• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

11

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah

Dalam pembangunan daerah Pemerintah dituntut untuk

merumuskan langkah-langkah sektoral dan kewilayahan yang saling

bersinergi yang mempunyai strategi “Pembangunan untuk Semua”

dalam rangka mewujudkan pembangunan yang inklusif dan

berkeadilan. Pembangunan sering kali terfokus pada pertumbuhan

ekonomi dengan mengabaikan pembangunan sosial atau investasi

sumber daya manusia. Beberapa ciri yang terkandung di dalam

pertumbuhan inklusif antara lain merupakan pertumbuhan ekonomi

yang memiliki sasaran utama bukan tujuan; pertumbuhan ekonomi

merupakan sasaran untuk mencapai tujuan kemakmuran bersama

semua warga; pertumbuhan ekonomi disertai kebijakan publik dapat

berbuat banyak dalam mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan

serta kebijakan dan institusi-institusi sosial non ekonomi seperti

jaminan sosial, tata dan kualitas pemerintahan memiliki posisi sama

penting dengan kebijakan-kebijakan ekonomi (Prasetyantoko, 2012)

Pertumbuhan ekonomi yang inklusif adalah pertumbuhan yang

meluas antar sektor atau insentif terhadap tenaga kerja. Dengan begitu,

pertumbuhan inklusif dapat dikatakan sebagai pertumbuhan yang

(2)

erat dengan konsep pertumbuhan yang pro poor. Dengan kata lain, berdasarkan hasil yang dicapainya, pertumbuhan inklusif merupakan

pertumbuhan yang mampu menurunkan kelompok yang “tidak

diuntungkan” dalam perekonomian. Dari definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa pertumbuhan inklusif adalah pertumbuhan yang

mampu menjamin pemertaan akses pertumbuhan yang mampu

menurunkan kelompok yang tidak memperoleh keuntunan dari

pertumbuhan (mengurangi disparitas antar kelompok) (Dyah Hapsari,

2014: 12). Untuk dapat menghasilkan pertumbuhan yang inklusif

perlulah Pemerintah melakukan pembangunan ekonomi daerah terlebih

dahulu secara bersinergi yang mempunyai strategi.

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana

pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola setiap sumberdaya

yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah

daerah sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru

dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan

ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2010: 374).

Masalah pokok dalam pembangunan daerah terletak pada

penekanannya terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang

didasarkan pada ciri khas dari daerah yang bersangkutan dengan

menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, serta

sumber daya fisik secara lokal (daerah). Orientasi tersebut

mengarahkan pada proses pembangunan untuk menciptakan

(3)

Ada sejumlah teori yang dapat menerangkan adanya perbedaan

dalam tingkat pembangunan ekonomi antar daerah. Teori tersebut

diantaranya adalah (Tambunan, 2001: 288-290)

a. Teori Basis Ekonomi

Teori basis ini menyatakan bahwa faktor penentu utama

pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung

dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Proses

produksi di sektor industry di suatu daerah yang menggunakan

sumber daya produksi (SPD) lokal, termasuk tenaga kerja dan

bahan baku, dan output-nya diekspor akan menghasilkan

pertumbuhan ekonomi, peningkatan pedapatan per kapita, dan

penciptaan peluang kerja di daerah tersebut.

b. Teori Lokasi

Teori lokasi juga sering digunakan untuk penentuan atau

pengembangan kawasan industri di suatu daerah. Inti dari

pemikiran teori ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha/

perusahaan yang cenderung mencari keuntungan setinggi mungkin

dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena itu, pengusaha akan

memilih lokasi usaha yang memaksimumkan keuntungannya dan

meminimaliskan biaya usaha/ produksinya, yakni lokasi yang dekat

(4)

c. Teori Daya Tarik

Dalam upaya pembangunan ekonomi daerah di Indonesia

sering dipertanyakan jenis-jenis isndustri apa saja yang tepat untuk

dikembangkan (diunggulkan). Ada sejumlah faktor penentu

pembangunan industri di suatu daerah, yang terdiri atas

faktor-faktor daya tarik industri dan faktor-faktor daya saing daerah (Kotler,

1997 dalam Tambunan, 2001: 289).

Gambar 2.1 Faktor-faktor Penentu dalam pembangunan Industri Suatu Daerah

Sumber: Kotler (1977) dalam Tambunan, 2001: 289

Faktor-faktor daya tarik antara lain sebagai berikut:

a) Nilai tambah yang tinggi per pekerja (Produktivitas)

Ini berarti industri tersebut memiliki sumbangan yang penting

tidak hanya terhadap pembentukan PDRB. Faktor-faktor daya tarik:

- Nilai tambah yang tinggi per kapita - Industri kaitan

- Daya saing di masa depan - Spesialisasi industri - Potensi ekspor

- Prospek bagi permintaan domestik

Faktor-faktor daya saing daerah - Penilaian kemampuan industri suatu daerah

-Pembangunan kemampuan industri suatu daerah

(5)

b) Industri-industri kaitan

Perkembangan industri-industri tersebut akan meningkatkan

total nilai tambah daerah atau mengurangi “kebocoran

ekonomi” dan ketergantungan impor.

c) Daya saing di masa depan

Daya saing di masa depan sangat menentukan prospek dari

pengembangan industry yang bersangkutan.

d) Spesialisasi industri

Suatu daerah sebaiknya berspesialisasi pada industri-industri di

mana daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif

sehingga daerah tersebut akan menikmati gain from trade.

e) Potensi ekspor

f) Prospek bagi pemerintah domestik

Pemberian suatu kontribusi yang berarti bagi peningkatan

pertumbuhan ekonomi daerah melalui kontribusi lokal.

Faktor-faktor penyumbang pada daya tarik industri dapat

dikelompokkan dalam empat 4 kelompok, yakni sebagai berikut:

a) Faktor-faktor Pasar

Faktor-faktor ini antara lain ukuran pasar, ukuran segmen

(6)

terhadap harga dan faktor eksternal, siklus dan musim, serta

kemampuan tawar-menawar.

b) Faktor-faktor Persaingan

Faktor-faktor ini antara lain tingkat pemusatan, substitusi

disebabkan oleh progress teknologi, tingkat dan jenis integrasi,

dan entry rates serta exist rates.

c) Faktor-faktor Keuangan dan Ekonomi

Faktor-faktor ini antara lain nilai tambah, kesempatan kerja,

keamanan, stabilitas ekonomi, pemanfaatan kapasitas produksi,

skala ekonomis, dan ketersediaan infrastruktur keuangan.

d) Faktor-faktor Teknologi

Faktor-faktor ini antara lain kompleksitas diferensiasi, paten

dan hak cipta, dan tekonologi proses manufaktur yang

diperlukan.

2. Pertumbuhan Ekonomi

Boediono (1985) (dalam Kuncoro, 2004: 129) berpendapat

bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan faktor-faktor apa yang

menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan

penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu

sama lain, sehingga menimbulkan proses pertumbuhan. Pertumbuhan

ekonomi adalah suatu “proses”, bukan suatu gambaran ekonomi pada

(7)

perekonomian, yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian

berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Tekanannya berada

pada perubahan atau perkembangan itu sendiri.

Kuznets (1971) (dalam Todaro, 2000: 144) mengemukakan

pendapatnya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah naiknya kapasitas

dalam waktu jangka yang panjang dari suatu Negara yang mengalami

pertumbuhan untuk dapat menyediakan kebutuhan ekonomi bagi para

masyarakatnya. Kenaikan kapasitas itu sendiri dapat dilihat dengan

adanya kemajuan atau perkembangan-perkembangan teknologi

institusional (lembaga) serta adanya ideologis terhadap berbagai

permintaan yang ada.

Sukirno (2004:19) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi

merupakan berubahnya kegiatan ekonomi yang terjadi dari tahun ke

tahun selalu berkembang. Jika ingin mengetahui seberapa besar tingkat

pertumbuhan ekonomi harus melakukan perbandingan pendapatan

suatu daerah dari berbagai tahun yang dihitung berdasarkan harga

berlaku ataupun harga konstan. Jadi keberhasilan pembangunan suatu

daerah dapat dilihat melalui perhitungan pertumbuhan ekonomi. Suatu

daerah dapat dikatakan mengalami pertumbuhan yang cepat apabila

dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang cukup tinggi, sedangkan

sebaliknya dikatakan lambat pertumbuhannya jika terjadi penurunan

(8)

Definisi pembangunan ekonomi sangat luas bukan hanya sekedar

bagaimana meningkatkan GNP per tahun saja. Pembangunan ekonomi

itu bersifat multidimensional yang mencangkup berbagai aspek dalam

kehidupan masyarakat, bukan hanya salah satu aspek (ekonomi) saja.

Pembangunan ekonomi dapat didefinisikan sebagai setiap kegiatan

yang dilakukan suatu Negara dalam rangka mengembangkan kegiatan

ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya. Dengan adanya batasan

tersebut, maka pembangunan ekonomi pada umumnya dapat

didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan

pendapatan riil per kapita penduduk suatu Negara dalam jangka

panjang yang disertai oleh perbaikan system kelembagaan. Dari

definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan

ekonomi mempunyai unsur-unsur pokok dan sifatsebagai berikut

(Arsyad, 2010: 11-12):

a. Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara terus

menerus berkelanjutan.

b. Usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita.

c. Peningkatan pendapatan per kapita itu harus terus berlangsung

dalam jangka panjang.

d. Perbaikan system kelembagaan di segala bidang (misalnya

ekonomi, politik, hokum, sosial dan budaya).

Terdapat enam ciri pertumbuhan ekonomi, yang dikemukakan

(9)

a. Tingkat pertumbuhan output perkapita dan pertumbuhan penduduk

yang tinggi.

b. Tingkat kenaikan total produktivitas faktor produksi yang tinggi,

yakni output yang dihasilkan masing-masing unit input dari seluruh

input atau faktor-faktor produksi yang digunakan untuk membuat

output tersebut.

c. Tingkat transformasi struktural ekonomi yang tinggi.

d. Tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi.

e. Adanya kecenderungan Negara-negara yang mulai atau yang sudah

maju perekonomiannya untuk berusaha menambah bagian-bagian

dunia lain sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang

baru.

f. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya

mencapai sekitar sepertiga bagian penduduk dunia.

Terdapat empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi yang dikemukakan oleh Kuncoro (2004:129). Keempat faktor

tersebut, yaitu: (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang dan

modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkat teknologi

yang digunakan. Suatu perekonomian dikatakan mengalami

pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya

(10)

Dalam pertumbuhan ekonomi terdapat tiga komponen yang

mempunyai arti penting bagi setiap masyarakat, tiga komponen

tersebut adalah (Todaro, 2006: 118-123)

a. Akumulasi Modal

Akumulasi modal (capital accumulation) akan diperoleh bila sebagian pendapatan yang diterima saat ini ditabung dan

diinvestasikan lagi dengan tujuan meningkatkan output dan

pendapatan di masa depan. Peralatan bahan baku baru akan

meningkatkan persediaan modal fisik suatu bangsa sehingga

memungkinkan bagi tercapainya tingkat produktivitas yang lebih

tinggi. Investasi produksi langsung tersebut ditunjang oleh

infrastruktur sosial ekonomi yang akan memudahkan dan

memadukan kegiatan-kegiatan ekonomi. Demikian pula invetasi

dalam sumber daya manusia yang akan dapat meningkatkan

kualitasnya sehingga akan memiliki pengaruh yang sangat kuat dan

bahkan lebih besar dibandingkan dengan jumlah manusia yang

terus bertambah. Cara efektif yang dapat ditempuh untuk

meningkatkan kualitas dan ketrampilan sumber daya manusia

antara lain dengan melalui pendidikan formal, pemanduan bakat

yang telah dimiliki oleh manusia, serta program-program pelatihan

yang diimbangi dengan terjun nyata dalam dunia pekerjaan juga

(11)

b. Populasi dan Pertumbuhan Angkatan Kerja

Pertumbuhan jumlah penduduk yang pada akhirnya

dihubungkan dengan kenaikan angkatan kerja, secara tradisional

dianggap sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan

ekonomi. Jika angkatan kerja tersedia dalam jumlah yang lebih

besar, berarti tersedia juga lebih banyak pekerja yang produktif,

serta jumlah penduduk yang besar akan meningkatkan ukuran

potensi pasar domestik. Akan tetapi hal ini tergantung pada

seberapa besar kemampuan system ekonomi dalam menyerap dan

mempekerjakan tenaga kerja tersebut secara produktif.

c. Kemajuan Teknologi

Bagi beberapa ahli ekonomi, kemajuan teknologi

merupakan faktor yang sangat penting bagi jalannya pertumbuhan

ekonomi. Kemajuan teknologi dalam bentuk yang paling sederhana

dihasilkan dari pengembangan cara-cara lama atau penemuan

metode baru dalam menyelesaikan tugas-tugas tradisional.

3. Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi

Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi.

Ketiadakcukupan infrastruktur merupakan salah satu kunci terjadinya

hambatan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Simon Kuznet

menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur merupakan public obligation, yaitu yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah karena infrastruktur merupakan prasarana publik paling primer dalam

(12)

mendukung kegiatan ekonomi suatu Negara. Ketersediaan infrastruktur

juga sangat menentukan tingkat keefisienan dan keefektifan kegiatan

ekonomi serta merupakan persyaratan agar berputarnya roda

perekonomian berjalan dengan baik. (Ndulu, et.al., 2005 dalam Abdul Maqin 2011).

Pada dasarnya infrastruktur pembangunan dapat dibagi menjadi

(Valeriani, 2011):

a. Infrastruktur ekonomi yaitu infrastruktur fisik baik yang digunakan

dalam proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh

masyarakat, meliputi semua prasarana umum seperti tenaga listrik,

telekomunikasi, perhubungan, irigasi, dan lain-lain.

b. Infrastruktur sosial yaitu prasarana sosial seperti kesehatan dan

pendidikan.

Penciptaan dan peningkatan kegiatan ekonomi diperlukan sarana

infrastruktur yang memadai. Ilustrasi yang digunakan dapat

sederhana, seandainya semula tidak ada akses jalan kemudian

dibuat jalan maka dengan akses tersebut akan meningkatkan

aktivitas perekonomian. Contoh lain, di komunitas bisnis, semula

tidak ada listrik maka dengan adanya listrik kegiatan ekonomi di

komunitas tersebut akan meningkat (Ma’aruf, 2014).

4. Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Ketimpangan distribusi pendapatan adalah salah satu ciri dari

(13)

tingkat pertumbuhan ekonomi antara suatu daerah dengan daerah lain

tersebut disebabkan oleh ketidakmerataannya hasil pembangunan.

Ketika timbulnya disparitas pembangunan akan timbul ketimpangan

distribusi pendapatan. Ketimpangan distribusi pendapatan dapat terjadi

antar individu, antar sektor maupun antar daerah. Ketimpangan

distribusi pendapatan di setiap daerah disebabkan oleh: perbedaan

komposisi jumlah penduduk, sumber daya yang ada dan karakteristik

setiap daerah. Ketimpangan tidak bisa dibiarkan tinggi karena dapat

berdampak buruk terhadap kestabilan ekonomi dan politik (Daryanto,

2010: 196).

Sesuai dengan trend dalam distribusi pendapatan, ketimpangan

distribusi pendapatan ini dapat digolongkan menjadi empat kelompok,

yaitu (Kuncoro, 2000: 108-124):

a. Ketimpangan Kota dan Desa

Ketimpangan kota dan desa yaitu ketimpangan distribusi

pendapatan masyarakat yang berada di kota dan di desa.

b. Ketimpangan Regional

Ketimpangan regional yaitu ketimpangan distribusi

pendapatan antara wilayah atau regional.

c. Ketimpangan Interpersonal

Ketimpangan interpersonal yaitu ketimpangan distribusi

(14)

d. Ketimpangan antar Kelompok Sosial Ekonomi

Ketimpangan antar kelompok sosial ekonomi yaitu

ketimpangan distribusi pendapatan dilihat dari tingkat

pendidikannya.Semakin tinggi tingkat pendidikannya maka

semakin besar pendapatan yang diperoleh.

Faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar

daerah di Indonesia adalah sebagai berikut (Tambunan,

2001:190-199):

a. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Ketimpangan pembangunan antar daerah bisa terjadi

apabila terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di

daerah tertentu. Daerah yang konsentrasi ekonominya tinggi maka

pertumbuhan ekonominya cenderung pesat, sedangkan daerah yang

tingkat konsentrasi ekonominya rendah maka tingkat pertumbuhan

dan pembangunan ekonominya juga cenderung redah. Salah satu

faktor yang menyebabkan suatu daerah mempunyai tingkat

konsentrasi tinggi adalah adanya industri manufaktur. Sektor

industri manufaktur yang berkembang baik di suatu wilayah secara

alamiah akan memberikan efek positif terhadap kegiatan-kegiatan

ekonomi di sektor-sektor lain di wilayah tersebut baik secara

(15)

b. Alokasi Investasi

Ketimpangan pembangunan antar daerah juga bisa

disebabkan oleh adanya perbedaan distribusi investasi langsung

antara daerah, baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Berdasarkan teori

pertumbuhan ekonomi dari Harnold Domar yang menerangkan

bahwa ada korelasi positif antara tingkat investasi dan laju

pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan apabila suatu daerah

kekurangan investasi maka pertumbuhan ekonomi dan tingkat

pendapatan masyarakat di daerah tersebut akan rendah karena tidak

ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri

manufaktur.

c. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah

Ketimpangan pembangunan antar daerah juga dapat terjadi

karena kurang ancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga

kerja dan modal antar daerah. Apabila perpindahan faktor produksi

seperti tenaga kerja dan modal antar daerah. Apabila perpindahan

faktor produksi antar daerah tidak ada hambatan maka

pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai

(16)

d. Perbedaan Sumber Daya Alam

Ketimpangan antar daerah juga bisa disebabkan oleh

perbedaan sumber daya alam. Dasar pemikiran “klasik”

mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang kaya

sumber daya alamnya akan lebih maju dan masyarakatnya lebih

makmur dibandingkan daerah yang miskin sumber daya alam.

e. Perbedaan Kondisi Demografis antar Wilayah

Ketimpangan pembangunan antar daerah juga bisa

disebabkan adanya perbedaan kondisi demografis antar daerah,

yaitu dalam hal: jumlah dan pertumbuhaan penduduk, tingkat

kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat,

dan etos kerja.

f. Kurang Lancarnya Perdagangan antar Daerah

Ketimpangan pembangunan antar daerah juga bisa terjadi

karena kurang lancarnya perdagangan antar daerah.

Ketidaklancaran tersebut biasanya disebabkan oleh keterbatasan

transportasi dan komunikasi, sedangkan barang yang

diperdagangkan antar daerah meliputi barang jadi, barang modal,

input perantara, bahan baku sentra material-material lainnya untuk

produksi barang dan jasa. Dengan ketidak lancaran arus barang dan

jasa antar daerah tersebut akan mempengaruhi pembangunan dan

(17)

Masalah pemerataan merupakan suatu hal yang kompleks, karena

seringkali berkaitan dengan nilai-nilai sosial suatu

masyarakat.Sebagian masyarakat memandang pemerataan sebagai

salah satu tujuan yang bernilai karena adanya implikasi moral dan

hubungan yang erat dengan unsur kelayakan dan keadilan sosial.Selain

itu, masalah pemerataan juga berkaitan dengan upaya pengentasan

kemiskinan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan sosial

masyarakat.

Dalam setiap upaya pencapaian pemerataan oleh pemerintah

terdapat berbagai rintangan yang harus dihadapi, antara lain (Arsyad,

2010: 284):

a. Pendanaan yang diperlukan sangatlah besar. Adanya kendala

anggaran di sebagian besar Negara sedang berkembang yang

kiranya akan membatasi ruang gerak bagi upaya-upaya

pengurangan tingkat kesenjangan.

b. Upaya yang dilakukan pemerintah seringkali tidak mampu

menjangkau golongan miskin di negeri tersebut. Hal ini disebabkan

oleh terbatasnya interaksi antara pedesaan dan sektor-sektor

informal (yang merupakan representasi golongan miskin) dengan

institusi-institusi formal, misalnya institusi keuangan dan tentu saja

pemerintah terkait.

c. Adanya hambatan politik, dimana golongan masyarakat

(18)

lebih kecil daripada golongan masyarakat berpendapatan tinggi.

Hal ini tentu saja akan menghalangi setiap upaya pengalokasian

pengeluaran yang ditunjukkan untuk golongan miskin.

5. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Distribsui Pendapatan

Fenomena hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan

ketidakmerataan pendapatan pertama kali diperkenalkan oleh Simon

Kuznets. Hipotesis Kuznets melahirkan sebuah wacana baru bahwa

pembangunan di suatu Negara batas-batas tertentu ternyata dapat

memicu timbulnya kesenjangan ekonomi diantara warganya. Di dalam

analisisnya, Kuznets menemukan relasi antara tingkat kesenjangan

pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita yang berbentuk U

terbalik, yang menyatakan bahwa pada awal tahap pertumbuhan,

distribusi pendapatan cenderung memburuk. Namun pada tahap

berikutnya, distribusi pendapatan tersebut akan membaik seiring

dengan meningkatnya pendapatan perkapita (Arsyad, 2010: 292-294).

Gambar 2.2 Kurva U Terbalik Kuznets Indeks

ketimpangan

(19)

Sumber: Kuncoro, 2004:137

Hipotesis Kuznets dapat dibuktikan dengan membuat grafik

antara pertumbuhan produk domestik regional bruto dan indeks

ketimpangan. Kurva bebrbetuk U terbalik berarti bahwa pada

masa-masa awal pertumbuhan ketimpangan memburuk dan pada tahap-tahap

berikutnya ketimpangan menurun, namun pada suatu waktu akan

terjadi peningkatan ketimpangan lagi dan akhirnya akan menurun lagi

sehingga dapat dikatakan peristiwa tersebut seperti berulang kembali

(Kuncoro, 2004:137).

Ada dua pendapat dari hasil studi empiris yang menguji hipotesis

Kuznets, dengan menggunakan data makro dari sejumlah Negara yaitu

pertama, sebagian besar studi-studi itu mendukung hipotesis Kuznets

sedangkan sebagian lainnya menolak. Misalnya Bruno, dkk (1995),

Deininger dan Squire (1995,1996) dan Barro (1999) tidak

menunjukkan adanya suatu relasi yang sistematis antara pertumbuhan

pendapatan dan pola distribusinya. Juga studi dari Papenek (1978)

yang mencangkup 61 negara menunjukkan relasi antara tingkat

ketimpangan distribusi pendapatan dan tingkat pengembangan (yang

dilihat dari pendapatan) tidak signifikan. Walaupun hipotesis itu

diterima, namun sebagian besar dari studi-studi tersebut menunjukkan

bahwa relasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan pada periode

jangka panjang hanya terbukti nyata untuk kelompok Negara-negara

industri maju (kelompok Negara-negara dengan tingkat pendapatan

(20)

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian terdahulu

yang terdiri jurnal dengan rincian sebagai berikut:

1. Pertumbuhan Ekonomi

a. Sutarno dan Mudrajad Kuncoro (2003) menganalisis pertumbuhan

ekonomi dan ketimpangan antar kecamatan di Kabupaten

Banyumas tahun 1993-2000. Dalam penelitian ini digunakan alat

analisis: tipologi klassen, indeks Williamson, dan indeks entropi

theil. Berdasarkan analisis tersebut diperoleh hasil Kabupaten

Banyumas dapat diklasifikasikan berdasarkan pertumbuhan dan

pendapatan perkapita menjadi empat kelompok yaitu daerah cepat

maju dan cepat tumbuh, daerah yang yang maju tetapi tertekan,

daerah yang berkembang cepat dan daerah tertinggal. Pada periode

penelitian terjadi kecenderungan peningkatan ketimpangan, baik

dianalisis dengan indek Williamson maupun indeks entropi theil.

Ketimpangan ini salah satunya diakibatkan konsentrasi aktivitas

ekonomi secara spasial.

b. Herwin Mopangga (2011) menganalisis ketimpangan

pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo.

Analisis ini menggunakan teknik analisis tipologi klassen, shift

share, indeks Williamson dan indeks gini. Berdasarkan analisis

yang dilakukan didapatkan hasil bahwa analisis Shift Share

(21)

terbesar pada masing-masing kabupaten kota rata-rata terjadi di

sektor non-pertanian. Dari hasil tipologi klassen Kabupaten

Pohuwato dan Kota Gorontalo memiliki struktur ekonomi yang

lebih baik dan termasuk ke dalam daerah cepat maju dan tumbuh.

Sedangkan struktur ekonomi Kabupaten Gorontalo dan Bone

Bolango tidak kompetitif dan termasuk daerah relatif terbelakang.

Dari hasil perhitungan indeks Williamson menunjukkan bahwa

ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo sampai dengan

tahun 2008 relatif besar dibandingkan saat menjadi pertama

provinsi. Indeks gini menunjukkan kondisi ketimpangan di

Provinsi Gorontalo pada tahun 2001-2008 semakin meningkat.

c. Putra Fajar Utama (2010) menganalisis pertumbuhan ekonomi dan

tingkat ketimpangan di Kabupaten/ Kota yang tergabung dalam

kawasan Kedungsepur tahun 2004-2008. Penelitian ini

menggunakan metode analisis indeks Williamson, Location Quontient (LQ), Shift Share dan tipologi klassen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan analisis ketimpangan

diperoleh kesimpulan bahwa ketimpangan pendapatan di

Kedungsepur termasuk ketimpangan yang rendah. Berdasarkan

analisis LQ diperoleh bahwa sektor pertanian merupakan sektor

yang menjadi unggulan di Kedungsepur. Berdasarkan analisis Shift Share sektor di Kabupaten/ Kota yang berdampak positif terhadap sektor yang sama di Kedungsepur adalah sektor pertambangan dan

(22)

sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan

komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta

sektor jasa-jasa. Sedangkan berdasarkan analisis tipologi klassen,

hanya tiga klasifikasi di Kawasan Kedungsepur, yaitu Daerah yang

maju dan tumbuh cepat; daerah maju tapi tertekan dan Daerah

relatif tertinggal.

2. Ketimpangan Distribusi Pendapatan

a. Tutik Yuliani (2015) menganalisis pertumbuhan ekonomi dan

ketimpangan pendapatan antar Kabupaten di Kalimantan Timur.

Penelitian yang dilakukan oleh Tutik Yuliani menggunakan teknik

analisis indeks entropy theil dan indeks Williamson, serta dalam

penelitian ini dibuktikan apakah hipotesis kurva U terbalik berlaku.

Berdasarkan indeks Williamson menunjukkan bahwa selama tahun

2010-2012 terdapat ketimpangan pendapatan antar Kabupaten di

Kalimantan Timur sebesar 0,69 di tahun 2010 menjadi 0,72 di

tahun 2012. Sedangkan dari hitungan entropi theil menunjukkan

bahwa rata-rata selama tahun 2010-2012 terdapat ketimpangan

pendapatan sebesar 17,45. Setelah dilakukan analisis kurva U

terbalik (Hipotesis Kuznets) menunjukkan bahwa di Kalimantan

Timur selama tahun 20010-2012 berlaku.

b. Sultan dan Jamzani Sodik (2010) menganalisis ketimpangan

pendapatan regional di DIY-Jawa Tengah serta faktor-faktor yang

(23)

Sultan menggunakan teknik analisis indeks kesenjangan entropy

theil dan analisis regresi. Dalam penelitian tersebut diperoleh hasil

bahwa terdapat ketimpangan pendapatan regional di DIY dan Jawa

Tengah.

c. Ngakan Putu Mahesa E.R dan Made Suyana Utama (2013)

menganalisis pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan antar

kecamatan di Kabupaten Gianyar. Penelitian ini menggunakan alat

analisis tipologi klassen, indeks Williamson dan regression curve

estimation. Hasil analisis Kabupaten Gianyar diklasifikasikan

menjadi empat klasifikasi daerah; daerah maju dan cepat tumbuh,

daerah berkembang cepat tetapi tidak maju, daerah maju tetapi

tertekan, dan daerah relative tertinggal. Berdasarkan indeks

Williamson ketimpangan antar kecamatan di Kabupaten Gianyar

secara umum meningkat dari periode 1993-2009. Meskipun

meningkat ketimpangannya masih relative rendah rata-rata nilainya

sebesar 0,300. Hipotesis Kuznets yang menunjukkan hubungan

antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan yang berbentuk

U trebalik berlaku di Kabupaten Gianyar.

d. Adi Sutrisno (2012) menganalisis ketimpangan pendapatan dan

pengembangan sektor unggulan di Kabupaten dalam kawasan

Barlingmascakeb tahun 2007-2010. Penelitian ini menggunakan

metode analisis indeks Williamson, indeks entropy theil, location

quotient, shift share, tipologi klassen, skalogram dan analisis

(24)

pendapatan di kawasan Barlingmascakeb dari tahun 2007-2010

rata-rata sebesar 0,185 (indeks Williamson) dan 0,722 (indeks

entropi theil). Ketimpangan pendapatan di kawasan ini masih

tergolong rendah, akan tetapi ada kecenderungan peningkatan

selama periode pengamatan.

3. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Distribusi Pendapatan

a. Caska dan RM. Riadi (2008) menganalisis pertumbuhan dan

ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah di Provinsi Riau.

Penelitian ini menggunakan analisis tipologi klassen, indeks

Williamson, entropy theil dan kurva U terbalik (Hipotesis

Kuznets). Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil

bahwa selama tahun 2003-2005 daerah yang mengalami cepat

maju dan tumbuh hanya Kota Pekanbaru. Daerah yang

dikategorikan berkembang cepat adalah Kabupaten Pelalawan,

Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Kabupaten Siak. Untuk

daerah yang maju tapi tertekan adalah Kabupaten Indragi Hilir,

Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar. Sedangkan daerah yang

mengalami pertumbuhan relatif tertinggal adalah Kabupaten Rokan

Hilir, Dumai dan Kabupaten Bengkalis. Selama periode penelitian,

terjadi ketimpangan yang tidak cukup signifikan berdasarkan

indeks Williamson, sedangkan menurut indeks entropi theil

ketimpangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang berarti

(25)

periode pengamatan. Sebagai akibatnya tidak terbukti hipotesis

Kuznets di Provinsi Riau.

b. Puput Desi Kurnia Sari dan Made Kembar Sri ( 2013) menganalisis

pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar kecamatan di

Kabupaten Buleleng. Penelitian ini menggunakan tekknis analisis

tipologi klassen, indeks Williamson, korelasi pearson, dan

hipotesis Kuznets. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa hasil

tipologi klassen Kabupaten Buleleng dapat dibagi menjadi dua

daerah klasifikasi saja. Daerah yang pertama adalah daerah yang

tumbuh cepat tetapi tidak maju yang terdiri atas lima kecamatan

yakni, Kecamatan Gerokgak, Seririt, Sukasada, Buleleng dan

Kubutambah. Daerah yang kedua yakni daerah yang relatif

tertinggal adalah Kecamatan Busungbiu, Banjar, Sawan, dan

Kecamatan Tejakula. Selama periode pengamatan tahun 2007-2011

angka ketimpangan yang dihitung dengan menggunakan indeks

Williamson angkanya cukup kecil, dengan demikian dapat ditarik

kesimpulan bahwa ketimpangan di Kabupaten Buleleng cukup

kecil. Hubungan antara indeks Williamson dan pendapatan per

kapita dari penelitian ini diolah menggunakan korelasi pearson

yang hasilnya sebesar -0,743 dengan nilai signifikansi 0,150 yang

berarti secara statistik adanya korelasi pearson dan hubungannya

negatif. Hipotesis Kuznets tentang kurva U terbalik di Kabupaten

(26)

c. Agnes ratih Ari Indrayani (2010) menganalisis disparitas

pendapatan antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Dalam

penelitian ini menggunakan teknis analisis indeks Williamson dan

Hipotesis Kurva U terbalik (Hipotesis Kuznets). Berdasarkan hasil

analisis menunjukkan hasil bahwa dengan menggunakan

pembedaan dua kurun waktu terlihat bahwa kurun waktu keduanya

memunculkan angka indeks Williamson yang lebih besar (yang

terjadi pada enam wilayah Kabupaten/ Kotamadya). Hal ini berarti

di sebagian besar wilayah penelitian di Jawa Tengah pada kurun

waktu kedua (2004-2007) mengalami ketimpangan pendapatan

yang lebih besar dibandingkan dalam kurun waktu pertama

(1996-1999). Sedangkan untuk hasil hipotesis Kuznets tidak berlaku pada

penelitian ini.

C. Kerangka Pemikiran

Suatu pemikiran akan mudah dipahami apabila berdasarkan pada

suatu kerangka pemikiran yang sudah tersusun dan terarah pada pemecahan

masalah. Pembangunan ekonomi daerah merupakan pembangunan yang

berlansung secara terus-menerus dan ditunjukkan pada peningkatan

pertumbuhan dan pemerataan ekonomi suatu daerah. Antara satu daerah

dengan daerah lain mengalami pola tingkat pertumbuhan ekonomi yang

berbeda-beda.

Perbedaan pertumbuhan tersebut terjadi karena adanya perbedaan

(27)

pertumbuhan ekonomi, akan digunakan tipologi klassen untuk mengetahui

pola dan struktur pertumbuhannya. Perbedaan potensi tersebut akan

mengakibatkan adanya ketidakmerataan pembangunan yang menyebabkan

terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan antar Kecamatan di Kabupaten

Wonogiri yang akan dihitung menggunakan indeks Williamson. Sedangkan

hipotesis Kuznets (kurva U terbalik) digunakan untuk melihat bagaimana

hubungan pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan distribusi pendapatan.

Pembangunan daerah sendiri merupakan cerminan dari ketersediaan

infrastruktur yang nantinya dapat digunakan untuk melihat klasifikasi

wilayah pada tiap kecamatan.

Kerangka Pemikiran

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Pembangunan Daerah Pertumbuhan Ekonomi Kecamatan Ketimpangan Distribusi Pendapatan Antar Kecamatan Ketersedian Infrastruktur Tipologi Klassen (Klasifikasi Wilayah) Indeks Williamson

Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Hipotesis Kuznets (Kurva U terbalik)

Gambar

Gambar 2.1 Faktor-faktor Penentu dalam pembangunan  Industri Suatu Daerah
Gambar 2.2  Kurva U Terbalik KuznetsIndeks
Gambar 2.3 Kerangka PemikiranPembangunan Daerah PertumbuhanEkonomi Kecamatan Ketimpangan Distribusi  Pendapatan Antar KecamatanKetersedianInfrastrukturTipologi Klassen(Klasifikasi Wilayah)Indeks Williamson

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan lain dari penelitian ini ialah memberikan alternatif lain dalam melihat fenomena reformasi sistem jaminan sosial tidak hanya berupa alasan-alasan normatif tetapi

Secara umum, baik berdasarkan hasil dari angket maupun wawancara yang dilakukan, minat mahasiswa terhadap bidang otomotif mempengaruhi ketertarikan mahasiswa konsentrasi

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Indra Kurnia, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : ANALISIS PENGARUH BOPO, Equity to Total Assets (EAR) Ratio , Loan to Assets

Sedangkan kelompok komoditas yang memberikan sumbangan terjadinya deflasi adalah: kelompok sandang sebesar 0,01 persen dan kelompok transport, komunikasi, dan jasa keuangan

Hal tersebut menunjukkan penggunaan tenaga kerja pada tanaman kakao menjadi salah satu faktor yang harus dipertimbangkan oleh petani dalam meningkatkan produktivitas

Menemukan dan Menyusun data serta bukti-bukti sejarah yang mutakhir tentang sejarah perjuangan dan keberadaan Kerajaan Melayu di Propinsi Riau dari dahulu hingga sekarang

a. Sebuah gaya F  yang bervariasi terhadap waktu, bekerja pada sebuah benda bermassa 5 kg hingga menghasilkan momentum sebesar 80 kg.m/s dalam waktu 5 sekon. Peluru

Semua pasien, termasuk anak, dengan batuk yang tidak diketahui penyebabnya yang berlangsung selama   dua minggu atau lebih atau   dengan temuan lain pada foto thoraks