• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mataram dengan judul Analisis Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mataram dengan judul Analisis Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Penelitian Terdahulu

Amilmin (2008) melakukan penelitian di Universitas Muhammadiyah Mataram dengan judul “Analisis Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan Non Edukatif Universitas Muhammadiyah Mataram Nusa Tenggara Barat”. Penelitian ini memiliki empat tujuan, pertama menguji pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja. Kedua, menguji pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja. Ketiga, Menguji pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja. Terakhir adalah untuk menguji pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi melalui kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan non edukatif di Universitas Muhammadiyah Mataram.

Penelitian ini termasuk explanative research dan survey dengan sampel karyawan non edukatif di Universitas Muhammadiyah Mataram. Untuk menganalisis hubungan kausal antar variabel dan menguji hipotesis penelitian digunakan analisis jalur (path analysis).

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kepemimpinan dan budaya organisasi sama-sama berpengaruh positip dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Hal ini berarti bahwa semakin kuat kepemimpinan, maka akan semakin

(2)

kuat pula kepuasan kerja, demikian pula budaya organisasi yang semakin kuat menjadikan kepuasan kerja yang semakin tinggi. Namun bila diperbandingkan pengaruhnya terhadap kepuasan kerja, ternyata budaya organisasi memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan kepemimpinan. Kepemimpinan dan budaya organisasi sama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Hal ini berarti bahwa semakin kuat kepemimpinan, maka akan semakin tinggi pula kinerja, demikian pula semakin kuat budaya organisasi akan diikuti dengan peningkatan kinerja yang semakin tinggi pula. Apabila diperbandingkan pengaruhnya terhadap kinerja, ternyata budaya organisasi memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan kepemimpinan. Kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kepuasan kerja akan diikuti dengan peningkatan kinerja semakin tinggi pula. Kepemimpinan yang didukung dengan budaya organisasi yang kuat akan menghasilkan kepuasan kerja yang tinggi yang selanjutnya berpengaruh pada peningkatan kinerja karyawan non edukatif di Universitas Muhammadiyah Mataram.

Nasri (2007) melakukan penelitian di Universitas Widyagama Malang dengan judul “Dampak Reposisi Strategi Sumber Daya Manusia dan Motivasi terhadap Kinerja Karyawan Administrasi Universitas Widyagama Malang” tujuan penelitian ini adalah:

(3)

a. Untuk mengetahui pengaruh reposisi strategi sumber daya manusia dan motivasi secara simultan terhadap kinerja karyawan administrasi universitas widyagama Malang.

b. Untuk mengetahui pengaruh reposisi strategi sumber daya manusia dan motivasi secara parsial terhadap kinerja karyawan administrasi universitas widyagama Malang.

c. Untuk mengetahui variabel yang dominan memberikan pengaruh terhadap kinerja karyawan administrasi Universitas Widyagama Malang.

Penelitian ini merupakan penelitian Explanatory Research dimana mempunyai tujuan untuk menjelaskan dan menganaisis ada tidaknya hubungan antara variabel Reposisi Strategi SDM dan Motivasi terhadap kinerja karyawan administrasi Universitas Widyagama Malang.

Objek penelitian ini adalah reposisi strategi SDM (X1), Motivasi (X2) serta kinerja karyawan (Y). dimana jumlah responden yang menjadi populasi adalah sejumlah 67 orang. Pengumpulan data dilaksanakan dengan membagikan daftar pertanyaan kepada responden, wawancara kepada anggota organisasi, selain itu juga melihat dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Data yang dikumpulkan diuji validitas dan reliabilitasnya. Model analisis penelitian ini adalah regresi linear berganda, didukung dengan pengujian asumsi-asumsi klasik untuk mengetahui ketepatan model yang digunakan diuji dengan melihat

(4)

koefisien determinasi, pengujian hipotesis secara simultan dilakukan uji F dan pembuktian hipotesis secara parsial dilakukan dengan uji t.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan dan parsial variabel X (Reposisi Strategi SDM dan Motivasi) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan, dengan menghasilkan nilai Fhitung sebesar 18.852 dan nilai Ftabel = 3.148 yang berarti Fhitung lebih besar dari Ftabel, dengan nilai koefisien probabilitas (p-value) sebesar 0.000 lebih kecil dari α 5% (0,05) dengan nilai ini disimpulkan bahwa Reposisi Strategi SDM dan Motivasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan.

II.2. Teori tentang Motivasi

Pengertian motivasi erat kaitannya dengan timbulnya suatu kecenderungan untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan. Ada hubungan yang kuat antara kebutuhan motivasi, perbuatan atau tingkah laku, tujuan dan kepuasan, karena setiap perubahan senantiasa berkat adanya dorongan motivasi. Setiap tindakan atau perbuatan seseorang cenderung dimulai dari apa yang memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. Buhler, (2004) memberikan pendapat tentang pentingnya motivasi sebagai berikut: “Motivasi pada dasarnya adalah proses yang menentukan seberapa banyak usaha yang akan dicurahkan untuk melaksanakan pekerjaan”. Motivasi atau dorongan untuk bekerja ini sangat menentukan bagi tercapainya sesuatu tujuan, maka manusia harus dapat

(5)

menumbuhkan motivasi kerja setinggi-tingginya bagi para karyawan dalam perusahaan”.

Menurut Reksohadiprodjo dan Handoko, (1997:252) motivasi adalah keadaan dalam pribadi seorang yang mendorong keinginan individu melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan. Buhler, (2004:191) memberikan pendapat tentang pentingnya motivasi sebagai berikut: “Motivasi pada dasarnya adalah proses yang menentukan seberapa banyak usaha yang akan dicurahkan untuk melaksanakan pekerjaan”. Motivasi atau dorongan untuk bekerja ini sangat menentukan bagi tercapainya sesuatu tujuan, maka manusia harus dapat menumbuhkan motivasi kerja setinggi-tingginya bagi para karyawan dalam perusahaan”. Motivasi bukanlah pekerjaan sambilan, ia bukanlah sesuatu tambahan setelah organisasi didirikan dan dioperasikan. Motivasi melibatkan hubungan mendasar yang terbangun dalam hubungan organisasi. (A. Dale Timpe 2002).

Robbins (2001) mengemukakan pendapatnya bahwa motivasi didefinisikan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individu. Dengan demikian indikator motivasi kerja dalam penelitian ini adalah:

1. Motivasi ekternal, yang meliputi: (a) hubungan antar pribadi, (b) pengkajian/honorium, (c) supervise Kepala Kantor, (d) kondisi kerja.

(6)

2. Motivasi Internal, yang meliputi: (a) dorongan untuk bekerja, (b) kemajuan dalam karier, (c) pengakuan yang diperoleh, (d) rasa tanggung jawab dalam pekerjaan, (e) minat terhadap tugas, (f) dorongan untuk berprestasi.

Sedangkan menurut McClland (Mulyasa 2006: 145) menyatakan bahwa motivasi adalah unsur penentu yang mempengaruhi perilaku yang terdapat dalam setiap individu. Motivasi adalah daya penggerak yang telah menjadi aktif, yang terjadi pada saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sempat dirasakan atau mendesak.

Menurut Hamzah (2008) motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang turut menentukan kinerja seseorang. Besar atau kecilnya pengaruh motivasi pada kinerja seseorang tergantung pada seberapa banyak intensitas motivasi yang diberikan. Perbedaan motivasi kerja bagi pegawai biasanya tercermin dalam berbagai kegiatan dan bahkan prestasi yang dicapainya.

Menurut Hasibuan (2002) motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan seseorang agar mereka mau bekerjasama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan. Dari pengertian ini dapat kita lihat bahwa dengan bekerjasama dan bekerja efektif maka kinerja juga akan meningkat. Menurut Reksohadiprodjo dkk, (2001) motivasi adalah keadaan dalam pribadi seorang yang mendorong keinginan individu melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan.

Menurut Santoso (2008) motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan

(7)

yang terjadi pada diri seseorang. Dan motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seorang orang itu sendiri yang disebut faktor intrinsik atau faktor dari luar diri yang disebut faktor ekstrinsik.

II.2.1.Teori Motivasi Mc.Clelland

David Mc. Clelland (dalam Owens 1987) mengemukakan adanya pemuasan kebutuhan personil yang menimbulkan motivasi mereka, yaitu: kebutuhan prestasi, kebutuhan kekuasaan, dan kebutuhan afiliasi. David Mc Cleand, melalui riset empiris, telah mengemukakan bahwa para usahawan, ilmuwan dan ahli mempunyai tingkat motivasi prestasi di atas rata-rata. Motivasi prestasi seorang usahawan tidak semata-mata ingin mencapai keuntungan , tetapi dia mempunyai keinginan yang kuat untuk berprestasi. Seseorang dianggap mempunyai motivasi prestasi yang tinggi apabila dia mempunyai keinginan untuk berprestasi lebih baik dari pada yang lain dalam banyak situasi.

Menurut Mc Clelland, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran motivasi kerja, yakni:

a. Tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah yaitu kesediaan individu untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.

b. Mempunyai tujuan yang sesuai kemampuan, yaitu kemampuan individu untuk mencapai tujuan pribadi secara realitik, aktif, efektif dan efisien.

c. Daya tahan terhadap tekanan yaitu kemampuan individu dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi, agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya guna melangsungkan aktivitas/pekerjaan.

(8)

d. Ketidakpuasan yaitu sikap positif individu yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan, dan kemampuan.

e. Kepercayaan diri yaitu sikap positif individu tentang dirinya bahwa ia mengerti sungguh-sungguh akan apa yang dilakukan.

II.2.2. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow

Maslow berpendapat bahwa dalam setiap manusia terdapat suatu hirarkhi yang terdiri dari lima kebutuhan. Pemenuhan kelima kebutuhan tersebut dilakukan secara bertahap dari yang paling rendah basic phisiological needs bergerak menuju self-actualization.

Selanjutnya Maslow (1994) menerangkan lima tingkatan kebutuhan manusia itu sebagai berikut:

a. Kebutuhan-kebutuhan fisiolgis (Phisiological needs). Kebutuhan fisiologis ini berupa kebutuhan dasar bagi manusia, oleh karena itu kebutuhan ini masih bersifat kebutuhan jasmani/fisik atau kebendaan. Kebutuhan ini berupa pangan, sandang, dan pakaian. Contoh kongkrit misalnya: gaji, honorarium, insentive/upah pungut, kebutuhan perumahan, pakaian seragam dan sebagainya. Kebutuhan ini merupakan motivasi terbesar.

b. Kebutuhan akan keselamatan (Safety needs). Kebutuhan akan keselamatan ini berupa: keamanan, kemantapan, ketergantungan, perlindungan, bebas dari rasa takut, cemas dan kekalutan, ketertiban, hukum, kebijakan dan administrasi, dan sebagainya. Kebutuhan ini hampir-hampir merupakan pengatur perilaku yang eksklusif, yang menyerap semua kapasitas organisme dalam usaha memuaskan

(9)

kebutuhan itu, dan layaknya apabila organisme itu digambarkan sebagai suatu mekanisme pencari keselamatan.

c. Kebutuhan akan rasa memiliki dan rasa cinta (Social affilliation needs). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan ingin dihormati, ingin maju, hubungan yang harmonis antar sesama teman maupun atasan, diterima dalam kelompoknya dimana ia berada, rasa cinta terhadap sekolah dan siswa yang diajar, rasa memiliki terhadap sekolah. Suatu hal yang harus ditekankan mengenai hal ini bahwa cinta bukan sinonim dengan seks. Seks dapat ditelaah sebagai kebutuhan fisik murni.

d. Kebutuhan akan harga diri (Esteen needs). Hampir semua orang dalam masyarakat mempunyai kebutuhan dan keinginan akan penilaian mantap, akan hormat diri atau harga diri, dan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan ini dapat diklasifikasikan dalam dua perangkat, perangkat pertama keinginan akan kekuatan, prestasi, kecukupan, keunggulan dan kemampuan, kepercayaan pada diri sendiri, serta kemerdekaan dan kebebasan. Kedua adalah apa yang disebut hasrat akan nama baik atau gengsi, status, ketenaran, pengakuan, perhatian, dan martabat.

e. Kebutuhan akan perwujudan diri (The needs of self-actualization). Keinginan orang akan perwujudan diri, yakni pada kecenderungannya untuk mewujudkan dirinya sesuai kemampuannya. Kecenderungan ini dapat diungkapkan sebagai keinginan untuk makin lama makin istimewa, untuk menjadi apa saja menurut kemampuannya, misalnya sebagai pegawai teladan.

(10)

II.2.3. Teori Dua Faktor Herzberg

Herzberg (dalam Owens 1987), mengatakan bahwa hubungan seseorang dengan pekerjaan merupakan hal yang sangat mendasar, dan sikap terhadap pekerjaannya ditentukan oleh keberhasilan atau kegagalan dalam pekerjaan. Dalam penilitiannya Herzberg menyimpulkan bahwa kepuasan pekerjaan (job content), dan ketidakpuasan bekerja selalu disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut dengan aspek-aspek disekitar yang berhubungan dengan pekerjaan (job context). Kepuasan-kepuasan dalam bekerja oleh Herzberg diberi nama motivator, adapun ketidakpuasan disebut faktor higiene. Kedua faktor ini kemudian dikenal dengan teori motivasi dua faktor dari Herzberg.

Menurut Herzberg (dalam Owens 1987:126) yang tergolong dalam faktor higiene (penyehat) adalah sebagai berikut: kebijakan dan administrasi, supervisi yang bersifat teknikal, kesejahteraan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja, kemungkinan untuk tumbuh dan berkembang, kehidupan pribadi, keamanan kerja, dan status.

Apabila faktor-faktor higiene tersebut di atas berkurang, umumnya akan menghasilkan ketidakpuasan. Faktor higiene ini bersifat ekstrinsik, yaitu berada di luar diri seseorang. Apabila faktor tersebut terpenuhi (tersedia dengan memadai) akan dapat mencegah ketidakpuasan, namun tidak berarti akan menimbulkan motivasi.

Faktor-faktor yang tergolong sebagai motivator (pendorong) adalah: prestasi, promosi, pengakuan, tanggung jawab, dan kerja itu sendiri. Apabila

(11)

faktor-faktor motivasi tersebut tersedia akan menimbulkan rasa yang sangat puas, namun demikian apabila faktor-faktor tersebut berkurang, umumnya tidak akan menghasilkan ketidak puasan. Sifat faktor tersebut instriksik, yaitu berada di dalam diri seseorang. Faktor ini bila dikembangkan akan dapat membangkitkan motivasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja menurut Wexle dan Yukl dalam Sobaruin, (1992) antara lain:

a. Faktor financial incentive yang meliputi upah atau gaji yang pantas serta jaminan kesehatan dan jaminan hari tua.

b. Faktor non financial yang meliputi keadaan pekerjaan yang memuaskan pada tempat bekerja, sikap pimpinan terhadap karyawan.

c. Faktor social incentive yang meliputi sikap dan tingkah laku anggota organisasi lain terhadap karyawan lainnya yang bersangkutan.

Dari teori-teori diatas dapatlah disimpulkan bahwa motivasi kerja terdiri dari dua yaitu: (1) motivasi internal dan (2) motivasi eksternal. Kedua motivasi inilah yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau kerja.

II.3. Teori tentang Kepemimpinan

Topik pembahasan tentang kepemimpinan senantiasa selalu menarik untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan fungsi dan peran pemimpin sangat penting dalam mencapai tujuan organisasi.

(12)

Dalam banyak literatur dan berbagai hasil penelitian baik yang lama maupun yang kontemporer kepemimpinan didefenisikan dengan cara berbeda bergantung pada sudut pandang masing-masing. Ivancevich, dkk (2003) mendefinisikan kepemimpinan sebagai ability to influence through communication the activities of others, individually or as group to ward the accomplishment of worthwhile meaningful, and challenging goals. Sedangkan Terry (2003) mendefinisikan kepemimpinan sebagai the relationship in which one person (the leader) influence others to work together willingly on related tasks to attain goals desired by the leader and/group.

Dari dua teori kepemimpinan di atas, dapat dikatakan bahwa hakekat kepemimpinan sebenarnya terletak dari cara bagaimana seorang pemimpin mampu mempengaruhi bawahannya dalam mencapai suatu tujuan. Dalam bukunya Laws of Leadership, Maxwell (2001) dengan tegas mengatakan bahwa inti dari kepemimpinan adalah pengaruh, tidak lebih tidak kurang. T.Handoko (2001) menyatakan bahwa “kepemimpinan merupakan kemampuan yang dipunyai seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar bekerja sama untuk mencapai tujuan”. Kepemimpinan adalah salah satu pengganggu pikiran ideal yang sering kali tidak dapat didefenisikan (A.Dale Timpe, 2002).

Keberhasilan suatu organisasi baik sebagai keseluruhan maupun berbagai kelompok dalam suatu organisasi tertentu, sangat tergantung kepada mutu kepemimpinan yang terdapat dalam organisasi yang bersangkutan, bahkan kiranya dapat dikatakan bahwa mutu kepemimpinan yang terdapat dalam suatu

(13)

organisasi memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilan organisasi tersebut dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan terutama terlihat dalam kinerja pegawainya (Siagian, 1999)

Sukidjo Noto Admojo (2003) menyatakan bahwa faktor kepemimpinan memainkan peran yang sangat peting dalam keseluruhan upaya untuk meningkatkan kinerja, baik pada tingkat kelompok maupun pada tingkat organisasi, dikatakan demikian karena kinerja tidak hanya menyoroti pada sudut tenaga pelaksana yang pada umumnya bersifat teknis akan tetapi juga dari kelompok kerja dan manajerial. Yasin (2001) mengemukakan bahwa keberhasilan kegiatan usaha pengembangan organisasi, sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan atau pengelolanya dan komitmen pimpinan puncak organisasi untuk investasi energi yang diperlukan maupun usaha-usaha pribadi pimpinan.

Dalam teori kepemimpinan, pengaruh seorang pemimpin dapat bersumber dari kekuasaan yang dimilikinya. Menurut French dan Raven seperti dikutip oleh Ivancevich, dkk (2003) paling tidak ada empat sumber kekuasan seorang pemimpin yaitu (1) memaksa (coersive), (2) imbalan (reward), (3) sah (legitimate), (4) ahli (expert) dan (5) referensi (referent).

Dalam kehidupan modern yang berubah serba cepat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran pimpinan sebagai pemimpin sangat penting dalam mengantisipasi setiap tuntutan perubahan itu. Perusahaan sebagai sebuah sistem terbuka, sebagai sistem sosial dan sebagai agen perubahan, bukan

(14)

hanya harus peka terhadap perubahan seharusnya pula mampu mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang akan terjadi dalam kurun waktu tertentu.

Perusahaan dalam batas-batas tertentu dapat pula dianggap sebagai sebuah masyarakat yang mana di dalamnya terjadi interaksi intelektual, sosial, dan emosional. Berbagai interaksi yang terjadi di dalam masyarakat perusahaan itu sudah tentu dapat mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan.

Adanya sifat yang unik dan kompleks ini, maka sangatlah penting peranan pimpinan dalam mencapai tujuan. Seperti yang dikemukakan oleh Lipham (Wahjusumidjo, 1999) “kebersihan perusahaan adalah keberhasilan pimpinan”. Pimpinan dilukiskan sebagai orang yang memiliki harapan tinggi bagi para staf dan para karyawan. Pimpinan adalah mereka yang banyak mengetahui tugas-tugas mereka dan mereka yang menentukan irama bagi perusahaan mereka. Kemudian Lipham (Wahjusumodjo, 1999) mengatakan ada dua hal yang perlu diperlihatkan pimpinan yakni: (1) pimpinan berperan sebagai kekuatan harus memahami tugas dan fungsi mereka demi keberhasilan perusahaan, serta memiliki bahwa pimpinan sebagai pimpinan bertanggung jawab terhadap pencapaian tujuan perusahaan.

Dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan tersebut, kadang-kadang pimpinan dihadapkan pada situasi sulit, dimana salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya mutu karyawan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja karyawan secara umum kurang memuaskan. Begitu juga dengan

(15)

fakta di lapangan yang sering terlihat masih ada karyawan yang belum melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik.

Terdapat sebelas ciri kepemimpinan dalam perubahan terencana yang dikemukakan oleh Sheila Murray (dalam hamzah 2008) sebagai berikut:

1. Punya misi yang penting 2. Seorang pemikir yang besar

3. Seorang pemimpin mempunyai ciri seorang master pengubah yang menciptakan masa depan, yaitu mengantisipasi kebutuhan dan perubahan produktif yang memimpin.

4. Memiliki ciri bersifat peka terhadap masalah yang dihadapi sehari-hari 5. Pemimpin mengambil resiko

6. Seorang pemimpin adalah seorang pengambil keputusan

7. Seorang pemimpin menggunakan kekuasaannya secara bijaksana 8. Seorang pemimpin berkomunikasi efektif

9. Seorang pemimpin adalah pembangun tim 10. Pemimpin bersifat berani

11. Seorang pemimpin mempunyai komitmen

II.4. Teori tentang Budaya Organisasi

Budaya organisasional adalah sistem makna, nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut bersama dalam suatu organisasi yang menjadi rujukan untuk bertindak dan membedakan organisasi yang satu dengan organisasi yang lain (mas’ud, 2004).

(16)

Budaya organisasi selanjutnya menjadi identitas atau karakter utama organisasi yang dipelihara dan dipertahankan (mas’ud, 2004). Suatu budaya yang kuat merupakan perangkat yang sangat bermanfaat untuk mengarahkan perilaku, karena membantu karyawan untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik sehingga setiap karyawan pada awal karirnya perlu memahami budaya dan bagaimana budaya tersebut terimplementasikan.

Berdasarkan pendapat para ahli (Gibson, 2003; Robbins, 2001) dapat disimpulkan bahwa tingkat kinerja karyawan cenderung dipengaruhi oleh budaya organisasi yang berlaku.

Menurut Rivai (2004) budaya organisasi mempunyai fungsi sebagai berikut: (a) Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara suatu organisasi dengan organisasi yang lain. (b)Budaya memberikan identitas bagi anggota organisasi. (c) Budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dan pada kepentingan individu. (d) Budaya itu meningkatkan kemantapan system social. (e) Budaya sebagai mekanisme pembuat makna kendali yang memandu serta membentuk sikap dan perilaku karyawan.

Dalam Kotter dan Haskett (1997:18) menyatakan budaya yang kuat sering dikatakan membantu kinerja karena menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa dalam diri pegawai. Brahmasari (2004) mengemukakan bahwa budaya organisasi sebagai suatu konsep dapat menjadi suatu sarana untuk mengukur

(17)

kesesuaian dari tujuan organisasi, strategi dan organisasi tugas, serta dampak yang dihasilkan.

Budaya yang ada pada suatu perusahaan menyebabkan para pekerja memiliki cara pandang yang sama dalam melaksanakan aktivitas pekerjaan. Budaya berhubungan dengan bagaimana perusahaan membangun komitmen mewujudkan visi, memenangkan hati pelanggan, memenangkan persaingan dan membangun kekuatan perusahaan (Mangkusasono, 2007).

Dalam buku Kotter dan Haskett yang berjudul Corporate Culture and Performance (1992) mengemukakan pengaruh budaya organisasi dengan kinerja pegawai, mereka melakukan penelitian terhadap 207 perusahaan di dunia yang aktifitasnya berada di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menghasilkan empat kesimpulan (dalam Tika, 2006), yaitu:

1. Budaya organisasi dapat mempunyai dampak yang berarti dalam kinerja organisasi jangka panjang.

2. Budaya organisasi mungkin akan menjadi suatu faktor yang bahkan lebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan organisasi dalam dasawarsa yang akan datang. Budaya yang menomorsatukan kinerja mengakibatkan dampak kinerja negatif dengan berbagai alasan. Alasan utama adalah kecenderungan menghambat organisasi- organisasi dalam menerima prubahan-perubahan taktik dan strategi yang dibutuhkan.

3. Budaya organisasi yang menghambat peningkatan kinerja jangka panjang cukup banyak, budaya-budaya mudah berkembang bahkan dalam organisasi-organisasi

(18)

yang penuh dengan orang-orang pandai dan berakal sehat. Budaya-budaya yang mendorong perilaku yang tidak tepat dan menghambat perubahan kearah strategi yang lebih tepat, cenderung muncul perlahan-lahan dan tanpa disadari dalam waktu bertahun-tahun, biasanya sewaktu oranisasi berkinerja baik.

4.

Walaupun sulit untuk diubah, budaya organisasi dapat dibuat agar bersifat lebih meningkatkan kinerja.

   

Budaya organisasi dapat digambarkan sebagai nilai, norma dan artefak yang diterima oleh anggota organisasi sebagai iklim organisasi ia akan mempengaruhi dan dipengaruhi strategi organisasi, struktur dan system organisasi (Amstrong, 2004).

Berdasarkan asil penelitian Hofstede, Geert, Michael Harris Bond dan Chung-Leung (dalam Fuad Mas’ud, 2004) tedapat (6) enam karakteristk dalam suatu budaya perusahaan yaitu: Profesionalisme, jarak dari manajemen, percaya pada rekan sekerja, keteraturan, permusuhan, dan integrasi.

II.5. Teori tentang Kompensasi II.5.1. Pengertian Kompensasi

Kompensasi dapat kita artikan sebagai balas jasa yang diberikan pemberi pekerja terhadap pekerja/karyawan, karena karyawan tersebut telah menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya untuk kemajuan usaha tersebut.

Warther dan Davis (1993) menyatakan bahwa: ”Compensation is what employees receive in exchange for their contribution to the organization.”

(19)

Sedangkan Milkovich dan Newman (1996) mengatakan: ”Compensation refers to all form of financial returns and benefits employees receive as part of an employment relationship.” Sedangkan Milkovich dan Newman (2002) mengatakan bahwa kompensasi berkenaan dengan segala bentuk balas jasa finansial dan pelayanan yang tangible (nyata), serta keuntungan yang diterima karyawan sebagai bagian dari suatu hubungan pekerjaan.

II.5.2. Tujuan Kompensasi

Pada dasarnya semua badan usaha memberikan kompensasi kepada karyawannya bertujuan untuk menghargai dan memberi balas jasa atas semua yang telah dilakukan karyawan tersebut terhadap badan usaha baik itu tenaga, waktu, dan pikiran. Gary Dessler (2005) menyatakan ”Compensation experts therefore argue that managers should understand the motivational bases of pay-for-performance plans”

Iskandar Putong & Cecep Hidayat (2010) menyatakan bahwa ”Pemimpin harus peka terhadap perbedaan kebutuhan individu diantara bawahan, dan harus diberikan imbalan sesuai kebutuhannya. Tujuan imbalan adalah agar bawahan termotivasi untuk meningkatkan prestasi demi produktivitas organisasi”.

Hani Handoko (2001): ”Pemberian kompensasi terbukti efektif dalam pemeliharaan tenaga kerja dengan memotivasi karyawan mencapai tingkat prestasi kerja yang lebih tinggi.” dan R.Wayne Mondy dkk (1999) Menyatakan

(20)

“Compensation is the total of all rewards provided to employees in return for their services”.

Menurut Sofyandi (2008), “Tujuan diadakannya pemberian kompensasi adalah: 1). Untuk menjalin ikatan kerja sama antara pimpinan dengan karyawan. Artinya bahwa dengan terjalinnya kerja sama secara formal akan terbentuk kommitmen yang jelas mengenai hak dan kewajiban yang harus dipikul masing-masing. 2). Memberikan kepuasan kepada karyawan. Artinya bahwa melalui kepuasan yang dirasakan para karyawan, maka karyawan akan memberikan prestasinya yang terbaik. 3). Untuk memotivasi karyawan dalam bekerja. Artinya agar karyawan bersemangat dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, 4). Untuk menciptakan disiplin bagi karyawan”.

Sehubungan dengan tujuan pemberian kompensasi, Suprihanto (2000) menyatakan bahwa:

a. Fungsi Kompensasi Secara umum adalah:

1. Untuk mengalokasikan sumberdaya manusia secara efisien khususnya angkatan kerja.

2. Untuk menggunakan sumber daya manusia secara efisien dan efektif. 3. Mendorong stablitas dan pertimbuhan ekonomi pada umumnya. b. Tujuan Kompensasi adalah:

1. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomis atau memberikan rasa aman di bidang ekonomi (economic secrity) bagi karyawan.

(21)

3. Untuk mengkaitkan penerimaan dengan sukses finansial badan usaha.

4. Untuk menjaga keseimbangan dan keadilan dalam pemberian kompensasi pada para karyawan.

II.5.3. Jenis-jenis Kompensasi

Leap dan Crino (1993) mengelompokkan jenis-jenis kompensasi sebagai berikut:

a. Wages an salary, Upah (wages) merupakan pembayaran atas pekerjaan yang berdasarkan waktu per jam atau per hari, sedangkan gaji (salary) merupakan pembayaran atas pekerjaan yang berdasarkan minggu, bulan, atau tahun.

b. Incentive programs, merupakan kompensasi tambahan diluar gaji atau upah, program insentif ini berupa bonus atau kepemilikan saham badan usaha.

c. Employee benefit programs, program ini diberikan dalam bentuk asuransi, uang saku liburan, dan uang pensiun.

d. Perquisites, merupakan suatu penghasilan

II.6. Teori tentang Kinerja II.6.1. Pengertian Kinerja

Definisi kinerja pegawai yang dikemukakan oleh Simanjuntak (2005) adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu dalam hal ini mencakup kinerja individu, kinerja kelompok, kinerja perusahaan yang dipengaruhi faktor intern dan ekstern. Kinerja berasal dari pengertian performance. Ada pula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil

(22)

kerja atau prestasi kerja, namun sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan berlangsung. (Wibowo, 2007).

Selanjutnya, definisi kinerja pegawai menurut Mangkunegara (2000) adalah sebagai berikut: “Kinerja pegawai (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.

Menurut Sedarmayanti (2004) Pengertian kinerja (Performance) adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara ilegal tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.

Menurut Siagian (1995) mengemukakan pengertian kinerja bahwa: “Kinerja adalah kemampuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari sarana dan prasarana yang tersedia dengan menghasilkan output yang optimal bahkan kalau perlu mungkin yang maksimal”.

Menurut Mashun (2006) Kinerja adalah mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan atau program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi yang tertuang dalam strategi perencanaan suatu organisasi.

Sedang menurut Ravianto (1990), yaitu: “Kinerja adalah pengaruh kerja antara jumlah produk yang dihasilkan dengan jumlah sumber daya yang

(23)

diperlukan untuk menghasilkan produk tersebut, atau dengan rumusan yang lebih umum rasio antara keputusan kebutuhan dan pengorbanan yang diberikan”.

Sedangkan pengertian kinerja menurut Bernadin, Kane & Johnson adalah sebagai berikut: “Kinerja adalah Outcome hasil kerja keras organisasi dalam mewujudkan strategik yang ditetapkan organisasi, kepuasan pelanggan serta kontribusinya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat”.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas dapat dipahami bahwa kinerja adalah prestasi seseorang baik kuantitas dan kualitas karena dalam melaksanakan pekerjaan secara maksimal dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dalam periode tertentu.

II.6.2. Metode Penilaian dan Evaluasi Kinerja

Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.

Pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran. Secara garis besarnya standar penilaian kinerja pegawai dapat digolongkan menjadi 3 bentuk yaitu:

1. Standar Dalam Bentuk Fisik

Standar dalam bentuk fisik adalah semua standar yang dipergunakan untuk menilai atau mengukur hasil pekerjaan atau kinerja yang bersifat nyata tidak dalam bentuk uang, sifatnya kuantitatif, seperti: kuantitas hasil produksi, kualitas hasil produksi dan waktu

(24)

Standar dalam bentuk uang adalah semua standar yang dipergunakan untuk menilai atau mengukur kinerja dalam jumlah uang.

3. Standar Intangibel

Standar Intangibel adalah semua standar yang biasa digunakan untuk mengukur atau menilai kegiatan yang diukur baik dalam bentuk uang maupun satuan lainnya.

Level atas dari struktur organisasi memerlukan kualitas informasi kinerja dengan karakteristik sebagai berikut:

a. Informasi kinerja sifatnya lebih teragregasi

b. Data/informasi kinerja tidak hanya bersifat kuantitatif seperti input dan output, tetapi juga yang bersifat kualitatif, misalnya informasi mengenai outcome dan impact dari program instansi.

c. Informasi kinerja yang bersifat real time

Sedangkan untuk pimpinan di tingkat bawah kebutuhan informasi kinerja biasanya tidak teragregasi, bersifat lebih kuantitatif, dan dengan frekuensi lebih sering, misalnya mingguan, harian bahkan ke menit. Oleh karenanya desain dari suatu sistem pengukuran harus memperhatikan struktur organisasi dan kebutuhan kinerja pimpinan instansi.

Setiap organisasi biasanya cenderung untuk tertarik pada pengukuran kinerja dalam aspek berikut ini:

(25)

1. Aspek finansial

Aspek finansial dapat dianalogikan sebagai aliran darah dalam tubuh manusia, maka aspek finansial merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pengukuran kinerja.

2. Kepuasaan pelanggan

Dalam globalisasi perdagangan, peran dan posisi pelanggan sangat krusial dalam penentuan strategi perusahaan. Hal serupa juga terjadi pada instansi pemerintah. Dengan semakin banyaknya tuntutan masyarakat akan pelayanan berkualitas, maka instansi pemerintah dituntut untuk secara terus menerus memberikan pelayanan yang berkualitas prima. Untuk itu pengukuran kinerja perlu di desain sehingga pimpinan dapat memperoleh informasi yang relevan atas tingkat kepuasan pelanggan.

3. Operasi bisnis internal

Informasi operasi bisnis internal diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan instansi pemerintah sudah in-concert (seirama) untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi seperti yang tercantum dalam rencana strategi. Disamping itu informasi operasi bisnis internal diperlukan untuk melakukan perbaikan terus menerus atas efisiensi dan efektifitas oleh perusahaan.

4. Kepuasan Pegawai

Dalam setiap organisasi, pegawai merupakan asset yang harus dikelola dengan baik. Apalagi dalam perusahaan yang banyak melakukan inovasi,

(26)

peran strategis pegawai sungguh sangat nyata. Hal serupa juga terjadi pada instansi pemerintah. Apabila pegawai tidak terkelola dengan baik maka kehancuran dari instansi pemerintah sungguh sulit untuk dicegah.

5. Kepuasan komunitas dan shareholders/stakeholders

Instansi pemerintah tidak beroperasi “in vacum”, artinya kegiatan instansi pemerintah berinteraksi dengan berbagai pihak yang menaruh kepentingan terhadap keberadaannya. Untuk itu informasi dari pengukuran kinerja perlu di desain untuk mengakomodasikan pada kepuasan dari pada stakeholders. 6. Waktu

Ukuran waktu juga merupakan variabel yang perlu diperhatikan dalam desain pengukuran kinerja. Betapa sering kita membutuhkan informasi untuk pengambilan keputusan, Namun informasi tersebut lambat diterima. Sebaliknya informasi yang ada sering sudah tidak relevan atau kadaluarsa.

Evaluasi kinerja dimaksudkan untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari para pelaku organisasi. Secara lebih spesifik, tujuan dari evaluasi kinerja adalah:

1. Meningkatkan saling pengertian antara pegawai tentang persyaratan kinerja 2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang pegawai, sehingga mereka

termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.

3. Mencatat dan membuat analisis dari setiap persoalan untuk mencapai persyaratan kinerja tersebut pada nomor 1.

(27)

4. Memberikan peluang kepada pegawai untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang.

5. Mendefiniskan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga pegawai termotivasi untuk berprestasi sesuai potensi.

6. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan, yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, khususnya rencana diklat dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.

Banyak organisasi berusaha mencapai sasaran suatu kedudukan yang pertama, yang terbaik dan terpercaya dalam bidangnya. Untuk itu sangat tergantung daripada pelaksanaannya, yaitu para pegawainya agar mereka mencapai sasaran yang telah ditetapkan oleh organisasi dalam corporate planningnya.

Para bawahan harus memahami dan sepakat dengan sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan manajer. Para manajer dan pengawas sebaliknya harus sependapat dengan para bawahan mereka tentang tujuan pekerjaan dan karier mereka, kriteia kinerja kerja juga harus jelas bagi semua pihak (A.Dale Timpe,2002).

II.6.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja bagi pimpinan dapat digunakan untuk menentukan pendekatan kepada pegawai dalam memperoleh kepuasan kerja

(28)

maupun meningkatkan kinerja pegawai. Menurut Bernardi dan Russel (dalam Simamora, 2001) bahwa “Kinerja dipengaruhi oleh kemampuan dan usaha kerja individu serta kesempatan kerja yang diperoleh individu atau karyawan tersebut di dalam pekerjaannya”.

Sedangkan menurut Tiffin dan Cormick (1979), bahwa performance atau kinerja berhubungan dengan individual variable dan situational variable. Individual variabel mencakup sikap, karakteristik kepribadian, karakteristik fisik, motivasi, usia, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, dan personal variabel lainnya. Situasional variabel terdiri dari physical dan job variable, serta organisasional variabel antara lain: metode kerja, ruang dan susunan kerja, serta lingkungan fisik, karakter organisasi, pelatihan dan supervisi, tipe insentif/kompensasi, dan lingkungan sosial.

Agar pegawai mengetahui sejauh mana hasil pekerjaan yang telah dicapai maka perlu bagi mereka diadakan penilaian kerja. Umumnya yang memberikan penilaian adalah pimpinan, namun bisa pula dilakukan oleh pegawai itu sendiri. Dalam penilaian ini juga bahwa pimpinan penting mengingatkan para bawahannya jika pekerjaanya tidak baik karena “Jika para karyawan tidak diberitahukan bahwa kinerja tidak memenuhi harapan-harap, kinerjanya hampir dipastikan tidak akan meningkat” Raymond A.Noe dkk (2010).

Menurut Simamora (1999) penilaian kerja adalah “Proses dengan mana organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu, menilai kontribusi karyawan kepada organisasi selama periode tertentu”.

(29)

Menurut Robbins (1998) ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi kinerja: a. Kemampuan fisik, mental, pengetahuan dan keterampilan.

b. Motivasi, yaitu kemampuan individu untuk mengeluarkan energi yang diperlukan untuk mencapai tujuan

c. Kesempatan, atau oppurtunity yaitu kesempatan bagi individu untuk menunjukkan kinerjanya.

Menurut Gibson (1996), kinerja (performance) adalah hasil yang diinginkan dari perilaku. Dan kinerja individu adalah dasar kinerja organisasi. Menurut Dessler (1992) ada 5 (lima) faktor dalam penilaian kinerja yang populer, yaitu:

a. Kualitas pekerjaan meliputi: akurasi, ketelitian, penampilan, dan penerimaan keluaran.

b. Kualitas pekerjaan meliputi: volume keluaran dan kontribusi.

c. Supervisi yang diperlukan, meliputi: membutuhkan sasaran, arahan, atau perbaikan.

d. Kehadiran meliputi: regularitas, dapat dipercaya/diandalkan dan ketepatan waktu.

e. Konservasi meliputi: pencegahan pemborosan, kerusakan, pemeliharaan peralatan.

Menurut Simamora dalam mangkunegara (2006) Kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor:

(30)

a. Faktor individual yang mencakup kemampuan, keahlian, latar belakang dan demografi.

b. Faktor psikologis terdiri dari persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi.

c. Faktor organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur, dan job design.

II.7. Kerangka Konseptual

Apabila suatu organisasi berjalan dengan lesu, orang sering mempersoalkan motivasi para pekerja didalam organisasi dan masalah kepemimpinan, selain itu budaya organisasi juga akan menjadi bahan perhatian apabila kinerja pegawai kurang baik. Pimpinan perusahaan haruslah memiliki karakteristik khusus yang mencakup kepribadian yang terpuji, memiliki keahlian, pengalaman dan pengetahuan serta kemampuan menata administrasi yang baik. Kepribadian Pimpinan perusahaan sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat jujur, percaya diri, bertanggung jawab, berani mengambil resiko akan keputusan yang dihasilkan, berjiwa besar, emosi yang stabil dan tauladan.

Sujak (1990) dalam Ermayanti (2001), mengemukakan bahwa pemahaman motivasi, baik yang ada dalam diri karyawan maupun yang berasal dari lingkungan akan dapat membantu dalam peningkatan kinerja. Pengertian motivasi erat kaitannya dengan timbulnya suatu kecenderungan untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan. Ada hubungan yang kuat antara kebutuhan

(31)

motivasi, perbuatan atau tingkah laku, tujuan dan kepuasan, karena setiap perubahan senantiasa berkat adanya dorongan motivasi. Setiap tindakan atau perbuatan seseorang cenderung dimulai dari apa yang memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu.

Saydam (1996) menjelaskan bahwa: “faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi seseorang mencakup antara lain: a) Lingkungan kerja yang menyenangkan; b) Kompensasi yang memadai; c) Supervisi yang baik; d) adanya penghargaan atas prestasi; e) status dan tanggung jawab ; f) peraturan yang berlaku. Selain itu teori motivasi kondensial F.W.Taylor juga mengatakan “seseorang mau berbuat atau tidak mau berbuat didorong oleh ada tidak adanya imbalan yang akan diperoleh yang bersangkutan”

Menurut Wexley dan Yuki (2005), kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain, untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama.

Setiap orang akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima dilingkungannya. Kepribadian seseorang akan dibentuk pula oleh lingkungannya dan agar kepribadian tersebut mengarah kepada sikap dan perilaku yang positif tentunya harus didukung oleh suatu norma yang diakui tentang kebenarannya dan dipatuhi sebagai pedoman dalam bertindak. Sehingga semakin baik budaya organisasi sebuah organisasi maka kinerja karyawannya juga akan semakin baik dan sebaliknya.

(32)

Budaya organisasi selanjutnya menjadi identitas atau karakter utama organisasi yang dipelihara dan dipertahankan menurut Mas’ud (2004). Suatu budaya yang kuat merupakan perangkat yang sangat bermanfaat untuk mengarahkan perilaku, karena membantu karyawan untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik sangat penting, dan pada awal karirnya perlu memahami budaya dan bagaimana budaya tersebut terimplementasikan.

Kamars (2002) menyatakan kinerja merupakan terjemahan dan kata performance yang berarti kemauan dan kemampuan dalam melakukan suatu pekerjaan. Kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor:

a. Faktor individual yang mencakup kemampuan, keahlian, latar belakang dan demografi.

b. Faktor psikologis terdiri dari persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi.

c. Faktor organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur, dan job design.

Kompensasi

Motivasi

Kinerja

Budaya

Organisasi

Kepemimpinan

(33)

II.8. Hipotesis

Berdasarkan kerangka berfikir yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis kerja yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Motivasi, gaya kepemimpinan, dan budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai Universitas HKBP Nommensen.

2. Kompensasi berpengaruh signifikan terhadap motivasi pegawai Universitas HKBP Nommensen.

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Upah Riil Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Pengolahan Kelapa Sawit dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi pada PT

vulkanik dan abu sekam padi pada tanah lempung yang dilihat dari pengujian. laboratorium yaitu CBR Laboratorium sesuai dengan variasi kadar

Dari prosedur pengambilan tabungan nasabah yang sudah meninggal dunia, ahli waris menyerahkan seluruh syarat-syarat yang telah di berikan oleh pihak bank

247 13052624020081 ABDUL HAMID Akidah Akhlak MA Mambaul Ulum 2

a) Permasalahan pada aspek budidaya adalah hama penggerek yang sangat mempengaruhi produktifitas kakao. Hal ini sudah menjadi konsentrasi dinas dalam beberapa

Berdasarkan data epidemiologi diketahui kurang lebih 20% dari perokok memiliki risiko delapan kali menjadi penyalahguna NAPZA, dan berisiko sebelas kali untuk menjadi peminum

Purwiyatno Hariyadi - phariyadi.staff.ipb.ac.id FOOD VALUE = x ETC Flavor Functionality Ethic Texture Taste Performance QTY/Calorie Nutrition Appearance Eco-Friendliness Q

Matriks program dan investasi bidang Cipta Karya disusun berdasarkan prioritas menurut.. kebutuhan Kabupaten untuk memenuhi sasaran dan rencana pembangunan