1.1 Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan di Indonesia telah banyak membawa perubahan dalam kemajuan kehidupan masyarakat, terutama di pedesaan. Berkembangnya sarana infrastruktur perekonomian, transportasi, komunikasi, industri dan infrastruktur pembangunan lainnya menjadi bukti keberhasilan pembangunan. Khusus di sektor pertanian, kemajuan yang dicapai dalam peningkatan produksi telah membawa Indonesia menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan pangan utamanya, yakni beras pada tahun 1985 dari sebelumnya sebagai pengimpor beras terbesar di dunia. Walaupun kemudian prestasi besar ini tidak bisa dipertahankan dan Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras.
Pembangunan pertanian, terutama di wilayah pedesaan berimplikasi terhadap berbagai perubahan sosial terutama dengan adanya pengembangan mekanisasi dan modernisasi pertanian. Menurut Abbas (1999), walaupun pengembangan teknologi modern melalui revolusi hijau di bidang pertanian memberikan dampak terhadap peningkatan produksi tetapi juga memunculkan dampak ikutan lainnya. Dampak ikutan tersebut meliputi aspek ekonomi (struktur biaya dan risiko yang tinggi), keadilan (ketimpangan dalam penerimaan keuntungan relatif antar golongan petani), kesempatan kerja (pengurangan kesempatan kerja karena mekanisasi), konsumsi energi yang meningkat (peningkatan sarana produksi), dan kerusakan ekologi. Bahkan menurut Fakih (2000), revolusi hijau dinilai selain berdampak buruk terhadap lingkungan secara terselubung bersifat hegemoni kapitalistik yang mengarah kepada pemiskinan masyarakat petani. Begitu juga dengan Sutanto (2001), yang menganggap revolusi hijau telah mereduksi sistem pertanian tradisional dan mengubur pengetahuan lokal yang bernuansa ramah lingkungan. Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak yang terjadi merambah luas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di pedesaan.
Penggunaan bahan-bahan kimia berupa pupuk anorganik dan pestisida yang merupakan andalan utama dalam revolusi hijau selain benih unggul ternyata kini disadari merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan degradasi lahan pertanian. Bahkan dalam konteks yang lebih luas lagi
menurut Goldsmith (1996), kerusakan lingkungan dan sumberdaya pertanian, erosi lahan, pencemaran bahan kimia, kerusakan keanekaragaman genetika, ledakan serangan hama penyakit serta penurunan produktivitas padi merupakan dampak akibat pengembangan pertanian modern. Hasil penelitian Prasodjo (2005) tentang pengetahuan lokal masyarakat di DAS Citanduy menunjukkan bahwa pada beberapa desa yang menerapkan pola pertanian sawah dengan teknologi revolusi hijau dan orientasi pasar atau ekonomi semata ternyata telah menimbulkan dampak ekologis dan sosial. Dampak ekologis berupa menurunnya keamanan ekologis seperti kesuburan tanah yang berkurang, ledakan hama dan penyakit tanaman, erosi, longsor dan penurunan kualitas air sungai. Dampak sosial yang muncul adalah hilangnya ketahanan pangan akibat penurunan keanekaragaman hayati, ketergantungan dengan input produksi dari luar dan gagal panen. Dampak sosial lainnya berupa lunturnya ikatan sosial dan tradisi pertanian karena kuatnya intervensi industri benih, pupuk, pestisida, dan alat pengolahan tanah.
Selain berdampak buruk terhadap kondisi lingkungan, penggunaan bahan kimia berupa pupuk buatan juga memiliki batas-batas untuk mampu meningkatkan produktivitas pertanian padi. Hasil kajian Darwis (2007) di Desa Growok Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro menunjukkan bahwa produktivitas padi yang rendah (rata-rata 4,38 ton/ha pada musim hujan dan 2,68 ton/ha pada musim kemarau, sedangkan produktivitas normal 6-7 ton/ha pada musim hujan dan 4-5 ton/ha pada musim kemarau) salah satunya karena penggunaan pupuk kimia (Urea: 356 kg, TSP: 214 kg dan ZA: 189 kg per hektar) yang jauh di atas rekomendasi pemupukan berimbang (Urea: 300 kg, TSP: 150 kg, dan ZA: 100 kg per hektar).
Di Kalimantan Selatan, program revolusi hijau ini dilaksanakan seiring dengan program nasional dalam rangka peningkatan produksi padi. Tanaman padi adalah komoditas pertanian pangan utama di Kalimantan Selatan dan merupakan bahan pangan utama serta menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga sebagian besar masyarakat pedesaan. Areal persawahan di Kalimantan Selatan pada tahun 2007 seluas 660.893 ha atau sekitar 17,61% dari luas wilayah Kalimantan Selatan. Jenis sawah yang diusahakan berupa sawah berpengairan (teknis, setengah teknis, sederhana dan non PU), sawah tadah hujan, sawah pasang surut, sawah rawa lebak, polder dan lainnya.
Sawah rawa pasang surut luasnya mencapai 196.419 hektar atau sekitar 29,60% dari luas sawah di Kalimantan Selatan. Lahan jenis ini merupakan tipe lahan yang khas yang memerlukan pengelolaan khusus karena sifatnya yang sangat rentan terhadap kerusakan (fragile). Tipe lahan ini terutama terdapat di
wilayah Kabupaten Barito Kuala 106.629 hektar (54,29%), Kabupaten Banjar 36.088 hektar (18,37%), Kabupaten Tapin 25.380 hektar (12,92%), sedangkan sisanya 28.322 hektar (14,42%) terdapat di kabupaten lainnya (BPS Kalsel 2009).
Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian di Kalimantan Selatan oleh petani banjar telah dimulai sejak tahun 1900 (Sutikno dan Noor 1998). Kegiatan pertanian di lahan rawa pasang surut ini dilakukan dengan sistem tradisional melalui pengaturan tata air. Reklamasi lahan rawa pasang surut menjadi lahan pertanian yang dikembangkan oleh petani Banjar merupakan bentuk adaptasi kehidupan mereka terhadap kondisi lingkungan yang ada. Melalui pengalaman dan pengetahuan lokal (local knowledge) yang
mereka miliki petani Banjar menerapkan sistem pertanian yang disesuaikan dengan kondisi lahan yang ada. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Soetomo (1997), bahwa perkembangan teknik bertani pada masyarakat tradisional merupakan hasil proses belajar secara alamiah dari mereka sendiri. Alam dan lingkungan berkembang menjadi guru yang baik bagi masyarakat setempat untuk terus mencari cara merekayasa hambatan-hambatan dan potensi yang ada di sekitarnya.
Para petani lokal yang umumnya dari suku Banjar telah memiliki pengalaman selama ratusan tahun dalam mengelola dan mengembangkan lahan rawa pasang surut untuk keperluan pertanian. Pengelolaan lahan rawa pasang surut diarahkan untuk menjaga keseimbangan dan keserasian antara sistem lingkungan biofisik dengan sistem lingkungan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Sistem biofisik lahan rawa pasang surut dikelola melalui nilai-nilai budaya yang berlaku dan menghasilkan pengetahuan spesifik lokal tentang lahan rawa pasang surut. Sistem pertanian lahan rawa pasang surut ini dikembangkan selaras dengan kondisi lahan rawa pasang surut yang bersifat khas dan rentan (fragile). Hasil penelitian Supriyono dan Jumberi (2007)
menunjukkan bahwa pengelolaan lahan rawa pasang surut dengan sistem surjan yang dilakukan petani merupakan akumulasi dari pengalaman dan pemahaman mereka tentang ketersediaan air dan topografi wilayah pasang
surut. Sistem surjan ini juga memungkinkan petani melakukan diversifikasi antara tanaman padi dengan tanaman keras seperti rambutan, mangga, atau jeruk. Oleh karena itulah dalam pandangan Hardiyoko dan Saryoto (2005), sistem pertanian tradisional ini mendasarkan diri pada pengetahuan tentang ekosistem pertanian mikro, di mana kondisi lahan pertanian suatu daerah selalu memiliki keistimewaan sendiri.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, keperluan akan lahan pemukiman dan pertanian pun semakin bertambah. Pengembangan dan reklamasi lahan rawa pasang surut saat ini tidak hanya dilakukan oleh petani Banjar secara tradisonal saja, tetapi juga oleh pemerintah untuk keperluan pemukiman transmigrasi. Reklamasi lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan untuk keperluan transmigrasi sudah dirintis sejak masa pemerintahan orde lama sekitar tahun 1962, dan dilanjutkan oleh pemerintahan orde baru secara intensif pada tahun 1970-an hingga saat ini. Reklamasi dan pengembangan lahan rawa pasang surut yang dilakukan secara besar-besaran dan dalam waktu yang relatif singkat menyebabkan terjadinya perubahan secara drastis pada ekosistem lahan rawa pasang surut. Menurut Dahuri (1997), jika dikaji secara holistik dampak negatif proyek ini adalah menurunnya nilai dan fungsi ekonomis maupun ekologis dari ekosistem lahan basah rawa gambut yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kasus Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah merupakan contoh kerusakan ekosistem akibat eksploitasi besar-besaran tanpa memperhatikan keterbatasan dan karakteristik khas dari lahan rawa pasang surut terutama tanah gambut yang sangat peka terhadap perubahan yang drastis.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi sebagai bagian dari program nasional sering tidak sejalan dengan kondisi wilayah spesifik yang ada. Pembukaan areal lahan pasang surut secara besar-besaran yang diintegrasikan dengan program transmigrasi justru berakibat buruk terhadap degradasi lingkungan. Bahkan beberapa lokasi unit pemukiman transmigrasi di lahan pasang surut banyak yang mengalami kegagalan. Sebanyak lima dari enam UPT Galam Rabah di Kabupaten Banjar tingkat huniannya rata-rata kurang dari 30% setelah satu tahun ditempatkan (Wuriati 2005). Pada lokasi lainnya di UPT Barambai Kabupaten Barito Kuala, Wahyu (2001) menyatakan bahwa transmigran yang meninggalkan lokasi transmigrasi
terkait dengan kegagalan dalam pengembangan sawah pasang surut dan kualitas lahan yang rendah. Periode tahun 1969-1973 telah ditempatkan sebanyak 160 KK transmigran dari etnis Sunda di lahan rawa pasang surut Barambai, dan pada tahun 1999 yang masih bertahan hanya sebanyak 15 KK.
Pembukaan lahan rawa pasang surut yang diintegrasikan dengan program transmigrasi ini semuanya mengalami kegagalan terutama dalam pengembangan pertaniannya. Terdapat beberapa lokasi pemukiman transmigrasi di lahan rawa pasang surut (seperti UPT Danda Jaya, UPT Tarantang, dan beberapa UPT lainya di Kabupaten Barito Kuala) yang berhasil mengelola lahan tersebut untuk keperluan pertanian. Walaupun demikian, pada tahap-tahap awal penempatan mereka banyak menemui kendala dan hambatan teknis terkait dengan sistem pengelolaan air dan sifat fisik tanah yang khas. Usaha yang gigih dan belajar dari pengalaman petani setempat dalam mengelola lahan rawa pasang surut merupakan kunci sukses keberhasilan para transmigran di wilayah ini (Hidayat 2000).
Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat terutama dalam bidang pertanian terbukti telah membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi mereka. Produktivitas padi di lahan rawa pasang surut tipe A rata-rata mencapai 3,1 ton/ha, tipe B mencapai 2,5 ton/ha dan di tipe C rata-rata-rata-rata hanya 1,8 ton/ha (Hidayat 2000). Berdasarkan analisis Rina Y dan Noorginayuwati (2007), tentang usahatani padi di lahan rawa pasang surut bergambut, rata-rata produktivitas padi lokal sebesar 1,8 ton/ha dengan keuntungan Rp 1.270.000/ha (nilai R/C 1,38) dan padi unggul 2,3 ton/ha dengan keuntungan rata-rata Rp 1.144.743/ha (nilai R/C 1,32). Selain itu pengembangan sistem tukungan dan surjan dengan penerapan sistem tumpang sari padi
dengan tanaman hortikultura seperti jeruk, rambutan atau mangga di lahan rawa pasang surut ternyata mampu meningkatkan pendapat petani secara signifikan (Rasmadi 2007; Noor et.al. 2007). Walaupun secara nasional tingkat
produktivitas ini tergolong rendah, tetapi jika ditinjau dari aspek kondisi lahannya yang bersifat marjinal kondisi ini justeru menunjukkan bahwa dengan segala keterbatasan sumberaya alam yang ada, petani setempat mampu memanfaatkannya untuk keberlanjutan kehidupan mereka.
Kondisi biofisik lahan rawa pasang surut yang spesifik dan sistem sosial masyarakat yang mengembangkan pengetahuan lokalnya dalam mencapai keselarasan hidup dengan alam ini penting untuk dikaji terutama dalam konteks
era globalisasi. Hal ini juga terkait dengan eksistensi pengetahuan lokal itu sendiri ketika sains dan teknologi modern dalam bidang pertanian dianggap sebagai jawaban atas permasalahan pangan umat manusia saat ini dan di masa mendatang.
1.2 Perumusan Masalah
Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat berkembang sebagai proses adaptif terhadap kondisi lingkungan sekitar. Lahan rawa pasang surut yang dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan pertanian berpengaruh terhadap pembentukan sistem pengetahuan mereka. Melalui pengalaman dan berbagai percobaan yang bersifat trial and error mereka akhirnya mampu menyesuaikan
dengan kondisi spesifik tersebut. Kemampuan adaptasi terhadap kondisi setempat membuat pengetahuan lokal ini mampu bertahan dalam kehidupan petani di pedesaan Kalimantan Selatan. Sifat spesifik lahan lahan rawa pasang surut yang memerlukan penanganan khusus serta varietas padi yang adaptif untuk kondisi tersebut telah menjadikan pengetahuan lokal tersebut sebagai aset yang sangat berharga dalam praktik-praktik pertanian padi di pedesaan Kalimantan Selatan.
Sistem pertanian yang didasarkan atas pengetahuan lokal ini terbukti ramah lingkungan dan mampu menjaga kestabilan ekosistem di lahan rawa pasang surut, tetapi dari sisi produktivitas padi yang dihasilkan masih tergolong rendah (berkisar antara 1,8-3,1 ton/ha). Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan pangan, terutama yang berasal dari padi mendorong pemerintah memacu produksi padi di lahan-lahan marjinal seperti lahan rawa pasang surut melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas. Introduksi teknologi pertanian modern yang dilakukan ternyata berdampak terhadap kerusakan ekologis dan sosial.
Penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida serta mekanisasi dan pengolahan tanah yang tidak sesuai dengan kondisi spesifik lahan rawa pasang surut ternyata berdampak terhadap degradasi lahan dan kerusakan ekosistem lahan rawa pasang surut. Dampak negatif yang lebih mengkhawatirkan justru terjadinya pada sistem sosial petani itu sendiri. Pertanian modern ternyata menuntut input produksi dan modal usaha yang tinggi agar hasil yang dicapai juga tinggi. Padahal, petani umumnya memiliki keterbatasan dalam penyediaan dana segar untuk membeli berbagai sarana
produksi yang memang tidak bisa mereka buat atau ciptakan sendiri (seperti pupuk organik, pestisida dan benih unggul).
Introduksi berbagai benih varietas unggul nasional yang dianggap memiliki potensi produktivitas tinggi untuk menggantikan varietas lokal ternyata bukan hanya berdampak pada perubahan sistem pengelolaan sawah di lahan rawa pasang surut tetapi juga berbagai pengetahuan lokal masyarakat yang terbukti mampu beradaptasi dengan kondisi spesifik tersebut. Hilangnya sejumlah varietas lokal yang adaptif terhadap kondisi lingkungan setempat serta pengetahuan petani tentang varietas tersebut dan teknik budidayanya merupakan kehilangan yang besar dalam hal pengetahuan lokal. Menurut Noor (2004) jumlah varietas padi lokal di lahan rawa pasang surut mencapai ratusan, tetapi kini varietas lokal yang masih ditanam hanya seperti Siam, Unus, Pandak,
dan Bayar. Dengan kata lain, introduksi sistem pertanian modern yang
berbasiskan bahan-bahah kimia dan mekanisasi pertanian telah mengancam eksistensi pengetahuan lokal yang telah menyatu dalam sistem sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut.
Di sisi lain, pengetahuan lokal juga memiliki keterbatasan dalam menghadapi tantangan globalisasi, tekanan penduduk dan peningkatan kebutuhan masyarakat. Hanya berharap dengan pengetahuan lokal saja untuk pengembangan pertanian bukanlah hal yang dapat menyelesaikan semua permasalahan tersebut. Menurut Durning (1995), pengetahuan lokal ini juga bersifat rawan terhadap tekanan-tekanan ekonomi, teknologi modern yang merambah cepat, serta pertumbuhan penduduk yang cepat. Ini berarti diperlukan suatu model kombinasi antara pengetahuan lokal dengan sains dalam suatu perpaduan yang harmonis dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pengembangan sains di bidang pertanian pada lahan rawa pasang surut seyogyanya dikembangkan dari sistem pengetahuan lokal masyarakat setempat. Pengembangan sistem tata air mikro untuk mengatasi kemasaman tanah yang tinggi pada lahan rawa pasang surut merupakan salah satu bentuk pengembangan sains dengan mengadopsi sistem pengairan sawah yang dilakukan petani Banjar di lahan rawa pasang surut (sistem tata air mikro H. Idak). Oleh karena itulah pertanyaan mendasar dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimana eksistensi pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut ketika berkontestasi dengan sains yang menjadi basis dalam
pertanian modern saat ini?” Untuk menelaah permasalahan ini maka disusun pertanyaan penelitian yang bersifat khusus, yakni :
1. Bagaimana komunitas petani padi sawah di lahan rawa pasang surut mengembangkan sistem pengetahuan lokal dari dulu hingga sekarang terutama dalam menghadapi era modernisasi pertanian?
2. Bagaimana terjadinya proses kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal komunitas petani padi sawah di lahan rawa pasang surut?
3. Bagaimana sistem sosial merespon terjadinya kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis eksistensi pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut ketika berkontestasi dengan sains yang menjadi basis dalam pertanian modern saat ini. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Menganalisis sejarah pengembangan sistem pengetahuan lokal, termasuk sejarah lokal perkembangan pertanian padi sawah di lahan rawa pasang surut.
2. Menganalisis proses kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal. 3. Menganalisis respon sistem sosial terhadap kontestasi antara sains dengan
pengetahuan lokal.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu sosiologi, khususnya menyangkut pengetahuan lokal dan kontestasinya dengan sains dalam sistem sosial komunitas petani padi di lahan rawa pasang surut. Manfaat secara praktis dari penelitian ini terutama dalam peningkatan kesejahteraan petani padi melalui upaya pengembangan pengetahuan lokal dan sains di bidang pertanian. Sistem sosial dan kelembagaan yang adaptif diharapkan dapat menjadi media dalam menjembatani kontestasi antara pengetahuan lokal dengan sains. Bagi pemerintah, pengembangan sains yang didasarkan atas pengetahuan lokal masyarakat setempat diharapkan dapat mempercepat upaya peningkatan
produksi padi dalam mengatasi tantangan kebutuhan pangan yang semakin meningkat.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memfokuskan analisis dan pembahasan dalam studi pengetahuan lokal petani yang memiliki dimensi luas, maka ditetapkan batas-batas analisis sebagai berikut :
1. Pengetahuan lokal petani yang dikaji meliputi pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian dalam arti luas.
2. Secara spesifik, kasus ini mengkaji pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut pada empat tipe luapan air pasang, yakni lahan rawa pasang surut tipe A, B, C dan D.
3. Modernisasi pertanian mencakup berbagai program pemerintah untuk mengembangkan usahatani padi di lahan rawa pasang surut yang terutama kegiatan intensifikasi pertanian melalui teknologi benih unggul dan mekanisasi pertanian.
1.6 Kebaruan (Novelty)
Kebaruan dari penelitian ini menyangkut topik dan metode penelitian yang digunakan. Topik penelitian tentang proses pembentukan pengetahuan lokal petani serta kontestasinya dengan sains di bidang pertanian, khususnya di lahan rawa pasang surut belum pernah dilakukan. Proses pembentukan pengetahuan lokal ini dianalisis hingga membentuk sebuah anatomi pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat petani di lahan rawa pasang surut. Kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal memberikan analisis kritis tentang eksistensi pengetahuan lokal dalam menghadapi era modernisasi dan globalisasi saat ini. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan hanya terbatas pada identifikasi bentuk-bentuk kearifan lingkungan dalam praktik-praktik pertanian di lahan rawa pasang surut seperti disajikan pada Tabel 1.
Penelitian Shohibuddin (2003) berupaya untuk mencermati secara induktif dinamika sosi-kultural pada masyarakat Toro sepanjang proses artikulasi kearifan tradisional merka dalam pengelolaan sumberday alam. Khusus untuk menggambarkan tentang bentuk-bentuk pengetahuan lokal dalam pelestarian lingkungan hidup pada masyarakat pesisir diungkapkan melalui penelitian Yorisetou (2003 ) yang dilakukan di peisisir Teluk Tanah Merah Kabupaten
Jayapura Provinsi Papua. Penelitian tentang pengetahuan lokal juga dilakukan oleh Prasodjo (2005) yang mencoba menganalisis kaitannya dengan tatapemerintahan dan desentralisasi perngelolaan sumberdaya alam. Penelitian di wilayah lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dilakukan oleh A. Jumberi dan A. Supriyo (2007) terkait dengan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam budidaya padi serta penelitian Noorginayuwati, A.Rafieq, M.Noor, dan A. Jumberi tentang karifan budaya lokal dalam pemanfaatan gambut untuk pertanian. Penelitian yang dilakukan ini juga terkait erat dengan yang telah penulis teliti pada tahun 2000 yang memfokuskan pada bentuk-bentuk kearifan budaya dan analisis tingkat pengelolaan lingkungan hidup oleh petani suku Banjar di lahan rawa pasang surut Kabupaten Barito Kuala.
Tabel 1. Topik dan paradigma penelitian yang digunakan dalam beberapa penelitian terkait dengan pengetahuan lokal
Peneliti Tahun Topik Pendekatan paradigma
Taufik Hidayat 2000 Kearifan budaya dalam pengelolaan LRPS
Postpositivis M. Shohibuddin, 2003 Artikulasi kearifan tradisional
dalam pengelolaan SDA
Konstruktivis W. Yorisetou 2003 Bentuk pengetahuan lokal
masyarakat pesisir
Konstruktivis N.W Prasodjo 2005 Pengetahuan lokal kaitannya
dengan tatapemerintahan dan desentralisasi pengelolaan SDA
Konstruktivis
Agus Supriyo dan Achmadi Jumberi
2007 Bentuk-bentuk kearifan budaya lokal dalam budidaya padi di lahan rawa paang surut
Konstuktivis
Noorginayuwati, A.Rafieq,
M.Noor, dan A. Jumberi
2007 Kearifan budaya lokal dalam pemanfaatan gambut
Konstuktivis
Pada aspek metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan paradigma teori kritis untuk menganalisis kontestasi antara pengetahuan lokal dan sains. Melalui analisis dengan paradigma teori kritis bukan hanya mampu memahami realitas yang ada tetapi sekaligus juga proses emansipasi yang mampu membuka selubung dominasi dalam kehidupan masyarakat di lahan rawa pasang surut. Penelitian-penelitian yang lain umumnya menggunakan pendekatan paradigma postpositivis dan konstruktivis.