PEMBERIAN ANTI RETRO VIRAL SEBAGAI UPAYA
PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI HIV DARI IBU KE
BAYI
dr. Made Bagus Dwi Aryana, SpOG (K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR
1
BAB I PENDAHULUAN
Virus HIV ialah RNA virus yang termasuk lentivirus famili retrovirus, menyerang komponen sistem imun manusia, yakni sel CD4, makrofag, dan sel langerhans. Infeksi dari virus ini akan menyebabkan kadar sel CD4 semakin lama semakin menurun melalui mekanisme tertentu. Pada saat kadar CD4 mencapai kadar kurang dari 200 sel/mm³, maka terjadilah kegagalan fungsi dari sistem imun sebagai proteksi, yang pada akhirnya akan membuat tubuh lebih mudah terserang infeksi oportunistik dan keganasan, keadaan inilah yang disebut dengan AIDS.1
Angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dan telah terjadi fenomena gunung es, jumlah penderita yang ada lebih banyak daripada yang dilaporkan. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan pelaporan jumlah penderita HIV/AIDS antara Badan Intel CIA Amerika Serikat dengan Ditjen PPM & PL Depkes RI. Menurut Badan Intel CIA Amerika Serikat, di Indonesia, jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pada tahun 2007 adalah sebesar 270.000 kasus yang menduduki peringkat ke-25 di dunia dengan angka kematian dilaporkan sebanyak 8.700 kasus yang merupakan peringkat ke-36 di dunia. Sedangkan dari data yang didapatkan pada Ditjen PPM & PL Depkes RI, angka kematian oleh karena AIDS dari tahun 1987 sampai dengan tahun 2009 adalah 3806 kasus.
Menurut pelaporan dari WHO secara global, HIV merupakan penyebab kematian terbanyak pada wanita golongan usia reproduktif. Proporsi penderita HIV antara wanita dan pria adalah 1:1. Pada tahun 2008 didapatkan 15,7 juta wanita yang terinfeksi HIV sedangkan sebanyak 2,1 juta anak-anak berusia kurang dari 15 tahun telah terinfeksi HIV. Penularan HIV sendiri dapat melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan genital (sperma dan lendir vagina), darah, dan transmisi dari ibu ke bayi.2
Penyebab dari infeksi HIV pada anak adalah 90% berasal dari penularan dari ibu sedangkan 10 % sisanya berasal dari proses tranfusi darah. Pada saat ini, target global dari WHO di bidang HIV adalah eliminasi dari penularan infeksi baru HIV pada anak dan mempertahankan keselamatan ibu pada tahun 2015. Dengan adanya target global dari WHO ini maka WHO memberikan program dan revisi- revisi baru dalam penanggulangan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi.2,3
2
Di Indonesia, lebih dari 24.000 wanita usia subur telah terinfeksi HIV dan lebih dari 9.000 wanita terinfeksi HIV hamil setiap tahunnya.2 Propinisi Bali merupakan propinsi dengan prevalensi AIDS terbanyak ke-dua sampai dengan bulan Agustus 2010. Jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Bali sebesar 1.897 kasus dan angka kelahiran sebesar 2,5 % setiap tahunnya sehingga kurang lebih 25-26 bayi akan tertular HIV dari ibunya. Resiko transmisi penularan HIV dari ibu yang terinfeksi kepada bayinya adalah sebesar 20-45%.2,4
Transmisi maternal paling besar terjadi pada masa perinatal. Pada penelitian yang dilakukan di Rwanda dan Zaire, proporsi dari penularan ibu yang terinfeksi kepada bayinya adalah 23-30% pada masa kehamilan, 50-65% pada saat melahirkan, dan 12-20% pada saat ibu menyusui bayinya.4 Akan tetapi angka transmisi ini dapat diturunkan sampai dengan kurang dari 5% dengan upaya-upaya intervensi dari PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission). Intervensi yang dilakukan dari PMTCT ada 4 konsep dasar, yaitu mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, menurunkan viral load dari ibu hamil yang terinfeksi HIV, meminimalkan paparan janin terhadap darah dan cairan tubuh ibu, serta optimalisasi kesehatan ibu dengan HIV positif.2,3
Salah satu upaya intervensi pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi adalah pemberian terapi ARV (Anti Retro Viral). Pemberian terapi ARV ini sendiri memiliki tujuan untuk memaksimalkan penekanan replikasi virus menurunkan hambatan penurunan daya tahan tubuh, serta meningkatkan kembali fungsi daya tahan tubuh. Jumlah virus HIV didalam tubuh menggambarkan potensi penularan, semakin tinggi jumlah virus maka semakin tinggi pula potensi penularan, yang digambarkan dengan Viral Load.5 Potensi penularan HIV dari ibu ke bayi pada ibu dengan viral load kurang dari 1000 kopi/mL adalah 0%, pada viral load antara 1000 sampai dengan 10.000 kopi/mL adalah 16,6%, pada viral load antara 10.000 sampai dengan 50.000 kopi/mL adalah 21,3%, pada viral load antara 50.000 sampai dengan 100.000 kopi/mL adalah 30,1% sedangkan pada viral load diatas 100.000 kopi/mL adalah sebesar 40,6%. Dengan pemberian ARV, viral load didalam tubuh dapat ditekan sehingga angka penularan juga akan rendah.4
Saat ini di Indonesia, PMTCT sendiri merupakan program prioritas dari Strategi Nasional Penanggulanan AIDS sejak tahun 2003. Berbagai upaya telah dilakukan untuk program ini dengan mengacu pada program WHO. Rumah sakit di daerah-daerah juga telah memberikan pelayanan PMTCT yang holistik mulai dari pelayanan VCT (Voluntary Counseling and Testing),
3
ANC (Ante Natal Care), pemberian ARV baik pada ibu hamil maupun bayi, perawatan dan dukungan sosial bagi ibu dan bayinya, cara menyusui dan sebagainya. Diharapkan dengan berjalannya program ini, tujuan PMTCT sendiri dapat terwujud yaitu transmisi HIV dari ibu ke bayi dapat ditekan bahkan dihilangkan sama sekali serta dampak akhir epidemi HIV berupa berkurangnya poduktifitas dan peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh ODHA dan masyarakat Indonesia di masa mendatang karena morbiditas dan mortalitas terhadap ibu dan bayi dapat dikurangi.2
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 HIV (Human Immunodeficiency Virus)
AIDS merupakan suatu sindroma yang disebabkan oleh infeksi virus HIV, ditandai dengan terjadinya suatu immunosupresi yang pada akhirnya menyebabkan rentannya tubuh terhadap infeksi opurtunistik, keganasan, wasting syndrome, dan degenerasi sistem saraf pusat. Sampai dengan saat ini dikenal dua tipe virus HIV, yaitu virus HIV-1 dan HIV-2. Virus HIV yang pertama kali diidentifkasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur, Paris tahun 1983 dan diketahui karakteristiknya secara sepenuhnya oleh Robert Gallo dan Jay Levy, peneliti di Amerika Serikat pada tahun 1986. Sedangkan virus HIV-2 diisolasi dari pasien di Afrika Barat pada tahun 1986.1
HIV adalah virus sitopatik diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasar strukturnya, HIV termasuk famili retrovirus, termasuk
virus RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Secara morfologik HIV berbentuk bulat dan terdiri atas bagian inti (core) dan selubung (envelope). Inti dari virus terdiri atas suatu protein sedangkan selubungnya terdiri atas suatu glikoprotein. Protein dari inti terdiri atas genom RNA dan suatu enzim yang dapat mengubah RNA menjadi DNA pada waktu replikasi virus yang disebut dengan enzim reverse transcriptase. Genom virus pada dasarnya terdiri atas gen, bertugas memberikan kode baik bagi pembentukan protein inti, enzim reverse transcriptase , maupun glikoprotein dari selubung. Sedangkan selubung yang terdiri atas glikoprotein, ternyata memiliki peran yang penting dalam terjadinya infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap resptor spesifik CD4 dari sel host. Melalui mikroskop elektron, dapat terlihat bahwa HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein utama envelope virus gp 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak pada transmembran.1,2,3
5
Gambar 2.1. Morfologi Virus HIV-1.1
2.1.2 Patofisiologi infeksi HIV
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai macam cara yaitu secara vertikal, horizontal, dan transeksual. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang menembus pembuluh darah maupun tidak langsung melalui kulit atau mukosa yang tidak intak. Begitu memasuki sirkulasi sistemik, Virus HIV dapat dideteksi di dalam darah dalam waktu 4-11 hari sejak paparan pertama. Selama di dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut. Keadaan ini disebut sindroma
retroviral akut, dimana terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA load. Viral-load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan selanjutnya akan menurun sampai titik
tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, Viral-load akan kemudian meningkat perlahan dan CD4 akan menurun. 4
Pada fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Berbagai sel dapat menjadi sel target dari HIV yaitu CD4, makrofag, dan sel dendritik, akan tetapi HIV virion (virus-virus baru) cenderung menyerang limfosit T. Jumlah limfosit T tersebut penting untuk menentukan progresivitas dari penyakit. HIV cenderung memilih target limfosit T karena pada permukaan limfosit T terdapat reseptor CD4 yang merupakan pasangan ideal bagi gp 120 pada permukaan envelope dari HIV. Meskipun telah terjadi kompleks gp 120 dan reseptor CD4, virus HIV ini masih belum dapat masuk ke dalam limfosit T melalui proses internalisasi karena proses ini membutuhkan peran dari co-receptor CCR5 dan CXCR4 yang juga berada di permukaan limfosit T. Peran dari CCR5 dan CXCR4 memperkuat stabilitas dan intensitas ikatan gp 120 dan
6
CD4 pada regio V terutama V3. Semakin kuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan diikuti oleh proses interaksi lebih lanjut yaitu terjadi fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp 41. Dengan peran gp 41 transmembran, maka permukaan luar dari HIV terjadi fusi dengan membran plasma CD4. Sedangkan inti HIV selanjutnya masuk ke dalam limfosit T sambil membawa enzim reverse transcriptase. Begitu memasuki sitoplasma CD4 yang terinfeksi, bagian inti HIV yaitu RNA (single stranded RNA) akan berusaha menyesuaikan dengan konfigurasi double-stranded DNA dengan bantuan enzim reverse-transcriptase yang telah dipersiapkan tersebut. Selanjutnya terjadi penyatuan virion dengan DNA polimerase, terbentuklah cDNA atau proviral DNA.
Begitu terbentuk proviral DNA, proses berikutnya adaalah upaya memasuki ke dalam inti limfosit T, menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi ini disebut dengan keadaan laten dan untuk mengaktifkan provirus ini diperlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi oleh induktor seperti antigen, sitokin, atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor κB (NF-κB) sehingga menjadi aktif dan berikatan pada 5’ LTR (Long Terminal Repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF-κB menginduksi replikasi DNA. Induktor NF-κB sehingga cepat memicu replikasi HIV adalah intervensi mikroorganisme lain. Mikroorganisme lain yang memicu infeksi sekunder dan mempengaruhi jalannya replikasi adalah bakteri, jamur, virus, maupun protozoa. Dari keempat golongan mikroorganisme tersebut, yang paling berpengaruh terhadap percepatan replikasi HIV adalah virus non-HIV, terutama adalah virus DNA.1,4
Enzim polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA secara struktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida, yang akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim yang fungsional. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus yang sudah lengkap ini keluar dari sel, akan menginfeksi sel target yang berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.1
7
Secara perlahan tetapi pasti limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah CD4 melalui beberapa mekanisme, sebagai berikut :
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak berintegrasi dengan nukleus, dan terjadinya gangguan sintesis makro molekul.
2. Syncytia formation yaitu terjadinya fusi antar membran sel yang terinfeksi HIV dengan CD4 yang tidak terinfeksi.
3. Respons imun humoral dan selular terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus dan sel yang terinfeksi virus. Namun respon ini bisa menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal di sekitarnya (innocent-bystander).
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi.
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp 120 di regio V3 dengan reseptor CD4 limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis.
6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp 70, sehingga fungsi sitoprotektif, pengaturan irama, dan waktu folding protein terganggu, terjadi misfolding dan denaturasi protein, jejas, dan kematian sel.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm³ menjadi 200/mm³ atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.1,2,4
8
Gambar 2.2 Perjalanan Penyakit HIV.1
2.2 HIV pada kehamilan
Prevalensi HIV pada wanita di Indonesia hanya 16%, tetapi karena mayoritas ODHA berusia reproduksi aktif , maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV positif akan terus meningkat. Peningkatan jumlah kehamilan dengan HIV positif ini juga akan meningkatkan angka infeksi HIV baru pada anak jika tidak diberikan penanganan dan pencegahan yang tepat.2,3 Di Indonesia, lebih dari 9.000 wanita dengan HIV positif hamil setiap tahunnya dan lebih dari 30% diantaranya akan melahirkan bayi yang akan tertular oleh HIV. Indonesia sendiri termasuk salah satu negara dengan angka HIV pada bayi yang tinggi.6
2.2.1 Penegakan diagnosis HIV
Skrining HIV sebaiknya dilakukan pada kelompok risiko tinggi, yaitu golongan individu yang memiliki potensi tinggi untuk menularkan dan tertular HIV. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
9
1. Wanita atau pria pekerja seksual dan pasangannya. 2. Pengguna narkotika suntik dan pasangannya 3. Penerima tranfusi darah dan transplantasi organ 4. Bayi yang lahir dari wanita terinfeksi HIV
Pada golongan risiko tinggi yang dilakukan skrining, harus dilakukan konseling terlebih dahulu.2 Setelah diberikan konseling, pemeriksaan darah yang dilakukan untuk mendeteksi infeksi virus HIV adalah dengan menggunakan Rapid Test. Metode ini dapat mendeteksi antibodi HIV dalam waktu kurang dari 1 jam dengan sensitivitas dan spesifitas yang sama dengan metode pemeriksaan ELISA. Setelah hasil rapid test ini positif maka harus dikonfirmasi ulang dengan pemeriksaan western blot atau immunofluorescence assay. Akan tetapi jika hasil rapid test negative maka tidak perlu dilakukan konfirmasi.6
Setelah wanita hamil terdiagnosa dengan HIV positif maka ada beberapa langkah pemeriksaan yang harus dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan terapi yang diberikan dan sebagai pengawasan keberhasilan terapi serta pemantauan keadaan penderita. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah : 6
Pemeriksaan darah dan urin rutin.
Pemeriksaan viral load dan CD4.
Pemeriksaan fungsi liver.
Skrining terhadap infeksi Hepatitis B & C, Herpes Simpleks Virus, Cytomegalo virus.
Foto Thorak.
Pemeriksaan terhadap kemumgkinan infeksi Tuberculosis.
Evaluasi perlunya diberikan vaksin pneumococcus, hepatitis B, serta influenza.
USG perkembangan janin.
2.2.2 Pengaruh HIV terhadap kehamilan
Pengaruh HIV terhadap kehamilan bervariasi, tergantung dari stadium klinis dari HIV itu sendiri. Stadium HIV yang berat akan mempengaruhi hasil akhir dari kehamilan. Beberapa penelitian menyebutkan adanya peningkatan insidens dari terjadinya : 7,8
Abortus
10
Kematian janin dalam rahim
Janin lahir dengan berat badan lahir rendah,
Serta peningkatan angka kematian perinatal.
Sebuah studi mengatakan bahwa kejadian kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah meningkat dua kali lipat pada wanita hamil dengan infeksi HIV dibandingkan yang tidak terinfeksi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena keadaan penderita HIV yang banyak dalam keadaan status gizi kurang dan menderita anemia. Kejadian kelahiran prematur berhubungan dengan rendahnya kadar CD4 dan tingginya viral load.8
2.2.3 Pengaruh kehamilan terhadap HIV
Pengaruh kehamilan terhadap HIV masih merupakan suatu kontroversi dimana beberapa studi mengatakan berpengaruh, sedangkan yang lain mengatakan tidak berpengaruh. Menurut beberapa literatur, kehamilan tidak berpengaruh terhadap progresivitas dari infeksi HIV. Penurunan kadar CD4 yang terjadi pada wanita hamil yang terinfeksi HIV disebabkan oleh karena bertambahnya volume cairan tubuh selama kehamilan, di samping itu kadar HIV stabil dan tidak mempengaruhi risiko kematian atau perkembangan menjadi AIDS.9,10 Namun literatur lain mengatakan bahwa terjadi penurunan imunitas tubuh yang signifikan sehingga mengakibatkan angka mortalitas dan morbiditas wanita hamil yang terinfeksi HIV menjadi meningkat.11
2.2.4 Stadium klinis dan immunologis HIV pada kehamilan
Stadium klinis HIV pada kehamilan adalah sama dengan stadium klinis pada orang dewasa yang terinfeksi HIV.
Tabel 2.1 Klasifiksi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO.12
Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas
I
• Asimptomatik
• Limfadenopti generalisata
Asimptomatik, aktivitas normal
11 II
• Berat badan menurun < 10% • Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, khilitis angularis • Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir
• ISPA seperti sinusitis bakterialis
Simptomatik, aktivitas normal
III
• Berat badan menurun > 10% • Diare kronis > 1 bulan • Demam berkepanjangan > 1 bulan
• Kandidiasis orofaringeal • Oral hairy leukoplakia • TB paru dalam tahun terakhir • Infeksi bakterial berat seperti pneumonia, piomiositis
Pada umumnya lemah, aktivitas di tempat tidur < 50%
IV
• HIV wasting syndrome seperti yang didefinisikan CDC • Pneumonia Pneumocytis carinii • Toksoplasmosis otak • Diare kriptoporidiosis > 1 bulan • Kriptokokosis ekstrapulmonal
• Retinitis virus cytomegalo • Herpes simpleks mukokutan
Pada umumnya sangat lemah, aktivitas di tempat tidur > 50%
12 Keterangan :
o HIV wasting syndrome: berat badan turun > 10% ditambah diare kronik > 1 bulan atau
demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain.
o Ensefalopati HIV: gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang menganggu aktivitas hidup sehari – hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu atau bulan yang tidak disertai penyakit lain selain HIV.
Status Immunologis penderita HIV berdasarkan dari jumlah CD4 menurut WHO
Tabel 2.2 Status Immunologis penderita HIV pada orang dewasa menurut WHO.12
Kategori status imunologi Jumlah CD4 Tidak Signifikan ≥ 500/mm3 > 1 bulan • Leukoensepalopati multifokal progresif
• Mikosis diseminata seperti histoplasmosis
• Kandidiasis di esofagus, trakea, bronkus, dan paru • Mikobakteriosis atipikal diseminata
• Septisemia salmonelosis non tifoid
• Tuberkulosis di luar paru • Limfoma
• Sarkoma kaposi • Ensefalopati HIV
13
Mild 350-499/mm3
Advanced 200-349/mm3
Severe ≤ 200/mm3
2.2.5 Pengawasan kehamilan dengan HIV
Pengawasan kehamilan dengan HIV dilakukan sama dengan kehamilan biasa akan tetapi ditambah lagi dengan perlakuan-perlakuan yang khusus mengingat dampak HIV pada kehamilan dan sebaliknya. Secara khusus pada pengawasan kehamilan dengan HIV adalah penekanan terhadap upaya pencegahan penularan infeksi HIV pada janin yang dikandung. Pengawasan tersebut antara lain : 3,11,13
1. ANC teratur 2. Pemberian ARV
3. Perencanaan persalinan dengan tindakan seksio sesarea 4. Pengawasan terhadap tumbuh kembang janin
5. Pengawasan terhadap kesehatan ibu 6. Pemberian dukungan moral
7. Persiapan terhadap terapi ARV yang akan diberikan kepada bayi setelah lahir 8. Edukasi mengenai pemberian ASI
9. Edukasi mengenai perencanaan kontrasepsi dan kehamilan berikutnya.
2.2.6 Penularan Infeksi HIV dari ibu ke bayi.
Infeksi virus HIV dapat ditularkan melalui beberapa macam cara, yaitu : 13,14 1. Transmisi melalui hubungan seksual
2. Transmisi melalui darah
3. Transmisi vertikal, dari ibu kepada bayi
Di Amerika, kejadian transmisi vertikal ini bila tidak diberikan interfensi apapun adalah sebesar 16-30% sedangkan di Asia Tenggara dilaporkan angka kejadiaannya sebanyak 13-48%.15 Penularan infeksi virus HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi pada waktu kehamilan, proses persalinan, serta postpartum pada saat ibu menyusui. Penularan yang terbanyak terjadi pada saat intrpartum.15,16 Pada studi yang dilakukan di Rwanda dan Zaire, proporsi relative penularan HIV
14
dari ibu ke bayi pada saat kehamilan 23-30%, pada saat proses persalianan 50-65%, sedangkan post partum pada saat menyusui adalah 12-20%.4 Kejadian transmisi yang tinggi pada saat persalinan disebabkan oleh karena lamanya bayi terpapar oleh cairan dan darah ibu pada saat proses persalinan.
2.2.7 Faktor- faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke bayi
Banyak faktor yang mempengaruhi penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi, secara umum, penularan HIV dari ibu ke bayi terkait dengan daya tahan tubuh dan virulensi kuman, dapat dibagi 3, yaitu :14,16,17
Faktor risiko selama kehamilan :
o Ibu yang baru saja terinfeksi HIV, sehingga jumlah virus masih tinggi. o Adanya infeksi menular seksual pada saat kehamilan
o Adanya chorioamnionitis
o Adanya defisiensi vitamin A yang berat, menurunkan jumlah immunoglobulin pada mukosa sebagai mekanisme pertahanan tubuh awal. o Viral Load yang tinggi dan jumlah CD4 yang rendah
o Penggunaan narkotika pada saat kehamilan
o Hubungan seks yang berisiko tinggi pada saat kehamilan
Faktor Risiko pada saat proses persalinan
o Ibu yang baru saja terinfeksi HIV, sehingga jumlah virus masih tinggi. o Viral Load yang tinggi dan jumlah CD4 yang rendah
o Pecah ketuban lebih dari 4 jam sebelum proses persalinan o Prosedur persalinan dengan menggunakan prosedur invasif o Prosedur persalinan dengan episiotomi
o Terpaparnya janin pada cairan jalan lahir o Adanya chorioamnionitis
Faktor Risiko selama menyusui o Faktor ibu
Ibu yang baru saja terinfeksi HIV, sehingga jumlah virus masih tinggi.
15 Lama menyusui
Jaringan payudara yang mengalami infeki Pemberian kombinasi PASI dan ASI o Faktor Bayi :
Bayi lahir preterm Penggunaan ASI Lesi pada mulut bayi
2.3 Pencegahan penularan infeksi HIV dari Ibu Ke Bayi
Sebanyak 90% infeksi HIV pada bayi disebabkan oleh karena penularan dari ibu, sedangkan 10% sisanya disebabkan oleh karena proses transfusi. Menurut estimasi Kementrian Kesehatan, setiap tahunnya akan didapatkan 3.000 bayi akan terinfeksi HIV jika tidak diberikan upaya pencegahan terhadap transmisi vertikal ini.2,3 Di negara berkembang dilaporkan kemungkinan risiko transmisi vertikal dari ibu ke bayi tanpa pemberian terapi antiretroviral adalah sebesar 25-35% sedangkan di negara yang telah maju kemungkinan risiko transmisinya lebih rendah yaitu sebesar 15-25% . Dengan adanya upaya-upaya pencegahan penularan secara vertikal, risiko infeksi terhdap bayi dapat ditekan sampai kurang dari 2%.8,10 Upaya pencegahan penularan infeksi dari ibu ke bayi biasa dikenal dengan PMTCT (Prevention of Mother to Child
Transmission).
2.3.1 Tujuan PMTCT
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi adalah :2 1. Mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi.
Oleh karena hampir seluruh infeksi HIV pada bayi disebabkan oleh transmisi vertikal maka diharapkan dengan upaya pencegahan ini, infeksi pada bayi dapat ditekan.
2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi.
Dampak akhir dari epidemi HIV adalah berkurangnya produktifitas dan peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh ODHA dan masyarakat Indonesia di masa mendatang karena mortalitas dan morbiditas terhadap bayi dan ibu.
16
Epidemi HIV terutama terhadap bayi dan ibu tersebut perlu diperhatikan, dipikirkan dan diantisipasi sejak dini untuk menghindari dampak akhir tersebut.
2.3.2 Strategi pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi
Pada saat ini WHO memberikan 4 strategi dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi yang meliputi :2,8
1. Pencegahan primer terjadinya penularan HIV
Melakukan pencegahan agar seluruh wanita tidak terinfeksi HIV. Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat jangan sampai tertular HIV. Upaya mencegah penularan HIV dapat digunakan konsep ABCD, yang terdiri dari :2
A (Abstinence) : tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah.
B (Be Faithful) : bersikap saling setia kepada satu pasangan seksual (tidak berganti-ganti pasangan).
C (Condom) : cegah dengan kondom.
D (Drug) : tidak menggunakan obat-obatan NAPZA suntik.
Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT (Voulentary Counseling and
Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani tes HIV. Sasarannya adalah wanita
muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan menyusui. Pada pasangan yang ingin hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV sebelum kehamilan, dan bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV pada kunjungan pertama.18,19
2. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita dengan infeksi HIV. Strategi yang digunakan adalah :
a. Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak mengetahui status serologis mereka, maka VCT memegang peranan penting. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk mereka yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk mencegah kehamilan yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan esensial dan dukungan termasuk
17
keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga mereka dapat membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.
b. Menunda kehamilan berikutnya
Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun jarak antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan : 20,21
- Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab dapat menjalarkan infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi pelvis. Wanita yang menggunakan IUD mempunyai
kecenderungan mengalami perdarahan yang dapat
menyebabkan penularan lebih mudah terjadi.
- Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai angka keberhasilan yang sama tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya seperti kontrasepsi oral atau noorplant. - Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang seperti noorplant dan depo provera tidak merupakan suatu kontraindikasi pada wanita yang terinfeksi HIV. Penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap perjalanan penyakit HIV. - Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang
paling tepat adalah kontrasepsi mantap, yaitu dilakukan sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
- Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan, maka pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV.
3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu HIV positif kepada bayinya.
Intervensi pencegahan penularan transmisi vertikal ini dilakukan pada saat sebelum hamil, saat hamil, pada proses persalinan, serta pada masa nifas. Macam-macam intervensi yang dapat dilakukan adalah 2
18
Kemungkinan transmisi vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama proses kehamilan, maka pada dasarnya seorang wanita dengan HIV positif tidak dianjurkan untuk hamil. Namun jika wanita tersebut ingin hamil, perlu dilakukan konseling, pengobatan, dan pemantauan. Pertimbangan seorang ODHA dapat hamil bila kadar CD4 > 500/mm3, Viral Load < 1.000 kopi/ml atau tidak terdeteksi, serta menggunakan terapi ARV. 2
Menurunkan Viral Load serendah-rendahnya.
Potensi penularan HIV dari ibu ke bayi pada ibu dengan viral load kurang dari 1000 kopi/mL adalah 0%, pada viral load antara 1000 sampai dengan 10.000 kopi/mL adalah 16,6%, pada viral load antara 10.000 sampai dengan 50.000 kopi/mL adalah 21,3%, pada viral load antara 50.000 sampai dengan 100.000 kopi/mL adalah 30,1% sedangkan pada viral load diatas 100.000 kopi/mL adalah sebesar 40,6%.4 Viral load didalam tubuh dapat ditekan dengan cara pemberian terapi ARV. Pemberian terapi ARV ini sendiri memilki tujuan untuk memaksimalkan penekanan replikasi virus menurunkan hambatan penurunan daya tahan tubuh, serta meningkatkan kembali fungsi daya tahan tubuh.19
Meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu.
Persalinan yang dianjurkan pada wanita hamil dengan HIV adalah dengan seksio sesarea. Beberapa penelitian mengatakan bahwa persalinan dengan seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66%. Namun pada penelitian lain, persalinan pervaginam masih dimungkinkan jika telah mendapat terapi ARV selama 6 minggu serta viral
load yang undetectable. Risiko penularan pada wanita yang telah
mendapatkan ARV dan melahirkan secara seksio sesarea terencana adalah sebesar kurang dari 2% sedangkan pada wanita yang telah mendapat ARV dan melahirkan secara pervaginam adalah sebesar 7,6%. 7,18,22 Terjadinya penularan saat proses persalinan pervaginam adalah pada saat bayi terpapar oleh darah dan lendir ibu di jalan lahir. Proses infeksi juga dapat terjadi pada saat resusitasi, bayi menelan darah atau lender tersebut. Jika seksio sesarea
19
tidak dapat dilaksanakan, maka dianjurkan tidak melakukan tindakan invasive yang memungkinkan terjadinya perlukaan pada bayi. Tindakan bedah pevaginam seperti ekstraksi vacum maupun forcep, tindakan episiotomi harus dihindari.9,16,22
Virus HIV dapat dideteksi pada kolostrum dan ASI, oleh karena itu untuk mengurangi risiko penularan maka tidak dianjurkan untuk memberikan ASI. Sebaiknya digunakan susu formula. Selain itu, tidak dianjurkan penggunaan kombinasi antara ASI dan susu formula atau PASI lainnya karena mukosa usus bayi pasca pemberian susu formula atau PASI akan mengalami proses inflamasi. Jika mukosa yang inflamasi ini menerima ASI yang terinfeksi HIV maka akan memberikan kesempatan untuk penularan melalui mukosa usus. Risiko penularan HIV akan meningkat jika terdapat permasalahan pada payudara (mastitis, abses, luka pada puting susu).22
Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif
Melalui pemeriksaan ANC secara teratur, dilakukan pemantauan terhadap keadaan ibu maupun janin. Perlu diberikan tambahan suplemen serta vitamin dan penerapan pola hidup sehat dan hubungan seks yang aman dengan cara penggunaan kondom.17,18
4. Memberikan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu dengan HIV positif beserta bayi dan keluarganya.3
Upaya PMTCT tidak terhenti setelah ibu melahirkan karena ibu tersebut menjalani hidup dengan HIV seumur hidupnya sehingga dibutuhkan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan sepanjang waktu. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya ialah :23
- Menyediakan pengobatan yang berhubungan, perawatan, serta dukungan yang berhubungan dengan HIV bagi para wanita.
- Menyediakan diagnosis dini, perawatan, serta dukungan bagi bayi dan anak dengan infeksi HIV positif.
- Mengusahakan hubungan antar layanan masyarakat untuk layanan keluarga terpadu.
20
2.4 ARV Sebagai upaya pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi
Bentuk terapi ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam upaya pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi adalah penggunaan obat antiretroviral jangka panjang untuk mengobati wanita hamil dengan HIV positif, mencegah penularan dari ibu ke bayi dan diberikan seumur hidup.Saat ini obat-obatan ARV lini pertama sudah tersedia secara luas dan gratis. Layanan PMTCT dapat dijumpai pada rumah sakit yang memberikan layanan HIV.2,3
Pemberian ARV merupakan salah satu upaya yang paling efektif dalam pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi. Pemberian ARV pada wanita hamil dimulai sejak masa kehamilan sampai dengan post partum. Pemberian ARV sebagai upaya pencegahan transmisi vertikal ini tidak hanya diberikan pada ibu saja, namun diberikan juga pada bayi yang dilahirkan. Pemberian ARV dapat menekan risiko penularan dari ibu ke bayi sampai kurang dari 2%.15,16 Diharapkan dengan pemberian ARV ini, tujuan global dari WHO dapat tercapai, yaitu menghilangkan infeksi HIV pada bayi dan anak menuju kepada generasi bebas HIV dan AIDS.3
2.4.1 Manfaat dan tujuan terapi ARV sebagai upaya pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi.
Manfaat dan tujuan dari pemberian ARV pada wanita hamil hampir sama dengan penderita HIV lainnya, yaitu : 2,3,24
1. Memperbaiki status kesehatan.
Pemberian ARV akan menekan replikasi dari virus HIV sehingga jumlah virus akan berkurang di dalam tubuh sehingga terjadi perbaikan dari status imunologis serta keadaan umum dari penderita.
2. Meningkatkan kualitas hidup
Dengan adanya perbaikan status imunologis pasien maka kualitas hidup pasien dengan sendirinya akan meningkat, pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan tetap produktif. Bila pasien dirawat di rumah sakit, waktu rawat inap juga akan menjadi lebih pendek.
3. Mencegah progresivitas penyakit
Status imunologis yang baik juga akan menurunkan insidens dari infeksi oportunistik dari penderita sehingga tidak terjadi perburukan dari perjalanan penyakit menjadi AIDS.
21
4. Menurunkan angka transmisi secara vertikal maupun pada orang lain.
Pencegahan penularan tidak hanya secara vertikal kepada janin yang dikandung saja, namun juga bertujuan untuk pencegahan penularan secara horizontal, yakni penularan kepada orang lain.
2.4.2 Penilaian klinis sebelum memulai pemberian ARV
Sebelum memulai pemberian ARV, perlu dilakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap penderita, diantaranya:25,26
o Penggalian riwayat penyakit secara lengkap o Pemeriksaan fisik lengkap
o Pemeriksaan laboratorium rutin
o Hitung limfosit total (Total Lymphocyte Count/TLC) o Pemeriksaan jumlah CD4 bila mungkin
Penggalian informasi dan riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya, antara lain : o Menilai stadium klinis infeksi HIV
o Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu
o Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan.
o Mengidentifikasi adakah riwayat pengobatan terhadap HIV sebelumnya.
o Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi
Pemeriksaan laboratorium:
o Pemeriksaan serologi untuk HIV o Limfosit total atau CD4
o Viral Load
o Pemeriksaan darah lengkap
o Pemeriksaan kimia klinik (fungsi hati dan ginjal)
Hal-hal tersebut penting dilakukan karena mengingat efek samping dari ARV yang menyebabkan toksistas mitokondria, dengan gejala anemia, neutropenia, trombositopenia, dan penurunan fungsi hati. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan terapi yang akan diberikan, pemantauan keadaan penderita serta keberhasilan terapi yang diberikan.
22
2.4.3 Klasifikasi ARV
Pada saat ini masih banyak obat-obatan ARV yang masih dalam tahapan uji klinis. ARV yang sekarang dipakai sebagai terapi HIV dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis menurut cara kerjanya , antara lain :25,27
Penghambat terjadinya fusi dari virus
Obat-obatan golongan ini berperan dalam mencegah terjadinya perlekatan, fusi dan masuknya virus HIV ke sel target dalam tubuh.
CCR5 antagonist
CCR5 merupakan receptor pada permukaan sel T yang merupakan tempat masuk virus HIV. CCR5 antagonist merupakan satu-satunya obat yang tidak bekerja langsung pada virus tetapi bekerja pada reseptor di dalam tubuh.
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) dan Nucleotide Reverse
Transciptase Inhibitors (NtRTI). Kedua obat ini adalah analog nukleosid dan nukleotid yang menghambat enzim reverse transcriptase. Enzim ini berguna untuk proses replikasi dari virus dengan cara membentuk rantai yang tidak sesuai dengan aslinya.
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) Obat
ini bekerja menghambat enzim reverse transcriptase dengan cara sebagai non-kompetitif inhibitor pada bagian allosterik.
Inhibitor Protease Obat
ini bekerja dengan cara menghambat enzim protease yang berguna dalam pembentukan dari virion baru.
Inhibitor Integrase Obat
ini bekerja dengan cara menghambat aktifitas enzim integrase yang berguna untuk integrasi antara DNA virus dan DNA tubuh. Pada saat ini masih masih banyak obat-obatan pada golongan ini yang masih dalam uji klinis.
Inhibitor Maturasi Obat
ini bekerja dengan cara melakukan hambatan pada poliprotein sehingga tidak terjadi maturasi dari protein capsid (p24). Defek ini terjadi pada inti dari virus sehingga virion yang ada tidak menjadi infeksi.
23
2.4.4 Pemberian ARV pada wanita hamil dengan infeksi HIV
Pemberian ARV pada wanita hamil dengan infeksi HIV menurut WHO harus memenuhi kriteria eligibilitas yang dikelompokan berdasarkan kriteria klinis dan jumlah CD4.
Tabel 2.3 Kriteria eligibilitas pemberian ARV menurut WHO. 3
Kriteria klinis WHO
CD4 tidak diukur CD4≤ 350/mm3 CD4> 350/mm3
Stadium 1 ARV profilaksis ARV Terapi & profilaksis
ARV profilaksis
Stadium 2 ARV profilaksis ARV Terapi & profilaksis
ARV profilaksis
Stadium 3 ARV Terapi & profilaksis
ARV Terapi & profilaksis
ARV Terapi & profilaksis
Stadium 4 ARV Terapi & profilaksis
ARV Terapi & profilaksis
ARV Terapi & profilaksis
Pemberian ARV profilaksis merupakan penggunaan obat ARV jangka pendek yang bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi, sedangkan ART merupakan pemberian ARV sebagai terapi jangka panjang untuk mengobati infeksi HIV pada ibu dan mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. Berikut ini adalah jenis-jenis ARV yang digunakan pada wanita hamil dengan HIV positif yang ada di Indonesia
24
Tabel 2.4 Macam-macam ARV bagi wanita hamil dengan infeksi HIV.28,29
Golongan Nama obat Singkatan
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) Zidovudine AZT, ZDV Tenofovir TDF Lamivudine Emtricitabine 3TC FTC Stavudin d4T Didanosin ddI Abacavir ABC Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) Evavirens EFV
25
Nevirapine NVP
Lopinavir LPV
Protease Inhibitor Nelfinavir NVF
Saquinavir SQV
Tabel 2.5 Macam-macam ARV kombinasi bagi wanita hamil dengan infeksi HIV.2
Koformulasi Nama Dagang Kandungan
AZT + 3TC Combivir, Zidovex-L, Duviral AZT 300 mg + 3 TC 150 mg
AZT + 3TC + NVP Zidovex – LN, Triviral AZT 300 mg + 3TC 150 mg +
NVP 200 mg
2.4.5 Pemberian ARV sebagai terapi dan profilakasis wanita hamil dengan infeksi HIV
Pemberian ARV sebagai
terapi diindikasikan bagi semua wanita hamil yang telah terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 ≤ 350/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya atau wanita yang berada pada stadium klinis 3 atau 4 tanpa memandang jumlah CD4. Pemberian ARV sebagai terapi tidak hanya diberikan pada ibu saja, namun juga kepada bayinya.30
26
Tabel 2.6 Regimen ARV sebagai terapi dan profilaksis yang diberikan pada wanita hamil 3,31,32
Regimen Dosis Rekomendasi Efek Samping
AZT + 3TC + NVP AZT : 2x300 mg 3TC : 2x150 mg NVP : 2x200 mg Paling banyak digunakan dan terujui klinis Peningkatan dosis dari 1x menjadi 2x setelah pemberian 2 minggu Perlu pemeriksaan kadar Hb Tidak direkomendasikan untuk CD4 ≥350/mm3 Peningkatan risiko terjadi anemia pada penggunaan AZT Peningkatan resiko hipersensitifitas dan hepatotoksis sehingga memerlukan pengawasan klinis dalam 12 minggu awal AZT + 3TC + EFV AZT 2x300 mg 3TC 2x150 mg EFV 1 x 600 mg Paling banyak digunakan dan terujui klinis Perlu pemeriksaan kadar Hb Perlu digunakan kontrasepsi setelah Peningkatan risiko terjadi anemia pada penggunaan AZT Beresiko terjadinya defek neural tube pada
27 melahirkan karena efek EFV EFV direkomendasikan untuk yang disertai dengan infeksi TB penggunaan EFV pada trimester pertama TDF + 3TC (atau FTC) + EFV TDF 1x300 mg 3TC 1x300 mg EFV 1x600 mg Atau TDF 1x300 mg FTC 1x200 mg EFV 1x600 mg Perlu digunakan kontrasepsi setelah melahirkan karena efek EFV EFV direkomendasikan untuk yang disertai dengan infeksi TB TDF + 3TC ( atau FTC) direkomendasikan pada wanita dengan infeksi HBV Risiko toksistas pada ginjal pada penggunaan TDF Kemungkinan memiliki efek toksisitas pada tulang ibu maupun janin (belum terbukti klinis) Beresiko terjadinya defek neural tube pada penggunaan EFV pada trimester pertama TDF + 3TC (atau FTC) + NVP TDF 1x300 mg 3TC 2x150 mg NVP 2xx200 mg Atau Perlu pengawasan ketat untuk 12 minggu awal dalam penggunaan NVP Peningkatan dosis Risiko toksistas pada ginjal pada penggunaan TDF
Kemungkinan
memiliki efek
toksisitas pada
28 TDF 1x300 mg FTC 1x200 mg NVP 2x200 mg dari 1x menjadi 2x setelah pemberian 2 minggu TDF + 3TC ( atau FTC) direkomendasikan pada wanita dengan infeksi HBV maupun janin (belum terbukti klinis) Peningkatan resiko hipersensitifitas dan hepatotoksis sehingga memerlukan pengawasan klinis dalam 12 minggu awal
29 Tabel 2.7 Regimen ARV yang diberikan pada bayi. 3,31,33
Regimen Dosis & lama pemberian
Rekomendasi Efek Samping
AZT 2x15 mg bila berat badan
bayi > 2500 gr 2x10 mg bila berat badan bayi ≤ 2500 gr Diberikan dari lahir sampai usia 4-6 minggu Biasanya diberikan pada bayi yang mendapatkan PASI Resiko terjadinya anemia
NVP 1x15 mg bila berat badan
> 2500 gr
1x10 mg bila berat badan ≤ 2500 gr
Diberikan dari lahir
sampai usia 4-6 minggu
Perlu pengawasan rutin Biasanya diberikan pada bayi yang mendapat ASI Resiko terjadinya resistensi obat Peningkatan toksisitas terutama jika ibu yang memberikan ASI juga dengan terapi NVP
2.4.6 Pemberian ARV sebagai profilaksis wanita hamil dengan infeksi HIV
Pemberian ARV sebagai profilaksis diberikan pada wanita hamil yang tidak memerlukan terapi untuk dirinya sendiri, pemberian ARV ditujukan sebagai pencegahan penularan pada janin yang dikandung. Pemberiannya dimulai sejak umur kehamilan 14 minggu. Ada 2 macam pilihan dalam pemberian ARV sebagai profilaksis.3 Pilhan pertama biasa disebut pilihan A, yaitu
pemberian AZT 2x300 mg sehari pada saat kehamilan ditambah dengan nevirapine single dose nevirapine dan pemberian AZT + 3 TC sehari dua kali mulai dari proses persalinan sampai dengan hari ke-7 setelah melahirkan. Sedangkan pada bayi diberikan NVP sejak bayi lahir atau
single dose NVP dan AZT sehari 2 kali sampai dengan usia 4-6 minggu. 3,32 Sedangkan
30
Tabel 2.8 Regimen ARV sebagai profilaksis yang diberikan pada wanita hamil.3,33
Regimen Dosis Rekomendasi Efek Samping
AZT + 3TC + LPV AZT : 2x300 mg 3TC : 2x150 mg LPV : 2x400 mg Perlu pemeriksaan kadar Hb Biaya mahal Peningkatan resiko terjadi anemia pada penggunaan AZT AZT + 3TC + ABC AZT 2x300 mg 3TC 2x150 mg ABC 2x300 mg Perlu pemeriksaan kadar Hb Peningkatan resiko terjadi anemia pada penggunaan AZT Beresiko terjadinya hipersensitivitas pada penggunaan ABC AZT + 3TC + EFV AZT 2x300 mg 3TC 2x150 mg EFV 1x600 mg Perlu digunakan kontrasepsi setelah melahirkan karena efek EFV EFV direkomendasikan untuk yang disertai
Beresiko
terjadinya defek neural tube pada penggunaan
EFV pada
trimester pertama
31 dengan infeksi TB Perlu pemeriksaan kadar Hb Peningkatan resiko terjadi anemia pada penggunaan AZT TDF + 3TC (atau FTC) + EFV TDF 1x300 mg 3TC 2x150 mg EFV 1x600 mg Perlu digunakan kontrasepsi setelah melahirkan karena efek EFV EFV direkomendasikan untuk yang disertai dengan infeksi TB
TDF + 3TC ( atau FTC)
direkomendasikan pada wanita dengan infeksi HBV
Resiko toksistas pada ginjal pada penggunaan TDF Kemungkinan memiliki efek toksisitas pada tulang ibu maupun janin (belum terbukti klinis) Beresiko terjadinya defek neural tube pada penggunaan EFV pada trimester pertama Resiko reaktifasi HBV setelah akhir penggunaan TDF + 3TC
32 TDF + FTC + EFV TDF 1x300 mg FTC 1x200 mg EFV 1x600 mg Perlu digunakan kontrasepsi setelah melahirkan karena efek EFV EFV direkomendasikan untuk yang disertai dengan infeksi TB
TDF + 3TC ( atau FTC)
direkomendasikan pada wanita dengan infeksi HBV
Risiko toksistas pada ginjal pada penggunaan TDF Kemungkinan memiliki efek toksisitas pada tulang ibu maupun janin (belum terbukti klinis) Beresiko terjadinya defek neural tube pada penggunaan EFV pada trimester pertama Resiko reaktifasi HBVsetelah akhir penggunaan TDF + 3TC
Sedangkan pada bayi diberikan NVP sehari sekali atau pemberian AZT sehari dua kali dari bayi lahir sampai dengan usia 4-6 minggu.3
33
2.4.7 Pedoman pemberian ARV.
Tabel 2.9 Regimen pedoman pemberian ARV.3
Keadaan khusus Akseptor Regimen
Wanita hamil yang
membutuhkan ARV sebagai terapi dan profilaksis tetapi pernah mendapatkan NVP
single dose tanpa kombinasi
dual NRTI pada 12 bulan terakhir
Ibu Bayi
Regimen Non-NNRTI AZT atau NVP
Wanita hamil yang
membutuhkan ARV sebagai terapi dan profilaksis dengan HB < 7 gr % Ibu Bayi TDF + 3TC (atau FTC)+ EFV atau TDF + 3TC(atau FTC)+ NVP AZT atau NVP
Wanita hamil yang
membutuhkan ARV sebagai terapi dan profilaksis dengan HIV-2
Ibu
Bayi
AZT + 3TC + ABC atau AZT + 3TC + LPV AZT
Wanita hamil yang
membutuhkan ARV sebagai terapi dan profilaksis dengan infeksi TB
Ibu
Bayi
AZT + 3TC + EFV atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
OAT tetap diberikan AZT atau NVP
34
Wanita hamil yang
membutuhkan ARV sebagai terapi dan profilaksis dengan
infeksi HBV yang memerlukan terapi Ibu Bayi TDF + 3TC (atau FTC) + NVP Atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV AZT atau NVP
Wanita hamil yang
membutuhkan ARV sebagai terapi dan profilaksis serta
memiliki rencana untuk
hamil Ibu Bayi AZT + 3TC + NVP atau TDF + 3TC (atau TDF) + NVP atau
AZT + 3TC + EFV atau TDF + 3TC (atau TDF) + EFV
EFV dihindari saat trimester pertama
AZT atau NVP
Wanita yang telah
mendapatkan ARV sebagai terapi dan profilaksis dan sekarang hamil
Ibu
Bayi
Melanjutkan ARV yang
sama (ganti EFV dengan NVP atau golongan PI) lalu lanjutkan ARV yang sama selama persalinan serta post partum
AZT atau NVP Wanita hamil dan belum ada
indikasi pemberian ARV sebagai terapi
Ibu Bayi
Sesuai dengan pedoman
pemberian ARV sebagai profilaksis mulai UK 14
35
minggu
Wanita hamil dengan
indikasi pemberian ARV sebagai terapi
Ibu Bayi
Sesuai dengan pedoman
pemberian ARV sebagai terapi dan profilaksis mulai UK 14 minggu
Wanita yang terdiagnosa HIV saat inpartu
Ibu
Bayi
NVP single dose + AZT + 3TC selama 1 minggu atau
Triple ARV kombinasi
selama 1 minggu
NVP sampai usia 4-6
minggu atau Single dose NVP + AZT sehari 2x
2.4.8 Komplikasi pemberian ARV pada kehamilan
Komplikasi pemberian ARV pada kehamilan dapat memberikan efek pada ibu maupun pada bayi yang dikandung. Komplikasi yang dapat muncul pada ibu :2,32,33
- Efek samping tersering dari AZT dan kombinasi AZR & 3TC adalah mual , sakit kepala, mialgia, terkadang insomnia dan akan berkurang jika tetap diberikan.
- Efek toksik yang berbahaya namun jarang terjadi adalah asidosis laktat, hepatic steatosis, pancreatitis, toksistas mitokondria.
- Efek Samping NVP adalah ruam kulit sampai dengan sindroma Steven Johnson dan hepatotoksik.
- NVP yang diberikan pada CD4 ≥ 250/mm3 akan meningkatkan risiko hepatotoksik 10 kali lipat daripada kadar CD4 yang lebih rendah.
- Efek samping EFV adalah gangguan mood,insomnia, dan perubahan mental.
Sedangkan komplikasi yang dapat muncul pada bayi pada saat ini masih merupakan perdebatan, apakah peyebab dari komplikasi yang muncul adalah akibat dari obat-obatan ARV ataukah dari perjalanan infeksi HIV selama kehamilan. Komplikasi yang dapat muncul antara lain:2,35
36
- Penggunaan EFV pada trimester pertama menyebabkan kelainan pada neural tube, angka
kejadiannya diperkirakan sebesar 2-3%.
- Kelahiran preterm dan berat bayi lahir rendah terutama pada penggunaan golongan protease inhibitor.
- Toksisitas mitokondria jarang terjadi
- Kelainan hematologis seperti transient anemia sering terjadi dan biasanya akan menghilang pada saat usia 3-6 bulan. Terkadang dapat pula dijumpai kelainan pada netrofil dan hitung jumlah limfosit.
- Kelainan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi diduga bersifat transient sedangkan
37
BAB III RINGKASAN
Angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dan telah terjadi fenomena gunung es, jumlah penderita yang ada lebih banyak daripada yang dilaporkan. Proporsi penderita HIV antara wanita dan pria adalah 1:1. Pada tahun 2008 didapatkan 15,7 juta wanita yang terinfeksi HIV sedangkan sebanyak 2,1 juta anak-anak berusia kurang dari 15 tahun telah terinfeksi HIV. Penularan HIV sendiri dapat melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan genital (sperma dan lendir vagina), darah, dan transmisi dari ibu ke bayi.
Penyebab dari infeksi HIV pada anak adalah 90% berasal dari penularan dari ibu sedangkan 10 % sisanya berasal dari proses tranfusi darah. Pada saat ini, target global dari WHO di bidang HIV adalah eliminasi dari penularan infeksi baru HIV pada anak dan mempertahankan keselamatan ibu pada tahun 2015.
Transmisi maternal paling besar terjadi pada masa perinatal. Pada penelitian yang dilakukan di Rwanda dan Zaire, proporsi dari penularan ibu yang terinfeksi kepada bayinya adalah 23-30% pada masa kehamilan, 50-65% pada saat melahirkan, dan 12-20% pada saat ibu menyusui bayinya. Akan tetapi angka transmisi ini dapat diturunkan sampai dengan kurang dari 5% dengan upaya-upaya intervensi dari PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission). Intervensi yang dilakukan dari PMTCT ada 4 konsep dasar, yaitu mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, menurunkan viral load dari ibu hamil yang terinfeksi HIV, meminimalkan paparan janin terhadap darah dan cairan tubuh ibu, serta optimalisasi kesehatan ibu dengan HIV positif.
Salah satu upaya intervensi pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi adalah pemberian terapi ARV (Anti Retro Viral). Pemberian terapi ARV ini sendiri memiliki tujuan untuk memaksimalkan penekanan replikasi virus, menurunkan hambatan penurunan daya tahan tubuh, serta meningkatkan kembali fungsi daya tahan tubuh. Upaya inervensi pencegahan dengan cara pemberian ARV yang tepat merupakan cara yang paling efektif.
Pemberian ARV sebagai upaya pencegahan penularan infesi HIV dari ibu ke bayi mengacu pada acuan yang direkomendasi oleh WHO. Secara umum pemberian ARV ini dapat dibagi menjadi 2 golongan, yakni yang pertama ARV sebagai terapi bagi ibu dan pencegahan
38
penularan serta yang kedua ARV sebagai profilaksis saja. Sebelum ARV diberikan, harus dilakukan pemeriksaan secara holistik kepada penderita baik secara klinis maupun laboratoris.
Pemberian ARV sebagai upaya pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi tidak hanya diberikan bagi ibu saja, namun juga diberikan pada bayinya. Pemberian ARV dilakukan pada saat kehamilan, proses persalinan, maupun pada saat postpartum. Selama dilakukan pemberian terapi ARV, kesehatan ibu maupun janin yang dikandung harus selalu dipantau dengan baik dan menyeluruh.
Sampai saat ini masih banyak obat-obatan ARV yang masih dalam uji klinis. Komplikasi pemberian ARV saat kehamilan dapat terjadi pada ibu maupun pada bayi. Komplikasi pada ibu yang sering terjadi adalah reaksi hipersensitivitas dan kerusakan pada ginjal maupun liver. Sedangkan komplikasi pada bayi masih merupakan perdebatan apakah obat-obatan ARV atau efek perjalanan penyakit HIV pada ibu yang menjadi penyebab kelainan yang muncul.
Diharapkan dengan penangan yang tepat pada wanita dan wanita hamil dengan HIV, penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi dapat ditekan sampai semaksimal mungkin. Target global WHO untuk mengeliminasi infeksi HIV dan AIDS dapat terlaksana menuju generasi baru yang bebas HIV dan AIDS.
39
Gambar 3.1 Alogaritma pemberian ARV untuk PMTCT.3
Status HIV
HIV dalam Terapi ARV HIV positif HIV negatif
Lanjutkan ARV Kriteria Eligibilitas
ARV profilaksis Pemberian ART -AZT + 3TC + NVP -TDF + 3TC (FTC) + NVP -AZT + 3TC + EFV -TDF + 3TC (FTC + EFV Pilihan A : AZT mulai usia kehamilan 14 mgg Pilihan B : Triple ARV profilaksis mulai usia kehamilan 14 mgg
Lanjutkan ART Single dose NVP + AZT
+ 3TC sehari 2 kali
Lanjutkan triple ARV
Ibu : lanjutkan terapi ARV
Bayi : NVP sehari sekali atau AZT sehari 2kali dari lahir sampai usia 4-6 minggu
Pemberian ASI : Ibu : lanjutkan AZT + 3TC selama 1 minggu Bayi : NVP sehari sekali sampai 1 minggu setelah ASI dihentikan atau jika ASI berhenti sebelum 6 minggu diberikan sampai usia 4-6 minggu
Pemberian ASI : Ibu : lanjutkan triple ARV profilaksis sampai 1 minggu setelah akhir menyusui
Bayi : NVP sehari sekali atau AZT sehari 2kali dari lahir sampai usia 4-6 minggu
Pemberian PASI : Ibu : : lanjutkan AZT + 3TC selama 1 minggu Bayi : NVP sehari sekali atau AZT sehari 2 kali dari lahir sampai usia 4-6 minggu
Pemberian PASI : Ibu : -
Bayi : NVP sehari sekali atau AZT sehari 2kali dari lahir sampai usia 4-6 minggu
A
N
T
E
N
A
T
A
L
P O S T P A R T U M I N P A R T U40
DAFTAR PUSTAKA
1. Nasronudin, 2007.HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. Airlangga University Press.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Modul Pelatihan Nasional Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi.
3. World Health Organization, 2010. Antiretrovoral Drugs For Treating Pregnant Woman and
Preventing HIV Infection in Infants. WHO Library Catalouguing-Publications, 2010.
4. Fauci. et al. 2008. Human Immunodeficiency Virus : AIDS and Related Disorders. In :
Harrison’s Principle of Internal Medecine 17th
ed. The McGraw-Hill, 2008 : 989-1008. 5. Abbas, A.K. & Lichtman, A.H. 2010. Congenital and Acquired Immunodefeciencies.
In:Cellular and Molecular Immunology:The Immune System in Defense and Disease 6th ed. W.B. Sauders company, 2010 : 476-488.
6. Cunningham, et al. 2010. Sexual Transmitted Disease . In : Williams Obstetrics 23rd ed. The McGraw-Hill, 2010 : 1224-1284.
7. Moodley, J. 2005. Management Of Human Immunodeficiency Virus Infection In Pregnancy. Clinical Obstetrics and Gynaecology, 2005 : Vol. 19, No. 2, pp. 169–183.
8. Thorne, C ; Newell, M. 2000. Epidemiology of HIV infection in the newborn. 2000 Early Human Development 58 : 1–16
9. DeCock, KM; Fowler, M; Mercier, E. 2000. Prevention of MTCT HIV in resource-poor
countries: translatingresearch into policy and practice. JAMA 2000; 283: 1175–1182.
10. Saada, M; Chanadec, J; Berreb, A. 2000. Pregnancy and progression to AIDS: results of the
French prospective cohort study. AIDS 2000; 14: 2355–2360.
11. Brocklehurst, P; French, R. 1998. The Association Between Maternal HIV Infection And
Perinatal Outcome: Asystematic Review Of The Literature And Meta-Analysis. Br J Obstet
Gynaecol 1998; 105: 836–848.
12. World Health Organization. 2006. Who Case Definition Of HIV For Surveillance And
Revised Clinical Staging And Immunological Classification Of HIV-Related Disease In Adults And Children. WHO Library Catalouguing-Publications, 2006.
13. Thorne , C; Newell , M. L. 2004. Prevention of mother-to-child transmission of HIV
infection . Curr. Opin. Infect. Dis. , 17 , 247 – 52 .
14. Magder , L; Mofenson, L; Paul, M. 2005. Risk Factors For In Utero And Intrapartum
41
15. Martinez , A; Hora, V; Santos, A. 2006. Determinants of HIV-1 mother to child transmission
in Southern Brazil . An. Acad. Bras. Cienc: 78 , 113 – 21.
16. Stratton,P; Tuomala, R; Abboud, R.1999. Obstetric And Newborn Outcomes In A Cohort Of
HIV-Infected Pregnant Women. A Report Of The Women And Infants Transmission Study. J
Acquir Immune Defic Syndr 20: 179–186.
17. Brocklehurst, P; French, R.1998. The Association Between Maternal HIV Infection And
Perinatal Outcome: A Systematic Review Of The Literature And Meta-Analysis. Br J Obstet
Gynaecol 105: 836–848.
18. Newell, M. 2006. Current Issues In The Prevention Of Mother-To-Child Transmission Of
HIV-1 Infection. Trans R Soc Trop Med Hyg 100 (1): 1–5.
19. Dabis, F; Leroy, V. 2000. Preventing Mother-To-Child Transmission Of HIV: Practical
Strategies For Developing Countries. AIDS Read10 (4): 241–4.
20. Therese, D; Christiana, N. 2007. Reproductive Choice for Women and Men Living with HIV:
Contraception, Abortion and Fertility. Reproductive Health Matters : 15(29 Supplement):46–
66.
21. Bulterys, M; Smith, D; Chao, A. 2007. Hormonal Contraception And Incident HIV-1
Infection: New Insight And Continuing Challenges. JAIDS : 21(1):97–99.
22. Anna, S; Sandra H; Claire T. 2008. Current Guidelines On Management Of HIV-Infected
Pregnant Women: Impact On Mode Of Delivery. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology 139 : 127–132
23. James, A ; Glenda, E. 2009. Preventing Mother-To-Child Transmission Of HIV. Elesevier:
472-497
24. Lehman, D.A; John-Stewart, G.C; Overbaugh, J.2009. Antiretroviral Strategies to Prevent
Mother-to-Child Transmission of HIV: Striking a Balance between Efficacy, Feasibility, and Resistance. PLoS Med 6(10):e1000169.
25. Arrive, E; Dabis, F. 2008. Prophylactic Antiretroviral Regimens For Prevention Of
Mother-To-Childtransmission Of HIV In Resource-Limited Settings. Curr Opin HIV AIDS 3: 161–
165.
26. Lockman, S; Shapiro, R.L; Smeaton, L.M, et al. 2007. Response To Antiretroviral Therapy
After A Single, Peripartum Dose Of Nevirapine. N Engl J Med 356: 135–147.
27. Zengquan Zhou, MD et al. 2010. Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV-1Using Highly Active Antiretroviral Therapy in Rural Yunnan, China. J Acquir Immune Defic Syndr 53:S15–S22.
42
28. Cooper, E; Charuratm, M; Mofenson, L.2002 . Combination Antiretroviral Strategies For
The Treatment Of Pregnant HIV-1 Infected Women And Prevention Of Perinatal HIV-1 Transmission. J Acquir Immune Defic Syndr Hum Retroviral 29:484–494.
29. Shirin, H et al. 2011. Antiretroviral Drugs For Preventing Mother-To-Child Transmission Of
HIV: A Review Of Potential Effects On HIV-Exposed But Uninfected Children. J Acquir
Immune Defic Syndr 2011;57:290–296.
30. Watts, DH.2007. Teratogenicity Risk Of Antiretroviral Therapy In Pregnancy. Curr HIV/AIDS Rep. 4:135–140.
31. Ford, N; Mofenson, L; Kranzer, K. 2010. Safety Of Efavirenz In First-Trimester Of
Pregnancy: A Systematic Review And Meta-Analysis Of Outcomes From Observational Cohorts. AIDS 24:1461–1470.
32. Monica,N; Mary, G.F; Lynne, M.M. 2002. Antiretroviral Prophylaxis of Perinatal HIV-1
Transmission and the Potential Impact of Antiretroviral Resistance. JAIDS 30:216–229.
33. Jeffrey, S.A; Moses, S; Julia P. S. 2003. Comparison of Two Strategies for Administering
Nevirapine to Prevent Perinatal HIV Transmission in High-Prevalence, Resource-Poor Settings. JAIDS 32:506–513.
34. Ingrid T. Katz et al. 2010. Risk Factors for Detectable HIV-1 RNA at Delivery Among
Women Receiving Highly Active Antiretroviral Therapy in the Women and Infants Transmission Study. JAIDS 54:27–34.
35. Shirin, H; Lynne, M; Mark F.2011. Antiretroviral Drugs for Preventing Mother-to-Child
Transmission of HIV: A Review of Potential Effects on HIV-Exposed but Uninfected Children.JAIDS 57:290–296.