• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam merumuskan kebijakan dan skenario pengelolaan untuk selanjutnya membangun model kebijakan pengelolaan kawasan tepian air di Kota Semarang, dilakukan tahapan seperti Gambar 5.1 dibawah ini, dimana masukan utama berupa: (1) Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Alam, (2) Keterpaduan/Keberlanjutan, (3) Sistem Dinamik dan Sistem Dinamik Spasial dengan bermacam masukan data termasuk analisis guna lahan menurut RTRW Kota Semarang tepian pantai, untuk selanjutnya dengan menggunakan Analitical

Hierarchie Process (AHP) diperoleh (4) Alternatif Kebijakan Pengelolaan Kota

Tepian Pantai, untuk selanjutnya ditentukan Strategi Kebijakan Water Front City.

Gambar 5.1. Skenario Membangun Model DATA 1.ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN SDA : NPV / BCR, CPI 2. ANALISIS KEBERLANJUTAN : MDS, RAPFISH 3. SISTEM DINAMIK : Analisis Stakeholder, Powersim 4 .GIS : ArcView KELAYAKAN PENGELOLAAN SDA  Tingkat Keberlanjutan  Indikator Keberlanjutan  Faktor Pengungkit

Model Kebijakan & Simulasi MERUMUSKAN KEBIJAKAN DAN SKENARIO : Analytical Hirarchy Process

PERUMUSAN STRATEGI KEBIJAKAN

REKOMENDASI KEBIJAKAN : Group Discussion Sistem Dinamik & Sistem Spatial

Dinamik

Analisis Guna Lahan RT RW

(2)

5.1 Menentukan Kelayakan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Tujuan 1) 5.1.1. Kajian kinerja ke-ekonomian sumberdaya

a. Sumberdaya/Habitat Mangrove

1. Sustainable Management

Berdasarkan hasil analisis citra pada tahun 2003 dan tahun 2007, diketahui luasan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang telah mengalami penurunan luasan sebaran mangrove dari 135,38 Ha (2003) menjadi 93,56 Ha (2007) yang tersebar di wilayah Kecamatan Tugu (Kelurahan-kelurahan Mangkang Kulon, Mangkang Wetan, Mangunharjo); Kecamatan Genuk (Kelurahan Terboyo Kulon dan Terboyo Wetan) serta Kecamatan Gayamsari (Kelurahan Tambakrejo). Melalui program reboisasi pesisir Semarang potensi hutan mangrove dapat dipulihkan kembali menjadi lebih dari 135 Ha. ( seperti pada tahun 2003) dengan potensi ideal 300 ha.

Hasil pengamatan dan analisa sampel (Kementerian Kelautan dan Perikanan) di sepanjang pantai Kota Semarang, mulai dari pantai Marina ke arah barat, pantainya bersubstrat pasir, sedangkan mulai Marina ke arah timur substrat pantai adalah pasir berlumpur. Jenis mangrove yang diidentifikasi antara lain

Avicenia alba, A. Marina, A. Ovalis, Rhizophora mucronata, Lumnizea racemosa, Excoecaria agallocha, dan Pandanus sp.

Pada opsi sustainable management, benefit yang diperoleh dari pengelolaan hutan mangrove berasal dari standing stock, kemampuan mangrove dalam menyediakan habitat perikanan, kehidupan liar (wildlife), biodiversitas,

physical value dan existence value. Biaya yang harus dikeluarkan berupa investment cost, biaya pemeliharaan dan eksploitasi standing stock, fishing cost

serta biaya pemanfaatan kehidupan liar.

Analisis biaya manfaat konservasi habitat yang digunakan oleh Kusumastanto et al. (1998) dari hasil kajiannya di Selat Maaka, diperoleh data bahwa estimasi nilai standing stock hutan mangrove mencapai USD 165/ha/th, didasarkan pada volume log berdiameter 10 cm atau lebih dan tingkat eksploitasi yang diizinkan untuk kepentingan sustainable use selama 20 tahun masa pengelolaan (19.305 ha/th). Estimasi nilai mangrove dalam fungsinya sebagai penyedia habitat bagi berbagai jenis ikan (mencapai USD 1,522.24/ha/th),

(3)

didasarkan pada nilai produksi perikanan di seputar hutan. Estimasi nilai kehidupan liar didalam ekosistem mangrove (mencapai USD 8,22/ha/th), didasarkan pada kekayaan spesies seperti burung, mamalia dan reptil yang dimiliki hutan ini. Estimasi nilai biodiversitas ekosistem mangrove (mencapai USD 15/ha/th), disetarakan dengan nilai biodiversitas hutan hujan tropis (tropical rain forest) dengan fungsi ekologi tinggi. Data tersebut juga menunjukkan, bahwa investment cost pengelolaan hutan mangrove diestimasi mencapai USD 190,39/ha/th. Menurut Sumardjani (1993), eksploitasi dan perawatan standing stock hutan mangrove di Air Sugihan, Sumatra Selatan adalah USD. 102.93/ha/th. Fishing cost sumberdaya perikanan di sekeliling hutan mangrove diestimasi mencapai USD 681,95/ha/th; sedangkan biaya pemanfaatan kehidupan liar di dalam area hutan mangrove mencapai USD 0,59/ha/th. Secara keseluruhan, estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan

mangrove pada opsi sustainable manajemen disajikan pada Tabel 5.1

Dengan mengadopsi data hasil penyelidikan Kusumastanto et al (1998) yang dilakukan di Selat Malaka (daerah tropis dengan kondisi tidak jauh berbeda dengan pesisir Semarang), dan Sumarjani tersebut diatas untuk diaplikasikan di Kota Semarang tepian pantai maka dengan luas total mencapai 135 ha, benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Semarang pada opsi

sustainable management disajikan pada Tabel 5.2

Tabel 5.1. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sutainable management

Benefit-Cost Komponen Nilai (USD/ha/th) Asumsi

Benefit Standing stock 165,00 konstan per tahun

Perikanan 1.522,24 konstan per tahun

Kehidupan liar 8,22 konstan per tahun Biodiversitas 15,00 konstan per tahun Physical value 726,26 konstan per tahun Existence value 2.516,40 konstan per tahun Cost Investment cost 190.39 konstan per 5 tahun

Standing stock 102,93 konstan per tahun

Perikanan 681,95 konstan per tahun

Kehidupan liar 0,59 konstan per tahun Kusumastanto et al.(1998)

(4)

Tabel 5.2. Benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi sustainable management

Benefit-Cost Komponen Nilai (USD/th) Asumsi

Benefit Standing stock 22.275,00 konstan per tahun Perikanan 205.502,24 konstan per tahun Kehidupan liar 1.109,70 konstan per tahun Biodiversitas 2.025,00 konstan per tahun

Physical value 98.045,10 konstan per tahun

Existence value 339.714,00 konstan per tahun

Cost Investment cost 25.702,65 konstan per 5 tahun

Standing stock 13.895,00 konstan per tahun

Perikanan 92.063,25 konstan per tahun

Kehidupan liar 79,65 konstan pet tahun

2. Sylvofisheries

Opsi ini didasarkan pada asumsi 20% luas hutan mangrove yang terbentuk digunakan untuk sylvofisheries, sisanya digunakan untuk sutainable

management. Berdasarkan kondisi ini, data yang digunakan oleh Kusumastanto et al.(1998) menunjukkan bahwa benefit dari milkfish sylvofisheriy diestimasi mencapai USD 224,03/ha/th; polyculture sylvofishery USD 447,49/ha/th, dan shrimp sylvofishery USD 1.249,84/ha/th. Externality cost mencapai USD

825,91/ha/th, diestimasi berdasarkan hilangnya nilai ekonomi 20 % hutan mangrove akibat aktivitas sylvofisheries. Secara keseluruhan, estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sylvofisheries management disajikan pada Tabel 5.3.

Dengan mengadopsi data tersebut untuk diaplikasikan di pesisir Semarang, dengan luas total mencapai 135 ha dan asumsi 20% luas hutan mangrove digunakan untuk sylvofisheries, benefit dan cost pengelolaan hutan

mangrove di wilayah tepian pantai Kota Semarang pada opsi sylvofisheries management disajikan pada Tabel 5.4.

(5)

Tabel 5.3. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi

sylvofishery (milkfish), polyculture, dan shrimp management

Benefit and Cost Komponen Nilai(USD/ha/th) Asumsi

Benefit Sylvofishery1 224,03 konstan per tahun

Sylvofishery2 447,49 konstan per tahun

Sylvofishery3 1.248,64 konstan per tahun

Standing stock 132,00 konstan per tahun

Perikanan 1.217,79 konstan per tahun Hidupan liar 6,58 konstan per tahun Biodiversitas 12,00 konstan per tahun Physical value 581,02 konstan per tahun Existence value 2.013,12 konstan per tahun

Cost Investment cost1 30,45 konstan per 5 tahun

Investment cost2 36,18 konstan per 5 tahun Investment cost 3 153,47 konstan per 5 tahun Sylvofishery1 46,24 konstan per tahun Sylvofishery2 47,53 konstan per tahun Sylvofishery3 215,49 konstan per tahun Standing stock 82,34 konstan per tahun Perikanan 545,56 konstan per tahun Hidupan liar 0,47 konstan per tahun Eksternalitas 825,91 konstan per tahun

Kusumastanto et al.(1998)

Berdasarkan data pada Tabel 5.1; 5.2; 5.3; 5.4 dilakukan analisis kelayakan untuk setiap opsi pengelolaan hutan mangrove dengan hasil disajikan pada Tabel 5.5. Perhitungan secara detail aliran benefit dan cost untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Lampiran-lampiran 7, 8, 9, 10 halaman-halaman 268, 272, 276, 300. Indikasi kelayakan kriteria pengelolaan ditunjukkan oleh nilai NPV positif dan BCR dari semua opsi pengelolaan bernilai > 1.

(6)

Tabel 5.4. Benefit dan Cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi: sylvofishery(milkfish)1, (polyculture)2, dan (schrimp)3 management

Benefit-Cost Komponen Nilai (USD/tahun) Asumsi

Benefit Sylvofishery1 6.048,81 konstan per tahun

Sylvofishery2 12.082,23 konstan per tahun Sylvofishery3 33.713,28 konstan per tahun Standing stock 3.564,00 konstan per tahun Perikanan 32.880,33 konstan per tahun Hidupan liar 177,66 konstan per tahun Biodiversitas 324,00 konstan per tahun Physical value 15.687,54 konstan per tahun Existence value 54.354,24 konstan per tahun

Cost Investment cost1 822,15 konstan per 5 tahun Investment cost2 976,86 konstan per 5 tahun Investment cost3 4.143,69 konstan per 5 tahun Sylvofishery1 1.248,48 konstan per tahun Sylvofishery2 1.283,31 konstan per tahun Sylvofishery3 5.818,23 konstan per tahun Standing stock 2.223,18 konstan per tahun Perikanan 14.730,12 konstan per tahun Hidupan liar 12,69 konstan per tahun Eksternalitas 22.299,57 konstan per tahun

Tabel 5.5. Net Present Value (NPV) untuk setiap opsi manajemen dan BCR, Sumber: Kusumastanto et al. (1998)

No. Opsi Manajemen NPV (USD/ha) BCR

1 Sustainable Management 17.391,78 5,96

2 Sylvofishery Milkfish 9.825,21 2,52

3 Sylvofishery Milkfish and Shrimp 12.259,16 2,92

(7)

Dengan luas total mencapai 135 ha, Opsi manajemen hutan mangrove di wilayah Kota Semarang tepian pantai mempunyai NPV dan BCR seperti pada Tabel 5.6. (detil perhitungan disajikan pada Lampiran 7, 8, 9, 10; halaman 268, 272, 276 dan 300 ).

Tabel 5.6. Hasil analisis kelayakan dari beberapa opsi pengelolaan hutan

mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang

No Opsi Pengelolaan NPV(USD) BCR Hasil Analisis 1 2. 3. 4. Sustainable Management Milkfish sylvofishery Polyculture sylvofishery Shrimp sylvofishery 4.736.988,00 4.405.319,00 4.456.069,00 4.595.085,00 5,94 2,78 2,92 3,04 Layak Layak Layak Layak b. Beach Resources

b.1. Beach Protected Areas

Pesisir Semarang sepanjang 25 km. (Rencana Tata Ruang Pesisir Kota Semarang, 2007) yang dimiliki oleh 4(empat) Kecamatan berbatasan langsung dengan Laut Jawa yaitu Kecamatan Tugu (31,78 km2), Kecamatan Semarang Barat (21,74 km2), Kecamatan Semarang Utara (10,97 km2) dan Kecamatan Genuk (27,74 km2) serta 2(dua) diantaranya masih dipengaruhi oleh karakteristik wilayah pesisir secara fisik maupun sosial ekonomi, yaitu Kecamatan Semarang Timur (7,71 km2) dan Kecamatan Gayamsari (6,18 km2).

Pengelolaan beach resources pada opsi beach protected areas selain berpotensi menghasilkan manfaat langsung (direct benefit) dan manfaat tidak langsung (indirect benefit), juga beresiko menanggung biaya langsung (direct

cost). Manfaat langsung yang diperoleh berasal dari aktivitas wisata dan aktivitas

ekonomi lain seperti bungalow (hotel) dan restoran yang dapat dikembangkan di area ini. Manfaat tidak langsung yang diperoleh berupa perlindungan garis pantai (shorline protection). Biaya langsung yang harus ditanggung berupa biaya investasi (investment cost) dan biaya perawatan (maintenance cost) untuk bungalow (hotel) dan restoran. Manfaat dan biaya langsung dari aktivitas wisata

(8)

dan aktivitas ekonomi langsung dihitung berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh direktorat jenderal pariwisata. Secara keseluruhan, berdasarkan data-data yang digunakan oleh Kusumastanto et al.(1998), estimasi manfaat dan biaya pe- ngelolaan beach resources pada opsi beach protected areas adalah:

Tabel 5.7. Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi

beach protected areas

Benefit-Cost Komponen Nilai (USD/km/th) Asumsi

Benefit Wisata pantai 15.024,00 tetap per tahun

Bungalow (hotel) 9.659.220,48 tetap per tahun Restoran 1.614.351,20 tetap per tahun Pemanenan telur penyu 224.640,00 tetap per tahun Hidupan liar 5.974,71 tetap per tahun

Shoreline protection 4.000.000,00 tetap per tahun

Cost Investment cost:

Bungalow (hotel) 7.152.240,00 tetap per 10 tahun

Restoran 1.760.000,00 tetap per 10 tahun

Maintenance cost:

Bungalow (hotel) 572.179,20 tetap per tahun

Restoran 140.800,00 tetap per tahun Penyu 1,85 tetap per tahun Kusumastanto et al. (1998)

Berdasarkan data-data tersebut, dengan panjang pantai mencapai 25 km, manfaat dan biaya pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Semarang pada opsi beach protected areas disajikan pada Tabel 5.8.

(9)

Tabel 5.8 Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi beach protected areas

Benefit-cost Komponen Nilai (USD/th) Asumsi Benefit Wisata pantai 375.600 tetap per tahun

Bungalow (hotel) 241.480.512 tetap per tahun

Restoran 40.358.780 tetap per tahun Pemanenan telur penyu 5.616.000 tetap per tahun Hidupan liar 149.367 tetap per tahun

Shoreline protection 100.000.000 tetap per tahun

Cost Investment cost:

Bungalow (hotel) 178.806.000 tetap per 10 tahun

Restoran 44.000.000 tetap per 10 tahun

Maintenance cost:

Bungalow (hotel) 14.304.480 tetap per tahun

Restoran 3.520.000 tetap per tahun Penyu 46,25 tetap per tahun

b.2. Set Back Zone

Opsi set back Zone, selain berpotensi menghasilkan direct dan indirect

benefit, juga beresiko menanggung direct cost. Direct benefit yang dihasilkan

berasal dari aktivitas wisata dan aktivitas ekonomi lain seperti bungalow (hotel) dan restoran. Indirect benefit yang diperoleh berupa shoreline protection. Direct

cost yang harus ditanggung berupa investment cost dan maintenance cost untuk bungalow (hotel) dan restoran. Secara keseluruhan, berdasarkan data-data yang

digunakan oleh Kusumastanto et al. (1998), estimasi benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi set back zone disajikan sebagai berikut:

(10)

Tabel 5.9 Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi set back zone

Benefit-cost Komponen Nilai (USD/km/th) Asumsi

Benefit Wisata pantai 18.780,00 tetap per tahun

Bungalow (hotel) 12.074.025,60 tetap per tahun Restoran 2.017.939,00 tetap per tahun

Shoreline protection 4.000.000,00 tetap per tahun

Cost Investment cost:

Bungalow (hotel) 8.490.300,00 tetap per 10 tahun

Restoran 2.220.000,00 tetap per 10 tahun

Maintenance cost:

Bungalow (hotel) 849.030,00 tetap per tahun

Restoran 222.000,00 tetap per tahun Kusumastanto et al. (1998)

Berdasarkan data-data tersebut, dengan panjang pantai mencapai 25 km., benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Semarang pada opsi set back zone disajikan pada Tabel 5.10.

Tabel 5.10. Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi

set back zone Kota Semarang tepian pantai

Benefit-cost Komponen Nilai (USD/th) Asumsi

Benefit Wisata pantai 469.500,00 tetap per tahun

Bungalow (hotel) 301.850.625 tetap per tahun

Restoran 50.448.475 tetap per tahun

Shoreline protection 100.000.000 tetap per tahun

Cost Investment cost:

Bungalow (hotel) 212.257.500 tetap per 10 tahun

Restoran 55.500.000 tetap per 10 tahun

Maintenance cost:

Bungalow (hotel) 21.225.750 tetap pertahun

Restoran 5.550.000 tetap per tahun

Tabel 5.11 Hasil analisis kelayakan dari dua opsi pengelolaan beach

resources di wilayah pesisir Kota Semarang

No. Opsi pengelolaan NPV (USD) BCR Hasil analisis 1. Beach protected areas 2.642.855.245 8,34 layak

(11)

Detil perhitungan NPV dan BCR disajikan pada Lampiran-lampiran 11 dan 12, pada halaman 284 dan 288.

5.1.2. Pilihan Pengelolaan Sumberdaya

Untuk memilih dari beberapa alternatif pilihan pengelolaan sumber daya yang ada yang paling layak dikembangkan di wilayah pesisir Kota Semarang, dibuat peringkat dari beberapa alternatif pilihan yang ada dengan menggunakan teknik perbandingan indeks kinerja Comparative Performance Index (CPI).

a) Pilihan Pengelolaan Sumberdaya/Habitat Mangrove

Tabel 5.5. di transformasikan menjadi Tabel 5.12 matriks awal penilaian pilihan pengelolaan sumberdaya habitat mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang.

Tabel 5.12. Matriks awal penilaian pilihan pengelolaan sumberdaya/habitat

mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang

No Opsi Pengelolaan NPV(USD) BCR Hasil Analisis 1 2. 3. 4. Sustainable Management Milkfish sylvofishery Polyculture sylvofishery Shrimp sylvofishery 4.736.988,00 4.405.319,00 4.456.069,00 4.595.085,00 5,96 2,52 2,92 3,05 Layak Layak Layak Layak Bobot criteria 0,4 0,6

Tabel 5.13. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian pilihan pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang No. Pilihan pengelolaan Kriteria Nilai

pilihan Peringkat NPV (USD) BCR 1 Sustainable management 107,3 236,5 184,8 1 2 Milkfish sylvofishery 100,0 100,0 100,0 4 3 Polyculture sylvofishery 101,2 115,9 110,0 3 4 Shrimp sylvofishery 104,3 121,0 114,3 2 Bobot criteria 0,4 0,6

(12)

Perhitungan secara detil aliran benefit dan cost untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Lampiran.

Tabel 5.13 menunjukkan bahwa pilihan pengelolaan Sustainable management menempati peringkat pertama (1), disusul Shrimp sylvofishery (2), Polyculture

sylfofishery (3) dan terakhir Milkfish sylvofishery (4). Hasil ini juga menunjukkan

bahwa sustainable management merupakan pilihan pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove yang dinilai paling layak dikembangkan di wilayah tepian pantai Kota Semarang. Atas hal tersebut, pembabatan hutan mangrove harus segera dihentikan dan perlu di prioritaskan untuk dilakukan penanaman kembali.

a. Pilihan Pengelolaan Beach Resources

Penilaian pilihan pengelolaan beach resources di wilayah tepian pantai Kota Semarang dilakukan menggunakan matriks yang disajikan pada Tabel 5.14 yang merupakan hasil transformasi Tabel 5.11

Tabel 5.14. Matriks awal hasil penilaian pilihan beach resources di wilayah tepian pantai Kota Semarang

No. Opsi pengelolaan NPV (USD) BCR Hasil analisis 1. Beach protected areas 2.642.855.245 8.34 layak

2. Set back zone 2,960.139.518 6.44 layak Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 5.15 Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian pilihan pengelolaan beach resources di wilayah tepian pantai Kota Semarang

No. Pilihan pengelolaan Kriteria Nilai pilihan

Peringkat NPV

(USD)

BCR

1 Beach protected areas 100,0 129,5 117,7 1

2 Set back zone 112,0 100,0 104,8 2

(13)

Tabel 5.15 menunjukkan bahwa pilihan pengelolaan beach protected

areas menempati peringkat pertama (1), disusul oleh set back zone yang

menempati peringkat ke dua (2).Atas hal tersebut, perlu dilakukan langkah nyata untuk melindungi wilayah pantai, mengingat kecenderungan yang terjadi selama ini menunjukkan, bahwa berbagai proses baik yang bersifat alami maupun antropogenik seperti abrasi, akresi dan reklamasi pantai, cenderung menimbulkan dampak yang merugikan baik dari aspek biofisik, ekonomi maupun sosial.

5.2 Menentukan Tingkat Keberlanjutan dan Indikator-indikator Keberlanjutan (Tujuan 2)

Analisis data dengan pendekatan Multi-Dimensional Scalling (MDS), meliputi aspek keberlanjutan dari dimensi ekologi, sosial-ekonomi dan budaya, infrastruktur, serta kelembagaan. Selanjutnya, dilakukan pula analisis multidimensi dengan menggabungkan seluruh atribut dari lima dimensi keberlanjutan.

5.2.1 Analisis Keberlanjutan berdasar dimensi (a) Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Atribut yang dipertimbangkan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri dari dua belas atribut : (1) Prosentase Ruang Terbuka Hijau di hulu, (2) Prosentase Ruang Terbuka Hijau di hilir, (3) Pencemaran udara Kota Semarang, (4) Tingkat pencemaran air, (5) Sedimentasi, (6) Erosi, (7) Abrasi, (8) Pengelolaan sampah, (9) Tingkat penggunaan air tanah, (10) Kesesuaian penggunaan lahan dengan RTRW, (11) Aktivitas sempadan sungai (12) Aktivitas sempadan pantai.

(14)

Gambar 5.2. Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekologi.

Berdasarkan hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA, diketahui nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi wilayah tepian pantai Kota Semarang untuk pengembangan Kota Semarang tepian pantai adalah 44,72% pada skala sustainabilitas 0-100. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA yang bersifat multi dimensi, maka nilai indeks dimensi ekologi berada dibawah rata-rata (50,85%) dan termasuk kategori “kurang berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran “26 – 50”.

(15)

Gambar 5.3. Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS RAP-WITEPA

Hasil analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi: (1) Erosi, (2) Abrasi dan (3) Sedimentasi.

(b) Status Keberlanjutan Dimensi Sosial- Ekonomi

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari dua belas atribut, antara lain: (1) Jumlah penduduk miskin (%), (2) Pengangguran terbuka (%), (3) Lama pendidikan, (4) Balita kurang gisi, (5) Akses terhadap sanitasi, (6) Angka harapan hidup, (7) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan w.f.c. berkelanjutan, (8) Persepsi masyarakat terhadap w.f.c., (9) Kepadatan penduduk,

(16)

(10) Tingkat kriminalitas/konflik masyarakat, (11) PDRB per kapita, (12) Akses masyarakat terhadap pantai (beach).

Berdasarkan hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA, diperoleh nilai indeks keberlanjutan dimensi Sosial-ekonomi wilayah Kota Semarang tepian pantai sebesar 51,91% pada skala sustainabilitas 0 – 100 dan ada kecenderungan akan mengalami penurunan di masa-masa mendatang. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA (50,85%) yang bersifat multidimensi maka nilai indeks dimensi ekonomi berada sedikit diatas, dan masuk kedalam kategori “cukup berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran nilai “50 – 75”.

Hasil analisis Leverage diperoleh dua atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-ekonomi: (1) Akses masyarakat terhadap pantai, (2) Pengangguran terbuka.

Gambar 5.4. Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekonomi

(17)

Gambar 5.5. Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS RAP-WITEPA

(c) Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi infrastruktur terdiri sembilan atribut, antara lain: (1) Teknologi ecoport, (2) Reklamasi lahan, (3) Pembangunan polder dan saluran drainase, (4) Ketersediaan teknologi informasi, (5) Kondisi pelabuhan, (6) Soft/hard engineering, (7) Kondisi jalan dan jembatan, (8) Kecukupan energi (listrik), (9) Kondisi perumahan di pemukiman.

Berdasarkan hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi infrastruktur wilayah Kota Semarang tepian pantai sebesar 54,41 pada skala sustainabilitas 0 – 100 dan ada kecenderungan

(18)

akan mengalami peningkatan di masa-masa mendatang. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA (50,85) yang bersifat multidimensi maka nilai indeks dimensi Infrastruktur berada diatas, dan masuk kedalam kategori “Cukup berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran nilai “50 – 75”. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur, seperti Gambar 5.13.

Gambar 5.8. Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi infrastruktur dan teknologi

Hasil analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur: (1) Teknologi ecoport, (2) Reklamasi lahan, (3) Kondisi pelabuhan.

(19)

Gambar 5.9. Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS RAP-WITEPA

(d) Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh tingkat keberlanjutan terdiri dari enam atribut, antara lain: (1) Kebijakan pengelolaan w.f.c., (2) Sinkronisasi kebijakan PEMDA mengenai w.f.c. (3) Peran swasta dalam pengambilan kebijakan perencanaan, pengelolaan, pengawasan w.f.c., (4) Ketersediaan pengawasan dan penegakan hukum, (5) Peran LSM dalam pengambilan kebijakan perencanaan, pengelolaan, pengawasan w.f.c., (6) Kelembagaan Mitigasi bencana.

(20)

Gambar 5.10. Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan

Hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan wilayah Kota Semarang tepian pantai adalah sebesar 52,38% pada skala sustainabilitas 0 – 100 dan ada kecenderungan akan mengalami penurunan di masa-masa yang akan datang. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA (50,85) yang bersifat multidimensi maka nilai indeks dimensi kelembagaan berada diatas, dan masuk kedalam kategori “cukup berkelanjutan”, yaitu pada kisaran nilai “50 – 75”.

Berdasarkan hasil analisis Leverage diperoleh dua atribut yang sensitif nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan: (1) Mitigasi bencana, (2) Kebijakan yang sudah disahkan.

(21)

Gambar 5.11. Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RAP-WITEPA

Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, sosial-ekonomi, infrastruktur, serta kelembagaan dapat digambarkan dalam diagram layang nilai indeks keberlanjutan seperti pada Gambar 5.17.

DIAGRAM LAYANG-LAYANG WFC KOTA SEMARANG No Dimensi Nilai Indeks 1 Ekologi 44,72 2 Sosial Ekonomi 51,91 3 Infrastruktur 54,41 4 Kelembagaan 52,38

(22)

Gambar 5.12. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan fungsi- fungsi

5.2.2. Status Keberlanjutan Multidimensi

Secara multidimensi, nilai indeks keberlanjutan wilayah Kota Semarang tepian pantai saat ini (existing condition), sebesar 50,85 persen dan termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Ini berarti bahwa baik dilihat dari sisi weak

sustainability maupun strength sustainability, maka dapat dikatakan bahwa

wilayah Kota Semarang tepian pantai termasuk dalam kategori berkelanjutan, kerena semua dimensi berada pada kategori cukup berkelanjutan.. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 39 atribut dari empat dimensi keberlanjutan. Dari 39 atribut yang dianalisis, terdapat 10 atribut yang sensitif berpengaruh atau perlu di intervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan wilayah Kota Semarang tepian pantai.

Perbaikan terhadap atribut-atribut tersebut merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh stakeholder yang terkait dalam pengembangan pengelolaan Kota Semarang tepian pantai, namun yang paling penting adalah peran pemerintah, baik Pemerintah Pusat, mupun Pemerintah Daerah Kotamadya

(23)

Semarang sebagai fasilitator dalam membuat program rintisan kebijakan pengelolaan Kota Semarang tepian pantai dan selanjutnya menyerahkan kepada masyarakat setempat untuk melaksanakannya secara partisipatif.

Untuk melihat tingkat kesalahan dalam analisis MDS dengan RAP-WITEPA, dilakukan analisis Monte Carlo. Berdasarkan hasil analisis Monte

Carlo menunjukkan bahwa kesalahan dalam analisis MDS bisa diperkecil. Ini

terlihat dari nilai indeks keberlanjutan pada analisis MDS tidak banyak berbeda dengan nilai indeks pada analisis Monte Carlo. Ini berarti, kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil, baik dalam hal pembuatan skoring tiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 5.17.

Tabel 5.17. Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan multidimensi dan masing-masing dimensi pada selang kepercayaan 95%.

Status Indeks Hasil MDS Hasil

Montecarlo Perbedaan Ekologi 44,72 44,44 0,28 Sosial-Ekonomi 51,91 51,86 0,05 Infrastruktur 54,41 53,81 0,60 Kelembagaan 52,38 51,80 0,58 Multi-Dimensi 50,86 50,48 0,38

Sumber: Hasil Analisis,Tahun 2011.

Untuk mengetahui apakah atribut-atribut yang dikaji dalam analisis MDS dilakukan cukup akurat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, dilihat dari nilai stress dan nilai koefisien determinasi (R). Nilai ini diperoleh secara otomatis dalam analisis MDS dengan menggunakan software Rapfish yang dimodifikasi menjadi RAP-WITEPA. Hasil analisis dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan apabila memiliki nilai stress lebih kecil dari 0,25 atau 25 persen dan nilai koefisien determinasi (R) mendekati nilai 1,0 atau 100 persen (Kavanagh dan Pitcher, 2004).

(24)

Hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji, cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat dari nilai stress yang hanya berkisar antara 13 sampai 17 persen dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh berkisar antara 0,94 sampai 0,96. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti tabel 5.18 berikut.

Tabel 5.18 . Hasil analisis RAP-WITEPA untuk beberapa parameter statistik.

Ekologi

Sosial-Ekonomi Infrastruktur Kelembagaan

Multi-Dimensi Stress = 0,136045 0,141059 0,151586 0,161272 0,1474905 Squared Correlation (RSQ) = 0,95366 0,950945 0,946648 0,942451 0,948426 % Analisis 44,72% 51,91% 54,41% 52,38% 50,85%

5.3 Membangun Model Pengelolaan Semarang “water front city”secara Berkelanjutan (Tujuan 3)

5.3.1 Sistem Dinamik 5.3.1.1. Analisis kebutuhan

Berdasarkan hasil identifikasi bahwa stakeholders yang terlibat dalam sistem pengelolaan wilayah kota tepian air pada dimensi kebijakan publik dan perencana adalah: pemerintah yang mewakili kepentingan publik, investor selaku pemberi bantuan penyediaan dana dalam mewujudkannya, masyarakat setempat dan lembaga swadaya masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat, pelaku usaha yang menyebabkan berjalannya aktivitas ekonomi dalam pelaksanaanya serta akademisi yang mewakili kalangan intelektual.

Dalam tahap ini, dilakukan inventarisasi kebutuhan stakeholder yang ter libat, sebagai masukan dalam model. Masing-masing pelaku memiliki kebutuh- an dan pandangan terhadap dampak-dampak pengembangan kota wilayah tepian air pada keberlanjutan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan. Analisa kebutuhan stakeholders dalam sistem pengelolaan wilayah tepian air pada dimensi kebijakan publik disajikan pada Tabel 5.19.

(25)

Tabel 5.19. Analisis kebutuhan Stakeholders dalam sistem pengelolaan wilayah tepian air

No. Pihak

Berkepentingan Kebutuhan

1. Pemerintah Mengatasi masalah banjir, intrusi air laut dan minimisasi limbah

Perluasan lapangan kerja

Adanya sumber pendapatan ekonomi

Peningkatan peran tepian air pada perekonomian wilayah Peningkatan investasi ekonomi

Terjaganya kualitas lingkungan Kelestarian fungsi ekosistem Tidak menimbulkan konflik social

Sejalan dengan tujuan pembangunan dan pengembangan wilayah

2. Pelaku Usaha Mentaati kebijakan dan regulasi

Pelaksanaan kegiatan yang berjalan lancar dan aman sesuai dengan teknologi dan biaya yang tersedia

Tidak menimbulkan perncemaran lingkungan Tidak menimbulkan konflik sosial dan ekonomi Rencana kegiatan disetujui pemerintah dan masyarakat 3. Masyarakat

setempat

Peningkatan pendapatan

Keberlanjutan pelayanan publik yang lebih baik Kesinambungan daya dukung perikanan

Keberlanjutan program sosial, ekonomi dan ekologi Alternatif dan peningkatan lapangan kerja

Perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan untuk kehidupannya di masa mendatang

Keterlibatan dalam pembuatan kebijakan kawasan Kesehatan dan peningkatan kualitas hidup Penurunan frekuensi konflik

4. Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM)

Tidak ada pencemaran lingkungan

Tidak melanggar hak-hak masyarakat setempat Terpenuhinya kebutuhan masyarakat

Penurunan frekuensi konflik

5 Kalangan

perguruan tinggi (akademisi)

Tidak ada pencemaran lingkungan.

Tidak ada penurunan pendapatan ekonomi pemerintah dan masyarakat

Keterlibatan dalam pembuatan kebijakan kawasan

6 Investor Pembayaran atas hak-hak

Iklim investasi yang baik

Adanya sumber kegiatan ekonomi baru yang dapat meningkatkan aktifitas ekonomi kawasan

(26)

5.3.1.2.Formulasi Masalah

Formulasi permasalahan merupakan aktivitas merumuskan permasalahan sistem yang dikaji. Permasalahan sistem merupakan gap antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada, yaitu merupakan kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan para pelaku, dan pada kondisi nyata.

Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja dalam rangka mencapai tujuan. Adapun permasalahan dasar tersebut diuraikan dalam Analisis Multidimentional Scaling terdiri dari :

1. Pemberdayaan masyarakat: mewakili dimensi Sosial Budaya, terdiri dari pemberdayaan masyarakat, kepadatan perumahan, dan persepsi masyarakat.

2. Tingkat pemanfaatan lahan: mewakili dimensi ekologi, terdiri dari: tingkat pemanfaatan lahan, kejadian kekeringan, eksploitasi sumberdaya alam, kondisi prasarana jalan, biodiversitas, pengelolaan sampah.

3. Kontribusi sektor industri dan kehutanan: mewakili dimensi ekonomi, terdiri dari: kontribusi sektor industri, perubahan jumlah sarana ekonomi ,kontribusi sektor kehutanan, dan kontribusi sektor jasa.

4. Sarana dan prasarana infrastruktur mewakili dimensi Infrastruktur danTeknologi, terdiridari: Sarana listrik, reklamasi lahan, dukungan sarana dan prasarana jalan.

5. Ketersediaan organisasi masyarakat mewakili dimensi Hukum dan Kelembagaan, terdiri dari: daerah, transparansi dalam kebijakan.

5.3.1.3.Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem merupakan langkah penting untuk menetapkan ukuran ukuran kuantitatif dari berbagai variabel pada pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian pantai berkelanjutan. Langkah ini di interpretasi kan kedalam diagram input-output dan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam sistem digambarkan dalam bentuk diagram simpal kausal.

(27)

a. Diagram Input-Output

Diagram input-output sistem pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian pantai berkelanjutan disajikan pada Gambar 5.13. Input sistem terdiri dari input eksternal dan internal. Secara garis besar ada enam kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja suatu sistem, yaitu: (1) variabel output yang dikehendaki, yang ditentukan berdasarkan hasil analisa kebutuhan, (2) variabel output yang tidak dikehendaki, (3) variabel input yang terkontrol, (4) variabel input yang tidak terkontrol, (5) variabel input lingkungan dan (6) variabel kontrol sistem .

Gambar 5.13 Diagram black box (input-output) sistem pengelolaan kota wilayah tepian air

Input tak terkontrol

1. Pergantian Musim 2. Pasang Surut Air Laut 3. Pemanasan Global 4. Permukiman Penduduk 5. Ekonomi Regional

Output yang tidak diinginkan

1. Meningkatnya pencemaran lingkungan 2. Belum teratasinya permasalahan banjir dan

kebutuhan air bersih

3. Kesehatan masyarakat dan lingkungan semakin menurun

4. Meningkatnya pengangguran 5. Frekuensi konflik tinggi 6. Menurunnya PAD

Output yang diinginkan

1. Reduksi pencemaran dengan pengolahan limbah

2. Adaptasi banjir dan pengelolaan air bersih 3. Meningkatnya kesehatan masyarakat dan

lingkungan

4. Perluasan lapangan kerja 5. Minimalisasi konflik 6. Peningkatan PAD

Model pengelolaan kota wilayah tepian air

Evaluasi dan Manajemen Pengembangan Kota Wilayah Tepian Air

Input Lingkungan  UU No.23/1997 Pengelolaan Lingkungan

Hidup

 UU No.32/2004 Pemerintah Daerah  UU No.27/2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir  UU No.26/2007 Penataan Ruang

 Kapasitas Hukum/PP

Input terkontrol

1. Pemberdayaan masyarakat 2. Tingkat pemanfaatan lahan

3. Kontribusi sektor industri dan Kehutanan 4.Sarana dan prasarana infrastruktur 5.Ketersediaan organisasi masyarakat

(28)

Pada Gambar 5.13 nampak bahwa dalam sistem pengelolaan wilayah tepian air masukan/input yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan adalah input lingkungan, input terkontrol, dan input tak terkontrol. Input lingkungan bersifat eksternal, mempengaruhi sistem, tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem. Pada sistem pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian pantai , input lingkungan terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah tersebut mencakup peraturan dan perundangan diantaranya adalah UU No. 32/2009 (pengelolaan lingkungan hidup), UU No. 32/2004 (pemerintah daerah), UU No. 26/27 (penataan ruang), UU No. 27/2007 (pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) dan Kapasitas Hukum/PP.

Input internal diperlukan agar sistem memiliki kinerja yang baik. Terdapat 2 macam input internal, yaiti input terkontrol dan tak terkontrol. Input terkontrol berperan penting untuk mengubah kinerja sistem merupakan input/masukan yang dapat dikendalikan/dikontrol pelaksanaan manajemennya dalam sistem, sedangkan input tidak terkontrol merupakan inputan yang berada diluar kemampuan kendali ( musim, pasang surut ait laut) tetapi tetap diperlukan agar sistem dapat berfungsi dengan baik. Input tak terkontrol merupakan input/masukan yang tidak dapat dikontrol.

Variabel-variabel yang mencakup input terkontrol adalah merupakan hasil analisis keberlanjutan atas elemen program dalam membangun sistem, yaitu pemberdayaan masyarakat; tingkat pemanfaatan lahan; kontribusi sektor industri dan perdagangan; sarana dan prasarana infra struktur serta ketersediaan organisasi masyarakat.

Variabel-variabel yang termasuk input tidak terkontrol yaitu pergantian musim pasang surut air laut, sumberdaya lahan, sumber daya alam, limbah/pencemaran dan pemanasan global. Dalam proses umpan balik terhadap input terkontrol dan tidak terkontrol diperoleh output yang dikehendaki dan tidak dikehendaki yang dapat digunakan untuk menilai kinerja sistem. Output yang dikehendaki merupakan respons sistem terhadap kebutuhan adalah output dari hasil umpan balik input yang diharapkan muncul dalam sistem, sedangkan output yang tidak dikehendali merupakan output yang tidak dikehendaki terjadi,

(29)

merupakan hasil sampingan yang tak dapat dihindarkan selama sistem memproduksi output yang dikehendaki.

Output/keluaran yang dikehendaki dari pelaksanaan sistem yaitu kelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan daerah, infrastruktur memadai, peningkatan pendapatan masyarakat, mampu beradaptasi dengan banjir. Sementara itu, output atau keluaran yang tidak dikehendaki yaitu: Meningkatnya pencemaran lingkungan, belum teratasinya permasalahan banjir dan kebutuhan air bersih, kesehatan masyarakat dan lingkungan semakin menurun, meningkatnya pengangguran, frekuensi konflik tinggi, menurunnya PAD.

b. Diagram Simpal Kausal

Untuk melihat hubungan antar variabel-variabel dalam sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal loop diagram). Dari diagram sebab akibat (causal loop) diketahui bahwa dalam sistem pengelolaan kota wilayah tepian air, aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan ternyata memiliki peranan/pengaruh terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sistem pengelolaan kota wilayah tepian air dapat dilihat pada Gambar 5.14.

La pa nga n Ke rja Aktivita s Ekono mi Pe nda pa ta n Da e ra h Pe nga nggura n Pe nda pa ta n Ma sya ra ka t P opula si P e nduduk Ang ka ta n Ke rja Ke butuha n Ru a ng De gra da si Lingkunga n Pe rtumbu ha n Ekono mi Ke te rse dia a n Rua ng + + + + + + + + + + + + +

-Gambar 5.14 Diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) sistem pengelolaan kota wilayah tepian air

(30)

Berdasarkan Gambar 5.14 diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), diperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi, peningkatan aktivitas, kemudahan lapangan kerja, jumlah penduduk, akan berdampak positif terhadap ketersediaan ruang. Sementara itu pertambahan populasi penduduk akibat tingkat kelahiran dan tingkat emigrasi yang tinggi, serta peningkatan kebutuhan ruang akan sarana dan prasarana akan berdampak pada penurunan ketersediaan ruang akibat terjadinya konversi ruang terbuka untuk kegiatan pengadaan sarana dan prasarana tersebut.

5.3.1.4 Permodelan Sistem

Model pengelolaan wilayah kota tepian air merupakan bagian pemodelan untuk melihat keterkaitan secara keseluruhan dari variabel-variabel terkait. Diagram stock flow diagram secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5.15.

Model Sistem pengelolaan Kota Semarang tepian pantai terdiri dari 3(tiga) Submodel:

1) Submodel Biofisik atau disebut juga sebagai Submodel Lingkungan, 2) Submodel Ekonomi

3) Submodel Sosial

(31)

Pddk Imig Emig Klhrn Kem A Klhrn A Kem A Imig A EMig P ert Pddk Klhrn Kem Kpdtn Angk Krj Fr Angk Krj P ggr Dmpk Pggr Js&Perd Pert Js&Perd Fr Js&Pe rd AngKom Pert AngKom Fr AngKom KPJ Pert KPJ Fr KPJ Pert&Ind Pert PI Fr PI Pertanian Pert Pertanian Fr Pe rtanian Bangunan Pert Bangunan Fr Bangunan LGA Pert LGA Fr LGA P ert Pendptn Jmlsmph JmlLbhDmstk Pe ncSmph PencLbh FJSP FJLDP PencLing KL NL TotP DRB FS FL JS JL FPggr FrP B FrPPB FrP Lhn Swh LPrmknBgn Lhn Hutan Tbkklm Tglkbn PLS PLPB PLTKo PLH PLTK FLTK FLS FLTKo FLH PTotLHn LPrmknBgn Lhn Hutan Tglkbn PgLhn FrPLhn Rklms LsLhn LhnEx LsLhn FrPLhn LsLhn PertSmph P ertLimb FrPdptn FrConsPdptn PertNPTPI AK NP TPI FrNPTP I Tbkklm FRTBK LsTbk JRT JAK

Gambar 5.15 Diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air

(32)

a. Sub Model Lingkungan

Sub model lingkungan dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian pantai di Kota Semarang merupakan bagian pemodelan yang memberikan ilustrasi yang terjadi di antara variabel-variabel di dalam komponen submodel seperti permasalahan sampah dan limbah domestik, peraturan dan perundangan lingkungan, kualitas lingkungan dan lain-lain terhadap keberlanjutan sistem. Pengaruh variabel-variabel lingkungan tersebut terhadap sistem kemudian disajikan dalam diagram sebab akibat (causal loop), Gambar 5.16.

P opulas i P enduduk Jumlah Sampa h Jumla h Limba h P ence ma ra n Lingkungan Kua litas Lingkungan Pe ngguna an Laha n Laha n P ermukima n da n Banguna n

Laha n Tegal, Kebun & Tana h Kering Lainnya

La han Huta n Ra w a, Ta mbak & Ko la m La ha n Saw a h + + + + + + + + + +

-Gambar 5.16. Causal Loop Sub Model Lingkungan

Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) diatas diketahui bahwa pertambahan jumlah penduduk akan berdampak terhadap peningkatan jumlah sampah dan limbah domestik sebagai dampak sampingan utama. Peningkatan tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap peningkatan pencemaran lingkungan dan peningkatan biaya pengelolaan sampah.

(33)

Jmlsmph JmlLbhDmstk PencSmph PencLbh FJSP FJLDP PencLing KL NL FS FL JS JL FrPB FrPPB FrP Pddk Lhn Swh LPrmknBgn Lhn Hutan Tbkklm Tglkbn PLS PLPB PLTKo PLH PLTK FLTK FLS FLTKo FLH PTotLHn LPrmknBgn Lhn Hutan Tglkbn PgLhn FrPLhn Rklms LsLhn LhnEx LsLhn FrPLhn PertSmph PertLimb

Gambar 5.17 Stock flow diagram sub model lingkungan dalam sistem pengembangan kota tepian air

Berdasarkan diagram alir 5.17 sub model lingkungan di dalam model sistem pengembangan kota wilayah tepian air berkelanjutan, peningkatan konversi ruang terbuka hijau menjadi areal bangunan untuk permukiman dan industri berdampak buruk terhadap peningkatan pencemaran lingkungan dan peningkatan biaya pengelolaan limbah dan sampah.

(34)

Model pengembangan kota wilayah tepian air khususnya sub model lingkungan dapat digunakan dengan bebarapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model khususnya sub model lingkungan. Asumsi-asumsi tersebut:

Untuk jumlah limbah padat masyarakat diambil berdasarkan kajian SLHI bahwa limbah padat rata-rata per orang perhari adalah sebanyak 0,45 kg per hari, sedangkan untuk limbah cair sebanyak 2,81 liter per hari. Sehingga untuk mendapatkan jumlah pertahun dikalikan dengan 30 hari dan 12 bulan.

Berdasarkan sub model lingkungan memperlihatkan bahwa pertambahan limbah berfungsi sebagai laju masukan pada level limbah merupakan perkalian antara jumlah limbah yang dikeluarkan per orang per hari yaitu sebanyak 3 liter per hari selama satu tahun yang terdapat sebagai constanta pada angka limbah dengan populasi yang merupakan pertambahan penduduk dari imigrasi dan kelahiran yang dikurangi dengan emigrasi dan kematian sebagai auxiliary.

Untuk pertambahan sampah berfungsi sebagai laju masukan pada level sampah merupakan perkalian antara jumlah sampah yang dikeluarkan per orang per hari yaitu sebanyak 0,45 kg per hari selama satu tahun yang terdapat sebagai

constanta pada angka sampah dengan populasi yang merupakan pertambahan

penduduk dari imigrasi dan kelahiran yang dikurangi dengan emigrasi dan kematian sebagai auxiliary.

Pencemaran lingkungan sebagai auxiliary merupakan nilai rata-rata antara pencemaran sampah dengan pencemaran limbah yang dibagi dengan

constanta nilai lingkungan, sehingga kualitas lingkungan sebagai auxiliary

merupakan pengurangan antara nilai lingkungan dengan pencemaran lingkungan.

b. Sub Model Sosial

Sub model sosial dalam sistem pengembangan kota tepian pantai di Kota Semarang merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel sosial, seperti jumlah populasi, kelahiran, kematian, imigrasi (perpindahan penduduk ke dalam lokasi), emigrasi (perpindahan penduduk keluar lokasi), dan jumlah pengangguran dan lain-lain terhadap keberlanjutan sistem.

(35)

Berdasarkan diagram sebab akibat di atas diketahui bahwa jumlah populasi sangat dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi. Peningkatan jumlah kelahiran dan tingkat imigrasi akan meningkatkan jumlah populasi, sedangkan tingkat kematian dan emigrasi berdampak mengurangi jumlah populasi. Peningkatan populasi juga akan berdampak terhadap peningkatan jumlah angkatan kerja, dan pengangguran. Gambaran tentang diagram alir sub model sosial dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air dapat dilihat pada Gambar 5.18 di bawah ini.

Pe nduduk Ke la hiran Imigras i Kematian Emigras i P ertumbuhan P enduduk Ke pa da ta n Pe nduduk Luas La ha n Angka tan Kerja Pe ngangguran Te na ga Ke rja + + + + + + -+

-Gambar 5.18 Causal Loop Sub Model Sosial

Berdasarkan Gambar 5.18 di atas, faktor penting yang menjadi fokus kajian adalah aspek kependudukan (populasi), yang mencakup jumlah penduduk, dan ketenagakerjaan. Mengenai jumlah penduduk, ada beberapa hal yang mempengaruhi jumlah penduduk di lokasi kajian berdasarkan model yang telah dibuat, yaitu: kematian, emigrasi (perpindahan penduduk keluar lokasi), kelahiran, dan imigrasi (perpindahan penduduk masuk kedalam lokasi). Kematian dan emigrasi di dalam model akan berdampak terhadap pengurangan

(36)

jumlah penduduk di lokasi kajian, sedangkan kelahiran dan imigrasi akan berdampak terhadap pertambahan jumlah penduduk. Dampak dari terjadinya pertambahan penduduk yang merupakan akumulasi positif dari pengaruh kelahiran dan imigrasi atau kematian dan emigrasi dengan luas areal kawasan yang relative sama akan berdampak terhadap terjadinya peningkatan kepadatan penduduk di wilayah Kota Semarang sebagai pusat pengembangan kota. Sedangkan ketenagakerjaan yang dikaji dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air adalah jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran.

Di dalam sistem pengembangan kota kawasan tepian pantai dilakukan analisis terhadap faktor-faktor jumlah emigrasi, jumlah imigrasi, tingkat kelahiran,tingkat kematian, tingkat kepadatan penduduk, umur harapan hidup penduduk Kota Semarang, jumlah angkatan kerja, pengangguran dan kepadatan penduduk, yang digunakan untuk penyusunan model sistem keberlanjutan pengembangan kota kawasan tepian air.

Model pengembangan kota kawasan tepian air khususnya sub model sosial yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan bebarapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model khususnya sub model sosial. Asumsi-asumsi tersebut adalah :

1. Laju angka kelahiran dianggap tetap dengan tidak terjadi perubahan fraksi fertilisasi.

2. Laju emigrasi dianggap tetap dengan menggunakan rata-rata tiap tahun dan tidak terjadi perubahan fraksi normal emigrasi.

3. Laju imigrasi dianggap tetap dengan menggunakan rata-rata tiap tahun dan tidak terjadi perubahan fraksi normal imigrasi.

(37)

Pddk Imig Emig Klhrn Ke m A Klhrn A Kem A Imig A EMig Pert Pddk Klhrn Kem Kpdtn Angk Krj Fr Angk Krj Pggr Dmpk Pggr FPggr LsLhn PertNPTPI AK NPTPI FrNPTPI Tbkklm FRTBK LsTbk JRT JAK

Gambar 5.19 Stock flow diagram sub model sosial dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air

Berdasarkan sub model sosial Gambar 5.19 memperlihatkan bahwa kelahiran dan imigrasi berfungsi sebagai laju masukan pada level populasi, untuk kelahiran merupakan perkalian antara populasi dengan fraksi lahir yang terdapat sebagai constanta, dan untuk imigrasi merupakan perkalian antara populasi dengan normal imigrasi yang terdapat sebagai constanta. Sedangkan kematian dan emigrasi berfungsi sebagai laju keluaran pada level populasi, untuk kematian merupakan perkalian antara populasi dengan umur yang merupakan harapan hidup rata-rata setiap tahun berdasarkan data umur harapan hidup di Kota Semarang membentuk suatu graph, dan untuk emigrasi merupakan perkalian antara populasi dengan normal emigrasi yang terdapat sebagai constanta.

Angkatan kerja sebagai auxiliary merupakan hasil perkalian dari populasi dengan fraksi angkatan kerja sebagai constanta, yang menggambarkan persen angkatan kerja terhadap populasi penduduk yang ada. Pengangguran sebagai

(38)

auxiliary merupakan hasil pertambahan dari angkatan kerja dikalikan fraksi

pengangguran sebagai constanta dengan selisih antara jumlah pekerja pada tahun simulasi dan diawal simulasi.

c. Sub Model Ekonomi

Sub model ekonomi dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air di Kota Semarang Gambar 5.20 merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sektoral, tingkat pendapatan dan jumlah penduduk terhadap keberlanjutan sistem.

Berdasarkan diagram sebab akibat di bawah diketahui bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan sektoral, yakni: Listrik, Gas dan Air (LGA), pertanian, pertambangan dan industri, Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), Angkutan dan Komunikasi (AngKom), Jasa dan Perdagangan, bangunan, To tal PDRB Se kto r Banguna n Se kto r Ja sa & Pe rda gang an Se ktor Angkutan & Komunikasi Se kto r Ke uanga n, Pe rse w aan & Ja sa Pe rus aha an Pe rtumbuhan

Se kto r Pe rta mbangan &

Indus tri Se ktor Pe rtanian Pe rtumbuhan Se kto r Banguna n Pe rtumbuhan Se ktor Ja sa & Pe rdag ang an Pe rtumbuhan Se ktor Angkutan & Ko munika si Pe rtumbuhan Se ktor Ke uangan, Pe rs e w aan & Jasa Pe rusahaan Se ktor Pe rta mbangan &

Industri Pe rtumbuhan Se kto r Pe rta nian + + + + + + + + + + + +

(39)

Hasil akhir dari terjadinya pertumbuhan ekonomi akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan. Gambaran mengenai stock flow diagram sub model ekonomi dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air ditunjukkan oleh Gambar 5.21 Js&Perd Pert Js&Perd Fr Js&Perd AngKom Pert AngKom Fr AngKom KPJ Pert KPJ Fr KPJ Pert&Ind Pert PI Fr PI Pertanian Pert Pertanian Fr Pertanian Bangunan Pert Bangunan Fr Bangunan LGA Pert LGA Fr LGA Pert Pendptn TotPDRB Pddk FrPdptn FrConsPdptn

Gambar 5.21 Stock flow diagram sub model ekonomi dalam sistem pengembangan kawasan tepian air

Berdasarkan Gambar 5.21 diatas, peningkatan kegiatan aktivitas ekonomi yang mencakup sektor Listrik, Gas dan Air (LGA), pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan sektor Pertambangan dan Industri (PI), pertumbuhan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), pertumbuhan sektor Angkutan dan Komunikasi (AngKom), pertumbuhan sektor Jasa dan Perdagangan, pertumbuhan sektor pertanian dan pertumbuhan sektor bangunan akan berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan ekonomi daerah dan pada gilirannya akan meningkatkan tingkat pendapatan perorangan. Di dalam Model Sistem Keberlanjutan Pengembangan Kota Wilayah Tepian Air, Pertumbuhan

(40)

pengembangan kota wilayah tepian air secara berkelanjutan sangat dipengaruhi oleh peningkatan sektor Listrik, Gas dan Air (LGA), pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan sektor Pertambangan dan Industri (PI), pertumbuhan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), pertumbuhan sektor Angkutan dan Komunikasi (AngKom), pertumbuhan sektor Jasa dan Perdagangan, pertumbuhan sektor pertanian dan pertumbuhan sektor bangunan sebagai sektor unggulan dalam upaya peningkatan pendapatan daerah. Berdasarkan bagan model yang telah dibuat, di dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu: jumlah populasi, dan kondisi perkembangan setiap sektor, sedangkan dampak negatif yang dianggap perlu diwaspadai dalam pengembangan kota wilayah tepian air adalah semakin bertambahnya jumlah penduduk di lokasi studi yang diakibatkan oleh tingginya tingkat kelahiran dan imigrasi di Kota Semarang

Model pengembangan kota wilayah tepian air khususnya sub model ekonomi yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan asumsi yang akan membatasi keberlakuan model khususnya sub model ekonomi. Asumsi tersebut adalah nilai kurs rupiah dianggap sudah mengikuti perubahan terhadap nilai mata uang lainnya, karena simulasi nilai ekonomi pada masing-masing sektor setiap tahunnya sudah termasuk nilai kurs rupiah tersebut.

Berdasarkan sub model ekonomi memperlihatkan bahwa pertumbuhan sektor Listrik, Gas dan Air (LGA), pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan sektor Pertambangan dan Industri (PI), pertumbuhan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), pertumbuhan sektor Angkutan dan Komunikasi (AngKom), pertumbuhan sektor Jasa dan Perdagangan, pertumbuhan sektor pertanian dan pertumbuhan sektor bangunan merupakan laju masukan terhadap nilai ekonomi masing-masing sektor yaitu Listrik, Gas dan Air (LGA), pertanian, pertambangan dan industri, keuangan, persewaan dan jasa, angkutan dan komunikasi, jasa dan perdagangan, pertanian dan bangunan sebagai level yang dikalikan dengan masing-masing pangsa pasarnya yang membentuk graph. Sehingga pertumbuhan ekonomi merupakan laju masukan pada level aktivitas ekonomi dapat diketahui dengan pertambahan antar laju pertumbuhan.

(41)

Sedangkan persentase laju pertumbuhan masing-masing sektor sebagai auxiliary dapat diketahui dengan pembagian terhadap laju pertumbuhan ekonomi.

Pertambahan pendapatan sebagai auxiliary merupakan persentase dari pembagian antara pertumbuhan ekonomi terhadap level populasi, sehingga pendapatan sebagai auxiliary merupakan pertambahan dari pendapatan ekonomi sebagai konstanta dengan persen pertambahan pendapatan.

5.3.1.5 Simulasi Model

Simulasi dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan perilaku model antar skenario. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan Powersim Studio

2005. Hasil simulasi model yang memunculkan variabel-variabel yang sensitif

dianalisis pola kecenderungannya dan hasilnya merupakan input untuk skenario.

Model Existing Condition

a) Simulasi Model Lingkungan.

Penggunaan tata ruang di Kota Semarang dari waktu ke waktu terjadi perubahan secara signifikan yakni untuk areal perkebunan, luas permukiman bangunan, lahan sawah, areal hutan dan tambak atau kolam (Lampiran 13 halaman 292).

Luasan lahan di Kota Semarang pada tahun 2003 dan tahun 2006 berdasarkan penggunaan adalah areal tegal, kebun dan tanaman kering lainnya seluas 13.608,57 ha menjadi 14.672,45 ha; luas permukiman dan bangunan seluas 13.876,90 ha menjadi 14.428,71 ha; lahan sawah seluas 3.658,47 ha menjadi 3.798,79 ha; lahan hutan seluas 1. 515.70 ha menjadi 1.718,29 ha serta tambak, rawa dan kolam seluas 2.271,64 ha menjadi 1.655,94 ha.

Luas areal tegalan kebun dan bangunan memiliki kecenderungan meningkat di masa-masa yang akan datang, luas areal sawah mengalami peningkatan sangat kecil, luar areal hutan relatif konstan dan areal tambak kolam cenderung mengalami penurunan.

(42)

Tahun (2003 – 2030)

Gambar 5.22 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kota Semarang

Berdasarkan Gambar 5.22 diperkirakan bahwa luas areal tegalan kebun di Kota Semarang di masa-masa akan datang mengalami peningkatan sangat pesat dibandingkan peningkatan luas areal permukiman & bangunan, sehingga pada tahun 2010 diperkirakan luas areal tegalan kebun akan memiliki luas areal paling tinggi di Kota Semarang.

Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas tegalan kebun seluas 13.608,57 ha menjadi 15.333,29 ha luas areal permukiman & bangunan seluas 13.876,90 ha menjadi 14.763,17 ha, luas lahan sawah 3.658,47 ha menjadi 3.883,39 ha, luas areal lahan hutan seluas 1.515,70 ha menjadi 1.849,20 ha dan luas tambak kolam dari 2.271,64 ha menjadi 1.376,22 ha.

Pada tahun 2025, perubahan lahan untuk tegalan kebun menjadi 19.310,87 ha, luas permukiman dan bangunan menjadi 16.674,48 ha, lahan sawah menjadi 4.358,08 ha, lahan hutan menjadi 2.715,97 ha dan tambak kolam

03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 Ha LPrm knBg n Tb kk lm Lhn Swh Tg lkb n Lhn Hutan

(43)

menjadi 522,44 ha. Hasil lebih lengkap mengenai terjadinya perubahan luas penggunaan area di Kota Semarang dapat dilihat pada Lampiran.

Wilayah kota tepian pantai terdiri dari 4 kecamatan antara lain: Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk

Berdasarkan Gambar 5.23, kecenderungan penggunaan lahan yang dominan oleh tegalan, kebun dan tanaman kering lainnya serta permukiman dan bangunan. Lahan sawah yang paling dominan berada di Kecamatan Tugu. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2006 dapat dilihat pada Gambar 5.24.

Penggunaan lahan pada tahun 2006 terjadi perubahan khususnya semakin meluasnya penggunaan untuk areal permukiman dan bangunan, sedangkan untuk lahan sawah di daerah tugu cenderung bertambah untuk bagian barat sedangkan bagian timur mengalami penurunan. Penggunaan lahan pada tahun 2015 dapat dilihat pada Gambar 5.25.

Penggunaan lahan pada tahun 2025 hanya sedikit perubahan dari sebelumnya khususnya penurunan lahan sawah dan tegal, kebun serta tanah kering lainnya karena penggunaan areal untuk permukiman dan bangunan. Penggunaan lahan dari masing-masing Kecamatan dengan analisis kecenderungan adalah sebagai berikut :

Kecamatan Tugu.

Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Tugu sebagian besar digunakan untuk tegalan kebun, permukiman & bangunan dan lahan sawah. Luas areal tegalan kebun cenderung menurun, sedangkan lahan sawah dan bangunan memiliki kecenderungan meningkat di masa mendatang.

(44)

03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 0 500 1.000 1.500 Ha LP rm k nBgn Tbk klm Lhn Swh Tglk bn Lhn Huta n Tahun (2003 – 2030)

Gambar 5.23 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Tugu

Berdasarkan Gambar 5.24 diperkirakan bahwa perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal tegalan kebun seluas 1.500,94 ha menjadi 1.461.73 ha, luas permukiman dan bangunan 503,07 ha menjadi 511,34 ha dan lahan sawah 417,32 ha menjadi 433,78 ha. Dan pada akhir simulasi, tahun 2030, perubahan lahan untuk tegalan kebun menjadi 1.292,83 ha, luas permukiman dan bangunan menjadi 551,54 ha dan lahan sawah menjadi 519,03 ha.( Lampiran 18 , halaman 300 )

.

Kecamatan Semarang Barat.

Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Semarang Barat sebagian besar digunakan untuk areal tegalan kebun, permukiman & bangunan, tambak kolam dan lahan sawah. Luas areal permukiman bangunan cenderung meningkat, sedangkan tegalan kebun, tambak kolam dan lahan sawah memiliki kecenderungan menurun di masa datang.

(45)

03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 0 500 1.000 1.500 Ha LPrm k nBgn Tbkk lm Lhn Swh Tglk bn Lhn Hutan Tahun (2003 – 2030)

Gambar 5.24 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Semarang Barat

Berdasarkan Gambar 5.24 diperkirakan bahwa terjadi perubahan komposisi penggunaan ruang di Kecamatan Semarang Barat yaitu, luas areal permukiman dan bangunan memiliki luas paling tinggi pada tahun 2005 akibat terjadinya penurunan terhadap penggunaan lahan tegalan kebun. Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal permukiman & bangunan seluas 1.317,07 ha menjadi 1.480,81 ha, tegalan kebun seluas 1.728,99 ha menjadi 1.282,56 ha, tambak kolam 382,50 ha menjadi 308,17 ha dan lahan sawah seluas 29,41 ha menjadi 28,66 ha. Dan pada akhir tahun simulasi, tahun 2030, perubahan lahan untuk permukiman dan bangunan menjadi 1.551,90 ha, luas tegalan kebun menjadi 1.138,11 ha, tambak kolam menjadi 282,65 ha dan lahan sawah menjadi 28,37 ha. Hasil lebih lengkap mengenai terjadinya perubahan luas penggunaan area di Kecamatan Semarang Barat dapat dilihat pada Lampiran 19, halaman 301. .

Kecamatan Semarang Utara.

Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Semarang Utara sebagian besar digunakan untuk permukiman & bangunan, tambak kolam dan tegalan kebun.

(46)

Luas areal permukiman bangunan dan tegalan kebun memiliki kecenderungan meningkat di masa-masa yang akan datang, sementara itu luas areal tambak kolam mengalami penurunan.

03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 0 500 1.000 Ha LPrm knBg n Tb kk lm Lhn Swh Tg lkb n Lhn Huta n Tahun (2003 – 2030)

Gambar 5.25 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Semarang Utara

Berdasarkan Gambar 5.25 terlihat bahwa tidak terjadi perubahan komposisi penggunaan ruang di Kecamatan Semarang Utara, walaupun luas areal tambak kolam mengalami penurunan hingga akhir tahun simulasi. Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal permukiman & bangunan seluas 919,04 ha menjadi 960,92 ha, tambak kolam 364,71 ha menjadi 314,98 ha dan tegalan kebun seluas 103,82 ha menjadi 108,98 ha. Dan pada akhir tahun simulasi, tahun 2030, perubahan lahan untuk permukiman dan bangunan menjadi 1.123,70 ha, tambak kolam menjadi 188,23 ha dan tegalan kebun menjadi 129,24 ha. Hasil lebih lengkap mengenai terjadinya perubahan luas penggunaan area di Kecamatan Semarang Utara dapat dilihat pada Lampiran 20, halaman 302..

(47)

Kecamatan Genuk.

Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Genuk sebagian besar digunakan untuk areal permukiman & bangunan, tambak kolam, tegalan kebun dan lahan sawah. Luas areal permukiman & bangunan memiliki kecenderungan meningkat di masa-masa yang akan datang, sementara itu luas areal tambak kolam, tegalan kebun dan lahan sawah mengalami penurunan.

03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 0 500 1.000 1.500 Ha LP rm k nBgn Tbk k lm Lhn Swh Tglk bn Lhn Huta n Tahun (2003 – 2030)

Gambar 5.26 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Genuk

Berdasarkan Gambar 5.26 diperkirakan bahwa luas areal permukiman dan bangunan di Kecamatan Genuk di masa-masa akan datang mengalami peningkatan cukup pesat dibandingkan luas areal tambak kolam yang mengalami penurunan, sehingga pada akhir tahun simulasi diperkirakan luas areal permukiman dan bangunan akan memiliki luas areal lebih tinggi dibandingkan luas areal tambak kolam.

Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal permukiman & bangunan seluas 1.336,70 ha menjadi 1.422,46 ha, tambak kolam seluas 1.411,19, tegalan kebun 735,09 ha menjadi 719,12 ha dan lahan sawah seluas 86,41 ha menjadi 80,36 ha. Dan pada

Gambar

Tabel 5.9   Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources   pada opsi set back zone
Gambar 5.2.  Analisis  RAP-WITEPA  yang  menunjukkan  nilai  indeks  sustainabilitas dimensi ekologi
Gambar 5.3. Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk     perubahan RMS RAP-WITEPA
Gambar  5.4.    Analisis  RAP-WITEPA  yang  menunjukkan  nilai  indeks  sustainabilitas dimensi ekonomi
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dari hasil perhitungan Chi-Square diketahui nilai x2 hitung 65.46 > x2 tabel 21.02 maka terima Ha dan tolak Ho, sehingga kesimpulannya bahwa pelanggan merasa puas terhadap

1 Peningkatan kualitas SDM Hakim, Panitera 1 Terwujudnya aparatur peradilan baik fungsional dan struktural Peradilan 1 Pembinaan dan diskusi hakim dalam x x x Ketua Ikahi

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam perkuliahan bahasa (dalam hal ini BIPA), komponen budaya mempunyai peran yang penting. Pemahaman budaya

Ditambah dengan pendapat para pimpinan serikat buruh yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa mereka merasa tidak yakin bahwa penyelesaian konflik antar-serikat buruh

Saran-saran yang dapat penulis sampaikan maka sehubungan dengan hasil penelitian secara simultan maupun parsial dari keempat variabel yaitu kepercayaan,

 Pergantian kondisi dan parameter.  Perubahan type pu.disc atau komposisi pu.disc. Untuk setiap lot baru ,doffing pertama full boobin 30 menit sebelum doffing diputus untuk

Tenaga kesehatan sebaiknya dapat memberikan pengetahuan dan informasi rutin setiap bulan kepada ibu-ibu yang datang di puskesmas tentang manfaat imunisasi dan dampak