• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori Keagenan sering dikhubungkan dengan masalah kecurangan akuntansi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori Keagenan sering dikhubungkan dengan masalah kecurangan akuntansi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Keagenan

Teori keagenan adalah suatu kontrak antara satu orang atau lebih yang bertindak sebagai prinsipal (yaitu pemegang saham) yang menunjuk orang lain sebagai agen (yaitu manajer) untuk melakukan jasa untuk kepentingan prinsipal. Teori Keagenan sering dikhubungkan dengan masalah kecurangan akuntansi (Jensen dan Meckling, 1976). Hal ini dikarenakan agen dan prinsipal memiliki kepentingan sendiri-sendiri dimana keduanya ingin memaksimumkan utilitas masing-masing. Karena hal inilah yang menyebabkan tidak sejalannya keinginan antara agen dan prinsipal, yang mengakibatkan mungkin saja agen akan bertindak yang berdampak pada kerugian bagi prinsipal demi memenuhi keinginannya. Tindakan yang dilakukan agen dalam hal ini bisa mengarah pada kecurangan akuntansi.

Jensen and Meckling (1976) menjelaskan bahwa prinsipal dapat memecahkan permasalahan ini dengan memberi kompensasi yang sesuai kepada agen, serta mengeluarkan biaya monitoring, sedangkan untuk mendapatkan hasil monitoring yang baik, diperlukan pengendalian internal perusahaan yang efektif. Untuk mengatasi permasalahan keagenan seharusnya manajemen perusahaan melaksanakan aturan akuntansi dengan benar. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi (IAPI, 2014). Permasalahan keagenan juga terjadi, bila prinsipal merasa kesulitan untuk menelusuri apa yang sebenarnya dilakukan oleh

(2)

agen. Situasi ini disebut sebagai asimetri informasi. Nicholson (1997) mencatat bahwa tindakan yang dilakukan oleh manajemen dipengaruhi oleh situasi asimetri informasi. Perilaku tidak etis dan kecurangan akuntansi juga disebabkan oleh hal yang substansial yaitu sikap dan tanggung jawab moral perusahaan. Perusahaan memiliki tanggung jawab moral dan sosial (Keraf, 1998), yang pada tingkat operasional, tanggung jawab moral ini diwakili oleh manajemen. Perilaku tidak etis dan kecurangan akuntansi yang dilakukan oleh manajemen perusahaan juga tergantung pada moralitas manajemen.

Teori keagenan bermaksud memecahkan dua problem yang terjadi dalam hubungan keagenan. Pola pertanggungjawaban pengelolaan keuangan Negara sejalan dengan teori keagenan yang menciptakan hubungan keagenan. SKPD sebagai agen dan Walikota/Bupati sebagai wakil dari prinsipal memiliki pola hubungan yang tak terpisahkan, tetapi terdapat ketidakseimbangan informasi yang dimiliki kedua belah pihak. Walikota/Bupati tidak memiliki informasi yang penuh atas laporan pertanggungjawaban eksekutif atas pengelolaan anggaran, apakah pertanggungjawaban pengelolaan anggaran telah mencerminkan kondisi yang sebenarnya, ataukah masih adanya informasi yang tidak diungkapkan.

2.2 Teori Motivasi

2.2.1 Teori Hierarki Kebutuhan Maslow

Teori ini dikemukakan oleh Abraham Maslow, yang menyatakan bahwa motivasi didasarkan kebutuhan manusia secara bertingkat. Menurut Maslow, jenjang kebutuhan manusia sebagai karyawan dari yang terendah hingga yang

(3)

tertinggi Hipotesis yang diajukan Maslow dalam teori ini adalah “bahwa dalam setiap diri manusia terdapat lima kebutuhan dasar”, meliputi :

1) Kebutuhan pertama, fisiologis (fisik) seperti rasa lapar, haus, seksual dan kebutuhan fisik lainnya

2) Kebutuhan kedua, rasa aman yaitu kebutuhan untuk memperoleh perlindungan dari bahaya fisik dan emosional

3) Kebutuhan ketiga, sosial yaitu kebutuhan rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan dan persahabatan

4) Kebutuhan keempat, penghargaan yaitu faktor-faktor penghargaan internal seperti hormat diri, otonomi, dan pencapaian, serta faktor-faktor kebutuhan eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian.

5) Kelima, dan kebutuhan tertinggi adalah aktualisasi diri yaitu kebutuhan untuk menjadi seseorang sesuai kecakapannya meliputi: pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri.

Meski teori Maslow mendapat pengakuan luas, teori ini ternyata tidak diperkuat penelitian di lapangan. Maslow tidak memberikan bukti empiris, dan beberapa penelitian yang berusaha mengesahkan teori ini tidak menemukan pendukung yang kuat (Robbins dan Judge, 2007). Dalam satu studi yang dilakukan oleh Tang (1997), dengan menggunakan analisis faktor eksploratori (EFA) dari skala tiga belas item, menunjukkan ada dua tingkat penting dari kebutuhan di AS selama masa damai 1993-1994: kelangsungan hidup (fisiologis dan keamanan) dan psikologis (cinta, harga diri, dan aktualisasi diri).

(4)

Stum, (2001) melalui papernya yang berjudul “Maslow revisited: building the employee commitment pyramid” mengajukan lima tingkatan kebutuhan dengan merevisi hierarki kebutuhan Maslow menjadi :

1) safety/security : keyakinan psikologis bahwa lingkungan yang aman dari ketakutan, intimidasi atau perlakuan antarpribadi yang mengancam

2) rewards : kompensasi dan keuntungan yang diperoleh sebagai alasan seseorang untuk bekerja

3) affiliation : termasuk rasa memiliki dan ingin menjadi bagian dari team 4) growth : Karyawan ingin peluang untuk berubah, belajar dan memperoleh

pengalaman baru pada pekerjaan

5) work/life harmony : Mirip dengan aktualisasi diri (pada model Maslow), dimana work/life harmony merupakan keinginan karyawan untuk mencapai potensi mereka baik pada pekerjaan dan aspek lain dari kehidupan mereka

Penelitian Stum (2001) ini lebih didasarkan pada motivasi kerja dari sisi kebutuhan yang dikaitkan dengan komitmen organisasional.

2.2.2 Teori Dua Faktor Herzberg

Teori Dua Faktor (juga dikenal sebagai teori motivasi Herzberg atau teori hygiene-motivator). Teori ini dikembangkan oleh Herzberg (1923-2000), seorang psikolog asal Amerika Serikat. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir besar dalam bidang manajemen dan teori motivasi. Herzberg (Hasibuan, 2007) mengemukakan teori motivasi berdasar teori dua faktor yaitu faktor higiene dan motivator. Dia membagi kebutuhan Maslow menjadi dua bagian yaitu kebutuhan

(5)

tingkat rendah (fisik, rasa aman, dan sosial) dan kebutuhan tingkat tinggi (prestise dan aktualisasi diri) serta mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi individu adalah dengan memenuhi kebutuhan tingkat tingginya.

Menurut Hezberg (Robbins, 2001), faktor-faktor seperti kebijakan, administrasi perusahaan, dan gaji yang memadai dalam suatu pekerjaan akan menentramkan karyawan. Bila faktor-faktor ini tidak memadai maka orang-orang tidak akan terpuaskan (Robbins, 2001). Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam memotivasi bawahan (Hasibuan, 2007) yaitu :

1) Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang yang mencakup perasaan berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan, dapat menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya pengakuan atas semua itu. 2) Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama pada faktor yang

bersifat embel-embel saja dalam pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan, istirahat dan lain-lain sejenisnya.

3) Karyawan akan kecewa bila peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka akan menjadi sensitif pada lingkungannya serta mulai mencari-cari kesalahan.

Teori dua faktor dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Hygiene Factors

Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah faktor pekerjaan yang penting untuk adanya motivasi di tempat kerja. Faktor ini tidak mengarah pada kepuasan positif untuk jangka panjang. Tetapi jika faktor-faktor ini tidak hadir, maka muncul ketidakpuasan. Faktor ini adalah faktor ekstrinsik

(6)

untuk bekerja. Faktor higienis juga disebut sebagai dissatisfiers atau faktor pemeliharaan yang diperlukan untuk menghindari ketidakpuasan. Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah gambaran kebutuhan fisiologis individu yang diharapkan untuk dipenuhi. Hygiene factors (faktor kesehatan) meliputi gaji, kehidupan pribadi, kualitas supervisi, kondisi kerja, jaminan kerja, hubungan antar pribadi, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan. 2) Motivation Factors

Menurut Herzberg (Robbins, 2001), hygiene factors (faktor kesehatan) tidak dapat dianggap sebagai motivator. Faktor motivasi harus menghasilkan kepuasan positif. Faktor-faktor yang melekat dalam pekerjaan dan memotivasi karyawan untuk sebuah kinerja yang unggul disebut sebagai faktor pemuas. Karyawan hanya menemukan faktor-faktor intrinsik yang berharga pada motivation factors (faktor pemuas). Para motivator melambangkan kebutuhan psikologis yang dirasakan sebagai manfaat tambahan. Faktor motivasi dikaitkan dengan isi pekerjaan mencakup keberhasilan, pengakuan, pekerjaan yang menantang, peningkatan dan pertumbuhan dalam pekerjaan.

2.3 Pengelolaan Keuangan Kota Denpasar

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan kuat untuk menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun tujuan

(7)

pemberian otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah dalam bentuk peningkatkan pelayanan, perlindungan, kesejahteraan, prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat, penumbuhkembang demokrasi, pemerataan dan keadilan serta persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional dengan mengingati asal-usul suatu daerah, kemajemukan dan karakteristik, serta potensi daerah yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi daerah juga memiliki kelemahan yang harus diwaspadai dalam pelaksanaannya. Sugiyanto (2000) mencatat beberapa kelemahan dan dilema dalam otonomi daerah, antara lain:

1) Menciptakan kesenjangan antara daerah yang kaya dan miskin.

2) Mengancam stabilitas ekonomi akibat tidak efisiennya kebijakan ekonomi makro, seperti kebijakan fiskal.

3) Mengurangi efisiensi akibat kurang representatifnya lembaga perwakilan rakyat dengan indikator masih lemahnya public hearing.

4) Perluasan jaringan korupsi mulai dari pusat menuju ke daerah.

Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah dimulai dengan perencanaan/penyusunan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. APBD berfungsi sebagai otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. APBD, perubahan APBD, dan

(8)

pertanggungjawaban APBD setiap tahunnya ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD yang sekarang diterapkan oleh pemerintah daerah, saat ini sudah menjadi berbasis kinerja sesuai dengan tuntutan reformasi.

Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa terdapat lima prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah meliputi:

1) Akuntabilitas, menyatakan bahwa dalam mengambil suatu keputusan hendaknya berprilaku sesuai dengan mandat yang diterima. Kebijakan yang dihasilkan harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik.

2) Value for money, prinsip ini dioperasikan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah ekonomis, efektif, dan efisien.

3) Kejujuran dalam mengelola keuangan publik, dalam pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada pegawai yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga potensi munculnya praktik korupsi dapat diminimalkan.

4) Transparansi, merupakan keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh Dewan Perwailan Rakyat Daerah (DPRD) maupun masyarakat.

5) Pengendalian, dalam pengelolaan keuangan daerah perlu dilakukan monitoring terhadap penerimaan maupun pengeluaran anggaran

(9)

pendapatan dan belanja daerah (APBD), sehingga bila terjadi selisih (varians) dapat segera diketahui penyebabnya.

2.4 Kecurangan Akuntansi

Kecurangan (Fraud) menurut Black Low Dictionary dalam Tunggal (2010) adalah kesengajaan atau salah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau keadaan yang disembunyikan dari sebuah fakta material yang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan atau tindakan yang merugikannya, biasanya merupakan kesalahan namun dalam beberapa kasus (khususnya dilakukan secara sengaja) memungkinkan merupakan suatu kejahatan. Sedangkan menurut Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI, 2014:1), menjelaskan kecurangan akuntansi sebagai salah saji yang timbul dari pelaporan keuangan yang mengandung kecurangan dan salah saji yang timbul karena perlakuan tidak semestinya terhadap asset. Menurut William (1996) kecurangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting) terdiri dari tindakan-tindakan seperti :

1) Manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan catatan atau dokumen pendukung yang menjadi sumber penyusunan laporan keuangan.

2) Representasi yang salah atau penghapusan yang disengaja atas peristiwa-peristiwa, transaksi-transaksi, atau informasi signifikan lainnya yang ada dalam laporan keuangan.

3) Salah penerapan yang disengaja atas prinsip-prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan.

(10)

IAPI (2014) menjelaskan salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (seringkali disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan) berkaitan dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan pada “A5” (IAPI, 2014:15) bahwa penyalahgunaan asset dapat dilakukan dengan berbagai cara; termasuk penggelapan tanda terima barang/uang, pencurian asset fisik atau kekayaan intelektual, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar harga barang atau jasa yang tidak diterima oleh entitas, dan menggunakan asset entitas untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan aset yang seringkali disertai dengan catatan atau dokumen palsu untuk menyembunyikan fakta bahwa aset tersebut telah hilang atau telah dijaminkan tanpa otorisasi semestinya.

Kecurangan sering dilakukan oleh dua pihak yaitu manajemen dan karyawan atau pegawai. Pihak manajemen melakukan kecurangan biasanya untuk kepentingan perusahaan dan karyawan melakukan kecurangan untuk keuntungan individu. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya kecurangan menurut teori fraud triangle yaitu:

1) Faktor tekanan (perceived pressure), yaitu adanya insentif, tekanan dan kebutuhan untuk melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dll.

2) Faktor kesempatan atau peluang (perceived opportunity), yaitu situasi yang membuka kesempatan untuk memungkinkan suatu kecurangan terjadi seperti bekerja tidak ada prosedur yang cukup, tidak mampu

(11)

menilai kualitas kerja, kurang atau tidak adanya akses terhadap informasi dan gagal dalam mendisiplinkan atau memberikan sanksi pelaku kecurangan.

Kecurangan dapat disembunyikan dengan memalsukan dokumentasi, termasuk pemalsuan tanda tangan. Sebagai contoh, manajemen yang melakukan kecurangan dalam pelaporan keuangan dapat mencoba menyembunyikan salah saji dengan menciptakan faktur fiktif; karyawan atau manajemen yang memperlakukan kas secara tidak semestinya dapat mencoba menyembunyikan tindakan pencurian mereka dengan memalsu tanda tangan atau menciptakan pengesahan elektronik yang tidak sah di atas dokumen otorisasi pengeluaran kas.

Kecurangan juga disembunyikan melalui kolusi di antara manajemen, karyawan, atau pihak ketiga. Sebagai contoh, melalui kolusi, bukti palsu bahwa pengendalian aktivitas telah dilaksanakan secara efektif dapat disajikan kepada auditor. Contoh lain, auditor dapat menerima konfirmasi palsu dari pihak ketiga yang melakukan kolusi dengan manajemen. Kolusi dapat menyebabkan auditor percaya bahwa suatu bukti dapat meyakinkan, meskipun kenyataannya palsu.

Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah). Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:

(12)

1) Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu. Biasanya, imbalannya adalah perusahaan tersebut kembali ditunjuk untuk proyek berikutnya.

2) Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G2G (pemerintah ke pemerintah) atau G2P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara langsung. Broker di sini biasanya adalah orang yang memiliki jabatan atau kerabatnya.

Jadi secara garis besar, kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.

2.5 Kesesuaian Kompensasi

Nawawi (2005) menjelaskan kompensasi manajemen adalah penghargaan atau ganjaran pada para pekerja yang telah memberikan kontribusi dalam mewujudkan tujuannya, melalui kegiatan yang disebut bekerja. Menurut Dessler (1998) menyebutkan dua komponen kompensasi, yaitu: pembayaran keuangan langsung dalam bentuk gaji, upah, insentif, serta pembayaran tidak langsung dalam bentuk tunjangan seperti asuransi dan uang liburan.

(13)

1) Gaji

Gaji sebagai salah satu aspek atau komponen kompensasi terkait dengan analisis gaji dimana karyawan dibayar secara sistematis atas usaha-usaha yang disumbangkan kepada organisasi.

2) Upah

Upah merupakan imbalan finansial langsung yang diberikan kepada para pekerja berdasarkan jam kerja, jumlah barang yang dihasilkan atau banyaknya pelayanan yang diberikan. Kesesuaian pemberian upah karyawan dapat memberikan dampak yang diharapkan yang akan memperkuat tingkah laku.

3) Insentif

Insentif sebagai perangsang atau pendorong yang diberikan secara sengaja kepada para pekerja agar dalam diri pekerja timbul semangat yang lebih besar untuk berprestasi dalam organisasi.

4) Tunjangan

Tunjangan adalah untuk membuat karyawan mengabdikan hidupnya pada organisasi dalam jangka panjang. Dalam rangka pencapaian tujuan itu, maka tunjangan dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yaitu:

(1) Pembayaran untuk waktu tidak bekerja, yang mencakup periode istirahat yang dibayar, periode makan siang yang dibayar, waktu bersiap-siap, cuti dan hari libur.

(14)

(2) Perlindungan terhadap bahaya, misalnya: penyakit, keadaan cidera, hutang, pengangguran, ketidakmampuan bekerja secara tetap, usia lanjut dan kematian.

(3) Pelayanan terhadap karyawan, misalnya: perumahan, makanan, nasihat, rekreasi dan sebagainya.

(4) Pembayaran yang dituntut oleh hukum, misalnya: kompensasi pengangguran, asuransi kompensasi pekerja, asuransi usia lanjut dan janda yang ditinggalkan di bawah jaminan sosial dan perawatan kesehatan.

Hasibuan (2007) menjelaskan tujuan pemberian kompensasi (balas jasa) antara lain adalah sebagai ikatan kerjasama, kepuasan kerja, pengadaan efektif, motivasi, stabilitas karyawan, disiplin, serta pengaruh serikat buruh dan pemerintah. Ada enam faktor yang mempengaruhi kebijakan kompensasi yaitu: faktor pemerintah, penawaran bersama antara perusahaan dan pegawai, standar dan biaya hidup pegawai, ukuran perbandingan upah, permintaan dan persediaan, dan kemampuan membayar. Program kompensasi (balas jasa) harus ditetapkan atas asas adil dan layak serta dengan memperhatikan Undang-Undang perburuhan yang berlaku. Prinsip adil dan layak harus mendapat perhatian dengan sebaik-baiknya supaya balas jasa yang akan diberikan merangsang gairah dan kepuasan kerja karyawan.

(15)

2.6 Penalaran Moral

Menurut KBBI (2012) moral berarti ajaran baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik dan buruk, serta berakhlak baik. Selanjutnya dikatakan bahwa kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaannya pada hatinya sendiri. Moralitas merupakan pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang ada dalam hati manusia dan disadari sebagai kewajiban mutlak. Moral dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1) Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia. Moral murni disebut juga hati nurani.

2) Moral terapan, adalah moral yang didapat dari berbagai ajaran filosofis, agama, adat yang menguasai pemutaran manusia.

Salah satu model perkembangan moral yang banyak digunakan dalam penelitian etika adalah model Kohlberg. Kohlberg (1969) dalam McPhail (2009) menyatakan bahwa moral berkembang melalui tiga tahapan, yaitu tahapan pre-conventional, tahapan conventional dan tahapan post-konvensional. Welton (1994) menyatakan bahwa kemampuan individu dalam menyelesaikan dilema etika dipengaruhi oleh tingkat penalaran moralnya. Hasil dari beberapa studi yang dipaparkan dalam Liyanarachi (2009) menunjukkan bahwa tingkat penalaran moral individu mereka akan mempengaruhi perilaku etis mereka. Orang dengan tingkat penalaran moral yang rendah berperilaku berbeda dengan orang yang

(16)

memiliki tingkat penalaran moral yang tinggi ketika menghadapi dilema etika. Menurut Rest dan Narvaez (1994) dalam Liyanarachi (2009), semakin tinggi tingkat penalaran moral seseorang, akan semakin mungkin untuk melakukan ‘hal yang benar’.

Individu dalam tahapan yang paling rendah (pre-conventional), akan melakukan suatu tindakan karena takut terhadap hukum/peraturan yang ada. Selain itu individu pada tingkat moral ini juga akan memandang kepentingan pribadinya sebagai hal yang utama dalam melakukan suatu tindakan. Pada tahap kedua (conventional), individu akan mendasarkan tindakannya pada persetujuan teman-teman dan keluarganya dan juga pada norma-norma yang ada di masyarakat. Pada tahap tertinggi (post-conventional), individu mendasari tindakannya dengan memperhatikan kepentingan orang lain dan berdasarkan tindakannya pada hukum-hukum universal. Menurut Welton (1994), dalam setiap stage Kohlberg, individu memiliki pandangan sendiri mengenai versi ‘hal yang benar’ menurutnya. Individu dalam stage 1 merasa bahwa hal yang benar adalah apa yang menjadi kepentingan individu tersebut. Individu dalam stage 2 menganggap bahwa hal yang benar adalah hasil dari pertukaran yang imbang, persetujuan maupun posisi tawar yang imbang. Individu dalam stage 3 merasa bahwa hal yang benar adalah terkait dengan pengharapan akan kepercayaan, loyalitas, dan respek dari teman-teman dan keluarganya. Individu dalam stage 4 menganggap bahwa hal yang benar adalah dengan membuat kontribusi untuk masyarakat, grup atau institusi. Individu dalam stage 5 dan stage 6 menganggap

(17)

bahwa kebenaran adalah mendasarkan diri pada prinsip-prinsip etis, persamaan hak manusia dan harga diri sebagai seorang makhluk hidup.

Referensi

Dokumen terkait

Informan ini menganggap bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam iklan Nokia 2600 Classic membuat pesan lebih sampai pada remaja karena bahasa Inggris sangat

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kekuatan geser pelekatan resin komposit packable dengan intermediate layer resin komposit flowable menggunakan

Pengaduan terhadap Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi sebagai Teradu yang dianggap melanggar Kode Etik harus disampaikan secara tertulis disertai dengan

Kanker cervix atau kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada cervix uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk kearah rahim (uterus)

teregang. Hal ini disebabkan karena cairan irigasi yang menetes terus menurus, sedangkan aliran dibawah urine bag tidak lancar kita curigai adanya clots yang

Hasil rekapitulasi di tingkat PPK Kecamatan Samarinda yang ditolak oleh para saksi dari partai-partai politik termasuk PDK, tidak pernah diperbaiki dan hal ini telah

Menurt Solomon dan Rothblum (Rachmahana, 2001, h.135) individu yang kurang asertif tidak mau mencari bantuan ( seeking for help) kepada orang lain untuk membantu

#2.  Tidak  begitu  jelas  apakah  developer  plugin  ini  merupakan  “orang  dalam  Kaskus”  atau  orang  yang  sudah  mendapatkan  izin  untuk  me‐