• Tidak ada hasil yang ditemukan

Typhoid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Typhoid"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Visi pembangunan nasional tahun 2005 – 2025 sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 adalah “ INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR.” Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkan 8 arah pembangunan jangka panjang, salah satunnya mewujudkan bangsa yang berdaya saing.

Untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing salah satu arah yang ditetapkan adalah mengedepankan pembangunan sumber daya manusia, yang ditandai sdwengan meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Unsur-unsur penting bagi peningkatan IPM adalah derajat kesehatan, tingkat pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Derajat kesehatan dan tingkat pendidikan pada hakekatnya adalah investasi bagi terciptanya sumber daya manusia berkualitas, yang selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan. Dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya, pembangunan kwesewhatan harus diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Oleh sebab itu pembangunan kesehatan dalam kurun waktu 5 tahun ke depan ( tahun 2010-2014) harus lebih diarahkan pada beberapa hal prioritas.

Pembangunan kesehatan juga tidak terlepas dari komitmen Indonesia sebagai warga masyarakat dunia untuk ikut merealisasikan tercapainya Millenium development goals (MDGs), dalam MDGs tersebut, kesehatan dapat dikatakan sebagai unsur dominan, karena dari 8 agenda MDGs lima diantaranya berkaitan langsung dengan kesehatan dan 2 yang lain berkaitan tidak langsung. Lima agenda tersebut adalah pertama memberantas kemiskinan dan kelaparan, agenda ke empat menurunkan angka kematian anak, agenda ke lima meningkatkan kesehatan ibu, agenda ke enam memerangi HIV dan AIDS, malaria

(2)

2

dan penyakit lain, agenda ke tujuh melestarikan lingkungan hidup. Berkaitan dengan agenda 6 tersebut diatas sudah tentu peran petugas kesehatan baik di dinas, rumah sakit dan yang lebih utama dipuskesmas sangat dibutuhkan bagi masyarakat, seperti halnya dalam masalah penanganan penyakit menular salah satunya adalah penyakit demam typoid.

Penyakit ini tersebar merata diseluruh dunia mencapai 17 juta setahun dengan jumlah kematian mencapai 600.000 orang. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun, tersebar di mana-mana, dan ditemukan hampir sepanjang tahun, Deman thipoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini terma suk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang no 6 tahun 1962, tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian deman thipoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 -1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8 % yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insiden demam thipoid berfariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan ; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan di daerah urban di temukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi sarat kesehatan lingkungan. Case fatality rate (CFR) demam thipoid di tahun 1996 sebesar 1,08 % dari seluruh kematian di Indonesia.

Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan kejadian 600.000 kasus kematian tiap tahun (Anonim_c, 2008). Angka kejadian demam

(3)

3

tifoid diketahui lebih tinggi pada negara berkembang khususnya di daerah tropis. Sehingga tak heran jika demam tifoid banyak ditemukan di Indonesia. Di Indonesia, demam tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan kejadian antara 350 - 810 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya. Hasil Riset Dasar Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa persentase penduduk yang terjangkit demam tifoid dibandingkan dengan seluruh penduduk (prevalensi) di Indonesia sebesar 1,6% . Dua belas provinsi mempunyai prevalensi di atas angka nasional, yaitu Provinsi NAD, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawasi Selatan, Gorontalo, Papua Barat, dan Papua. Provinsi NAD merupakan prevalensi tifoid tertinggi yaitu sebesar 2,96%. Setelah ditelusuri ternyata penyumbang terbesar berasal dari kabupaten Aceh Utara.

Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan menyatakan demam tifoid disebabkan pencemaran air minum dan sanitasi yang buruk. Infeksi terjadi jika mengkonsumsi makanan yang disiapkan oleh penderita demam tifoid dengan higiene perorangan yang kurang baik (tidak mencuci tangan dengan baik setelah ke toilet). Penyakit Demam Typoid dari dahulu hingga sekarang selalu terjadi setiap tahunnya, tidak tergantung pada musim. Penyakit typhoid abdominalis disebabkan oleh kuman salmonella typhosa. Sumber penularan utama adalah penderita demam enterik dan carrier itu sendiri melalui tinja dan makanan yang tercemar oleh kuman salmonella thyposa. Penyakit ini dapat dicegah dengan cara menerapkan dasar-dasar hygiene dan kesehatan masyarakat.

Menilik dari profil puskesmas yang diambil dari profil tahun 2011 untuk 10 besar penyakit rawat inap, demam typoid menempati urutan ke 2 setelah observasi febris. Dan dari pasien sering terjadi pada anak anak dan dewasa muda, sebagian lagi mereka mempunyai riwayat pernah menderita typoid sebelumnya.Dari wacana tersebut maka perlulah mengenal demam typoid menjadi bahasan tersendiri yang kami buat dalam bentuk makalah.

(4)

4 B. TUJUAN

1.T ujuan Umum

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah epidemiologi Ilmu Penyakit Menular.

2. Tujuan Khusus

 Mahasiswa dapat mengerti tentang Ilmu Penyakit Menular “Demam Thypoid ”

 Mahasiswa mampu memahami pengertian, penyebab, riwayat alamiah penyakit,morfologi penyakit,distribusi penyakit, portal and exit penyakit, cara penularan dan cara pemberantasan untuk penyakit demam typoid dan tambahan lain yang akan kami cantumkan dalam makalah ini sebagai tambahan wawasan.

(5)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN

Demam Typoid adalah penyakit infeksi akut pada usus halus biasanya lebih ringan dan menunjukan manifestasi klinis yang sama dengan enteris akut , oleh karena itu pemyakit in disebut juga penyalit demam enterik , merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thyposa.Demam Typoid adalah penyakit infeksi akut yang menular, biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan kesadaran. Demam Thypus adalah suatu penyakit infeksi pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.(Rampengan,1990)

Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis,(SyaifullahlrNoer,1998).

Demam Typus adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, dan lebih banyak menyerang pada anak usia 12 – 13 tahun ( 70% - 80% ), pada usia 30 - 40 tahun (10%-20% ) dan diatas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak ( 5%-10% ). (Mansjoer, Arif 1999).

B. ETIOLOGI 1. Morfologi

Kuman berbentuk batang , tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi mempunyai flagel feritrik (fimbrae) , pada pewarnaan gram bersifat negatif,ukuran 2 – 4 mikrometer x 0,5 – 0,8 mikro meter dan bergerak dengan bulu getar, pada biakan agar koloninya besar bergaris tengah 2-8 milimeter, bulat, agak cembung, jernih , licin, tidak berspora dan tidak menyebabkan hemolisis.

(6)

6 i

Salmonella typhimorium Salmonella typhimorium

Salmonella typhi Salmonella sp

Salmonella spp bakteri sal pencernaan Salmonella typhi gross morfologi on hektoen

(7)

7 2. Fisiologi

Kuman tumbuh pada suasana aerob dan fulkuatif anaerob pada suhu 15 – 41 C (suhu pertumbuhan optimum 37 C ) dan pH pertumbuhan 6 -8 .Pada umumnya isolat kuman salmonella dikenal dengan sifat – safat , geraj ositif , reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbito positif dan memeberi hasil negatif pada reaksi indol. laktosa, voges, praskauer dan KCN.

Sebagian besar isolat salmonella yang berasal dari bahan klinik menghasilkan H2S. Salmonella Thyposa hanya membentuk sedikit H2S dan tidak membentuk gas fermentase glukosa. Pada agar SS, EMB , dan MacConkey koloni kuman berbentuk bulat , kecil dan tidak berwarna, pada agar wilson Blair koloni kuman berwarna hitam berkilat logam akibat pembentukan H2S. Memiliki minimal 3 antigen ( O, h, V1)

3. Daya Tahan

Kuman akan mati karena sinar matahari atau pada pemanasan dengan suhu 60o C selama 15 – 20 menit , juga dapat dibunuh dengan cara pasteurisasi , pendidihan , dan klorinasi pada keadaan kering . Dapat bertahan hidup pada es, salju dan air selama 4 minggu sampai berbulan – bulan . Disamping itu dapat hidup subur pada medium yang mengandung garam metil , tahan terhadap zat warna hijau brilian dan senyawa natrium tetratinoat dan natrium deoksilat . Senyawa – senyawa ini menghambat pertumbahan kuman kolifrom sehinggga senyawa – senyawa tersebut apat digunkan di dalam media untuk isolasi salmonella dalam tinja.

4. Cara Penularan

Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat

(8)

8

menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu. Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

C. MANIFESTASI KLINIS

Menifestasi klinis demam tifoid sangat luas dan bervariasi, dari manifestasi yang atipikal hingga klasik, dari yang ringan hingga complicated. Penyakit ini memiliki kesamaan dengan penyakit demam yang lainnya terutama pada minggu pertama sehingga sulit dibedakan, maka untuk menegakkan diagnosa demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium penunjang.

Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5 – 30 tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Masa inkubasinya umumnya 3-60 hari.

(9)

9

Manifestasi klinis secara umum bekaitan dengan perjalanan infeksi kuman. 1. Panas badan. Pada demam typhoid, pola panas badan yang khas adalah tipe step

ladder pattern dimana peningkatan panas terjadi secara perlahan-lahan, terutama pada sore hingga malam hari. Biasanya pada saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan utama demam yang diderita kurang lebih 5-7 hari yang tidak berhasil diobati dengan antipiretika.

2. Lidah tifoid. Pada pemeriksaan fisik, lidah tifoid digambarkan sebagai lidah yang kotor pada pertengahan, sementara hiperemi pada tepinya, dan tremor apabila dijulurkan.

3. Bradikardi relatif. Pada penderita tifoid peningkatan denyut nadi tidak sesuai dengan peningkatan suhu, dimana seharusnya peningkatan 10C diikuti oleh peningkatan denyut nadi sebanyak 8 kali/menit. Bradikardi relatif adalah keadaan dimana peningkatan suhu 10C diikuti oleh peningkatan nadi 8 kali/menit.

4. Gejala saluran pencernaan (anoreksia, mual, muntah, obstipasi, diare, perasaan tidak enak di perut dan kembung, meteorismus).

5. Hepatosplenomegali.

6. Gejala infeksi akut lainnya ( nyeri kepala, pusing, nyeri otot, batuk, epistaksis). 7. Gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. D. PENDEKATAN DIAGNOSIS

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta

(10)

10

gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (1) isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot, (2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi, dan (3) pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.

Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas, umumnya ditandai dengan leukopenia, limfositosis realtif dan menghilangnya eosinofil (aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.

Diagnosis demam tifoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik namun identifikasi kuman S.typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin dan tinja, positif setelah terjadi

(11)

11

septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang dan kelenjar limfe atau jaringan retikulo endotelial lainnya sering masih positif setelah darah steril. Pemeriksaan Widal, meskipun kegunaannya masih banyak diperdebatkan, jika interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan memperdebatkan sensitivitas, spesifitas, serta perkiraan nilai Widal pada laboratorium dan populasi setempat, maka angka Widal cukup bermakna.

Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S.typhi dari darah, urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah.

Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10% penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali.

Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.

Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik.

(12)

12

Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap.

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi (karier). Meskipun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point). Interpretasi pemeriksaan Widal harus hati-hati karena banyak faktor yang mempengaruhi antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, gambaran imunologis dari masyarakat setempat

(13)

13

(daerah endemis atau non endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang.

E. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT 1. Tahap Prepatogenesis

Tahap ini sudah terjadi interaksi antara host dengan bibit penyakit (salmonella typi), Tetapi interaksi masih diluar, bibit penyakit belum masuk ke tubuh manusia, sehingga daya tahan tubuh masih kuat, host dinyatakan sehat. 2. Tahap Patogenesis

Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5 – 30 tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Masa inkubasinya umumnya 3-60 hari.

Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1) proses invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan hidup dalam makrofag dan (3) proses berkembang biaknya kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular.

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai di lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non-spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.

Untuk menimbulkan infeksi diperlukan S.typhi sebanyak 105-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat

(14)

14

menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrotektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut S.typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.

Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S.typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman.

3. Tahap Penyakit Dini

Penyakit tidak datang dengan sekaligus tetapi datangnya secara berangsur, didahului dangan sakit kepala , badan lesu , tidak bersemangat,nafsu makan bekurang, kadang – kadang disertai batuk dan sakit perut. Dalam minggu pertama suhu tubuh meninggi secara bertingkat seperti jenjang berangsur dari suhu normal sampai mencapai 38 – 40 C. Suhu tubuh lebih meninggi pad sore hari dan malam hari di banding pada pagi hari . Denut nadi teras perlahan , jadi pada saat ini trdapat bradikardi relatif , sedangkan biasanya pada suhu tinggi pada penyakit panas lainnya nadi pun ikut cepat juga . Buang air besar biasanya terganggu , dan terdapat lidah putih serta kotor , tepi lidah terlihat merah , kelihatan lidah gemetar, timbul bintik – bintik di dada dan di perut pada awal penyakit selama kira – kira 5 hari pertama , kemudian tanda – tanda inj akan menghilang , dan bisa menimbulkan infeksi pada kelenjar usus halus.

(15)

15 4. Tahap Penyakit Lanjut

Pada minggu kedua akan timbul pus pada usus halus tersebut, dimana penderita terlihat menderita sakit berat , muka kelihatan pucat , lidah kering, serta diliputi oleh lapisan lendir kental, nafsu makan berkurang , kadang – kadang ada juga penderita yang mencret disertai sakit perut. Dalam minggu ketiga gejala akan terlihat lebih jelas lagi yaitu perut akan terasa sakit sekali , tidak buang air besar , denyut nadi cepat dan lemah , kesadaran menurun kadang – kadang sampai tak sadar .

5. Tahap Akhir Penyakit

Pada stadium lanjut tadi bila terjadi pendarahan usus , dapat menimbulkan kematian. Bila tidak terjadi komplikasi lebih lanjut , maka penyakit berangsur sembuh . Suhu tubuh akan menurun secara lisis pada minggu ketiga , gejala – gejala lain pun akan menghilang pula. Lidah mulai kelihatan bersih , namun begitu pada saaat ini kita harus berhati – hati juga mengingat penyakit ini masih bisa kambuh kembali .

F. PENYEBARAN PENYAKIT

Demam tifoid adalah penyakit yang penyebarannya melalui saluran cerna (mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar, dstnya). S typhi masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar. Cara penyebarannya melalui muntahan, urin, dan kotoran dari penderita yang kemudian secara pasif terbawa oleh lalat (kaki-kaki lalat). Lalat itu mengontaminasi makanan, minuman, sayuran, maupun buah-buahan segar. Saat kuman masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam lambung dan sebagian kuman masuk ke usus halus. Dari usus halus itulah kuman beraksi sehingga bisa ” menjebol” usus halus. Setelah berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain).Jika demikian keadaannya, kotoran dan air seni penderita bisa mengandung kuman S typhi yang siap menginfeksi manusia lain

(16)

16

melalui makanan atau pun minuman yang dicemari. Pada penderita yang tergolong carrier (pengidap kuman ini namun tidak menampakkan gejala sakit), kuman Salmonella bisa ada terus menerus di kotoran dan air seni sampai bertahun-tahun. S. thypi hanya berumah di dalam tubuh manusia. Oleh kerana itu, demam tifoid sering ditemui di tempat-tempat di mana penduduknya kurang mengamalkan membasuh tangan manakala airnya mungkin tercemar dengan sisa cucian.

Sekali bakteria S. thypi dimakan atau diminum, ia akan membagi dan merebak ke dalam saluran darah dan badan akan menunjukkan beberapa gejala seperti demam. Pembuangan kotoran disembarang tempat dan hinggapan lalat (lipas dan tikus) yang akan menyebabkan demam tifoid.

G. PORTAL ENTRY AND PORTAL EXIT

Salmonella typhi menyerang usus halus, hati,limfe didapat dalam tinja, muntahan dengan perantara lalat, sehingga portal of exitnya adalah saluran pencernaan. Salmonella typosa ini di luar dapat bertahan di lingkungan air, es, sampai berbulan-bulan tapi akan mati bila suhu panas 60 derajat dengan waktu pemanasan 10-15 menit. Jadi suhu dingin sangat menguntungkan bagi salmonella typhi untuk bertahan diluar tubuh dan menemukan media transmisi untuk memasuki host lain dan berkembang biak . media transimisi disini bisa melalu air termasuk susu, makanan yang sudah terkontaminasi, ludah, faeses yang ditularkan melalui perantara lalat.

Dari media transmisi tersebut agent masuk melalui mulut kemudian sampai ke saluran pencernaan diserap di usus halus sampai ke peredaran darah masuk ke hati, limfe. Jadi portal of entrynya adalah melalui oral.

Didalam tubuh, salmonella thypi bila dapat berkembangbiak dengan cepat maka kemungkinan host akan terpapar penyakit, disamping itu daya tahan tubuh juga menentukan timbulnya penyakit, jika kondisi tubuh lemah sedangkan agent berkembangbiak cepat maka dimungkinkan host akan jatuh sakit sehingga host disini sebagai host baru 1 dan begitu seterusnya akan menyebabkan melalui media transmisi 2 dan seterusnya portal of entry 2 dan host baru 2.

(17)

17 H.KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid adalah komplikasi intestinal berupa perdarahan sampai perforasi usus. Perforasi terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan usus yang berat ditemukan pada 1-10% anak dengan demam tifoid. Komplikasi ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit. Komplikasi ini umumnya didahului dengan suhu tubuh dan tekanan darah menurun, disertai dengan peningkatan denyut nadi. Perforasi jarang terjadi tanpa adanya perdarahan sebelumnya dan sering terjadi di ileum bagian bawah. Perforasi biasanya ditandai dengan peningkatan nyeri abdomen, kaku abdomen, muntah-muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defence muskular, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain.

Adanya komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, diorientasi, delirium, obtudansi, stupor bahkan koma. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karies).

Sistitis dan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis buruk. Pneumonia sebagai komplikasi sering dijumpai pada demam tifoid, seringkali akibat infeksi sekunder oleh kuman lain.

Komplikasi lain yang juga dapat terjadi adalah enselopati, trombosis serebral, ataksia, dan afasia, trombositopenia, koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome, fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian. Dilaporkan pula komplikasi berupa orkitis, endokarditis, osteomielitis, artritis, parotitis, pankreatitis, dan meningitis.

(18)

18

Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah penghentian antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya.

I. CARA PEMBERANTASAN 1. Cara-cara pencegahan

a. Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman, sediakan fasilitas untuk mencuci tangan secukupnya. Hal ini terutama penting bagi mereka yang pekerjaanya sebagai penjamah makanan, juga bagi mereka yang pekerjaanya merawat penderita dan mengasuh anak-anak

b. Buanglah kotoran pada jamban yang saniter dan yang tidak terjangkau oleh lalat. Pemakaian kertas toilet yang cukup untuk mencegah kontaminasi jari. Ditempat yang tidak ada jamban, tinja ditanam jauh dari sumber air dihilir. c. Lindungi sumber air masyarakat dari kemungkinan terkontaminasi. Lakukan

pemurnian dan pemberian clorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada masyarakat. Sediakan air yang aman bagi perorangan dan rumah tangga. Hindari kemungkinan terjadinya pencemaran (backflow) antara system pembuangan kotoran (sewer system) dengan system distribusi air. Jika bepergian untuk tujuan piknik atau berkemah air yang akan dimunum sebaiknya direbus atau diberi bahan kimia.

d. Berantas lalat dengan menghilangkan tempat berkembang biak mereka dengan system pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik. Lalat dapat juga diberantas dengan menggunakan umpan, pemasangan kasa. Jamban konstruksinya dibuat sedemikian rupa agar tidak dapat dimasuki lalat.

e. Terapkan standar kebersihan pada waktu menyiapkan dan menangani makanan, simpan makanan dalam lemari es pada suhu yang tepat. Perhatian khusus harus diberikan pada salad dan makanan lain yang dihidangkan dalam keadaan dingin. Standar kebersihan ini berlaku untuk makanan yang disiapkan

(19)

19

dirumah tangga maupun yang akan disajikan untuk umum. Jika kita kurang yakin akan standar kebersihan ditempat kita makan, pilihlah makanan yang panas dan buah-buahan sebaiknya dikupas sendiri.

f. Lakukan pasteurisasi terhadap susu dan produk susu. Lakukan pengawasan yang ketat terhadap sanitasi dan aspek kesehatan lainnya terhadap produksi, penyimpanan dan distribusi produk susu.

g. Terapkan peraturan yang ketat tentang prosedur jaga mutu terhadap industry yang memproduksi makanan dan minuman. Gunakan air yang sudah diclorinasi untuk proses pendinginan pada waktu dilakukan pengalengan makanan.

h. Batasi pengumpulan dan penjualan kerang-kerangan dari sumber yang jelas dan tidak tercemar. Rebuslah kerang sebelum dihidangkan.

i. Beri penjelassan yang cukup kepada penderita, penderita yang sudah sembuh dan kepada carrier tentang cara-cara menjaga kebersihan perorangan. Budayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan.

j. Promosikan pemberian air susu ibu kepada bayi yang sedang menyusui. Rebuslah susu dan air yang akan dipakai untuk makanan bayi.

k. Carrier dilarang untuk menangani/menjamah makanan dan dilarang merawat penderita. Lakukan identifikasi terhadap carrier dan lakukan pengawasan terhadap mereka. Pembuatan kultur dari sampel limbah dapat membantu untuk menentukan lokasi carrier. Carrier kronis harus diawasi dengan ketat dan dilarang melakukan pekerjaan yang dapat menularkan penyakit kepada orang lain. Yang bersangkuatan dapat dibebaskan dari larangan ini apabila sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu tiga kali berturut-turut sampel faeces yang diperiksa menunjukan hasil negatif, khusus untuk daerah endemis schistosomiasis sampel yang diambil adalah sampel urine. Sampel diambil dengan interval satu bulan dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir. Sampel yang baik adalah faeces segar. Dan dari tiga sampel yang berturut diambil dengan hasil negatif minimal satu sampel harus diambil dengan cara melalukan lavemen/klisma. Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini

(20)

20

menemukan bahwa penggunaan dari derivate quinolone yang baru diberikan secara oral memberikan hasil yang baik untuk mengobati carrier walaupun ada kelainan empedu, untuk mengetahui apakah telah terjadi penyembuhan perlu dilakukan pemeriksaan culture.

l. Untuk demam typhoid pemberian imunisasi tidak dianjurkan di AS. Saat ini imunisasi hanya diberkan kepada mereka dengan resiko tinggi seperti petugas laboratorium mikrobiologis, mereka yang bepergian ke daerah endemis dan tinggal di daerah endemis, anggota keluarga dengan carrier. Vaksin yang tersedia adalah vaksin oral hidup yang mengandung salmonella typhi strain Ty21a (diperlukan 3-4 dosis dengan interval 2 hari) dan vaksin parenteral yang beredar adalah vaksin dosis tunggal yang berisi Vi antigen polisakarida. Vaksin oral yang berisi Ty21a jangan diberikan kepada penderita yang sedang mendapatkan pengobatan antibiotika atau pengobatan anti malaria, mefloquine. Oleh karena sering menimbulkan efek samping yang berat maka vaksin “whole cell” yang diinaktivasi dianjurkan untuk tidak digunakan. Vaksin dosis tunggal yang mengandung Vi antigen polisakarida adalah vaksin pilihan, karena kurang reaktogenik.

Dosis booster perlu diberikan kepada mereka yang secara terus menerus mempunyai resiko tertular. Booster diberikan dengan interval antara 2-5 tahun tergantung jenis vaksinnya.

Demam paratifoid : ujicoba dilapangan dengan menggunakan vaksin oral tifoid (Ty21a) memberikan perlindungan parsial terhadap paratifoid, namun perlindungan yang diberikan tidak sebaik terhadap typhoid.

2. Pengawasan penderita, kontak dengan lingkungannya

a. Laporan kepada institusi kesehatan setempat; typhoid wajib dilaporkan disebagian besar Negara bagian dan Negara di dunia, kelas 2A (lihat pelaporan penyakit menular)

b. Isolasi: Pada waktu sakit, lakukan kewaspadaan enterik; sebaiknya perawatan dilakukan dirumah sakit pada fase akut. Supervi terhadap penderita dihentikan apabila sampel yang diambil 3 kali berturut-turut dengan interval 24 jam dan 48

(21)

21

jam setelah pemberian antibiotika terakhir memberikan hasil negative. Pengambilan sampel tidak boleh kurang dari satu bulan setelah onset. Sampel yang diambil adalah faeces dan urine untuk penderita didaerah endemis schistosomiasis. Jika salah satu sampel member hasil positif maka ulangi pembuatan kultur dengan interval satu bulan selama 12 bulan setelah onset, sampai 3 kali berturut-turut sampel yang diambil hasilnya negative.

c. Desinfeksi serentak: Desinfeksi dilakukan terhadap tinja, urine dan alat- alat tercemar. Dinegara maju dengan fasilitas system pembuangan kotoran yang baik, faeces dapat dibuang langsung kedalam system tanpa perlu dilakukan desinfeksi terlebih dahulu. Dilakukan pembersihan menyeluruh.

d. Karantina : Tidak dilakukan

e. Imunisasi terhadap kontak : Pemberian imunisasi rutin terhadap anggota keluarga, petugas kesehatan dengan vaksin typhoid kurang begitu bermanfaat walaupun mereka terpajan dengan penderita typhoid. Namun vaksinasi masih bermanfaat diberikan kepada mereka yang terpajan dengan carrier. Tidak ada vaksin yang efektif untuk demam paratyphoid A.

f. Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : Sumber infeksi yang sebenarnya dan sumber infeksi yang potensial harus diidentifikasi dengan cara melakukan pelacakan penderita yang tidak dilaporkan, carrier dan melacak makanan, susu, air, kerang-kerangan yang terkontaminasi. Seluruh anggota grup pelancong yang salah satu anggotanya adalah penderita typhoid harus diamati Titer antibody terhadap purified Vi polysaccharide mengidentifikasikan yang bersangkutan adalah carrier. Jika ditemukan tipe phage yang sama pada organisme yang diisolasi dari penderita dan carrier menunjukan telah terjadi penularan.

g. Pengobatan spesifik : Meningkatnya resistensi terhadap berbagai macam strain menentukan jenis obat yang dipakai untuk terapi secara umum, untuk orang dewasa ciprofloxacin oral dianggap sebagai obat pilihan terutama untuk penderita typhoid di Asia.

Belakangan ini dilaporkan bahwa telah terjadi penurunan sensitivitas pada penelitian in vivo terhadap berbagai strain Asia. Untuk strain local yang masih

(22)

22

sensitive terhadap pengobatan maka obat-obatan oral seperti kloramfenikol, amoxicillin atau TMP-SMX (untuk anak-anak) masih cukup efektif untuk mengobati penderita akut.

3. Penanggulangan wabah

a. Lakukan pelacakan secara intensif terhadap penderita dan carrier yang berperan sebagai sumber penularan. Cari dan temukan media (air, makanan) yang tercemar yang menjadi sumber penularan.

b. Lakukan pemusnahan terhadap makanan yang diduga sebagai sumber penularan.

c. Lakukan pasteurisasi atau rebuslah susu yang akan dikonsumsi. Singkirkan seluruh suplai susu dan makanan yang diduga tercemar untuk tidak dikonsumsi pada saat sampai diketahui bahwa susu dan makanan tersebut aman untuk dikonsumsi.

d. Terhadap sumber air yang diduga tercemar dilakukan klorinasi sebelum digunakan dengan supervisi yang ketat. Apabila tindakan klorinasi tidak dapat dilakuakan, air dari sumber yang diduga tercemar tersebut jangan digunakan, semua air minum harus diklorinasi, diberi iodine atau direbus sebelum diminum. e. Pemberian imunisasi secara rutin tidak dilakukan.

4. Implikasi bencana

Di daerah/tempat penampungan pengungsi dimana persediaan air sangat terbatas dan fasilitas pembuangan kotoran tidak memadai serta tidak ada pengawasan terhadap makanan dan air, kemungkinan terjadi penularan penularan demam typhoid sangat besar apabila diantara para pengungsi tersebut terdapat penderita aktif atau carrier. Untuk mencegah terjadinya penularan dikalangan para pengungsi maka lakukan upaya untuk memperbaiki fasilitas untuk penyediaan air minum dan fasilitas pembuangan kotoran.

Pemberian imunisasi bagi kelompok-kelompok tertentu dapat dilakukan seperti terhadap anak sekolah, penghuni penjara, penghuni fasilitas tertentu, personil/staff rumah sakit atau terhadap pegawai kantor pemerintahan

(23)

23

kabupaten/kota. Memberikan imunisasi terhadap kelompok ini cukup bermanfaat karena mereka hidup dalam komunitas yang terorganisir.

5. Tindakan internasional

a. Untuk demam typhoid: pemberian imunisasi dianjurkan untuk diberikan terhadap para wisatawan yang berkunjung kedaerah endemis, terutama apabila didaerah tersebut para wisatawan diduga akan terpajang dengan air dan makanan yang tercemar atau wisatawan diduga akan kontak dengan penduduk asli daerah pedesaan. Imunisasi tidak diwajibkan bagi wisatawan yang akan berkunjung kesuatu Negara.

b. Untuk demam typhoid dan paratyphoid manfaatkan pusat-pusat kerjasama WHO

J. PENATALAKSANAAN a. Perawatan.

1) Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah komplikasi perdarahan usus.

2) Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi perdarahan.

b. Diet.

1) Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein. 2) Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.

3) Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.

4) Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.

c. Obat-obatan. 1) Klorampenikol 2) Tiampenikol 3) Kotrimoxazol

(24)

24 d. Pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :

1. Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.

2. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.

3. Biakan darah Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.

Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :

a) Teknik pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia

b) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit. Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.

c) Vaksinasi di masa lampau Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.

(25)

25

d) Pengobatan dengan obat anti mikroba. Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.

4. Uji Widal.

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).

3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :

1) Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi. 2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai

dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.

3) Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.

4) Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.

(26)

26

5) Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.

6) Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

7) Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.

8) Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.

(27)

27

DAFTAR PUSTAKA

Behirman, Richard E. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 12. Jakarta : EGC. Betz, Cecily L. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatrik Edisi 3. Jakarta : EGC.

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.

Suriadi dan Yulaini, Rita. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 1. Jakarta : PT Fajar Intan Pratama.

Marylin E Doengoes. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 . EGC. Jakarta. 1999. Nyastiyah. Seri Perawatan Anak, Gangguan Sistem Pencernaan. EGC. Jakarta. 1995.

Purnawan Junaidi, dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 2. Media Aesculapius. FKUI.Jakarta. 1982.

Sylvia A Price, dkk. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. EGC . Jakarta 1995.

Harrison, Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Editor Penterjemah Prof.Dr. Ahmad H. Asdie, Sp.PD-KE,EGC,1995

James Chin,MD,MPH Editor Penterjemah Dr. I Nyoman Kandun, MPH Manual Pemberantasan Penyakit Menular edisi 17 cetakan II tahun 2006 Ehsablog.com/76 html

Nyoman Kandun.typoid.com/sitebuilder content/…/manual p2m.pdf www.irwanashari.com/pdf/riwayat-alamiah-penyakit.html

Referensi kedokteran.blogspot.com/2010/07/Demam.typoid.html Data tp.ac.id/dokumen/epidemiologi+typoid

www.scribel.com/doc/39499536/makalah- typoid 17 oktober 2010 sodiycxacun.web.id

thailabonline.com

riezakirah.wordpress.com yudhiestar blogspot.com flickr.com

(28)

Referensi

Dokumen terkait

minimum 300 Ma, sedangkan RS Kusta Kediri hanya memiliki alat Mobile Unit dengan kapasitas 150 Ma, maka dari itu pemeriksaan di unit radiologi RS Kusta Kediri terbatas

Wiki juga ialah alat komunikasi dan kerjasama dalam laman web yang boleh digunakan bagi menggalakkan pelajar untuk belajar dengan orang lain dalam satu

Penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa tutupan lahan penting pada wilayah perkotaan seperti ruang terbuka hijau berkayu, ruang terbuka hijau pertanian, badan air, permukiman

Dengan sasaran partai politik yang ada di Kabupaten Pelalawan, partai-partai politik yang sepakat untuk berkoalisi, serta pasangan calon bupati dan wakil bupati

Pada penelitian ini, perbandingan sudut azimuth dan elevasi yang digunakan pada satelit incline dengan menggunakan Two Line Elements akan dibandingkan dengan

1) Untuk membentuk daun agar mengelinting/menggulung. 2) Untuk memecahkan dinding sel pucuk daun teh sehingga cairan keluar di permukaan daun dengan merata. 3) Memperoleh bubuk

dalam SSA untuk meramalkan produksi bawang merah, kemudian hasil ketiga metode tersebut akan dibandingkan dengan mengukur ketepatan peramalannya dengan menggunakan MAPE..