BAB V
POLA PERSEBARAN DAN PENARIKAN CONTOH BERUNTUN
UNTUK PENDUGAAN POPULASI TELUR DAN LARVA
Helicovelpa armigera
(HUBNER) (LEPIDOPTERA : NOCTUIDAE) PADA PERTANAMAN TOMAT ABSTRAK
Penelitian pola persebaran telur dan larva Helicoverpa armigera (Hiibner) (Lepidoptera :
Noctuidae) pa& pertanaman tomat didasarkan pada data m u s h kemarau 1995, dan menggunakan model Iwao dan Taylor. Data yang diperoleh digunakan untuk mengembangkan penarikan contoh beruntun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen dasar persebaran telur dan larva adalah individu, dan masing-masing populasi cenderung mengelompok pada pertanaman tomat. Pendu- gaan populasi telur dan larva dengan penarikan cohtoh beruntun layak digunakan pada tingkat ketelitian 0,25. Ukuran contoh minimum dan maksimurn untuk pendugaan populasi telur masing- masing 8 dan 20 satuan, sedangkan untuk larva adalah 5 dan 15 satuan contoh.
Pendahuluan
Persebaran spasial serangga umumnya terdiri dari tiga tipe yaitu teratur, acak dan mengelompok. Pengetahuan tentang pola persebaran diperlukan untuk pengembangan sistem penarikan contoh yang tepat dan efisien (Onsager 1976). Penarikan contoh terdiri dari dua kategori, yaitu penarikan contoh konvensional dan penarikan contoh beruntun (Boivin & Vincent 1987). Pada penarikan contoh konvensional, jumlah satuan contoh sudah ditentukan sebelum penarikan contoh dilakukan, sedangkan pada penarikan contoh beruntun, jumlah satuan contoh yang dibutuhkan tergantung pada kerapatan populasi.
Penarikan contoh beruntun mempunyai kelebihan dibanding dengan yang konvensional, yaitu umumnya memerlukan'jumlah satuan contoh yang lebih sedi- kit. Dilaporkan bahwa jumlah satuan contoh yang dibutuhkan pada penarikan contoh beruntun berkisar 40 - 80 % lebih sedikit dibanding dengan yang konven- sional (Onsager 1976; Boivin & Vincent 1987), sehingga dapat menghemat
waktu, tenaga, dan biaya.
Tehnik penarikan contoh beruntun telah banyak diterapkan pada berbagai jenis hama dan jenis tanaman. Allen et al. (1972) menyatakan bahwa penarikan
contoh beruntun dapat digunakan untuk pengambilan keputusan pengendalian (sequential decision plan) dan untuk pendugaan populasi (sequential counting plan). Selain pola persebaran, penarikan contoh beruntun untuk pengambilan keputusan pengendalian memerlukan informasi tentang ambang ekonomi. Karena ambang ekonomi H. armigera pada tanaman tomat belum dapat ditentukan, maka
f
penelitian ini lebih dibatasi pada penentuan pola persebaran telur dan larva d~ pemanfaatannya bagi penyusunan penarikan contoh beruntun untuk pendugaan populasi.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di lahan milik petani di Desa Tugu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor muiai Juli hingga Oktober 1995. Data kerapatan telur dan larva yang diperoleh pada penelitian pada Bab IV dianalisis untuk mengetahui pola persebaran spasial, dan parameter-parameter persebaran digunakan untuk menyusun rancangan penarikan contoh beruntun.
Parameter pola persebaran ditentukan berdasarkan model Iwao (1968) dan model Taylor (1961). Dari kedua model tersebut dipilih salah satu yang lebih sesuai untuk menggambarkan pola persebaran telur atau larva. Model Iwao didasarkan atas hubungan antara mean crbwding (m) dengan rataan contoh (X) sebagai berikut : m = a
+
fl 3 , yang m adalah mean crowding yaitu m = ji+
(S2/a) - 1 (Lloyd 1967), a adalah komponen dasar persebaran dan I3 adalah indeks pengelompokan dasar persebaran. Bila a! = 0 berarti komponen dasar persebaran
adalah individu, sedangkan bila
ac
>
1 komponen dasar persebaran adalah kelom- pok individu, serta bila -1<
ac < O berarti individu saling menolak. Bila 13<
1 berarti komponen dasar persebaran menyebar secara reguler (teratur) di antara tanaman, 13 = 1 menyebar secara acak, dan R>
1 menunjukkan pola persebaran mengelompok.Model Taylor didasarkan atas dalil pangkat Taylor (Taylor power law) (Taylor 1961), yang menggambarkan hubungan antara keragaman contoh (S3) dengan rataan contoh (X), yaitu S2 = azb atau dalam bentuk logaritma log S2 =
I
log a
+
b log ji, yang a = faktor penarikan contoh yang dipengaruhi oleh besar- nya satuan contoh, dan b = indeks pengelompokan. Bila b<
1 berarti pola persebaran populasi adalah teratur, b = 1 berarti pola persebaran acak, dan b>
1 berarti pola persebaran mengelompok.Parameter persebaran yang diperoleh digunakan untuk menyusun rancangan penarikan contoh beruntun untuk menduga populasi telur dan larva H. armigera. Southwood (1978) menyatakan bahwa untuk pengamatan intensif selayaknya dilakukan pada tingkat ketelitian (precision level) 10 %, sedangkan untuk penga- matan ekstensif dilakukan pada tingkat ketelitian 25 %. Pada kajian ini penyu- sunan rancangan penarikan contoh beruntun dicoba pada kedua tingkat ketelitian tersebut, yang kemudian dipilih salah satu yang lebih layak digunakan di lapangan.
Hasil dan Pembahasan Pola Persebaran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola persebaran telur dan larva H.
Iwao maupun model Taylor. Indeks pengelompokan dari kedua model, 13 (Iwao) dan b (Taylor), semuanya lebih besar daripada satu (Tabel 5.1)
Meskipun terdapat kesesuaian dari kedua model dalam memberi ciri perse- baran spasial telur dan larva, tetapi parameter tersebut berbeda nilainya: Perbe- daan nilai ini menentukan bentuk kurva penarikan contah. Oleh karena itu, untuk memilih model yang lebih sesuai diperlukan analisis lanjutan.
Tabel 5.1. Model dan Ragam Model untuk Stadia Telur dan Larva.
1
Stadia Model Populasi
Telur
Larva
Iwao m = 0,3644
+
1,4421 2s2
= 1,3644 X+
0,4421x2
Taylor log
s2
= 0,2822+
1,1228 logE
s2
= 1,9151x1,1228
Iwao m = 0,3039+
1,2192 Ks2
= 1,3039 X+
0,2192z2
Taylor logs2
= 0,1729+
1,2507 logX
s2
= 1,4890 X 1,2507Langkah pertama adalah membuat grafik ragam contoh dan dugaan ragam masing-masing model. Kurva ragam dari model Iwao dan Taylor untuk stadia telur dan larva semuanya terletak di atas kurva Poisson (S2 = Z) (Gambar 5.1 dan
5.2). Hal itu menunjukkan bahwa ragam lebih besar daripada rataannya, yang berarti bahwa telur dan larva memencar secara mengelompok. Pola persebaran spasial H. armigera pada pertanaman tomat ini sama dengan pada pertanaman kapas seperti dilaporkan oleh Elna (1 988).
Gambar 5.1. Hubungan antara Ragam (S') dengan Rataan Jumlah Telur per Empat Tanaman.
2 0 8 Garis Poisson (S = Z) 6 4 2 I 1 I I I * I I I I I 0,7 1,2 1,7 2,2 2,7 3,2 3,7 4,2 4,7 5,2
Rataan Jumlah Larva per Empat Tanaman
Gambar 5.2. Hubungan antara Ragam (S" dengan Rataan Jumlah Larva per Empat Tanaman.
ragam masing-masing model terhadap ragam contoh (Tabel Lampiran 5.1 dan 5.2). Pada Tabel Lampiran 5.1. terlihat bahwa jumlah kuadrat simpangan dugaan ragarn model Iwao terhadap ragam contoh (14,7710) lebih kecil daripada model Taylor (24,9089). Hal itu berarti bahwa pada stadia telur, model Iwao lebih sesuai digunakan untuk mencirikan pola persebaran. Pada stadia telur nilai a!
= 0,3644. Uji t (P>0,05) nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan 0, yang berarti bahwa komponen dasar persebaran telur adalah individu dan individu telur tersebar secara mengelompok pada pertanaman tomat. Komponen dasar persebaran individu yang memencar secara mengelompok di antara tanaman inang merupakan ref-leksi perilaku H. armigera. Ngengat meletakkan telur satu per satu pada tanaman yang terpilih.
Untuk stadia larva, model Taylor lebih sesuai, karena jumlah kuadrat sim- pangan dugaan ragamnya terhadap ragam contoh (23,5462) lebih kecil dibanding dengan model Iwao (26,0521) (Tabel Lampiran 5.2). Komponen dasar perse- baran stadia larva adalah individu (a! = 0,3039), dan individu-individu larva
menyebar secara mengelompok pada pertanaman tomat. Persebaran telur dan larva yang mengelompok tersebut mengisyaratkan bahwa satuan contoh penga- matan perlu diupayakan menyebar rata di seluruh pertanaman.
Rancangan Penarikan Contoh Beruntun untuk Pendugaan Populasi Telur dan Larva
Langkah awal penyusunan rancangan penarikan contoh beruntun untuk pendugaan populasi adalah membuat kurva garis henti pada tingkat ketelitian tertentu. Dalam penelitian ini tingkat ketelitian ditetapkan 25 % (0,25) dan 10 % (0,lO). Garis henti dibuat berdasarkan persamaan yang menggambarkan hubungan antara jumlah kumulatif telur atau larva (Tn) yang ditemukan dalam
58
pengamatan dengan jumlah satuan contoh (n). Disebut garis henti karena penga- matan dihentikan jika jumlah kumulatif hasil pengamatan telah melebihi Tn. Garis henti diperoleh dari persamaan D = SWx, yang SX dan
Z
masing-masing adalah simpangan baku dan rataan contoh. Setelah mengganti SR dengan m / n dan X dengan Tnln, maka diperoleh D = (-)/~n. Dengan mengganti S2 dari persamaan itu dengan ragam dari model Iwao,s2
= ( a+
1) 5f+
(B - 1)z2
dan ragarn model Taylor, S2 = a jib maka diperoleh persamaan garis henti :Tn = ( a
+
1 ) / [ ~ ~ - (B - l)/n] untuk model Iwao Tn = [a/(D2 nb-1)]2-b untuk model tayloryang a, B, a, dan b seperti batasan sebelumnya dan D adalah tingkat ketelitian pendug aan.
Dari analisis sebelumnya diketahui bahwa model yang sesuai untuk stadia telur adalah model Iwao dengan nilai a dan D masing-masing 0,3644 dan 1,4421. Oleh karena itu persamaan garis henti untuk pengamatan telur adalah :
Tn = (1,3644)/[0,01 - (1,4421 - l)/n] untuk D = 0,10 Tn = (1,3644)/[0,0625 - (1,4421 - l)/n] untuk D = 0,25.
Untuk menentukan tingkat ketelitian yang layak dipilih, maka disusun hubungan antara jumlah satuan contoh dengan rataan telur tiap satuan contoh dengan mengganti Tn dengan rift (Gambar 5.3) dari persamaan garis henti :
n = (136,441X)
+
444, untuk D = 0,10 n = (21,830411t)+
7 , l untukD = 0,25Terlihat bahwa pada tingkat ketelitian 0,25 diperlukan 29 satuan contoh pada rataan satu telur per empat tanaman, dan i 8 satuan contoh pada rataan dua telur per empat tanarnan. Pada tingkat ketelitian 0,10 diperlukan satuan contoh yang lebih banyak. Pada kerapatan satu telur per empat tanaman diperlukan 181 satuan
contoh (724 tanaman), dan pada kerapatan telur dua per empat tanaman diperlu- kan 1 12 satuan contoh (448 tanaman). Berdasarkan pengalaman, waktu yang dibutuhkan untuk mengamati 20 satuan contoh (80 tanaman) berkisar 2 - 5 jam tergantung dari umur tanaman. Pada waktu tanaman inasih muda (kecil), 20 satuan contoh dapat diselesaikan dalam waktu _+ 2 jam, tetapi pada tanaman yang
berumur di atas 50 hst diperlukan waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, ting- kat ketelitian 0,25 lebih layak digunakan untuk pengamatan populasi telur dengan kurva garis henti ditunjukkan pada Gambar 5.4.
Untuk larva, model Taylor lebih sesu'ai menggambarkan pola persebaran dengan nilai a dan b masing-masing 1,4890 dan 1,2507. Oleh karena itu, hubungan antara jumlah contoh (n) dengan rataan telur per empat tanaman adalah sebagai berikut :
n = 1 4 8 , 9 / ~ ~ , ~ ~ ~ ~ untuk D = 0,10 n = 2 3 , 8 / ~ ~ > ~ ~ ~ ~ untuk D = 0,25.
Grafik kedua persamaan itu ditampilkan pada Gambar 5.5.
Rataan Telur per Empat Tanaman
Gambar 5.3. Hubungan antara Jumlah Satuan Contoh dengan Rataan Jumlah Telur per Empat Tanaman.
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 SO
Jumlah Satuan Contoh
Gambar 5.4. Hubungan antara Jumlah Kumulatif Telur (Tn) dengan Jumlah Satuan Contoh (n) (Garis .Henti).
Gambar 5.5. Hubungan antara Jumlah Satuan Contoh (n) dengan Rataan Jumlah Larva (X) per Empat Tanaman.
160
-
140 s-
5
120- C K 0 0 100- c RI 3 80 C RI cn r 60 RI-
E Ir 40 7 2 0 0Pada tingkat populasi yang sangat rendah diperlukan ukuran contoh yang besar - - - - - D = 0,25 I I I I I L I 0 1 2 3 4 5 6 7 S
61
untuk mencapai tingkat ketelitian 0,lO. Pada kerapatan populasi satu dan dua larva per empat tanaman diperlukan contoh sebanyak 149 dan 89 satuan dibanding dengan 24 dan 14 satuan contoh untuk mencapai ketelitian 0,25 (Garnbar 5.5). Oleh karena itu untuk pengamatan larva pada tanaman tomat tingkat ketelitian 0,25 lebih layak digunakan. Persamaan garis henti pada tingkat 0,25 adalah Tn
= 68, 9/n0*3346 (Gambar 5.6).
01 I , , 1 ! I I I I 1 I
1
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Jumlah Satuan Contoh
Garnbar 5.6. Hubungan antara Jumlah Kumulatif Larva yang Ditemukan dengan Jumlah Satuan Contoh.
Garis henti (Gambar 5.4 dan 5.6) yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat digunakan untuk pengamatan rutin di lapangan. Banyaknya satuan contoh awal yang perlu diambil untuk pengamatan telur dan larva masing-masing mini- mal adalah 8 (32 tanaman) dan 5 (20 tanaman). Seluruh telur dan larva yang ditemukan pada satuan-satuan contoh kemudian dijumlahkan. Kerapatan kumula- tif telur yang diperoleh diplotkan pada Gambar 5.4, dan larva diplotkan pada Gambar 5.6. Bila kumulatif telur atau larva sudah melebihi garis henti penga- matan dihentikan, dan bila belum pengamatan dilanjutkan pada satuan contoh berikutnya. Pada keadaan garis henti tidak pernah tercapai, pendugaan populasi
6 2
didasarkan ukuran contoh maksimum. Dari penelitian ini diperoleh bahwa ukuran contoh maksimum adalah 20 satuan untuk stadia telur dan 15 satuan untuk stadia larva.
Kesimpulan
Komponen dasar persebaran telur dan larva H. armigera pada pertanaman tomat adalah individu. Keduany a menyebar secara mengelompok di pertanaman tomat, sehingga satuan contoh pengamatan perlu diupayakan menyebar rata di
1
pertanaman. Model Iwao lebih sesuai untuk mencirikan pola persebaran telur, dan model Taylor untuk pola persebaran larva. Pada tingkat ketelitian 0,25, ukuran contoh minimum dan maksimum untuk pengamatan telur adalah 8 dan 20 satuan, sedangkan untuk larva adalah 5 dan 15 satuan.
Daftar Pustaka
Allen, J., D. Gonzales & D. V. Gokhale. 1972. Sequential sampling plans for the bollworm, Heliothis zea. Environ. Entomol. 1 : 771 - 780.
Anscornbe. F. S . 1949. The statistical analysis of insect counts based on the negative binomial distribution. Biometrics. 5 : 165 - 173.
Boivin, G. & C Vincent. 1987. Sequential sampling for pest control programs. Res. Branch Agric. Can. Tech. Bull. Rep. 29 hal.
Bouchard, D., A. Ouedraogo, & G. Boivin. 1992. Vertical distribution, spatial dispersion and sequential sampling plan for fruit damage by Helicoverpa armigera (Hiibner) (Lepidoptera : Noctuidae) on tomato crop in Burkina Faso. Trop. Pest Manag. 38(3) : 250 - 253.
Elna, K. R. 1988. Penarikan contoh ber'untun H. armigera pada pertanaman kapas. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Iwao, S. 1968. A new regression method for analyzing the aggregation pattern of animal populations. Res. Popul. Ecol. 10 : 1 - 20.
Onsager, J. A . 1976. The rationale of sequential sampling with emphasis on its use in pest management. USDA. Tech. Bull. No. 1526.
Southwood, T. R. E. 1978. Ecological Methods with Particular Reference to The Study of Insect Populations. 2nd ed. Chapman & Hall, London. 524 hal. Taylor, L. R. 1961. Aggregation, variance, and the mean. Nature 189 : 732 -
735.
Terry, I . , J. R. Bradley, JR., & J. W. van Duyn. 1989.
Heliothis zea
(Lepidop- tera : Noctuidae) eggs in soybean : Within-field distribution and precision level sequential count plans. Environ. Entomol. 18(6) : 908 - 916.Wilson, L. T., F. G. Zalom, R. Smith, & M . P. Hoffmann. 1983. Monitoring for fruit damage in processing tomatoes : use of a dynamic sequential sampling plan. Environ. Entomol. 12 : 835 - 839.
Tabel Lampiran 5.1. Jumlah Kuadrat Simp ngan Dugaan
9
2
Ra am Model Iwao (S I) dan Ta lor
(S T) terhadap Ragam Contoh S
K
untuk Stadia Telur.
Umur
s2
S ~ I (s2 - s21)s 2 ~
(s2 - s2.~) )a(hst)
Jumlah 14,7710 24,9089
Rata-rata 2,4618 4,1519
Tabel Lampiran 5.2. Jumlah Kuadrat Simpangan Dugaan Ragam Model Iwao dan Taylor terha- dap Ragam Contoh untuk Stadia
Larva.
Umur