• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecoa Sebagai Korpus Alineum pada Liang Telinga Seorang Awak Kapal Richard Pieter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kecoa Sebagai Korpus Alineum pada Liang Telinga Seorang Awak Kapal Richard Pieter"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

D A F T A R I S I

E d i t o r i a l

R e t n o W a h y u n i n g s i h

The Incidence of Trichomonas vaginalis Infection among Female Commercial Sex Workers in North Jakarta

Agus Aulung, Widiastuti S. Manan, Rizal Subahar……….51-55

Kecoa Sebagai Korpus Alineum pada Liang Telinga Seorang Awak Kapal

Richard Pieter...56-60

Penatalaksanaan Fraktur Dentoalveolar

Togi Sirait,

Sri Rahayu

, Merry Sibarani, Yastini Raizal, Gemala Birgitta...61-65

Pemeriksaan Polymerase Chain Reactions (PCR) untuk Deteksi Leptospira spp. pada Penderita Leptospirosis

I Made Setiawan...66-73

Makanan Anak Bawah Dua Tahun

Sihadi...74-80

Kepekaan Aedes aegypti terhadap Mikrofilaria Dirofilaria immitis

Zulhasril, Esther...81-88

(2)

2

Majalah Kedokteran FK UKI 2008 Vol XXVI No.2 April - Juni Tinjauan Pustaka

Penatalaksanaan Fraktur Dentoalveolar

Togi Sirait, Sri Rahayu, Merry Sibarani, Yastini Raizal, Gemala Birgitta

Bagian Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Abstrak

Fraktur dentoalveolar merupakan kasus yang sering ditemui dalam praktik kedokteran gigi. Fraktur tersebut paling banyak disebabkan oleh kecelakaan ringan seperti jatuh, benturan saat bermain atau berolahraga, dan kecelakaan lalu lintas. Lokasi fraktur dentoalveolar umumnya di regio anterior wajah. Perawatannya tergantung pada gejala klinis, dengan tujuan mengembalikan fungsi pengunyahan senormal dan sesegera mungkin.

Kata kunci : trauma, fraktur dentoalveolar, perawatan

The treatment of Dentoalveolar fracture

Abstract

Dentoalveolar fracture is a case commonly found by general dental practitioners. The fracture is mostly due to minor accidents, such as falls, collisions during play or sport and due to traffic accidents. The most frequent affected area is the anterior face region. The treatment of dentoalveolar fracture depends on the clinical signs, with the main goal is to re-establish the normal mastication’s function deliberately.

(3)

3

Pendahuluan

Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi tanpa atau disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi akibat kecelakaan ringan seperti jatuh, benturan saat bermain, berolahraga atau iatrogenik.1,2

Menurut Tiwana,3 epidemiologi fraktur dentoalveolar serupa dengan epidemiologi fraktur maksilofasial. Puncak insidensi terjadi pada anak usia 2 - 3 tahun, sebagai akibat sekunder

perkembangan koordinasi

neuromuskular. Pada gigi tetap, puncak insidensi terjadi pada anak usia 10 tahun saat dimulainya aktivitas atletik. Etiologi yang paling sering dilaporkan adalah akibat jatuh dan kecelakaan olahraga. Seiring pertambahan usia, etiologi paling banyak adalah kecelakaan lalu lintas dan perkelahian. 3,4

Klasifikasi fraktur dentoalveolar menurut WHO tahun 1995 terdiri atas empat tipe rudapaksa yaitu (1) tipe 1 yang menyangkut jaringan keras gigi dan pulpa; (2) tipe 2 yang mengenai jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar, (3) tipe 3 fraktur pada jaringan periodontal, seperti luksasi dan avulsi gigi (4) tipe 4 pada jaringan lunak, seperti abrasi dan laserasi gingiva atau mukosa.3

Penegakan Diagnosis

Pemeriksaan terhadap pasien meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terdiri atas keadaan umum, kondisi ekstra oral dan intra oral. Dari anamnesis dapat diketahui mekanisme trauma, yang berguna untuk mengetahui ada tidaknya fraktur di bagian tubuh

lain.3,5 Keadaan umum pasien dengan fraktur dentoalveolar yang berdiri sendiri biasanya baik, dengan kesadaran kompos mentis. Apabila disertai cedera kepala dan fraktur serta vulnus di bagian tubuh lain yang dapat menimbulkan gangguan pernafasan, sirkulasi, atau neurologi, maka kesadaran dapat menurun.

Pada pemeriksaan ekstra oral dapat ditemukan asimetri wajah berupa bengkak di bibir, hematoma, abrasi, dan laserasi. Kedalaman laserasi sebaiknya diperiksa untuk mengetahui apakah ada struktur vital yang terlibat, seperti duktus kelenjar parotis atau nervus fasialis.2,5 Pemeriksaan intra oral meliputi jaringan lunak dan jaringan keras. Trauma di anterior biasanya mengakibatkan kerusakan bibir yang parah. Hematoma sering ditemukan dan pada palpasi dapat teraba kepingan gigi atau benda asing yang tertanam di jaringan lunak. Bibir bawah dapat tergigit sehingga terjadi laserasi. Bila gigi avulsi, pada gingiva akan tampak luka seperti bekas ekstraksi. Selain itu bisa ditemukan juga laserasi gingiva dan deformitas tulang alveolar. Pada anterior mandibula dapat terjadi degloving, yaitu sobekan horisontal di sulkus labialis pada perbatasan attached dan free gingiva, bila pasien jatuh tertelungkup dan terseret ke depan. Sobekan terjadi di periosteum dan pada kasus yang parah saraf mentalis dapat terbuka.1,2,6

Pada gigi dapat terjadi fraktur mahkota, dengan atau tanpa terbukanya kamar pulpa, dengan perkusi yang positif. Gigi dapat goyang, bergeser ke segala arah, ekstrusi, intrusi dan bahkan avulsi. Perubahan tersebut dapat menimbulkan maloklusi. Gigi yang tidak tampak bergeser tetapi goyang dicurigai telah mengalami fraktur akar, baik vertikal maupun horisontal. Fraktur yang

(4)

4 paling sulit dideteksi adalah fraktur akar yang stabil dan retak vertikal mahkota gigi posterior. Dalam keadaan itu harus dilakukan sondasi, perkusi dan tekan. Bila ada gigi yang tampak hilang, perlu dipastikan bahwa tidak ada akar gigi yang tertinggal. Trauma pada gigi posterior dapat disebabkan benturan rahang atas oleh rahang bawah sehingga gigi dapat terbelah secara vertikal. Serpihan gigi dapat tertanam di jaringan lunak, tertelan, atau terinhalasi pada pasien yang kehilangan kesadaran. Pada keadaan demikian perlu dibuat foto toraks.1-3,5

Kegoyahan beberapa gigi dalam satu segmen menunjukkan fraktur tulang alveolar. Fraktur alveolar dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur gigi. Fraktur alveolar di mandibula lebih sering merupakan bagian dari fraktur komplit mandibula, sedangkan di maksila lebih sering berdiri sendiri. Gigi yang terdapat dalam fragmen fraktur harus dicurigai vitalitasnya. Fraktur tulang alveolar dapat terbuka atau tertutup, tunggal atau multipel. Pada saat pemeriksaan awal dapat dilakukan reposisi fragmen yang goyah, karena semakin cepat hal itu dilakukan semakin baik prognosis gigi geliginya. Setiap fragmen harus diperiksa untuk melihat apakah lengkap atau tidak lengkap. Fraktur alveolar di maksila paling sering terjadi di regio insisif. Fraktur tuberositas maksilaris dan dasar antrum merupakan komplikasi ekstraksi gigi molar atas yang sering terjadi.1-3,7

Pemeriksaan radiografis yang paling sering digunakan untuk evaluasi fraktur dentoalveolar adalah foto dental dan panoramik.1,3,5

Penatalaksanaan

Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera mungkin,

karena penundaan perawatan akan mempengaruhi prognosis gigi geligi. Bila fraktur dentoalveolar merupakan bagian dari fraktur wajah yang lebih serius, perawatan dapat dilakukan secara efektif untuk menstabilkan keadaan umum pasien terlebih dahulu.

Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk dan fungsi organ pengunyahan senormal mungkin. Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh keadaan umum dan usia pasien serta kompleksitas fraktur.1,6,8

Trauma pada Gigi Sulung

Perawatan gigi sulung yang mengalami trauma pada umumnya tidak berbeda dengan perawatan gigi tetap. Gigi sulung yang intrusi biasanya akan erupsi secara spontan. Gigi yang tidak terlalu bergeser dan tidak menyebabkan gangguan oklusi dapat diobservasi saja. Fraktur dentoalveolar yang kompleks pada gigi sulung jarang terjadi karena elastisitas tulang alveolar.1,3,5

Trauma pada Gigi Tetap

A. Trauma yang mengenai jaringan keras gigi

1. Fraktur mahkota

Fraktur email hanya memerlukan penghalusan bagian yang tajam, atau penambalan dengan komposit. Fraktur dentin sebaiknya ditambal sesegera mungkin, khususnya pada pasien muda karena penetrasi bakteri melalui tubulus dentin cepat terjadi. Penambalan dengan semen kalsium hidroksida dan restorasi komposit sudah cukup ideal. Bila patahan gigi cukup besar, fragmen mahkota dapat disemen

(5)

5 kembali menggunakan resin komposit. Fraktur pulpa dapat dirawat dengan pulp capping, pulpotomi, atau ekstirpasi pulpa.1,3,5 2. Fraktur akar

Fraktur mahkota yang oblik dapat meluas ke subgingiva (fraktur mahkota-akar). Bila garis fraktur tidak terlalu jauh ke apikal dan pulpa tidak terbuka, cukup ditambal dengan restorasi komposit. Bila fraktur meluas sampai jauh ke apikal, atau bila gigi terbelah secara vertikal, umumnya ekstraksi harus dilakukan.1 Fraktur akar horizontal prognosisnya tergantung pada garis fraktur. Bila garis fraktur terletak di dekat gingiva, fragmen mahkota dapat diekstraksi dan dilakukan perawatan endodontik serta pembuatan mahkota pasak. Bila garis fraktur terletak jauh ke apikal, gigi sebaiknya diekstraksi.1,3,5

B. Trauma yang mengenai jaringan periodontal

1. Malposisi

Gigi yang luksasi, ekstrusi dan intrusi direposisi dan di-splint untuk imobilisasi gigi selama 7-21 hari. Setelah periode imobilisasi selesai vitalitas gigi tersebut harus diperiksa.1-3

2. Avulsi

Gigi yang avulsi dapat direplantasi dengan memperhatikan sejumlah faktor, yaitu tahap perkembangan akar, lamanya keberadaan gigi di luar soket, lamanya penyimpanan dan media yang digunakan. Idealnya replantasi dilakukan sesegera mungkin. Sebaiknya dipastikan bahwa sel

ligamen periodontal tidak mengering, yakni tidak lebih dari 30 menit. Kemudian dilakukan imobilisasi dengan pemasangan splint.1,3

C. Trauma yang mengenai tulang alveolar

Perawatan fraktur tulang alveolar biasanya hanya memerlukan anastesi lokal, dan paling baik dilakukan segera setelah trauma. Reduksi tertutup fraktur alveolar tertutup biasanya dilakukan dengan manipulasi jari yang diikuti dengan splinting. Imobilisasi tersebut harus menyertakan beberapa gigi yang sehat. Fiksasi intermaksilar kadang-kadang diperlukan bila fragmen fraktur sangat besar, atau bila prosedur splinting tidak menghasilkan imobilisasi yang adekuat, dengan memperhatikan oklusi yang benar. Reduksi terbuka jarang dilakukan untuk fraktur alveolar, kecuali bila merupakan bagian dari perawatan fraktur rahang.1,3,7

Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan komunikasi oro antral, harus dilakukan penutupan segera dengan flap bukal. Pasien diberi obat tetes hidung ephedrine 0,5 persen untuk membantu drainase antral, dan antibiotik untuk mencegah timbulnya fistula oro-antral.1,2

D. Trauma yang mengenai jaringan lunak mulut

Fraktur dentoalveolar hampir selalu disertai vulnus. Prinsip perawatannya terdiri atas pembersihan, pembuangan jaringan nekrotik (debridement), penghentian perdarahan dan penjahitan.6 Pada bagian dalam laserasi degloving sering ditemukan debris atau kotoran tanah, sehingga debridement perlu diikuti dengan irigasi yang cermat.1

(6)

6 Fraktur dentoalveolar sering mengakibatkan luka terbuka, sehingga perlu diberikan antibiotik profilaksis dan obat kumur antiseptik.7,8

Kesimpulan

Fraktur dentoalveolar dapat berdiri sendiri atau terjadi bersamaan dengan fraktur pada wajah dan bagian tubuh lainnya. Perawatan komprehensif dilakukan setelah perbaikan keadaan umum pasien tercapai, bersama dengan disiplin ilmu yang terkait. Diagnosis fraktur dentoalveolar ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik ekstra oral dan intra oral, serta

pemeriksaan penunjang.

Penatalaksanaan fraktur dentoalveolar pada gigi sulung tidak berbeda jauh dengan gigi tetap. Setiap struktur yang terlibat sebaiknya diperiksa dengan seksama. Vitalitas, warna dan kegoyangan gigi harus dimonitor untuk mengetahui perlu tidaknya perawatan lebih lanjut.

Daftar Pustaka

1. Banks P, Brown A. Fractures of the facial skeleton. Wright; 2001.p.40-2,72-9

2. Killey HC. Fractures of the middle third of the facial skeleton, 3rd ed. Bristol: John Wright & Sons Ltd, 1977

3. Tiwana P.Dentoalveolar trauma. Diunduh dari

http://www.cmf.hyperguides.com/tutorials/d ento_trauma Maret 2008

4. Mendes F. A prospective study of dentoalveolar trauma at the Hospital das Clinicas, Sao Paulo University Medical School. Diunduh dari http://www.scielo.br/cgi-bin/fbpe/fb-text Maret 2008

5. Ellis E. Soft tissue and dentoalveolar injuries. Dalam: Peterson LJ, Ellis E, Hupp J, Tucker M. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th eds. St.Lauis. Mosby Inc. 2003.

6. Radford G. Treatment of injured tissues (dentoalveolar). Diunduh dari http://www.almedadental.com/onlineforums/ consent.htm Maret 2008

7. Pedersen G. Oral surgery. Philadelphia; W.B. Saunders Company, 1988.p.234-8 8. Kruger G. Textbook of oral surgery. 4th eds.

Referensi

Dokumen terkait

Prosentase pertambahan masa kayu (MPG) dengan perlakuan colloidal silica, asam borat, boraks dan garam metaborat dapat dilihat pada Gambar 2.. Pada gambar tersebut terlihat

Sekat dengan lapisan gempal berbahan kain katun lebih efektif dalam meredam suara dibanding sekat lapisan gempal berbahan kain denim karena pada kain denim

GOLONGAN ONGAN ANTIM ANTIMET ETABOLIT

Kemudian dari penegasan terhadap pengertian beberapa istilah yang dikemukakan di atas, pengertian judul penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: suatu penelitian

Indeks LLA/U merupakan indikator yang baik untuk menilai KEP (Kekurangan Energi Protein). Faktor yang dapat mempengaruhi kekurangan gizi anak sekolah dasar antara lain:

Annalsevam dan Parthasarathy (1999) mengatakan bahwa penelitian terutama yang ditujukan terhadap keanekaragaman jenis pohon dan palem pada hutan tropis sudah sangat

Kerangka Acuan ini akan menjadi acuan dalam pelaksanaan KP sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditetapkan.. Perubahan terhadap Kerangka Acuan harus sepengetahuan

[r]