• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kentang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kentang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Kentang

Kentang merupakan tanaman herba dikotil dan bersifat semusim atau annual (Nonnecke 1989). Tanaman kentang termasuk dalam famili Solanaceae dengan genus Solanum dan spesies Solanum tuberosum L. Tanaman kentang berasal dari benua Amerika Selatan. Beberapa spesies kentang liar terdapat di wilayah pegunungan Andes mulai dari Kolombia sampai Chilli, tanaman ini menyebar ke seluruh dunia melalui Eropa dan menjadi salah satu bahan pangan penting dunia (Smith 1986).

Nonnecke (1989) mengemukakan bahwa perbanyakan suatu kultivar kentang umumnya adalah melalui umbi. Apabila dikehendaki perubahan pada suatu tipe, maka perbanyakan dilakukan melalui biji. Permadi et al. (1989) menyatakan bahwa tanaman kentang biasanya diperbanyak dari umbi (vegetatif) sehingga sifat tanaman generasi berikutnya sama dengan induknya. Penanaman dengan biji dilakukan untuk menciptakan varietas-varietas baru.

Kentang memiliki bentuk perakaran tunggang dengan banyak akar lateral dan adventisius. Akar muncul dari buku batang yang terletak di dalam tanah (Edmond et al. 1977). Nonnecke (1989) menyatakan bahwa akar pada kentang memiliki peranan yang lebih kecil dalam penyimpanan fotosintat dibandingkan kebanyakan tanaman lainnya karena umbi merupakan tempat penyimpanan hasil fotosintesis daun, menggantikan peranan penting akar sebagai tempat makanan.

Menurut Edmond et al. (1977) terdapat dua tipe batang pada tanaman kentang. Batang yang di atas permukaan tanah (aerial) bentuknya angular berwarna hijau kemerahan atau hijau keunguan tergantung varietas. Batang yang berada di dalam tanah terdiri dari stolon dan umbi.

Nonnecke (1989) mengemukakan bahwa pada fase perkembangan, bentuk batang tegak lurus tetapi dengan bertambahnya umur tanaman, batang menjadi tergeletak dan terlentang. Pada mulanya batang lunak dan padat, tetapi kemudian berkembang menjadi bersegi (angular) dan berongga. Permadi et al. (1989) menyatakan bahwa batang tanaman kentang berongga dan tidak berkayu kecuali pada tanaman yang sudah tua, bagian bawah batang dapat berkayu. Daun-daun

(2)

pertama tanaman kentang berupa daun tunggal, kemudian daun-daun berikutnya muncul berupa daun-daun majemuk dengan anak daun primer dan anak daun sekunder. Daun menyirip majemuk dengan lembar daun bertangkai memiliki ukuran, bentuk dan tekstur yang beragam (Rubatzky & Yamaguchi 1998).

Bunga tanaman kentang adalah zygomorph dan berjenis kelamin dua (Tjitrosoepomo 1997). Bunga berwarna putih, merah jambu sampai keunguan tergantung varietas. Daun kelopak, daun mahkota dan benang sari masing-masing berjumlah lima buah dengan satu buah putik yang mempunyai sebuah bakal buah yang beruang dua (Smith 1986). Menurut Nonnecke (1989) bunga kentang tidak menghasilkan nektar madu sehingga tidak didatangi lebah, angin merupakan perantara penyerbukan.

Thompson dan Kelly (1957) menyatakan bahwa umbi merupakan hasil pembengkakan dari ujung stolon, tetapi tidak semua stolon dapat membentuk umbi. Menurut Sunarjono (1975) ukuran stolon tergantung pada varietas kentang. Ukuran stolon bisa pendek sehingga seolah-olah tidak berstolon. Menurut Edmond et al. (1977) umbi kentang merupakan batang yang berfungsi sebagai bagian penyimpanan cadangan makanan dengan kandungan tepung yang cukup tinggi. Umbi berada di ujung stolon dengan ciri pendek, gemuk dan berdaging. Menurut Permadi et al. (1989) umbi akan terputus dari stolon pada saat stolon mengering bersamaan dengan matinya tanaman.

Perbanyakan Kentang Secara In Vitro

Ketersediaan bibit kentang bermutu merupakan salah satu masalah dalam peningkatan produksi kentang di Indonesia. Penyediaan bibit kentang bermutu sangat terbatas karena perbanyakan kentang yang lambat dan adanya penyakit

yang menyerang bibit sehingga menurunkan hasil panen kentang (Vander Zaag & Wei 1991). Bibit impor terbatas dengan harganya mahal.

Pemenuhan kebutuhan bibit ini terpaksa menggunakan bibit lokal yang kurang bermutu (Wattimena 1992).

Cara perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan atau mikropropagasi merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah dalam pembibitan kentang. Keunggulan sistem mikropropagasi tanaman adalah dapat

(3)

menghasilkan propagul tanaman dalam jumlah banyak, dalam waktu yang singkat, bebas hama dan penyakit (sistemik dan nonsistemik) serta sama dengan induknya (Wattimena 2000).

Penerapan teknik kultur jaringan didasarkan pada prinsip bahwa tanaman dapat ditumbuhkan dan diperbanyak secara in vitro dari sekelompok sel atau sebagian kecil jaringan tanaman dalam media aseptik, yang nutrisi dan keadaan lingkungannya terkendali dengan baik, sehingga dapat dihasilkan tanaman baru yang mampu tumbuh pada media non aseptik (Winata 1987).

Wattimena (2000) menyatakan bahwa pembibitan mikropropagasi kentang untuk subtitusi propagul umbi biasa harus memenuhi beberapa kriteria yaitu : (1) bibit mikropropagasi tersebut sangat diperlukan, (2) harus menguntungkan baik dalam produksi propagulnya maupun dalam sistem budidaya kentang (cost effective), (3) sistem distribusi yang memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, serta (4) sistem yang dapat beradaptasi terhadap sistem transportasi dan penanganan di Indonesia.

Perbanyakan Kentang dengan Umbi Mikro

Pada dasarnya umbi kentang merupakan modifikasi batang dengan sumbu utama yang memendek dan bagian lateralnya terhambat (Artschwager 1924 dalam Slater 1963). Umbi kentang dianggap penting karena 75–85% bahan kering total yang diproduksi tanaman diakumulasi di dalam umbi (Ivins & Bremner 1964 dalam Cutter 1978). Di lapang umbi terbentuk pada stolon yaitu cabang-cabang aksilar dari batang yang tumbuh di bawah tanah. Pada kondisi tertentu umbi dapat tumbuh pada setiap mata tunas aksilar (Werner 1954 dalam Cutter 1978).

Berdasarkan prinsip tersebut, dengan proses penginduksian yang sesuai, setiap mata tunas aksilar pada ketiak daun dari tunas yang ditumbuhkan secara in vitro mampu menghasilkan umbi. Pembentukan umbi secara in vitro (umbi mikro) dapat terjadi pada ketiak daun dari tunas eksplan (sesil/duduk) dan pada pucuk atau ketiak daun dari tunas samping yang baru terbentuk (terminal serta aksilar). Umbi mikro berukuran kecil (beberapa mm sampai lebih dari 10 mm) dengan bobot basah 50–150 mg/umbi (Wattimena 1992). Secara

(4)

morfologis umbi mikro identik dengan umbi yang diproduksi di lapang (Wattimena 1983, Wang & Hu 1985).

Persiapan umbi mikro sampai siap pindah lapang terdiri dari 4 fase yaitu: (1) produksi tunas mikro selama 4 minggu, (2) produksi umbi mikro selama 8 minggu, (3) pertunasan umbi mikro selama 8–16 minggu dan (4) pembuatan semai (seedling) selama 4–6 minggu. Di daerah tropis seperti di Indonesia dapat ditanam umbi mikro yang telah bertunasan secara langsung di lapang asal panjang tunas sudah mencapai 1 cm atau lebih. Di USA (iklim dingin) hal itu tidak dapat dilakukan karena pada waktu tanam suhu tanah masih dingin dan tunas umbi mikro itu tidak sanggup untuk tumbuh ke permukaan tanah Wattimena (1992).

Menurut Wattimena (2000) keuntungan dari penggunaan propagul umbi mikro adalah : (1) propagul umbi mikro yang berasal dari eksplan bebas penyakit akan menghasilkan umbi mikro bebas penyakit, (2) umbi mikro akan menghasilkan tanaman yang seragam dan umur panen sama dengan propagul umbi biasa, (3) kebutuhan umbi mikro hanya 4–5 kg per hektar dibandingkan dengan umbi biasa yang memerlukan 1–2 ton bibit per hektar, (4) mudah dalam penyimpanan, transportasi dan penanganan, (5) mudah memenuhi persyaratan karantina untuk lalu lintas propagul baik dalam maupun luar negeri.

Disamping keuntungan yang telah disebut, propagul umbi mikro juga mempunyai kelemahan antara lain : (1) keadaan cekaman pada awal pertumbuhan lebih berdampak negatif dibandingkan dengan propagul umbi biasa, (2) masa dormansi yang panjang dan pecah dormansi tidak serentak. Lamanya waktu dormansi tergantung dari genotipe dan retardan yang digunakan. Penggunaan retardan paclobutrazol memperpanjang masa dormansi. Kultivar-kultivar berumur genjah mempunyai dormansi yang lebih pendek dibanding dengan kultivar-kultivar berumur dalam, (3) produksi umbi mikro sampai panen memerlukan waktu yang lebih lama (12 minggu) dibandingkan dengan stek mikro (4 minggu). Ongkos produksi per satuan propagul pun pada umbi mikro 3 kali lebih mahal dari stek mikro. Penelitian mengenai umbi mikro perlu dilanjutkan terutama didalam produksi secara masal. Sistem produksi dengan mempergunakan media cair, maupun sistem satu jenis atau dua jenis media membuka peluang untuk melakukan produksi masal dengan menggunakan bioreaktor.

(5)

Pembentukan umbi terbagi menjadi dua tahap, yaitu : (1) induksi pengumbian dan (2) pembesaran atau pertumbuhan umbi. Tahap pembesaran umbi merupakan tanda pertama yang dapat dilihat dari terjadinya induksi pengumbian (Chapman 1958). Menurut Plaisted (1957) dalam Slater (1963), pembesaran umbi terjadi terutama karena meningkatnya jumlah sel di dalam umbi dan bukan karena peningkatan ukuran sel.

Keberhasilan pengumbian kentang tergantung dari ketepatan memilih proses-proses yang dapat memanipulasi tahap induksi pengumbian dan tahap pembesaran atau pertumbuhan umbi (Ewing 1981). Di dalam kultur in vitro, keberhasilan pembentukan umbi dapat tercapai dengan pemilihan eksplan, media tumbuh dan kondisi lingkungan yang tepat (Hussey 1980, Locy 1984, Wang & Hu 1985).

Pemilihan eksplan yang tepat akan mempengaruhi keberhasilan pengumbian kentang secara in vitro. Ukuran, sumber atau letak dan umur fisiologis eksplan perlu diperhatikan. Secara umum, semakin kecil ukuran eksplan semakin kecil daya hidupnya. Letak eksplan pada tanaman juga berpengaruh, misalnya ujung pucuk apikal merupakan eksplan yang lebih baik dari ujung pucuk aksilar (Locy 1984). Sel-sel yang telah mengalami diferensiasi lanjut lebih sukar ditumbuhkan daripada sel-sel yang masih bersifat meristematis (Winata 1987).

Eksplan untuk pembentukan umbi mikro kentang dapat berupa tunas umbi yang teretiolasi atau stolon apikal (Palmer & Smith 1969, 1970, Stallknecht & Farnsworth 1979, 1982), stek berbuku tunggal, yang berasal dari lapang atau dari kultur in vitro (Roca et al. 1979, Hussey & Stacey 1981,Wattimena 1983,Estrada et al. 1986) atau tunas berakar yang ditumbuhkan di dalam kultur in vitro (Wang & Hu 1985). Menurut Stallknecht dan Farnsworth (1979), penggunaan jaringan yang besar, seperti stolon apikal dan stek mikro, dapat memberikan hasil pengumbian yang lebih kompleks. Wang dan Hu (1985) berpendapat bahwa kondisi optimum dari faktor-faktor yang mempengaruhi pengumbian dapat berbeda tergantung jenis jaringan eksplan dan kultivar yang digunakan. Setiap eksplan yang digunakan untuk proses pengumbian secara in vitro terdiri dari sejumlah buku. Pada tiap buku terdapat mata tunas aksilar. Mata tunas aksilar ini

(6)

dapat didorong untuk membentuk tunas, stolon, atau umbi in vitro tergantung dari komposisi media dan kondisi lingkungan tumbuh (Chapman 1958).

Media kultur jaringan merupakan campuran dari unsur hara makro, unsur hara mikro, karbon (gula), vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh (Winata 1988). Pertumbuhan tanaman kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh komposisi media ini. Media yang sering digunakan untuk kultur in vitro kentang adalah media MS (Murashige dan Skoog).

Suhu dan cahaya merupakan dua faktor eksogen yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan (George & Sherrington 1984). Kedua faktor tersebut juga mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan pengumbian kentang dalam kultur in vitro. Menurut Madec (1963) dan Ewing (1981), fotoperiode dan suhu mempengaruhi keseimbangan atau rasio dari zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pengumbian kentang seperti giberelin dan sitokinin, serta ketersediaan karbohidrat yang dibutuhkan untuk inisiasi dan pertumbuhan umbi.

Hussey (1980) serta Wang dan Hu (1985) menyatakan bahwa suhu yang umum digunakan dalam pertumbuhan tunas mikro kentang adalah 15–25oC. Untuk pengumbian secara in vitro, suhu optimum yang konstan memberikan hasil produksi umbi mikro yang lebih tinggi daripada bila perbedaan suhu siangnya tinggi dan suhu malamnya rendah (Wang & Hu 1982). Menurut Stallknecht dan Farnsworth (1982), pada suhu yang < 15oC serta > 30oC pembentukan umbi mikro akan terhambat. Suhu optimum yang dibutuhkan dalam pembentukan umbi dalam kultur in vitro adalah 18–20oC (Wang & Hu, 1985). Untuk produksi tunas mikro kentang digunakan suhu 20–25oC, sedangkan untuk produksi umbi mikro digunakan suhu 15–20oC (Wattimena et al. 1983).

Cahaya mempengaruhi proses morfogenesis, diferensiasi, dan embriogenesis somatik (Wang & Hu, 1982). Untuk pertumbuhan tunas in vitro kentang dibutuhkan cahaya dengan intensitas sebesar 1000–5000 luks (Wang & Hu 1985) serta panjang hari sekitar 16 jam per hari (Hussey 1980, Wang & Hu 1985) atau penyinaran terus-menerus (Wattimena et al. 1983).Wang dan Hu (1985) berpendapat bahwa pembentukan umbi mikro kentang memerlukan intensitas penyinaran kurang lebih 100 luks selama 8 jam. Wattimena (1983)

(7)

menggunakan keadaan gelap terus-menerus selama masa inkubasi (8 minggu) di dalam media pengumbian.

Sukrosa

Karbohidrat merupakan sumber energi untuk sel-sel tanaman dalam kultur yang belum dapat melaksanakan fotosintesis. Karbohidrat yang terpenting dan biasa digunakan adalah sukrosa. Menurut Prawiranata et al. (1994) sukrosa dan pati merupakan bentuk karbohidrat cadangan yang penting dalam sel tumbuhan. Selain itu sukrosa merupakan bentuk senyawa organik utama yang ditransportasikan ke dalam sel tumbuhan. Senyawa organik tersebut berperan dalam menghasilkan energi dalam proses respirasi dan sebagai bahan pembentuk sel baru.

Menurut Gautheret dalam George dan Sherrington (1984) sumber karbohidrat yang paling baik yaitu dalam bentuk sukrosa, glukosa, maltosa dan rafinosa. Pierik (1987) menyatakan bahwa gula yang dijual di supermarket terdiri dari sukrosa 99.94%, air 0.02%, rafinosa, fruktosa dan glukosa 0.04%.

Untuk pertumbuhan tunas mikro yang baik dibutuhkan sukrosa sebesar 2–3% (Roca et al. 1979, Hussey & Stacey 1981, Wang & Hu 1982, Wattimena 1983). Menurut Wang dan Hu (1985), konsentrasi sukrosa untuk pengumbian kentang secara in vitro harus lebih tinggi dari konsentrasi sukrosa yang umum digunakan. Untuk pengumbian kentang di lapang, karbohidrat yang akan diakumulasi di dalam umbi merupakan hasil fotosintesa pada kondisi lingkungan yang intensitas cahayanya tinggi. Intensitas cahaya yang tinggi seperti di lapang tidak dapat diterapkan di dalam ruang inkubasi kultur, karena suhu di dalam botol kultur akan meningkat melebihi batas maksimum yang dapat diterima oleh tunas in vitro. Dengan demikian, karbohidrat yang dibutuhkan untuk pengumbian in vitro disediakan dari penambahan sukrosa di dalam media. Konsentrasi sukrosa yang umum digunakan sekitar 6–8% (Palmer & Smith 1969, Wattimena 1983, Estrada et al. 1986). Hasil penelitian Puspitaningtyas (1988) dan Meilinda (1990) menunjukkan bahwa konsentrasi sukrosa 9% memberikan pengaruh yang terbaik terhadap jumlah, ukuran dan bobot basah umbi. Selanjutnya Wattimena (1992) menyatakan bahwa konsentrasi yang lebih tinggi diperlukan untuk pertumbuhan

(8)

tunas bila dalam kondisi gelap. Penggunaan sukrosa dalam media pembibitan in vitro ditujukan untuk menciptakan ketahanan bibit mikro kentang tersebut. Menurut Haryadi (1993) sukrosa merupakan karbohidrat cadangan yang penting dalam sel tumbuhan. Pada awal pertumbuhan atau fase vegetatif karbohidrat dibutuhkan untuk pembentukan akar, batang dan daun.

Nitrogen

Unsur nitrogen (N) merupakan unsur yang paling banyak berperan pada fase pertumbuhan vegetatif dan pengumbian kentang. Unsur N media dipenuhi dalam bentuk nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+). Konsentrasi nitrat biasanya antara 25–40 mM dan konsentrasi amonium antara 2–20 mM (Gamborg & Shyluk 1981). Pada kultur jaringan tanaman kentang tidak dapat tumbuh dalam bentuk nitrat atau amonium saja (Winarso 1986). Pertumbuhan yang terbaik adalah dalam perbandingan 1:1, 2:1 atau 3:1 (nitrat:amonium). Perbandingan 3:1 menunjukkan pertumbuhan kentang lebih vigor (Mahasin 1988). Perbandingan unsur N dalam media Murashige dan Skoog adalah 2:1 (Wattimena 1995). Media MS menyediakan 60 mM dalam bentuk nitrat dan amonium, masing-masing sebanyak 40 mM dan 20 mM.

Pembentukan umbi mikro tidak hanya dipengaruhi komposisi media pengumbian tetapi juga oleh jumlah nitrogen yang digunakan untuk pertunasan. Konsentrasi nitrogen pada media pertunasan berpengaruh terhadap keadaan fisiologis dari tunas yang ditumbuhkan secara in vitro sehingga akan mempengaruhi pembentukan umbi mikro. Wattimena (1983) menyatakan bahwa tunas mikro kentang dapat tumbuh dengan baik pada konsentrasi N tinggi (60–120 mM) dan pada konsentrasi N rendah (6 mM) pertumbuhan tunas sangat terhambat.

Respon tanaman terhadap nitrogen juga dipengaruhi oleh kultivar (genotipe), sehingga pertumbuhan tanaman dengan kultivar tertentu akan berbeda dibandingkan kultivar lain pada konsentrasi N yang sama. Misalnya kultivar Red Pontiac memberikan respon pertumbuhan yang tinggi terhadap peningkatan konsentrasi N di dalam media dari 6–60 mM dibandingkan dengan kultivar Superior dan Norland. Produksi umbi mikro pada media pertunasan dengan

(9)

konsentrasi N rendah (4 mM) dan konsentrasi N tinggi (60 mM) pada media pengumbian atau sebaliknya akan lebih baik daripada produksi umbi pada media pertunasan dan pengumbian dengan konsentrasi N tinggi (60 mM), untuk ketiga kultivar tersebut di atas. Tidak semua kultivar tanaman kentang dapat tumbuh dengan baik pada media pertunasan yang konsentrasi N-nya rendah. Padahal untuk memperoleh produksi umbi mikro dengan kualitas tinggi dibutuhkan tunas mikro yang berkualitas tinggi sebagai sumber eksplan (Wattimena 1983).

Pemberian N secara berlebihan juga dapat menimbulkan masalah, yaitu menurunnya kandungan karbohidrat dan kualitas umbi (Thompson & Kelly 1957). Peningkatan N akan meningkatkan kandungan protein umbi yang diikuti dengan menurunnya kandungan karbohidrat, akibatnya kandungan bahan kering cenderung menurun. Konsentrasi N tinggi (60 mM) baik pada media eksplan maupun media pengumbian dapat menghambat translokasi coumarin sehingga pembentukan umbi terhambat. Akan tetapi konsentrasi N rendah (2.5 mM) akan menginduksi pengumbian sampai 95–100% (Stallknecht & Farnsworth 1979). Selain itu juga dikemukakan bahwa penghambat pembentukan umbi oleh konsentrasi N tinggi dapat diatasi dengan meningkatkan konsentrasi karbohidrat (sukrosa) dalam media. Wattimena (1995) mendapatkan konsentrasi nitrogen yang tepat yaitu 15 mM untuk menghasilkan respon terbaik pada jumlah umbi, ukuran umbi, bobot basah dan persentase bahan kering umbi mikro yang diiinduksi oleh coumarin dan kinetin pada keempat taraf pH yang digunakan ( 4.7, 5.7, 6.7 dan 7.7). Meilinda (1990) mengemukakan bahwa pembentukan umbi dihambat oleh konsentrasi nitrogen yang tinggi (60 mM) dapat diatasi dengan menambahkan sukrosa dalam konsentrasi yang tinggi (12%).

(10)

Zat Pengatur Tumbuh

Menurut Wattimena (1988) zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik yang dapat digunakan untuk memodifikasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan diarahkan untuk perbaikan komponen hasil yang mendukung produksi. ZPT ini menentukan perkembangan tanaman, baik alamiah maupun sintetik. Selanjutnya Abidin (1993) menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh pada tanaman merupakan senyawa bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan merubah proses fisiologis tanaman. Menurut Wattimena (1992) terdapat 6 kelompok ZPT, yaitu auksin, giberelin, sitokinin, asam absisi (ABA), etilen dan retardan. Senyawa-senyawa poliamin (putresin, spermidin, spermin), polifenolik dan alkohol berantai panjang (triakontanol) sering digolongkan ke dalam ZPT. Fitokrom walaupun bukan ZPT tetapi mempunyai pengaruh yang sama dengan ZPT, hanya fitokrom bukan senyawa organik tetapi jenis pigmen tumbuhan.

Setiap proses morfogenesis ada ZPT yang menghambat dan ada ZPT yang mendorong, praktek pemberian ZPT untuk proses morfogenesis suatu organ adalah pemberian ZPT yang mendorong dan senyawa atau ZPT yang menghambat ZPT penghambat, pada proses pembentukan umbi mikro, sitokinin adalah pendorong dan giberelin adalah penghambat, karena itu pemberian ZPT untuk pengumbian in vitro terdiri dari sitokinin, retardan dan inhibitor (coumarin), retardan sebagai penghambat biosintesis giberelin dan inhibitor sebagai antagonis terhadap proses penghambatan dari giberelin (Wattimena 1992).

Menurut Suryowinoto dalam Haryadi dan Pamenang (1983) air kelapa yang baik untuk campuran kultur jaringan adalah kelapa muda yang dagingnya (endospermanya) sudah berwarna putih tetapi masih dapat disendok. Secara alamiah air kelapa memberi makan pada embrio. Air kelapa merupakan sumber unsur hara dan sebagai stimulasi pertumbuhan (Scully 1967). Kemampuan air kelapa untuk menyokong pertumbuhan jaringan tanaman mula-mula didapatkan oleh Van Overbeck pada tahun 1944 pada potongan embrio Datura stramonium (Winata 1995) yang memerlukan faktor untuk pertumbuhannya dan keperluan ini dicukupi dengan menggunakan air kelapa. Dengan penambahan air kelapa dalam

(11)

medium aseptik, jaringan tanaman Datura stramonium menjadi tanaman lengkap. Air kelapa dikenal sebagai salah satu sumber sitokinin (Letham 1974).

George dan Sherrington (1984) menyatakan beberapa penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan hasil bahwa penambahan air kelapa dapat meningkatkan pertumbuhan jaringan dalam kultur, baik mendorong pertumbuhan kalus dan kultur suspensi maupun morfogenesis. Pengaruh air kelapa yang mendorong pertumbuhan dapat juga disebabkan karena air kelapa dapat menyangga perubahan pH media. Makin besar konsentrasi air kelapa perubahan pH media makin menurun (Mandang 1993). Burnet dan Ibrahim (1973) dalam George dan Sherrington (1984) mendapatkan bahwa penambahan 20% air kelapa (1/5 bagian dari volume media) diperlukan untuk inisiasi dan pertumbuhan kalus pada beberapa spesies jeruk dalam media MS (Murashige dan Skoog). Rangan (1974) dalam George dan Sherrington (1984) memperoleh peningkatan pertumbuhan Panicum miliaceum yang ditumbuhkan dalam media MS yang menggunakan 2.4-D dan air kelapa 15%. Steward dan Chaplin (1951) dalam George dan Sherrington (1984) menunjukkan adanya kerjasama sinergisme antara 2.4-D dan air kelapa dalam menstimulasi pertumbuhan jaringan umbi kentang. Wattimena (1995) menyatakan bahwa konsentrasi air kelapa 15% adalah yang optimum pada pengumbian in vitro kentang.

Air kelapa telah diketahui sebagai sumber zat pengatur tumbuh yang kaya, bagi perkembangan embrio. Salah satu zat tumbuh diantaranya yaitu sitokinin endogen (Prawiranata et al. 1994). Sitokinin diperlukan dalam pengumbian kentang secara in vitro. Menurut Wattimena (1983), zat pengatur tumbuh sitokinin dibutuhkan jika proses pengumbian terjadi dalam keadaan gelap tanpa cahaya. Sitokinin bekerja dengan memobilisasi hasil metabolisme ke arah lokasi dimana umbi dibentuk. Palmer dan Smith (1969) mengemukakan bahwa pati aktif dan sintesa protein dibutuhkan oleh umbi yang sedang terbentuk. Efek mobilitas sitokinin akan membuat substrat-substrat esensial tersedia untuk proses tersebut. Peran lain sitokinin dalam pengumbian adalah kemampuannya dalam merangsang pembelahan sel sepanjang sumbu longitudinal yang berakibat adanya pembengkakan umbi. Selain sitokinin air kelapa mengandung IAA (Indole Acetic Acid) yang merupakan kelompok auksin (Mandang 1993).

(12)

Air kelapa memiliki pH 4.8–5.3 (Thampan 1981). Hal ini disebabkan kandungan asam organik yang dijumpai pada air kelapa, dimana asam organik berfungsi sebagai buffer terhadap perubahan pH (Wattimena et al. 1990). Beberapa zat pada air kelapa meliputi asam amino, asam nukleat, asam organik, purin, gula alkohol, gula, vitamin, zat tumbuh dan mineral. Gula yang merupakan sumber karbohidrat terdapat di dalam air kelapa meliputi sukrosa, glukosa, fruktosa dan manitol (George & Sherrington 1984). Gula dan alkohol berfungsi sebagai sumber energi. Gula alkohol yang terkandung dalam air kelapa (inositol) dalam jumlah 100 mg/l selalu diberikan karena dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman in vitro (Wattimena et al. 1990).

Menurut Dicks (1979) dalam Wattimena (1988) retardan merupakan senyawa organik sintetik yang bila diberikan pada tanaman yang responsif akan menghambat perpanjangan sel pada meristem sub apikal, mengurangi perpanjangan batang tanpa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan daun atau tanpa mendorong pertumbuhan yang abnormal. Selanjutnya Wattimena (1988) menyatakan bahwa pengaruh fisiologis retardan antara lain : menghambat perpanjangan sel, memperpendek ruas tanaman, mempertebal batang, mencegah kerebahan, menghambat etiolasi, mempertinggi perakaran stek, menghambat senescence, memperpanjang masa simpan, meningkatkan pembuahan, membantu perkecambahan dan pertunasan. Menurut Wattimena (1992) retardan memiliki kemampuan menghambat biosintesis giberelin sehingga dikenal sebagai anti giberelin. Pada tanaman kentang terdapat giberelin alami (Okazawa 1973). Untuk menginisiasi proses pengumbian, kandungan giberelin harus diturunkan, sehingga pemberian retardan dapat menstimulasi proses pengumbian. Paclobutrazol

merupakan zat penghambat tumbuh yang mempunyai rumus kimia (2RS. 3RS)-1-(4-chlorophenil)-4.4-dimethyl-2-(1H-1.2.4-triazol-1-yl)pentan-3-ol

dengan rumus empirik C15H20ClN3O. Paclobutrazol merupakan salah satu retardan dengan senyawa triazol. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat oksidasi kaurene menjadi asam kaurenoat, sehingga akan menghambat biosintesis giberelin. Penghambat biosintesis giberelin endogen tersebut akan mengakibatkan tertekannya pemanjangan sel, sehingga tanaman menjadi kerdil (Weaver 1972).

(13)

Aspirin atau asam asetil salisilat merupakan salah satu turunan asam salisilat (SA). Sintesis asam asetil salisilat berasal dari esterifikasi asam salisilat dan asam asetat. Aspirin di dalam media kultur jaringan secara otomatis dihidrolisis menjadi asam salisilat. Asam salisilat dan coumarin memiliki jalur biosintesis yang sama sehingga penggunaan aspirin diharapkan dapat mensubtitusi penggunaan coumarin (Metraux & Raskin 1992). Asam salisilat merupakan hormon tumbuh tanaman yang memiliki pengaruh fisiologis dalam menstimulasi pembungaan karena menghambat biosintesis etilen dan menginduksi sifat resisten terhadap patogen dalam jaringan tanaman yang berhubungan dengan reaksi hipersensitif (HR) dengan menginduksi protein pathogenesis-related (PR) (Raskin 1995).

Aspirin merupakan nama dagang dari asam asetil salisilat (Acetyl Salicyllic Acid) yang mengalami hidrolisis secara spontan bila mengalami

kontak dengan suatu larutan. Di dalam kultur in vitro tanaman kentang, peningkatan aspirin dari 10 mg/l sampai 30 mg/l meningkatkan keseragaman pembentukan umbi mikro dan bobot basah umbi. Pada kultivar AD 12 bobot basah umbi terbaik dihasilkan oleh interaksi air kelapa 15% dengan aspirin 30 mg/l dan mepiquat 30 mg/l ((Wattimena et al. 2001, Pulungan 2004).

Penggunaan asam salisilat untuk pengumbian kentang didasarkan pada coumarin yang dapat menginduksi pembentukan umbi kentang dengan penggunaan N pada media pengumbian sekitar 4–15 mM. Coumarin dan asam salisilat mempunyai prazat yang sama yaitu asam sinamat (Wattimena 1988).

Menurut Hahlbrock dan Scheel (1989) dari biosintesisnya yang melalui jalur shikimat – fenilalanin – asam benzoat – asam salisilat, terlihat bahwa asam salisilat termasuk ke dalam kelompok fenolik yang berfungsi untuk pembentukan dinding sel, produksi senyawa fitoalexin, alelopati dan penangkal serangga.

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip dari teknik kultur jaringan adalah dari semua bagian tanaman baik berupa sel, jaringan, dan organ tanaman dapat menjadi tanaman baru apabila ditumbuhkan dalam kondisi

Kultur jaringan atau budidaya in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ dan ditumbuhkan pada media

Yusnita (2003) menyatakan bahwa kultur jaringan merupakan suatu teknik untuk menumbuhkembangkan bagian tanaman in vitro secara aseptik dan aksenik pada media kultur berisi

Teknik kultur jaringan pada tanaman jeruk berguna dalam mendapatkan tanamanan atau bibit dalam jumlah banyak dalam waktu singkat, mendapatkan tanaman yang bebas

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan dengan kondisi aseptik,

Eksplan merupakan bagian tanaman (dapat berupa sel, jaringan atau organ) yang dapat digunakan sebagai bahan inokulum awal yang ditanam dalam medium kultur in vitro.. Bagian

Teknik kultur antera juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu: (a) pelaksanaan teknik kultur antera memerlukan peralatan dan personil khusus, (b) regenerasi tanaman