• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamisasi Kepemimpinan Kiai Oleh: Rohmat. Kata kunci: kepemimpinan kiai, santri, pesantren

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dinamisasi Kepemimpinan Kiai Oleh: Rohmat. Kata kunci: kepemimpinan kiai, santri, pesantren"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Kiai menjadi fiqur sentral bagi santri sekaligus bagi masyarakat. Namun, yang banyak terlupakan bagi dunia pesantren adalah kaderisasi kepemimpinan yang tidak dapat dilakukan dengan baik. Suksesi kepemimpinan pesantren sebagian besar berdasarkan nasab (keturunan), sehingga sering terjadi krisis kepemimpinan pesantren. Terlepas dari sisi kekurangan yang di miliki, pesantren telah menjadi elemen yang sangat fundamental bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pesantren telah banyak melakukan pemberdayaan bagi masyarakat. Peran kepemimpinan kiai dan perubahan orientasi pesantren yang lebih bersikap permisif terhadap pengaruh positif dari luar telah menempatkan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang tetap eksis dan berkembang dalam masyarakat. Eksistensi dan perkembangan pesantren tidak dapat lepas dari figur kepemimpinan kiai.

Kata kunci: kepemimpinan kiai, santri, pesantren

A. Pendahuluan

Pesantren merupakan salah satu prototipe pendidikan yang telah awal mengukir sejarah pendidikan terhadap masyarakat. Pesantren merupakan bentuk indegeous pendidikan yang ada di jawa, sehingga pola pendidikan pesantren lebih bercorak pada kultur asli jawa.1 Nilai-nilai kultur jawa merupakan bagian yang banyak di akomodir dalam proses pendidikan pesantren. Pesantren menjadi sebuah bentuk lembaga pendidikan Islam yang lebih awal sebelum munculnya bentuk-bentuk madrasah modern. Peran pesantren menjadi tempat untuk melakukan proses pendidikan. Keberadaan pesantren menjadi sangat fundamental terhadap perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia. Pesantren merupakan sebuah komunitas yang komplek dari sisi pendidikan maupun dari sisi proses kehidupan bermasyarakat serta peran transformasi sosial.

Pola-pola pengajaran pesantren bertumpu pada penguasaan kitab-kitab klasik dengan sejumlah nilai-nilai maupun penguasaan normatif agama2. Pengajaran pesantren lebih banyak dilakukan dengan sistem

Dosen Jurusan Tarbiyah Sekolah Tingggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

1 Nurcholis Madjid, Bilik - Bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 1997), p. 3. 2 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: LP3ES,1994), p. 12.

(2)

bandungan dan sorogan. Sistem bandungan dengan cara ceramah yaitu seorang kiai mengadakan ceramah kepada para santri, sedangkan sorogan santri satu per satu mengaji kepada kiai.

Dua sistem pengajaran klasik yang dianut oleh pesantren dengan kurikulum yang melekat pada figur kiai menjadikan hubungan antara santri dan kiai terasa lebih dekat. Kedekatan hubungan santri dan kiai menjadikan pola hubungan yang saling kebergantungan. Bentuk kedekatan hubungan emosional antara kiai dan santri menjadikan pola hubungan yang terbangun dengan kesamaan ideologi3. Hal ini melahirkan ketaatan serta kepatuhan santri pada kiai. Hubungan santri dan kiai menjadi sangat sakral dengan ritual-ritual keagamaan yang menjadikan pengikat emosional antara santri dan kiai. Selain kiai menjadi anutan para santri, kepemimpinan kiai akan menentukan tingkat eksistensi pesantren yang diasuhnya.

Peran kiai menjadi sangat menentukan terhadap maju dan mundurnya sebuah pesantren. Semakin tinggi popularitas keilmuan kiai maka semakin tinggi pula kedekatan santri kepada kiainya. Implikasi selajutnya output santri akan banyak dipengaruhi kualitas pendidikan pesantren. Tingginya mutu pendidikan sebuah pesantren akan menjadikan alumni pesantren memegang peran utama dalam kehidupan sosial-masyarakat, akhirnya eksistensi kepemimpinan kiai pada pesantren maupun pada masyarakat akan lebih tinggi.

Peran yang lebih luas bagi kiai sekaligus menjadi top figure bagi santri dan masyarakat, sehingga pengaruh kiai menjadi sangat dominan dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam relasi pemerintahan. Di beberapa daerah di Jawa Timur dominasi pengaruh kiai melebihi faktor pemerintahan. Figur kiai menjadi memiliki pengaruh di semua lini kehidupan masyarakat, terlebih pengaruh kiai terhadap para santrinya.

Tetapi pada sisi lain yang banyak terlupakan dalam dunia pesantren adalah kaderisasi kepemimpinan kiai, hal ini diperkuat dengan keadaan pesantren yang memiliki landasan historis dengan menampilkan sosok

being tertutup terhadap kondisi luar4. Eksistensi kiai pada pesantren

umumnya masih bergantung pada kharismatik kiai, sehingga keberadaan pesantren akan semakin memudar selaras dengan pudarnya kharisma yang

3Ibid., p. 9.

4Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Sub Kultur, dalam M.Dawam Rahardja

(ed),Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta:LP3ES,1974), p. 43. Lihat juga; Azumardi Azra, Pesantren kontinuitas dan Perubahan, pengantar dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:sebuah potret perjalanan, (Jakarta:Paramadina,1997), p. xvi. Dalam perspektif sejarah, pesantren tertutup terhadap pengaruh modernisasi dari luar, sikap tersebut merupakan salah satu respon pesantren terhadap kolonial Belanda.

(3)

dimiliki kiai, terlebih apabila kiai sudah wafat. Sebuah fenomena yang dapat di generalisasikan pada pesantren umumnya, bahwa krisis kaderisasi kepemimpinan dan efektivitas kepemimpinan pesantren nampaknya belum terdinamisasi dengan baik. Hal ini didukung dengan image

masyarakat tentang kiai yang serba bergaya kepemimpinan kharismatik daripada rasionalistik, otoriter daripada paternalistik.

Pola kepemimpinan yang demikian telah membawa eksistensi pesantren menjadi tereduksi dari peran sosial masyarakat dan menjadikan pesantren lebih bersifat eksklusif (menutup diri), keadaan demikian banyak terlihat pada pesantren-pesantren yang mengunakan suksesi kepemimpinan dengan berdasar keturunan. Pola kepemimpian yang demikian menjadi faktor kekurangan pesantren, namun relasi yang telah di bangun kiai dengan santri dan masyarakat menjadi faktor kelebihan bagi pesantren.

Tipologi pesantren dengan kiai menjadi fiqur sentral bagi santri sekaligus bagi masyarakat, telah menempatkan pesantren menjadi elemen yang sangat fundamental bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Transformasi sosial dan pemberdayaan bagi bangsa telah berhasil dilakukan oleh dunia pesantren. Keberhasilan pesantren menjadikan relasi kiai dan masyarakat sangat sinergis. Hal ini juga ditopang dengan keberhasilan santri-santri yang telah diasuhnya. Berdirinya pesantren-pesantren baru dari alumni pesantren-pesantren telah menjadikan jaringan kiai-santri semakin menguat, terlebih jika santri telah menjadi bagian inner circle

pemerintahan. Daya dukung santri terhadap eksistensi kiai semakin tinggi. Semakin kuatnya relasi yang dibangun kiai dan santri, semakin memperkuat peran pesantren terhadap transformasi intelektual umat. Pendidikan yang dilakukan pesantren menjadikan semakin besar pengaruhnya terhadap pemberdayaan umat. Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadikan fokus tulisan ini adalah untuk memetakan peran kepemimpinan kiai, relasi kiai, santri dan masyarakat.

B. Perspektif Tentang Kepemimpinan Kiai

Kharakteristik kepemimpinan kiai dan pesantren menjadikan banyak kajian yang membahasnya. Studi tentang kepemimpinan kiai sangat berbeda dengan model-model efektifitas kepemimpinan dalam dunia organisasi profit pada umumnya. Kepemimpinan kiai tidak diatur pada mekanisme kerja yang bersifat formal namun bertumpu pada pola hubungan yang sinergis antar kiai dan personel pesantren ( dewan kiai, para ustadz, lurah pondok, santri dan wali santri). Sedangkan efektifitas kepemimpinan pada organisasi profit diatur dengan mekanisme formal

(4)

dalam rangka meningkatkan produktifitas kerja. Adapun berbagai perspektif tentang kajian kepemimpinan kiai sebagai berikut:

Imam Suraji dalam penelitianya5 yang berjudul ”Kiai dan Transformasi Wacana Kesetaraan Gender di Pekalongan” telah menarik kesimpulan bahwa tingkat pemaham kiai dalam masalah gender tergolong cukup, sedangkan tingkat kepedulian para kiai dalam upaya membangun kesadaran gender rata-rata menunjukkan nilai tinggi yang berarti tingkat kepedulian kiai tinggi. Tingginya tingkat kesadaran menunjukkan bahwa kiai memiliki peran yang cukup dalam membangun kesadaran gender.

Terjadi tingkat kesadaran kiai terhadap masalah gender merupakan salah satu indikator bahwa terjadi transformasi sosial dalam masyarakat yang di timbulkan dari kepemimpinan kiai. Peran kiai dalam pemberdayaan masyarakat membawa dinamisasi dalam struktur masyarakat. Kepedulian kiai terhadap realitas sosial yang berkembang di masyarakat membawa implikasi meningkatnya pengaruh pesantren .

Sembodo Ari Widodo dalam penelitianya tentang6 ”Struktur Keilmuan Pesantren” menyimpulkan bahwa: penyeleksian kitab-kitab yang diajarkan pada pesantren tebu ireng berdasarkan teologi dan filosofi yang dianut oleh NU, sehingga epistemologinya bertumpu pada kitab-kitab klasik di lingkungan Syafi'iyah. Mu’allimin Muhammadiyah di pengaruhi ideologi Muhammadiyah sehingga pemahaman Islam secara puritan-rasional langsung merujuk pada sumber al-Qur’an dan Hadits.

Dua dimensi yang berbeda dalam epistemologi keilmuan pesantren sangat bergantung pada orientasi pesantren. Hal ini akan memberikan ciri yang berbeda dari output santri yang dihasilkan. Alumni pesantren NU akan lebih berorientasi pada penguasaan khasanah pemikiran kitab-kitab klasik, hal ini bukan berarti mereka tidak akomodatif terhadap pemikiran kontemporer. Penguasaan referensi kitab klasik semakin menambah pemahaman wacana yang beragam dalam studi Islam. Orientasi epistemologi pesantren juga sangat bergantung pada kepemimpinan kiai.

Zamakhsyari Dhofier, dalam penelitianya telah menarik kesimpulan bahwa perubahan-perubahan dalam pesantren telah terjadi sejak tahun 1910, dengan di tandai perubahan orientasi pesantren. Pesantren yang sejak awal berdirinya mengisolir diri dari pengaruh modernitas, sejak tahun tsb mulai memadukan sistem pengajaran konvensional dengan sistem

5 Imam Suraji dkk, Kiai dan Transformasi Wacana Kesetaraan Gender di kota Pekalongan, dalam ISTiQRO Vol . 02,No. 01,2003, (Ditperta, Ditjen Kelembagaan Agama Depag RI, 2003), p. 114.

6 Sembodo Ari Widodo, Struktur Keilmuan Pesantren: Studi Komperatif Antarpesantren Tebu Ireng Jombang dan Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, dalam ISTiQRO Vol . 02,No. 01,2003, (Ditperta, Ditjen Kelembagaan Agama Depag RI, 2003), p. 3.

(5)

klasikal (madrasah). Pesantren telah mengajarkan berbagai sains umum dalam pembelajaranya.7

Perubahan sistem pendidikan pada pesantren telah membawa pencerahan pemikiran santri. Sistem klasikal yang di akomodir dalam pesantren dengan bentuk persekolahan telah mengubah stigma masyarakat tentang pesantren. Pesantren bukan sekedar sebuah komunitas dengan rutinitas kaku pada lingkup studi Islam klasik, namun pesantren juga sebagai sebuah tempat pembelajaran yang berarti tentang perubahan dan modernitas. Pemikiran dalam dunia pesantren telah terjadi sebuah kebermaknaan yang lebih luas. Artinya perubahan orientasi pesantren sebagai salah satu indikator tentang dinamika kepemimpinan kiai.

Abdurrahman Mas’ud, dalam penelitianya mengidentifikasikan para tokoh yang telah dianggap memiliki peran sentral dalam pesantren dan sekaligus sebagai figur tentang dunia pesantren8. Adapun para kiai tersebut di kategorisasikan dalam bidang keilmuan masing-masing yaitu: Nawawi al-Bantani merupakan ahli hadits, Mahfuz Tremas atau at-Tirmisi sebagai

al muhaddits dan al musnid, Khalil Bangkalan sebagai kiai

kharismatik-spiritualis, K.H.R. Asnawi Kudus sebagai kiai dai keliling yang terlibat langsung da’wah bi al-maqal wa al-hal dan kiai Hasyim Asy’ari sebagi kiai pergerakan sekaligus inspirator nasionalisme dunia pesantren.

Satu sisi beberapa tokoh pesantren membawa kemajuan pesat dalam kurun sejarah. Beberapa tokoh diatas telah dianggap telah memberi inspirasi besar bagi pesantren. Karakteristik kepemimpinan yang telah dimiliki kiai tersebut membuat ciri khas tersendiri bagi pesantren. Beragamnya spesifikasi keilmuan yang digagas oleh tiap-tiap pesantren menambah wacana yang beragam bagi nuansa pemikiran santri. Rihlah

’ilmiah merupakan tradisi pengembaran keilmuan yang biasa di jalani santri

dengan menempuh ilmu pada satu pesantren ke pesantren lain. Mastuhu,9 dalam penelitianya membuat kesimpulan tentang gaya dan suksesi kepemimpinan Pesantren. Gaya kepemimpinan pesantren memeliki tiga tipe yaitu: kharismatik-rasionalistik, otoriter-paternalistik ke diplomatik-partisipatif, Laissez-faire ke birokratik. Kadar kharismatik kiai dari satu pesantren ke pesantren lainya berbeda-beda secara gradual. Semakin kepemimpinan kiai bersifat kharismatik, semakin rendah pola sifat rasionalismenya. Gaya kepemimpinan kharismatik menjadikan suksesi

7 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiai,

(Jakarta: LP3ES, 1994), p. 38.

8Aburrahman Mas’ud, Intelektualitas Pesantren: Perhelatan Agama dan tradisi,

(Yogyakarta: LKiS, 1994), p. 3.

9 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

(6)

kepemimpinan pesantren berdasarkan keturunan sehingga popularitas pesantren memudar seiring dengan wafatnya kiai pendiri.

Tipologi pesantren akan sangat variatif sejalan dengan corak dari masing-masing pesantren. Walaupun pesantren sudah mengalami dinamisasi pemikiran maupun kepemimpinan, tetapi gaya kepemimpinan klasik dengan suksesi kepemimpian berdasarkan keturunan masih di gunakan pada sebagian pesantren. Fenomena yang lebih umum terjadi pada pesantren adalah menurunya polularitas pesantren karena hilangnya regenerasi kepemimpinan yang di pandang kurang qualified. Hal semacam itu terjadi pada pesantren yang lebih bercorak kharismatik. Kecenderungan kharisma tidak dapat diturunkan secara genetik, akhirnya pesantren terjadi krisis kepemimpinan.

Menurut Endang Turmudi, relasi kiai dengan masyarakat sangat kuat, kiai memiliki kedudukan yang sangat terhormat dalam masyarakat10. Tetapi jika dibandingkan kiai yang mengasuh pesantren dengan kiai sebagai pemimpin tarekat lebih memiliki kedekatan dengan para pengikutnya. Pola kedekatan yang telah terjadi menurut Turmudi sebagian disalah gunakan oleh kiai dalam peran politik.

Terdapat beberapa kasus yang dilakukan oleh kiai yang berorientasi pada politik praktis. Kiai sebagai fiqur bagi santri dan masyarakat memiliki kekuatan pada akar rumput. Kiai memiliki kekuatan yang sangat diperhitungkan dalam rasio politik. Hal ini sebagian kecil membawa penambahan orientasi peran pesantren kearah kecenderungan politis. Hal ini dapat terlihat pada era multi partai, banyak kiai yang tersekat pada kencederungan politik praktis yang sangat beragam.

Sukamto membuat analisa tentang pola-pola hubungan kiai-santri, pengaruh kharisma kiai dalam masyarakat maupun terhadap santri, perkembangan tarekat serta analisa terhadap konflik internal yang terjadi dalam pesantren maupun pengaruh sosial pesantren dalam masyarakat11. Kiai memiliki peran sentral dalam kepemimpinan hal ini juga berimbas pada intensitas kharisma yang dimiliki kiai dalam pesantren.

Hubungan kiai-santri menjadi sebuah jaringan eksistensi, tarekat lebih akan memposisikan karisma kiai dalam masyarakat. Namun, konflik internal terjadi dalam pesantren, karena salah satu pemicunya adalah suksesi dengan sistem nasab. Hal ini menjadi rawan konflik jika terjadi tarik ulur dalam kepemimpinan.

10 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan ,(Yogyakarta: LKiS, 2003),

p. 316.

11 Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), p.

(7)

Murray Gordon O’Hanlon dalam penelitian tentang pesantren dan dunia pemikiran santri yang dilakukan riset terhadap dua belas pesantren di jawa timur menyimpulkan bahwa nilai-nilai yang di adaptasi santri dalam kehidupan adalah membantu masyarakat pesantren, hidup mendasarkan pada ajaran normatif Islam, menjunjung toleransi umat beragama, belajar bahasa asing, menyampaikan pesan agama melalui ucapan dan perilaku12. Penelitian tersebut digagas dalam rangka mengsekplorasi sikap santri. Hasil penelitian tersebut menepis aggapan bahwa santri dan pesantren adalah identik dengan teroris.

Berbagai perspektif tentang kepemimpinan kiai sebagaimana disebut diatas, dapat ditarik benanga merah bahwa telah terjadi perubahan orientasi kepemimpinan kiai yang telah membawa dampak pada transformasi sosial. Gaya kepemimpinan kiai lebih banyak cenderung bersifat diplomatik-paternalistik. Struktur keilmuan pesantren tetap berdasarkan pada orientasi masing-masing pesantren dan sangat di pengaruhi oleh kepemimpinan kiai. Pemikiran santri telah mengalami orietasi yang lebih luas tidak sebatas pada keilmuan-keilmuan normatif.

C.Transformasi Kepemimpinan Pesantren

Transformasi (pergantian) kepemimpinan pesantren yang terjadi pada sebagian besar pesantren adalah berdasarkan keturunan. Apabila pengasuh pesantren yang sekaligus pendiri meniggal maka digantikan oleh putranya, jika tidak ada maka akan digantikan putra menantu dan jika tidak ada maka akan digantikan santri senior. Tetapi sebagian santri senior lebih memilih untuk mendirikan pesantren sendiri. Pola suksesi pesantren yang berdasarkan keturunan membawa dampak terhadap menurunya popularitas pesantren, hal ini sangat dirasakan pada pesantren kecil dengan jumlah santri sedikit.

Transformasi pesantren tidak dapat lepas dari gaya kepemimpinan yang diambil oleh kiai. Menurut Mastuhu, gaya kepemimpinan pesantren dapat di kategorikan menjadi 3 macam yaitu: 1) Kharismatik ke rasionalistik, 2) Otoriter-paternalistik ke diplomatik-partisipatif, 3)

Laizez-Faire ke Birokratik13. Gaya kepemimpinan kharismatik sangat bergantung

pada kharisma kiai. Berasumsi bahwa seorang kiai sebagai pemimpin pesantren yang berasal dari Tuhan. Gaya rasionalitik bersandarkan pada

12 Murray Gordon O’Hanlon, Pesantren dan dunia Pemikiran santri: problematika metodologi yang dihadapi orang asing, (Malang: Program ACICIS angkatan XXI, Fisipol UMM, 2006), p. iv.

13 Mastuhu, Memberdayakan, p. 114. Bandingkan: Gary Yukl membagi gaya

kepemimpinan menjadi: gaya partispatif, transformational,otoriter dan kharismatik. Gary Yukl, Leadership on organization, (5th ed.) (Englewood Cliffs: Prentice-Hall inc), p. 235.

(8)

keyakinan santri dan para jamaah bahwa kiai mempunyai otoritas karena keluasan ilmu yang dimilikinya.

Gaya pesantren otoriter-paternalistik adalah kebebasan santri dan jamaah dalam kontribusi pemikiran sangat kecil dan kebebasan para santri tidak di benarkan jika melampaui ketentuan yang telah ditetapkan kiai. Gaya kepemimpinan diplomatik-partisipatif yaitu dengan pendekatan para santri yang bersifat persuasif untuk mengkonsultasikan ide kiai, tetapi jika cara demikian tidak berhasil maka yang akan digunakan adalah otoriter. Gaya kepemimpinan Laizez-Faire, kiai akan memberikan kebebasan sepenuhya terhadap santri dan jamaahnya sehingga terjadi dinamisasi, tetapi jika tidak dilakukan kontrol yang baik pesantren juga akan kurang terarah. Gaya kepemimpinan birokratik akan menjadikan kebijakan-kebijakan pesantren berkesan kurang elitis.

Gaya kepemimpinan yang di jalankan oleh kiai akan sangat berpengaruh terhadap transformasi kepemimpinan yang di jalankan. Jika gaya yang di gunakan lebih kepada gaya partispatif maka akan sangat memungkinakan terjadi pemberdayaan yang baik dalam pesantren. Kaderisasi kepemimpinan akan terjadi sehingga pesantren tidak akan mengalami krisis kepemimpinan.

Gaya kepemimpinan yang dianggap lebih efektif adalah gaya kepemimpinan partipatif dibandingkan dengan otokratik maupun Laizez

Faire. Seorang pemimpina dalam hal ini kiai jika intensitas gaya yang lebih

banyak di gunakan bersifat partisipatif maka dianggap bahwa pola kepemimpinanya akan bersifat efektif14. Pada pesantren yang modern gaya kepemimpian kiai lebih banyak bercorak partisipatif.

D.Peran Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren

Kiai merupakan top figur bagi santri, sehingga pengaruh kiai menjadi sangat dominan dalam kehidupan santri. Kiai menjadi model kepribadian yang sempurna bagi santri. Penguasaan khasanah keilmuan maupun beberapa aspek menjadi panutan bagi santri. Peran Kiai bagi pesantren yang diasuhnya menjadikan pola kedekatan santri dan kiai yang dibangun melalui ritual-ritual keagamaan yang menjadikan pengikat emosional antara santri dan kiai. Peran kepemimpinan kiai menjadi sangat menentukan terhadap maju dan mundurnya sebuah pesantren. Semakin tinggi popularitas keilmuan kiai maka semakin tinggi pula kedekatan santri kepada Kiainya. Sangat memungkinkan beberapa alumni pesantren memegang pada policy pemerintahan pada akhirnya eksistensi kiai pada pesantren akan lebih tinggi.

14Ibid., p. 235.

(9)

Dalam kilas sejarah terminologi kiai biasa digunakan untuk tiga (3) peran yang berbeda yaitu; (a) sebagai gelar bagi barang-barang yang dianggap keramat, seperti "kiai garuda kencana" dipakai untuk kereta emas keraton Jogjakarta, (b) gelar kehormatan orang tua pada umumnya, (c) gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki pesantren, walaupun pada perkembangan berikutnya banyak para tokoh agama yang tidak memiliki pesantren juga disebut kiai.15

Istilah kiai pada perkembangan berikutnya banyak disandang oleh orang 'alim yang menguasai tentang ilmu-ilmu keagamaan. Predikat kiai menjadi lekat dengan perannya terhadap masyarakat. Figur kiai menjadi satu sosok yang hampir lepas dari sebuah kekhilafan sehingga memiliki dampak pada tatanan masyarakat yang cenderung mengkultuskan kiai16.Namun sisi lain, peran kiai menjadi sangat penting terhadap pola pembelajaran dan pendewasaan pada masyarakat, sehingga kiai mampu membuat dekonstruksi terhadap tatanan masyarakat.17

Peran kepemimpinan kiai dalam pesantren akan membuat transformasi pemikiran santri, serta eksistensi pesantren yang diasuhnya. Kiai memiliki peran yang sangat sentral dalam pesantren.18 Pesantren yang bercorak otoriter karena kepemilikan sepenuhnya ada pada kiai akan membuat pesantren runtuh apabila telah di tinggal kiai pendiri dan sementara tidak memiliki generasi penerus.

E. Kepemimpinan Kiai dan Perubahan Orientasi Pesantren

Pesantren yang sejak awal berdirinya menunjukkan sikap mengisolir diri terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, perkembangan selanjutnya mengalami perubahan orientasi. Perubahan orientasi pesantren terjadi sejak tahun 1910 dengan ditandai di bukanya pondok bagi wanita serta munculnya bentuk madrasah sebagai sistem klasikal pengajaran yang di terapkan di pesantren19. Walaupun perubahan-perubahan tersebut masih tersekat pada tujuan dasar pendirian pesantren sebagai penyebaran agama

15Zamachsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, p. 55. Lihat juga: Sedangkan secara

terminologis pesantren merupakan budaya yang berasal dari India. Sebelum penyebaran Islam masuk di Indonesia terminologi pesantren telah di pakai oleh budaya dan pengajaran Hindu di jawa. Karel A. Steenbrink , Pesantren Madrasah, p. 20.

16 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, p.112.

17 Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: logos

Wacana Ilmu, 1998), p. 9.

18 Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritikan Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisonal, (Jakarta: Ciputat Press, 1982), p. 61.

(10)

Islam. Kontribusi pesantren terhadap pengaruh perubahan tanpa meninggalkan hakekat dasar eksistensi pesantren20.

Perubahan yang terjadi di dalam tubuh pesantren tidak dapat lepas dari dinamisasi pesantren. Pesantren yang telah mengalami dinamisasi kepemimpinan tinggi (pesantren modern) lebih bersikap akomodatif terhadap bentuk modernisasi. Tetapi pada pesantren-pesantren salaf sikap permisif terhadap pengaruh luar tidak terjadi. Dinamisasi kepemimpinan kiai dalam pesantren akan membawa perkembangan yang sangat pesat pada pesantren yang diasuhnya. Dinamisasi kepemimpinan terjadi karena tuntutan perubahan yang datang dari dalam pesantren. Bahkan dinamisasi dalam pesantren juga membawa dampak pada dinamisasi masyarakat.

Pesantren dengan kepemimpinan tunggal kiai sebagai sebuah lembaga sosial yang bersifat religius. Pesantren dalam perkembanganya memiliki kontribusi yang sangat besar dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan agama, politik maupun peran sosial. Pesantren dalam perubahan yang dilakukan oleh kiai menjadikan sebagai institusi kultural yang memiliki karakteristik tersendiri tetapi juga permisif terhadap perkembangan budaya.21 Perubahan orientasi pesantren yang bersifat terbuka terhadap pengaruh positif dari globalisasi menjadikan pesantren lebih menjadikan lembaga yang cenderung multi dimensi dalam pembelajaran.

Kiai sebagai pemimpin pesantren sangat memiliki peran tinggi dalam perubahan sosial. Pesantren memiliki posisi strategis dalam melakukan pembangunan dalam kelembagaan sosial, karena basis pesantren berasal dari akar bawah, sehingga kiai menjadi motivator kemandirian bagi lembaga yang dipimpinya sekaligus sebagai pelaksana pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan maupun peran sosial.

Kemandirian pesantren telah menjadikan indikator kelestarian pembangunan dengan perubahan sosial. Pesantren telah memiliki revolving rate yang cukup signifikan. Sebagai bukti yaitu dengan tanggungjawab moral yang tinggi telah dimiliki kiai maupun para santri yang telah memiliki bekal keilmuan lebih untuk mendirikan pesantren pada daerahnya sendiri. Hal ini juga sangat mendorong kotinuitas sekaligus perubahan dalam pesantren.

20 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,

(Jakarta: Logos, 1999), p. 108.

21 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Jakarta: Mizan, 1999), p.

(11)

F. Relasi Kiai, Santri dan Masyarakat

Santri merupakan elemen dasar yang menjadi pentingnya atas eksistensi kiai. Predikat kiai merupakan legitimasi yang diberikan masyarakat atas pengakuaannya terhadap keilmuan yang dimiliki oleh kiai. Sehingga santri menjadi barometer yang dimiliki oleh kiai terhadap popularitas ke-kiai-annya. Santri-santri yang telah dianggap 'alim kemudian mendirikan satu pesantren tersendiri, dengan demikian akan menambah luas jaringan kiai sekaligus semakin meningkatkan pengakuan masyarakat atas keilmuan kiai. Keberhasilan santri dalam proses pembelajaran sangat bergantung pada tingkat keseriusan santri. Hal ini disebabkan karena pada umumnya pesantren salaf tidak membebankan kurikulum yang bersifat kaku yang harus dipersyaratkan kepada santrinya.

Menurut Zamacksari Dhofier, santri dibagi menjadi dua (2) yaitu:22 a. Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh

lalu menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim merupakan komunitas tersendiri dan biasanya memegang peran yang sangat penting serta diserahi untuk mengurusi kebutuhan pesantren beserta proses pembelajaranya.

b. Santri Kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa sekeliling pesantren biasanya mereka tidak menetap di kelompok pesantren. Banyaknya kuantitas santri kalong semakin mengindikasikan popolaritas sebuah pesantren, sedangkan semakin banyak santri mukim maka semakin besar pesantren. Para santri mukim memperoleh perlakuan lebih, dibanding santri kalong. Santri yang sudah dipandang cakap dan menguasai ilmu pesantren dan memiliki kepandaian lebih tinggi dibanding santri yang lain maka dijadikan sebagai "lurah pondok." Dia merupakan kepanjangan tangan dari kiai. Beberapa urusan diserahkan pada lurah pondok.

Ikatan psikologis antara lurah pondok dengan kiai menjadai lebih dekat. Para lurah pondok inilah yang kemudian melahirkan beberapa kiai generasi berikutnya yang tersebar di beberapa daerah, sedangkan regenerasi pada pondok-pondok besar yang eksis lebih dulu, biasa diteruskan oleh para putra-putra kiai (baca: Gus). Bila sebagian besar lurah pondok setelah terjun di masyarakat diserahi untuk mengelola masjid atau surau, dan dari sini pula akan memunculkan pesantren-pesantren baru. Sehingga relasi kiai-santri terbagun berdasarkan ikatan emosional maupun psikologis dan jaringan relasi yang lebih luas terjalin ketika para santri mendirikan pesantren. Akhirya terjalin relasi antara kiai santri dan meluas dengan masyarakat.

(12)

Kiai sebagai figur sentral dalam pesantren memiliki relasi sosial yang cukup tinggi. Secara struktural pesantren dapat berkembang karena relasi sosial yang di jalin bersama masyarakat. Dengan demikian, pesantren yang terpisah dengan komunitas masyarakat akan mengalami keterasingan dan akhirnya di tinggalkan oleh masyarakat.23 Hubungan struktural-sosial kiai dengan masyarakat lebih diperankan dengan jalinan kerjasama kiai dengan masyarakat dalam bidang pemberdayaan bersama terhadap masyarakat. Kiai dapat memberi kontribusi terhadap lembaga masyarakat.

Eksistensi pesantren karena peran relasi sosial yang dijalin oleh kiai dengan masyarakat. Kiai sebagai peran utama dalam membangun relasi sosial dengan masyarakat akan membawa pesantren tidak hanya sebagai lembaga sosial Islam tetapi juga lembaga indigenous yang berangkat dari karakteristik ke-Indoesia-an.24 Dengan demikian, pesantren memiliki keterkaitan erat dengan masyarakat untuk membangun pola relasi bersama.

G. Penutup

Kepemimpinan kiai dalam pesantren telah mengalami dinamisasi. Adapun dinamisasi kepemimpinan kiai meliputi berbagai aspek antara lain:

1. Transformasi gaya kepemimpinan kiai dari otokratik menjadi

partisipatif.

2. Peran kepemimpinan kiai menjadi fiqur bagi santri dan masyarakat. 3. Perubahan orientasi pesantren menjadi lebih permisif terhadap

dinamika yang terjadi dalam masyarakat.

4. Terbangun relasi yang sinergis antara kiai, santri dan masyarakat.

23Ibid., p. 254.

(13)

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi, "Pesantren Kontinuitas dan Perubahan", pengantar dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret

Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.

_______, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

_______, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000.

_______, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.

Dhofier, Zamachsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1994.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Jakarta: Mizan, 1999. Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina, 1997.

Mas’ud Aburrahman, Intelektualitas Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 1994.

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

O’Hanlon, Murray Gordon, Pesantren dan Dunia Pemikiran Santri:

Problematika Metodologi yang Dihadapi Orang Asing, Malang: Program

ACICIS angkatan XXI, Fisipol UMM, 2006.

Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1994. Sukamto, Kepemimpinan kiai dalam Pesantren, Jakarta: Pustaka LP3ES,1999. Suraji, Imam dkk., Kiai dan Transformasi Wacana Kesetaraan Gender di kota

Pekalongan, dalam ISTiQRO Vol . 02, No. 01,2003, Ditperta, Ditjen

Kelembagaan Agama Depag RI, 1999.

Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2003.

Wahid, Abdurrahman, Pesantren Sebagai Sub Kultur, dalam M. Dawam Rahardja (ed), Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1974. Widodo, Sembodo Ari, Struktur Keilmuan Pesantren: Studi Komperatif

Antarpesantren Tebu Ireng Jombang dan Mu’allimin Muhammadiyah

Yogyakarta, dalam ISTiQRO Vol . 02, No. 01, 2003, Ditperta, Ditjen

(14)

Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritikan Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan

Islam Tradisonal, Jakarta: Ciputat Press, 1982.

Yukl, Gary, Leadership on organization. (5th ed.), Englewood Cliffs: Prentice-Hall Inc, 2001.

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan jalan di dunia sudah dimulai saat manusia sudah tinggal menetap, secara besar perkembangan jalan raya dibagi menjadi enam periode yaitu zaman manusia belum

Dari sekian banyaknya alternatif metode atau strategi dalam pemecahan masalah matematika yang dapat digunakn dalam pengajaran matematika di sekolah, tentunya

i EFEK JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus Ostreatus) TERHADAP SEL BETA PANKREAS TIKUS WISTAR JANTAN MODEL DIABETES MELLITUS TIPE 2.. YANG DIBERI PAKAN TINGGI LEMAK DAN STREPTOZOTOCIN DOSIS

Dan berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diambil kesimpulan bahwa aplikasi sistem penunjang keputusan untuk penerima home care dengan metode Simple Aditive Weighting

Pihak villa diharapkan untuk lebih meningkatkan lagi pada kualitas pelayanan, proses pelayanan, kenyamanan lingkungannya serta memperhatikan harga agar pelanggan menjadi

E-certificate pengabdian kepada masyarakat dari Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Subbidang Edukasi Perubahan Perilaku dan Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, yang

Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa telah dihasilkan alat peraga pembelajaran matamatika pada materi matriks yang

Pada penelitian yang dilakukan oleh penulis, narasumber yaitu Bu Reni, Bu Wiwin, dan Bu Ari menyatakan bahwa salah satu konflik yang terjadi dalam keluarga adalah karena