• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Krisan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Krisan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Krisan

Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) berasal dari dataran Cina dan merupakan tanaman semusim atau tahunan yang sangat menarik dengan beragam jenis, bentuk, ukuran, dan warnanya. Krisan dapat disebut tanaman semusim bila siklus hidupnya selesai setelah bunga dipanen. Hal ini berbeda dengan krisan tahunan yang perlu dilakukan pemangkasan untuk menumbuhkan tunas-tunas baru agar dapat tumbuh kembali (Allard, 1960).

Secara taksonomi, krisan dklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonaceae Ordo : Asterales (Compositae) Famili : Asteraceae

Genus : Chrysanthemum/ Dendranthema Spesies : Dendranthema grandiflora Tzvelev

Krisan merupakan tanaman herba atau semak. Menurut Cahyono (1999) bunga krisan dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe spray dan standard. Tipe spray yaitu dari satu cabang tanaman tumbuh beberapa cabang bunga lateral (10-20 kuntum). Bunga terminal dari tipe ini akan tumbuh lebih cepat dibandingkan bunga lateral. Berbeda dengan tipe spray, pada tipe standard dari satu cabang hanya tumbuh satu bunga.

Setiap bunga krisan terdiri atas banyak bunga yang disebut floret. Menurut Kofranek (1980) floret pada krisan terdiri atas dua tipe, yaitu ray floret dan disc floret yang berada di tengah bunga (Gambar 1). Floret yang terdapat pada bagian luar disebut ray floret. Floret yang terdapat pada bagian dalam disebut disk floret. Ray floret pada umumnya hanya mengandung pistil dan tidak mempunyai stamen dan polen, sedangkan disk floret mengandung dua alat reproduktif sehingga mempunyai banyak kemungkinan untuk menghasilkan biji.

(2)

Gambar 1. Tipe Floret pada Krisan: (A) Ray Floret dan (B) Disc Floret Sumber: www. plantzafrica.com

Bentuk bunga krisan berdasarkan perbedaan mahkotanya yang beragam. Variasi bentuk bunga tersebut antara lain single, anemone, pompon, decorative, spider, dan large-flowered incurve (bunga besar). Karakteristik bunga single adalah pada tiap tangkai hanya terdapat satu kuntum bunga, piringan bunga sempit, dan susunan mahkota bunga hanya satu lapis (Gambar 2a). Pada bunga anemone, bentuk bunga mirip bunga single tetapi piringan dasar bunga lebar dan tebal (Gambar 2b). Bunga pompon, bentuk bunga bulat seperti bola, mahkota bunga menyebar ke semua arah, dan piringan dasar bunga tidak tampak (Gambar 2c). Bentuk bunga decorative bulat mirip pompon, tetapi mahkota bunga bertumpuk rapat, di tengah pendek, dan bagian tepi memanjang (Gambar 2d). Bunga spider, mahkota relatif panjang seperti tabung dan melengkung di ujung (Gambar 2e). Pada bunga besar setiap tangkai terdapat satu kuntum bunga berukuran besar dengan diameter lebih dari 10 cm. Piringan dasar tidak tampak dan mahkota bunga memiliki banyak variasi, antara lain melekuk ke dalam atau keluar, pipih, panjang, berbentuk sendok, dan lain-lain (Gambar 2f) (Purwanto dan Martini, 2009).

A

(3)

Gambar 2. Bentuk Bunga Krisan: (A) Single, (B) Anemone, (C) Pompon, (D) Decorative, (E) Spider, dan (F) Bunga Besar

Sumber: (A) www.cyrosellaflower.wordpress.com; (B dan D) www.balithi.litbang.deptan.go.id; (C) www.arifs.blogspot.ugm.ac.id; (E) www.teysaigaday.blogspot.com; (F) www.wuryan.wordpress.com

A B

D C

F E

(4)

Tanaman krisan merupakan tanaman hari pendek (short day plant) yang membutuhkan panjang hari dengan batas kritis 13.5-16 jam. Krisan akan tetap tumbuh vegetatif bila panjang hari yang diterima lebih dari batas kritisnya dan akan terinduksi ke fase generatif (inisiasi bunga) bila panjang hari yang diterima kurang dari batas kritisnya. Di Indonesia panjang hari dan panjang malam hampir sama yaitu 12 jam sehingga diperlukan penambahan cahaya dengan tujuan memperpanjang fase vegetatif agar bagian vegetatif tanaman dapat tumbuh kuat dan dapat mengatur ketinggian tanaman. Oleh sebab itu, perlu bantuan cahaya dari lampu TL dan lampu pijar. Menurut Marwoto (1999), penyinaran paling baik di tengah malam antara jam 22.30–01.00 dengan lampu 150 watt untuk areal 9 meter persegi, dan lampu dipasang setinggi 1.5 meter dari permukaan tanah.

Krisan berasal dari daerah subtropis sehingga suhu yang terlalu tinggi merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Suhu terbaik untuk pertumbuhan krisan di daerah tropis adalah 20-26°C (siang hari) dan 18°C (malam hari) dengan kelembaban udara 70-80% (Rukmana dan Mulyana, 1997). Toleransi kisaran suhu untuk tetap tumbuh baik adalah antara 17-30°C. Suhu yang terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan sehingga menimbulkan pertumbuhan vegetatif yang berkepanjangan, sedangkan suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan bunga yang dihasilkan cenderung berwarna kusam, pucat dan memudar.

Bunga krisan dibudidayakan oleh petani kecil hingga pengusaha besar pada lahan dengan ketinggian 600-1 200 meter di atas permukaan laut (m dpl). Tanaman ini tumbuh baik pada tanah dengan drainase baik, tekstur liat berpasir dengan pH sedikit asam (5.5-6.7) dan mengandung bahan organik tinggi.

Tanaman krisan tidak tahan terhadap hempasan angin dan curah hujan secara langsung, sehingga perlu ditanam di bawah naungan. Rukmana dan Mulyana (1997) menyatakan bahwa hujan deras yang langsung menerpa tanaman krisan menyebabkan tanaman mudah roboh, rusak, dan kualitas bunganya rendah. Krisan yang ditanam di dalam rumah kaca dengan intensitas cahaya dan transpirasi yang tinggi akan menghasilkan bunga dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang ditanam di luar rumah kaca.

(5)

Varietas Krisan

Varietas tanaman krisan di Indonesia umumnya merupakan hibrida yang berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Krisan yang dibudidayakan di Indonesia merupakan jenis krisan lokal, yaitu krisan yang berasal dari luar negeri tetapi telah lama dan beradaptasi di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) telah merakit sekitar 24 varietas baru seperti Puspita Nusantara, Sakuntala, Dewi Ratih, Dewi Sartika, Pitaloka, Nyi Ageng Serang, Puspita Pelangi, dan Puspita Asri.

Gambar 3. Varietas Krisan: (A) Dewi Ratih dan (B) Puspita Nusantara Sumber: www.balithi.litbang.deptan.go.id

Krisan varietas Dewi Ratih (Gambar 3A) dengan dirilis tahun 2000 dengan tim pemulia Budi Marwoto, Jan de Jong, dkk. Varietas ini memiliki tipe bunga spray yang mempunyai warna bunga pita ungu dengan bentuk bunga tunggal. Tinggi tanaman mencapai 79.14 cm, bentuk daun lonjong menjari, lekukan dangkal, tepi bergerigi. Diameter bunga berukuran 6.5 cm dengan panjang tangkai 74.40 cm. Umur tanaman 104-109 hari. Inisiasi bunga terjadi 39.14 hari setelah hari panjang. Lama kesegaran bunga dalam vas (vase life) 14 hari. Varietas ini adaptif pada dataran medium dan dataran tinggi2).

Krisan varietas Puspita Nusantara (Gambar 3B) dengan nama genus Chrysanthemum morifolium Ramat dirilis tahun 2003 dengan tim pemulia Budi _________________

2)

www.balithi.litbang.deptan.go.id [19 Desember 2009]

(6)

Marwoto, Lia Sanjaya, dkk. Varietas ini memiliki tipe bunga spray dengan bentuk bunga tunggal. Tinggi tanaman 84-121 cm, tidak menyemak, warna batang hijau. Warna hijau daun bagian atas sedang, warna permukaan bawah daun kuning hijau. Varietas Puspita Nusantara adalah hasil persilangan antara Town Talk dan Saraswati. Umur tanaman krisan varietas Puspita Nusantara 104-109 hari. Inisiasi bunga 33 hari setelah penyinaran buatan dihentikan. Varietas ini memiliki ketahanan terhadap penyakit tanaman induk produktif yaitu penyakit karat. Adaptif pada dataran medium dan dataran tinggi. Lama kesegaran bunga dalam vas (vase life) selama 14 hari2)

.

Kultur Jaringan Tanaman

Pemuliaan konvensional melalui persilangan buatan dapat menghasilkan populasi F1 yang memiliki kombinasi sifat positif dari kedua tetuanya. Namun, untuk mendapatkan suatu kombinasi sifat yang diinginkan harus dibentuk populasi persilangan yang sangat banyak, terlebih bila para pemulia berhadapan dengan komoditas tanaman hias poliploid, seperti krisan. Dengan demikian untuk menghasilkan varietas unggul, maka frekuensi persilangan harus ditingkatkan.

Menurut Sanjaya, et. al. (2004), persilangan konvensional membutuhkan tenaga kerja, waktu dan biaya yang sangat besar. Selain itu, krisan mempunyai sistem self incompability tinggi yang menyebabkan banyak persilangan antar individu di dalam dan di luar kerabat tidak sukses. Keberhasilan hibridisasi berkisar 5% sampai 50% persilangan dalam kerabat yang kompatibel. Oleh karena itu, induksi mutasi secara in vitro merupakan alternatif yang digunakan pemulia tanaman untuk meningkatkan keragaman tanaman.

Menurut Gamborg (1991) kultur jaringan (in vitro) merupakan suatu teknik menumbuhkan organ, jaringan, dan sel tanaman. Sel yang berasal dari spesies tanaman dikulturkan secara aseptik pada media kultur berupa media padat atau cair. Media kultur terdiri atas komponen utama dan komponen tambahan. Komponen utama meliputi garam mineral, gula sebagai sumber karbon, vitamin, dan zat pengatur tumbuh. Komponen lain berupa senyawa nirogen organik, berbagai asam organik, dan metabolit yang dapat meningkatkan ketahanan sel.

(7)

Dasar teori kultur jaringan adalah totipotensi sel, dimana setiap sel memiliki kemampuan membentuk tanaman lengkap. Keberhasilan dalam metode in vitro dipengaruhi oleh media kultur yang digunakan. Media kultur yang umum digunakan adalah Murashige dan Skoog (Lampiran 1). Media MS mengandung jumlah hara anorganik yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur.

Menurut Wattimena et al. (2011), teknik kultur jaringan memiliki beberapa manfaat dalam pemuliaan tanaman, yaitu 1) manipulasi jumlah kromosom melalui bahan kimia tertentu dan meregenerasikan jaringan tertentu seperti endosperm (3n); 2) produksi tanaman haploid dan dihaploid yang homogenus melalui kultur antera atau mikrospora; 3) polinasi in vitro dan pertumbuhan embrio yang secara normal mengalami abortif; 4) hibridisasi somatik melalui teknik fusi protoplas; 5) induksi variasi somaklonal; dan 6) transfer DNA atau organel untuk memperoleh sifat tertentu yang diinginkan. Selain itu, teknik kultur jaringan dapat digunakan untuk produksi metabolit sekunder seperti shikonin, saponin, dan lain-lainya.

Menurut Maluszynki et al. (1995), induksi mutasi yang dikombinasikan dengan kultur in vitro efektif untuk membantu pemuliaan baik pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif maupun secara generatif karena dapat memperbaiki karakter suatu spesies dan memacu keragaman genetik yang lebih tinggi. Perubahan karakter dan perubahan genetik dapat terjadi pada fase sel maupun kalus pada tahap kultur in vitro karena adanya sel-sel yang mengalami mutasi. Metode in vitro tidak hanya digunakan dalam perbanyakan tanaman secara cepat dan masal, namun juga dilakukan untuk eliminasi virus, produksi bahan metabolit sekunder, preservasi atau penyimpanan plasma nutfah dan perbaikan tanaman.

Iradiasi pada kultur in vitro memberi peluang terjadinya mutasi dengan laju mutasi lebih tinggi dibandingkan tanaman yang diperbanyak melalui biji (Welsh, 1991). Materi genetik atau bahan tanaman (eksplan) yang digunakan pada perlakuan iradiasi dalam kultur jaringan berasal dari bahan yang sel-selnya sedang aktif membelah (meristematik), seperti kalus, benih, mata tunas, ovul, dan batang atas tanaman (Mariska et al., 1996).

(8)

Induksi Mutasi pada Tanaman Hias

Variasi genetik mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan keragaman genetik suatu tanaman. Crowder (2006) menyatakan bahwa variasi genetik dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu koleksi, introduksi, hibridisasi, dan induksi mutasi. Salah satu metode yang dianggap efektif untuk menimbulkan keragaman, khususnya pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif adalah melalui induksi mutasi, karena dapat mengubah satu atau beberapa karakter tanpa mengubah karakteristik kultivar asalnya.

Menurut Poespodarsono (1988), mutasi adalah suatu perubahan baik terhadap gen tunggal, sejumlah gen atau terhadap susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, tetapi lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif tumbuh dan membelah (jaringan meristem) seperti tunas.

Allard (1960) menyatakan bahwa mutasi dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu mutasi alami dan mutasi buatan. Mutagen fisik yang berupa iradiasi dan mutagen kimia adalah agen-agen mutasi yang potensial untuk menginduksi mutasi buatan. Kedua mutagen tersebut dapat menyebabkan perubahan kromosomal, seperti pemotongan dan perubahan susunan kromosom sehingga menyebabkan perubahan genetik yang lebih akurat.

Menurut Welsh (1991), mutasi terjadi karena adanya perubahan urutan nukleotida DNA yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada protein yang dihasilkan. Kecepatan mutasi bervariasi sesuai dosis mutagen yang diberikan. Makin tinggi dosis mutagen, makin besar peluang kemungkinan terjadi mutasi, tetapi juga dapat menyebabkan kematian sel tanaman. Perlakuan mutagen akan mengubah genotip dalam pola acak. Perubahan gen dipengaruhi oleh dosis mutagen, umur dan tipe jaringan, serta faktor fisik (kelembaban dan suhu).

Menurut Poespodarsono (1988), terjadinya mutasi pada suatu populasi akan menyebabkan keragaman pada populasi tersebut. Pemuliaan dengan mutasi memilki beberapa kekurangan, antara lain sifat mutasi yang acak dan tidak dapat diarahkan untuk bekerja pada gen spesifik, sehingga sulit meramalkan hasil yang diperoleh melalui proses mutasi. Akan tetapi bagi komoditas tanaman hias, bentuk

(9)

mutan apapun asalkan unik, menarik, dan stabil akan dapat dijadikan varietas baru yang menguntungkan di pasaran.

Induksi mutasi pada tanaman hias telah dilakukan sejak tahun 1930. Namun, mutasi induksi baru diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1967 sejak berdirinya Instalasi Sinar 60Co di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Iradiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan berkembang secara intensif pada tahun 1972 (Soedjono, 2003).

Saat ini pengembangan induksi mutasi pada tanaman hias, khususnya krisan diarahkan untuk memperoleh tanaman baru yang mempunyai tipe, bentuk, dan warna bunga yang berbeda dengan induknya, umur berbunga relatif pendek, produktivitas bunga yang tinggi, resisten terhadap hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Perkembangan mutan komersial telah banyak dilaporkan selama 30 tahun terakhir. Pada tanaman krisan, sekitar 50% varietas yang ada adalah hasil induksi mutasi.

Iradiasi Sinar Gamma

Mutagen dikelompokkan menjadi mutagen fisik dan mutagen kimia. Mutasi yang banyak dilakukan adalah menggunakan mutagen fisik dengan iradiasi atau penyinaran, terutama yang diaplikasikan pada tanaman hias. Sinar gamma merupakan mutagen fisik yang lebih sering digunakan oleh pemulia tanaman untuk meningkatkan keragaman genetik.

Sinar gamma memiliki panjang gelombang yang pendek, yaitu 10–0.01 nm dengan sumber utama iradiasi adalah isotop Cobalt-60 (60Co). Sinar gamma dikelompokkan ke dalam gelombang elektromagnetik karena tidak mempunyai massa dan muatan listrik. Sinar gamma mempunyai energi iradiasi tinggi, yaitu di atas 10 MeV sehingga mempunyai daya penetrasi yang kuat ke dalam jaringan dan mampu mengionisasi atom-atom dari molekul yang dilewatinya (Crowder, 2006).

Penggunaan eksplan dari bagian tanaman yang bersifat meristematik, yaitu sel yang sedang aktif tumbuh dan membelah akan lebih sensitif terhadap iradiasi. Hasil penelitian Handayani (2006) menunjukkan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan penggunaan iradiasi pada tanaman antara lain

(10)

genotipe, bagian tanaman yang digunakan, stadia perkembangan sel tanaman, temperatur dan dosis iradiasi.

Gen merupakan sasaran dari iradiasi. Menurut Aisyah (2006), iradiasi mengionisasi atom-atom dalam jaringan dengan cara melepaskan elektron-elektron dari atomnya. Ionisasi dari iradiasi sinar gamma terjadi menyebar sepanjang jalur ionisasi partikel. Ketika agen ionisasi yang mengandung inti atom (seperti partikel alpha) terlempar akibat iradiasi, ionisasi menjadi lebih rapat terkonsentrasi di daerah tersebut. Ionisasi dapat menyebabkan pengelompokan molekul-molekul di sepanjang jalur ion yang tertinggal karena iradiasi. Pengelompokan baru ini menyebabkan perubahan kimia yang mengarah pada mutasi gen atau pada kerusakan atau pengaturan kembali kromosom.

Pada proses ionisasi, terbentuk radikal positif dan eletron bebas. Elektron terperangkap, dan ion radikal yang sangat tidak stabil dan reaktif dapat bereaksi dengan molekul lain. Elektron bebas yang berada dalam larutan air akan mempolarisasi molekul air menjadi elektron terhidrasi. Radikal bebas yang berasal dari larutan akhirnya akan berekombinasi membentuk molekul yang stabil. Molekul oksigen bereaksi dengan radikal bebas hasil iradiasi membentuk peroxy-radicals.

Ionisasi menyebabkan basa-basa dalam DNA salah berpasangan. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya mutasi gen. Perlakuan dengan iradiasi pengionisasi paling sering menghasilkan mutasi-mutasi dengan dengan cara menginduksi delesi kecil pada DNA (Poespodarsono, 1988). Van Harten (1998) menambahkan bahwa rantai kromosom yang terputus akibar iradiasi pengion dapat mengubah struktur kromosom (delesi, inversi, duplikasi, dan translokasi). Ionisasi yang terjadi pada atau di dekat kromosom dapat mengakibatkan terputusnya ikatan kimia sehingga terjadi perubahan di dalam inti sel, baik perubahan struktur gen, delesi gen atau sekuen-sekuen DNA, patahnya sentromer, kehilangan atau penambahan kromosom, dan sebagainya. Adanya kerusakan pada tingkat molekuler inilah yang dapat menyebabkan munculnya keragaman pada tanaman yang diiradiasi.

Keragaman genetik tanaman dapat ditingkatkan melalui iradiasi sinar gamma, tetapi memerlukan dosis iradiasi yang bebeda-beda untuk setiap tanaman.

(11)

Satuan dosis iradiasi sinar gamma yang umum digunakan adalah rad per detik (radiation absorbed dose) atau Gray (Gy) per detik, yaitu jumlah dosis terserap per satuan waktu. 1 rad = 100 erg/g = 10 joule/kg; 1 Gy = 100 rad = 0.1 krad. Herison et al. (2008) menyatakan bahwa dosis iradiasi untuk meningkatkan keragaman tanaman dipengaruhi oleh radiosensivitas, yaitu tingkat sensitivitas tanaman terhadap iradiasi yang berbeda-beda untuk setiap tanaman.

Tingkat sensitivitas ini dapat diamati dari respon yang diberikan tanaman, baik dari morfologi tanaman, sterilitas, maupun dosis letal (LD50). LD50

merupakan dosis yang dapat mengakibatkan kematian 50% dari populasi yang mendapat perlakuan iradiasi. Mutasi yang diharapkan terletak pada kisaran LD50

atau tepatnya pada dosis sedikit di bawah LD50.

Broertjes dan Van Harten (1988) melaporkan kisaran dosis iradiasi sinar gamma pada berbagai jenis tanaman hias yang telah dicobakan berada pada selang yang masih cukup lebar, yaitu antara 25-120 gray. Datta (2001) menemukan dosis optimum stek pucuk tanaman krisan yang menghasilkan frekuensi mutan tertinggi terdapat pada dosis 25 Gy dan 19.5-22 Gy untuk krisan in vitro. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wulandari (2001), diperoleh bahwa dosis optimum untuk meningkatkan keragaman morfologi tanaman krisan adalah pada dosis 10 Gy dengan persentase kemunculan mutan tertinggi pada dosis 20 Gy.

Stomata

Stomata merupakan suatu celah pada jaringan epidermis yang berfungsi selama proses fotosintesis. Stomata dibatasi oleh dua sel penjaga yang di dalamnya mengandung kloroplas. Sel penjaga mengontrol diameter stomata dengan cara mengubah bentuk yang akan menyempitkan atau melebarkan celah di antara kedua sel tersebut. Ketika sel penjaga mengambil air melalui osmosis, sel penjaga akan membengkak. Ketika sel kehilangan air, menjadi lembek, serta mengkerut, sel-sel tersebut akan mengecil secara bersamaan kemudian menutup ruangan diantaranya (Campbell, 2004).

Padney (1982) menyatakan bahwa stomata berfungsi sebagai pengatur penguapan, pengatur masuknya CO2 dari udara dan keluarnya O2 ke udara selama berlangsungnya fotosintesis. Penyebaran stomata untuk setiap daun bervariasi,

(12)

di permukaan epidermis atas, bawah atau berada di kedua permukaannya. Menurut Purwanti (2007), stomata terdapat di kedua permukan daun, tetapi umumnya terdapat pada permukaan bawah dan jumlahnya lebih banyak daripada permukaan atas.

Tanaman yang menerima intensitas cahaya tinggi menghasilkan daun yang lebih kecil, lebih tebal, lebih kompak dengan jumlah stomata lebih sedikit, lapisan kutikula dan dinding sel lebih tebal dengan ruang antar sel lebih kecil, serta tekstur daun keras. Stomata eksplan yang dihasilkan secara in vitro memiliki panjang dan lebar yang relatif sama karena aktifitas respirasi tinggi (Namli dan Ayaz, 2007).

Kloroplas

Kloroplas mengandung materi genetik (gen atau DNA) yang juga dapat termutasi. Energi iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan kerusakan atau mutasi gen pada kloroplas. Mutasi pada gen kloroplas dapat menyebabkan kerusakan gen mutan (defective mutant genes) yang kemudian dapat mengganggu proses fotosintesis pada daun (Agustrial, 2008).

Menurut Saria et al. (2000), jumlah kloroplas sel penjaga menentukan tingkat ploidi suatu tanaman. Tanaman semangka diploid mempunyai jumlah kloroplas sel penjaga sebanyak 11–12, yaitu sekitar dua kali lipat dari tanaman haploidnya dengan jumlah 6–7. Pada umumnya, perubahan genetik yang mencakup perubahan tingkat ploidi, dipengaruhi oleh adanya pembelahan sel yang tinggi.

Poliploidi merupakan gejala yang umum dan tersebar luas dalam tumbuhan. Hasil penelitian Perwati (2009) tentang analisis derajat plodi pada Adiantum raddianum menunjukkan bahwa poliploidi menyebabkan penambahan ukuran sel. Bertambahnya ukuran sel merupakan refleksi dari bertambahnya ukuran vakuola dan kandungan air yang semakin banyak. Selain itu diketahui bahwa terdapat kecenderungan penambahan ukuran stomata dan spora seiring meningkatnya derajat ploidi.

Suryo (2007) menyatakan bahwa tanaman poliploid mempunyai kromosom yang lebih banyak dari pada diploidnya. Sifat umum dari tanaman

(13)

poliploid adalah tanaman lebih kekar, bagian-bagian tanaman menjadi lebih besar (akar, batang, daun), sel-selnya (sel epidermis) lebih besar, ukuran stomata lebih besar. Selain itu, pada kebanyakan spesies tangkai dan helaian daun menjadi lebih tebal.

Gambar

Gambar 1.  Tipe Floret pada Krisan: (A) Ray Floret dan (B) Disc Floret  Sumber: www. plantzafrica.com
Gambar  2.  Bentuk  Bunga  Krisan:  (A)  Single,  (B)  Anemone,  (C)  Pompon,  (D)   Decorative, (E) Spider, dan (F) Bunga Besar
Gambar 3. Varietas Krisan: (A) Dewi Ratih dan (B) Puspita Nusantara     Sumber: www.balithi.litbang.deptan.go.id

Referensi

Dokumen terkait

Selaku Panitia Pengadaan Barang/Jasa (POKJA XVI) berdasarkan Surat Keputusan Walikota Cimahi Nomor : 027/Kep.431-Adbang/2011 tanggal 25 November 2011, tentang

Mengingat pentingnya data mengenai PDRB di Kabupaten Kudus baik bagi pemerintah Kabupaten Kudus dalam membuat kebijakan maupun bagi masyarakat bisnis dalam

Site didasarkan atas konsep yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu akses menuju site mudah dijangkau oleh pengunjung,hal itu akan memberikan pengaruh terhadp

Adapun pengapresiasian tahuddus hi ul-ni 'mot dengan ''bersyukur'", menurut Bint al-Syathi Syathi 3 \ dapat dilakukan jika dimungkinkan menurut penggunaan

Mengkaji kembali struktur teks berita yang ada dalam tulisan laporan utama (Rubrik Maung) dalam majalah online Maung Magz berjudul “Cerita Dibali Jersey Persib

g Pastikan vaksin yang telah diberikan ditelan oleh anak yang diimunisasi h.. "ika di muntahkan atau di keluarkan oleh anak, ulangi lagi

Penyampaian Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur secara off line adalah penyampaian Laporan Debitur dan atau koreksi atas Laporan Debitur oleh Pelapor

UUJN tidak memberikan penjelasan apapun mengenai kewenangan Notaris membuat akta Risalah Lelang, terkait kewenangan notaris membuat akta Risalah Lelang tersebut untuk