• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELITIAN TERDAHULU DAN KAJIAN TEORETIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENELITIAN TERDAHULU DAN KAJIAN TEORETIS"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENELITIAN TERDAHULU DAN KAJIAN TEORETIS 2.1 Penelitian Terdahulu

Pada bagian ini akan dipaparkan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian mengenai pemilihan bahasa. Berikut penelitian terdahulu mengenai pemilihan bahasa yang berhasil peneliti temukan.

Penelitian mengenai pemilihan bahasa sebelumnya pernah dilakukan oleh Zebar (2010) yang meneliti pemilihan bahasa oleh masyarakat India Tamil di Medan. Dalam penelitian tersebut, Zebar menyebutkan bahwa pemilihan bahasa oleh masyarakat India Tamil adalah bahasa Indonesia.

Mutmainnah juga melakukan penelitian serupa yang berjudul Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa (2008). Penelitian ini merupakan kajian sosiolinguistik pada masyarakat Jawa di kota Bontang, Kalimantan Timur. Hasil penelitian berupa macam-macam kode bahasa dan faktor-faktor yang menentukan, bentuk alih kode dan campur kode, serta faktor-faktor sosial penentu alih kode dan campur kode. Selain itu (dalam Mutmainnah, 2008), Tanner (1972) melakukan penelitian tentang penggunaan bahasa oleh sekelompok kecil lulusan pelajar Indonesia yang bersekolah di Amerika beserta keluarga mereka yang tinggal di sana. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tanner didapatkan bahwa beberapa di antara pelajar tersebut mengetahui sembilan bahasa yang berbeda, dan hampir seluruh pelajar tersebut mengetahui bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris. Dalam berdiskusi masalah akademik, mereka cenderung menggunakan bahasa Inggris, tetapi hampir seluruh aktivitas lainnya menggunakan bahasa Indonesia.

Penelitian tentang perilaku penggunaan alih kode antara bahasa Cina dan Inggris oleh anak-anak dwibahasa dilakukan oleh Ruan (2003). Dalam penelitiannya yang berjudul “Study of Bilingual Chinese/English Children's Code

Switching Behavior, Ruan menyimpulkan bahwa sama seperti pada

dwibahasawan dewasa, anak-anak Cina yang dwibahasa juga melakukan alih kode dalam tuturan mereka sebagai perangkat komunikasi. Anak-anak dwibahasa

(2)

Cina-Inggris melakukan alih kode dalam percakapan mereka untuk menemukan fungsi-fungsi yang beragam, seperti fungsi-fungsi sosial, fungsi-fungsi pragmatik, dan fungsi-fungsi meta-linguistik.

Dalam penelitian untuk disertasinya, Chidambaram (2000) meneliti tentang alih kode pada masyarakat Cochin Tamil di India. Pada penelitian yang berjudul “A Sociolinguistic Study of Code Switching Among the Cochin Tamils” tersebut ditemukan: (1) alih kode pada masyarakat Cochin Tamil berupa peralihan kode dari satu bahasa ke bahasa lain, satu dialek kedialek lain, dan satu variasi register ke variasi register lain; (2) campur kode berupa percampuran dua bahasa, percampuran dua bahasa atau lebih, dan percampuran dua variasi diglosia atau lebih; dan (3) pergeseran kode berupa pergeseran dari satu bahasa ke bahasa lain, satu dialek ke dialek lain, dan dari satu variasi diglosia ke variasi lain. Selain itu, Chidambaram juga menjelaskan bahwa selama berinteraksi, dengan adanya perpindahan informasi atau topik pembicaraan, terjadi pula pergeseran dari satu bahasa ke bahasa lain, satu dialek ke dialek lain, dan dari satu variasi ke variasi lain, tergantung pada peran dan jabatan penutur dan mitra tutur, serta situasi terjadinya tuturan tersebut.

Penelitian lainnya mengenai pemilihan bahasa pada masyarakat multibahasa dilakukan oleh Siregar (1987, dalam Fasya: 2009). Respondennya adalah orang Indonesia yang tinggal di Melbourne dan Sydney, Australia. Respondennya terdiri atas beberapa etnis dan bahasa, yaitu Jawa, Sunda, Minangkabau, Bali, Melayu, Batak, Flores, dan Bugis. Hasil penelitian itu disajikan dalam disertasinya yang berjudul “Language Choice, Language Mixing, and Language Attitudes: Indonesian in Australia”. Ia mengkombinasikan antarfaktor situasi sosial, yaitu hubungan peran antarpartisipan dan faktor situasi tutur yang dijabarkannya atas tujuh situasi, yaitu (1) membantah, (2) membujuk, (3) memuji,(4) meminta bantuan, (5) meminta dan memberi informasi, (6) bercakap-cakap santai, dan (7) memberi salam. Analisisnya menunjukkan bahwa pola pemilihan bahasa Indonesia dan bahasa daerah secara fungsional sangat dominan dipengaruhi oleh peran antarpartisipan. Selain itu, faktor situasi tutur serta faktor usia partisipan juga menentukan pemilihan bahasa.

(3)

Sementara itu, dalam Sumarsono dan Partana (2004) menyebutkan penelitian yang dilakukan oleh Parasher (1980). Parasher (1980) dengan ancangan sosiologi meneliti 350 orang terdidik di dua kota India. Berbeda dengan Greenfield yang dengan tegas memandang ranah dari tiga komponen, yaitu orang, tempat, dan topik, Parasher menggambarkan ranah dalam bentuk seperangkat situasi. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa topik memaksa orang untuk memilih bahasa Inggris dari pada bahasa lain, mengalahkan faktor partisipan dan lokal.

Greenfield melakukan penelitian pilihan bahasa dengan ancangan

(approach) sosiologi, yaitu dengan menggunakan analisis ranah (domain analysis)

(Sumarsono dan Partana, 2004: 204). Penelitian yang dilakukan Greenfield (1972), yakni mengenai pilihan bahasa di kalangan guyup Spanyol Puerto Rico yang dwibahasawan Spanyol dan Inggris, dengan memperhatikan tiga komponen,yaitu orang (partisipan), tempat, dan topik. Diketahui dari penelitian tersebut, ada lima ranah, yaitu keluarga (rumah tangga), kekariban (friendship), agama, pendidikan, dan lapangan kerja. Hasil yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan Greenfield, yaitu bahwa bahasa Spanyol lebih dipilih oleh guyup Spanyol di dalam penggunaan bahasa dalam ranah-ranah yang bersifat intim, seperti ranah keluarga dan kekariban. Bahasa Inggris digunakan jika terlibat perbedaan status, yaitu dalam ranah agama, pendidikan, dan lapangan kerja.

Dilihat dari penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian mengenai pemilihan bahasa ini memang sudah banyak diteliti. Hal ini terjadi karena fenomena pemilihan bahasa itu unik dan menarik. Bagaimana tidak? Pemilihan bahasa dalam masyarakat bilingual maupun multilingual merupakan suatu hal yang sering kali dianggap mudah, padahal tidak seperti itu. Berdasarkan pandangan sosiolinguistik, kondisi pemilihan bahasa yang tidak tepat cenderung menimbulkan permasalahan sosial, budaya, maupun situasional. Begitupun dengan pemilihan bahasa oleh seorang yang bukan penutur bahasa Indonesia ketika sedang melanjutkan studi di Bandung, dengan bahasa pengantar pendidikan, dan bahasa sehari-hari yang jauh dari bahasa asli mereka. Hal ini akan sangat menarik untuk diteliti.

(4)

2.2 Kajian Teoretis

Bagian ini terdiri dari teori-teori yang digunakan dalam penelitian mengenai pemilihan bahasa oleh mahasiwa asing di Kota Bandung. Adapun teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.

2.2.1 Keanekabahasaan (Multilingualisme)

Keanekabahasaan atau multilingualisme mengacu pada kemampuan berbahasa penutur atau masyarakat tutur dalam menggunakan lebih dari dua bahasa. Para penutur suatu bahasa berada dalam posisi yang lebih kuat pada saat bahasanya digunakan untuk komunikasi nasional atau internasional, atau untuk pemerintahan, atau untuk perdagangan dan komersil, atau untuk pendidikan (Spolsky dalam Rostika).

Fasold (1984: 8) mengatakan multilingualisme dapat dipandang paling tidak sebagai solusi sementara terhadap konflik nationist-nationalist dalam kebijakan bahasa (language policy). Misalnya, dalam pendidikan terdapat konflik antara pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa pengantar karena alasan-alasan efisiensi kebangsaan dengan pemakaian bahasa nasional karena alasan-alasan persatuan. Hal ini dapat diselesaikan dengan menggunakan bahasa daerah untuk pendidikan awal, kemudian diganti dengan bahasa nasional untuk pendidikan yang lebih tinggi.

Fasold (1984: 8) juga menambahkan pada level individu, multilingualisme berfungsi sebagai sumber interaksi bagi para penutur multilingual. Misalnya, suatu bahasa biasanya digunakan sebagai bahasa pada lingkungan rumah dan untuk berbicara dengan teman akrab, sedangkan bahasa lainnya digunakan untuk melakukan bisnis dengan lembaga-lembaga pemerintahan. Hal ini bisa terjadi pada masyarakat lingual yang cenderung menggunakan bahasa-bahasa atau ragam-ragam bahasa berbeda dalam kesehariannya.

(5)

2.2.2 Ihwal Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa dalam suatu peristiwa tutur bukanlah hal yang mudah (Fasold, 1984:180), yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole

language) dalam sebuah peristiwa komunikasi. Seseorang yang merupakan

dwibahasawan atau multibahasawan tentu akan berpikir untuk memilih bahasa apa yang akan digunakan ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi.

Dalam tesisnya yang berjudul “Pemilihan Bahasa Dalam Masyarakat Sunda: Studi Kasus Di Kelurahan Isola, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung”, Fasya (2009) menyebutkan bahwa terdapat tiga kategori pemilihan dalam pemilihan bahasa. Tiga kategori pemilihan tersebut adalah.

Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra

language variation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada

orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa krama, misalnya, ia telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama ini.

Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya

menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satuperistiwa komunikasi.

Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing), artinya

menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.

Dengan demikian, di dalam masyarakat multibahasa terdapat bermacam-macam kode, yang antara lain berupa dialek, sosiolek, serta gaya yang digunakan dalam berkomunikasi. Dengan adanya kode-kode tersebut, penutur dalam lingkungan tutur tersebut akan menggunakan kode sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan cara mengubah variasi penggunaan bahasanya.

2.2.2.1 Alih Kode

Fasol, Ralph (1984) mengemukakan bahwa masalah pertama yang dapat dipertimbangkan mengenai pemilihan bahasa adalah bahasa secara keseluruhan.

(6)

Kita dapat membayangkan seseorang yang berbicara dua bahasa atau lebih dan harus memilih bahasa yang mana yang akan digunakan. Bermacam-macam pemilihan yang harus kita hadapi seperti ini disebut dengan alih kode atau

code-switching (Laosa 1975; Greenfield 1972; Herman 1968; Sankooff 1980, dalam

Fasold 1984).

Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode menurut Suwito (1996: 85-87) antara lain ialah.

1) Penutur, seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya, mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi, atau sebaliknya.

2) Mitra tutur, mitra tutur yang latar belakan kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan apabila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan yang berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.

3) Hadirnya penutur ketiga untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaaan mereka berbeda.

4) Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam

menentukan alih kode. Misalnya, pokok pembicaraan yang bersifat formal para penuturnya akan menggunakan ragam baku dan pokok pembicaraan informal disampaikan dengan ragam santai.

5) Untuk membangkitkan rasa humor biasanya dilakukan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.

6) Untuk sekadar bergengsi, walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode. Sebagian penutur ada yang beralih kode sekadar untuk bergengsi.

2.2.2.2 Campur Kode

Berbeda dengan alih kode atau code-switching, campur kode atau

code-mixing adalah kondisi di mana serpihan-serpihan suatu bahasa digunakan pada

(7)

Serpihan-serpihan bahasa tersebut bisa berbentuk kata-kata, tetapi bisa juga dalam bentuk frasa atau unit-unit yang lebih besar (Gumperz 1977; Parasher 1980; Hill and Hill 1980, dalam Fasold 1984).

2.2.3 Ihwal Peristiwa Tutur

Yang dimaksud dengan peristiwa tutur atau speech event adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 2004: 47). Jadi, interaksi antara pedagang dan ibu di warung menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya bisa disebut peristiwa tutur. Peristiwa lain sebagai contoh, yakni sidang di pengadilan, khotbah di masjid, diskusi di ruang rapat, dan sebagainya merupakan peristiwa tutur. Akan tetapi, percakapan yang pokok percakapannya tidak menentu, tanpa tujuan, dilakukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk bercakap-cakap, dan menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti secara sosiolinguistik percakapan tersebut tidak dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur.

2.2.3.1 Komponen Tutur

Sebuah peristiwa tutur menurut Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 48-49) harus memenuhi delapan komponen. Komponen-komponen tersebut, bila huruf-huruf awalnya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Adapun penjelasan dari masing-masing komponen tersebut adalah.

Setting and scene (latar dan suasana tutur), setting atau latar mengacu pada

waktu dan tempat sebuah peristiwa tutur yang pada umumnya berupa lingkungan fisik. Untuk cerita tentang sebuah keluarga, ruangan keluarga bisa menjadi sebuah latar. Scene atau suasana merupakan latar psikologis atau definisi budaya dari sebuah suasana. Waktu, tempat, dan situasi berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di tengah konser yang bising tentu akan berbeda dengan pembicaraan di dalam perpustakaan yang sunyi. Di

(8)

dalam konser kita bisa berbicara keras-keras, tapi di perpustakaan harus berbicara dengan suara pelan.

Participants (peserta tutur), partisipan mengacu pada penutur dan petutur

atau pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan. Partisipan bisa seorang pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang sedang berbincang dapat berganti peran sebagai pemberi atau penerima pesan, sedangkan seorang ustaz yang sedang memberi ceramah tidak dapat bertukar peran, ustaz sebagai pemberi dan jamaan sebagai penerima.

Ends (tujuan tutur), merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Seorang bibi bercerita tentang nenek mungkin bertujuan untuk menghibur petutur, memberikan pelajaran pelajaran kepada keponakannya, dan menghormati nenek.

Act sequence (topik/urutan tutur), mengacu pada pesan dan urutan

peristiwa. Cerita seorang bibi mungkin saja dimulai dengan sebuah acara penghormatan untuk nenek. Alur dan pengembangan cerita memiliki urutan yang telah disusun oleh penutur. Dalam peristiwa tutur di pengadilan bertujuan untuk menyelesaikan suatu kasus, namun para partisipan dalam ruangan itu memiliki tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan terdakwa tidak bersalah.

Keys (nada tutur), mengacu pada nada atau tone, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan. Seperti dituturkan dengan senang hati, dengan singkat, dengan serius, dengan mengejek, dengan memuji, dan sebagainya.

Instrumentalities (sarana tutur), mengacu pada jalur bahasa yang

digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Sarana tutur ini juga dapat mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register.

Norms (norma-norma tutur), mengacu pada norma atau aturan dalam

berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

Genre (jenis tutur), mengacu pada jenis ujaran atau jenis bentuk penyampaian, seperti doa, narasi, puisi, pepatah, dan sebagainya.

(9)

Komponen tutur yang diajukan oleh Hymes, dalam rumusan lain tidak berbeda dengan yang disebutkan oleh Fishman. Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2004) menyebut pokok pembicaraan sosiolinguistik, yaitu „who to speak, what language, to whom, whenm and what end‟.

2.2.3.2 Ranah Tutur

Konsep ranah atau biasa disebut domain, pertama kali diperkenalkan oleh Fishman (1972) dalam usahanya untuk menjelaskan lingkunagn sosial dari situasi interaksi yang ditandai dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat multilingual. Banyak peneliti menggunakan konsep ranah dalam penelitiannya mengenai pemilihan bahasa. Salah satunya yakni Greenfield yang memandang ranah dari tiga komponen, yaitu orang, tempat, dan topik.

Konsep ranah dalam penelitian ini merujuk pada penelitian Parasher yang menggambarkan ranah dalam bentuk seperangkat situasi. Parasher (1980) dalam Sumasono dan Partana (2004: 206-207) mengemukakan situasi-situasi yang diajukan pada para informannya. Misalnya ranah kekariban digambarkan dengan situasi situasi berikut:

1) bercakap-cakap dengan teman dan kenalan;

2) bercakap-cakap dengan orang-orang di klab dan tempat-tempat pertemuan umum

3) memperkenalkan teman kepada orang lain;

4) membicarakan masalah pribadi dengan teman atau kolega, berdebat dengan teman atau kolega dalam diskusi hangat.

Peneliti mengadaptasi gambaran ranah dalam bentuk seperangkat situasi milik Parasher (1980) menjadi seperti berikut:

1) ketika berbicara dengan orang Indonesia di dalam kelas, di luar kelas, dan di perjalanan;

2) ketika berbicara dengan warga negara asing lain (beda negara) di kelas, di luar kelas, di perjalanan, dan di tempat tinggal;

(10)

3) ketika berbicara dengan teman satu negara di kampus, di perjalanan, dan di tempat tinggal;

4) ketika berbicara dengan dosen di kelas, di luar kelas, dan di perjalanan; 5) ketika berbicara dengan petugas imigrasi di kantor imigrasi;

6) ketika berbelanja atau membeli sesuatu di warung dan di mall;

7) ketika memesan makanan di rumah makan, dan

8) ketika berdoa.

2.2.4 Variasi Kode Bahasa

Menurut sudut pandang sosiolinguistik, penggunaan variasi kode bahasa dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang sangat menarik untuk dikaji. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai untuk berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, 1978:30).

Fasya (2009) mengatakan bahwa kode mengacu pada suatu sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur, dan situasi tutur yang ada. Penjelasan mengenai kode juga diberikan oleh Wardhaugh (1994: 99), ‘…that the particular dialect or language one chooses to use on any occasion is a code, a system used

communication between two or more parties’. Kode sebagai sebuah sistem yang

digunakan untuk berkomunikasi antara dua penutur atau lebih yang berupa sebuah dialek atau bahasa tertentu.

Seorang multibahasawan memiliki kemampuan berbincang dengan bermacam-macam kode. Akibatnya, seorang multibahasawan akan menggunakan kode sesuai dengan faktor yang memengaruhinya dengan cara mengubah variasi penggunaan bahasanya. Seperti yang diakatakan Wardhaugh (1994), masyarakat bilingual atau multilingual dihadapkan pada masalah untuk memilih sebuah kode (dapat berupa dialek atau bahasa).

Rahardi (2010, 69-87) membagi wujud variasi kode ke dalam empat wujud, yaitu kode yang berwujud bahasa, kode yang berwujud tingkat tutur, kode

(11)

yang berwujud ragam, dan kode yang berwujud dialek. Berikut penjelasan mengenai kode yang berwujud bahasa.

Kode yang berwujud bahasa merupakan variasi bahasa yang dibedakan oleh penggunaan kode bahasa tuturan. Dalam penelitian ini terdapat tiga kode dasar yang digunakan, yaitu kode bahasa Indonesia, bahasa Turki, dan bahasa Inggris.

Contoh : (1) tadi aku harus ke imigrasi ada kabar mendadak (2) nasil?

„bagaimana?‟ (3) yes, I can „ya, saya bisa‟

Kode pertama merupakan tuturan yang menggunakan kode bahasa Indonesia, tuturan yang kedua menggunakan kode bahasa Turki, dan yang terakhir menggunakan kode bahasa Inggris.

2.2.4.1 Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak dulu sudah dipakai sebagai bahasa perantara (lingua franca) bukan saja di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara (Arifin dan Tasai, 2009). Bahasa Melayu sendiri termasuk ke dalam rumpun Austronesia. Mengingat terdapat banyak bahasa daerah di Indonesia, hal ini menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu antarsuku. Bahasa Indonesia juga dipakai sebagai bahasa pengantar pendidikan.

Di Indonesia, bahasa Indonesia menempati kedudukan yang sangat penting. Seperti tercantum pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia bersifat aglutinatif ditandai dengan adanya penambahan imbuhan pada akar kata yang mengakibatkan perubahan makna. Contoh kalimat dalam bahasa Indonesia: Anisa merupakan seorang pelajar SMA.

(12)

2.2.4.2 Bahasa Turki

Bahasa Turki merupakan bagian dari rumpun Altai. Bahasa Turki

merupakan bahasa yang paling banyak digunakan di Asia Tengah dan pada umumnya diklasifikasikan sebagai bagian dari grup barat daya, atau juga dikenal sebagai grup Oguz. Bahasa yang memiliki keterkaitan dengan bahasa Turki diantaranya Azerbaijan (Azeri), Kazakh, Kyrguz, Tatar, Turkmen, Uighur, Uzbek, dan masih banyak lainnya, yang digunakan dari Balkan di Asia Tengah hingga China sebelah barat laut dan selatan Siberia.

Bahasa Turki sendiri sendiri seharusnya ditujukan sebagai bahasa yang di gunakan di Negara Turki saja. Bahasa Turki memiliki beberapa dialek. Dialek dalam bahasa Turki dikelompokan menjadi dua kelompok besar, yaitu dialek barat dan dialek timur. Bahasa Turki bersifat aglutinatif, yaitu memiliki fungsi gramatikal yang ditinjukan dengan menambahkan berbagai akhiran pada bagian akar kata. Akhiran yang terpisah pada kata benda mengindikasikan baik gender dan angka, namun tidak ada gramatika yang membedakan gender.

Contoh kalimat: Ben Jakartaya gideceğim „saya Jakarta ke pergi akan‟

2.2.4.3 Bahasa Inggris

Bahasa Inggris merupakan bahasa yang bersifat fleksi. Dalam bahasa Inggris perubahan kata ditentukan sesuai dengan perbedaan waktu, jenis kelamin, jumlah, dan sebagainya. Contoh kalimat dalam bahasa Inggris: She will go to

Amsterdam tomorrow.

Kirkpatrick (2007: 27) menyebutkan bahasa Inggris diklasifikasikan menjadi 3 bagian sesuai penggunaannya di masing-masing negara, yaitu English

as a native language (ENL), English as a second language (ESL), dan English as

foreign Language (EFL).

Pada klasifikasi ini, ENL adalah keadaan dimana kebanyakan penutur di negara yang termasuk ke dalam klasifikasi ini menggunakan bahasa Inggris

(13)

sebagai bahasa primer atau bahasa utama. Contoh negara yang berada dalam klasifikasi ENL yaitu, Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika.

Berbeda dengan ENL, negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi tetapi tidak menggunakannya sebagai bahasa negaranya termasuk pada klasifikasi ESL. Negara yang masuk ke dalam tipe ini merupakan negara bekas jajahan Inggris atau Amerika. Nigeria, India, Malaysia dan Filipina adalah contoh negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di negaranya.

Terakhir, pada negara yang penggunaan bahasa Inggrisnya termasuk ke dalam klasifikasi EFL, bahasa Inggris tidak digunakan atau dipakai secara berlebihan dalam kegiatan sehari-hari. Dalam negara yang termasuk ke dalam tipe EFL, bahasa Inggris dipelajari di sekolah tetapi murid-muridnya tidak memiliki banyak kesempatan untuk menggunakan bahasa Inggris di luar kelas. Cina, Indonesia, Jepang dan masih banyak negara lain termasuk ke dalam klasifikasi ini.

2.2.5 Fungsi Bahasa

Halliday mengkaji sebuah teori yang mendalam mengenai fungsi-fungsi bahasa. Teori fungsi bahasa tersebut dengan jangkauan yang luas menggali berbagai fungsi yang lazim dijalankan pada bahasa. Berikut adalah uraian fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Halliday (Ariez dan Alwasilah, 1996: 17).

1) Fungsi instrumental, yaitu menggunakan bahasa untuk memperoleh sesuatu.

2) Fungsi regulatori, yaitu menggunakan bahasa untuk mengontrol perilaku orang lain.

3) Fungsi interaksional, yaitu menggunakan bahasa untuk menciptakan interaksi dengan orang lain.

4) Fungsi personal, yaitu menggunakan bahasa untuk mengungkapkan perasaan dan makna.

5) Fungsi heuristik, yaitu menggunakan bahasa untuk belajar dan menemukan makna.

(14)

6) Fungsi imajinatif, yaitu menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia imajinatif.

7) Fungsi representasional, yaitu menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi.

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tabel 5 terlihat pula bahwa hasil kuat tekan menunjukkan bahwa beton dengan agregat kasar batu bauksit dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengganti kerikil alam

Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi tingkat kesediaan membayar (WTP) masyarakat terhadap kebijakan untuk polusi sumber tidak bergerak maupun sumber bergerak di kota

Lebih jauh dikemukakan bahwa penggunaan pupuk bukan sekedar memberikan pupuk, tetapi harus didasarkan pada: (1) kemampuan tanah menyediakan hara untuk mencapai hasil tinggi

Makna Moderasi dalam Islam oleh para ahli menyandingkannya dengan kalimat Al Wasathiyah yang berarti berada ditengah, mengandung prinsip keseimbangan atau keadilan tidak

Gambar 5.1 Diagram Batang Proporsi ODHA yang Berkunjung Ke Klinik VCT Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di RSUP H. 37 Gambar 5.2 Diagram Pie Proporsi ODHA yang berkunjung ke

Hal ini juga sesuai dengan aliran Hukum Positif, yang mana mengidentikkan hukum dengan undang-undang, atau dengan kata lain tidak ada hukum diluar undang- undang

2.1 Siswa kelas X dapat terlibat aktif dalam pembelajaran dan menunjukkan karakter berpikir kreatif, kritis, dan logis; mempunyai rasa ingin tahu, jujur, dan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Wali Kota tentang Tarif Layanan Kesehatan Badan Layanan Umum Daerah