• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI OBJEK DALAM CERPEN MADI>NATU A S-SA A>DAH KARYA MUSTHAFA LUTHFI AL-MANFALUTHI ANALISIS SINTAKSIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSTRUKSI OBJEK DALAM CERPEN MADI>NATU A S-SA A>DAH KARYA MUSTHAFA LUTHFI AL-MANFALUTHI ANALISIS SINTAKSIS"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KONSTRUKSI OBJEK DALAM CERPEN

MADI>NATU A’S-SA‘A>DAH

KARYA MUSTHAFA LUTHFI AL-MANFALUTHI

ANALISIS SINTAKSIS

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi Sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Arab

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh UMU ATI’AH

C1011047

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kalimat merupakan satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final (Chaer, 2007:240). Intonasi final yang memberi ciri kalimat ada tiga, yaitu intonasi deklaratif, yang dalam bahasa dilambangkan dengan tanda titik; intonasi interogatif, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda tanya, dan intonasi seru, yang dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda seru (2007:241). Alwi (2003:240) mendefinisikan kalimat sebagai satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kalimat adalah perkataan atau tulisan yang tersusun atas unsur-unsur yang lebih kecil dalam satuan kebahasaan, diikuti dengan intonasi final, serta dapat menyampaikan pikiran yang utuh.

Al-Khuli (1982:253) menyepadankan istilah kalimat dengan jumlatun. Yaitu satuan unit yang paling sempurna susunannya. A‟d-Dahdah (2000:116) menyebut jumlatun sebagai susunan predikatif yang tersusun atas subjek dan predikat serta membentuk satu makna yang sempurna. Selain menyebutnya sebagai jumlatun, A‟d-Dahdah juga menyebutnya sebagai al-kala>mul-murakkabul-mufi>du (kalimat bersusun yang sempurna maknanya). Dari dua pendapat tersebut dapat diambil pengertian kalimat dalam bahasa Arab adalah

(3)

Berbeda dengan kalimat bahasa Indonesia yang menjadikan intonasi final sebagai cirinya, bahasa Arab menjadikan “makna yang sempurna” sebagai ciri kalimat yang membedakannya dengan klausa.

Sementara itu, susunan (tarki>b) dalam bahasa Arab terdiri dari enam jenis, yakni isnadi>, idhafi>, baya>ni>, ‘athfi>, mazji>, dan ‘adadi>. Dari keenam jenis susunan tersebut terdapat satu jenis yang berpotensi untuk menjadi klausa atau kalimat, yaitu tarki>b isna>di>, atau biasa dikenal dengan al-jumlah, sedangkan lima jenis yang lainnya hanya sebatas pada frasa (Ma‟ruf, 2002:64).

Selanjutnya, kalimat dalam bahasa Arab, sesuai dengan pola urutan yang menyusunnya, dibagi menjadi dua: jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyyah (A‟d-Dahdah, 2000:116). Jenis yang pertama merupakan jenis kalimat yang diawali dengan ism, sedangkan jenis yang kedua adalah kalimat yang dimulai dengan

fi’l (2000:117).

Fi’l pembentuk al-jumlah, baik dalam jumlah ismiyah maupun fi’liyah,

dibagi ke dalam fi’l muta’adi (verba transitif) dan fi’l lazim (verba intransitif) (Al-Khuli, 1982:371). Perbedaan diantara kedua verba tersebut adalah dibutuhkan atau tidaknya kehadiran objek (Ghulayaini, 2005:27). Fi’l muta’adi adalah fi’l yang membutuhkan kehadiran maf’ul bih (A‟d-Dahdah, 2000:233), sedangkan fi’l lazim tidak memerlukan kehadiran maf’ul bih (2000:232). Objek-objek tersebut tergambarkan dalam objek langsung (O) maupun objek yang bertemu verba melaui perantara partikel (Op). Contoh objek langsung terdapat dalam susunan berikut:

(4)

1

.

قشاع ةلقم فى ٍدجو ةعمد نم نًحأ نىتدجو

.

(

يطولفنلدا

,

63

)

(1) Wajadtu ni> achyara min dim’ati wajdin fi> miqlati ’a>syiqin (Al Manfaluti:63)

„Aku telah menemukan diriku lebih bimbang terhadap setetes air mata kegembiraan yang terdapat pada mata orang yang mencintai.‟

Kalimat Wajadtu ni> akhira min dim’ati wajdin fi> miqlati ’a>syiqin

Bentuk wajada tu ni> achyara min dam’ati wajdin fi> muqlati a>syiqin Kata Kate

gori

V N Pron Adv Konj N N Konj N N

Frasa FN Pron Adv FN FN

Fungsi P S O Pel Arti Telah mene mukan aku dirik u

lebih bimbang terhadap setetes air mata kegembiraanyang terdapat pada mata orang yang mencintai

Susunan di atas tersusun atas tiga konstituen: (1) Wajadtu

(2) ni>

(3) achyara min dam'ati wajdin fi muqlati 'a>syiqin

Konstituen (1) merupakan predikat yang dilekati dengan subjek berupa pronomina pertama tunggal tersembunyi yang terwujud dalam huruf ta’ berharakat dhammah menjadi tu (

تُت

) menunjuk kepada “aku” sebagai pelaku.

Predikat dalam kalimat tersebut diisi oleh verba perfek wajada “menemukan”, suatu kegiatan yang dilakukan pada masa lampau. Verba tersebut berjenis verba transitif (ekatransitif), sehingga objek diperlukan kehadirannya dalam kalimat.

Konstituen (2) merupakan objek. Objek dalam kalimat tersebut diisi oleh kategori pronomina pertama tunggal yang tersusun atas huruf nu>n dan ya>’

(5)

membentuk kata ni> (aku). Objek tersebut mengiringi verba wajada yang berfungsi sebagai predikat.

Konstituen (3) merupakan pelengkap yang tersusun atas frasa nominal. Berkaitan dengan pola urutan kata dalam bahasa Arab, Objek dalam kalimat tidak harus terletak setelah verba (A‟d-Dahdah, 2000: 311). Seperti pada kalimat:

2

.

روصقلا و لزانلدا تيأر

.

(

يطولفنلدا

:

64

)

(2) Ra'aitul-mana>zila wal qushu>ra

P-S O

„Aku melihat rumah-rumah dan istana-istana.‟ Susunan di atas terdiri dari dua konstituen

(1) Ra’aitu

(2) Al mana>zila wa al qushu>ra

Konstituen pertama merupakan fungsi subjek dan predikat, sedangkan konstituen kedua merupakan fungsi objek.

Dari susunan tersebut dapat diketahui bahwa objek terletak setelah predikat dan subjeknya, membentuk pola P-S-O. Susunan tersebut berbeda dengan klausa (3) yang mendahulukan objek daripada subjek dalam susunan berikut:

3

.

ميلس سردلا بتك

.

(

،هدىدلا

2003:311

)

(3) Kataba’d-darsa Sali>m

(6)

Pada susunan (3) di atas, terlihat bahwa objek yang berupa nomina a’d

darsa (pelajaran) mendahului posisi fungsi subjek Sali>mun (Salim). Susunan

tersebut kemudian membentuk pola P-O-S. Pola yang demikian dapat diterima atau diperbolehkan dalam bahasa Arab (A‟d-Dahdah, 2000:311). Dengan demikian jelaslah bahwa objek dalam bahasa Arab tidak harus terletak langsung setelah subjek atau predikat pembentuknya.

Penelitian tentang objek sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian ini antara lain pernah dilakukan oleh Sukardi (TT) dalam artikelnya yang berjudul “Perilaku Objek Kalimat Dalam Bahasa Indonesia”. Dalam jurnalnya, Sukardi memberikan enam kesimpulan terkait posisi objek saat disandingkan dengan predikat. Di antara enam kesimpulan tersebut adalah (1) O dituntut kehadirannya dalam kalimat aktif transitif, (2) kalimat dengan verba ekatransitif menuntut kehadiran satu objek, sedangkan verba dwitransitif membutuhkan dua objek (O1 dan O2), (3) kalimat dengan verba dwitransitif, jika dipasifkan O1 menjadi S dan O2 tetap dibelakang P, (4) P dan O membentuk konstruksi yang sifatnya tegar, artinya O selalu terletak di belakang P, (5) kategori sintaksis yang dapat menduduki fungsi O ialah nomina atau frasa nomina dan pronomina atau frasa pronominal yang meliputi pronominal persona, pronominal penunjuk, dan pronominal penanya, (6) peran semantik yang dapat mengisi fungsi O adalah pasientif, benefaktif, sasaran, lokatif, dan instrumental.

Penelitian lain berupa artikel pernah dilakukan juga oleh Wagiati (TT) dengan judul “Objek dalam Bahasa Indonesia”. Penelitiannya tersebut

(7)

menghasilkan kesimpulan: (1) konstruksi objek dapat berupa klitik, kata, frasa, dan klausa, (2) peran semantik objek bahasa Indonesia adalah sebagai objektif atau penderita, faktif atau hasil, goal atau sasaran benefaktif atau pemeroleh, instrumental atau alat, lokatif atau tempat, dan temporal atau waktu.

Selain itu, Ma‟ruf pada tahun 2009 juga melakukan penelitian tentang pola urutan yang terkait dengan objek. Penelitian tersebut berupa disertasi berjudul “Pola Urutan Kata dalam Bahasa Arab: Studi Gramatika Kontrastif dengan Bahasa Indonesia”. Dalam penelitiannya tersebut, dapat disimpulkan terkait dengan verba transitif dan objek yang mengiringinya, secara klausal, bahasa Arab mempunyai tipe pokok V-O tetapi dimungkinkan pula bertipe O-V karena urutan kata dalam kalimat bahasa Arab mempunyai mobilitas yang tinggi.

Penelitian lain tentang pengisi fungsi objek juga pernah dilakukan oleh Saptati dengan judul “Peran Pengisi Fungsi Objek Pada Kalimat Berpredikat Verba Aktivitas Mata Dalam Bahasa Jawa”. Dalam penelitiannya, ia memfokuskan penelitian pada peran objek dalam kalimat pada bahasa Jawa. Penelitian tersebut merupakan skripsi yang diselesaikan pada tahun 1999. Dari hasil penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa peran objek yang terdapat pada predikat aktivitas mata dengan berbagai tipe adalah sebagai peran penderita.

Berdasarkan pada tinjauan pustaka di atas serta pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis, sejauh ini penelitian tentang objek dalam cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi belum pernah dilakukan, khususnya oleh mahasiswa Jurusan Sastra Arab. Oleh karena itu,

(8)

penelitian tersebut perlu dilakukan untuk menambah sumbangsih terhadap keilmuan bahasa Arab khususnya mengenai kajian sintaksis dalam cerpen (sastra).

Cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah merupakan salah satu karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi yang tergabung dalam kumpulan tulisannya berjudul an Nadza>rat. Cerpen tersebut menceritakan perjalanan penulis di sebuah kota asing. Dalam perjalanan tersebut diceritakan indahnya sebuah kota yang memiliki penduduk aneh, menurut pandangan penulis. Penduduk kota tersebut memiliki hati mulia. Mereka tidak melakukan pekerjaan selain untuk kemuliaan. Mata pencaharian mereka adalah bertani. Mereka tidak memiliki sekolah karena bagi mereka kepercayaan pendidikan adalah di tangan mereka sendiri. Penduduk kota tersebut menyembah Allah bukan karena mengharapkan syurga ataupun takut pada neraka. Tidak ada perselisihan di antara mereka, tidak ada peminta-minta di antara mereka, tidak ada hakim di antara mereka lantaran tidak adanya kejahatan, yang ada dalam kota tersebut hanyalah kedamaian dan kasih sayang satu sama lain. Namun sayang sekali perjalanan penulis dalam satu epik yang indah itu harus berakhir karena perjalanan itu pada kenyataannya hanyalah sebuah mimpi.

Salah satu keistimewaan cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah dibandingkan dengan cerpen lainya adalah cerita dalam cerpen tersebut merupakan khayalan Al-Manfaluthi akan adanya sebuah kota dambaan manusia yang penduduknya hidup dalam kedamaian. Ide dalam cerpen tersebut berbeda dengan cerpen-cerpen lainnya, sehingga menjadikan peneliti tertarik memilih cerpen-cerpen tersebut

(9)

sebagai objek penelitian. Selain itu, penulis berasumsi bahwa objek dalam cerpen tersebut tidak selalu terletak langsung setelah verba atau predikat pembentuknya. Adakalanya antara verba dengan objek diselipi dengan klausa panjang yang umumnya berfungsi sebagai keterangan. Kecermatan dan ketelitian perlu dilakukan agar satu satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai objek tidak ditempatkan sebagai pengisi fungsi keterangan, atau subjek, atau predikat. Konstruksi pengisis fungsi objek yang beraneka ragam dalam cerpen tersebut juga menjadi salah satu daya tarik cerpen tersebut untuk diteliti. Konstruksi yang mengisi fungsi objek tidak hanya diisi oleh kata saja, tetapi juga frasa, klausa, dan kalimat. Selain itu, bahasa penyusun cerpen tersebut indah dan menggunakan bahasa fuscha sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian. Oleh karena itu, berdasarkan pada asumsi sebelumnya, cerpen ini menarik untuk dikaji lebih mendalam.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang tersebut di atas, masalah dapat dirumuskan ke dalam dua hal;

(1) Bagaimana pengisi fungsi dan kategori objek dalam cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi?

(2) Bagaimana posisi objek pada pola susunan klausa dalam cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas maka tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah;

(10)

commit to user

(1) Mendeskripsikan pengisi fungsi dan kategori objek dalam cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.

(2) Mendeskripsikan posisi objek pada pola susunan klausa dalam cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi?

D. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah objek yang terdapat dalam kalimat atau klausa tunggal. Kalimat tunggal yang dimaksudkan dibatasi lagi dalam klausa atau kalimat aktif transitif deklaratif yang terdapat dalam cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Lutfhi Al-Manfaluthi, bukan kalimat pasif dan bukan kalimat imperatif atau interogatif.

E. Landasan Teori 1. Sintaksis

1.1.Kalimat dan klausa

Kecuali dalam hal intonasi akhir atau tanda baca yang menjadi ciri kalimat, kalimat dalam banyak hal tidak berbeda dengan klausa. Keduanya merupakan konstruksi sintaksis yang mengandung unsur predikasi (Alwi et.al 2003: 311).

1.1.1. Pengertian kalimat

Kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final. Jika sebuah klausa telah disertai dengan intonasi final, maka klausa tersebut

(11)

Ramlan (2009:21) tidak mendasarkan penamaan “kalimat” berdasarkan pada jumlah suku kata yang membentuk sebuah kalimat, melainkan pada intonasi atau nada akhir dari sebuah kalimat. Setiap satuan kalimat dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Jadi baginya, kalimat adalah susunan kata yang diakhiri dengan nada akhir naik atau turun.

Ba‟albaki (1990:436) menyebut istilah kalimat dengan

al-jumlah. A‟d-Dahdah mengartikan al-jumlah sebagai:

انسإ ةدحو

د

ناقّقيحو ةلملجا هذى ةدمع نانِّوكي ويلإ اًدنسمو ًادنسم نمضتت ةي

ديفلدا نىعلدا

,

نٌستحو نىعلدا حيضوت اهتياغ تلاضفب ةدمعلا قالحإزويج

ملاكلا

.

ناعون يىو ديفلدا بّكرلدا ملاكلا اضيأ ةلملجا ىّمست

,

ةيسماو ةّيلعف

Wachdatun isna>diyyatun tatadhammanu musnadan wa musnadan ilaihi yukawwinani ‘umdata hadzihil-jumlati wa yuchaqqiqa>nil-ma’na>l-mufi>da, yaju>zu ilcha>qul-‘umdati bifadhala>tin gha>yatuha> taudzi>chul-ma’na> wa tachsi>nul-kala>mi. Tusamma >jumlatu aidhan al-kala>mul-murakkabul-mufi>du wa hiya nau’a>ni, fi’liyyatun wa ismiyyatun.

Al-jumlah adalah sebuah satuan predikatif yang mengandung musnad (predikat) dan musnad ilaih (subjek), keduanya menyusun bagian kalimat ini serta menegaskan makna yang sempurna. Unsur ini dapat diikat dengan komplemen lain dengan tujuan untuk memperjelas makna dan memperindah kata-kata. Al-Jumlah dalam bahasa Arab juga disebut dengan “perkataan/kalam yang tersusun yang membentuk makna sempurna, al-jumlah ada dua macam yaitu fi’liyyah dan ismiyyah.‟ (A‟d-Dahdah, 2000: 116).

(12)

Hasan (2009:15) mendefinisikan al-jumlah sebagai sesuatu yang tersusun dari dua kata atau lebih dan mempunyai makna yang sempurna.

Ghulayaini (2005:11) menyebut jumlah dengan

al-murakkabul-isnadi. Dia mengartikannya sebagai ma> ta’allafa min

musnadin wa musnadin ilaihi (sesuatu yang tersusun atas musnad (subjek) dan musnad ilaih (predikat).

1.1.2. Jenis kalimat

Berdasarkan ada tidaknya verba, kalimat dibedakan menjadi kalimat verbal dan kalimat non-verbal (kalimat nominal). Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase yang berkategori verba. Kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan kata atau frase verbal; bias berupa nomina, adjektifa, adverbia, atau juga numeralia (Chaer, 2007: 249).

Berkenaan dengan jenis verba yang menuntut ada atau tidaknya kehadiran objek, kalimat verbal dibagi lagi ke dalam kalimat transitif dan kalimat intransitif. Kalimat transitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba transitif, yaitu verba biasanya diikuti oleh sebuah objek jika verba tersebut bersifat monotransitif, dan diikuti oleh dua buah objek kalau verbanya berupa verba bitransitif. Kalimat intrasitif adalah kalimat yang

(13)

predikatnya berupa verba intransitif, yaitu verba yang tidak memiliki objek.

Dalam bahasa Arab, berdasarkan jenis kata yang mengawali

al-jumlah, al-jumlah dibagi ke dalam dua bagian yaitu al-jumlatul-ismiyyah dan al-jumlahul-fi‘liyyah (Al-Khuli, 1987:348). Al-jumlah ismiyyah adalah kalimat yang diawali dengan ism, terdiri dari

subjek yang disebut dengan mubtada’ dan ism lain berfungsi sebagai predikat yang disebut khabar (A‟d-Dahdah, 2000:117).

Sementara itu, al-jumlatul-fi’liyyah adalah kalimat yang mengandung fi’l sempurna. Al-jumlatul-fi’liyyah ini diawali dengan

fi’l (Al-Khuli, 1987:301) dan terdiri dari musnad yang berupa fi’l

serta musnad ilaih yang berupa fa‘il atau naibul-fa>‘il. Jika musnad berupa fi’l ma’lum maka musnad ilaih berupa fa’il. Jika musnad berupa fi’l majhul maka musnad ilaih nya berupa na’ibu- fa’il (2000: 117).

Hasan (2009:16) membagi kalimat ke dalam tiga bagian yaitu

al-jumlatul-ashliyyah, al-jumlatul-kubra, dan al-jumlatu’sh-shughra.

عاونأ ةثلاث ةلملجا نإ

:

(ا)

ةيلصلأا ةلملجا

.

تقت تيلا يىو

ص

دانسلإا نيكر ىلع ر

(

ىأ

:

هبرخ عم أدتبلدا ىلع

,

عم لعفلا ىلع رصتقت وأ برلخا ماقم موقي ام وأ

ولعاف

,

لعفلا نع بوني ام وأ

)

(

ب

)

ىبركلا ةلملجا

,

أدتبلدا نم بكترت ام يىو

ةيلعف وأ ةيسما ةلجم هبرخ

,

ونح

:

ةبيط وتحئار رىزلا

,

وأ

:

وتحئار تباط رىزلا

.

(

ج

)

ىرغصلا ةلملجا

:

يىو

:

أدتبلد ابرخ اهمادحإ تعقو اذإ ةيلعفلا وأ ةيسملاا ةلملجا

.

(14)

Innal-jumlata tsala>tsata anwa>’in. (a) al-jumlahtul-ashliyyah. Wa hiya’l-lati taqtashiru ‘ala> raknail-isna>di (ay ‘ala>l-mubtada'i ma’a khabarihi, aw ma> yaqu>mu maqa>mal-khabari aw taqtashiru ‘ala>l-fi’li ma’a fa>’ilihi, au ma> yanu>bu ‘anil-fi’li) (b) al-jumlatul-kubra>, wa hiya ma> tatarakkabu minl-mubtada'i khabaruhu jumlatun ismiyyatun aw fi’liyyatun, nachwu: a’z-zuharu ra>'ichatuhu thayyibatun, aw :a’z-zuharu tha>bat ra>'ichatuhu. (c) jumlatu’sh-shughra>: wa hiya : al-jumlatul-ismiyyatu aw al-fi’liyyatu idza> waqa’at ichda>huma> khabaran limubtada'i.

Al-jumlah ada tiga jenis: (a) al-jumlah al ashliyyah. Yaitu

yang terdiri atas minimal dua susunan predikatif (yaitu:

mubtada’ dengan khabarnya, atau sesuatu yang

menempati khabar atau paling tidak terdiri dari fi’l dan fa>’ilnya, atau yang menggantikan fi’l) (b) al-jumlah al kubra> adalah susunan yang tersusun atas mubtada' yang khabarnya berupa jumlah ismiyyah atau fi’liyyah, seperti a’z-zuharu ra>'ichatuhu thayyibatun (bunga-bunga memiliki bau yang wangi) atau a’z-zuharu tha>bat ra>'ichatuhu (bunga-bunga wangi baunya). (c) al-jumlah a’sh shughra> yaitu al-jumlatul-ismiyyah atau al-fi’liyyah jika salah satunya jatuh sebagai khabar bagi mubtada'.

Chaer (2007:208) menyatakan bahwa keempat fungsi (S, P, O, dan K) tidak harus selalu ada dalam setiap struktur sintaksis. Dia menyebutkan bahwa para pakar linguistik mengatakan yang harus ada dalam struktur sintaksis adalah subjek dan predikat. Dengan demikian, terdapat kemungkinan bagi fungsi objek untuk dilesapkan, sesuai dengan pendapat Chaer tersebut di atas. Hal tersebut terjadi karena konstiruen “induk” dalam kalimat adalah predikat yang biasanya berupa verba. Kehadiran konstituen lain ditentukan oleh kehadiran dan jenis verba. Verba transitif tentu akan memunculkan fungsi objek (Verhaar, 2010:165).

(15)

Para ahli bahasa Arab (Al-Khuli (1982:291) dan Ba‟albaki (1990:510) menyepadankan verba transitif dengan istilah fi‘l

muta‘addi.

1.2.Frasa

Unsur klausa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas sebuah fungsi disebut dengan frasa (Ramlan, 2001:138). Berkaitan dengan hal tersebut, frasa dibagi lagi menjadi 5, yaitu frasa verbal, frasa nominal, frasa bilangan, frasa keterangan, dan frasa depan.

a. Frasa verbal

Merupakan frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata verbal, misalnya sedang membaca, akan pergi, sudah datang dan sebagainya (Ramlan, 2001:154).

b. Frasa nominal

Merupakan frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata nominal. Misalnya mahasiswa lama, gedung sekolah, guru

yang bijaksana, kapal terbang itu, jalan raya ini, dan lain

sebagainya (Ramlan, 2001:154). c. Frasa bilangan/ numeralia

Frasa bilangan ialah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilangan. Misalnya frase dua buah, tiga ekor,

lima botol, tiga puluh kilogram, dan sebagainya (Ramlan,

(16)

d. Frasa keterangan

Frasa keterangan ialah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata keterangan. Misalnya frasa tadi malam, kemarin

pagi, sekarang ini, dan sebagainya (Ramlan, 2001:162).

e. Frasa depan

Frase depan ialah frase yang terdiri dari kata depan sebagai penanda, diikuti oleh kata atau frasa sebagai aksisnya. Misalnya di

sebuah rumah, dengan sangat tenang, sejak tadi pagi, dari desa, ke jakarta, daripada bambu, kepada teman sejawatnya, dan lain

sebagainya (Ramlan, 2001:162).

Ba‟albaki (1990:378) menyebut frasa sebagai syibhu jumlah atau syibjumlah. Dia juga menyebutnya sebagai murakkab. Murakkab yaitu susunan yang tersusun lebih dari satu kata tetapi tidak mencapai susunan subjek predikat (1990:379). Selain itu, menurut Ghulayaini, frasa adalah perkataan yang terdiri dari dua kata atau lebih untuk makna tertentu, baik itu makna yang sempurna seperti pada susunan a’n-naja>tu fi>’sh-shidqi „kesuksesan pada kejujuran‟, maupun yang tidak sempurna seperti pada susunan nu>ru'sy-syamsi „sinar matahari‟ (Ghulayaini, 2005:11).

Terdapat enam murakkaba>t dalam bahasa Arab (Ghulayaini, 2005:11). Keenam jenis itu adalah murakkab al isna>di>, Al-murakkab al-idlafi>,Al-Al-murakkab al baya>ni>, Al-Al-murakkab al ’athfi>, al murakkab al mazji>, dan Al-murakkab al ’adadi>.

(17)

a. Al-murakkab al-isna>di>

Al-murakkab al-isna>di> adalah susunan yang tersusun dari subjek dan predikat (Ghulayaini, 2005:11).

b. Al-murakkab al -dlafi>

Al-murakkab al-idlafi> adalah susunan yang terdiri dari mudla>f dan mudla>f ilaih. Seperti pada frasa kita>bu’t-tilmi>dzi ‘buku milik murid itu‟, kha>timu fidhatin ‘cincin dari perak‟, shaumu’n-naha>ri „puasa pada siang hari‟. Harakat atau hukum bagian ke dua adalah selalu kashrah (Ghulayaini, 2005:13).

c. Al-murakkab al-baya>ni>

Al-murakkab al-baya>ni> adalah setiap susunan dua kata yang mana bagian yang kedua menjadi penjelas bagi bagian pertama. Ini terbagi lagi ke dalam tiga jenis:

1) Murakkabun washfiyyun :susunan yang terdiri dari shifah dan

maushuf. Misalnya pada susunan fa>za’t-tilmi>dzul-mujtahidu

„murid yang bersungguh-sungguh itu berhasil‟.

2) Murakkabun taukidiyyun :susunan yang terdiri dari al

mu’akkidu dan al mu’akkadu. Misalnya pada susunan ja>'al-qaumu kulluhum „kaum itu datang keseluruhannya‟.

3) Murakkabun badaliyyun :susunan yang terdiri dari badal dan

mubdal minhu. Misalnya pada susunan ra'aitu khali>lun akha>ka

(18)

Hukum kata bagian ke dua dari Al-murakkab al-bayani> adalah sesuai dengan kata yang mendahuluinya (Ghulayaini, 2005:13).

d. Al-murakkab al-’athfi

Al-murakkab ’athfi adalah susunan yang terdiri dari

al-ma‘thuf dan al-al-ma‘thuf alaihi, di antara kedua kata tersebut diselipi

dengan charful-athfi. Misalnya pada susunan yana>lu’t-tilmi>dzu wa’t-tilmi>dzatul-chamda wa’ts-tsana>’a „murid laki-laki dan perempuan mendapatkan pujian dan sanjungan‟. Hukum kata setelah charfu athfi adalah mengikuti kata yang sebelumnya (Ghulayaini, 2005:13).

e. Al -murakkab al-mazji>

Al-murakkab al-mazji> adalah setiap dua kata yang tersusun kemudian menjadi satu kata. Misalnya frasa ba‘labakka,

baitalchama, chadlramauta, dan si>bawaichi. Frasafrasa dalam al

-murakkab al-mazji> ini tidak memiliki sifat la> yunsharifu (tidak dapat ditashrif atau tidak dapat diubah-ubah susunan katanya) (Ghulayaini, 2005:13).

f. Al-murakkab al-’adadi>

Al-murakkab al-’adadi> adalah susunan yang terdiri dari dua bilangan angka yang ditengah-tengahnya diselipi dengan

(19)

termasuk dalam frasa ini karena charful-athfi nya tampak atau terlihat. Hukum dari ini adalah selamanya fatchah. Misalya pada susunan ja>'a achada asyara rajulan „telah datang sebelas laki-laki‟, ra'aitu achada asyara kaukaban „aku melihat sebelas bintang‟, achsantu ila> achada asyara faqi>ran „aku berbuat baik pada sebelas orang fakir‟ (Ghulayaini, 2005:14).

1.3.Kata

Kata adalah bagian dari kalimat yang merupakan kesatuan yang terkecil, yang dapat berdiri sendiri dan mengandung suatu pengertian (Hidayatullah, 2012:91). Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata dapat menempati fungsi-fungsi sintaksis atau menjadi bagian dari frasa yang mengisi fungsi-fungsi sintaksis.

Ba‟albaki (1990:537) menyebutkan kata dalam bahasa Arab sebagai kalimah. Kalimah adalah unsur terkecil dalam hierarki gramatika, sedangkan Al-Khuli menyebutnya sebagai satuan bahasa terkecil yang telah memiliki makna (Al-Khuli, 1982:310).

2. Kategori dan Fungsi Sintaksis 2.1.Kategori Sintaksis

Dalam ilmu bahasa, kata dikelompokkan berdasarkan bentuk serta perilakunya. Kata yang mempunyai bentuk serta perilaku yang sama, atau mirip, dimasukkan ke dalam satu kelompok, sedangkan kata lain yang bentuk dan perilakunya sama atau mirip dengan sesamanya, tetapi berbeda dengan kelompok yang pertama,

(20)

dimasukkan ke dalam kelompok yang lain. Dengan kata lain, kata dapat dibedakan berdasarkan kategori sintaksisnya. Kategori sintaksis sering pula disebut kategori atau kelas kata (Alwi, et.al 2003:36).

Dalam bahasa Indonesia, terdapat empat kategori sintaksis utama: (1) verba atau kata kerja, (2) nomina atau kata benda, (3) adjektiva atau kata sifat, dan (4) adverbia atau kata keterangan. Di samping itu, terdapat satu kelompok lain yang disebut dengan kata tugas yang terdiri atas beberapa subkategori yang lebih kecil, misalnya preposisi atau kata depan, konjungtor atau kata sambung, dan partikel (Alwi, et.al 2003:36).

Nomina, verba, dan adjektiva sering dikembangkan dengan tambahan pembatas tertentu. Nomina, misalnya, dapat dikembangkan dengan nomina lain, adjektifa, atau dengan kategori lain, kemudian membentuk frasa nominal. Verba dapat diperluas, antara lain dengan adverbia, kemudian menjadi frasa verbal, dan adjektiva dapat diperluas dengan adverbia, kemudian menjadi frasa adverbial. Preposisi yang diikuti kata atau frasa lain menghasilkan frasa preposisional (Alwi, et.al 2003:36).

Al-Khuli (1982:311) membagi kelas kata bahasa Arab dalam empat kategori: (1) al-asma>’ (noun), (2) al-af ‘a>l (verb), (3) a’n-nu‘u>t (adjective), dan (4) a’zh-zhuru>f (adverb).

(21)

2.2. Fungsi Sintaksis

Tiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaksis, artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat (Alwi, et.al 2003:36).

Al-Khuli (1982:100) menyepadankan istilah fungsi sintaksis (functional categories) dengan anma>thun wazhifiyyatun. Yaitu sebuah pola yang menunjuk pada fungsi atau tugas kata dalam kalimat, seperti mubtada’, khabar, dan maf‘u>lun bihi.

Fungsi sintaksis utama dalam bahasa adalah predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Di samping itu, ada fungsi lain seperti atributif (yang menerangkan), koordinatif (yang menggabungkan secara setara), dan subordinatif (yang menggabungkan secara bertingkat).

2.2.1. Fungsi Predikat

Ba‟albaki (1990:391) menyepadakan predikat dengan

musnadun, khabar, machku>m bih, dan machmu>l. Predikat dalam

bahasa Indonesia dapat berwujud frasa verbal, adjektival, nominal, numeral, dan preposisional. Dengan demikian musnad dalam bahasa Arab dapat berupa fi’l, ism fi’l, khabar mubtada’, khabar

fi’l naqis, dan khabar huruf yang setara dengan laisa dan inna wa akhawatuha> (Ghulayaini, 2005:12).

(22)

2.2.2. Fungsi Subjek

Ba‟albaki (1990:479) menyepadankan istilah subjek dengan musnad ilaihi, atau berupa fa>’il, mubtada', machku>mu ‘alaihi, dan maudhu>’. Disamping predikat, kalimat umumnya mempunyai subjek pula. Dalam bahasa Indonesia subjek biasanya terletak di muka predikat. Subjek dapat berupa nomina, tetapi pada keadaan tertentu kategori kata lain juga dapat menduduki fungsi subjek.

Ghulayaini menjelaskan musnad ilaih merupakan fa>‘il, na>’ibul fa>‘il, mubtada’, ism fi’l naqis, ism huruf yang setara dengan

laisa dan ism inna wa akhawatua serta la> nafiyah li> jins.

2.2.3. Fungsi Objek

Ba‟albaki (1990:343) menyebut objek dengan maf’u>l bih. Ghulayaini (2005:434) menjelaskan, maf’u>l bih dibagi menjadi dua: shari>ch dan ghairu shari>ch . Jenis yang pertama dibagi ke dalam dua jenis, zha>hir dan dhami>r muttashil. Sementara itu, maf’u>l bih ghairu shari>ch dibagi menjadi tiga jenis: mu'awwalun bimashdarin ba’da charfin mashdariyyin, jumlatun mu'awwalatun bimufrodi, dan ja>run wa majru>run.

3. Verba Transitif

Verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat karena dalam kebanyakan hal verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain yang harus atau boleh ada dalam kalimat tersebut

(23)

commit to user

Dari segi sintaktisnya, ketransitifan verba ditentukan oleh dua faktor: (1) adanya nomina yang berdiri di belakang verba yang berfungsi sebagai objek dalam kalimat aktif dan (2) kemungkinan objek itu berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif (2003:90).

Verba transitif merupakan verba yang memerlukan nomina sebagai objek dalam kalimat aktif, dan objek itu dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif (2003:91).

Contoh kalimat dengan menggunakan verba transitif misalnya: (4) Ibu sedang membersihkan kamar itu.

(5) Rakyat pasti mencintai pemimpin yang jujur. Bentuk pasif dari kalimat tersebut adalah

(4a) Kamar itu sedang dibersihkan oleh ibu

(5a) Pemimpin yang jujur pasti dicintai oleh rakyat.

Menurut Alwi (2003:92) verba transitif dibagi ke dalam tiga jenis yaitu verba ekatransitif, verba dwitransitif, dan verba semitransitif.

a. Verba Ekatransitif

Verba ekatransitif adalah verba transitif yang diikuti oleh satu objek. Seperti dalam kalimat:

(6) Saya sedang mencari pekerjaan. S P O b. Verba Dwitransitif

(24)

commit to user

sebagai pelengkap. Objek dalam kalimat dwitransitif dapat tidak dinyatakan secara eksplisit (Alwi et.al, 2003:92). Contoh kalimat yang menggunakan verba dengan dua objek misalnya:

(7) Saya sedang mencarikan adik saya pekerjaan. S P O2 O1 c. Verba semitransitif

Verba semitransitif ialah verba yang objeknya boleh ada dan boleh juga tidak. Misalnya pada kalimat (8) yang dapat berupa kalimat (8a) berikut ini:

(8) Ayah sedang membaca koran. (8a) Ayah sedang membaca.

Ba‟albaki (1990:509) menyepadankan istilah verba transitif (transitive verb) dengan fi‘lun muta‘adiyyun, yaitu fi‘l atau verba yang membutuhkan hadirnya maf‘u>lun bihi.

Terkait dengan jumlah objek yang mengiringinya, Ghulayaini (2005:28) membagi verba dalam bahasa Arab menjadi tiga, yaitu muta‘addi ila> maf ‘u>l bih wa>chid, muta‘addi ila> maf‘u>llaini, dan muta‘addi ila> tsala>tsata mafa>‘i>l\.

a. Muta‘addi ila> maf ‘u>l bih wa>chid

Muta‘addi ila> maf‘u>l bih wa>chid adalah verba bahasa Arab yang membutuhkan satu objek saja. Misalnya verba-verba kataba,

(25)

b. Muta‘addi ila> maf‘u>llaini

Muta‘addi ila> maf‘u>llaini adalah verba yang membutuhkan dua objek. Verba ini dibagi lagi kedalam dua bagian:

1) Verba yang menashabkan dua objek yang pada dasarnya bukan

mubtada’ dan khabar, seperti verba-verba 'a‘tha>, sa'ala, manacha, mana‘a, kasa>, albasa, dan ‘allama.

2) Verba yang menashabkan dua objek yang pada dasarnya keduanya merupakan mubtada’ dan khabar. Verba ini dibagi lagi menjadi dua: (1) af‘a>lul-qulu>b , seperti ra'a>, ‘alima, wajada, ta‘allama, dan (2) af‘a>lu’t-tachwi>l yang termasuk dalam verba ini ada tujuh, yaitu shayyara, waradda, taraka, takhidza, ittakhadza, ja‘ala, dan wahaba (Ghulayaini, 2005:28).

c. Muta‘addi ila> tsala>tsata mafa>‘i>l\

Muta‘addi ila> tsala>tsata mafa>‘i>l\ adalah verba yang membutuhkan tiga objek. Misalnya verba-verba ara>, a’lama, anba’a, nabba’a, akhbara, dan khabbara (Ghulayaini, 2005:28)

Berkaitan dengan bertemunya verba dengan objeknya, A‟d-Dahdah (2000:232) membagi verba transitif ke dalam verba transitif yang langsung bertemu dengan objeknya dan verba transitif yang bertemu dengan objeknya melalui perantara. Ghulayaini (2005:28) menyebutnya dengan fi‘l muta‘addi binafsihi dan fi‘l muta‘addi

(26)

a. Fi’l muta‘addi binafsihi

Fi’l muta‘addi binafsihi adalah fi‘l yang langsung

bertemu dengan maf‘u>lun bihinya. Misalnya pada kalimat: (9) Kataba a’t-tilmi>dzu risa>latan (A‟d-Dahdah, 2000:280)

P S O

„Murid itu menulis surat‟ b. Fi’l muta‘addi bighairihi

Fi’l muta‘addi bighairihi adalah fi‘l yang bertemu

dengan maf‘u>lun bihinya terlebih dahulu melalui partikel lain. Contoh fi’l muta‘addi bighairihi :

(10) Raghiba’l-waladu fi> ‘ilmi (A‟d-Dahdah, 2000:281). „Anak itu mencintai ilmu‟.

(11) Jalasa’r-rajulu tachta’sy-syajarati (A‟d-Dahdah, 2000:281)

„Lelaki itu duduk di bawah pohon‟.

Sementara itu, berkenaan dengan pembentukan verba transitif, dalam buku morfologi bahasa Arab (Jami>’u’d-duru>s, a’sh-sharful-ka>fi>, Mu’jamul-af’a>lul-mutta’addyyati bicharfin) pembahasan mengenai

wazan pembentuk fi’l mutta’addi tidak dibahasa secara khusus.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wazan fi’l mutta’addi mengikuti atau sama dengan wazan-wazan pembentuk fi’l secara umum. Yaitu yang terbagi ke dalam tsulasi, ruba’i, khumasi, dan

(27)

Namun terdapat beberapa wazan yang dapat memuta’adikan fi’l la>zim menjadi fi’l muta’addi (Ghulayaini, 2005:39). Fi’l lazim akan menjadi fi’l muta’addi apabila:

a. Mengubah fi’l la>zim ke dalam bab af’ala

Misalnya dalam contoh akramtul-mujtahida „aku memuliakan orang yang bersungguh-sungguh‟. Mujarrad dari

fi’l akrama „memuliakan‟ adalah karuma „dermawan‟ yang

merupakan fi’l la>zim.

b. Mengubah fi’l la>zim ke dalam bab fa’ala

Misalnya fi’l azhzhumtu „memuliakan‟ dalam contoh ‘azhzhumtul-‘ulama>a „aku memuliakan ulama‟. Mujarrad dari

fi’l azhzhumtu adalah „azhuma (besar).

c. Memberi charfu al jarri pada fi’l la>zim

Misalnya dalam contoh tamassak bil-fadhi>lati „berpeganglah pada keutamaan‟. Maf’u>l bih dalam contoh tersebut adalah dari jenis ghairu shari>ch yang majru>r secara lafadz tapi dalam keadaan manshu>b .

4. Objek 4.1. Pengertian

Objek adalah konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat berupa verba transitif pada kalimat aktif. Dalam bahasa Indonesia, objek selalu terletak langsung setelah predikatnya (Alwi

(28)

et.al, 2003:328). Objek dapat dikenali dengan memperhatikan (1) jenis

predikat yang dilengkapinya dan (2) ciri khas objek itu sendiri.

Objek biasanya berupa nomina atau frasa nominal. Jika objek tergolong nomina, frasa nominal tak bernyawa, atau persona ketiga tunggal, nomina objek itu dapat diganti dengan pronomina –nya; dan jika berupa pronomina aku atau kamu (tunggal), bentuk –ku dan –mu dapat digunakan. Selain satuan berupa nomina atau frasa nominal, konstituen objek dapat pula berupa klausa (2003:328).

Objek pada kalimat aktif transitif akan menjadi subjek jika kalimat itu dipasifkan (Alwi et.al, 2003: 328).

Ba‟albaki (1990:343) menyebut objek (object) dengan istilah maf‘u>l bih.

Maf’ul adalah efek sintaksis yang muncul akibat adanya fi’l mutaadi atau “yang dijadikan” dalam sebuah kalimat lengkap

(A‟d-Dahdah, 2000: 314). Maf‘u>l bih adalah ism mansub yang ada setelah fi’l (kata kerja) dan fa’il (pelaku) (Ad Dahdah, 2000: 311). Muhyidin (2010:235) menyatakan maf‘u>l bih ialah: ism mansub yang menjadi objek (sasaran) dari perbuatan (fa>’il), seperti pada perkataan:

(12) Dharabtu Zaidan

„Saya telah memukul Zaid‟ atau

(13) Rakibtul-fara>sa

(29)

Diantara sifat-sifat yang memenuhi maf‘u>l bih menurut para ahli nahwu adalah harus ism, harus manshub, dan sebagai sasaran (objek) dari perbuatan fa’il (subjek). Maksud kata-kata sasaran dari perbuatan

fa’il adalah keterkaitan dengannya, baik bentuknya kalimat positif

seperti fahimtu’d-darsa „saya memahami pelajaran‟, ataupun kalimat negatif seperti lam afham a’d darsa „saya tidak memahami pelajaran‟ (Muhyidin, 2010:236).

Hukum maf‘u>l bih ada empat; (1) wajib nashab, (2) boleh dilesapkan dengan syarat, (3) boleh dilesapkan fi’lnya, (4) diletakkan sebelum fi’l dan fa’ilnya dalam keadaan tertentu (Ghulayaini, 2005: 436).

Maf‘u>l bih ada lima macam (Muhyidin, 2010:237):

a. Ism zhahi>r.

Ism zhahi>r adalah ism yang menunjukkan pada maknanya tanpa memerlukan adanya pertalian dengan kata ganti orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga, sedangkan ism mudhmar adalah ism yang hanya menunjuk pada maknanya dengan adanya pertalian dengan salah satu dari tiga qorinah.

b. Ism mudhmar

Ism mudhmar terbagi lagi menjadi dua:

1) Ism mudhmar yang manshub

Ism mudhmar yang manshub terbagi lagi ke dalam

(30)

Masing-masing dari kedua jenis ism mudhmar ini memiliki 12 kata.

2) Ism mudhmar dhami>r muttasil

Kata-kata dalam ism mudhmar dhami>r muttashil tidak bisa diletakkan di permulaan kalimat dan tidak bisa diletakkan setelah illa jika tidak darurat. Adapun dhami>r

munfasil bisa diletakkan di permulaan kalimat dan bisa

pula diletakkan setelah illa kapan saja (Muhyidin, 2010:237).

c. Dza>hir shari>ch mu‘rab

Seperti kata al-ma’rifata „pengetahuan‟ pada susunan: (14) Nathlubul-ma‘rifata

„Kami minta pengetahuan‟ (Muhyidin, 2010:238). d. Dza>hir shari>ch mabni

Misalnya kata al-qashi>dah (nada) pada susunan: (15) Darasa’t-tilmi>dzu hadzihil-qashi>data.

„Murid belajar nada ini‟ (Muhyidin, 2010:238). e. Mu’awwal bish shari>ch

Seperti kata qa>dimun ‘datang’ yang berarti qudu>maka „kedatanganmu‟ pada kalimat berikut:

(16) ‘Araftu annaka qa>dimun

„aku tahu bahwa kamu datang = aku mengetahui kehadiranmu‟ (A‟d-Dahdah, 2000:311)

(31)

Sementara itu, Baraka>t (2007:31) menyatakan bahwa maf’u>l bih dapat pula berupa kalimat. Beliau mengambil contoh „qul huwa Allahu ahadun’. ‘Huwa Allahu ahadun’ Merupakan jumlatun ismiyyatun maqu>lul-qaulu yang menempati fungsi maf’u>l bih. Maqu>lul-qaulu selalu berupa kalimat.

4.2. Posisi Objek dalam Kalimat

Objek dalam kalimat bersifat manasuka (Ramlan, 2001:23). Dengan ringkas, ia menyebutkan satuan gramatikal dalam sebuah klausa terdiri dari S P (O) (KET) (PEL) dan tanda kurung dalam setiap unsur mempunyai makna manasuka. Maksudnya, boleh ada boleh tidak.

Asal posisi maf’u>l bih adalah berada setelah subjek. Namun terdapat beberapa keadaan yang mewajibkan mendahulukan maf’u>l bih daripada subjeknya (A‟d-Dahdah, 2003:311). Misalnya pada kalimat:

(17) Kataba’d-darsa Sali>mun „Salim telah menulis pelajaran‟.

Pola jumlah fi’liyyah adalah fi’l - fa>’il - maf’u>l bih (Baraka>t, 2007:185). Urutan tersebut akan berubah dengan adanya keadaan-keadaan tertentu. Perubahan-perubahan urutan tersebut antara lain adalah:

(32)

a. Wajib mendahulukan maf’u>l bih daripada fa>’il

Posisi asal maf’u>l bih adalah berada setelah fa>’il (Baraka>t, 2007:189). Maf’u>l bih wajib didahulukan sebelum fa>’il dan menengahi antaranya dan fi’l apabila :

a.1. Jika fa>’il berupa machshu>r alaih maka maf’u>l bih harus diakhirkan. Misalnya pada perkataan innama> yakhsya’l-La>ha min ‘iba>dihi’l-‘ulama>'u „sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah ulama-ulama‟. Sifat „takut‟ dikhususkan kepada „’ulama>’ (Baraka>t, 2007:189). a.2. Jika fa>’il mengandung dhami>r yang menunjuk pada maf’u>l bih.

Beberapa ulama (Ibn Jinni, al-Akhfasy, Ibn Thawal, dan Ibn Malik) mewajibkan mendahulukan maf’u>l bih daripada fa>ilnya. Misalnya pada kalimat dza>kara’d-darsa qa>ri'uhu „pembacanya mempelajari pelajaran‟ (Baraka>t, 2007:190). a.3. Jika maf’u>l bih berupa dhami>r muttashi>l dan fa>’il berupa ism

zha>hir. Misalnya pada kalimat lam yu’jibkum hadzal-‘amalu „pekerjaan ini belum mengejutkan kalian‟ (Baraka>t, 2007:191). a.4. Jika ma’mul berupa mashdar muqaddar dengan an + fi’l atau dengan anna + ‘a>mil sebagai adjungtif bagi maf’u>l bih, maka wajib mengakhirkan fa>’ilnya. Misalnya pada kalimat yu’jibuniy ikra>mu’dh-dhaifi machmu>dun yang berarti an yukrima machmu>dun a’dh dhaifi „mengejutkanku

(33)

bagi ikra>mu yang majru>r dengan tanda kasrah sedangkan ia berada pada keadaan nashab (Baraka>t, 2007:192).

a.5. Jika a>mil sifah musytaq yang bergabung pada maf’u>l bih maka wajib mengakhirkan fa>’ilnya. Misalnya pada kalimat hadza mukarrimu sami>rin abu>hu yang berarti mukarramun abu>hu sami>ran „ayahnya memuliakan Samir‟ (Baraka>t, 2007:192). b. Wajib mendahulukan maf’u>l bih daripada fi’l

Urutan asal dalam jumlah fi’liyyah adalah fi’l kemudian maf’u>l bih (Baraka>t, 2007:195). Namun dalam beberapa hal, maf’u>l bih wajib didahulukan atas fi’l apabila:

b.1. Maf’u>l bih merupakan dhami>r munfashil (iyya>ka beserta cabang-cabangnya yang 12). Misalnya pada kalimat iyya>ka na’budu wa iyya>ka nasta’i>nu „hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan‟ (Baraka>t, 2007:195).

b.2. Jika berupa ism-ism yang memiliki hak untuk didahulukan dalam jumlah. Ism yang memiliki hak untuk didahulukan dalam jumlah hanya tertentu saja, yaitu al istifha>mu misalnya pada man tushaddiqu? „siapa yang kamu percayai?‟. Man adalah maf’u>l bih; a’sy syartu misalnya pada perkataan ma> taf>’alu> ya’lamhulla>hu „apa yang kamu kerjakan maka Allah mengetahuinya‟. Ma> merupakan maf’u>l bih; kam al

(34)

„betapa banyak pena yang telah kamu beli”. Kam merupakan maf’u>l bih, kata yang bergabung dengan kata sebelumnya dan kata itu berada pada posisi objek misalnya pada perkataan Ibna man qa>balta fi>’l-matha>r? „anak siapa yang kamu temui di bandara?‟. Ibna merupakan maf’u>l bih (Baraka>t, 2007:196). b.3. Jika maf’u>l bih merupakan penengah antara ama> dan fa’ul jaza>'

atau fa’ jawa>b. Misalnya pada kalimat fa'ammal-yati>ma fala> taqhar, wa amma>’s-sa>'ila fala> tanhar „adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang, dan terhadap orang yang meminta-minta maka janganlah kamu menghardiknya‟. Al-yati>ma dan a’s-sa>'ila merupakan maf’u>l bih (Baraka>t, 2007:197)

4.3. Bertemunya Verba dengan Objek

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ghulayaini mengenai fi’l

mutta’addi, bahwa terdapat verba yang langsung bertemu dengan

objeknya dan ada pula verba yang bertemu dengan objeknya melalui perantara partikel yang menjadikan harakat maf’u>l bih tersebut majru>r.

Mengutip perkataan Hasan (2010:151) yang diambil dari penjelasan buku Al Mufashal bagian 7 halaman 65, bahwa objek yang didahului oleh partikel (charfu jar) pada hakikatnya secara dhahir adalah majru>r tetapi secara makna adalah nashab, karena berfungsi sebagai objek. Misalnya pada susunan

(35)

commit to user „Aku melewati Zaid‟.

Dengan demikian, terdapat objek yang langsung (langsung bertemu verbanya) dan terdapat pula objek yang bertemu verba dengan perantara partikel.

5. Pola Urutan Kata Pada Kalimat

Alwi (2003:322) menjelaskan terdapat enam pola kalimat dasar dalam bahasa Indonesia, yaitu (1) S-P, (2) O, (3) Pel, (4) S-P-Ket, (5) S-P-O-Pel, dan (6) S-P-O-Ket.

a. S-P

Pola kalimat S-P seperti terdapat dalam contoh kalimat: (19) Orang itu sedang tidur.

S P (20) Saya mahasiswa.

S P b. S-P-O

Pola kalimat S-P-O seperti terdapat dalam contoh kalimat: (21) Ayahnya membeli mobil baru.

S P O (22) Rani mendapat hadiah.

S P O c. S-P-Pel

Pola kalimat S-P-Pel seperti terdapat dalam contoh kalimat: (23) Beliau menjadi ketua koperasi.

S P Pel

(36)

d. S-P-Ket

Pola kalimat S-P-Ket seperti terdapat dalam contoh kalimat: (25) Kami tinggal di Jakarta.

S P Ket

(26) Kecelakaan itu terjadi minggu lalu. S P Ket e. S-P-O-Pel

Pola kalimat S-P-O-Pel seperti terdapat dalam contoh kalimat: (27) Dia mengirimi ibunya uang.

S P O Pel

(28) Dian mengambilkan adiknya minum. S P O Pel f. S-P-O-Ket

Pola kalimat S-P-O-Ket seperti terdapat dalam contoh kalimat: (29) Pak Raden memasukkan uang ke bank.

S P O Ket

(30) Beliau memperlakukan kami dengan baik. S P O Ket

Bahasa Arab membagi pola urutan kata dalam klausa menjadi delapan macam (Asrori, 2004:83). Kedelapan pola klausa tersebut adalah:

a. S-P

Pola kalimat S-P seperti terdapat dalam contoh klausa: (31) Huwa yamsyi

S P

(37)

commit to user b. S-P-O

Pola kalimat S-P-O seperti terdapat dalam contoh klausa: (32) Irtada Achmadu mala>bisal-ichra>m

S P O

„Ahmad mengenakan pakaian ikhram‟ (Asrori, 2004:86). c. S-P-K

Pola kalimat S-P-K seperti terdapat dalam contoh klausa: (33) Ana adzhabu ila>’n-na>di>

S P K

„aku pergi ke lapangan‟ (Asrori, 2004:86). d. S-P-O-K

Pola kalimat S-P-O-K seperti terdapat dalam contoh klausa: (34) Ana ushalli>l-jum’ata ma’a wa>lidi> (Asrori, 2004:86).

„Aku shalat Jum‟at bersama ayahku‟. e. P1

Pola klausa P saja seperti terdapat dalam contoh klausa: (35) Ka>nat qaryatan kha>liyatan

P

„Dahulu (merupakan) desa sepi‟ (Asrori, 2004:86). f. P-O2

Pola kalimat P-O seperti terdapat dalam contoh klausa:

1

Susunan tersebut menurut Asrori merupakan susunan predikat. Hal tersebut dapat diasumsikan dengan kalimat sebelum predikat tersebut. Sebelum predikat tersebut terdapat kalimat Solo madinatun shaghi>ratun. Ka>nat qaryatan kha>liyatan ‘Solo adalah kota kecil. dulunya merupakan kota yang sepi.

2 A’malu al wa>jiba „aku mengerjakan tugasku‟ menurut Asrori, klausa tersebut berpola P-O.

(38)

commit to user (36) A’malu al-wa>jiba

P O

„Aku mengerjakan tugas‟ (Asrori, 2004:86). g. P-K3

Pola kalimat P-K seperti terdapat dalam contoh klausa: (37) La> adzkuru jayyidan

P K

„Aku tidak mengingat dengan baik‟ (Asrori, 2004:86). h. P-O-K4

Pola kalimat P-O-K seperti terdapat dalam contoh klausa: (38) Yattadzakkaru wa>lidahu katsi>ran

P O K

‘Dia sering mengingat ayahnya’5 (Asrori, 2004:86).

Terkait dengan verba transitif dan objek yang mengiringinya, secara klausal, bahasa Arab mempunyai tipe pokok V-O tetapi dimungkinkan pula bertipe O-V karena urutan kata dalam kalimat bahasa Arab mempunyai mobilitas yang tinggi (Ma‟ruf, 2009:206).

Bahasa Arab memiliki tiga jenis verba transitif, yaitu verba transitif yang membutuhkan satu objek, dua objek, dan tiga objek (Ghulayaini, 2005:28). Terkait dengan hal tersebut, bahasa Arab

3

Asrori berpendapat bahwa klausa tersebut berpola P-K. Menurut penulis, klausa tersebut berpola P-S-K dengan mempertimbangkan adanya subjek yang melekat pada predikat yang terwujud dalam partikel hamzah, menunjukkan bahwa verba yang menjadi predikat klausa tersebut bersubjek ana „aku‟.

4Klausa yattadzakkaru wa>lidahu katsi>ran

menurut Asrori berpola P-O-K. Menurut penulis klausa tersebut berpola P-S-O-K dengan melihat adanya subjek tersembunyi dalam verba yattadzakkaru yang menunjuk pada „dia laki-laki satu‟.

5

Dengan demikian, Asrori memiliki 8 pola klausa dalam bahasa Arab, tapi dari kedelapan pola tersebut yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab hanya ada lima, yaitu S-P, S-P-O, P, S-P-K, dan S-P-O-K, sedangkan pola P-O masuk ke dalam pola S-P-O, pola P-K masuk ke dalam pola S-P-K,

(39)

commit to user

memiliki urutan tersendiri mengenai posisi verba dengan objek. Verba ekatransitif membentuk tiga pola, sedangkan verba dwitransitif membentuk satu pola dengan empat variasi, dan verba tritransitif membentuk satu pola dengan satu variasi.

Berdasarkan pada verba transitif yang membutuhkan satu objek (ekatransitif), Ma‟ruf menyimpulkan terdapat tiga pola urutan kata pada kalimat (2004:55). Ketiga pola tersebut adalah:

a. Pola urutan Vtran-N1-N2

(39) Fa ragiba al ami>ru fi> saidihi (Bara>niq dalam Ma’ruf, t.t.:3) Vtran S O

„Sang pangeran menyukai buruannya‟(Ma‟ruf, 2004:58). b. Pola urutan Vtran-N2-N1

(40) Kataba a’d-darsa Zuhairun. Vtran O S

„Zuhair menulis pelajaran‟ (Ma‟ruf, 2004:72). c. Pola urutan N2-V-N1

(41) Al ha>diri>na akramtu O Vtran(S)

„Para hadirin itu saya hormati‟ (Ma‟ruf, 2004:76)

Untuk verba yang membutuhkan dua kehadiran objek dalam kalimat,dia merumuskan pola kalimat:

d. Pola urutan Vtran- N1-N2(O1)-N3(O2)

(40)

commit to user

„Ia mengetahui (yakin) bahwa suaminya tulus‟ (Ma‟ruf, 2004:86).

Urutan tersebut dimungkinkan untuk berubah susunannya menjadi:

1) Vtran-N1-N3-N2

2) N1-Vbit- N2-N3

3) N1-Vbit-N3-N2

4) Vbit-N2-N1-N3

Selanjutnya, urutan kata dalam klimat berverba transitif tiga objek (verba tritransitif) adalah:

e. Pola urutan Vtran-N1-N2-N3-N4

Misalnya pada susunan:

(43) Ara> al ‘a>limu a’n na>sa a’s safara sahlan P S O1 O2 O3

„Orang yang berilmu itu memberi tahu pada manusia bahwa pada orang bepergian ada kemudahan‟ (A’d-Dahdah, 2000:233). Pola tersebut dapat di modifikasi dengan urutan Vtran-N1-N3-N4

-N2 (Ma‟ruf, 2004:102), menjadi kalimat (49a) berikut:

(43a) Ara> al ‘a>limu a’s safara sahlan a’n na>sa P S O2 O3 O1

(41)

F. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah semua kalimat aktif deklaratif yang terdapat dalam kalimat tunggal yang mengandung fungsi objek. Data tersebut diambil dari sumber data yang berupa cerpen dengan judul Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.

G. Metode Penelitian

Sudaryanto (1993:5) membagi tahapan dalam penelitian ke dalam tiga bagian. Tahap pertama adalah tahap penyediaan data, tahap kedua adalah tahap analisis data, dan tahap terakhir adalah tahap penyajian hasil analisis data.

a. Tahap penyediaan data

Pada tahap penyediaan data digunakan metode simak. Metode simak dilakukan dengan menyimak penggunaan objek dalam cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi. Teknik dasar yang digunakan dalam metode ini adalah teknik sadap dan teknik catat sebagai teknik lanjutannya. Teknik sadap dilakukan dengan menyadap penggunaan kalimat tunggal aktif transitif deklaratif yang mengandung objek pada cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi, kemudian dilanjutkan dengan mencatat data-data pada kartu data dan dilanjutkan dengan klasifikasi data. Data yang diambil berupa satuan kebahasaan yang membentuk sebuah klausa. Adapun objek sasaran yang diteliti adalah pengisi

(42)

fungsi dan kategori objek dalam klausa dan kalimat pada cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.

b. Tahap analisis data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih dengan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL) sebagai teknik dasarnya. Penelitian ini menggunakan teknik lanjutan teknik balik untuk menguji ketegaran posisi objek dalam kalimat. Teknik lesap juga digunakan untuk menguji kadar keintian objek dalam kalimat. Misalnya dalam kalimat berikut.

44

.

لاضف كلذ في انسفنلأ ىرن لا

.

(

يطولفنلدا

:

67

)

(44) La> nara> lianfusina> fi> dza>lika fadhlan (Al-Manfaluthi, tt:67) P(S) Op2 K O1

„Kami tidak melihat pada diri kami dalam hal itu sebuah keutamaan.‟

Kalimat tersebut terdiri atas empat konstituen: (1) la> nara> (2) lianfusina> (3) fi> dza>lika, dan (4) fadhlan . Konstituen (1) dalam kalimat tersebut berfungsi sebagai predikat yang dilekati dengan subjek pronomina persona pertama plural tersembunyi „kami‟ (dhami>r mustati>r taqdiruhu nachnu). Konstituen yang berkategori sebagai verba tersebut terdiri dari verba ra'a> „melihat‟ dan partikel nu>n (nachnu) „kami‟, sedangkan la> merupakan partikel negasi yang menyatakan kalimat tersebut adalah kalimat negatif, bukan positif.

(43)

commit to user

Predikat kalimat di atas merupakan verba imperfek (mudha>ri‘) (nara>) „melihat‟. Verba tersebut berasal dari verba perfek ra'a> . Partikel nu>n yang menyertai di depannya menunjukkan bahwa yang melakukan pekerjaan „melihat‟ adalah „kami‟. Selain itu, verba tersebut merupakan verba transitif, dapat diidentifikasi dengan munculnya objek setelah verba tersebut.

Konstituen (2) li anfusina> berfungsi sebagai objek kedua. Objek tersebut muncul dengan adanya perantara partikel la>m, berkategori sebagai frasa nominal. Objek tersebut terdiri dari nomina anfusu dilekati dengan partikel nu>n yang menyatakan kepemilikan. Konstruksi tersebut dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan tarki>b idla>fi>.

Konstituen (3) fi> dza>lika, berkategori frasa, berfungsi sebagai keterangan tempat. Frasa tersebut menunjukkan tempat yang merujuk pada keadaan sebelumnya.

Sementara itu, konstituen (4) sebagai pengisi fungsi objek pertama dalam kalimat tersebut diisi oleh kata berkategori nomina yaitu fadhlan „keutamaan‟. Nomina dalam kalimat di atas dapat digolongkan sebagai objek pertama karena kata tersebut manshu>b dan menjadi subjek saat kalimat tersebut diubah wujudnya menjadi kalimat pasif:

(44)

Objek dalam kalimat tersebut bersifat inti. Hal ini dapat diketahui dengan menggunakan teknik lesap. Jika objek tersebut dihilangkan, maka kalimat tersebut menjadi :

(44b) la> nara> lianfusina> fi>dza>lika P(S) Op2 K

„kami tidak melihat pada diri kami dalam hal itu‟.

Kalimat (44b) predikatif, tetapi tidak senyap dan tidak dapat diketahui maknanya secara sempurna. Hal ini juga menjadi bukti bahwa verba ra'a> merupakan verba transitif, karena tanpa kehadiran objek verba tersebut tidak dapat dimaknai secara sempurna.

Urutan atau susunan kalimat (44) adalah P(S)-Op2-K-O1. Objek

pertama dalam kalimat tersebut terletak setelah keterangan, tidak langsung berada setelah verba. Jika kalimat tersebut dibalik urutannya misalnya menjadi seperti berikut,

(44c) La> nara> fadhlan lianfusina> fi> dza>lika. (1) P(S) (2)O1 (3) Op2 (4) K

„Kami tidak melihat keutamaan pada diri kami dalam hal itu‟.

Terlihat bahwa objek pertama menempati urutan kedua, setelah predikat dan objek dengan perantara partikel kedua, sedangkan sebelumnya, pada kalimat (44), fungsi objek menempati urutan keempat atau terakhir, yaitu setelah objek kedua dan keterangan.

(45)

commit to user

Susunan tersebut kemudian dapat diubah lagi dengan menempatkan posisi O1 dan Op2 dalam posisi berbeda seperti berikut

ini:

(44d) La> nara> fadlan fi> dzalika lianfusina> P(S) O1 K Op2

‘Kami tidak melihat keutamaan dalam hal itu pada diri kami‟. Kalimat (44d) secara gramatikal dapat diterima dan tidak mengubah makna. Dengan demikian dapat diketahui bahwa urutan posisi objek dalam kalimat tersebut tidak tegar atau dapat dikatakan objek dalam kalimat tersebut bersifat fleksibel.

c. Tahap penyajian hasil analisis data

Langkah selanjutnya setelah tahap analisis data adalah tahap penyajian data. Penyajian hasil analisis ini disajikan dalam bentuk laporan informal. Laporan informal yaitu penyajian laporan yang berwujud perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab I: Pendahuluan

Bab II: Pengisi fungsi dan kategori objek dalam cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.

Bab III: Posisi objek pada pola klausa dalam cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.

Referensi

Dokumen terkait

Namun dari segi kelebihan tersebut juga tak luput dari kekurangan dimana masyarakat yang gagal dalam bersaing akan terpuruk dan tak ada yang dapat membantu meskipun pemerintahan,

Memperhatikan : Usulan yang diajukan oleh Ketua Jurusan Penjaskesrek Fakultas Olahraga dan Kesehatan (FOK) Universitas Pendidikan Ganesha berupa daftar nama dosen untuk

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pemberian polisakarida yang diekstrak dari alga pada ikan nila memberi pengaruh yang nyata terhadap

Berdasarkan hasil analisis visual dalam kondisi dan analisis visual antar kondisi maka dapat disimpulkan bahwa perilaku ekspresi marah anak autis setelah

Luaran yang akan dihasilkan dari kegiatan pengabdian ini adalah peningkatan literasi keuangan serta terlatihnya pengurus masjid dalam melakukan pencatatan dan penyusunan

Lie (1999: 74) mengemukakan “Pembelajaran kooperatif turut menambah unsur – unsur interaksi social pada pembelajaran. Didalam pembelajaran kooperatif siswa belajar

 Masukan bagi guru dan calon guru Penjas sebagai bahan pertimbangan untuk menggunakan Metode Distributed Practice dalam rangka meningkatkan mutu proses belajar

bebas DPPH menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan radikal bebas DPPH tertinggi ialah pada crude extract dengan konsentrasi 0,0904 mg/mL, sedangkan untuk ekstrak hasil