• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbahaya dalam ilmu kedokteran adalah obat-obatan yang tidak boleh dijual bebas,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbahaya dalam ilmu kedokteran adalah obat-obatan yang tidak boleh dijual bebas,"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Narkoba

Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Lama kelamaan disadari bahwa kepanjangan narkoba tersebut keliru sebab istilah obat berbahaya dalam ilmu kedokteran adalah obat-obatan yang tidak boleh dijual bebas, karena pemberiannya dapat membahayakan bila tidak melalui pertimbangan medis. Banyak jenis narkotika dan psikotropika memberi manfaat yang besar bila digunakan dengan baik dan benar dalam bidang kedokteran. Tindakan operasi (pembedahan) yang dilakukan oleh dokter harus didahului dengan pembiusan. Orang mengalami stres dan gangguan jiwa diberi obat-obatan yang tergolong psikotropika oleh dokter agar dapat sembuh. Banyak jenis narkoba yang sangat bermanfaat dalam bidang kedokteran. Karenanya, sikap antinarkoba sangat keliru, yang benar adalah anti penyalahgunaan narkoba (Partodiharjo, 2003).

Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh kementrian Kesehatan Republik Indonesia adalah NAPZA atau NAZA yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Narkoba merupakan bahan/zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi tubuh terutama susunan syaraf pusat/otak sehingga bila disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan fungsi sosial. Semua zat yang termasuk NAZA menimbulkan adiksi

(ketagihan) yang pada gilirannya berakibat pada dependensi (ketergantungan). Zat yang termasuk NAZA memiliki sifat sebagai berikut :

(2)

a. Keinginan yang tak tertahankan (an over – powering desire) terhadap zat yang dimaksud, dan akan melakukan segala cara untuk memperolehnya. b. Kecenderungan untuk menambah takaran (dosis) sesuai dengan toleransi

tubuh.

c. Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan gejala – gejala kejiwaan seperti kegelisahan, kecemasan, depresi dan sejenisnya.

d. Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus zat (withdrawal symptoms) (Hawari, 2009).

2.1.1. Jenis Narkoba 2.1.1.1. Narkotika

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pengertian Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Menurut Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009 pasal 6, jenis narkotika dibagi atas 3 golongan yaitu :

a. Narkotika golongan I, dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah

(3)

b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol.

c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : codein dan turunannya.

Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri. Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.1.1.2. Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997). Jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan menurut Undang-Undang RI No.5 tahun 1997, yaitu :

a. Golongan I adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya seperti esktasi (menthylendioxy

(4)

menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul), sabu – sabu (berbentuk kristal berisi zat menthaphetamin).

b. Golongan II adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk menyebabkan Sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : ampetamin dan metapetamin.

c. Golongan III adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: lumubal, fleenitrazepam.

d. Golongan IV adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: nitra zepam, diazepam

Efek pemakaian psikotropika yaitu dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai, tidak jarang bahkan menimbulkan kematian.

2.1.2. Penyebab Ketergantungan Narkoba

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan penyalahgunaan narkotika antara lain :

1. Faktor Lingkungan

(5)

Kurang harmonisnya hubungan ayah dan ibu akan mengakibatkan anak merasa terombang-ambing. Anak merasa terabaikan, serba salah, bahkan kadangkala merasa menjadi penyebab dari keretakan hubungan kedua orangtuanya.

b. Komunikasi yang kurang efektif antara orangtua dan anak

Kemampuan orangtua untuk mengadakan komunikasi yang efektif juga akan berpengaruh pada penyalahgunaan narkoba. Orangtua yang tidak mampu menjalin komunikasi efektif akan membuat si anak merasa tidak dimengerti dan cenderung akan mencari pengertian diluar lingkungan keluarganya.

c. Adanya anggota keluarga yang tergolong pemakai narkoba

Hal ini menjadi contoh bagi si anak sehingga anak memiliki risiko lebih besar ikut mencoba dan menyalahgunakan narkoba.

d. Keluarga yang kurang religius, tidak dekat dengan tuhannya

Keluarga yang demikian kurang menekankan moral dan etika sosial yang berlaku. Pola asuh cenderung permisif sehingga anak sering kali tidak tahu batasan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. e. Teman Sebaya

Teman sebaya banyak memberikan pengaruh dalam kehidupan anak dan remaja. Anak remaja biasanya memilih melakukan apa yang dikehendaki kelompoknya sekalipun hal itu melanggar norma yang berlaku di keluarga atau masyarakat.

(6)

f. Sekolah

Peredaran narkoba sudah merambah ke institusi pendidikan. Saat ini peredarannya bahkan sampai ke sekolah dasar.

g. Kemudahan untuk mendapatkan narkoba dilingkungannya.

Apabila narkoba mudah didapat dan murah harganya maka risiko yang dihadapi seseorang untuk terjerat narkoba semakin besar.

2. Faktor dari Dalam Diri Individu a. Adanya gangguan kepribadian

Dalam kasus penyalahgunaan narkoba, biasanya yang lebih banyak berperan adalah faktor kepribadian individu tersebut.

b. Motivasi remaja dalam menyalahgunakan narkoba

Anak dan remaja dibawah 20 tahun biasanya mencoba menggunakan narkoba dengan motivasi untuk mengatasi perasaan gelisah, memenuhi rasa ingin tahu, memperoleh pengalaman baru, iseng dan untuk hiburan. c. Karakteristik fase perkembangan

Secara psikologis dan biologis anak dan remaja amat rentan terhadap pengaruh dari lingkungannya. Karena proses pencarian jati diri mereka masih terombang-ambing dan masih sulit mencari tokoh panutan.

d. Cara berpikir atau keyakinan yang keliru

Sejumlah orang sadar mengonsumsi narkoba karena ingin menghilangkan trauma masa lalu. Ada yang percaya bahwa penggunaan narkoba berefek menambah kekuatan fisik dan mental (Prisaria, 2012).

(7)

2.1.3. Dampak Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkoba

Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung pada jenis narkoba yang dipakaim kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada fisik, psikis maupun social seseorang.

Dampak fisik :

1. Gangguan pada system saraf (neurologis) seperti : kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi

2. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti : infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran darah

3. Gangguan pada kult (dermatologis) seperti : penanahan (abses), alergi, eksim 4. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti : penekanan fungsi pernapasan,

kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru

5. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur

6. Dampak terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan pada endokrin, seperti : penurunan fungsi hormone reproduksi (estrogen, progesterone, testosterone), serta gangguan fungsi seksual

7. Dampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak haid)

(8)

8. Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, risikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya

9. Penyalahgunaan narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi Over Dosis yaitu konsumsi narkoba melebihi kemampuan tubuh menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian

Dampak psikis :

1. Lamban kerja, ceroboh kerja, sering tegang, dan gelisah 2. Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga 3. Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal 4. Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan

5. Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri Dampak Sosial :

1. Gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan 2. Merepotkan dan menjadi beban keluarga

3. Pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram

2.1.4. Upaya Penanggulangan Masalah Narkoba

Penanggulangan korban ketergantungan narkotika dan obat terlarangbukanlah merupakan masalah fisik saja tetapi yang terpenting disini adalah masalah psikologis atau mental dan sosial dari pasien sendiri. Ketiga elemen tersebut dapat dilakukan pada tempat-tempat yang memang berfungsi sebagai pusat rehabilitasi korban narkotika dan obat terlarang. Jika dilihat dari pengertiannya maka treatment dan rehabilitasi adalah merupakan usaha untuk menolong, merawat dan merehabilitasi

(9)

korban ketergantungan narkotika dan obat terlarang dalm lembaga tertentu, sehingga diharapkan para korban dapat kembali ke dalam lingkungan masyarakat atau dapat bekerja dan belajar dengan layak.

Menurut Hawari (2000) dalam penelitian Rakhmana (2006) jenis-jenis rehabilitasi sebagai berikut:

1. Rehabilitasi medis. Tindakan medis ini meliputi 2 hal yaitu terapi medis dan rehabilitasi medis. Terapi medis bertujuan untuk mengatasi intoksikasi atau overdosis dan keadaan putus obat yang pada umumnya disebut detoksifikasi. Detoksifikasi ini dilakukan oleh dokter. Sedangkan rehabilitasi medis diberikan melalui program pemeliharaan (maintenance) sampai pasien merasa sehat tanpa menggunakan narkotika dan obat terlarang. Rehabilitasi medis biasanya dilakukan setelah detoksifikasi dengan memberikan obat psikofarmaka yaitu obat-obatan yang berkhasiat untuk memperbaiki dan mengembalikan fungsi neuro-transmitter pada susunan saraf pusat (otak) yang tidak menimbulkan adiksi (ketagihan) dan depensi (ketergantungan). Dalam tindakan medis ini diperlukan diagnosis yang tepat, yaitu tergantung keadaan pasien apakah ia dalam keadaan overdosis ataukah putus obat. Jika dalam keadaan keracunan atau overdosis diberikan obat antagonisnya, dan jika dalam keadaan putus obat diberikan obat yang agonis.

2. Rehabilitasi psikologis atau terapi adalah terapi kejiwaan dari pasien. Psikoterapi terdiri dari bermacam-macam dan tergantung dari kebutuhannya, misalnya:

(10)

- Psikoterapi suportif, yaitu memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar pasien tidak merasa putus asa untuk berjuang melawan ketagihan dan ketergantungannya.

- Psikoterapi re-edukatif, yaitu memberikan pendidikan ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan pada masa lalu dan juga dengan pendidikan ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan baru yang kebal (imun) terhadap ketergantungan narkotika dan obat terlarang.

- Psikoterapi rekonstruktif, yaitu memperbaiki kembali (rekonstruksi) kepribadian yang telah mengalami gangguan akibat penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang menjadi kepribadian selanjutnya.

- Psikoterapi kognitif, yaitu memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir) rasional yang mampu membedakan nilai-nilai moral etika, mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak dan mana yang haram dan halal.

- Psikoterapi psiko-dinamis, yaitu menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang terlibat penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika dan obat terlarang serta upaya untuk mencari jalan keluarnya.

- Psikoterapi perilaku, memulihkan gangguan perilaku (maladaptif) akibat penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika atau obat terlarang menjadi perilaku yang adaptif, yaitu mantan penyalahguna narkotika dan obat terlarang dapat berfungsi kembali secara wajar

(11)

dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah/ kampus, di tempat kerja dan lingkungan sosial.

- Psikoterapi keluarga, yaitu ditujukan tidak hanya kepada individu korban ketergantungan narkotika dan obat terlarang tetapi juga kepada keluarganya. Diharapkan dengan terapi ini hubungan kekeluargaan dapat pulih kembali dalam suasana harmonis dan religius sehingga resiko kekambuhan dapat dicegah. Secara umum tujuan dari psikoterapi adalah untuk memperkuat struktur kepribadian mantan korban ketergantungan narkotika dan obat terlarang, misalnya meningkatkan citra diri (self esteem), mematangkan kepribadian (maturing personality), memperkuat ego (ego strength), mencapai kehidupan yang berarti dan bermanfaat (meaningfulness of life), memulihkan kepercayaan diri (self confidence), mengembangkan mekanisme pertahanan diri (defend mechanism) dan sebagainya. Psikoterapi dapat dikatakan berhasil jika mantan korban ketergantungan narkotika dan obat terlarang mampu mengatasi problem kehidupannya tanpa harus melarikan diri ke narkotika dan obat terlarang lagi.

3. Rehabilitasi Sosial, yaitu dimaksudkan agar pasien dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di sekolah/kampus dan di tempat kerja. Rehabilitasi sosial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (re-entry program). Oleh karena itu mereka perlu dibekali dengan pendidikan dan ketrampilan misalnya berbagai kursus ataupun balai

(12)

latihan kerja yang dapat diadakan di pusat rehabilitasi. Ini dilakukan setelah rehabilitasi medis selesai.

2.2. Pola Konsumsi Makanan

Pola makan atau pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. (Baliwati, 2004). Menurut Geissler dan Powers (2005) dalam penelitian Sebayang (2012), pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang memilih dan mengonsumsi makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, budaya dan sosial sebagai bagian yang memengaruhi pola makan meliputi kegiatan memilih pangan, cara memperoleh dan menyimpan. Beberapa faktor yang memengaruhi kebutuhan makan manusia yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik.Pola konsumsi pangan menunjukan segala sesuatu mengenai frekuensi konsumsi makanan, kebiasaan makan, konsumsi minuman, ukuran porsi, dan kualitas makanan sehari-hari (Batissini, 2005)

2.3. Zat Gizi 2.3.1 Energi

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada di dalam bahan makanan. Kandungan karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier, 2009). Energi yang digunakan oleh tubuh tidak hanya berasal dari katabolisme zat gizi yang tersimpan di dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi dalam makanan yang dikonsumsi oleh individu tersebut (Arisman, 2004). Kecukupan energi bisa

(13)

didapatkan dari konsumsi makanan yang menjadi sumber karbohidrat, protein, dan lemak. Karbohidrat dan protein merupakan sumber energi utama bagi tubuh, karena protein memiliki fungsi utama untuk pertumbuhan.

Kecukupan energi dicapai bila energi yang masuk kedalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan berat badan ideal atau normal. Apabila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan, maka akan terjadi kekurangan energi. Akibatnya berat badan akan kurang dari berat badan seharusnya (ideal). Sedangkan, jika jumlah energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan, maka kelebihan energi tersebut akan diubah menjadi lemak tubuh (Almatsier, 2009)

Penimbunan lemak tubuh yang terus menerus dapat menyebabkan berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti konsumsi makanan yang berlebih seperti karbohidrat, lemak maupun protein serta akibat kurang bergerak. Kegemukan dapat menyebabkan gangguan fungsi tubuh, yang merupakan resiko untuk menderita penyakit kronis, seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, kanker, dan dapat memperpendek harapan hidup.

Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan makanan sumber lemak, seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan dan biji-bijian. Setelah itu bahan makanan sumber karbohidrat, seperti padi-padian dan umbi-umbian, dan gula murni memenuhi 50-60% dari total kebutuhan energi (depkes, 2003). Semua bahan makanan yang dibuat dari dan dengan bahan makanan tersebut merupakan sumber energi.

(14)

2.3.2. Protein

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah adalah protein, separuhnya ada didalam otot, seperlima didalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh didalam kulit, dan selebihnya didalam jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein (Almatsier, 2009).

Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena berhubungan dengan proses kehidupan. Protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun sel tubuh, mengganti sel tubuh yang mengalami kerusakan, membuat air susu, enzim dan hormon, membuat protein darah, menjaga keseimbangan asam basa cairan tubuh, dan pemberi kalori (Irianto, 2007). Walaupun fungsi utama protein untuk pertumbuhan, pada saat tubuh kekurangan zat energi, fungsi protein untuk membentuk glukosa akan didahulukan. Jika glukosa atau asam lemak di dalam tubuh terbatas, sel terpaksa menggunakan protein untuk membentuk glukosa dan energi. Dalam keadaan berlebihan, protein akan mengalami deaminasi. Nitrogen akan dikeluarkan dari tubuh dan sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak dan disimpan didalam tubuh. Dengan demikian, mengonsumsi protein secara berlebihan dapat menyebabkan kegemukan (Almatsier. 2009).

Protein terdapat pada bahan makanan hewani atau tumbuh-tumbuhan (nabati). Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu, antara lain : daging, ikan, ayam, telur, udang, kerang, susu serta turunannya

(15)

(seperti keju, yoghurt, dll). Protein nabati diperoleh dari santan, margarine, mentega, tempe, tahu, serta kacang-kacangan lain.

2.4. Angka Kecukupan Gizi (AKG)

AKG merupakan rekomendasi asupan berbagai nutrient esensial yang dipertimbangkan berdasarkan pengetahuan ilmiah agar nutrient tersebut cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan gizi semua orang sehat (Hartono, 2006). AKG mencerminkan rata-rata perhari yang harus dikonsumsi oleh populasi dan bukan merupakan perorangan.

Tubuh manusia membutuhkan aneka ragam makanan untuk memenuhi semua zat gizi tersebut. Kekurangan atau kelebihan salah satu unsur zat gizi akan menyebabkan kelainan atau penyakit. Oleh karena itu, perlu diterapkan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang seimbang sejak usia dini dengan jumlah yang sesuai untuk mencukupi kebutuhan masing-masing individu, sehingga tercapai kondisi kesehatan yang prima.

Tabel 2.1. Kecukupan Gizi Rata-rata Yang Dianjurkan Per Orang Per Hari

Umur AKG Energi

(Kkal) AKG Protein (g) 16-20 tahun (pria) 2500 66 20-45 tahun 2800 55 16-20 tahun (wanita) 2000 51 20-45 tahun 2200 48 Sumber : depkes RI (2004)

(16)

2.5. Metode Pengukuran Konsumsi Makanan 2.5.1. Metode Food Records

Metode ini digunakan untuk mencatat jumlah makanan yang dikonsumsi. Pada metode ini responden diminta untuk mencatat semua yang ia makan dan minum setiap kali makan sebelum makan dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau menimbang dalam ukuran berat (gram) dalam periode tertentu (2-4 hari berturut-turut), termasuk cara persiapan dan pengolahan makanan tersebut. Metode ini dapat memberikan informasi konsumsi yang mendekati sebenarnya (true intake) tentang jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi oleh individu (Supariasa, 2001).

Langkah-langkah pelaksanaan food records :

- Responden mencatat makanan yang dikonsumsi dalam URT atau gram (nama masakan, cara persiapan dan pemasakan bahan makanan)

- Petugas memperkirakan/estimasi URT ke dalam ukuran berat (gram) untuk bahan makanan yang dikoonsumsi tadi

- Menganalisis bahan makanan kedalam zat gizi dengan DKBM - Membandingkan dengan AKG

2.5.2. Metode Frekuensi Makanan (food frequency)

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan, atau tahun. Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden.

(17)

2.5.3. Metode Riwayat Makan

Metode riwayat makanan bersifat kualitatif karena memberikan gambaran pola konsumsi berdasarkan pengamatan dalam waktu yang cukup lama (1 minggu, 1 bulan, 1 tahun). Langkah-langkah metode riwayat makan, yaitu :

- Petugas menanyakan kepada responden tentang pola kebiasaan makannya. Variasi makan pada hari-hari khusus seperti hari libur, dalam keadaan sakit dan sebagainya juga dicatat. Termasuk jenis makanan, frekuensi penggunaan, ukuran porsi dalam URT serta cara memasaknya (direbus, digoreng, dipanggang dan sebagainya).

- Lakukan pengecekan terhadap data yang diperoleh dengan cara mengajukan pertanyaan untuk kebenaran data tersebut.

2.6. Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi, penyerapan, dan penggunaan pangan di dalam tubuh (Riyadi 2006). Status gizi optimal dapat tercapai jika tubuh memperoleh cukup zat-zat yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan umum secara maksimal. Baik gizi kurang maupun gizi lebih dapat menghambat optimalisasi pencapaian hal tersebut (Almatsier 2009).

Masalah kekurangan dan kelebihan gizi merupakan masalah yang penting untuk diperhatikan. Malnutrisi tidak hanya meningkatkan resiko terkena penyakit namun juga mempengaruhi produktivitas kerja (Supariasa, 2001). Riyadi (2006) juga menyatakan bahwa kekurangan gizi dapat berakibat menurunnya ketahanan fisik dan akhirnya menurunkan produktivitas kerja.

(18)

Faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah masalah sosial ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan. Status gizi dipengaruhi juga oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi didalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup asupan gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Supariasa, 2001).

2.6.1. Penilaian status gizi

Status gizi dapat disebut sebagai selisih antara konsumsi zat gizi dengan kebutuhan zat gizi tersebut. Metode penilaian status gizi dapat dikelompokkan menjadi metode secara langsung dan metode tidak langsung (Supariasa, 2001).

2.6.1.1. Metode Penilaian Status Gizi Secara Langsung

Metode penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.

1. Antropometri

Antropometri secara umum adalah ukuran tubuh manusia, sedangkan ditinjau dari sudut pandang gizi antropometri adalah berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi seseorang. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan tersebut terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2001).

Pengukuran antropometri sering digunakan sebagai metode penelitian status gizi secara langsung untuk menilai dua masalah utama gizi, yaitu

(19)

Kurang energi protein (KEP), khususnya pada anak dan ibu hamil dan obesitas pada semua kelompok umur (Departemen FKM UI, 2008). Pengukuran antropometri memiliki beberapa kelebihan, yaitu (Supariasa, 2001):

a. Alat mudah diperoleh

b. Pengukuran mudah dilakukan c. Biaya murah

d. Hasil pengukuran mudah disimpulkan e. Dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah f. Dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu

Disamping itu pengukuran antropometri juga memiliki kelemahan, yaitu (Supariasa, 2001):

a. Kurang sensitif

b. Faktor luar (penyakit, genetik dan penurunan penggunaan energi) tidak dapat dikendalikan

c. Kesalahan pengukuran akan mempengaruhi akurasi kesimpulan

d. Kesalahan-kesalahan antara lain pengukuran, perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan, analisis dan asumsi salah.

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa, 2001).

(20)

Lingkar Lengan Atas (LILA) merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah. Pengukuran LILA adalah salah satu cara untuk mengukur komposisi tubuh. LILA dapat digunakan untuk memprediksi perubahan pada status gizi protein (Gibson, 2005). Pengukuran LILA merupakan salah satu cara deteksi dini untuk menentukan wanita usia subur (15-45 tahun) dengan resiko kekurangan energi kronik (KEK). Ambang batas LILA yang dipakai untuk menentukan KEK pada wanita usia subur adalah 23,5 cm. Jika wanita subur dengan LILA kurang dari 23,5 cm memiliki resiko untuk melahirkan bayi dengan berat badan bayi rendah (BBLR). Kategori berdasarkan LILA, buruk <23,5 dan baik >23,5.

Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index merupakan salah satu alat untuk memantau status gizi orang dewasa, khusus yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan IMT dapat menentukan apakah berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk (Napitupulu, 2002). IMT adalah alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang (Supariasa, 2001).

(21)

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO. Batas ambang normal untuk perempuan adalah 18,7-23,8. Untuk kepentingan pemantauan dan tingkat defisiensi energi ataupun tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO atau WHO menyarankan menggunakan satu batas ambang antara laki-laki dan perempuan. Ketentuan yang digunakan adalah menggunakan ambang batas laki-laki untuk kategori kurus tingkat Berat dan menggunakan batas ambang pada perempuan untuk kategori gemuk tingkat berat (Supariasa, 2001).

Tabel 2.2. Klasifikasi IMT Menurut FAO/WHO

Keadaan Kategori IMT

Kurus - Kekurangan berat badan tingkat berat < 17, - Kekurangan berat badan

tingkat ringan 17 - 18,5

Normal 18,5 - 25

Gemuk - Kelebihan berat badan tingkat

ringan >25 - 27

- Kelebihan berat badan tingkat

berat >27

Sumber : FAO/WHO, 1995 2. Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (superficial epithelial tissue) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Supariasa, 2001).

(22)

Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit..

Penilaian status gizi secara klinis didapatkan kesukaran dalam pembakuannya dan sering sangat subyektif. Selain itu cara ini tergolong mahal dari sudut tenaga karena diperlukan keterampilan khusus untuk melakukannya (Widardo, 1997).

3. Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain, darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik (Supariasa, 2001).

4. Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Penggunaan metode biofisik dapat digunakan dalam situasi

(23)

tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi (Supariasa, 2001).

2.6.1.2Metode Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung

1. Survei konsumsi makanan

Survei konsumsi makanan adalah penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penggunaan metode dengan pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa, 2001).

2. Statistik vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa satistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaan metode ini dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat (Supariasa, 2001).

3. Faktor ekologi

Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Pengukuran faktor ekologi dipandang

(24)

sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Supariasa, 2001).

2.6.2 Klasifikasi Status Gizi

Keadaan kesehatan gizi sesuai dengan tingkat konsumsi dibagi menjadi tiga, yaitu (Sediaoetama, 1996).

a. Gizi lebih (overnutritional state)

Gizi lebih adalah tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi berlebih. Kondisi ini ternyata mempunyai tingkat kesehatan yang lebih rendah, meskipun berat badan lebih tinggi dibandingkan berat badan ideal. Keadaan demikian, timbul penyakit-penyakit tertentu yang sering dijumpai pada orang kegemukan seperti ; penyakit kardiovaskuler yang menyerang jantung dan sistem pembuluh darah, hipertensi, diabetes mellitus dan lainnya.

b. Gizi baik (eunutritional state)

Tingkat kesehatan gizi terbaik yaitu kesehatan gizi optimum (eunutritional state). Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat tersebut. Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya kerja dan efisiensi yang sebaik-baiknya. Tubuh juga mempunyai daya tahan yang setinggi-tingginya.

c. Gizi kurang (undernutrition)

Gizi kurang merupakan tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi defisien. Mengakibatkan terjadi gejala-gejala penyakit defisiensi gizi. Berat badan akan lebih rendah dari berat badan ideal dan penyediaan zat-zat gizi bagi jaringan tidak mencukupi, sehingga akan menghambat fungsi jaringan tersebut.

(25)

2.7.Kerangka Konsep

Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan :

Gambar 1. Kerangka Konsep

Keterangan :

Pola Konsumsi makan dipengaruhi oleh karakteristik pecandu narkoba (umur dan lamanya rehabilitasi). Pola konsumsi makan dapat dilihat jenis makanan, jumlah, dan frekuensi makan pecandu narkoba dan dihitung kecukupan energi serta kecukupan proteinnya, yang dapat memengaruhi status gizi pecandu narkoba di PSPP Insyaf.

Pola Konsumsi Makan: - Jenis Makanan - Jumlah Makanan - Frekuensi Makanan - Kecukupan Energi - Kecukupan Protein Status Gizi Pecandu Narkoba Karakteristik Pecandu Narkoba:

- Umur

Gambar

Tabel 2.1. Kecukupan Gizi Rata-rata Yang Dianjurkan Per Orang Per Hari
Tabel 2.2. Klasifikasi IMT Menurut FAO/WHO
Gambar 1. Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Apabila dalam perkembangannya pantai yang tenggelam mencapai tingkatan gisik yang lebar dan memencarpada pantai depan, maka akan terjadi keseimbangan antara tenaga

Berdasarkan tahapan proses penyusunan peraturan daerah yang terdapat dalam Undang-Undang No 10 tahun dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung

Treatment Plant &amp; Equipment Classification Code : 01103 Type Code : 1 Sedimentation &amp; Filtration Plants including Wash Water System. Filter

Untuk mempermudah wisatawan menentukan biro perjalanan pariwisata yang sesuai dengan kriteria wisatawan maka dibuatlah sistem pendukung keputusan penentuan

Dengan kondisi yang demikian maka penelitian mengenai perilaku dan sikap kru kapal terhadap pelaksanaan kepatuhan ISM Code berdasarkan teori perilaku terencana

Penangan mata kering pada penderita glaukoma dapat dilakukan melalui penggunaan obat tanpa pengawet, kombinasi obat yang mengandung dengan yang tidak mengandung pengawet

Offce Boy 1 Computer Operator 3 Computer Technician Assistan OM Book Kepper 1 Billingual Secretary Secretary Computer Operator 2 Book Kepper 2.. BREAKDOWN OF REIMBURSABLE

Informasi Sistem Akuntansi Manajemen dan Kinerja Manajerial (Studi Empiris Pada Perusahaan Jasa Perhotelan di Kota Padang dan Bukittinggi) sistem akuntansi manajemen