• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pathway

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pathway"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH SISTEM PENCERNAAN

MAKALAH SISTEM PENCERNAAN

“ASKEP LABIO PALATO SKIZIS”

“ASKEP LABIO PALATO SKIZIS”

DosenPembimbing :

DosenPembimbing :

Suratmi, S.Kep.Ns.M.Kep

Suratmi, S.Kep.Ns.M.Kep

Di SusunOleh : Kelompok 5/4A Keperawatan

Di SusunOleh : Kelompok 5/4A Keperawatan

NamaAnggota :

NamaAnggota :

Anik retnosari Anik retnosari Afif mardiyanto Afif mardiyanto Dwi rohmaningsih Dwi rohmaningsih Nasyiatul aisiyah Nasyiatul aisiyah Nailatin Asyifa Nailatin Asyifa Septy kartikasari Septy kartikasari Trully eko s Trully eko s Wisnu aditama Wisnu aditama

PRODI SI KEPERAWATAN

PRODI SI KEPERAWATAN

STIKES MUHAMMADIYAH LAMONGAN

STIKES MUHAMMADIYAH LAMONGAN

TAHUN AJARAN 2013/2014

TAHUN AJARAN 2013/2014

(2)

KATA PENGANTAR  KATA PENGANTAR 

Puji syukur kehadirat Allah Maha Rahman, atas segala rahmat dan Puji syukur kehadirat Allah Maha Rahman, atas segala rahmat dan karunia- Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini.

 Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Shol

Sholawaawatultulloh loh waswassalsalamuamuhu hu semsemoga oga abadabadi i tak tak henthenti i tertercurcurah ah kehkehadiadiratrat  baginda al-musthofa yang telah mengantarkan kita pada zaman yang lebih baik.

 baginda al-musthofa yang telah mengantarkan kita pada zaman yang lebih baik. Makalah yang berjudul

Makalah yang berjudul“Askep Labiopalatoskizis ”“Askep Labiopalatoskizis ”ini di susun berdasarkanini di susun berdasarkan tug

tugas as yanyang g dibdiberierikan kan dosdosen en pempembimbimbinbing g matmata a kulkuliah iah SisSistem tem PencPencernernaan aan 3 3 padpadaa  program

 program studi studi S1-Keperawatan S1-Keperawatan di di STIKES STIKES Muhammadiyah Muhammadiyah Lamongan. Lamongan. DenganDengan harapan mahasiswanya memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sebagai cara untuk  harapan mahasiswanya memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sebagai cara untuk  menambah wawasan dan membuka cakrawala berfikir agar tidak menjadi manusia menambah wawasan dan membuka cakrawala berfikir agar tidak menjadi manusia yang ketinggalan zaman.

yang ketinggalan zaman.

Dan tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada : Dan tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada :

 Drs. H.Budi Utomo, Amd.Kep., M.Kes. selaku ketua Drs. H.Budi Utomo, Amd.Kep., M.Kes. selaku ketua STIKESSTIKES

 Arifal Aris, S.Kep., Ns, M.Mkes. selaku Ka. Prodi S1-KeperawatanArifal Aris, S.Kep., Ns, M.Mkes. selaku Ka. Prodi S1-Keperawatan

 Suratmi, M.Kep selaku dosen pembimbing mata kuliah Sistem PencernaanSuratmi, M.Kep selaku dosen pembimbing mata kuliah Sistem Pencernaan

 Dan Dan semsemua ua pihpihak ak yang yang menmenyisyisihkihkan an wakwaktuntunya ya memmembantbantu u menmenyelyelesaesaikaikann makalah ini, baik itu berupa bantuan moral maupun spiritual.

makalah ini, baik itu berupa bantuan moral maupun spiritual. Sega

Segala la krikritik tik dan dan sarsaran an yang yang berbersifsifat at memmembangbangun un sansangat gat kamkami i harharapkaapkann seb

sebagaagai i evalevaluasuasi i penypenyusuusunan nan makmakalaalah h yang yang akan akan datdatangang. . SemSemoga oga makmakalaalah h iniini  bermanfaat bagi mahasiswa, dosen, dunia pendidikan kesehatan pada umumnya.

 bermanfaat bagi mahasiswa, dosen, dunia pendidikan kesehatan pada umumnya.

Lamongan,mei 2013 Lamongan,mei 2013 Penyusun Penyusun            

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...1 1.2. Rumusan Masalah... ...2 1.3. Tujuan Penulisan... ... 2 1.4. Metode Penulisan... ...3 1.5. Sistematika Penulisan...3 1.6. Manfaat Penulisan... ...3 BAB II : PEMBAHASAN 2.1. Definisi labiopalatoskizis... ...6 2.2. Etiologi labiopalatoskizis... ...6 2.3. ManifestasiKlinik labiopalatoskizis... ..7 2.4. Patofisiologi labiopalatoskizis... ...7 2.5. Penatalaksanaan labiopalatoskizis...8 2.7. Pathway labiopalatoskizis... ...9

BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN 3.1. Pengkajian... ...10 3.2. Diagnosa Keperawatan...13 3.3. Intervensi...15 BAB IV : PENUTUP 4.1. Kesimpulan... ...19 4.2. Saran ...21 DAFTAR PUSTAKA...22

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital  berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik untuk menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosisi  pre - ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu

misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin. Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embrional dan fetaI dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan. Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor   penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga

dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.

(5)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa definisi dari Labiopalatoskiziz? 2. Bagaimana etiologi labiopalatoskizis? 3. manifestasi klinik labiopalatoskizi

4. Bagaimana patofisiologi labiopalatoskizis? 5. Bagaimana penatalaksanaan labiopalatoskizis? 6. Bagaimana Pathway tumor abiopalatoskizis

7. Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan abiopalatoskizis?

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1. Tujuan Umum :

Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pembuatan makalah mata kuliah Sistem Neurobehaviour serta mempresentasikannya.

1.3.2. Tujuan Khusus :

Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah : 1. Untuk memahami definisi dari labiopalatoskizis 2. Mengetahui etiologi labiopalatoskizis

3. Dapat mengetahui manifestasi klinik labiopalatoskizis 4. Memahami patofisiologi labiopalatoskizis

5. Mengetahui penatalaksanaan labiopalatoskizis

6. Mengetahui dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan labiopalatoskizis

(6)

Makalah ini disusun dengan melakukan studi pustaka dari berbagai buku referensi dan internet.

1.4. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari makalah ini adalah BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari : latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan dan manfaat penulisan. BAB II PEMBAHASAN, dan BAB III ASUHAN KEPERAWATAN, BAB IV PENUTUP terdiri dari kesimpulan dan saran.

1.5. Manfaat Penulisan

1. Mengetahui penyebab dan proses perjalanan penyakit labiopalatoskizis 2. Mampu membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan labiopalatoskizis

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alami terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi  berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik untuk menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosisi pre/- ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air  ketuban dan darah janin.

Kelainan kongenital pada bayi baru lahir dapat berupa satu jenis kelainan saja atau dapat pula berupa beberapa kelainan kongenital secara bersamaan sebagai kelainan kongenital multipel. Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa waktu setelah kelahiran bayi. Sebaliknya dengan kermajuan tehnologi kedokteran, kadang- kadang suatu kelainan kongenital telah diketahui selama kehidupan fetus. Bila ditemukan satu kelainan kongenital besar pada bayi baru lahir, perlu kewaspadaan kemungkian adanya kelainan kongenital ditempat lain. Dikatakan  bahwa bila ditemukan dua atau lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan ditetemukannya kelainan kongenital besar di tempat lain sebesar 15% sedangkan bila

(8)

ditemukan tiga atau lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan ditemukan kelainan kongenital besar sebesar 90%.

2.2 Angka kejadian

Angka kejadian kelainan kongenital yang besar berkisar 15 per 1000 kelahiran angka kejadian ini akan menjadi 4-5% biIa bayi diikuti terus sampai berumur 1 tahun. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (I975-1979), secara klinis ditemukan angka kejadian kelainan kongenital sebanyak 225 bayi di antara 19.832 kelahiran hidup atau sebesar 11,6I per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan (1977-1980) sebesar 48 bayi (0,33%) di antara 14.504 kelahiran  bayi dan di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (1974-1979) sebesar 1.64dari 4625 kelahiran bayi. Angka kejadian dan jenis kelainan kongenital dapat berbeda- beda untuk berbagai ras dan suku bangsa, begitu pula dapat tergantung pada cara  perhitungan besar keciInya kelainan kongenital.

2.3 Etiologi

Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embryonal dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor  genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan.

Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital antara lain:

1) Kelainan Genetik dan Khromosom.

Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang  bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan

(9)

kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutya.

Dengan adanya kemajuan dafam bidang teknologi kedokteran, maka telah dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh kelainan khromosom autosomai trisomi 21 sebagai sindroma Down (mongolism) kelainan  pada kromosom kelamin sebagai sindroma Turner.

2) Faktor mekanik 

Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ tersebut. Faktor   predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya

deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes  pada kaki seperti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus

(clubfoot)

3) Faktor infeksi.

Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi  pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam  pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada trimesrer pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester   pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan  pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan. Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan  pertumbuhan pada system saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau

(10)

4) Faktor Obat

Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital  pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dapat menimbulkan kelainan

kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya  fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti. Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-kadang sukar  dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya pada  pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau prepaat hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik- baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.

5) Faktor umur ibu

Semakin tua usia ubu semakin beresiko terjadinya kelainan bawaan. Telah diketahui bahwa mongolisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Di bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo pada tahun 1975-1979, secara klinis ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100 kelahiran hidup dan ditemukan resiko relatif  sebesar 26,93 untuk kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka keadaan yang ditemukan ialah 1: 5500 untuk kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1: 600 untuk  kelompok ibu berumur 35-39 tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40 - 44 tahun dan 1 : 15 untuk kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.

6) Faktor hormonal

Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.

(11)

7) Faktor radiasi

Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk  keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan, khususnya pada hamil muda.

8) Faktor gizi

Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi  protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan

kejadian &elainan kongenital.

2.4 Macam-Macan kelainan konginetal :

1. Labio/ Palato Skizis

a) Definisi

Labioskizis / Palatoskisis adalah merupakan konginetal anomali yang  berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah.

Celah bibir ( Bibir sumbing ) adalah suatu ketidaksempurnaan pada  penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat dibawah

hidung.

Celah langit adalah suatu saluran abnormal yang melewati langit-langit mulut dan menuju ke saluran udara di hidung.

 b) Patofisiologi

• Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau

(12)

• Kegagalan bibir sumbing adalah terbelahnya / bibir dan atau hidung

karena kegagalan proses nasal medial dan maksilaris untuk menyatu selama masa kehamilan 6 – 8 minggu.

• Palato Skisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang

disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7 – 12 minggu.

• Penggabungan komplit garis tengah atau bibir antara 7 dan 8 minggu

masa kehamilan. c) Manifestasi Klinis

• Pada labio skisis

1. Distorsi pada hidung

2. Tampak sebagian atau keduanya 3. Adanya celah pada bibir 

• Pada palato skisis

1. Tampak ada celah pada tekak (uvula) 2. Adanya rongga pada hidung

3. Distorsi hidung

4. Teraba ada celah / terbakarnya langit-langit saat diperiksa dengan jari.

5. Kesukaran dalam menghisap atau makan

d) Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan tergantung pada beratnya kecacatan.

2. Prioritas pertama adalah pada teknik pemberian nutrisi yang adekuat. 3. Mencegah komplikasi

4. Fasilitas pertumbuhan dan perkembangan

5. Pembedahan : pada labio sebelum kecacatan palato : perbaikan dengan  pembedahan usia 2 – 3 hari atau sampai usia beberapa minggu  prosthesis intra oral atau ekstraoral untuk mencegah kolaps maxilaris, merangsang pertumbuhan tulang, dan membantu dalam

(13)

 perkembangan bicara dan makan, dapat dilakukan sebelum  pembedahan perbaikan.

6. Pembedahan pada palato dilakukan pada waktu 6 bulan dan 5 tahun, ada juga antara 6 bulan dan 2 tahun, tergantung pada derajat kecacatan. Awal fasilitas penutupan adalah untuk perkembangan bicara.

2. Omphalokel dan Gastroskizis

a. Definisi

secara bahasa berasal dari bahasa yunani omphalos yang berarti umbilicus=tali pusat dan cele yang berarti bentuk hernia. Omphalokel diartikan sebagai suatu defek sentral dinding abdomen pada daerah cincin umbilikus (umbilical ring) atau cincin tali pusar sehingga terdapat herniasi organ-organ abdomen dari cavum abdomen namun masih dilapiasi oleh suatu kantong atau selaput. Omphalocele juga dapat diartikan sebagai kantong bening tidak berpembuluh darah yang terdiri dari lapisan  peritoneum dan lapisan amnion pada pangkal tali pusat. Jadi, omfalokel adalah penonjolan dari usus atau isi perut lainnya melalui akar pusar yang hanya dilapisi oleh peritoneum (selaput perut) dan tidak dilapisi oleh kulit.

Gastroskisis adalah keluarnya usus dari titik terlemah di kanan umbilikus dimana usus akan berada di luar rongga perut tanpa dibungkus  peritoneum dan amnion. Jadi Gastroskisis adalah bentuk amfolokel yang

mengalami ruptur.

 b. Patofisiologi

Pada janin usia 5 - 6 minggu isi abdomen terletak di luar embrio. Pada usia 10 minggu akan terjadi pengembangan lumen abdomen sehingga usus dari ekstraperitonium akan masuk ke rongga perut. Bila proses ini terhambat, maka akan terjadi kantong di pangkal umbilikus yang berisi usus, lambung, dan kadang hati. Dinding yang tipis, terdiri dari lapisan  peritoneum dan lapisan amnion yang keduanya kering sehingga isi kantong tampak dari luar, keadaan ini disebut omfalokel. Bila usus keluar dari titik 

(14)

terlemah di kanan umbilikus, usus akan berada di luar rongga perut tanpa dibungkus peritorium dan amnion, keadaan ini disebut gastroskisis.

c. Manifestasi Klinis

• ketebalan dinding perut yang lokasinya biasanya di sebelah kanan

umbilikus.

• Usus yang keluar dari lubang abdomen memperlihatkan tanda-tanda

 peritonitis kimia sebagai akibat pengeluaran cairan amnion.

• Usus menjadi tebal, pendek dan kaku dengan edema yang jelas di

dinding usus.

• Peristaltis tidak ada.

• kadang-kadan terjadi iskemik karena puntiran kelainan fascia. • Usus tampak pendek.

• rongga abdomen janin menjadi sempit.

• Pada anak memperlihatkan gambaran udara sebagai hasil dilatasi

 perut dan usus kecil bagian proksimal, isi intra abdominal normal  jelas terlihat dengan kelainan, yang mana herniasi terjadi pada periode  post natal.

d. Penatalaksanaan

• Pemasangan sonde lambung dan pengisapan yang kontinu untuk 

mencegah distensi usus-usus yang mempersulit pembedahan.

• Pemberian cairan dan elektrolit/kalori intervena.

• Antibiotika dengan spektrum luas secara intravena dan pra bedah.

• Suhu dipertahankan secara baik.

• Pencegahan kontaminasi usus-usus dengan menutup kasa steril

(15)

• Tindakan bedah.

3. Atresia esofagus

a. Definisi

Atresia esofagus termasuk kelompok kelainan kongenital yang terdiri atas gangguan kontinuitas esofagus dengan atau tanpa hubungan persisten dengan trakea. Pada penyakit ini, terdapat suatu keadaan dimana bagian  proksimal dan distal esofagus tidak berhubungan. Pada bagian atas esofagus mengalami dilatasi yang kemudian berakhir sebagai kantung dengan dinding muskuler yang mengalami hipertrofi yang khas memanjang sampai pada tingkat vertebra torakal segmen 2-4. Bagian distal esofagus merupakan bagian yang mengalami atresia dengan diameter yang kecil dan dinding muskuler  yang tipis. Bagian ini meluas sampai bagian atas diafragma).

 b. Patofisiologi

Beberapa teori menjelaskan bahwa masalah pada kelainan ini terletak   pada proses perkembangan esophagus. Trakea dan esophagus berasal dari embrio yang sama. Selama minggu keempat kehamilan, bagian mesodermal lateral pada esophagus proksimal berkembang. Pembelahan galur ini pada  bagian tengah memisahkan esophagus dari trakea pada hari ke- 26 masa

gestasi.

Kelainan notochord, disinkronisasi mesenkim esophagus dan laju  pertumbuhan epitel, keterlibatan sel neural, serta pemisahan yang tidak 

sempurna dari septum trakeosofageal dihasilkan dari gangguan proses apoptosis yang merupakan salah satu teori penyebab embryogenesis atresia esophagus. Sebagai tambahan bahwa insufisiensi vaskuler, faktor genetik,

(16)

defisiensi vitamin, obat-obatan dan penggunaan alkohol serta paparan virus dan bahan kimia juga berkontribusi pada perkembangan atresia esophagus.

Berdasarkan pada teori-teori tersebut, beberapa fektor muncul menginduksi laju dan waktu pertumbuhan dan froliferasi sel pada proses embrionik sebelumnya. Kejadian ini biasa terjadi sebelum 34 hari masa gestasi. Organ lainnya seperti traktus intestinal, jantung, ginjal, ureter dan sistem masculoskeletal, juga berkembang pada waktu ini, dan organ-organ tersebut tidak berkembang secara teratur dengan baik.

c. Manifestasi Klinis

• Secara umum atresia esofagus harus dicurigai pada pasien dengan :

• kateter yang digunakan untuk resusitasi pada waktu lahir tidak bisa

dimasukkan ke dalam lambung,

•  bayi mengeluarkan sekresi mulut yang berlebihan,

• tersendak, sionosis, atau batu pada waktu berupaya menelan makanan.

d. Penatalaksanaan

• Pada prabedah, pasien ditengkurapakan untuk mengurangi kemungkinan

isi lambung masuk ke paru-paru,

• Kantong esofagus harus secara teratur dikosongkan dengan pompa untuk 

mencegah aspirasi sekret.

•  pengendalian suhu, fungsi respirasi, dan pengelolaan anomaly penyerta. • Foto thoraks dapat mengevaluasi abnormalitas skeletal, malformasi

kordiovaskular, pneumonia dan lengkung aorta kanan. Foto abdomen  bertujuan mengevaluasi abnormalitas skeletal, obstruksi intestinal dan malrotasi. Foto thoraks dan abdomen biasanya sudah mencukupi,  penggunaan kontraks tidak terlaku sering dibutuhkan untuk 

mengevaluasi atresia esofagus.

(17)

4. Atresia Ani

a. Definisi

Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak  adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya.

 b. Patofisiologi

Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik 

Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.

(18)

• Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran. • Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.

• Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya. • Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada

fistula).

• Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

• Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal. • Perut kembung. (Betz. Ed 7. 2002)

d. Penatalaksanaan

Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti  perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12  bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan  pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang  pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel.

(19)

SKEMA PATOFISIOLOGI Penumpukan sekret Terbelahnya  palatum Ketidaksempurnaan  pembentrukan rongga hidung Bersihan jalan nafas tidak  efektif   Nutrisi kurang dari kebutuhan Kegagalan menghisap ASI Kemampuan menghisap lemah Terbelahnya bibir  Kegagalan penyatuan  prosessus Nasal Medial

dan maksilaris Lobioskizis

Kegagalan perkembangan jaringan lunak dan tulang pada trimester 1

Infeksi (rubella, etyomegali virus, toxcoplasma) Predisposisi (genetic, hormonal, factor obat) Palatoskizis Ansietas Resiko infeksi Pada hidung Pembedahan

Pada bibir 

Kegagalan penyatuan susunan palato

Kurang  pengetahuan

(20)

ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN 1. Biodata

Dijumpai pada bayi baru lahir / bulan / tahun, lingkungan tempat tinggal orang tua dekat dengan bahan toksik (periode fusi kedua). Rasio bayi laki-laki dan perempuan 6 : 4.

2. Keluhan Untama

Ibu pasien mengatakan Pasien mengalami tersedak berulang kali

3. Riwayat kesehatan

1) Prenatal

Adanya satu atau lebih faktor predisposisi terjadinya labio /  palatoskisis antara lain toksisitas selama kehamilan, misal : rubella,  pecandu alkohol, terapi fenitoin, genetik, minimum obat / jamu, upaya. 2) Post Natal

Kondisi labio / palatoskisis adanya riwayat kesulitan dalam proses manipulasi meneteki, mudah tersedak, distress pernafasan, dipsnea.

4. Pemeriksaan fisik 

• Pemeriksaan TTV

(1) Suhu : Demam tinggi (2) Nadi : Takikardi (3) TD : Meningkat (4) RR: Meningkat

• Pemeriksaan Head to Toe

(1) Kepala, leher : Rambut tipis, menkilat, tipis, wajah tampak   pucat.

(2) Mata : sklera mata putih, konjungtiva merah muda, (3) Telinga: bersih.

(21)

(4) Hidung : adanya celah, penumpukan sekret. (5) Mulut : adanya celah,

(6) Paru-paru

Inspeksi: terdapat tarikan intercostae,simetris,takhipnea Palpasi : tidak ada krepitasi

Perkusi: Suara paru sonor pada semua lapang paru Auskultasi: suara nafas vesikuler 

(7) Jantung

Inspeksi: tidak ada pembesaran Palpasi : teraba ictus kordis Perkusi: bunyi jantung pekak  Auskultasi : irama gallop,murmur  (8) Abdomen :

Inspeksi: bulat datar 

Auskultasi: bising usus 35 x/ menit Palpasi : hepar dan lien tak teraba Perkusi: suara perut timpani

(9) Ekstrimitas : jumlah jari 10

5. Pemeriksaan penunjang Rontgen Sonde

(22)

1. nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh atau tidak efektif dalam mendeteksi ASI berhubungan dengan ketidakmampuan menelan / kesukaran dalam makan sekunder dan kecacatan dan pembedahan.

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan mengeluarkan sekresi sekunder dan palato skisis, efek anastesi.

3. Resiko Infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan

4. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan tehnik pemberian makan dan perawatan di rumah

3. PERENCANAAN

Dx 1:

nutrisi kurang dari kebutuhan atau tidak efektif dalam meneteki ASI berhubungan dengan ketidakmampuan menelan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan …x 24 jam nutrisi yang adekuat dapat dipertahankan.

Kriteria hasil :

- Orang Tua klien mampu mengetahui dalam memenuhi kebutuhan nutrisi anaknya.

- Orang tua pasien mengatakan bahwa ada peningkatan untuk  memenuhi kebutuhan nutrisi.

- Pasien dapat menghabiskan susu yang diberikan - Adanya peningkatan berat badan

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji kemampuan menelan dan menghisap

mengidentifikasi makanan yang masuk  adekuat.

(23)

2. Gunakan dot botol yang lunak dan  besar atau dot khusus dengan lubang yang sesuai untuk pemberian minuman.

menurunkan resiko cidera pada area mukosa palato skisis

3. Tempatkan dot pada samping bibir  mulut bayi dan usahakan lidah mendorong makan / minuman ke dalam

.

memberi kemudahan pemasukan nutrisi adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolic

4. Berikan posisi tegak lurus atau semi duduk selama makan.

membantu mempermudah jalannya makanan masuk ke dalam saluran  pencernaan

5. Tepuk punggung bayi setiap 15 ml minuman yang diminum, tetapi  jangan diangkat dot selama bayi

masih menghisap

membantu memfokuskan jalannya makanan ke dalam saluran pencernaan.

6. Berikan makan pada anak sesuai dengan jadwal dan kebutuhan

makanan yang masuk disesuaikan dengan kebutuhan tubuh.

7. Jelaskan pada orang tua tentang  prosedur operasi; puasa 6 jam;  pemberian infus dan lainnya.

memberikan pengetahuan dasar untuk  membuat pilihan berdasarkan informasi tentang pembedahan.

(24)

8. Prosedur perawatan setelah operasi, rangsangan untuk menelan atau menghisap, dapat menggunakan jari- jari dengan cuci tangan yang bersih atau dot sekitar mulut 7 – 10 hari;  bila sudah toleran berikan minuman  pada bayi dan minuman atau makanan lunak untuk anak sesuai dengan diitnya.

mengoptimalkan pengobatan tepat untuk   penyembuhan.

Dx 2:

Bersihkan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan jadwal kebutuhan mengeluarkan sekresi sekunder dari plato skisis.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan ...x 24 jam jalan nafas efektif. Kriteria hasil :

- RR : 40-60 x/mnt

- Orang tua pasien mengetahui cara mengurangi resiko infeksi pasca  pembedahan

- Orang tua pasien mampu mendemonstrasikan cara mengurangi infeksi - Tidak ada tanda-tanda infeksi

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji status pernafasan selama  pemberian makanan

 berguna dalam evaluasi derajat kesulitan kemampuan menelan menghisap

2. Gunakan dot agak besar, rangsang hisap dengan sentuhan dot pada bibir 

mengontrol nutrisi yang masuk adekuat

3. Perhatikan posisi bayi pada saat memberi makanan; tegak atau setengah duduk.

membantu penelanan dan penurunan resiko aspirasi

(25)

4. Beri makan secara perlahan mencegah resiko tersedak dan infeksi

5. Lakukan penepukan punggung setelah pemberian minum

meningkatkan proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi.

6. Rubah posisi sesuai kebutuhan atau 2  jam sekali setelah pembedahan untuk 

memudahkan drainage

 peninggian kepala mempermudah fungsi  pernafasan

7. Lakukan isap lendir bila perlu menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan pengumpulan lendir 

8. Bersihkan mulut setelah minum / makan

menghilangkan partikel makanan dan menurunkan resiko infeksi

DX 3:

Resiko Infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan

Tujuan : Setelah di lakukan tindakan ...x 24 jam klien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi sesudah operasi

Kriteria hasil :

1. Tidak ada tanda-tanda infeksi 2. Luka tampak bersih, kering 3. Tidak oedema

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji tanda-tanda infeksi, termasuk  drainage, bau dan demam

identifikasi dini dan pengobatan infeksi dapat mencegah komplikasi lebih serius

2. Lakukan perawatan luka dengan hati-hati dengan menggunakan tehni steril

(26)

3. Perhatikan posisi jahitan, hindari  jangan kontak dengan alat-alat tidak 

steril misalnya alat tenun dan lainnya.

meningkatkan penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi dengan mempertahankan garis jahitan bersih dan utuh.

4. Monitor keutuhan jahitan kulit mengontrol perkembangan kesembuhan

5. Hindari gosok gigi pada anak kira-kira 1 – 2 minggu.

melindungi jaringan mulut dari cedera.

6. Perhatikan perdarahan, edema, dan drainage

kondisi vaskuler jaringan meningkatkan resiko perdarahan

DX 4: Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan tehnik pemberian makan dan perawatan di rumah

Tujuan : orang tua dapat memahami metode pemberian makan pada anak.

Krieria hasil :

- Orang tua mengetahui cara pemberian makanan dirumah

- Orang tua pasien mengatakan bisa memberi nutrisi sesuai anjuran - Orang tua dapat mampu mendemonstrasikan cara peberian

makanan dirumah - Berat badan meningkat

Intervensi Rasional 1. Jelaskan prosedur operasi sebelum dan

sesudah operasi.

memberikan pengetahuan dasar  untuk membuat pilihan  berdasarkan informasi tentang  perawatan selanjutnya dan

hasil. 2. Ajarkan pada orang tua dalam perawatan

anak; cara pemberian makan / minum dengan alat, mencegah infeksi, dan

membantu dalam penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi

(27)

mencegah aspirasi, pada posisi saat  pemberian makan / minum, lakukan  penepukan punggung, bersihkan mulut

setelah makan.

BAB III

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Labioskizis / Palatoskisis adalah merupakan konginetal anomali yang  berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah. Patofisiologi Kegagalan  penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama fase embrio pada trimester pertama. Kegagalan bibir sumbing adalah terbelahnya /  bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nasal medial dan maksilaris

untuk menyatu selama masa kehamilan 6 – 8 minggu. Pada Palato Skisis kegagalan penyatuan palatum pada masa kehamilan 7 – 12 minggu. Penggabungan keduanya 7 dan 8 minggu masa kehamilan. Manifestasi Klinis Pada labio skisis :Distorsi pada hidung, Tampak sebagian atau keduanya, Adanya celah pada bibir. Pada palato skisis :Tampak ada celah pada tekak  (uvula), Adanya rongga pada hidung, Distorsi hidung, Teraba ada celah / terbakarnya langit-langit saat diperiksa dengan jari, Kesukaran dalam menghisap atau makan

Penatalaksanaan : Penatalaksanaan tergantung pada beratnya kecacatan. Prioritas pertama adalah pada teknik pemberian nutrisi yang adekuat, Mencegah komplikasi, Fasilitas pertumbuhan dan perkembangan, Pembedahan

(28)

4.2. Saran

Kepada seluruh pembaca baik mahasiswa, dosen pembimbing, tenaga kesehatan, masyarakat, maupun instansi kesehatan untuk melakukan pencapaian kualitas keperawatan secara optimal sebaiknya proses keperawatan selalu dilaksanakan secara berkesinambungan karena perawatan tidak kalah pentingnya dengan pengobatan karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa perawatan yang sempurna maka penyembuhan yang diharapkan tidak tercapai. Oleh sebab itu perlu adanya penjelasan atau promosi kesehatan pada seluruh lapisan masyarakat mengenai manfaat serta pentingnya kesehatan terutama pada  pembahasan materi ini yaitu penyakit Labiopalatoskizis serta perawatannya.

DAFTAR PUSTAKA

Yuliani, Rita, Suriadi, (2001), Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi I , Jakarta : CV. Sagung Seto.

 Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit , Jakarta : EGC.

Adele Pilliteri, Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak , EGC, Jakarta.

Cecily L. Betz. Linda, Linda A. Sowden,  Buku Saku Keperawatan Pediatri, EGC, Kedokteran : Jakarta, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Penyatuan sel telur dan sel sperma → pembuahan → embrio → perkembangan bayi dalam rahim → bayi. o Mengetahui calon bayi

Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon,

Penyebab abortus merupakan gabungan dari beberapa faktor yaitu, kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, Kelainan pada plasenta, Penyakit ibu, Kelainan Traktus

Kontak kulit bayi dengan kulit ibu dan bayi menyusu sendiri segera setelah lahir dalam satu jam pertama kehidupan sangatlah penting, karena dada ibu menghangatkan bayi dengan

Pada bayi baru lahir dengan kelainan atresia esofagus, dengan atau tanpa fistula esofagus, merupakan kelainan kongenital yang sering muncul yang perlu dipertimbangkan oleh

Lama Rawatan Rata-rata Bayi dengan Kelainan Kongenital Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Dr..

Pada manusia, menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi- bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan

namun demikian bayi dengan hipotiroidisme kongenital yang pada saat lahir lebih ringan, dapat mempunyai kelainan fungsi tiroid yang menetap dibandingkan