• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hewan Percobaan

Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Hewan percobaan banyak digunakan pada penelitian di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, komparatif zoologi, dan ekologi dalam arti luas. Di bidang kedokteran selain untuk keperluan penelitian, hewan percobaan juga sering digunakan untuk keperluan diagnostik (Malole & Pramono 1989). Menurut Wolfenshon dan Lloyd 2003, Hewan percobaan terdiri atas (1) hewan laboratorium berukuran kecil, seperti mencit, tikus, hamster, dan kelinci; (2) hewan domestik besar, seperti domba, babi, sapi, dan kuda; (3) karnivora, seperti anjing dan kucing; (4) primata, seperti Macaca; dan (5) hewan lainnya, seperti unggas, amphibi, dan hewan liar.

Pemilihan hewan percobaan untuk kepentingan diagnosis harus mempertimbangkan spesies dan kondisi fisiologisnya (Malole & Pramono 1989). Sebagai contoh, kelinci merupakan hewan percobaan yang paling cocok dan sering digunakan pada penelitian mengenai hiperkolesterolemia karena kelinci menyimpan lemak tubuh dalam jumlah yang besar. Berbeda dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap pakan yang mengandung kolesterol. Selain itu, primata merupakan hewan percobaan yang paling cocok untuk penelitian yang ada kaitannya dengan manusia. Hal ini dikarenakan primata memiliki kemiripan anatomis, fisiologis, dan patologis dengan manusia. Namun, banyak kendala yang ditemui dalam penggunaan primata sebagai hewan percobaan, seperti sulitnya pengadaan hewan, biaya yang tinggi, pemeliharaan yang relatif sulit, handling yang sulit, serta adanya bahaya penyakit menular (Sirois 2005).

Penggunaan hewan percobaan untuk pengujian secara in vivo biasanya menunjukkan hasil deviasi yang besar dibandingkan dengan percobaan in vitro karena adanya variasi biologis. Supaya variasi tersebut minimal, hewan percobaan

(2)

yang dipakai sebaiknya berasal dari spesies yang sama, umur dan jenis kelamin sama, serta dipelihara pada kondisi yang sama pula (Malole & Pramono 1989).

Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus. Secara garis besar fungsi dan bentuk organ serta proses biokimia dan biofisik antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan sehingga dapat diaplikasikan pada manusia (Hedrich 2006). Spesies tikus yang paling sering digunakan sebagai hewan model pada penelitian mengenai manusia maupun mamalia lain adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Rattus norvegicus memiliki ciri-ciri rambut berwarna putih dan mata berwarna merah. Berat badan umum tikus jantan dewasa berkisar 267-500 g dan betina 225-325 g. Tikus disapih sampai umur 21 hari dan memasuki usia dewasa pada umur 40-60 hari (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Menurut Malole dan Pramono (1989), keunggulan tikus putih sebagai hewan percobaan karena siklus hidupnya yang relatif pendek dan dapat berkembangbiak dengan cepat. Hewan ini berukuran kecil sehingga pemeliharaannya relatif mudah serta relatif sehat sehingga cocok untuk berbagai penelitian.

Taksonomi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Hedrich (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Myomorpha Famili : Muroidae Subfamili : Murinae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus

Rattus norvegicus mempunyai 3 galur, yaitu Sprague Dawley, Wistar, dan Long Evans. Galur Sprague Dawley memiliki tubuh yang ramping, kepala kecil, telinga tebal dan pendek dengan rambut halus, serta ukuran ekor lebih panjang daripada badannya. Galur Wistar memiliki kepala yang besar dan ekor yang

(3)

pendek. Galur Long Evans memiliki ukuran tubuh yang kecil serta bulu pada kepala dan bagian tubuh depan berwarna hitam (Malole & Pramono 1989). Pada penelitian ini, hewan percobaan yang digunakan adalah Rattus norvegicus galur Sprague Dawley. Rattus norvegicus digunakan karena memiliki saluran pencernaan tipe monogastrik dengan pola makan omnivora sama seperti manusia (Malole & Pramono 1989). Selain itu, hewan ini tidak memiliki kantung empedu sehingga perlakuan dengan cekok tidak mengakibatkan muntah (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

2.2 Organ Ginjal

Ginjal merupakan organ pada tubuh yang menjalankan banyak fungsi untuk homeostasis terutama sebagai organ ekskresi dan pengatur kesetimbangan cairan dan asam basa dalam tubuh. Ginjal memiliki variasi bentuk dan ukuran, terdapat sepasang, dan terletak di dalam rongga peritoneum secara retroperitoneal (Samuelson 2007). Ginjal diselubungi jaringan kapsul yang terbentuk dari serabut kolagen dan sedikit otot halus. Bagian medial ginjal merupakan daerah yang disebut hillus renalis, yaitu tempat masuknya pembuluh darah (arteri dan vena), pembuluh limfatik, saraf, dan keluarnya ureter. Sayatan longitudinal dari ginjal menunjukkan daerah parenkimatosa yang terbagi menjadi bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar yang berwarna merah gelap yaitu korteks, sedangkan bagian dalam yang berwarna lebih terang yaitu medulla. Unit fungsional ginjal disebut nefron (Gambar 1). Nefron terdiri dari korpuskulus renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsula Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul (Guyton & Hall 2006).

Ginjal mendapatkan suplai darah dari arteri renalis yang merupakan percabangan dari aorta abdominalis. Setelah memasuki ginjal melalui hillus renalis, arteri renalis akan bercabang menjadi arteri-arteri interlobaris yang akan mensuplai darah di antara piramida-piramida ginjal. Pada area pertemuan antara korteks dan medulla, arteri interlobaris membentuk arteri arkuata. Arteri arkuata selanjutnya bercabang menjadi arteri interlobularis. Arteri interlobularis kemudian membentuk arteriol aferen. Satu arteriol aferen membentuk sekitar 50 kapiler

(4)

yang membentuk glomerulus. Arteriol eferen meninggalkan setiap glomerulus dan membentuk jaring-jaring kapiler peritubular yang mengelilingi tubulus proksimal dan distal untuk memberi nutrisi pada tubulus tersebut dan mengalirkan zat-zat yang direabsorpsi. Selanjutnya, kapiler peritubular mengalir ke dalam vena korteks yang kemudian menyatu dan membentuk vena interlobularis. Vena arkuata menerima darah dari vena interlobularis dan bermuara ke dalam vena interlobaris yang bergabung untuk bermuara ke dalam vena renalis. Vena ini meninggalkan ginjal untuk bersatu dengan vena kava inferior (Sloane 2003).

Gambar 1 Struktur internal ginjal (Morales 2000).

Ginjal berfungsi mengatur volume dan komposisi cairan tubuh melalui proses penyeimbangan dan pengeliminasian. Ginjal mengeliminasi air, elektrolit, limbah metabolisme yang tidak berguna bagi tubuh seperti urea, asam urea, kreatinin, dan bahan-bahan lain yang berlebihan dalam tubuh (Samuelson 2007). Ginjal mengeliminasi air, elektrolit, limbah metabolisme, dan bahan-bahan berlebihan dalam tubuh melalui tiga proses utama, yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus. Darah dari arteriol aferen disaring (difiltrasi) melalui kapiler-kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman. Penyaringan darah difasilitasi oleh endotel glomerulus. Endotel ini berpori (berfenesta, bertingkap) dan sangat permeabel untuk semua substansi darah kecuali yang bermolekul besar seperti protein plasma dan sel darah merah sehingga cairan dan zat-zat hasil filtrasi (disebut filtrat glomerulus) pada dasarnya

(5)

bersifat bebas protein. Filtrat glomerulus yang dihasilkan dari proses filtrasi kemudian memasuki tubulus ginjal. Filtrat ini mengalir melalui bagian-bagian tubulus sebagai berikut tubulus proksimalis, ansa Henle, tubulus distalis, tubulus koligentes, dan akhirnya duktus koligentes sebelum diekskresikan sebagai urin. Di sepanjang jalan yang dilaluinya, sebelum menjadi urin, beberapa bahan-bahan yang masih berguna bagi tubuh direabsorpsi secara selektif di tubulus proksimalis (air, elektrolit, asam amino, gula, dan polipeptida) dan tubulus distalis (ion Na dan ion bikarbonat), kemudian dikembalikan ke dalam sirkulasi darah. Sedangkan ion K, H, dan amonium disekresikan di tubulus distalis (Guyton & Hall 2006).

Disamping menjaga keseimbangan cairan tubuh dan pembuangan limbah, ginjal mengatur tekanan darah dengan melepaskan hormon renin oleh sel-sel jukstaglomerular ke dalam sirkulasi darah (Samuelson 2007). Renin mengubah angiotensinogen protein plasma menjadi angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh enzim yang terdapat di sel endotel paru. Angiotensin II adalah hormon aktif dan vasokontriktor kuat yang mula-mula berakibat konstriksi arterial sehingga meningkatkan tekanan darah sistemik. Selain itu, angiotensin II merangsang pembebasan hormon aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron terutama bekerja pada sel-sel tubuli kontortus distal ginjal untuk meningkatkan reasorpsi ion Na dan Cl dari filtrat glomerular. Karena air secara osmotis mengikuti NaCl, maka volume cairan pada sistem sirkulasi meningkat. Hal ini menaikkan tekanan darah sistemik dan meningkatkan kecepatan filtrasi glomerular di dalam ginjal (Eroschenko 2003).

2.3 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik

Istilah probiotik pertama kali dikemukakan oleh Lilley dan Stiwel sebagai mikroorganisme hidup non-patogen yang mempunyai pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan inangnya dan berpotensi dalam pencegahan serta pengobatan penyakit. Saat ini, FAO (2002) mendefinisikan probiotik sebagai mikroorganisme hidup yang apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat memberikan manfaat kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Manfaat kesehatan dari probiotik antara lain adalah (1) pengurangan dan pencegahan diare, (2) perbaikan keseimbangan mikroba usus oleh aktivitas antimikroba, (3) pengurangan gejala

(6)

intoleransi laktosa, (3) pencegahan alergi makanan, (4) penghambatan pertumbuhan bakteri yg menyebabkan pembusukan, (5) stimulasi dari sistem kekebalan tubuh, (6) pengurangan kasus konstipasi, dan (7) pengurangan gejala dermatitis atopik pada anak (McFarland 2000, Andersson et al. 2001, Salminen 2001).

Probiotik menghambat patogen yang berbeda melalui mekanisme yang berbeda. Beberapa mekanisme probiotik dalam meningkatkan kesehatan saluran pencernaan yaitu (1) stimulasi imunitas (kekebalan), (2) kompetisi untuk memperoleh nutrisi, (3) menghambat perlekatan bakteri pada permukaan epitel usus, dan (4) produksi substansi antimikroba (Rolfe 2000).

Probiotik yang umum dipakai pada pangan komersial adalah golongan bakteri asam laktat (BAL), namun sebenarnya mikroba probiotik dapat berupa bakteri Gram negatif, khamir, dan fungi (Rolfe 2000). BAL adalah bakteri gram positif yang bersifat mikroaerofilik, tidak berspora, dan mampu memfermentasikan karbohidrat menjadi asam laktat. Untuk dapat bersifat sebagai probiotik, BAL harus memenuhi beberapa syarat yaitu (1) tahan terhadap pH rendah asam lambung, (2) stabil terhadap garam empedu dan mampu bertahan hidup selama berada dalam usus kecil, (3) memproduksi senyawa antimikroba seperti asam laktat, hidrogen peroksidase, dan bakteriosin, (4) mampu menempel pada usus, membentuk koloni, memiliki aktivitas antagonis terhadap patogen, mampu mengatur sistem daya tahan tubuh, dan mempercepat penyembuhan infeksi, (5) tumbuh baik dan berkembang dalam saluran pencernaan, (6) dapat berkoagregasi (kemampuan untuk berinteraksi antar kultur untuk saling menempel) membentuk lingkungan mikroflora yang normal dan seimbang, serta (7) aman dikonsumsi manusia (Zubillaga et al. 2000, Yan & Polk 2010).

BAL diklasifikasikan menjadi 16 genera yaitu Aerogonococcus, Alloiococcus, Dolosigranulum, Globicatella, Carbobacterium, Enterococcus, Lactococcus, Lactobacillus, Lactosphera, Leuconostoc, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vogococcus, dan Wiessela (Farida 2006). BAL yang paling sering digunakan sebagai probiotik adalah genus Lactobacillus, Bifidobacterium, dan Streptococcus. Lactobacillus dan Bifidobacterium merupakan BAL yang telah terbukti sebagai probiotik yang

(7)

memiliki pengaruh paling baik bagi kesehatan khususnya gastrointestinal pada manusia. BAL ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri enteric pathogen seperti Salmonella typhimurium, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Clostridium perfringens, dan Clostridium difficile. BAL menghambat pertumbuhan E. coli dengan cara memproduksi substansi penghambat seperti asam organik, hidrogen peroksida, dan bakteriosin. Senyawa ini tidak hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri tetapi dapat mempengaruhi metabolisme bakteri atau produksi toksin (Rolfe 2000).

2.4 Escherichia coli sebagai Bakteri Enteropatogenik (EPEC)

Bakteri enteropatogenik merupakan bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya keracunan makanan yang disebabkan oleh masuknya mikroba patogen dari makanan ke dalam saluran pencernaan manusia (menyebabkan terjadinya infeksi). Setelah masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan, bakteri enteropatogenik ini akan tumbuh, berkembang biak, dan menimbulkan penyakit seperti diare. Salah satu enteropatogenik adalah Eschericia coli (E. coli).

E. coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang, tidak berspora, dan bersifat fakultatif anaerobik (David et al. 2008). Bakteri E. coli umumnya menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan. Terdapat enam kategori E. coli penyebab diare, yaitu enteropathogenic E. coli (EPEC), enterotoxigenicE. coli (ETEC), enteroinvasiveE. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC) atau shiga toxin-producing E. coli (STEC), enteroaggregative E. coli (EAEC), dan diffusely adherent E. coli (DAEC). Strain EPEC didentifikasi sebagai bakteri yang paling sering menyebabkan diare pada anak (Araujo et al. 2007).

Tipe EPEC melekat pada mukosa usus dengan cara khusus. Pola perlekatan ini terlihat pada mikroskop elektron, disebut perlekatan “merekat erat dan bertumpu” atau perlekatan “bentuk tumpuan” ( Attachment/Effacement “A/E” lesion). EPEC melekat dengan memproduksi bundle-forming pili/BFP dan mengaktifkan type III secretion systems/T3SS (Gambar 2). Bakteri ini memindahkan reseptor untuk perlekatannya disebut Tir (translicated intimin receptor) melalui T3SS ke dalam sitoplasma sel inang. Interaksi dari Tir

(8)

mendorong terjadinya perlekatan yang sangat erat antara bakteri dan sel inang. Setelah terfosforilasi oleh kinase sel inang, maka Tir mengikat NCK, yang mengaktifkan N-WASP dan selanjutnya mengaktifkan Arp2/3 serta menyebabkan terjadinya nukleasi aktin dan pembentukan alas (pedestal) di bawah bakteri (Gambar 2).

Gambar 2 Mekanisme perlekatan EPEC pada sel inang (Reis & Horn 2010).

Perlekatan pada sel inang menyebabkan terjadinya kerusakan mikrovilli, peningkatan permeabilitas paraseluler, dan merangsang proses inflamasi. Secara histologi, pada tikus yang diinfeksi EPEC, terlihat peningkatan jumlah neutrofil pada lamina propia dengan abses pada kripta, limfosit pada intraepitel, dan sel goblet pada saluran pencernaan (Savkovic et al. 2005). Infeksi EPEC menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraseluler dan arsitektur sitoskeleton di bawah membran mikrovilli. Sel EPEC invasif dan menyebabkan inflamasi pada mukosa sel usus, sedangkan toksinnya menyebabkan diare berair (Lodes et al. 2004).

(9)

2.5 Radikal Bebas

Radikal bebas atau oksidan adalah molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Dalam upaya penstabilan diri atau pemulihan keganjilan elektronnya, elektron pada radikal bebas tersebut secara cepat ditransfer atau menarik elektron makromolekul biologis sekitarnya seperti asam lemak jenuh, protein, polisakarida, asam nukleat, dan asam deoksiribonukleat. Radikal bebas sangat diperlukan bagi kelangsungan beberapa proses fisiologis dalam tubuh terutama untuk transportasi elektron. Namun, radikal bebas yang berlebihan dapat membahayakan tubuh karena dapat merusak makromolekul dalam sel seperti karbohidrat, protein, DNA, dan sebagainya. Makromolekul yang teroksidasi akan terdegradasi dan jika makromolekul tersebut merupakan bagian dari sel atau organelnya maka akan berakibat pada kerusakan sel (Halliwell & Gutteridge 1999).

Radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh (endogenus) maupun luar tubuh (eksogenus). Menurut Hwang et al. (2005) yang termasuk ke dalam radikal bebas endogenus adalah superoksida (O-), hidroksil (OH-), hidrogen peroksida (H2O2), dan peroksinitrit yang merupakan implikasi dari disfungsi endotelial, sedangkan yang merupakan radikal bebas eksogenus adalah radiasi, asap rokok, kabut asap, emisi kendaraan, NO2 dan NO. Secara umum, radikal bebas dapat terbentuk melalui salah satu cara sebagai berikut: (i) melalui absorpsi radiasi (ionisasi, uv, radiasi sinar tampak, radiasi panas), atau (ii) melalui reaksi reduksi-oksidasi dengan mekanisme reaksi fisik ikatan homolitik atau pemindahan elektron. Berbagai proses metabolisme normal dalam tubuh dapat menghasilkan radikal bebas dalam jumlah kecil sebagai produk antara. Di dalam sel hidup radikal bebas terbentuk pada membran plasma dan organel-organel seperti mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasmik dan sitosol; melalui reaksi-reaksi enzimatik fisiologik yang berlangsung dalam proses metabolisme. Proses fagositosis oleh sel-sel fagositik termasuk neutrofil, monosit, makrofag, dan eosinofil juga menghasilkan radikal bebas yaitu anion superoksida (Rahman 2007).

Radikal bebas terpenting dalam tubuh adalah radikal derivat dari oksigen yang disebut kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen species/ROS), termasuk

(10)

didalamnya adalah triplet (3O2), tunggal (O2), anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), nitrit oksida (NO-), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorus (HOCl), hidrogen peroksida (H2O2), radikal alkoksil (LO-), dan radikal peroksil (LO-2). Radikal bebas yang mengandung karbon (CCL3-) yang berasal dari oksidasi radikal molekul organik. Radikal yang mengandung hidrogen hasil dari penyerangan atom H (H-). Bentuk lain adalah radikal yang mengandung sulfur yang diproduksi pada oksidasi glutation menghasilkan radikal thiyl (R-S-). Radikal yang mengandung nitrogen juga ditemukan, misalnya radikal fenyldiazine (Arief 2006, Rahman 2007). Menurut Gitawati (1995), salah satu radikal bebas yang banyak dipelajari dan dikenal bersifat toksik bagi sel hidup adalah radikal bebas oksigen (superoksida) dan derivatnya (radikal hidroksil).

Peningkatan radikal bebas akan menimbulkan stres oksidatif sehingga kejadian ini akan menyebabkan terjadinya penurunan antioksidan. Telah dilaporkan bahwa keadaan stres menimbulkan penurunan kandungan antioksidan copper,zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) pada hati dan ginjal tikus (Wresdiyati et al. 2002). Menurut Freisleben (2001), beberapa biomolekul yang dapat diserang radikal bebas adalah DNA/RNA, protein dan lipid (membran), dan lain-lain. Bila perubahan DNA tidak terlalu parah, maka masih bisa diperbaiki. Namun proses perbaikan DNA ini justru sering menimbulkan mutasi. Mutasi tersebut selanjutnya dapat menimbulkan kanker.

2.6 Antioksidan Cu,Zn-SOD

Antioksidan adalah senyawa atau bahan bioaktif yang dapat berfungsi untuk mencegah, menurunkan reaksi-reaksi oksidasi, memutus, menghambat, menghentikan, dan menstabilisasi radikal bebas. Antioksidan sebagai sistem perlindungan tubuh dapat dibedakan sebagai antioksidan endogen yang terdiri atas enzim-enzim seperti superoxide dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase serta antioksidan eksogen yang diperoleh dari bahan makanan seperti vitamin E dan C, thiol antioksidan (glutation, thioredoksin, dan asam lipoid), melatonin, karoten, flavonoid, dan berbagai bahan alami lain yang dapat mendetoksikasi radikal bebas (Nayak et al. 2001, Rahman 2007).

(11)

Superoxide dismutase (SOD) merupakan antioksidan endogen enzimatik yang paling efektif dalam mengkatalisis dan mengkonversi radikal bebas anion superoksida menjadi molekul oksigen dan hidrogen peroksida. SOD bekerja melalui sistem pertahanan preventif, menghambat, atau merusak proses pembentukan radikal bebas (Gurer & Ercal 2000). Dalam cairan intraseluler, SOD berperan dalam proses degradasi senyawa spesies oksigen reaktif (ROS). Spesies oksigen reaktif adalah suatu senyawa yang mempunyai bentuk dan aktivitas sebagai radikal bebas yang terdapat dalam bentuk radikal bebas maupun molekul non-radikal bebas yang mempunyai gugus oksigen reaktif. Senyawa ini cenderung menyumbangkan atom oksigen atau elektron pada senyawa lainnya.

SOD ada dalam beberapa isoform, yang berbeda dalam sifat logam aktif, komposisi asam amino, kofaktor, dan faktor penting lainnya. SOD menurut distribusinya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu sitosol Cu,Zn-SOD, mitokondria Mn-SOD, dan ekstra seluler EC-SOD (Landis & Tower 2005). Cu,Zn-SOD termasuk ke dalam jenis antioksidan primer yang berfungsi mencegah pembentukan radikal-radikal baru. Antioksidan ini mengubah radikal bebas sebelum bereaksi dengan molekul organik yang merupakan penyusun atau komponen sel menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya. Halliwell dan Gutteridge (1999) menyatakan bahwa Cu,Zn-SOD merupakan salah satu antioksidan endogen yang sangat berperan dalam mengkatalisasi radikal bebas anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen.

Dalam beberapa jaringan tubuh Cu,Zn-SOD berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap pengaruh buruk beberapa metabolisme oksigen (Fridovich 1995). Pada ginjal tikus Cu,Zn-SOD lebih banyak ditemukan pada bagian inti dan sitoplasma sel-sel tubuli renalis (tubuli distalis dan proksimalis). Tingginya kandungan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal membuktikan bahwa ginjal mempunyai tingkat konsumsi oksigen yang sangat tinggi dan sangat rentan terkena dampak langsung dari radikal-radikal bebas yang terbentuk dari metabolisme parsial oksigen. Tingginya kandungan Cu,Zn-SOD pada ginjal juga merupakan indikasi tingginya kemampuan sistem pertahanan untuk tetap mempertahankan kapasitas antioksidan agar tetap mampu mengatasi

(12)

oksidan-oksidan yang terbentuk selama proses metabolisme yang berlangsung di dalamnya maupun yang terbentuk dari luar ginjal (Wresdiyati et al. 2002).

2.7 Imunohistokimia

Imunohistokimia merupakan teknik pewarnaan untuk mendeteksi keberadaan molekul tertentu dalam jaringan dengan menggunakan prinsip reaksi antigen dengan antibodi. Teknik menggabungkan tiga jenis disiplin ilmu yaitu imunologi, histologi, dan kimia. Imunologi menyangkut reaksi antigen dan antibodi, histologi berhubungan dengan penggunaan jaringan yang digunakan dalam pewarnaan, sedangkan kimia bersangkutan dengan reaksi-reaksi kimia didalam proses pewarnaan.

Tujuan dari teknik imunohistokimia adalah identifikasi dan karakterisasi komponen bioaktif sel/jaringan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah polimer peroksidase. Teknik ini merupakan salah satu teknik terbaru dengan menggunakan dua antibodi yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder. Antibodi primer yang digunakan adalah antibodi monoklonal terhadap Cu,Zn-SOD dan antibodi sekunder yang digunakan adalah antibodi yang sudah terkonjugasi dengan peroksidase. Agar kompleks antigen-antibodi dapat divisualisasikan, digunakan senyawa yang sesuai untuk melabel kompleks dengan memberikan reaksi warna yang tegas (kromogen), yaitu DAB (3,3-diaminobenzidine) dalam tris buffer yang dicampur dengan H2O2. Pewarnaan ini memanfaatkan afinitas spesifik diaminobenzidine terhadap peroksidase. Peroksidase adalah enzim yang mengkatalis kromogen dalam rangka untuk menvisualisasikan warna pada sel-sel spesifik yang menghasilkan antibodi tertentu. Warna yang diperoleh berupa endapan warna coklat (kromoganin). Penelitian ini menggunakan polimer peroksidase dari produk DAKO. Prinsip pewarnaan imunohistokimia dengan metode polimer peroksidase dapat dilihat pada Gambar 3.

(13)

Antibodi sekunder terkonjugasi Antibodi primer Cu,Zn-SOD Antigen Jaringan

Gambar 3 Prinsip teknik imunohistokimia dengan metode polimer peroksidase.

2.8 Penelitian Pendahuluan

Arief et al. (2008) telah melakukan isolasi bakteri asam laktat (BAL) golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional di daerah bogor. Bakteri asam laktat tersebut selanjutnya diuji kemampuannya bertahan pada kondisi sesuai dengan kondisi saluran pencernaan manusia antara lain pH, garam empedu, serta aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen. Hasil penelitian pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 10 jenis bakteri asam laktat isolat indigenus yang mempunyai kemampuan bertahan pada pH asam lambung yaitu pH 2 dan pH usus 7.2 serta pada kondisi garam empedu 0.5% sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Bakteri asam laktat tersebut juga mempunyai aktivitas penghambatan yang baik terhadap tiga jenis bakteri enteropatogenik yaitu Salmonella thypimurium, E. coli, dan Staphylococcus aureus.

Bakteri asam laktat (BAL) ini juga mempunyai kemampuan bakterisidal terhadap mikroba patogen karena bakteri tersebut mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat, serta senyawa bakteriosin. Kesepuluh isolat ini layak dikatakan sebagai probiotik mengacu pada kriteria probiotik yang dikeluarkan oleh FAO (2002). Sifat fungsional lainnya telah diteliti oleh Astawan et al. (2009) yaitu mengenai kemampuan bakterisidal dari 10 isolat BAL terhadap bakteri enteropathogenic E.coli (EPEC) secara in vivo. Hasilnya didapatkan 2 spesies BAL yang mempunyai kemampuan terbaik dalam melawan EPEC, yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum. Kedua BAL inilah yang dipakai pada penelitian ini.

Gambar

Gambar 1 Struktur internal ginjal (Morales 2000).
Gambar 2 Mekanisme perlekatan EPEC pada sel inang (Reis & Horn  2010).

Referensi

Dokumen terkait

 Nyeri, menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak, tidak mampu bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan5dan minum, !emas, gelisah,

Hubungan ketiga faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai rantai yaitu setelah pakan dari lambung masuk ke usus selanjutnya diikuti dengan produksi enzim protease dan pada

- Struktur gedung beraturan dapat direncakan terhadap pembebanan gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana dalam arah masing- masing sumbu utama denah struktur

Ayam bekisar, kampung, bangkok, kate, dan G.varius memiliki waveform yang terdiri atas 2 elemen yaitu suara depan (I st waveform) dan suara belakang (2 nd waveform) yang

Dimana setiap karakter yang ditransmisikan atau frame berisi informasi tambahan (redundant) sehingga bila penerima tidak hanya dapat mendeteksi dimana error terjadi,

Adapun kegiatan pokok dalam CIRC untuk memecahkan soal cerita meliputi rang- kaian kegiatan bersama yang spesifik, yakni: (1) salah satu anggota kelompok membaca atau beberapa

Berikut disajikan jumlah permintaan tambahan feronikel yang dapat dilayani oleh KM Sinar Mulia I pada tahun 2012 – 2017 (tahun historis) dan tahun 2018 – 2023 (tahun

Hasil penelitian ini juga diperlukan adanya perhatian dari Kepala Kantor Pentanahan Kabupaten Pangandaran dalam memberikan motivasi kepada para pegawai dengan