• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR SKRIPSI MARIA LITA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR SKRIPSI MARIA LITA"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA

MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA,

KALIMANTAN TIMUR

SKRIPSI MARIA LITA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(2)

PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA

MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA,

KALIMANTAN TIMUR

Oleh MARIA LITA

D14052670

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 3 September 2009

Pembimbing Utama

Ir. Hj. Komariah, MSi

Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Kartiarso, MSc.

Dekan

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr.

Ketua Departemen

llmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(3)

PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA

MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA,

KALIMANTAN TIMUR

MARIA LITA Dl4052670

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(4)

RINGKASAN

MARIA LITA. D14052670. 2009. Produktivitas Kerbau Rawa di Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Skripsi. Departemen llmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hj. Komariah, MSi. Pembimbing Anggota: Dr. Ir. Kartiarso, MSc.

Kerbau rawa (Bubalus bubalis Linn.) merupakan salah satu komoditas usaha peternakan yang potensial dalam hal penyediaan daging karena pada kondisi pakan berkualitas rendah, mampu mencerna serat kasar lebih baik dari ternak sapi (Cockrill, 1974). Kerbau mempunyai persentase karkas yang relatif tinggi yaitu 40-47% (Kristianto, 2006). Hal ini merupakan peluang dalam menunjang pemenuhan kebutuhan daging, namun produktivitasnya dari tahun ke tahun semakin menurun (Dinas Peternakan, 2007).

Penelitian yang dilaksanakan di kelompok peternakan kerbau rawa Teluk Ridan Desa Pulau Harapan, Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara pada bulan Februari sampai Mei 2009 ini bertujuan untuk mengkaji produktivitas kerbau rawa di Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara. Data produktivitas ditinjau dari aspek produksi dan reproduksi. Aspek produksi diteliti menggunakan 16 ekor kerbau rawa yang terdiri atas pejantan, induk, anak jantan dan anak betina yang masing-masing empat ekor. Bobot badan rata-rata anak kerbau umur 6-24 bulan adalah 201,58±81,27 kg dan dewasa umur 3-10 tahun adalah 372,66±95,25 kg.

Aspek reproduksi diketahui dengan melakukan wawancara, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: perbandingan jantan terhadap betina 1:4, waktu dan lama berahi serta panjang siklus berahi 2,6 tahun, 8 hari, dan 18,5 hari. Berahi dan konsepsi pertama rata-rata terjadi pada umur 2,8 tahun dengan lama kebuntingan 1 tahun. Angka kelahiran dan calf crop kerbau yaitu 75% dan 67%. Perbedaan antara angka kelahiran dan calf crop disebabkan oleh adanya kematian anak (mortalitas) sebesar 11% pada umur prasapih yaitu rata-rata 1,7 bulan. Service per conception (S/C) dan angka kebuntingan tidak diketahui karena kerbau di Muara Muntai tidak menggunakan inseminasi buatan (IB) dan kawin alam tidak terkontrol oleh peternak. Prospek pengembangan kerbau di Muara Muntai dianalisis dengan menggunakan analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats (SWOT) yang ditinjau dari aspek internal dan eksternal. Aspek internal meliputi segi ternak, lahan, sumber daya alam, tenaga kerja, kelembagaan dan sistem pemeliharaan sedangkan aspek eksternal meliputi iklim, permintaan, harga, persaingan, sosial budaya serta ekonomi masyarakat. Rumusan strategi pengembangan usaha peternakan berdasarkan hasil analisis SWOT yaitu menekan tingkat kematian anak (mortalitas), peningkatan produktivitas hijauan makanan ternak (HMT) yang berkualitas tinggi dan berkesinambungan, meningkatkan bobot potong ternak kerbau, perbaikan aspek reproduksi, dan menetapkan peraturan daerah tentang pelarangan pengeluaran dan pemotongan bibit ternak kerbau.

(5)

ABSTRACT

Productivity of Swamp Buffalo in Muara Muntai Subdistric, Kutai Kartanegara Regency, East Kalimantan

Lita M., Komariah and Kartiarso

The purpose of this reseach was to investigate productivity of swamp buffalo in Pulau Harapan Village. The reseach was conducted from February to May 2009 in Muara Muntai Subdistric, Kutai Kartanegara Regency, East Kalimantan. The number of observation were 16 buffaloes (bull, dam, male and female calves 4 each). The results were as follow: the ratio between male and female was 1:4; first oestrus was at 2.6 years of age with the average duration of heat about 8 days and the oestrous cycle about 18.5 days. The first conception occured at 2.8 years with the gestation period about I year. Birth rate and calf crop were relatively high: 75% and 67%. The difference of birth rate and calf crop caused mortality about 11% at 1.7 months of age. Service per conception and conception rate were not known because the buffalo does not use artificial insemination and natural mating was not controlled by breeder. An average body weight of calves at 0 to 24 months were 201.58±81.27 kgs and adult buffaloes at 3-10 years were 372.66±95.25 kgs. The development prospect of buffalo in Muara Muntai was analysed with SWOT from internal and external aspects. Internal aspect include livestock land natural resource, man power, institution, and maintenance system, whereas external aspect include climate, meat demand, price, rivalry, sociocultural, and socioeconomy. The strategies formula of development livestock based on the result of SWOT analysis are reduced mortality, increasing productivity of forage with high quality, increasing harvest weight, repairing reproduction aspect, and deciding prohibition order disimissal and slaughtering breed of bufallo.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 08 Mei 1987 di Kelurahan Jahab, Kecamatan Tenggarong Kutai Kartanegara. Penulis merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara, dari pasangan Bapak Marthen Barrung dan Ibu Lina Rante. Pendidikan dasar ditempuh di SDN 034 Jahab pada tahun (1993-1999). Penulis menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat pertama pada tahun 2002 di SLTPN 3 Loa Kulu filial Jahab, kemudian dilanjutkan ke SMU Negeri 2 Tenggarong dan lulus pada tahun 2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) pada tahun 2005. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen llmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor sistem mayor minor tahun 2006. Selama perkuliahan di IPB Penulis aktif di organisasi dan kegiatan kemahasiswaan yaitu UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB 2005-2009.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul "Produktivitas Kerbau Rawa di Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur''. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Produktivitas ternak kerbau dapat ditinjau dari segi reproduksi dan produksi. Rendahnya populasi merupakan indikator rendahnya produktivitas ternak. Produktivitas yang rendah dapat disebabkan oleh berbagai kendala dalam manajemen pemeliharaan, bibit (breeding), dan pakan (feeding), sehingga perlu dilakukan kajian mengenai produktivitas dan analisis usaha peternakan perlu dilakukan secara mendalam dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan peternakan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangannya. Tak ada gading yang tak retak dan manusia penuh dengan kelemahan, begitupun dengan skripsi ini yang masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini di masa yang akan datang. Penulis berharap agar skripsi ini tidak hanya sebagai pelengkap di perpustakaan, tetapi lebih dari itu dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Semoga Tuhan selalu melimpahkan berkat dan kasih karunia-Nya kepada kita semua.

Bogor, September 2009 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Kerbau Rawa ... 3 Produktivitas Ternak ... 4 Reproduksi ... 5 Pubertas ... 5

Siklus Berahi dan Lama Berahi ... 6

Umur Kawin Pertama ... 6

Service per Conception ... 7

Angka Kebuntingan ... 7

Lama Bunting ... 8

Calf Crop ... 8

Berahi setelah Kelahiran ... 8

Interval Dikawinkan Pertama setelah Beranak ... 9

Selang Beranak (Calving Interval) ... 9

Parameter Tubuh ... 9

METODE ... 10

Lokasi dan Waktu... 10

Materi ... 10

Analisis Data ... 10

Peubah ... 11

Prosedur... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 12

(9)

Keadaan Iklim ... 13

Populasi dan Kepemilikan Kerbau ... 13

Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian ... 16

Keadaan Ternak Kerbau ... 18

Tatalaksana Budidaya Ternak Kerbau ... 19

Pemeliharaan Ternak ... 19 Perkandangan... 21 Peralatan... 22 Pakan... 23 Tenaga Kerja... 25 Penanganan Kesehatan ... 25 Pemasaran Ternak... 26

Produktivitas Ternak Kerbau... 27

Reproduksi Ternak Kerbau ... 27

Produktvitas Ternak Kerbau ... 30

Analisis SWOT Usaha Ternak Kerbau ... 33

Faktor Internal... 34 Kekuatan (Strengths) ... 34 Kelemahan (Weakness) ... 35 Faktor Eksternal ... 36 Peluang (Opportunities) ... 36 Ancaman (Threats) ... 36 Alternatif Strategi ... 37 Implementasi Strategi... 38

KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

Kesimpulan ... 40

Saran ... 40

UCAPAN TERIMA KASIH ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Populasi Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara ... 14

2. Jumlah Populasi Kerbau Rawa di Kecamatan Muara Muntai ... 15

3. Sebaran Umur Peternak Kerbau di Desa Pulau Harapan... 16

4. Profil Peternak Kerbau Rawa di Desa Pulau Harapan... 17

5. Jadwal Kegiatan Harian Beternak Kerbau di Desa Pulau Harapan ... 19

6. Kandungan Nutrisi Beberapa Hijauan Makanan Ternak (HMT)... 24

7. Karakteristik Reproduksi Ternak Kerbau di Desa Pulau Harapan... 28

8. Produksi Kerbau ... 31

9. Nilai Rataan Ukuran Tubuh Kerbau Muara Muntai ... 32

10. Matriks Analisis SWOT... 34

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerbau Rawa dalam Kalang... 18

2. Kerbau Turun dari Kalang (a); Kerbau Istirahat (b)... 20

3. Penandaan dengan Ear Notching ... 21

4. Kalang (a); Sekat-sekat dalam Kalang (b) ... 21

5. Rumput Kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees)... 23

6. “Cut and Carry” (a); Pakan Hijauan dalam Kalang (b) ... 25

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Lokasi Kecamatan Muara Muntai ... 47

2. Populasi Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara ... 48

3. Produksi Daging Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara ... 49

4. Total Pemotongan Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara ... 50

5. Konsumsi Daging di Kabupaten Kutai Kartanegara ... 51

6. Inventarisasi Potensi Lahan Sektor Peternakan Kutai Kartanegara... 52

7. Struktur Populasi Ternak Kerbau di Indonesia... 53

8. Kebutuhan Daging di Indonesia... 54

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kerbau rawa (Bubalus bubalis Linn.) merupakan salah satu komoditas peternakan yang potensial dalarn hal penyediaan daging karena pada kondisi pakan berkualitas rendah, mampu mencerna serat kasar lebih baik dari ternak sapi (Cockrill, 1974). Kerbau juga mempunyai persentase karkas yang relatif tinggi yaitu 40-47% (Kristianto, 2006). Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan salah satu daerah yang memiliki kerbau rawa yang telah mampu beradaptasi dengan lingkungan. Menurut Dinas Peternakan (2007) populasinya dari tahun ke tahun tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan bahkan menurun yaitu 4.515 ekor (2005), 2.043 ekor (2006) dan 2.149 ekor (2007), sedangkan konsumsi daging kerbau sebanyak 15.959 kg (Dinas Peternakan Kutai Kartanegara, 2008), sehingga perlu dilakukan berbagai cara untuk meningkatkan populasi ternak kerbau tersebut. Beberapa faktor penyebab rendahnya populasi kerbau di Indonesia pada umumnya adalah keterbatasan bibit unggul, mutu pakan rendah, perkawinan silang dalam dan kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak tersebut.

Tahun 2002 konsumsi daging per kapita per tahun sebesar 5,75 kg (sekitar 16 g/kapita/hari) atau setara dengan jumlah protein sebanyak 4,6 g/kapita/hari, sedang-kan kebutuhan protein hewani pada manusia pria dewasa sebanyak 56 g/hari, dan pada wanita sebesar 44 g/hari, dengan rata-rata kebutuhan protein hewani per hari sebesar 50 g/hari yang merupakan jumlah yang dianjurkan oleh WHO. Hal ini tam-pak bahwa bangsa Indonesia masih jauh tertinggal dalam pemenuhan kebutuhan pro-tein hewani.

Jumlah penduduk Indonesia tahun 2008 adalah 226,7 juta dan kebutuhan daging, yaitu: daging sapi 411.120 ton, daging ayam 176.900 ton, daging domba 45.353 ton, daging kambing 34.015 ton, dan daging kerbau 27.212 ton. Pertambahan penduduk akan meningkatkan permintaan daging. Kebutuhan daging khususnya daging kerbau akan meningkat pada tahun 2009 (29.800 ton) dan tahun 2010 (32.500 ton) dan populasi yang harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah 2.210.376 ekor (2009) dan 2.232.480 ekor (2010) (Deptan, 2008). Kesenjangan yang

(14)

terjadi antara penyediaan dengan permintaan kebutuhan daging menyebabkan harga daging semakin naik 24-37% per tahun (Miskiyah dan Usmiati, 2006). Hal ini meru-pakan peluang yang besar untuk meningkatkan jumlah populasi ternak kerbau.

Pertumbuhan penduduk, pendapatan dan kesadaran mengenai pentingnya pangan berkualitas merupakan penyebab dilakukannya impor sapi beserta daging sapi dan komponen lainnya dalam rangka pemenuhan konsumsi daging. Jumlah sapi impor tiap tahunnya mencapai 360.000 ekor atau 20 persen dari total sapi Indonesia, sedangkan konsumsi juga terus mengalami peningkatan (Sadad, 2009). Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sapi. Menurut Diwyanto dan Handiwirawan (2006), kerbau dapat hidup di kawasan yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat berkembang biak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering. Penggolongan daging kerbau hasil pemotongan di PT Kariyana Gita Utama, berdasarkan kualitas karkas, yaitu: kualitas 1 (kelas 1) sebanyak 41,717 kg (33,13%); kualitas II (kelas II) sebanyak 67,595 kg (53,68%); dan kualitas III (kelas III) sebanyak 16,595 kg (13,19%) (Miskiyah dan Usmiati, 2006). Hal ini mendukung pengembangan ternak kerbau untuk memenuhi kebutuhan daging baik tingkat daerah maupun nasional sehingga angka impor daging dapat diturunkan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui produktivitas kerbau rawa dan perkembangan populasinya di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan melihat performan produksi dan repoduksinya.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi awal tentang produktivitas kerbau rawa di Kutai Kartanegara dan dasar kebijakan pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan sumber daya yang telah ada untuk pengembangan peternakan daerah. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi akan potensi daerah Kutai Kartanegara sebagai pendidikan dan keperluan usaha di bidang peternakan khususnya kerbau rawa.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa

Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovinae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau water bufallo yang ada pada saat ini berasal dari spesies Bubalus arnee. Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah B. mindorensis, B. depressicornis dan B. cafer (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau Asia terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau domestik terdiri atas dua tipe yaitu kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Klasifikasi ternak kerbau (Storer et al., 1971) sebagai berikut.

Kingdom : Animalia Kelas : Mamalia Sub-kelas : Ungulata Ordo : Artiodactyla Sub-ordo : Ruminansia Famili : Bovidae Genus : Bubalus

Spesies : Bubalus bubalis Linn.

Kerbau (Bubalus bubalis Linn.) adalah ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya daerah belahan utara tropika (Deptan, 2008). Kerbau ditinjau dari habitatnya, digolongkan dalam dua tipe, yaitu: swamp bufallo dan river bufallo. Swamp buffalo (kerbau rawa) tipe habitatnya adalah area daerah rawa yang tempat berkubangnya di lumpur, sedangkan river buffalo (kerbau sungai) menetap di daerah basah dan lebih suka berenang di sungai atau kolam yang dasarnya keras. Kerbau sungai umumnya tipe kerbau penghasil susu, sedangkan kerbau rawa merupakan tipe penghasil daging (Fahimuddin, 1975).

Indonesia mempunyai berbagai bangsa kerbau yang karena lama terpisah dari tempat asalnya kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat dan diberi nama sesuai dengan nama tempat seperti Kerbau Pampangan (Pampangan/Sumsel), Kerbau

(16)

Binanga (Tapsel/Sumut), Kerbau rawa (di Sumatera dan Kalimantan), Kerbau Benuang (Bengkulu), Kerbau Belang Tana Toraja (Sulsel), Kerbau Sumbawa (NTB), Kerbau Sumba (NTT), Kerbau Moa (Maluku) dan lain-lain yang sebenarnya terma-suk dalam bangsa kerbau lumpur (swamp buffalo) (Talib, 2008).

Kerbau rawa banyak terdapat di daerah Asia Tenggara. Kerbau ini tampak lebih liar dibandingkan dengan kerbau tipe sungai. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa merupakan kerbau yang berbadan pendek, besar, bertanduk pan-jang, memiliki konformasi tubuh yang berat dan padat, dan biasanya berwarna abu-abu dengan warna yang lebih cerah pada bagian kaki. Warna yang lebih terang dan menyerupai garis kalung juga terdapat di bawah dagu dan leher. Kerbau rawa tidak pernah berwarna coklat atau abu-abu coklat sebagaimana kerbau sungai (Mason, 1974). Ciri-ciri dari bagian muka adalah dahi datar, muka pendek, moncong lebar dan terdapat bercak putih di sekitar mata. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa jantan memiliki bobot dewasa 500 kg dan kerbau betina 400 kg dengan tinggi pundak jantan dan betina adalah 135 dan 130 cm. Menurut Chantalakhana (1981), kerbau rawa dewasa di Indonesia memiliki tinggi rata-rata 127-130 cm untuk kerbau jantan dan 124-125 cm untuk kerbau betina. Kerbau rawa mempunyai kemampuan berenang jauh serta menyelam cukup dalam di dalam air. Cara kerbau dewasa berenang adalah kedua kaki belakangnya bertumpu di tanah dan mendorong tubuhnya ke depan, sementara kaki depannya digunakan untuk mengayuh atau mendayung. Hal ini kemungkinan merupakan salah satu penyebab kedua kaki depan kerbau rawa punya perototan yang lebih kekar dibandingkan kaki belakang (Dilaga, 1987).

Produktivitas Ternak

Produktivitas ternak ditinjau dari dinamika populasi diartikan sebagai perkembangan populasi ternak dalam periode waktu tertentu (umumnya satu tahun) dan sering dinyatakan dalam persentase (%), apabila dibandingkan dengan populasi ternak secara keseluruhan (Basuki, 1998). Produktivitas kerbau rawa di Indonesia pada umumnya rendah yang disebabkan oleh beberapa kendala, antara lain: peranan kerbau pada sistem usaha tani tradisional, pengusahaan lahan yang kurang ekonomis, kurangnya modal, sangat terbatasnya bibit unggul, kualitas pakan yang rendah, kurangnya pengetahuan petani terhadap produksi kerbau. Kendala-kendala tersebut

(17)

dapat diminimalisasi dengan program jangka panjang terutama dalam bidang reproduksi dan pemuliaan ternak kerbau (Dwiyanto dan Subandryo, 1995). Produk-tivitas ternak potong dipengaruhi oleh struktur populasi ternak, natural increase (angka pertambahan alami), angka panen (calf crop), mortalitas sesudah lepas sapih dan masa aktivitas reproduksi (melahirkan) bagi induk (Basuki, 1998).

Reproduksi

Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk menghasilkan anak selama hidupnya. Daya reproduksi kelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi produksi yang tinggi pula. Laju peningkatan populasi ternak akan menjadi lebih cepat bila efisiensi reproduksinya lebih baik dan rendahnya angka gangguan reproduksi. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh lima hal, yaitu: l) angka kebuntingan (conception rate), 2) jarak antar melahirkan (calving interval), 3) jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), 4) angka perkawinan per kebuntingan (service per conception), dan 5) angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995).

Efisiensi proses reproduksi pada water buffalo berhubungan erat dengan jum-lah faktor yang dikontrol oleh heriditas dan lingkungan. Kendala reproduksi diantara-nya adalah lambatdiantara-nya angka pertumbuhan, keterlambatan pubertas, musim kawin, tingginya umur beranak pertama, panjangnya calving interval, dan lain-lain. Hal yang menjadi masalah utama dari beternak kerbau (Fahimuddin, 1975). Menurut Cockrill (1974), kerbau rawa mampu menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidup-nya dan dapat hidup sampai 25 tahun.

Pubertas

Pubertas atau dewasa kelamin dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan terjadi. Pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi yang normal dan sempurna yang masih akan tercapai kemudian. Pubertas pada hewan jantan ditandai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma di samping perubahan-perubahan kela-min sekunder lain, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus

(18)

dan ovulasi. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikan ukuran dan berat organ reproduksi secara cepat (Toelihere, 1981).

Pubertas terjadi karena dipengaruhi oleh faktor hewannya diantaranya, yaitu: umur, bobot badan, ras dan genetik. Beberapa faktor yang juga sangat berpengaruh ialah faktor lingkungan yaitu: suhu musim dan iklim. Faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terutama nutrisi dan pakan. Pubertas lebih awal akan menguntungkan karena dapat mengurangi masa tidak produktif dan memperpanjang masa hidup produktif ternak. Peningkatan genetik dapat terjadi lebih cepat karena interval generasi berkurang, bila dilakukan seleksi dengan baik dan program seleksi yang efektif (Tomaszewska et al., l99l). Hasil dari penelitian yang dilakukan di Kalimantan Selatan oleh Lendhanie (2005) mengatakan bahwa umur melahirkan pertama pada kerbau rawa yaitu 3-4 tahun sehingga diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun meskipun umur pubertas kerbau rawa tidak diketahui dengan pasti. Umur konsepsi pertama ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamin dengan asumsi lama kebuntingan selama 12 bulan.

Siklus Berahi dan Lama Berahi

Berahi adalah saat hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi berikutnya disebut satu siklus bera-hi, jika berahi yang pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka berahi yang per-tama itu akan disusul dengan berahi kedua (Partodihardjo, 1980).

Lama berahi berkisar antara waktu penerimaan pertama sampai penolakan terakhir (McDonald, 1977). Menurut Mongkopunya (1980) lama berahi kerbau rawa adalah 32 jam. Kerbau rawa Thailand memiliki siklus berahi 2l hari, sedangkan di Philipina siklus berahi kerbau rawa selama 20 hari (Guzman, 1980). Gejala berahi tidak muncul disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi arid dan semiarid serta lama berahi menjadi pendek (dari 11,9 jam menjadi 6,1 jam) (Cockrill, 1974). Umur Kawin Pertama

Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkinkan (dewasa kelamin dan dewasa tubuh) untuk suatu kebun-tingan dan kelahiran normal. Hal ini karena dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai (Toelihere, 1981). Umur kerbau betina pada konsepsi pertama

(19)

ber-beda-beda tergantung pada manajemen pemeliharaan, penggunaan pakan, dan gene-tik. Umur kawin pertama kerbau rawa di Malaysia adalah rata-rata 28 bulan atau 2,3 tahun (Fahimuddin, 1975). Menurut hasil penelitian Lendhanie (2005), ternak kerbau betina di Kalimantan Selatan baru berahi pertama setelah berumur 3 tahun atau lebih lama dibanding sapi.

Service per Conception (S/C)

Service per conception adalah penilaian atau perhitungan jumlah perkawinan (service) inseminasi buatan (IB) atau kawin alam yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan. Nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0. Nilai S/C makin rendah maka makin tinggi kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut, tetapi sebaliknya makin tinggi nilai S/C, maka makin rendah kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut (Toelihere, l98l). Betina dara yang beranak pertama selalu membutuhkan service per conception yang lebih tinggi daripada betina yang lebih tua (Fahimuddin, I975).

Angka Kebuntingan

Angka kebuntingan atau conception rate (CR) adalah persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi atau kawin pertama baik pada sapi dara maupun pada sapi laktasi. Angka kebuntingan (CR) ditentukan oleh tiga faktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Angka kebuntingan ditentukan berdasarkan hasil diagnosa palpasi per rektal pada 40-60 hari setelah inseminasi (Toelihere, 1981) dan dihitung berdasarkan persamaan berikut:

Menurut Fahimuddin (1975), conception rate dipengaruhi oleh musim kawin, umur pejantan dan betina, tingkat nutrisi, dan lain-lain. Nilai CR menurut Cockrill (1974) adalah 63% dan CR untuk sapi lebih tinggi daripada kerbau.

Lama Bunting

Periode kebuntingan diukur sebagai jumlah hari antara waktu kawin sampai kelahiran anak karena ketepatan waktu fertilisasi tidak diketahui. Faktor yang mem-pengaruhi lama kebuntingan adalah jenis kelamin keturunan umur induk dan yang

(20)

lebih luas yaitu musim kelahiran dan kondisi lingkungan. Kebuntingan anak jenis kelamin jantan pada spesies mamalia umumnya sedikit lebih lama daripada betina dan bunting pertama selalu lebih singkat daripada kebuntingan selanjutnya (Fahimuddin, 1975). Lama bunting adalah suatu aspek yang mempengaruhi selang kelahiran. Menurut Guzman (1980), kerbau rawa memiliki lama bunting berkisar antara 320-325 hari, Mongkopunya (1980) menyatakan bahwa lama bunting kerbau rawa adalah 336 hari, dan menurut Toelihere (1981), rata-rata periode kebuntingan adalah 310-315 hari dan selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan lama kebuntingan bisa disebabkan oleh manajemen, pakan dan iklim lingkungan.

Calf Crop

Calf crop adalah persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu tahun dari seluruh induk yang diteliti dan jika diinginkan angka calf crop yang tinggi maka harus diperhatikan waktu dan lama berahi, ketepatan saat kawin, nutrisi dan pengawasan penyakit (Talib, I988). Rata-rata calf crop kerbau di Indonesia sangat rendah yaitu 33%.

Berahi setelah Melahirkan

Fase kelahiran atau partus akan terjadi apabila masa kebuntingan telah men-cukupi. Organ reproduksi, terutama uterus akan mengalami proses penyembuhan setelah peristiwa kelahiran yaitu kembali keukuran semula pada saat tidak bunting. Proses ini disebut dengan istilah involusi uterus. Berahi kembali akan terjadi setelah involusi uterus selesai. Proses berahi setalah melahirkan pada tiap individu berbeda-beda bergantung kepada lamanya proses involusi uterus. Guzman (1980) menyatakan bahwa pada kerbau rawa berahi kembali setelah melahirkan adalah 35 hari. Kerbau seperti halnya dengan sapi bahwa apabila dalam pengelolaan pasca melahirkan induk dihadapkan pada pakan yang kurang, lingkungan yang tidak serasi, sanitasi kandang yang kurang baik atau kondisi lain yang tidak mendukung maka pada induk akan terjadi gangguan dalam proses reproduksi selanjutnya (Hardjopranjoto, 1991).

Interval Dikawinkan Pertama setelah Beranak

Interval perkawinan setelah beranak menentukan panjang interval kelahiran. Interval dikawinkan pertama setelah beranak adalah interval dari induk par-tus/beranak sampai kawin kembali (service periode) dan lamanya bergantung pada

(21)

estrus postpartum dan konsepsi aktual yang membutuhkan perkawinan satu kali, dua kali, atau lebih. Berahi postpartum merupakan komponen dasar dari service period yang sangat bervariasi baik dari faktor fisik maupun psikologi sehingga menun-jukkan besarnya variasi berdasarkan keturunan atau tipe dan lingkungan (Fahimuddin, 1975). Kerbau akan kembali estrus 40 hari setelah beranak berdasarkan National Research Council (1981).

Selang Beranak (Calving Interval)

Selang beranak adalah jangka waktu dari saat induk beranak hingga saat beranak berikutnya. Calving interval dipengaruhi oleh daya reproduksi dan ditentu-kan oleh lamanya masa kosong serta angka perkawinan per kebuntingan. Siklus reproduksi akan diulang kembali sampai pada kebuntingan berikutnya setelah kerbau mengalami berahi kembali dan melahirkan. Panjang calving interval sangat berva-riasi pada kerbau rawa bergantung kepada semua karakteristik reproduksi. Menurut Guzman (1980), selang kelahiran kerbau rawa berkisar antara l-3 tahun atau rata-rata 1,5 tahun. Calving interval lebih banyak diatur oleh faktor nongenetik yaitu ada kesem-patan menurunkannya dengan efisiensi manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang tepat (Fahimuddin, 1975).

Parameter Tubuh

Informasi tentang ukuran tubuh kerbau hanya terdapat sedikit dibandingkan dengan ternak sapi yang lebih populer, padahal ukuran tubuh ini penting dalam manajemen produksi ternak. Pengukuran parameter tubuh sering digunakan untuk estimasi produksi, misalnya untuk pendugaan bobot badan (Saleh, 1982). Parameter tubuh yang diukur meliputi panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak, dan tinggi pinggul. Bobot badan pada umumnya mempunyai hubungan positif dengan semua ukuran linear tubuh. Ukuran-ukuran tubuh ternak dapat berbeda satu sama lainnya secara bebas, korelasinya dapat disebut positif apabila peningkatan satu sifat penyebab sifat lain juga meningkat. Menurut Diwyanto (1982), komponen tubuh yang berhubungan erat dengan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan. Williamson dan Payne (1986), pemakaian ukuran lingkar dada panjang badan dapat memberikan petunjuk bobot badan seekor hewan dengan tepat. Nilai korelasi tertinggi diperoleh dari lingkar dada dibandingkan dengan ukuran tubuh lainnya

(22)

(Aisiyah, 2000), oleh karena itu, lingkar dada dapat digunakan sebagai kriteria seleksi dan memilih calon bibit.

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2009 di Desa Pulau Harapan, Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Materi

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua macam pita ukur (seng dan kain) dan borang kuisioner (di lampiran) sedangkan yang menjadi objek penelitian adalah kerbau rawa (swamp buffalo) dan peternak kerbau rawa.

Analisis Data

Data yang diperoleh melalui kuisioner, ditabulasi dan dianaliasis secara deskriptif. Strategi pengembangan usaha peternakan dianalisis dengan analisis SWOT. Informasi dan data dianalisis berdasarkan lingkup internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Alternatif strategi ditentukan berdasarkan pasangan faktor internal dan eksternal dan sebagai implementasi strategi, diambil yang paling prioritas. Data pengukuran panjang badan dan lingkar dada kerbau yang diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan analisa kuantitatif. Metoda yang digunakan untuk menduga bobot badan ternak kerbau adalah regresi linear berganda yang meliputi lingkar dada (cm) dan panjang badan (cm) (Putra, 1985).

Log Y = B0 + Bl Log Xl + B2 Log X2 Keterangan:

Y : bobot badan ternak (kg) X1 : lingkar dada (cm) X2 : panjang badan (cm) B0 : -3,686

(23)
(24)

Peubah

Peubah yang diamati adalah aspek produksi dan reproduksi, untuk reproduksi adalah rasio jantan dan betina (data primer), umur pubertas, siklus berahi dan lama berahi, umur kawin pertama, service per conception (S/C), angka kebuntingan, lama bunting, calf crop, berahi setelah kelahiran, interval dikawinkan pertama setelah beranak, dan selang beranak (calving interval) (data sekunder). Pengukuran bagian-bagian tubuh untuk estimasi bobot badan sebagai indikator produksi didasarkan pada metode McNitt (1983). Ukuran morfologi yang dilakukan meliputi:

l. Panjang badan, diukur dari tonjolan bahu (humerus) sampai tonjolan tulang duduk (tuber ischi) dengan menggunakan tongkat ukur.

2. Lingkar dada, diukur melingkar bagian dada tepat di belakang siku kaki depan tegak lurus terhadap sumbu dengan menggunakan pita ukur.

Prosedur

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan terhadap peternak aktif dengan metode purposive sampling. Responden dipilih secara sengaja berdasarkan kesediaan peternak untuk diwawancarai dengan penekanan pada kekayaan informasi yang dimiliki dan relevansinya dengan kajian. Sampel yang diambil sebanyak 10 orang. Data sekunder diperoleh dari Dinas Peternakan dan instansi terkait dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi dan teknik kuesioner. Pengukuran panjang badan dan lingkar dada kerbau dengan mengambil sampel sebanyak 16 ekor yang terdiri atas pejantan, induk, anak jantan dan anak betina masing-masing 4 ekor. Pengambilan jumlah sampel dipengaruhi oleh faktor teknis.

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi dan Topografi

Kecamatan Muara Muntai dengan ibukotanya Muara Muntai terdiri dari 13 desa definitif yang dikelilingi oleh danau, sungai dan rawa yang luas, yaitu: Danau Jempang dan Danau Melintang, Sungai Mahakam serta Rawa Panjang, Rawa Berobos dan Rawa Letang. Desa-desa yang ada di Muara Muntai yaitu: Perian, Mua-ra Leka, MuaMua-ra Aloh, Jantur, Batuq, MuaMua-ra Muntai Ulu, MuaMua-ra Muntai llir, Kayu Batu, Jantur Selatan, Tanjung Harapan, Pulau Harapan, Leka II dan Jantur Baru. Jumlah penduduk berdasarkan data statistik tahun 2006 adalah 17.848 jiwa dengan 3.180 KK yang terdiri atas laki-laki 9.139 jiwa dan wanita 8.345 jiwa. Batas-batas wilayah Muara Muntai yaitu: di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Melintang dan Kecamatan Muara Wis, di sebelah Selatan berbatasan dengan Pegunungan Meratus dan Kabupaten Pasir, di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Penyinggahan dan Kabupaten Kutai Barat serta di sebelah Timur berbatasan dengan S. P. T. Rimba Ayu dan Kecamatan Kota Bangun (Dinas Pertanian Kutai Kartanegara, 1997).

Luas wilayah Muara Muntai yaitu 92,860 ha yang terdiri dari 82,550 ha daratan dan 10,310 ha perairan yang didominasi oleh rawa-rawa. Luas wilayah berdasarkan ketinggian dari permukaan laut yaitu 7-25 m dpl seluas 43,365 ha, 25-100 m dpl seluas 27,141 ha, dan 25-100-500 m dpl seluas 17,351 ha. Tipe daerah kawasan terbagi atas dua kelompok berdasarkan ciri umum dengan jenis dan keadaan tanahnya yaitu kawasan permukiman transmigrasi (jenis tanah rata-rata: podsolik merah kuning, tekstur: lempung terpasir, dan konsistensi: sedang) dan kawasan tepi-an sungai (jenis ttepi-anah rata-rata: pasir kuarsa, tekstur: berpasir kasar, dtepi-an konsistensi: ringan). Topografinya sebagian besar datar sedikit bergelombang dan berbukit serta terdiri atas rawa dan lembah. Kemiringan tanah berkisar antara l%-60% (Dinas Pertanian Kutai Kartanegara, 1997).

Wilayah Pulau Harapan merupakan desa hasil pemekaran dari Desa Rebaq Rinding. Luas Desa Pulau Harapan adalah 5x10 km2 dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 323 KK dan jumlah penduduk 1.205 jiwa. Desa Pulau Harapan di sebelah

(26)

Utara berbatasan dengan Desa Muara Muntai Ulu dan Desa Rebaq Rinding di sebe-lah Timur berbatasan dengan Desa Muara Muntai Ulu dan Desa Muara Muntai Ilir, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Muara Aloh, dan di sebelah Barat berba-tasan dengan Desa Batuq, Desa Jantur, dan Desa Jantur Baru. Desa Pulau Harapan sebagian besar terdiri atas rawa dan sebagian kecil pegunungan (Dinas Pertanian Kutai Kartanegara, 1997).

Keadaan Iklim

Muara Muntai ditinjau dari letak wilayah yang masih berada di bawah garis khatulistiwa dengan iklim tropis basah yang terletak antara 116,220BT dan 0,200LS dan terletak pada ketinggian 15-500 di atas permukaan laut. Suhu rata-rata 310C, dengan suhu tertinggi 350C dan suhu terendah 24oC, sedangkan suhu umum adalah 330C pada siang hari dan 220C pada malam hari. Menurut Fahimuddin (1975), zona nyaman untuk kerbau berkisar antara 15,5-21,00C, jika suhu udara lebih dari 240C kerbau sudah mengalami stres dan batas kritis bagi mekanisme termoregulasi 36,500C. Kerbau di Muara Muntai tetap bertahan dan berkembangbiak dengan baik karena telah beradaptasi dengan lingkungan.

Kelembaban rata-rata 59-7l% dan curah hujan rata-rata per tahun 2076 mm. Curah hujan terbanyak jatuh pada bulan Januari, Februari, Maret, dan April, sedangkan bulan kering jatuh pada bulan Juni, Agustus dan September. Curah hujan maksimum 319 mm pada bulan Januari dan curah hujan minimum 26 mm jatuh pada bulan Juni. Kecepatan angin berkisar antara 8-61 km/jam, sedangkan arah angin selalu berubah-ubah dan terbanyak datang dari arah Timur dan Utara (Dinas Pertanian Kutai Kartanegara, 1997).

Populasi dan Kepemilikan Kerbau

Komoditas ternak yang ada di Kecamatan Muara Muntai tidak hanya kerbau tetapi juga terdapat komoditas lainnya yaitu sapi, kambing, babi, ayam buras, ayam pedaging, ayam petelur, dan itik. Populasi kerbau lebih rendah dibandingkan ternak sapi. Populasi sapi, ayam pedaging (broiler) dan ayam petelur (layer) pada tahun 2005-2007 mengalami peningkatan tiap tahunnya sedangkan populasi kerbau, kambing, babi, dan ayam buras mengalami penurunan (Tabel l).

(27)

Tabel l. Populasi Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara Populasi (ekor) Komoditas 2005 2006 2007 Pertambahan (2005-2007) Sapi 9.853 11.740 12.470 2.617 Kerbau 4.515 2.043 2.149 -2.366 Kambing 24.714 15.323 8.743 -15.971 Babi 8.716 4.809 3.260 -5.456 Ayam Buras 885.171 223.782 249.316 -635.855 Ayam Pedaging 399.764 2.642.396 2.007.271 1.607.507 Ayam Petelur 57.776 90.593 175.083 117.307 Itik 146.607 48.373 32.796 -113.811

Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Kutai Kartanegara (2008)

Populasi kerbau turun sebanyak 52% dari populasi tahun 2005 sedangkan sapi naik sebanyak 27 %. Faktor penyebab peningkatan populasi sapi yaitu adanya pemasukan dari luar provinsi Kaltim yaitu 3.153 ekor (2006) dan 2.935 ekor (2007), sedangkan pengeluaran sapi tidak terjadi. Pengeluaran sapi tidak terjadi karena peternakan sapi hampir menyeluruh di berbagai tempat, sedangkan peternakan kerbau terbatas di daerah-daerah tertentu. Hal inilah yang memicu pengeluaran ternak kerbau. Penurunan populasi kerbau disebabkan oleh tingginya pengeluaran baik ke kabupaten/kota dalam maupun luar provinsi Kaltim yaitu sebanyak 1.499 ekor (2006) dan 205 ekor (2007), sedangkan pemasukan ternak kerbau hanya 102 ekor (2007) (Dinas Peternakan Kutai Kartanegara, 2008).

Pemeliharaan kerbau di Muara Muntai berdasarkan kepemilikan ternak, dibagi menjadi dua yaitu pemeliharaan hanya milik pribadi dan gabungan dengan milik orang lain. Peternak aktif adalah peternak yang berhubungan langsung dalam pemeliharaan ternak kerbau, sedangkan peternak pasif adalah orang yang memiliki kerbau dan menitipkan kepada peternak aktif. Peternak yang memelihara milik pribadi (tidak memelihara kerbau orang lain) sebanyak 40% dengan jumlah rata-rata ternak yang dimiliki adalah 4l ekor. Peternak yang memelihara kerbau gabungan de-ngan orang lain sebanyak 60% dede-ngan jumlah rata-rata ternak milik pribadi sebanyak

(28)

7 ekor. Jumlah seluruh ternak milik orang lain yang dipelihara oleh peternak seba-nyak 202 ekor atau 58% dari jumlah ternak milik peternak pemelihara.

Sistem bagi hasil yang berlaku di peternakan Teluk Ridan yaitu jumlah anak dibagi 50:50. Peternak pemilik berhak atas 50% anak yang dihasilkan dan peternak pengangon 50%. Induk yang dipelihara peternak akan kembali kepada peternak pe-milik. Peternak bertanggungjawab atas kerbau yang dititipkan baik kesehatan maupun biaya pemeliharaan.

Desa yang dijadikan kawasan pemeliharaan kerbau hanya dua desa, yaitu Desa Muara Aloh dan Desa Pulau Harapan. Kawasan ini memiliki potensi lahan yang luas untuk penggembalaan kerbau. Desa Pulau Harapan pada tahun 2007 meru-pakan desa yang menyumbang populasi kerbau sebanyak 55,42% di Kecamatan Muara Muntai. Jumlah populasi kerbau rawa di masing-masing desa yang terdapat di Kecamatan Muara Muntai dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Jumlah Populasi Kerbau Rawa di Kecamatan Muara Muntai Populasi pada tahun-

2006 2007 2008

No. Desa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1. Perian - - - - 2. Muara Leka 3 12 - - - - 3. Muara Aloh 35 185 52 248 31 9 4. Jantur - - - - 5. Batuq - - - - 2 18 6. Rebaq Rinding - - - -

7. Muara Muntai Ulu 19 80 - - - -

8. Muara Muntai Ilir - - - -

9. Kayu Batu - - - -

10. Jantur Selatan - - - -

11. Tanjung Batuq - - - - 1 9

12. Pulau Harapan 30 180 63 310 40 340

13. Jantur Baru - - - -

(29)

Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian

Umur peternak yang menjadi responden bervariasi, dapat dilihat pada Tabel 3. Umur 25-35 tahun sebanyak 3 orang (30%),umur 36-45 tahun sebanyak 6 orang (60%) dan umur di atas 45 tahun sebanyak I orang (10%). Hal ini menunjukkan bahwa umur peternak masuk dalam kisaran umur produktif karena umur produktif berkisar antara 20-55 tahun.

Tabel 3. Sebaran Umur Peternak Kerbau di Desa Pulau Harapan

Sebaran Umur (tahun) % Rataan umur (tahun)

25 - 35 30 30,7

36 - 45 60 39,8

≥46 10 57,0

Total 100

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan sumber daya peternak. Pendidikan akan menambah pengetahuan dan keterampilan sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja yang akan menentukan keberhasilan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak memiliki latar belakang pendidikan Sekolah Dasar (SD) 20%, Sekolah Menengah Pertama (SMP/sederajat) 40%, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) 40%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang ditempuh oleh peternak relatif tinggi dibandingkan daerah lain yang pada umumnya tidak menempuh pendidikan atau hanya berpendidikan sekolah dasar.

Beberapa alasan beternak kerbau rawa adalah sebagai sumber penghasilan, hobi/kegemaran, dan turun-temurun. Beternak kerbau merupakan pekerjaan utama karena memiliki prospek sebagai sumber penghasilan yang tinggi dengan waktu pemeliharaan yang relatif singkat. Pendapatan rata-rata peternak dari hasil penjualan kerbau adalah diatas satu juta rupiah hingga mencapai l0 juta per bulan. Pendapatan ini dihitung berdasarkan hasil penjualan kerbau umur tiga tahun dan jumlah anak yang dihasilkan dibagi per bulan. Pekerjaan sambilan peternak yaitu sebagai nelayan (40%), tukang kayu (20%), pedagang (20%), dan petani (10%). Pekerjaan sambilan ini dilakukan saat musim kering (selain bulan Desember, Januari, Februari, Maret,

(30)

dan April). Jenis ternak lain yang dipelihara oleh peternak adalah sapi dan ayam bangkok. Profil peternak dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Profil Peternak Kerbau Rawa di Desa Pulau Harapan

Karakteristik Persentase Pendidikan formal - SD - SLTP - SLTA Pekerjaan - Petani saja

- Petani dan nelayan - Petani dan pedagang - Petani dan tukang kayu Pengalaman beternak kerbau

- 0-10 tahun - 11-20 tahun - 2l-30 tahun - 31-40 tahun - 4l-50 tahun

Tujuan pemeliharaan kerbau

- Sumber penghasilan dan tabungan - Kegemaran - Turunan 20 40 40 l0 40 20 20 70 0 10 10 10 80 l0 10

Peternak yang memiliki pengalaman beternak lebih dari 15 tahun hanya 30%, sedangkan di bawah 15 tahun ada 70%. Hal ini terjadi karena banyak peternak yang baru menggantikan orang tua mereka untuk beternak kerbau karena beternak kerbau di Muara Muntai merupakan pekerjaan yang bersifat turun temurun. Ternak kerbau yang dipelihara oleh para orang tua akan diturunkan kepada anak laki-lakinya jika mereka sudah tidak mampu lagi menggembalakan kerbau atau karena telah meninggal dunia. Peternak yang telah memelihara kerbau selama 35 tahun dan 44

(31)

tahun kemungkinan disebabkan latar belakang pendidikannya yang rendah (SD dan SMP).

Keadaan Ternak Kerbau

Jumlah ternak kerbau yang digembalakan dari l0 responden sebanyak 351 ekor dengan jumlah jantan 63 ekor dan betina 268 ekor (rasio l:4). Jumlah ternak kerbau betina lebih banyak dipelihara karena jantan dianggap tidak dapat memberi nilai tambah berupa anak dibandingkan dengan betina. Kerbau jantan umumnya di-jual pada umur 3 tahun. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan keadaan kerbau pada saat berada di kalang.

Gambar 1. Kerbau Rawa dalam Kalang

Bibit ternak kerbau berasal dari dua tempat yaitu dari ternak sebelumnya yang telah ada di Muara Muntai dan dari pemerintah. Bibit dari pemerintah daerah merupakan bibit kerbau yang dikirim dari Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) dan Kabupaten Pasir (Kalimantan Timur). Tahun 2006 peternak mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten untuk membeli pejantan sebanyak 35 ekor dari Lebak Singkil. Pembelian pejantan dari luar peternakan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya inbreeding. Peternak juga diberi bibit kerbau melalui bantuan presiden (BANPRES), tetapi kerbau-kerbau tersebut jarang bertahan hidup lama. Kerbau pendatang kemungkinan tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan (iklim, cuaca, kelembaban, suhu, dan panjang matahari) serta keadaan peternakan (manajemen pemeliharaan) di Muara Muntai. Kerbau yang baru datang tidak dikarantina terlebih dahulu sehingga

(32)

tidak dapat menyesuaikan diri (adaptasi). Kerbau BANPRES yang masih tersisa di kelompok tani ternak kerbau Teluk Ridan (Desa Pulau Harapan) tinggal satu ekor.

Tatalaksana Budidaya Ternak Kerbau Pemeliharaan Ternak

Perubahan iklim berupa musim kering dan musim banjir mengakibatkan per-bedaan penanganan dan sistem pemeliharaan ternak kerbau di Muara Muntai. Sistem pemeliharaan pada saat musim kering untuk semua kerbau adalah ekstensif, sedang-kan pada musim banjir pemeliharaan kerbau dengan sistem semiintensif dan intensif. Pemeliharaan dengan sistem ekstensif pada musim kering dan musim banjir memiliki perbedaan penanganan. Pemeliharaan kerbau secara ekstensif pada musim kering yaitu semua kerbau baik anak maupun dewasa dibiarkan liar ke rawa-rawa atau hutan yang berjarak ±2 km dari kalang. Ternak yang diliarkan tersebut akan kembali ke ka-lang jika terjadi banjir. Pemeliharaan kerbau pada musim banjir dengan sistem eks-tensif, selain anak <6 bulan, induk bunting dan induk menyusui. Anak dan induk tersebut dipelihara dengan sistem intensif, selalu berada di kalang dan diberi pakan hijauan tanpa penggembalaan. Kerbau yang digembalakan akan dikandangkan pada malam hari tanpa pemberian pakan. Jadwal kegiatan harian beternak kerbau pada musim banjir dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Jadwal Kegiatan Harian Beternak Kerbau di Desa Pulau Harapan

Waktu Aktivitas 07.00-08.00 08.00-09.30 09.30-10.00 10.00-10.30 10.30-11.00 11.00-12.30 12.30-14.00 14.00-16.00 16.00.17.00

Perjalanan dari rumah ke tempat mencari hijauan Mencari dan mengambil hijauan

- Perjalanan menuju peternakan

- Pengangkutan hijauan dari perahu untuk naik ke kalang - Pelepasan kerbau ke rawa penggembalaan

- Pembersihan kandang

- Pemberian hijauan kepada anak dan beberapa induk yang tinggal di kalang

Kerbau digiring ke rawa penggembalaan Kerbau digembalakan

Kerbau istirahat atau berteduh di hutan Kerbau digembalakan kembali

(33)

Peternak pada pagi hari berangkat dari rumah sekitar pukul 07.30 WITA un-tuk mencari hijauan kumpai di rawa-rawa yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Perjalanannya harus melintasi sungai dengan menggunakan perahu dan memerlukan waktu kira-kira 30 menit. Sumber hijauan sekitar 1-2 km dari peternakan. Hijauan yang diambil 100% rumput lokal kumpai karena disukai ternak. Ternak kerbau akan dilepaskan ke rawa penggembalaan, kecuali anak umur di bawah 3 bulan induk bunting tua dan induk menyusui. Hijauan kemudian diangkat dari perahu motor dan diletakkan di bagian kandang depan yang telah kosong karena kerbau telah turun. Kandang dibersihkan dengan menyemprotkan air menggunakan pompa air yang disedot dari bawah kalang. Kerbau istirahat di hutan pinggir rawa sekitar pukul 12.30-14.00 WITA. Keadaan ini dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

(a) (b) Gambar 2 a. Kerbau Turun dari Kalang; b. Kerbau Istirahat

Pencatatan yang dilakukan oleh peternak yaitu jumlah anak yang lahir, tanggal kelahiran, dan jenis kelamin anak yang dilahirkan. Biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan yaitu untuk membeli bensin sebagai bahan bakar perahu yang digunakan dan obat-obatan.

Manajemen pemeliharaan untuk mengetahui identitas kerbau (penandaan) dilakukan dengan memotong daun telinga (ear notching) pada umur muda. Pemo-tongan daun telinga dengan menggunakan pisau (Gambar 3). Penandaan dengan menggunakan ear tag pernah dilakukan tetapi memiliki kekurangan yaitu ear tag se-ring hilang karena tersangkut di semak-semak pada saat kerbau digembalakan.

(34)

Gambar 3. Penandaan dengan Ear Notching Perkandangan

Kandang atau kalang yang digunakan oleh kelompok tani ternak kerbau Muara Muntai Desa Pulau Harapan adalah bangunan kandang sederhana yang lantai, pagar dan tiang-tiangnya terbuat dari kayu ulin yang merupakan kayu paling kuat dan tahan lama yang banyak terdapat di Kalimantan. Kalang adalah kandang penam-pungan kerbau rawa saat musim banjir tiba yang berada di tepian Mahakam dan ter-dapat beberapa rumpun bambu dan pepohonan di sekitarnya. Keadaan kalang ditunjukkan pada Gambar 4 di bawah ini.

(a) (b) Gambar 4 a. Kalang; b. Sekat-sekat Kalang

Jenis kandang yang digunakan adalah kandang koloni atau kelompok dengan beberapa peternak dan pemilik ternak. Kandang tidak menggunakan atap kecuali tempat untuk induk kerbau yang sedang bunting dan beranak serta untuk perawatan kerbau yang sakit berupa terpal yang terdapat di kedua ujung kandang dengan ukuran

(35)

masing-masing 6x6x2 m3. Kandang tidak dilengkapi dengan atap namun ternak dapat berteduh di bawah rumpun bambu pada siang hari karena kerbau adalah ternak yang tidak tahan panas (Suharno dan Nazaruddin, 1994).

Luas kandang secara keseluruhan yaitu 1.608 m2. Ukuran kandang yang dian-jurkan untuk anak kerbau yang baru disapih adalah 100x80 cm2 dan ukuran untuk kerbau dewasa 200x150 cm2. Kandang utama tidak dilengkapi dengan kandang darurat atau biasa disebut kandang jepit yang sewaktu-waktu berfungsi untuk penanganan misalnya untuk keperluan pengobatan pemberian vaksinasi, dan pelaksanaan inseminasi bua-tan (Suharno dan Nazaruddin, 1994).

Kandang dibuat beberapa petak yang semua lebarnya 6 meter. Lantai dari permukaan tanah setinggi 2.5-3.0 meter. Hal ini dilakukan agar kalang senantiasa dalam keadaan kering atau tidak terendam air pada saat banjir. Kalang dilengkapi dengan dua tangga (depan dan belakang) sebagai sarana naik turunnya kerbau pada saat dikandangkan dan dilepas. Pagar setinggi 0.5-1.0 meter dibuat mengelilingi kalang untuk mempermudah penanganan pada saat dikandangkan. Kerbau yang da-tang berkoloni biasanya ada beberapa yang tidak langsung naik ke kalang, dengan adanya pagar ini maka kerbau yang tidak segera naik kalang akan tetap berada di sekitar kandang yang telah dipagari dan peternak akan menuntunnya naik ke kalang. Pagar juga berguna untuk menjaga dan melindungi ternak dari ancaman pencuri. Balai pertemuan kelompok dan tempat alat-alat berada di depan kandang dengan ukuran 6x6 m2.

Peralatan

Peralatan yang digunakan oleh peternak adalah sabit atau mandau, perahu motor dan dayung, genset dan pompa air, suntikan, pisau, penanjak atau tongkat, buku, dan pulpen. Peralatan hampir seluruhnya milik pribadi peternak kecuali genset dan pompa air yang jumlahnya hanya satu unit. Pompa air digunakan untuk menye-diakan air minum dan membersihkan kotoran ternak kerbau pada musim banjir. Peralatan umumnya digunakan hanya pada saat banjir yaitu pada saat kerbau berada di kalang atau kandang dan digembalakan di rawa-rawa. Perahu digunakan untuk alat transportasi peternak yang harus melewati sungai untuk sampai di kalang mencari dan mengambil rumput serta menggembalakan kerbau.

(36)

Pakan

Pakan yang dikonsumsi oleh kerbau hanya berupa hijauan dan tidak menda-pat tambahan konsentrat. Konsentrat tidak diberikan karena tidak tersedianya bahan baku dan pengolah konsentrat. Kelapa sawit banyak terdapat di Kecamatan Muara Muntai tetapi pengolahannya di luar Muara Muntai sehingga hasil sampingannya tidak dapat digunakan sebagai konsentrat untuk pakan kerbau rawa. Rumput yang merupakan pakan utama kerbau rawa adalah rumput lokal kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees) dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini.

Gambar 5. Rumput Kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees) Kerbau juga mengkonsumsi rumput lokal lainnya tetapi dalam jumlah sedikit. Perbandingan kandungan nutrisi rumput kumpai dengan rumput leguminosa lainnya yang biasa digunakan sebagai sumber hijauan makanan ternak dapat dilihat pada Tabel 6.

(37)

Tabel 6. Kandungan Nutrisi Beberapa Hijauan Makanan Ternak (HMT) No. HMT % (bahan dasar kering)

SK EE BETN PK Abu TDN 1. Hymenachne amplexicaulis 31,28 1,23 42,11 11,89 13,49 59,73 2. H. aurita 31,34 0,83 42,43 12,78 12,62 62,70 3. H. indica 32,32 1,39 45,56 8,15 12,58 55,93 4. H. interupta 28,61 1,43 41,01 12,75 16,20 58,33 5. Pennisetum purpureum 27,54 1,04 43,57 9,72 18,13 59,17 6. Pannicum maximum 36,70 1,73 38,08 9,34 14,15 54,34 7. Zea mays 23,21 4,03 34,66 16,29 21,81 43,02 8. Sesbania bunga putih 10,67 5,64 33,39 40,62 9,68 49,90 9. Eceng Gondok 23,27 1,36 49,46 12,48 13,44 61,21 Sumber: Reksohadiprodjo (l988)

Kandungan nutrisi yaitu protein kasar (PK) dan TDN pada rumput kumpai lebih tinggi dibanding dengan rumput yang lazim digunakan untuk pakan ternak yaitu Pennisetum purpureum dan Panicum maximum. Hal ini didukung oleh penelitian Susilawati (2003), menyatakan bahwa rumput lokal kumpai perlu dikem-bangkan sebagai hijauan pakan ternak karena memiliki nilai biologis yang tinggi dengan kandungan protein kasar l4,11% di habitat aslinya (rawa) dan memiliki daya cerna lebih baik daripada rumput gajah. Pihak Dinas Peternakan telah mengupayakan penanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum), namun demikian upaya ini kurang berpengaruh terhadap penyediaan hijauan karena belum dimanfaatkan secara optimal oleh peternak dan keterbatasan pengetahuan untuk penanaman rumput ini. Rumput kumpai merupakan hijauan terbanyak yang ditemukan di rawa penggembalaan. Hijauan makanan ternak di Pulau Harapan tersedia cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan ternak karena lahan yang tersedia luas dan hijauan tersedia sepanjang tahun. Peternak memberi hijauan dengan memotong rumput di daerah rawa dan membawa ke kalang. Sistem pemberian hijauan tersebut dikenal dengan istilah “cut and carry”, dapat dilihat pada Gambar 6.

(38)

(a) (b)

Gambar 6 a. “Cut and carry”; b. Pakan Hijauan dalam Kalang Penggunaan limbah pertanian sebagai pakan tambahan tidak memungkinkan karena lahan pertanian sangat sedikit di Muara Muntai dan lahan pertanian jauh dari peternakan, sedangkan lahan penggembalaan masih cukup luas. Pemberian tambahan mineral berupa garam diberikan hanya untuk induk yang sedang menyusui. Pembe-rian garam dipercaya dapat meningkatkan jumlah air susu induk. PembePembe-rian hijauan untuk 15 ekor anak kerbau sebanyak satu perahu atau sekitar 300 kg. Frekuensi pemberian hijauan rata-rata hanya sekali yaitu pada pagi hari menjelang siang atau sekitar pukul 10.00 WITA setelah ternak kerbau muda dan dewasa dilepaskan ke tempat penggembalaan.

Tenaga Kerja

Tenaga kerja pada usaha ternak kerbau ini seluruhnya melibatkan tenaga kerja laki-laki dewasa. Tenaga kerja yang menggembalakan kerbau ini rata-rata di samping menggembalakan ternaknya sendiri, juga ternak titipan. Peternak seluruh-nya laki-laki karena penanganan ternak kerbau ini cukup berat karena harus berha-dapan dengan kerbau yang galak akibat penggembalaan liar. Alasan lainnya adalah diperlukan keahlian yang cukup untuk menangani ternak kerbau ini. Rata-rata tiap peternak menangani 35 ekor kerbau.

Penanganan Kesehatan

Penyakit yang pernah terjadi di peternakan kelompok tani Teluk Ridan adalah diare, gudik, cacingan, kutu, dan surra. Penyakit yang paling sering terjadi adalah diare pada anak kerbau di bawah umur satu tahun. Berdasarkan hasil penelitian

(39)

Priadi dan Natalia (2005), beberapa agen bakteria penyebab diare telah dapat diisolasi yaitu Escherichia coli dan Clostridium perfringens. Toksin alfa dan beta Clostridium perfringens dapat dideteksi pada isi usus anak sapi dan kerbau yang mati karena nekrotik enteritis. Enteroksemia merupakan faktor penting pada kematian anak sapi dan kerbau. Cacingan, kutu, gudik dan surra jarang terjadi. Cacingan pernah terjadi pada anak kerbau umur l-2 bulan dengan menunjukkan tanda bulu-bulunya berdiri dan kusam, serta badannya kurus. Pengobatannya dengan pemberian obat cacing seperti untuk manusia. Gudik biasanya diobati dengan pemberian bensin pada bagian yang terkena gudik atau diberi obat betadine. Surra merupakan penyakit yang pernah mewabah pada tahun 1968/1969 yang disebabkan oleh Trypanosomae vansi. Lalat merupakan vektor dari Trypanosoma evansi. Pengobatan penyakit ini adalah dengan menggunakan Nagonal, Trypamidium, Moranyl dan Ganaseg. Pencegahan penyakit surra yaitu dengan vaksinasi (Sugeng, 1992).

Pemberian obat-obatan dan suplemen pada ternak kerbau oleh peternak dila-kukan pada saat kerbau dikandangkan. Pemberian obat berdasarkan kebutuhan ter-nak; jika ternak kerbau menunjukkan gejala sakit atau penyakit pemberian obat sege-ra dilakukan. Obat-obatan dan vaksin dapat terjangkau oleh peternak karena obat-obatan telah disiapkan oleh Dinas Peternakan Kutai Kartanegara secara rutin untuk diberikan kepada ternak kerbau. Obat-obatan juga dapat dibeli sendiri oleh peternak jika dari Dinas Peternakan belum menyediakan. Peternak sering melakukan penyun-tikan terhadap kerbau yang terserang penyakit maupun hanya sebagai penambah nafsu makan. Ternak kerbau di atas umur satu tahun jarang terkena penyakit. Hal ini kemungkinan dikarenakan ternak kerbau telah mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan pakan.

Pemasaran Ternak

Ternak kerbau dipasarkan kepada belantik atau calo yang berasal dari Kalimantan Selatan (Banjarmasin) dan Samarinda yang membeli langsung ke peter-nakan dalam jumlah yang banyak maupun sedikit. Penjualan utama (jumlah banyak) dilakukan pada waktu banjir (kerbau naik kalang). Jumlah yang dijual berdasarkan jumlah kelahiran yaitu jumlah yang dijual sama dengan jumlah kerbau yang lahir, jika jumlah induk adalah 150 ekor maka akan menghasilkan anak kira-kira 100 ekor.

(40)

Jumlah ternak baik jantan maupun betina akan dijual sebanyak 100 ekor/tahun sehingga rata-rata penjualan per bulan sebanyak 8 ekor.

Kapal yang digunakan untuk mengangkut kerbau sesuai jumlah pembelian. Kapal ferri digunakan jika akan membeli kerbau dalam jumlah sedikit (1-2 ekor) dan menggunakan kapal pengangkut batu bara yang lebih besar untuk mengangkut 9 ekor kerbau. Penjualan ternak berdasarkan penilaian morfologi tubuh dan perkiraan bobot badan. Harga kerbau berkisar antara 7,5-12 juta rupiah. Harga tersebut sangat menguntungkan peternak. Umur ternak yang biasa dijual yaitu di atas 5 tahun. Hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah ternak yang tidak produktif. Penjualan juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan sekolah anak sehingga penjualan total per bulan sekitar 9 ekor.

Produktivitas Ternak Kerbau Reproduksi Ternak Kerbau

Karakteristik reproduksi ternak kerbau di Muara Muntai dapat dilihat pada Tabel 7. Perbandingan jantan dan betina dapat dikatakan tinggi karena setiap ekor pejantan berbanding dengan empat ekor betina. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah ternak jantan relatif banyak. Pejantan sebanyak 25% memberi dampak terhadap produksi anak. Ternak betina hanya memiliki peluang menghasilkan anak maksimal 75% tiap tahunnya dari populasi. Banyaknya pejantan juga dapat menimbulkan persaingan untuk mengawini ternak betina yang dapat berakibat perkelahian pejantan. Kerbau betina yang sedang berahi akan dikelilingi 5-6 ekor pejantan dan kemungkinan betina akan dikawini oleh beberapa pejantan sehingga perkawinan tidak efektif. Perkelahian pejantan dapat berakibat negatif karena pejantan akan mengalami luka atau memar serta menghabiskan energi dalam tubuh yang mestinya diubah menjadi daging. Banyaknya jumlah pejantan tanpa seleksi akan menimbulkan kemungkinan adanya pejantan yang tangguh namun tidak memiliki performa produk-tivitas yang baik. Hal ini akan berakibat terhadap keturunan selanjutnya yaitu terjadinya inbreeding. Inbreeding tidak dikehendaki karena dapat menurunkan produktivitas ternak. Hal ini merupakan salah satu langkah kebijakan perbibitan ternak yang dilakukan pemerintah dan mengacu pada UU No. 2 tahun 1999 dan PP No. 5 tahun 2000 bahwa pemerintah memiliki kewewenangan mencegah terjadinya

(41)

inbreeding yang dapat mempengaruhi penyediaan bibit di masa mendatang (Deptan, 2008).

Banyaknya pejantan juga tidak efisien dalam segi ekonomi. Peternak di Desa Pulau Harapan tidak melakukan seleksi terhadap pejantan sehingga hal tersebut kemungkinan besar telah terjadi. Perbandingan jantan : betina diusahakan adalah 1:8-10 ekor (Deptan, 2008).

Tabel 7. Karakteristik Reproduksi Ternak Kerbau di Desa Pulau Harapan

Sifat Reproduksi Hasil Literatur

Nisbah jantan : betina Umur berahi pertama Umur kawin pertama Lama berahi

Panjang siklus berahi

Service per conception

Angka kebuntingan Lama kebuntingan Persentase kelahiran

Calf crop

Tingkat kematian anak Umur kematian anak

Berahi kembali setelah melahirkan Selang beranak 1:4 2,8 tahun 2,8 tahun - 18,5 hari - - 365 hari 75% 67% 11% 1,7 bulan 1,0 bulan 13,0 bulan 1:8-10 a)

1 tahun (berahi pertama) b) 2,5-3 tahun (kawin pertama) b)

36 jam b) 21-24 hari c) 1,6-2,0d) 63%e) 310-315 hari d) 54,69% f) 33% g) 7,38% f) - 40 hari h) 1,5 tahun i)

Sumber: a) Deptan (2008); b) Suharno dan Nazaruddin (1994); c) Sosroamidjojo dan Soeradji (1990); d) Toelihere (1981); e) Cockrill (1974);f) Hardjosubroto (1984); g) Hasanatun et al. (2005); h) National Research Council (1981) dan i) Guzman (1980)

Umur kawin pertama dan berahi pertama dianggap sama karena sistem perkawinan kerbau rawa ini secara alami dan tidak ada perhatian khusus terhadap kegiatan reproduksi kerbau, sehingga dimungkinkan bahwa pada saat berahi pertama, kerbau langsung kawin atau terjadi konsepsi. Umur konsepsi pertama dapat dianggap sebagai perkiraan umur berahi pertama (walaupun kemungkinan kurang daripada itu) (Ranjhan and Pathak, 1979). Berahi dan konsepsi pertama rata-rata terjadi pada umur 2,8 tahun. Umur kawin pertama ada yang mencapai 4 tahun walaupun dalam jumlah kecil, hal ini diestimasi berdasarkan umur kerbau. Menurut Suharno dan Nazaruddin (1994), berahi pertama umur satu tahun dan konsepsi pertama 2,5-3 tahun. Pemberian pakan yang lebih baik yaitu dengan penambahan konsentrat sebanyak 5

(42)

kg/ekor/hari dapat meningkatkan bobot badan dan memperbaiki kondisi tubuh kerbau betina sehingga pada akhirnya dapat merangsang aktivitas berahi, konsepsi dan produksi anak (Putu, 2003). Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi, diantaranya: protein, vitamin A, dan mineral/vitamin (P, Kopper, Kobalt, Manganese, Iodine, dan Selenium) (Deptan, 2007).

Lama berahi dan panjang siklus berahi tidak diketahui karena selain kurangnya pengetahuan dan perhatian peternak mengenai hal ini, juga disebabkan oleh sifat berahi kerbau yang silent heat (berahi tenang). Tanda-tanda berahi pada kerbau hampir sama dengan sapi, tetapi tidak sejelas pada sapi (Sosroamidjojo dan Soeradji, 1990) dan tanda berahi semakin tidak nyata selama bulan kering dari April sampai Juni dan sering disebut silent heat (Ranjhan and Pathak, 1979). Siklus berahi walaupun terutama diatur oleh hormon yang dihasilkan secara internal, ada juga faktor lain yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung. Menurut Williamson dan Payne (1993), faktor yang paling penting mempengaruhi siklus berahi di luar abnormalitas karena penyakit adalah tingkat pakan, panjangnya siang dan temperatur lingkungan. Sevice per conception (S/C) dan angka kebuntingan juga tidak diketahui. Hal ini karena kerbau rawa yang terdapat di Muara Muntai tidak diinserninasi buatan (IB) atau kawin alam. Nilai S/C diperoleh dengan perhitungan jumlah perkawinan inseminasi buatan atau kawin alam yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan (Toelihere, 1981). Angka kebuntingan tidak diketahui karena tidak dilakukannya palpasi rektal pada 40-60 hari dan juga tidak adanya inseminasi buatan. Palpasi juga sulit dilakukan pada peternakan ini karena kerbau jarang dikandangkan atau rata-rata hidupnya di alam bebas. Nilai S/C dan angka kebuntingan adalah 1,6-2,0 dan 63% (Toelihere, 1981; Cockrill, 1974).

Lama kebuntingan tidak diketahui secara pasti, namun dari hasil wawancara dikatakan bahwa lama kebuntingan 365 hari. Indikasi ini diperoleh dengan menge-tahui adanya anak yang dihasilkan oleh betina dewasa tiap kali terjadi banjir. Kerbau kembali ke kalang pada saat banjir. Lama kebuntingan menurut Sosroamidjojo dan Soeradji (1990) adalah 315 hari.

Persentase kelahiran kerbau di Muara Muntai sebesar 75%. Faktor yang mempengaruhi persentase kelahiran adalah keberhasilan perkawinan antara jantan dan betina. Persentase kelahiran dihitung dari jumlah total anak yang lahir tiap tahun

Gambar

Tabel l. Populasi Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara  Populasi (ekor)  Komoditas  2005  2006  2007  Pertambahan  (2005-2007)  Sapi  9.853  11.740  12.470  2.617  Kerbau  4.515  2.043  2.149  -2.366  Kambing  24.714  15.323  8.743  -15.971  Babi  8.716
Tabel 2. Jumlah Populasi Kerbau Rawa di Kecamatan Muara Muntai  Populasi pada tahun-
Tabel 3.  Sebaran Umur Peternak Kerbau di Desa Pulau Harapan
Tabel 4. Profil Peternak Kerbau Rawa di Desa Pulau Harapan
+7

Referensi

Dokumen terkait

PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah/wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis: Pengaruh kompleksitas tugas, gaya kepemimpinan, dan locus of control

Faktor penyebab munculnya perilaku agresif pada anak disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu (1) faktor internal atau faktor yang berasal dari dalam diri anak

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui ketersediaan dan pengelolaan kelembagaan masyarakat pesisir kawasan daerah perlindungan laut dalam meningkatkan taraf

Danjyo adalah fashion line Indonesia yang pertama kali memperkenalkan diri sebagai fashion line pada tahun 2001, Danjyo diambil dari bahasa jepang yang berarti pria wanita,

PLN (Persero) Area Bogor dalam menghadapi berita pencabutan subsidi listrik tahun 2017 di media online yang di dalam penelitian ini menjawab masalah-masalah

Untuk dapat mengoptimalkan polisi tidur otomatis dapat dipasang di kota- kota besar dengan pengguna kendaraan bermotor terbanyak dan sering mengalami kemacetan terutama

[r]