Pre-weaning mortality was highest (9.5%) in lowland areas for single purpose of PE and JR goats. Does reproduction and productivity ranges from 1.76-5.24 kids/does/year and 12.92-87.42 kg/does/year, respectively. Doe productivity was lowest (12.92 kg/does/year) in single purpose of PE and JR at lowland due to low of their survival rate and weaning weight.

Key words: Goat farming pattern, goat productivity

2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 1-8 PENDAHULUAN1

Ternak kambing mampu berkembang dan bertahan di semua zona agroekologi dan hampir tidak terpisahkan dari sistim usaha tani (Devendra and McLeroy, 1982; Wilson, 1995). Di banyak negara berkembang, ternak kambing telah dijadikan sebagai komuditas strategis sebagai instrumen pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) oleh kelembagaan internasional. Peran ternak tersebut sangat strategis bagi kehidupan masyarakat pedesaan dan berkembang di hampir seluruh wilayah Indonesia. Ternak kambing memainkan peran yang penting sebagai sumber pendapatan dan mengurangi kemiskinan (FAO, 1999;

Corresponding author: sodiq_akhmad@hotmail.com

Devendra 2000; Sodiq, 2005) di samping itu berperan sebagai pemacu program peningkatan konsumsi protein hewani. Kontribusi ternak kambing terhadap petani adalah substansial, Sabrani dan Knipscheer (1995) melaporkan rataan sumbangan ruminansia kecil terhadap total pendapatan usaha tani sangat berarti, yaitu 17, 26 dan 14 persen masing-masing untuk dataran rendah, perkebunan karet dan dataran tinggi.

Dua tipe utama sistim produksi peternakan kambing meliputi sistim tradisional dan modern (Gatenby, 1995). Sistim integrasi tanaman dan ternak merupakan bagian integral dari usaha pertanian secara umum (Devendra, 2002) dan untuk waktu kedepan memiliki prospek dalam pemenuhan daging asal ternak

(5)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

2

ruminansia (Thomas et al., 2002). Sistim

peternakan kambing yang ditemukan di wilayah Indonesia pada umumnya termasuk kategori sistim tradisional smallholders, dan dari sisi pengembangan usaha termasuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pengembangan UMKM termasuk pada subsektor peternakan kambing, dewasa ini dirasakan semakin penting dan memiliki peranan yang sangat strategis, apalagi disaat pemerintah belum sepenuhnya mampu mengatasi berbagai dampak krisis ekonomi seperti terbatasnya kesempatan kerja serta masih banyaknya jumlah penduduk miskin. Kajian pola usaha peternakan kambing di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas yang mencakup upland dan lowland serta pencapaian tingkat produktivitasnya dibutuhkan dalam rangka penyusunan strategi pengembangan untuk meningkatkan UMKM subsektor peternakan kambing. Tujuan penelitian ini adalah mendokumentasikan pola usaha peternakan kambing beserta karakteristiknya dan mengetahui tingkat produktivitasnya.

METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas (meliputi kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap) dan ditujukan pada peternakan kambing dalam bentuk individual maupun tergabung dalam bentuk kelembagaan (kelompok). Sasaran utama penelitian ini adalah peternakan (ternak dan peternak) kambing dan masuk kategori Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Purposive Samping Method digunakan untuk penetapan lokasi penelitian dengan mempertimbangkan topografi upland dan lowland. Dilibatkan 347 peternak yang berasal dari peternak kambing Peranakan Etawah (PE) dan kambing Jawa Randu yang berada di daerah upland dan lowland. Variabel penelitian meliputi variabel pola usaha peternakan kambing beserta karakteristiknya, serta variabel kinerja produktivitas kambing mencakup litter size, preweaning mortality, doe reproduction index dan doe productivity. Digunakan analisis

deskriptif kualitatip dan kuantitatip untuk analisis data.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Usaha Peternakan Kambing

Sistim produksi ternak ruminansia termasuk kambing secara tradisional dikembangkan sebagai respon terhadap iklim dan beberapa aspek lain dari lingkungan (Gatenby, 1995). Peternakan kambing yang ditemukan di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas dikategorikan sistim tradisional dalam bentuk smallholder. Pola usaha peternakan kambing di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipologi (model) berdasarkan tujuan pemeliharaan (Sodiq, et al., 2006), yaitu: (1) Tipologi usaha untuk menghasilkan anakan (meat purpose) yaitu model usaha pemeliharaan kambing untuk memproduksi anakan (cempe) yang akan dibesarkan untuk tujuan sebagai calon bibit ataupun dibesarkan (digemukan) untuk tujuan disembelih (Tipologi Model I); (2) Tipologi usaha untuk menghasilkan daging dan susu (dual purposes) atau model kombinasi, yakni model peternakan kambing PE yang bertujuan untuk memproduksi anakan (cempe) dan juga untuk memproduksi susu (Tipologi Model II); dan (3) Tipologi usaha kambing sebagai cabang usaha tani (model integrasi) penderes gula kelapa. Model peternakan kambing PE yang diusahakan secara bersama dengan usaha pembuatan gula kelapa. Pada tipe ini peternak kambing juga berprofesi sebagai penderes nira kelapa. Tipologi usaha ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan sumber tenaga kerja yang tersedia pada keluarga petani serta mengoptimalkan fungsi lahan untuk tanaman hijauan pakan ternak disela-sela tanaman atau pinggiran areal perkebunan kelapa (Tipologi Model III).

Pada umumnya usaha peternakan kambing PE masih diusahakan untuk tujuan menghasilkan anakan (cempe) dan hanya sebagian kecil peternak yang melakukan usaha pemeliharaan kambing PE untuk tujuan penghasil anakan sekaligus penghasil susu (dual purposes). Hasil pengamatan di kabupaten Purbalingga tidak ditemukan peternak yang mengusahakan kambing PE

(6)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

3

untuk tujuan produksi susu. Di wilayah

kabupaten Banjarnegara dan Cilacap masing-masing ditemukan satu peternak yang mengusahakan kambing PE untuk tujuan produksi susu, sedangkan di kabupaten Banyumas dapat dijumpai pada dua lokasi (yaitu Purwokerto dan Gumelar) dengan jumlah peternak mencapai 15 orang. Usaha kambing perah dari jenis PE dan persilangan (kambing Sanen) dapat ditemukan di daerah tersebut.

Peternak kambing PE di wilayah Gumelar tergabung dalam suatu pengorganisasian Kelompok Tani Ternak Kambing “Peranakan Etawah Gumelar Banyumas (Pegumas)” yang memiliki anggota 32 orang dengan total populasi kambing PE mencapai 920 ekor dengan beragam umur fisiologis dan jumlah induk yang yang berproduksi sekitar 16 persen (68 ekor induk). Penampilan kambing PE pada peternakan Tipologi Model II nampak lebih baik dibandingkan penampilan kambing PE pada peternakan Tipologi Model I. Penampilan kambing dapat ditunjukkan dengan ukuran morfologis tubuh seperti tinggi pundak, panjang badan, bentuk profil muka dan panjang telinga. Kambing dewasa di peternakan kambing PE tipologi Model II (di Banyumas, Banjarnegara dan Cilacap) sebagian besar memiliki ukuran tinggi pundak lebih dari 80 cm untuk betina dewasa dan 105 cm untuk pejantan, dengan panjang telinga lebih dari 30 cm. Adapun kambing dewasa di peternakan kambing PE Tipologi Model I dan III (seperti di Purbalingga, dan Banyumas) pada umumnya memiliki ukuran tinggi pundak kurang dari 55 cm untuk betina dewasa dan sekitar 80 cm untuk pejantan, dengan panjang telinga lebih dari 25 cm.

Keragaan kepemilikan ternak pada pola usaha penghasil anakan (Tipologi Model I) maupun model integrasi (Tipologi Model III) relatip bervariasi antar peternak. Jumlah kepemilikan kambing relatip bervariasi. Kepemilikan kambing PE dan Jawa randu setiap peternak pada wilayah upland berkisar 2-9 ekor dengan rataan 3,8 ekor, sedangkan pada wilayah lowland berkisar 1-6 ekor dengan rataan 2,7 ekor.

Secara umum usaha peternakan kambing di daerah upland maupun lowland pada wilayah Eks-Karesidenan Banyumas hampir seluruhnya berupa usaha peternakan rakyat dan merupakan komponen pendukung dari sistim usaha tani. Hasil penelitian terdahulu di daerah lain oleh Djajanegara dan Setiadi (1991) dan Soedjana (1993) menunjukkan bahwa mendekati 99 persen ternak ruminansia kecil berada di tangan petani kecil dan kurang dari satu persen diusahakan secara komersial penuh. Kebanyakan ternak dipelihara oleh petani kecil di pedesaan dengan tatalaksana secara tradisional (Chaniago, 1993) dengan jumlah yang kecil (4-5 ekor per peternak) dibawah kondisi tradisional, dengan cut-and-carry feeding system, dengan penggembalaan setiap hari yang dibatasi (Djajanegara dan Setiadi, 1991). Tiga kategori sistim produksi ternak ruminansia, yaitu sistim ekstensip, sistim kombinasi arrable cropping (pinggiran jalan, sistim penggembalaan pada pangonan umum maupun lahan tanaman, tethering, cut-and-carry feeding), dan sistim integrasi tanaman dengan ternak. Di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas ditemukan berbagai pola, yaitu pada dataran rendah (wilayah Cilacap dan Purbalingga) dijumpai pola pemeliharaan ekstensip dan model tethering pada pinggiran jalan dan persawahan, serta areal lapangan dan pinggiran pantai (wilayah pesisir Cilacap). Bangsa kambing yang dipelihara pada sistim tersebut sebagian besar adalah kambing Jawa Randu.

Pertanyaan yang cukup mendasar apakah usaha ternak kambing berpeluang dikembangkan menjadi industri peternakan yang efisien. Di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas, hingga saat ini ternak kambing pada umumnya masih diusahakan secara sambilan, namun ada kecenderungan pada beberapa daerah bergeser dari usaha sambilan yang bersifat ”subsisten” menjadi cabang usaha (mix-farming) maupun menjadi skala industri peternakan kambing. UMKM peternakan kambing PE di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas masih bersifat sambilan dengan menerapkan sistim tradisional dalam bentuk usaha rumah tangga. Pada usaha skala subsisten fungsi pemeliharaan ternak kambing PE hanya sebatas sebagai tabungan

(7)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

4

yang sewaktu-waktu dapat diuangkan bila ada

keperluan mendesak. Perhitungan ekonomis termasuk biaya produksi dan tenaga kerja yang dilibatkan pada usaha tersebut belum menjadi perhatian utama. Pada tipologi Model I untuk menghasilkan anakan (meat purpose) usaha peternakan kambing cenderung masih bersifat tradisional sehingga belum memerlukan investasi dan melibatkan lembaga perbankan.

Pada tipologi Model II (usaha untuk dual purposes) atau model kombinasi yaitu model peternakan kambing PE yang bertujuan memproduksi anakan (cempe) sekaligus untuk memproduksi susu, ada kecenderungan mengarah pada cabang usaha mix-farming maupun menjadi skala industri. Hal tersebut didasari adanya perolehan tambahan keuntungan yang relatif besar dari hasil penjualan susu (sebagai daily income) disamping hasil penjualan calon bibit, cempe atau pembesaran cempe. Hasil evaluasi kelayakan usaha ternak kambing PE di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas (Sodiq et al., 2006), membuktikan bahwa usaha peternakan kambing PE sebagai ternak dual purpose (penghasil anakan dan susu) memberikan nilai keuntungan usaha yang jauh lebih tinggi dibanding dengan usaha hanya sebagai penghasil cempe. Parameter ekonomi Profitability Indeks (PI) dan Internal Rate of Return (IRR) pada usaha kambing PE sebagai ternak dual purpose (5,92 dan 105,12%) lebih tinggi dibanding hanya sebagai penghasil anakan (1,002 dan 20,05%). Oleh sebab itu usaha kambing PE dapat mempunyai nilai strategis ekonomis, membantu program pengentasan kemisikinan di pedesaan, serta berperan dalam program ketahanan pangan dengan menyediakan protein hewani berupa daging dan susu.

Untuk pengembangan UMKM peternakan kambing PE, terdapat tiga pelaku investasi dalam pengembangan agribisnis kambing yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat/komunitas peternak. Investasi pemerintah dalam agribisnis ternak kambing mencakup beberapa aspek yaitu (i) pelayanan kesehatan hewan, (ii) dukungan penyediaan bibit (pejantan) unggul dan induk berkualitas, (iii) kegiatan penelitian, pengkajian dan pengembangan yang terkait dengan aspek

pakan dan manajemen pemeliharaan, serta (iv) pengembangan kelembagaan untuk memper-cepat arus informasi, pemasaran, promosi, permodalan, dll. Kegiatan di subsistim hulu yang tidak kalah pentingnya dan perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain: (i) penyediaan infrastruktur untuk memudahkan arus barang input-output serta pemasaran produk, (ii) ketersediaan laboratorium kesehatan hewan, pakan dan reproduksi, serta (iii) penyiapan lahan usaha peternakan dan penetapan tata ruang agar pengembangan ternak tidak terganggu oleh masalah kesehatan hewan, sosial, hukum dan lingkungan.

Investasi swasta, mengacu kepada karakteristik usaha ternak kambing dan kondisi riil yang ada, maka strategi yang tepat adalah mendorong peran peternak kecil dengan tetap memberi kesempatan swasta untuk berkiprah. Kombinasi pendekatan ini dinilai ideal, mengingat keterbatasan kemampuan peter-nakan rakyat serta risiko yang dihadapi oleh pihak swasta. Dalam skala terbatas swasta dapat bergerak dalam sektor produksi (budidaya), namun secara mandiri swasta dapat bergerak di sektor hulu (usaha penyediaan calon induk, penyediaan pejantan, penyediaan semen beku, pabrik pakan mini, dll), serta di kegiatan hilir (RPH, industri pengolahan daging, susu, kulit, kompos). Usaha ternak budidaya oleh swasta dilakukan dengan pola kemitraan, peternak menghasilkan bakalan dan inti membeli untuk digemukkan atau langsung dipasarkan.

Investasi masyarakat sebagian besar berasal dari pemanfaatan aset yang telah dimiliki, atau sumber pendanaan baru yang berasal dari lembaga keuangan, bantuan pemerintah, kerjasama dengan swasta (inti) atau bantuan keluarga/kelompok. Pengem-bangan investasi jelas akan mampu menciptakan lapangan kerja baru, baik peluang untuk menjadi peternak mandiri maupun lowongan pekerjaan yang terlibat pada sektor hulu dan hilir. Investasi masyarakat untuk pengembangan agribisnis ternak kambing dapat berupa investasi sumberdaya dan produksi yang meliputi perkandangan, ternak, pakan, obat, peralatan kandang serta bahan pembantu lainnya. Sumber pembiayaan dapat berupa kredit dari perbankan ataupun dari

(8)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

5

lembaga keuangan formal lainnya serta tidak

menutup kemungkinan berasal dari lembaga keuangan non formal seperti pinjaman kelompok atau koperasi bersama. Hastuti (2004) dan Supadi dan Sumedi (2004) melaporkan bahwa aksesibilitas masyarakat desa terhadap lembaga pembiayaan formal relatif kecil, oleh karena itu diperlukan kreasi kelembagaan pembiayaan yang tepat. Sodiq (2009 dan 2010) merekomendasikan perlunya penguatan kelembagaan kelompok dengan fasilitasi teknologi untuk meningkatkan aksesibilitas penguatan modal dari perbankan yang harus didukung oleh kebersamaan dan sinergis berbagai komponen yaitu Government, Academician, Businessman-Bank, and Social Community (GABBS).

Produktivitas Ternak Kambing

Hasil pendataan terhadap 347 peternak diperoleh bahwa kepemilikan kambing PE dan Jawa Randu setiap peternak pada wilayah upland berkisar 2-9 ekor (rataan 3,8 ekor), sedangkan pada wilayah lowland berkisar 1-6 ekor (rataan 2,7 ekor). Pada pemeliharaan untuk tujuan dwi-guna penghasil cempe dan susu, kepemilikan berkisar dari 8-75 ekor. Tujuan pemeliharaan pada umumnya sebagai usaha sambilan, dan beberapa peternak sudah mengarah sebagai cabang usaha maupun usaha pokok terutama pada skala usaha di atas 50 ekor. Keragaan produktivitas yang meliputi jumlah anak sekelahiran (litter size), mortalitas cempe prasapih, indeks reproduksi dan produktivitas induk disajikan pada Tabel 1.

Jumlah anak sekelahiran berkisar dari 1-3 ekor dengan frekuensi kelahiran kembar dua cenderung lebih (59-79%), diikuti kelahiran tunggal dan kelahiran kembar tiga. Rataan jumlah anak sekelahiran pada kambing adalah1,66 ekor (PE dwi-guna di wilayah upland), serta 1,78 dan 1,89 ekor masing-masing pada kambing PE dan Jawa Randu di wilayah upland dan lowland. Jumlah anak sekelahiran induk kambing lebih tinggi dari yang didapatkan oleh Handiwirawan et al. (1996), yaitu sebesar 1,29 ekor, dan lebih rendah dari hasil penelitian Ngadiono dkk.(1984) yakni sebesar 1,56 ekor. Hasil penelitian ini mendekati laporan Astuti (1983) yakni sebesar 1,70 ekor. Jumlah anak

sekelahiran (litter size) merupakan penampilan reproduksi induk kambing lokal yang dapat dijadikan indikator kualitas atau mutu induk kambing, hal ini akan membantu program seleksi dalam usaha untuk mempercepat perbaikan performans. Sifat dewasa dini dan fekunditas (jumlah anak/bunting) dan fertilitas tinggi memberi gambaran kemampuan meningkatkan populasi.

Tabel 1. Keragaan produktivitas kambing di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas

Karakteristik Produksi Kambing PE tipe dwiguna (Upland) Kambing PE dan Jawa Randu (Upland) Kambing PE dan Jawa Randu (Lowland) Litter Size pada Saat Beranak:

 Rataan litter size (ekor)  Litter size tunggal (%)  Litter size kembar dua (%)  Litter size kembar tiga (%)

1,66 36,82 59,88 3,29 1,78 30,76 60,00 9,23 1,89 15,78 78,94 5,26

Mortalitas Cempe Prasapih:

 Rataan mortalitas prasapih (%) 6,04 7,30 9,43

Indeks Reproduksi Induk:

 Rataan (ekor/induk/tahun)  Minimal (ekor/induk/tahun)  Maksimal (ekor/induk/tahun) 2,54 1,56 5,14 2,67 1,50 5,14 2,03 0,93 3,60 Produktivitas Induk:  Rataan (kg/induk/tahun)  Minimal (kg/induk/tahun)  Maksimal (kg/induk/tahun 42,85 26,53 87,42 37,66 21,00 72,00 28,44 12,92 50,40

Induk kambing dapat beranak lebih dari satu ekor dan lamanya bunting lebih pendek dari ruminansia besar. Jumlah anak tiap kelahiran tergantung dari kemampuan betina, yakni banyaknya ovum yang masak dan jumlah telur yang dibuahi. Kemampuan ini dipengaruhi oleh sifat-sifat pembawaan (bakat), pengaruh luar (lingkungan), dan interaksinya (Hardjosubroto, 1994). Tabel 1 memperlihatkan bahwa mortalitas cempe prasapih di bawah 10 persen berkisar 6-9,4 persen. Mortalitas pra-sapih umumnya sering terjadi pada anak kambing yang lahir kembar daripada anak kambing yang lahir tunggal. Hal ini kemungkinan disebabkan anak kambing yang lahir tunggal lebih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan air susu dari induknya dibandingkan dengan anak kambing yang lahir kembar. Sedangkan Handiwirawan et al. (1996) melaporkan kematian cempe

(9)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

6

banyak ditemui pada induk kambing yang

diberi pakan dengan tingkat protein rendah (10%) dan tanpa suplementasi mineral mikro. Laju mortalitas cempe ini juga lebih rendah dibandingkan dengan laporan Setiadi et al. (1984) yaitu sebesar 34,23 persen dan Handiwirawan et al. (1996) sebesar 45 persen..

Indeks reproduksi induk atau laju reproduksi induk (LRI) merupakan gambaran kemampuan induk dalam merawat cempe sampai disapih. LRI kambing di wilayah penelitian berkisar 0,95-5,14 ekor anak sapih/induk/tahun. Rataan nilai LRI tertinggi (2,67 ekor anak sapih/induk/tahun) diperoleh pada kambing PE dan Jawa Randu di wilayah upland. Kemampuan seekor induk untuk menghasilkan bobot cempe sapihan digunakan indikator produktivitas induk (PI). Tabel 1 memperlihatkan bahwa nilai PI berkisar dari 12,92-87,42 kg cempe sapihan/induk/tahun. Rataan nilai PI tertinggi (42,85 kg cempe/induk/tahun) diperoleh pada kambing PE tipe dwi guna, diikuti oleh kambing PE dan Jawa Randu pada wilayah upland dan lowland masing-masing 37,66 dan 28,66 kg cempe/induk/tahun. Nilai PI meningkat sebagai akibat meningkatnya bobot sapih cempe, seperti pada kambing PE tipe dwiguna mampu mencapai 18 kg.

Greyling (2000) dan Marai et al. (2002) melaporkan bahwa penampilan produksi sangat ditentukan oleh interaksi faktor genetik dengan, dan pengaruh paritas sangat nyata terhadap produktivitas kambing. Hasil penelitian Ndlovu dan Simela (1996) menunjukkan bahwa akibat rendahnya laju pertumbuhan cempe dan panjangnya jarak beranak berakibat penurunan produktivitas induk dalam menghasilkan jumlah kg bobot cempe sapihan dalam periode tertentu. Rataan PI kambing meningkat sejalan peningkatan paritas hingga paritas keempat dan kelima, kemudian berangsur menurun. Steve and Marco (2001) memperlihatkan tingkat produktivitas kambing dapat berkorelasi positip dengan umur kematangan induk, dan kemampuannya menurun drastis setelah iduk berumur 9 tahun.

Beberapa upaya untuk meningkatkan LRI dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah anak sekelahiran, menurunkan laju

mortalitas prasapih dan memperpendek selang beranak. Untuk meningkatkan jumlah anak sekelahiran dapat dilakukan dengan jalan memelihara induk kambing yang sering beranak kembar. Pemeliharaan induk dengan jumlah anak kembar, harus diiringi dengan manajemen pemeliharaan yang lebih intensif untuk menekan laju mortalitas cempe prasapih. Jarak beranak dapat diperpendek dengan memperbaiki tatalaksana perkawinan, yaitu dengan mempercepat perkawinan induk kambing setelah masa involutio uteri selesai sekitar 2−3 bulan setelah induk beranak.

KESIMPULAN

Pola usaha peternakan kambing di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas diklasifikasikan menjadi tiga tipologi (model) berdasarkan tujuan pemeliharaan: (i) Tipologi usaha meat purpose yaitu model usaha pemeliharaan kambing untuk memproduksi cempe dengan tujuan calon bibit ataupun dibesarkan (digemukan) untuk disembelih, (ii) Tipologi usaha dual purposes yaitu untuk menghasilkan daging dan susu, dan (iii) Tipologi usaha kambing sebagai cabang usaha tani (model integrasi) dengan penderes gula kelapa. Tipologi usaha ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan sumber tenaga kerja yang tersedia pada keluarga petani serta mengoptimalkan fungsi lahan untuk tanaman hijauan pakan.

Kepemilikan kambing PE dan Jawa randu pada pola single purpose di wilayah upland berkisar 2-9 ekor (rataan 3,8 ekor), sedangkan pada wilayah lowland berkisar 1-6 ekor (rataan 2,7 ekor). Kepemilikan kambing pada pola dual porposes berkisar 8-75 ekor. Pada upland maupun lowland, tipe beranak didominasi oleh kelahiran kembar dua, diikuti tunggal dan kembar tiga. Rataan jumlah anak sekelahiran pada kambing PE dan Jawa Randu pola single purpose di lowland (1,89 ekor) dan upland (1,78 cempe), sedangkan pada kambing PE pola dual porposes di upland sebesar 1,66 ekor. Kematian cempe tertinggi (9,5%) terjadi di lowland. Laju reproduksi dan produktivitas induk masing-masing berkisar dari 1,76-5,24 cempe/induk/tahun dan 12,92-87,42 kg/induk/ tahun. Tingkat produktivitas induk terendah

(10)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

7

(12,92 kg/dinduk/tahun) dijumpai pada

kambing PE dan Jawa Randu di lowland disebabkan oleh rendahnya daya hidup dan pencapaian bobot sapih cempe.

UCAPAN TERIMAKASIH Tulisan ini merupakan bagian dari hasil Riset Strategis Nasional (Stranas) melalui Universitas Jenderal Soedirman. Kepada para peternak dan pengurus kelompok tani ternak kambing di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas dihaturkan terimakasih atas kerjasamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, M., 1983. Parameter Produksi Kambing dan Domba di Daerah Dataran Tinggi Kec. Tretep Kab. Temanggung. Dalam: Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Bogor, Indonesia. 22-23 Nopember 1983. pp.114-117. Chaniago, T.D., 1993. Present Management

System. In: Small Ruminant Production in the Humid Tropics, Manika Wodzicka. T., et al. (Ed.). UNS-Press, Surakarta. pp.34-50. Devendra, C., 2002. Crop–animal systems in

Asia: future perspectives. Agric. Syst. 71, 179– 186.

Devendra, C., 2000. Challenges for research and development of goats. In: Proceedings International Conferences on Goats. France, 19-21 May 2000. Devendra, C. and McLeroy, 1982. Goat and

Sheep Production in the Tropics. Intermediate Tropical Agricultural Series, Longman Group Limited, Essex, UK. 271pp.

Djajanegara, A. and Setiadi, B., 1991. Goat Production in the Asian Humid Tropics : Goat Production in Indonesia. In: Proceeding of an International Seminar Goat Production in the Asian Humud Tropics. Prince of Sankla University of Thailand. FAO, 1999. Poverty Alleviation and Food

Security in Asia: Role of Livestock. RAP Publication 1999/4. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Bangkok 10200, Thailand.

Gatenby, R.M., 1995. The Tropical Agriculturalist: Goats. Macmillan Education Ltd. London and Basingstoke. 153pp.

Greyling, J.P.C., 2000. Reproduction traits in the Boer goat doe. Small Rum. Res. 36:171-177.

Handiwirawan, E., Setiadi, B. dan Anggaeni, D., 1996. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Produktivitas Induk Ternak Ruminansia Kecil pada Kondisi Peternakan Rakyat di Kabupaten Lebak. In: Prosiding Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor.

Hastuti, LE., 2004. Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Kelembagan Pembiayaan Pertanian di Pedesaan. ICASERD Working Paper No.57. Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development. Hardjosubroto, W., 1994. Aplikasi

Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia Widiasarana Indonesia. Marai, I.F.M., Abou-Fandoud, E.I., Daader,

A.H., and Abu-Ella, A.A., 2002. Reproductive doe traits of the Nubian (Zaraibi) goats in Egypt. Small Rum. Res. 46:201-205.

Ndlovu and Simela, 1996. Effect of season of birth and sex of kid on the production of live weaned single born kids in smallholder East African goat flocks in North East Zimbabwe. Small Rum. Res. 22:1-6.

Sabrani, M. and Knipscheer, H.C., 1995. Small Ruminant for Small Farmers. Ministry of Agriculture, Agency for Agricultural Research and Development. Jakarta, Indonesia. Setiadi, B dan Sitoorus, P., 1984. Penampilan

Reproduksi dan Produksi Kambing Peranakan Etawah. In: Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil Domba dan Kambing di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

(11)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

8

Sodiq, A., 2010. Improving Livestock

Production System of Peranakan Etawah Goat Farming for Increasing Accessibility to Bank. In: Proceedings International Seminar on Prospects and Challenges of Animal Production in Developing Countries in the 21st Century, Malang, March 23-25, 2010. Sodiq, A., 2009. Aksesibiltas terhadap

Perbankan dalam Mendukung Pemba-ngunan Peternakan. Makalah Utama Sidang Pleno. Pertemuan Teknis Fungsi-Fungsi Pembangunan Peternakan, Mataram, NTB, 23-25 April 2009.

Sodiq, A., 2005. Small ruminants: Implication and research strategies on rural poverty alleviation. J. Rural Dev. 1(7):1-7. Sodiq, A., Setianto, N.A., Sumarmono, J.,

Utami, S. dan Mustaufik. 2006. Kajian Pola Pembiayaan Ternak Kambing PE dan Pengolahan Susu Kambing PE di Wilayah Eks- Karesidenan Banyumas. Final Report. Kerjasama antara BI dengan Fak. Peternakan Unsoed, Purwokerto.

Soedjana, T.D., 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia: Ekonomi Pemeliharaan Ternak Ruminansia Kecil. Sebelas Maret University Press. Surakarta Indonesia.

Steve, D.C. and Marco, F.B., 2001. Reproductive success in female mountain goats: the influence of age and social rank. Anim. Behaviour 62:173-181.

Supadi dan Sumedi, 2004. Tinjauan Umum Kebijakan Kredit Pertanian. ICASERD Working Paper No.25. Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development. Thomas, D., Zerbini, E., Rao, P.P. and

Vaidyanathan, A., 2002. Increasing animal productivity on small mixed farms in South Asia: a systems perspective. Agric. Syst. 71(1-2): 41-57

Wilson, R.T., 1995. Livestock Production System. Macmillan Education, Ltd., Paris. 141pp.

(12)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

9

Purifikasi Imunoglobulin Yolk Pada Ayam yang Divaksin terhadap

Ekskretori/Sekretori Stadium L

3

Ascaridia galli

(Purification yolk immunoglobulin of hens vaccinated against excretory/secretory

Ascaridia galli L3 larvae stage)

Darmawi1, Ummu Balqis2, Risa Tiuria3, Muhammad Hambal 4 dan Samadi5 1

Staf Pengajar Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala 2

Staf Pengajar Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala 3

Staf Pengajar Helmintologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 4

Staf Pengajar Parasitologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala 5

Staf Pengajar Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

ABSTRACT The main immunoglobulin fraction of

poultry is called IgY, in order to distinguish it from the mammalian IgG. This article focus on purification yolk immunoglobulin of hens vaccinated against excretory/secretory Ascaridia

galli larvae to obtained purity IgY. Active

vaccinations with excretory/secretory antigen were applied intra muscularly of chickens with an initial dose of 80 µg. The vaccinations were repeated three times with dose of each 60 µg with an interval of one week. The first vaccinations were excretory/secretory antigen mixed with Fruend Adjuvant Complete and subsequently mixed with Freund Adjuvant Incomplete. Antibody response in yolk was detected at weekly intervals by agar gel

precipitation test (AGPT). The chicken’s eggs were collected from 49 day after vaccinations. IgY was extracted from egg yolks by means of ammonium sulphate and purified using fast performance liquid chromatography (FPLC). The purity of anti-ekscretory/secretory IgY protein was determined by Bradford method (λ = 280 nm). The result showed that antibody in yolk was begun detect with AGPT at four weeks after vaccination. IgY concentration after purification was 0,875 ± 0.251 mg/ml. This study has shown that the product released in vitro by L3 stage A. galli is capable of stimulating

humoral immunity by mean of producing antibody through yolk as biologic manufacturer could be a good choice.

Key words: Ascaridia galli, excretory/secretory antigen, yolk Immunoglobulin

2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 9-15

PENDAHULUAN2

Kuning telur (yolk) dari ayam yang diimunisasi sudah sangat terkenal sebagai salah satu sumber antibodi. Produksi immunoglobulin yolk (IgY) dengan memanfaatkan kuning telur ayam sebagai pabrik biologis mempunyai beberapa keunggulan. Ayam memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap pemaparan antigen asing, sehingga sistem imun ayam sangat responsif dan persisten untuk produksi IgY (Hau dan Hendriksen, 2005). Keunggulan lainnya adalah IgY dapat diperoleh dari telur dengan konsisten menjaga animal welfare, tanpa harus menyakiti hewan, misalnya:

Corresponding author: d_darmawi@yahoo.com

produksi antibodi pada mencit, kelinci, kuda, dan hewan model lainnya harus menderita stres yang lama saat-saat serumnya dipanen. Jumlah IgY yang dihasilkan oleh ayam petelur juga lebih banyak dibandingkan antibodi hewan model lainnya.

Diantara tiga kelas imunoglobulin unggas (IgA, IgM, dan IgY) yang analog dengan imunoglobulin mamalia, IgY adalah imunoglobulin yang tersedia dalam jumlah yang paling banyak ditemukan pada serum dan didepositkan ke dalam kuning telur. Riset yang membuktikan kelimpahan dan kegunaan IgY yang didepositkan ke dalam kuning telur ayam dibuktikan oleh Carlander (2002), bahwa ayam yang telah diimunisasi dengan antigen Pseudomonas aeruginosa dapat menghasilkan

(13)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

10

40 – 100 mg IgY dalam setiap butir telur ayam.

Tiap-tiap butir telur dari ayam White Leghorn yang diimunisasi empat kali dengan 20 – 500 μg antigen secara subcutan mengandung 90 – 100 mg IgY, dimana 1 – 10% diantaranya adalah IgY spesifik (Haak-Frendscho, 1994).

Ada beberapa hal penting yang membedakan IgG dengan IgY, yaitu IgY lebih resisten terhadap suhu, pH dan kekuatan ion daripada IgG. Antibodi yang mirip IgG dengan rantai berat y seberat 50.000 Da tidak ditemukan pada ayam. IgY ayam tidak berikatan dengan reseptor Fc manusia dan juga tidak bereaksi dengan anti-mamalia antibodi manusia, seperti faktor rhematoid dan anti-IgG manusia (Schade et al., 1999).

Penelitian ini akan fokus pada evaluasi sifat imunogenik ekskretori/sekretori L3 A. galli sebagai pemicu respons imunitas ayam petelur, khususnya respons humoral yang berimplikasi kepada terbentuknya IgY di dalam kuning telur. Antibodi anti-ekskretori/sekretori L3 A. galli di dalam kuning telur dideteksi dengan uji agar gel precipitation test (AGPT). IgY dipurifikasi melalui kromatografi fast performance liquid chromatography (FPLC). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan IgY murni pada kuning telur dari ayam yang divaksinasi dengan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli. Diharapkan IgY murni yang diperoleh dari penelitian ini berpeluang dimanfaatkan pada kepentingan imunodiagnostik untuk mendeteksi antigen A. galli.

BAHAN DAN METODE Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan enam ekor ayam petelur jenis Hysex Brown yang dibagi atas dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari tiga ekor ayam yang tidak divaksin. Kelompok kedua terdiri dari tiga ekor ayam yang divaksin dengan 260 g ekskretori/ sekretori L3 A. galli secara intramuskular. Semua ayam dipastikan bebas dari infeksi cacing melalui pemeriksaan telur tiap gram tinja. Ayam dipelihara secara individual dalam kandang baterei yang diberi pakan komersial dan air minum secara ad libitum. Sampel yolk

diperiksa setiap minggu mulai dari satu minggu pertama praimunisasi sampai minggu keenam pascaimunisasi. IgY yang terbentuk diuji secara kualitatif dengan Agar Gel Precipitation Test (AGPT). Apabila uji AGPT sudah menunjukkan hasil positif, maka telur ayam dikoleksi untuk dilakukan purifikasi IgY melalui Fast Performan Liquid Chromatography (FPLC). Kuantitas protein IgY pada tiap-tiap tahap purifikasi dihitung mengikuti metode Bradford.

Teknik Imunisasi Menggunakan Ekskretori/ Sekretori L3 A. galli

Untuk mendapatkan ekskretori/ sekretori L3 A. galli, A. galli dipelihara secara

in vivo dan in vitro. Antigen ekskretori/sekretori dipreparasi mengikuti metode Hintz et al. (1998) seperti dijelaskan oleh Darmawi et al. (2008). Konsentrasi protein antigen ekskretori/ sekretori L3 A. galli dosis 260 g ditentukan berdasarkan uji Bradford seperti dijelaskan oleh Darmawi et al. (2009) digunakan pada penelitian ini. Vaksinasi dilakukan empat kali dalam interval waktu satu minggu setiap vaksinasi. Teknik yang digunakan adalah suntikan pertama 80 g ekskretori/sekretori larva A. galli dalam emulsi Freund’s Complete Adjuvant (FCA) yang diikuti dengan tiga kali suntikan booster (60 g/imunisasi) dalam emulsi Incomplete Freund’s Adjuvant (IFA) (Lanyi dan Bergan 2003 dan Camenisch et al. 1999). Satu minggu pertama praimunisasi sampai minggu keenam pascaimunisasi sampel kuning telur diuji dengan AGPT. Purifikasi IgY dari kuning telur dilakukan apabila hasil AGPT sudah positif.

Uji Spesifisitas IgY Secara Kualitatif: Agar

Gel Precipitation Test

Agar dibuat dengan melarutkan 0,4 g agarose (Serva, Germany) dan 1,2 g polietilin glikol (PEG 6000, Merck, Germany) ke dalam 20 ml aquadest dan 20 ml PBS 0,5 M dengan pH 7,2 (Merck). Campuran tersebut ditangas pada air mendidih sampai jernih. Agar cair tersebut dituang dengan menggunakan pipet 10 ml di atas gelas objek dan dibiarkan sampai mengeras. Lubang-lubang dibuat di atas agar dengan menggunakan alat gel puncher. Lubang tengah diisi dengan ekskretori/sekretori L3 A.

(14)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

11

galli sedangkan lubang di sekitarnya diisi dengan kuning telur yang telah diencerkan dengan PBS pada perbandingan 1 : 3. Gelas objek diletakkan di atas kertas saring basah supaya terjaga kelembabannya. Reaksi dibaca setelah 18 – 48 jam untuk melihat adanya garis presipitasi yang menunjukkan antara antibodi di dalam kuning telur dan antigen ekskretori/ sekretori L3 A. galli tersebut terjadi reaksi homolog (Lanyi dan Bergan, 2003).

Purifikasi Imunoglobulin Y (IgY) dari Kuning Telur

Purifikasi IgY dilakukan melalui Fast Performan Liquid Chromatography (FPLC) dengan alat AKTATM explorer 10S, kolom HiTrapTM IgY Purification (Amersham pharmacia biotech). Ligan (matriks) kolom mempunyai afinitas spesifik terhadap IgY yang dikemas dengan medium absorpsi thiophilic, 2-mercaptopyridine yang terikat pada spharose high performance. Semua selang pada FPLC dicuci dengan etanol 20% dan air bebas ion (mili Q) untuk menghilangkan sisa-sisa protein dan zat lainnya, menghindari kontaminan bahan yang akan dipurifikasi. Matriks dalam kolom dibilas dengan buffer K2SO4 0,5 M dalam larutan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5 (Soejoedono et al., 2005).

Kuning telur dari ayam yang telah divaksinasi dengan antigen asal L3 A. galli diencerkan dengan 9 bagian aquadest pH 5,0 – 5,2 dan diinkubasikan selama 6 jam pada suhu 4oC. Larutan disentrifus pada 10.000 g selama 25 menit pada suhu 4oC. Supernatan ditambahkan dengan amonium sulfat 60% dan disentrifus pada 10.000 g selama 25 menit pada suhu 4oC. Endapan diresuspensi menjadi ½ volume kuning telur dan didialisis selama satu malam dengan PBS pH 8,0 (Akita dan Nakai, 1992). Dialisat dilarutkan dalam buffer K2SO4 0,5 M dan dimasukkan ke dalam kolom HiTrap IgY Purification Hp 5 ml yang telah terpasang pada alat. Larutan binding (K2SO4 0,5 M dalam larutan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5) dialirkan ke dalam kolom untuk memberikan kesempatan matriks dalam kolom mengikat IgY sedangkan protein lain akan lolos dan dibuang. IgY yang terikat pada matriks dielusi dengan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5. Eluat terdeteksi oleh monitor

absorban ditandai dengan naiknya garis sampai terbentuk garis puncak. Setiap fraksi eluat ditampung ke dalam tabung pada alat fraksimeter. Fraksi eluat konsentrasi puncak diambil, dipekatkan pada volume semula dan didialis selama 24 jam dalam larutan PBS pH 8. Matriks dicuci dengan cleaning buffer propanol 30% dalam larutan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5 (Soejoedono et al., 2005).

Kuantitas Protein IgY

Kuantitas protein IgY pada tahap purifikasi pengendapan dengan ammonium sulfat, dialisis, pemekatan dengan PEG 6000, dan hasil FPLC dihitung mengikuti metode Bradford menggunakan spektrofotometer ultraviolet (UV). Sebanyak satu ml reagen Bradford dicampurkan dalam 100 μl antibodi dan diinkubasi selama lima menit. Absorban sampel ditentukan dengan pembacaan panjang gelombang 280 nm (Paryati, 2006).

HASIL DAN PENELITIAN

Uji Spesifisitas IgY Secara Kualitatif: Agar

Gel Precipitation Test

Antibodi tidak terdeteksi pada semua ayam yang tidak diimunisasi. Pada ayam yang diimunisasi, antibodi juga tidak terdeteksi sampai minggu ketiga pascaimunisasi. Antibodi terdeteksi pada minggu keempat, kelima, dan keenam pascaimunisasi berturut-turut pada satu, dua, dan tiga ekor ayam yang diimunisasi (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil uji AGPT terhadap IgY pada telur ayam Minggu (pasca-imunisasi pertama) Perlakuan Ayam tidak di

vaksin Ayam divaksin

1 2 3 1 2 3 -1 0 1 2 3 4 5 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

(15)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

12

6 - - - -

Keterangan: - = reaksi negatif, + = reaksi positif, terlihat garis presipitasi

Antigen ekskretori/sekretori stadium L3

A. galli yang digunakan pada penelitian merupakan imunogen yang baik karena terbukti dapat menggertak sistem imunitas ayam petelur yang berimplikasi pada terbentuknya IgY di dalam kuning telur pada satu, dua, dan tiga ekor ayam berturut-turut pada minggu ke-4, ke-5, dan ke-6 pascavaksinasi (Tabel 1). Seperti yang dilaporkan Darmawi et al. (2008) bahwa Harnett et al. (1997) telah membuktikan bahwa aplikasi 300 µg ekskretori/sekretori Ochocerca gibsoni jantan dewasa yang diimunisasikan 50 µg setiap hari selama 6 hari berturut-turut dapat memicu respons humoral hewan percobaan. Vaksinasi pertama dan kedua antigen diemulsikan FCA dan IFA berturut-turut. Sedangkan pada 4 kali booster selanjutnya digunakan PBS. Menurut Yoshihara et al. (1993) cairan tubuh cacing A. suum betina dewasa dapat digunakan sebagai antigen untuk mendiagnosa ascariosis pada babi melalui uji ELISA. Terbukti bahwa reaksi spesifik terjadi antara cairan tubuh cacing dengan antibodi di dalam serum babi yang diinfeksi. Fraksi protein 105 kDa dari cairan tubuh cacing dewasa bereaksi sangat spesifik dengan IgG di dalam serum babi yang diinfeksi dengan A. suum.

Pada penelitian ini, IgY yang dipicu oleh pemaparan antigen ekskretori/sekretori larva A. galli sudah terdeteksi melalui uji AGPT mulai minggu keempat pascaimunisasi (Tabel 1). Sebenarnya, antibodi anti-ekskretori/sekretori L3 A. galli mulai didepositkan ke dalam yolk mulai pada minggu kedua, dan mencapai puncaknya pada minggu kedelapan dan kesembilan pascaimunisasi yang dapat dibuktikan melalui uji enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) (Darmawi et al., 2008). Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada minggu kedua titer antibodi yang didepositkan ke dalam yolk masih rendah sehingga tidak dapat dideteksi dengan uji AGPT. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan laporan Soejoedono et al. (2005) bahwa pemaparan antigen ke dalam tubuh induk ayam akan menghasilkan antibodi spesifik terhadap

antigen yang disuntikkan. Ayam petelur yang diimunisasi dengan Streptococcus mutans, Salmonella enterotidis, dan Escherichia coli menunjukkan serum dan ekstraksi kuning telur positif mengandung IgY terhadap bakteri tersebut dua minggu pascaimunisasi.

Purifikasi Imunoglobulin Y (IgY) dari Kuning Telur

Kromatogram hasil pengujian IgY anti A. galli menunjukkan peak terbentuk pada fraksi keempat (Gambar 1).

Gambar 1. Kromatogram FPLC IgY anti-ekskretori/ sekretori A. galli

Hasil FPLC pada penelitian ini menunjukkan bahwa IgY dapat dideteksi oleh monitor absorban. Garis grafik mulai naik pada fraksi ketiga sampai terbentuk puncak (peak) pada fraksi keempat dan grafik menurun kembali pada fraksi kelima (Gambar 1). Prisip purifikasi IgY melalui FPLC adalah interaksi IgY dengan ligan dapat berlangsung akibat adanya pertukaran elektron donor dan penerimaan aksi pada ligan. Absorpsi thiofilik dikembangkan oleh struktur garam-air yang memberikan interaksi IgY dan hasil ligan dari aksi kombinasi pemberian dan penerimaan elektron dari ligan atau campuran model interaksi hidrofilik-hidrofobik antara ligan dan IgY. Teknik yang digunakan adalah FPLC dengan alat AKTATM explorer 10S, kolom HiTrapTM IgY Purification (Amersham pharmacia biotech). Ligan (matriks) kolom mempunyai afinitas spesifik terhadap IgY yang dikemas dengan medium absorpsi thiophilic, 2-mercaptopyridine yang terikat pada spharose high performance. Ikatan IgY pada matriks

(16)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

13

dapat dielusi oleh larutan NaH2PO4 20 mM pH

7,5. Eluat IgY dapat dideteksi oleh monitor absorban yang menyebabkan naiknya garis sehingga terbentuk puncak (peak). Kolum HiTrapTM IgY Purification memiliki kelebihan antara lain: didapatkan kemurnian IgY yang lebih baik, purifikasi IgY cepat dan mudah dari kuning telur, dan masing-masing column mengikat IgY dari 1-4 kuning telur. Untuk kapasitas yang lebih besar, kolum dapat dihubungkan dalam rangkaian (Amersham, 2003).

Kuantitas Protein IgY

Untuk mengetahui kuantitas protein dilakukan pemerikasaan kandungan protein IgY dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 280 nm. Sampel diambil pada tiap-tiap tahap dari empat tahapan purifikasi. Kuantitas protein IgY pada tiap-tiap tahap purifikasi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kuantitas protein kuning telur pada tiap-tiap tahapan purifikasi IgY

Tahap purifikasi Kuantitas protein

(mg/ml) Pengendapan ammonium sulfat

Dialisis Pengendapan PEG 6000 FPLC 6.936 4.685 6.74 0.875

Kuantitas protein IgY yang ditemukan pada purifikasi FPLC adalah 0,875 mg/ml (Tabel 2). Nilai tersebut diperoleh pada rata-rata volume kuning telur HySex Brown adalah 10,1 – 14,9 ml/yolk, setara dengan kuantitas protein IgY adalah 18 – 26 mg dalam setiap butir telur HySex Brown. Sebagai perbandingan, Haak-Frendscho (1994) melaporkan bahwa ayam petelur White Leghorn yang diinjeksi pada beberapa lokasi subcutan dengan 20 – 500 μg antigen yang dicampur dengan FCA dan diikuti 2-3 kali booster dapat menghasilkan 90 – 100 mg IgY, 1 -10% (1 -10 mg) diantaranya adalah IgY spesifik dalam setiap butir telur. Rollier et al. (2000) membuktikan bahwa dalam setiap butir telur yang dihasilkan oleh ayam yang diimunisasi dengan antigen Hepadnavirus

ditemukan 60 – 100 mg IgY spesifik terhadap antigen virus tersebut. Hal ini membuktikan bahwa IgY yang didepositkan ke dalam kuning telur bervariasi kuantitasnya, tergantung pada jenis antigen dan jenis ayam yang digunakan. Selain itu, respons imun terhadap antigen yang berasal dari cacing biasanya lemah bila dibandingkan dengan respons imun yang dirangsang oleh antigen yang berasal dari bakteri atau virus.

IgY mengemban fungsi yang setara dengan IgG mamalia. IgY berevolusi dan diduga menjadi cikal bakal IgG dan IgE mamalia. Namun, berdasarkan struktur fundamennya ada perbedaan antara IgG mamalia dan IgY unggas. Molekul IgY terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Rantai berat tidak memiliki engsel dan tersusun atas empat domain variabel yaitu Cv1, Cv2, Cv3, dan Cv4. IgY memiliki berat molekul ~180 kDa yang masing-masing rantai beratnya ~65-68 kDa, koefisien sedimentasi 7,8 S, dan titik isoelektrik 5,7-7,6 (Chio, 2002 dan Davalos-Patoja et al., 2000).

Penggunaan IgY yang terbentuk oleh rangsangan antigen tertentu telah diaplikasikan untuk kepentingan imunodiagnostik dan imunoterapi. Schmidt et al. (1989) telah memproduksi IgY anti-virus distemper terhadap anjing untuk kepentingan imunokimia. IgY dapat berperan lebih baik dibanding antibodi mamalia dalam imunodiagnostik, pencegahan dan pengobatan terhadap patogen pada infeksi gastrointestinal (Szabo et al., 1998). Penyakit infeksius enterik yang disebabkan oleh mikroba pada manusia dan hewan dapat diobati melalui pemberian IgY spesifik secara oral sebagai imunisasi pasif (Mine dan Kovacs-Nolan, 2002).

IgY yang didapatkan dari hasil penelitian ini diharapkan berpeluang digunakan sebagai imunodiagnostik untuk mendeteksi antigen A. galli, khususnya untuk pemeriksaan antigen yang dilepaskan ke dalam tinja (kopro antigen). Biasanya, deteksi kecacingan menggunakan sampel tinja untuk menemukan telur cacing. Metode tersebut tidak akurat manakala cacing muda belum bertelur sehingga tidak ditemukan telur di dalam tinja. IgY anti-ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli

(17)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

14

berpotensi digunakan untuk mendeteksi secara

dini keberadaan kopro antigen yang dilepaskan oleh cacing muda (larva) ke dalam tinja selama establish di dalam saluran pencernaan inang.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan:

1. Ayam yang divaksinasi dengan ekskretori/sekretori L3 A. galli dapat membentuk antibodi muali pada minggu ke-4 pascavaksinasi.

2. Antibodi yang terbentuk adalah IgY anti-ekskretori/sekretori yang dapat dipurifikasi melalui kromatografi FPLC, dan mempunyai konsentrasi protein 0,875 mg/ml.

DAFTAR PUSTAKA

Akita, E.M., Nakai, S., 1992. Immunoglobulins from Egg Yolk: Isolation and Purification. J. of Food Sci.57: 629 – 634.

Amersham. 2003. Amersham Biosciences, BioDirectory. Amersham Biosciences Ltd.

Camenisch, G., Tini, M., Chilov, D., Kvietikova, I., Srinivas, V., Caro, J., Spielmann,P., Wenger, R.H., Gassmann, M., 1999. General Applicability of Chicken Egg Yolk Antibodies: the Performance of IgY Immunoglobulins Raised Against the Hypoxia-inducible Factor 1 . J. FASEB. 13: 81-88.

Carlander, D., 2002. Avian IgY Antibody: in vitro and in vivo. Dissertation, Acta Universitatis Upsaliensis, Uppsala. Chio, V., 2002. Ducks Antibodies for IVD

Applications. IVD Technology. http://www.

decifelink.com/ivdt/archive/02/04/003. html. (20-02-2003).

Darmawi, Balqis, U., Tiuria, R., Hambal, M. dan Samadi. 2008. Kajian Titer Antibodi Pada Yolk Dari Ayam Yang

Diimunisasi Dengan Antigen Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli. Jurnal Agripet 8(2): 21– 26, Tahun 2008

Darmawi, Balqis, U., Tiuria, R., Soejoedono R.D., Pasaribu, F.H., Hambal. 2009. Konsentrasi Protein dan Penentuan Berat Molekul Ekskretori/Sekretori L3 Ascaridia galli. J. Ked. Hewan 3(1): 197 – 202.

Davalos-Patoja, L., Ortego-Vinuesa, J.L., Bastos-Gonzales, D., Hidalgo-Alvarez, R., 2000. Colloidal Stability of IgG and IgY-coated Latex Microspheres, Colloids and Surfaces B: Biointerfaces. 20(2): 165-175.

Haak-Frendscho, M., 1994. Why IgY? Chicken Polyclonal Antibody, an Appealing Alternative. Promega Notes Magazine (46): 11.

Hau, J. and Hendriksen, C.F.M., 2005. Refinement of Polyclonal Antibody Production by Combining Oral Immunization of Chickens with Harvest of Antibodies from the Egg Yolk. J. ILAR. 46(3) (online issues).

Hintz, M., Schares, G., Taubert, A., Geyer, R., Zahner, H., Stirm, S., Conraths, F.J., 1998. Juvenile Female Listomosoides sigmodontis Produce an Excretory-Secretory Antigen (Juv-p120) Highly Modified with Dimethylaminoethanol. J. of Parasitol. 171: 265-271.

Lanyi, B. and Bergan, T., 2003. Bacterial Aglutination. Method in Microbiology, 10: 93 – 168.

Mine, Y., Kovacs-Nolan, J., 2002. Chicken Egg Yolk Antibodies as Therapeutics in Enteric Infectious Disease: A Review. J. Med. Food 5: 159 – 169.

Paryati, S.P.Y., 2006. Antibodi Anti-idiotipe Sebagai Kandidat Vaksin Rabies. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Rollier, C., Charollois, C., Jamrd, C., Trepo, C., and Cova, L., 2000. Maternally Transferred Antibodies from DNA-Immunized Avians Protect Offspring

(18)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

15

Against Hepadnavirus Infection. J. of

Virol. 74(10): 4908 – 4911.

Schade, R., Henklein, P. and Hlinak, A., 1999. The Production of Avian (Egg Yolk) Antibodies: IgY. The Report and Recommendations of ECVAM Workshop 211,2. Reprinted with Minor Amendments from ATLA 24: 925 - 934.

Schmidt, P., Wiedemann, V., Kühlmann, R., Wanke, R., Linckh, E. and Lösch, U., 1989. Production of Antibodies to Canine Distemper Virus in Chicken Eggs for Immunochemistry. J. of Vet. Med. B 36: 661 – 668.

Soejoedono, R.D., Wibawan, I.W.T, dan Hayati, Z., 2005. Pemanfaatan Telur Ayam Sebagai Pabrik Biologis: Produksi ”Yolk Immunoglobulin” (IgY) Anti Plaque dan Diare dengan Titik Berat pada Anti Streptococcus mutans, Escherichia coli dan Salmonella enterotidis. Laporan Riset Unggulan Terpadu, Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.

Szabo, C.S., Bardos, L., Losonczy, S. and Kachesz, K., 1998. Isolation of Antibodies from Chicken and Quail Eggs. Presented at INABIS ’98 – 5th Internet World Congress on Biomedical Sciences at McMaster University, Canada, December 7 – 16th. http://www.mcmaster.ca/inabis98/imm unology/-szabo0509/index.html (20-11-06)

Yoshihara, S., Oya, T., Furuya, T., Goto, N.. 1993. Use of Body Fluid of Adult Female Ascaris suum as an Antigen in the Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) for Diagnosis of Swine Ascariosis. J. of Helminthol. 67: 279 – 286.

(19)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

16

Pengaruh Pengurangan Jagung Sebagai Sumber Pati terhadap Laju Alir

Pellet Pada Proses Produksi Berkesinambungan

(The effect of reduction of maize as starch source on flow rate of pellet in continous production process)

Yuli Retnani1, Reani SyafrinaRachman1 dan Heri Ahmad Sukria1 1

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT This experience was conducted to

determine effect of reduction of maize as starch source on flow rate of pellet in continuous production process. Design of the experiment used was a completely randomized design with 3 treatments and 3 replicates. The data is analyzed by using of ANOVA and if there is a significance among treatments would tested using by contrast orthogonal. The variables observed were angle of repose, loose bulk density, compacted bulk density, and flow rate. The results showed that the reduction of maize as starch source did not give the significant effect on the variable that observed. The analized angle of repose showed variation 24.200 to

25.690, loose bulk density showed variation 621.6kg/m3 to 658kg/m3, compacted bulk density showed variation 668.3kg/m3 to 676.8kg/m3, and flow rate showed variation 449.69kg/minute to 491.41kg/minute. Based on the result that the reduction of maize as starch source (corn, sorghum, menir) did not give the significant effect on flow rate of pellet and the pellet treatment with menir has the fastest pellet production time so flowability pellet from pelleter to material hadling (bucket elevator) machine is faster. As higher the values of flow rate, so the time of material movement from bin to the package is shorter.

Key words : pellet, flow rate, sorghum, broken rice and continuous production process.

2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 16-20 PENDAHULUAN3

Bahan perekat diperlukan untuk mengikat komponen-komponen bahan pakan agar mempunyai struktur yang kompak sehingga tidak mudah hancur dan mudah dibentuk selama proses pembuatannya. Salah satu contoh bahan perekat alami yang dapat digunakan dalam pakan adalah pati. Pati terdapat pada bahan-bahan sumber karbohidrat seperti jagung, sorgum dan menir.

Sorgum sebagai bahan pakan mempunyai kandungan nutrisi yang hampir sama dengan jagung. Kandungan energi, protein kasar dan pati jagung adalah 3394 kkal/kg, 8,9% dan 60-61,5%, pada sorgum adalah 3250 kkal/kg, 10% dan 70-75% (Mudjisihono, 1990). Sedangkan pada menir kandungan energi dan pati adalah 3100 kkal/kg dan 85-87,8% (Kriangsak et al., 1990). Sehingga sorgum dan menir dapat digunakan

Corresponding author:yuli.retnani@yahoo.com

dalam penyusunan ransum untuk menggantikan jagung.

Jahan et al. (2006) menyatakan bahwa pelet adalah hasil modifikasi dari mash yang dihasilkan dari pengepresan mesin pelet menjadi lebih keras. Faktor yang mempengaruhi kualitas pelet antara lain proses produksi, alat produksi dan bahan baku yang digunakan. Proses produksi pelet terdiri dari proses produksi berkesinambungan dan proses produksi terputus. Hal ini disebabkan oleh alur produksi yang berlangsung secara terus-menerus atau berkesinambungan sehingga menghindari resiko pelet rusak atau hancur pada saat pemindahan dari satu proses ke proses berikutnya seperti pada proses produksi terputus.

Proses produksi dalam suatu pabrik pakan memegang peranan penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas ransum. Kualitas fisik pakan dapat diketahui dari sifat fisik suatu bahan dan produk pakan, misalnya ransum bentuk pelet. Pembuatan pelet pada

(20)

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

17

penelitian ini menggunakan mesin pakan

dengan proses produksi berkesinambunga. Proses produksi berkesinambungan adalah proses produksi secara terus-menerus dimulai dari pemasukan bahan sampai menghasilkan suatu produk pakan melalui suatu rangkaian mesin processing. Proses produksi ini lebih efisien, menghemat waktu produksi, mencegah berkurangnya bahan baku yang akan dicampur, dapat mengurangi biaya produksi, serta mengurangi biaya pemindahan bahan dalam pabrik, biaya tenaga listrik dan biaya tenaga kerja.

Laju alir pakan adalah kecepatan aliran massa pakan dari wadah melalui lubang pengeluaran. Laju alir pakan penting diketahui dalam proses pemindahan dan pengangkutan pakan. Laju alir pakan mencakup aspek yang sangat penting dalam suatu proses produksi. Pengetahuan tentang laju alir pakan terkait erat dengan jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu (menit). Behnke (1998) dalam Briggs et al. (1999) menyatakan bahwa ransum pelet dapat meningkatkan daya alir pakan (flowability), mengurangi kehilangan pakan baik karena tercecer atau diterpa oleh angin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas fisik dan laju alir pelet pakan broiler finisher yang mengandung jagung sebagai sumber pati dan setelah substitusi 10% jagung dengan bahan sumber pati lain yaitu sorgum dan menir.

BAHAN DAN METODE Ransum Penelitian

Pembuatan formulasi ransum broiler finisher disusun berdasarkan NRC (1994) dengan kebutuhan PK 20% dan kebutuhan energi metabolis (EM) 3200 kkal/kg. Formulasi ransum dibuat dengan menggunakan metode trial and error (coba-coba). Formulasi ransum broiler finisher dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Formulasi Ransum Broiler Finisher

Bahan Pakan Perlakuan (%)

R1 R2 R3 Jagung 45 35 35 Sorgum 0 10 0 Menir 0 0 10 Pollard 7,5 7,5 7,5 CGM 13,5 13,5 13,5 Dedak padi 16 16 16 CPO 3,8 3,8 3,8 Tepung ikan 5,6 5,6 5,6 Bungkil kelapa 6,5 6,5 6,5 CaCO3 0,8 0,8 0,8 Premix 0,3 0,3 0,3 Phosphat 1 1 1 Total 100 100 100

Kandungan Zat Makanan

EM (kkal/kg) 3222 3200,3 3200,1 PK (%) 20,2 20 20 SK (%) 4,5 4,5 4,5 Ca (%) 0,9 0,9 0,9 P (%) 0,4 0,4 0,4 Metionin (%) 0,45 0,43 0,46 Lysin (%) 1 1 1 Keterangan :

R1 = ransum dengan 45% jagung

R2 = ransum dengan 35% jagung + 10% Sorgum R3 = ransum dengan 35% jagung + 10% Menir

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada evaluasi laju alir pelet ransum yang mengandung jagung dan setelah mengalami pengurangan sebesar 10% dan diganti dengan sorgum dan menir adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 perlakuan dan 3 ulangan. Penelitian pertama terdiri dari:

R1 = ransum dengan 45% jagung

R2 = ransum dengan 35% jagung + 10% Sorgum

R3 = ransum dengan 35% jagung + 10% Menir

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal (Steel dan Torie, 1993). Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah : sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan laju alir pelet.

Pembuatan Pelet

Proses pembuatan pelet diawali dengan menggiling bahan yang masih dalam bentuk bijian seperti jagung, sorgum dan menir, sementara bahan-bahan yang sudah dalam bentuk tepung tidak perlu digiling lagi. Selanjutnya bahan dimasukkan satu persatu ke dalam hopper sesuai dengan formulasi, dimulai

Gambar

Tabel  1.  Keragaan  produktivitas  kambing  di  wilayah Eks-Karesidenan Banyumas
Tabel  1.  Hasil  uji  AGPT  terhadap  IgY  pada  telur  ayam  Minggu  (pasca-imunisasi  pertama)  Perlakuan  Ayam tidak di
Gambar 1. Kromatogram FPLC IgY anti-ekskretori/
Tabel  2.  Kuantitas  protein  kuning  telur  pada  tiap- tiap-tiap tahapan purifikasi IgY
+7

Referensi

Dokumen terkait

Para ulama fiqh berbeza pandangan tentang maksud meminum arak. Menurut jumhur, istilah „minum‟ merangkumi perbuatan meminum apa sahaja bahan yang memabukkan sama ada bahan

Danton Sihombing dalam bukunya Tipografi Dalam Desain Grafis (2001) menyatakan bahwa huruf tidak hanya berguna dalam merangkai kalimat yang dapat membawa pesan

NOMOR URAIAN KEGIATAN Koef.. diameter 70 Cm ) dr Plat Almunium 2 MM dgn SCOTCHLIGHT serta Plat1. Tambahan.. diameter 90 Cm ) dr Plat Almunium 2 MM dgn SCOTCHLIGHT serta Plat

Kedua, penerimaan perilaku disfungsional mempunyai perbedaan dalam pengambilan audit judgment, artinya jika auditor menerima perilaku disfungsional maka audit judgment

Gelombang dominan datang dari barat, tegak lurus pantai sehingga di lokasi ini kemungkinan besar terjadi crosshore transport karena gelombang langsung menghantam lokasi dalam arah

Pencacahan di lapangan harus menggunakan daftar HKD-2.1, setelah dikoreksi barulah perdesaan dan juga untuk penyusunan Indeks Harga Yang Dibayar Petani Kelompok N

Guru ( review ) materi bersama siswa membuat kesimpulan serta melakukan refleksi. Refleksi hasilnya: siswa kelihatan merasa senang dan gembira saat menggunakan jari

Dalam penelitian ini, kadar glukosa tertinggi dihasilkan oleh penambahan volume enzim alfa-amilase dan gluko-amilase sebanyak 4 ml, sedangkan kadar etanol hasil distilasi