• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah

Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan ekonomi suatu negara. Terdapat kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah. Kesenjangan ekonomi antar wilayah sering menjadi permasalahan serius karena beberapa daerah dapat mencapai pertumbuhan ekonomi cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan lambat. Hal ini dapat memicu migrasi penduduk dari wilayah terbelakang ke wilayah maju sehingga timbul permasalahan sosial ekonomi di wilayah maju. Selain itu, kemajuan perekonomian yang tidak sama di setiap wilayah dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik antar wilayah. Apabila dibiarkan semakin parah, dapat mengganggu kestabilan perekonomian negara

Secara teoritik, permasalahan kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat dijelaskan menggunakan Hipotesis Neoklasik. Penganut Hipotesis Neoklasik menyatakan pada permulaan proses pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai kesenjangan tersebut mencapai titik puncak. Bila proses pembangunan berlanjut, maka secara berangsur-angsur kesenjangan ekonomi antar wilayah akan menurun. Hal tersebut dikarenakan pada waktu proses pembangunan baru dimulai di NSB, peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang

(2)

kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedang daerah yang tertinggal tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas SDM. Karena pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan maka kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Keadaan yang berbeda terjadi di negara maju dimana kondisi daerahnya umumnya dalam kondisi yang lebih baik dari segi sarana dan prasarana serta kualitas SDM. Dalam kondisi demikian, setiap peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Akibatnya, proses pembangunan pada negara maju akan mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah.

Bort (1960) menjadi pelopor yang mendasarkan analisisnya pada teori ekonomi Neoklasik, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi pada suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi ditentukan pula oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antar daerah. Bort menyatakan pada awal pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Hal ini disebabkan mobilitas faktor produksi (modal dan tenaga kerja) kurang berjalan lancar. Dampaknya modal dan tenaga kerja akan terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah melebar (divergen). Bila pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya fasilitas maka mobilitas faktor produksi semakin lancar sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah akan berkurang (convergen). Kondisi tersebut dapat digambarkan dalam kurva kesenjangan ekonomi antar wilayah yang berbentuk U terbalik.

(3)

Kesenjangan ekonomi antar wilayah

Pembangunan nasional Sumber: Sjafrizal (2008)

Gambar 2.1 Kurva U terbalik

Kebenaran Hipotesis Neoklasik ini diuji kebenarannya oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang kesenjangan ekonomi antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesis Neoklasik yang diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak otomatis menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi sebaliknya (Sjafrizal, 2008).

2.2 Indikator Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah

Tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat diukur menggunakan perhitungan indeks ketimpangan regional Williamson. Istilah indeks Williamson muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur kesenjangan ekonomi antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang. Secara statistik, indeks Williamson ini adalah coefficient of variation yang biasa digunakan untuk mengukur perbedaan. Indeks ini menggunakan PDRB per kapita sebagai data

(4)

dasar karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antar kelompok. Hal yang dipersoalkan bukan antara kelompok kaya dan miskin, tetapi antara daerah maju dan terbelakang.

Dari indeks Williamson dapat diketahui kesenjangan ekonomi antar wilayah yang terjadi semakin melebar atau berkurang. Jika semakin tinggi nilai indeks Williamson, berarti kesenjangan ekonomi antar wilayah semakin besar, dan sebaliknya. Batasan untuk tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah, yaitu: CVw < 0,35 = Kesenjangan taraf rendah

0,35 ≤ CVw ≤ 0,5 = Kesenjangan taraf sedang CVw > 0,5 = Kesenjangan taraf tinggi

Apabila kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara masih tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi, maka harus segera dicari solusi untuk mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi tersebutkarena apabila kesenjangan ekonomi antar wilayah dibiarkan semakin tinggi, dapat menimbulkan konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik yang mengancam rasa persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan dapat mengganggu kestabilan perekonomian negara.

2.3 Strategi Mengatasi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah

Adanya indikasi kesenjangan ekonomi antar wilayah menandakan terdapat beberapa daerah yang lebih cepat tumbuh, sedangkan beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan ekonomi lambat. Dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah tersebut, maka pemerintah dapat menyusun prioritas untuk lebih membangun daerah-daerah yang tertinggal. Oleh karena itu perlu adanya identifikasi wilayah mana saja yang masuk dalam kategori daerah yang tertinggal.

(5)

Setelah diketahui daerah-daerah tertinggal. Kemudian dilakukan analisis faktor-faktor yang mampu memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal tersebut. Sehingga pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat untuk memajukan perekonomian daerah-daerah yang tertinggal tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang sudah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat dikurangi.

2.3.1 Klassen Typology

Identifikasi wilayah dapat dilakukan menggunakan alat analisis Klassen Typology yang membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat karateristik daerah yang berbeda, yaitu:

1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income)

Merupakan daerah yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari rata-rata seluruh daerah. Pada dasarnya, daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang paling maju, baik dari segi tingkat pembangunan maupun kecepatan pertumbuhan. Pada umumnya daerah tersebut mempunyai potensi pembangunan yang sangat besar dan telah dimanfaatkan secara baik untuk kemakmuran masyarakat.

2. Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth)

Merupakan daerah-daerah yang memiliki pendapatan per kapita tinggi, tetapi dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan ekonomi daerahnya menurun. Walaupun wilayah ini telah maju tetapi di masa mendatang diperkirakan pertumbuhannya tidak akan begitu cepat.

(6)

3. Daerah berkembang cepat (high growth but low income)

Merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan yang sangat besar tetapi masih belum diolah dengan baik. Walaupun tingkat pertumbuhan ekonominya sangat tinggi, namun tingkat pendapatan per kapita yang mencerminkan tahap pembangunan yang telah dicapai masih relatif rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Wilayah ini diperkirakan akan mampu berkembang dengan pesat untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah maju. 4. Daerah relatif tertinggal (low growth and low income)

Merupakan daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah yang berada di bawah rata-rata. Ini artinya, baik tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah ini masih rendah. (Sjafrizal, 1997).

Setelah dilakukan analisis Klassen Typologi dapat diidentifikasi wilayah mana saja yang tergolong daerah tertinggal. Wilayah tersebut harus mendapat perhatian dan penanganan khusus dari pemerintah dalam penetapan kebijakan pembangunan ekonomi sehingga daerah tertinggal dapat mengejar ketertinggalan dari daerah maju. Perlu juga dilakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan supaya kesenjangan ekonomi antar wilayah tidak semakin melebar.

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Todaro (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar.

(7)

Model pertumbuhan Neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing return) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow memakai asumsi skala hasil tetap (constant return to scale). Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow diasumsikan bersifat eksogen yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Model pertumbuhan Neoklasik Solow menggunakan fungsi produksi agregat standar, yakni :

Y = AeμtKα L1-α

Dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja non terampil, A adalah suatu konstanta yang merefleksikan tingkat teknologi dasar, sedangkan eμ melambangkan konstanta tingkat kemajuan teknologi. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap modal (atau persentase kenaikan GDP yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia). Hal itu biasanya dihitung secara statistik sebagai pangsa modal dalam total pendapatan nasional suatu negara. Karena α diasumsikan kurang dari 1 dan modal swasta diasumsikan dibayar berdasarkan produk marjinalnya sehingga tidak ada ekonomi eksternal, maka formulasi teori pertumbuhan Neoklasik ini memunculkan skala hasil modal dan tenaga kerja yang terus berkurang (diminishing returns). Menurut model pertumbuhan ini, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan investasi), serta penyempurnaan teknologi (Todaro, 2006).

(8)

Bebrapa faktor yang diduga mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, antar lain:

a. Sumber Daya Manusia

Input sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan perekonomian. Menurut Todaro (2006), pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Pengaruh positif atau negatif dari pertumbuhan penduduk tergantung pada kemampuan sistem perekonomian daerah dalam menyerap dan memanfaatkan pertambahan tenaga kerja yang dipengaruhi oleh tingkat akumulasi modal dan tersedianya input dan faktor penunjang seperti kecakapan manajerial dan administrasi.

Menurut BPS (2010), penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 15 tahun ke atas, dibedakan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja dikatakan bekerja bila mereka melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam secara kontinu selama seminggu yang lalu. Sedangkan penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan disebut menganggur. Jumlah tenaga kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang tersedia maka akan meningkatkan total produksi di suatu daerah.

Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan, ataupun indikator-indikator lainnya. Rata-rata lama sekolah (RLS)

(9)

merupakan komponen yang mewakili tingkat pendidikan penduduk. Teori Human Capital mengemukakan pentingnya tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain penundaan penerimaan penghasilan, orang yang melanjutkan pendidikan harus membayar biaya. Namun, setelah tamat dari pendidikan yang ditempuhnya, sangat diharapkan orang tersebut dapat mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dan berjuang pada pertumbuhan ekonomi di daerahnya (Todaro, 2006).

Sedangkan angka harapan hidup (AHH) sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal meningkatkan kesejahteraan penduduk di bidang kesehatan (BPS, 2008). Tingkat kesehatan yang rendah akan berdampak pada produktivitas penduduk tidak maksimal. Harapan hidup yang lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan (Todaro, 2006). Tingkat pendidikan yang baik dibarengi dengan tingkat kesehatan yang baik akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

b. Belanja Modal

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat.Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran menyatakan bahwa Y = C + I + G + (X-M). Variabel Y melambangkan pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variabel-variabel diruas kanan disebut permintaan agragat. Variabel G melambangkan pengeluaran pemerintah (government expenditures). Dengan membandingkan nilai G terhadap Y, serta mengamati dari waktu ke waktu dapat

(10)

diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan permintaan agregat atau pendapatan nasional dan seberapa penting peranan pemerintah dalam perekonomian nasional.

Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja modal untuk pembangunan dari pemerintah daerah. Belanja modal (BM) terdiri dari belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta jalan, irigasi, dan jaringan. Alokasi belanja modal untuk pengembangan infrastruktur penunjang perekonomian akan mendorong produktivitas penduduk yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan penduduk.

c. Infrastruktur

Infrastruktur merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan suatu daerah. Adanya fasilitas transportasi dapat membuka keterisolasian suatu daerah sehingga dapat menggerakan perekonomian daerah tersebut dengan lancarnya transaksi perdagangan ke daerah lain. Ketersediaan listrik, air, dan telekomunikasi memungkinkan peningkatan produktivitas nilai tambah bagi faktor-faktor produksi (Prahara, 2010).

2.4 Penelitian Terdahulu

Supriyantoro (2005) menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah. Periode penelitian ini adalah tahun 1993-2003. Metode yang digunakan yaitu indeks Williamson berdasarkan data PDRB per kapita daerah yang dikelompokan berdasarkan pembagian sepuluh wilayah pembangunan di Provinsi Jawa Tengah.

(11)

Tabel 2.1 Indeks Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993- 2003 Tahun CVw 1993 0,2864 1994 0,2991 1995 0,3018 1996 0,3129 1997 0,3182 1998 0,2830 1999 0,2828 2000 0,2787 2001 0,2808 2002 0,2768 2003 0,3427 Sumber: Supriyantoro, 2005

Hasil penelitian menunjukkan pada periode penelitian tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah tergolong rendah yang dilihat dari nilai CVw yang kecil. Namun, dari tahun ke tahun ketimpangan pendapatan antarkabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah mengalami perkembangan yang kurang baik karena nilai ketimpangan pendapatan antar wilayah tersebut cenderung meningkat.

Fabia (2006) menganalisis dampak otonomi daerah terhadap kondisi ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Periode tahun penelitian ini adalah tahun 1995, tahun 2001, dan tahun 2004. Metode yang digunakan yaitu analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda dengan PDRB per kapita tahun analisis sebagai variabel dependen dan PDRB per kapita tahun dasar dan tingkat pendidikan sebagai variabel independen. Hasil penelitian menunjukkan pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Hal ini dilihat dari nilai koefisien regresi lebih kecil dari nol. Hasil uji menunjukkan otonomi daerah berpengaruh positif terhadap peningkatan konvergensi pendapatan dan menurunnya ketimpangan pendapatan

(12)

antar kabupaten/kota di Pulau Sumatera. PDRB per kapita tahun dasar signifikan mempengaruhi PDRB per kapita tahun analisis sedangkan tingkat pendidikan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan kurang mempengaruhi peningkatan konvergensi pada konvergensi bersyarat.

Satrio (2009) menganalisis ketimpangan pendapatan antar pulau di Negara Indonesia. Periode penelitian ini adalah tahun 1996-2006. Metode yang digunakan yaitu indeks Williamson, trend ketimpangan, analisis korelasi dan koefisien determinan. Hasil penelitian yaitu ketimpangan pendapatan antar pulau di Indonesia tergolong taraf rendah dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,210 sampai 0,261, yang berarti masih berada di bawah 0,35. Untuk ketimpangan pendapatan yang terjadi di dalam setiap pulau berada pada ketimpangan taraf tinggi untuk Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku & Irian yaitu antara 0,521 sampai 0,996, pada Pulau Sulawesi taraf ketimpangannya rendah yaitu antara 0,050-0,109, sedangkan Pulau Bali taraf ketimpangannya sedang yaitu antara 0,379-0,498. Analisis trend ketimpangan pendapatan antar pulau menunjukkan trend yang menurun. Ketimpangan pendapatan menurut pulau juga menunjukkan trend yang menurun kecuali Pulau Jawa dan Sulawesi. Hasil analisis korelasi dan koefisien determinan menunjukkan bahwa hubungan pertumbuhan PDRB dengan indeks ketimpangan pendapatan lemah dan besarnya kontribusi pertumbuhan PDRB terhadap perubahan ketimpangan pendapatan kecil yaitu sebesar 14 persen.

2.5 Kerangka Pemikiran Konseptual

Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena yang sering terjadi dalam kegiatan pembangunan ekonomi suatu wilayah Terdapat

(13)

kecenderungan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Besarnya kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa tengah diukur menggunakan analisis indeks kesenjangan regional Williamson. Dapat dilihat apakah kesenjangan ekonomi yang terjadi semakin melebar atau berkurang serta masih dalam taraf rendah, sedang, atau tinggi. Apabila kesenjangan masih dalam taraf tinggi, maka pemerintah harus membuat kebijakan untuk mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi tersebut. Adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat daerah yang lebih cepat tumbuh, tetapi terdapat daerah lain yang tumbuh lebih lambat. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun prioritas kebijakan pembangunan ekonomi bagi daerah yang tertinggal. Langkah pertama yaitu mengidentifikasi daerah-daerah tertinggal terlebih dahulu menggunakan alat analisis klassen Typology. Kemudian setelah diketahui daerah-daerah yang tertinggal, dilakukan analisis faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Faktor-faktor yang diduga kuat mempengaruhi adalah SDM, belanja modal/pembangunan, dan infrastruktur. SDM dilihat dari jumlah angkatan kerja, rata-rata lama sekolah (pendidikan), serta angka harapan hidup (kesehatan). Belanja modal dilihat dari alokasi belanja daerah untuk pembangunan, Sedangkan infratsruktur dilihat dari panjang jalan, dan penyaluran air bersih. Faktor-faktor yang signifikan tersebut dapat dijadikan informasi bagi daerah tertinggal untuk lebih meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya mengejar ketertinggalan dari daerah yang sudah maju. Pada akhirnya didapatkan kebijakan yang tepat untuk

(14)

meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal sehingga tercipta pemerataan pendapatan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual

2.6 Hipotesis Penelitian

1. Pada tahap awal otonomi daerah, trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah meningkat terlebih dahulu, dan ketika pembangunan daerah terus berlangsung maka trend kesenjangan ekonomi antar wilayah menurun.

2. Setelah otonomi daerah, semakin banyak wilayah yang bergeser ke daerah maju.

3. Variabel-variabel yang dianalisis yakni jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modal/pembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air secara signifikan berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah

Kebijakan yang bertumpu pada aspek pertumbuhan cenderung memperburuk kesenjangan ekonomi

antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah

Trend kesenjangan ekonomi antar wilayah Klasifikasi daerah maju cepat tumbuh, maju tapi tertekan, berkembang cepat, dan daerah tertinggal

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Indeks Williamson

Klassen Typology

Analisis Panel Data

Implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal

Gambar

Gambar 2.1 Kurva U terbalik
Tabel 2.1 Indeks Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993-            2003 Tahun CVw 1993 0,2864 1994 0,2991 1995 0,3018 1996 0,3129 1997 0,3182 1998 0,2830 1999 0,2828 2000 0,2787 2001 0,2808 2002 0,2768 2003 0,3427 Sumber: Supriyantoro,
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

4.11 Model hubungan antara variabel persepsi guru geografi terhadap eksistensi MGMP (X1) dan partisipasi guru geografi dalam kegiatan MGMP (X2) dengan kompetensi

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

dan M otivasi Belajar Siswa SM K Pada Topik Limbah Di Lingkungan Kerja Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.

Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat dipergunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada

Di Indonesia pelaksanaan CSR telah diatur didalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yang diatur didalam bab V pasal 74 ayat

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman