• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Memaafkan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan definisi memaafkan adalah memberi ampun atas kesalahan dan sebagainya, tidak menganggap salah lagi. Memaafkan adalah kompleks perubahan motivasi yang terjadi sebagai akibat dari pelanggaran interpersonal yang signifikan. Ketika orang tersinggung, motivasi dasarnya untuk membalas dendam dan menghindari kontak dengan pelaku, serta hubungan lainnya (McCullough dkk, 1998;. McCullough, Worthington, & Rachal, 1997).

Pada saat orang memaafkan, mereka mengalami pengurangan motivasi untuk membalas dendam, dan mengurangi motivasi untuk menghindari pelaku, dan peningkatan kebaikan untuk tidak melakukan pemberontakan. McCullough dan Worthington (1999) melaporkan bahwa peningkatan diri dari kecenderungan umum masyarakat untuk memaafkan yang cukup berhubungan positif dengan ukuran kepentingan spiritual dan keagamaan. Dengan demikian, mungkin tampak masuk akal untuk menyimpulkan bahwa agama dan spiritualitas memiliki efek yang berarti pada pemaafan.

(2)

menghindari, atau lebih baik hati terhadap mitra hubungan (McCullough dkk, 1997;. McCullough, Fincham, & Tsang, 2003). Penghapusan motivasi negatif seperti balas dendam dan menghindari yang biasanya terjadi setelah pelanggaran (McCullough dkk., 2003) dan pembentukan kembali motivasi positif seperti kebajikan, memperbaiki kedekatan dan komitmen. Mengingat pentingnya kembali menjalin hubungan dekat setelah konflik (misalnya, Keltner & Potegal, 1997; Silk, 2002) Komitmen hubungan, di sisi lain dapat dikonseptualisasikan sebagai orientasi jangka panjang terhadap hubungan (Agnew, Van Lange, Rusbult, & Langston, 1998; Rusbult, Drigotas, & Verette, 1994; Rusbult, Martz, & Agnew, 1998 ), termasuk niat untuk tetap berhubungan dengan sesama (Rusbult, 1983). Komitmen juga dapat berkaitan dengan peningkatan pemaafan (Karremans, Van Lange, Ouwerkerk, & Kluwer, 2003).

Finkel, Rusbult, Kamashiro, dan Hannon (2002) berteori bahwa ketika pengkhianatan terjadi dalam suatu hubungan, dorongan pertama individu adalah untuk bereaksi dengan cara yang merusak hubungan, misalnya dengan membalas dendam. Namun, orang yang lebih berkomitmen pada hubungan harus lebih bersedia untuk memaafkan mereka setelah pengkhianatan. Finkel et al. (2002) penelitian menunjukkan bahwa komitmen hubungan itu berkaitan dengan pemaafan.

Selain itu, Karremans dan Van Lange (2004) menemukan bahwa individu yang dilaporkan lebih memiliki rasa pemaafan terhadap mitra hubungan dengan siapa mereka saling berkomitmen, dibandingkan dengan orang-orang yang melakukan pelanggaran oleh mitra hubungan dengan siapa mereka yang kurang

(3)

berkomitmen. Hubungan kedekatan dapat dianggap sebagai saling ketergantungan (Berscheid, Snyder, & Omoto, 1989b;. Kelley et al, 1983) atau keterkaitan (Aron, Aron, & Smollan, 1992), dan mungkin berisi komponen cinta, kepedulian, dan komitmen (Berscheid, Snyder, & Omoto, 1989a). Kedekatan dan komitmen sering terjadi dalam hubungan. Aron et al. (1992) menunjukkan bahwa hubungan kedekatan bersifat positif. Kedekatan juga berhubungan dengan pemaafan.

Fincham (2000) pemaafan harus menjadi alat penting dalam menjaga kedekatan dalam hubungan. Selain itu, mengembalikan kedekatan terhadap pelaku mungkin menjadi langkah pertama menuju memaafkan (Harber & Wenberg, 2005). Individu sering menjadi lebih bersedia untuk memaafkan orang lain yang mempunyai hubungan dekat (Exline et al, 2004;.. McCullough dkk, 1998; Ohbuchi & Takada, 2001).

Pemaafan adalah paket perubahan prososial dalam motivasi seseorang terhadap suatu pelanggar seperti menjadi kurang meghindari pelaku dan kurang mempunyai rasa dendam terhadap pelanggar (McCullough dkk, 1997). Secara khusus, pemaafan adalah proses perubahan dimana seorang individu menjadi lebih positif. Meskipun hampir setiap teori pemaafan berpendapat bahwa pemaafan melibatkan perubahan emosi seseorang, motivasi, atau perilaku mengenai suatu pelanggaran, sehingga orang berpikir, merasa, atau berperilaku lebih positif terhadap pelanggar (Baumeister, Exline, & Sommer, 1998; Enright & Coyle, 1998).

McCullough dkk. (2001) menemukan temuan bahwa orang-orang dari waktu ke waktu adalah orang-orang yang mengalami penurunan penghindaran dan

(4)

balas dendam. Pengampunan sering dikonseptualisasikan tidak hanya sebagai penghentian pendendam, motivasi dendam tetapi juga sebagai pengurangan motivasi untuk menghindari kontak dengan pelaku (McCullough dkk., 1998 ; 1997). Kita mengasumsikan bahwa sikap dendam dikaitkan dengan marah, pendekatan yang berhubungan dengan keinginan untuk menyakiti pelanggar, sedangkan sikap avoidant dikaitkan dengan keinginan takut untuk menjaga jarak dari pelanggar (McCullough dkk. 1998, 1997).

Motivasi yang terakhir ini akan tampak kurang kuat terkait dengan kemarahan terhadap pelanggar dan lebih kuat terkait dengan rasa takut akan dosa. Jika hal ini terjadi, maka salah satu harus mengharapkan bahwa perenungan akan dikaitkan dengan peningkatan motivasi menghindari hanya sejauh perenungan menyebabkan peningkatan sementara dalam takut akan berdosa. Kenaikan sementara dalam perenungan akan terkait dengan peningkatan motivasi balas dendam hanya sejauh mana perenungan menyebabkan peningkatan sementara dalam kemarahan terhadap pelanggar (McCullough dkk., 1998, 1997). Ketika orang-orang memaafkan, mereka menjadi kurang avoidant, kurang pendendam, dan lebih murah hati terhadap pelanggar yang menyakiti mereka (Fincham & Beach, 2002; McCullough, 2001; McCullough dkk, 1997.)

Nilai memaafkan sebagai sumber daya untuk melestarikan kesejahteraan sosial dan emosional, bahkan mungkin bersama dengan kesehatan fisik. Sedangkan, Enright, Freedman, dan Rique (1998) mendefinisikan mamaafkan adalah “kesediaan untuk meninggalkan hak untuk membenci seseorang, tidak memberikan penilaian negatif, dan perilaku acuh tak acuh terhadap orang yang

(5)

tidak adil yang telah melukai, sedangkan mendorong untuk mempunyai sifat belas kasih, kemurahan hati, dan bahkan cinta terhadap sesama”.

Dari beberapa pendapat para ahli tentang memaafkan, dapat disimpulkan bahwa memaafkan adalah sebuah proses untuk menghentikan perasaan marah atau benci terhadap seseoang yang telah melakukan pelanggaran, hal ini timbul dari rasa ingin tidak membalas perbuatan tersebut yang tercermin dari tingkat religiusitas atau rohani seseorang yang didasarkan pada tingkat usia seseorang hingga orang tersebut meninggalkan hak untuk membenci, sebaliknya mendorong untuk mempunyai rasa belas kasih dan cinta terhadap seseorang.

2.1.1.1 Model Memaafkan

Worthington (1998, 2003) mengembangkan model piramida pengampunan di mana empati, kerendahan hati, dan komitmen untuk mengampuni memainkan peran penting. Empati mengenai situasi pelanggar ke dalam konteks yang lebih luas dari semua faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pelanggar, sedangkan kerendahan hati mengingatkan korban sendiri mengenai pengampunan. Dengan demikian, forgiveness dipandang sebagai "respon alami empati dan kerendahan hati" (worthington, 1998). Tetapi pengampunan tidak mudah dan dengan demikian perlu berkomitmen untuk itu. Model piramida tampaknya mengambil namanya dari intervensi yang itu menimbulkan dan dijelaskan oleh singkatan, dimana setiap huruf yang sesuai dengan lapisan piramida.

Di dasar piramida adalah mengingat hal yang menyakitkan. (R) lapisan berikutnya adalah empati, (E) atau melihat dari sudut pandang orang lain. Diikuti

(6)

oleh karunia altruistik pengampunan. (A) keprihatinan lapisan berikutnya melakukan pengamunan, (C) memberikan pengampunan, (H) setiap elemen dari jangkauan dijelaskan secara rinci dengan bimbingan pelaksanaannya.

2.1.1.2 Prasyarat untuk memaafkan

Pemaafan terjadi dalam banyak cara dan pada tingkat, kecepatan, dan intensitas untuk orang yang berbeda. Menurut

a. Pembebasan

Pertama, wawasan yang dicapai dalam pembebasan memberi korban kemampuan detail mengenai pelanggaran. Tanpa kemampuan untuk melindungi diri, korban akan melanjutkan kembali ke dalam hubungan dengan pelanggar dengan tidak adanya rasa takut, yang dapat mengalahkan upaya kerentanan diperlukan untuk mengampuni kesalahannya. Akhirnya, pemahaman yang dicapai dalam pembebasan mengurangi banyak penderitaan emosional orang yang telah secara tidak adil mengalami kesalahan dari yang lain. Memaafkan sangat sulit jika kemarahan menghambat secara tak terkendali, atau kemarahan atas masa lalu.

b. Penerimaan

Ini adalah bagian dari proses yang kita lalui ketika kita terluka dan bersedih. Namun, ketika kita menderita dan merasa tidak adil kita perlu menerima kenyataan bahwa kerusakan yang terjadi telah meninggalkan bekas luka. Penerimaan berarti bahwa kita melihat diri kita sebagai korban yang tidak bersalah, dan bahwa kita menahan mereka bertanggung jawab untuk tindakan mereka. Hal ini tidak sama dengan menyalahkan, hanya mengakui dan menerima

(7)

kenyataan bahwa telah terjadi pelanggaran yang sejati yang harus diatasi oleh kedua belah pihak.

c. Kesediaan

Kesediaan untuk melibatkan diri dalam proses pemaafan berarti bahwa seseorang telah datang ke titik di mana ia cukup yakin tentang menjadi mampu dalam memaafkan. Korban menemukan dirinya sendiri dalam posisi yang tidak mau mengampuni. Kerelaan untuk mengampuni memerlukan keyakinan untuk mengejar hubungan berkelanjutan, untuk menahan kemarahan dan bersedia memaafkan.

d. Realisme

Ketika kita masuk ke dalam wilayah memaafkan orang yang menyebabkan kerusakan dan rasa sakit kita harus realistis dalam hal ini. Korban akan mengatakan kita mengampuni orang yang menyebabkan kita sakit. Bagi orang-orang yang telah diampuni akan membuat kesalahan disengaja maupun tidak disengaja yang akan membawa kita sakit dan membuat kita bertanya apakah kita sudah memaafkan dengan tulus.

e. Komitmen

Komitmen diperlukan untuk membuat penyembuhan hubungan. Ketika kita merasa bahwa pendirian kembali dari hubungan diperlukan untuk kesejahteraan kita sendiri, kita mempunyai komitmen yang diperlukan untuk benar-benar berhubungan kembali.

(8)

2.1.1.3 Memaafkan dalam ajaran Islam

Maaf-memaafkan merupakan hal yang penting dan harus bisa dilakukan oleh seluruh umat manusia, terutama kita sebagai umat Muslim. Allah mengajarkan kita tentang maaf-memaafkan seperti yang sudah tertulis di ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini.

Memberi Maaf

Memberikan maaf kepada orang lain merupakan ciri orang yang bertaqwa. Seperti pada terjemahan ayat surat berikut ini:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Imran: 133-134)

“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh (QS. Al-Araf : 199)

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun’’ (QS. Al-Baqarah : 263)

(9)

2.1.2 Religiusitas

Banyak pandangan dunia yang berbeda, yang dapat berfungsi sebagai sistem makna, Agama adalah unik dalam kemampuannya untuk memberikan realitas transenden dengan standar moral secara bersamaan, sehingga struktur berpotensi luar biasa untuk membimbing interpretasi masyarakat dan interaksi di dunia. Salah satu nilai yang tampaknya didorong oleh banyak agama-agama dunia adalah pemaafan (misalnya, Rye et al., 2000).

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, kata religius berarti hal yang bersifat religi, yaitu ha-ha yang bersifat keagamaan. Kamus sendiri memberikan banyak definisi yang berbeda, diantaranya: kepercayaan terhadap kekuatan yang bersifat ke Tuhanan, ekspresi dari kepercayaan ini, sistem kepercayaan yang khusus (baik yang bersifat suci maupun profan), jalan hidup dalam menyatakan rasa cinta dan kepercayaan terhadap Tuhan.

Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2008) agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling 4 (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural.

Sebagai sistem makna, agama diharapkan untuk mempengaruhi keyakinan individu, emosi, tindakan, dan tujuan (Silberman, masalah ini). Sistem makna religius yang relevan untuk memahami bagaimana agama dapat mempengaruhi pemaafan. (misalnya, McCullough & Worthington, 1999;. Rye et al, 2000). Memuliakan tindakan pengampunan dan penganut hadir dengan pandangan dunia

(10)

yang memungkinkan individu untuk menafsirkan peristiwa dan hubungan dengan cara yang memfasilitasi pengampunan (Pargament & Rye, 1998). Agama juga mengajarkan kasih sayang dan empati (misalnya, Enright, Eastin, Golden, Sarinopoulos, & Freedman, 1992), yang dapat mendorong pengampunan (McCullough, Worthington, & Rachal, 1997).

Memaafkan dimodelkan dalam banyak kitab suci agama (Pargament & Rye, 1998), dan pengampunan sering diintegrasikan ke dalam ritual agama misalnya, individu Katolik seharusnya mengalami pengampunan dari Tuhan selama pengakuan (misalnya, Borobio, 1986). Komponen-komponen keyakinan, emosi, dan tindakan dapat bergabung untuk menciptakan tujuan pengampunan dengan meningkatkan motivasi individu untuk bertindak dengan cara yang lebih pemaaf.

Bukti struktur pengampunan ini dapat diidentifikasi dalam agama-agama besar dunia (McCullough & Worthington, 1999; Rye et al, 2000). Yudaisme mendefinisikan pengampunan sebagai penghapusan terhadap pelanggaran, yang memungkinkan pelanggar untuk menjadi calon hubungan baru dengan orang yang tersakiti (Dorff, 1998). Menurut Kitab Suci dan tradisi orang Yahudi, Allah memerintahkan bahwa orang memaafkan dapat melampaui batas mereka, dan para pengikut Yudaisme didorong untuk memaafkan karena keyakinan bahwa Allah telah mengampuni mereka (Dorff, 1998; Enright et al, 1992.). Namun, pengampunan tidak diperlukan dalam semua keadaan. Individu yang tersakiti wajib untuk memaafkan hanya jika pelanggar telah melalui proses teshuvah, atau "kembali", yang membutuhkan ekspresi penyesalan dan kompensasi kepada

(11)

korban, serta komitmen dari pelanggar untuk menahan diri dari mengulangi pelanggaran. Rekonsiliasi (yaitu, pemulihan sebenarnya dari hubungan yang rusak) bukan merupakan bagian penting dari proses pengampunan (Rye et al., 2000).

Seperti dalam Yudaisme, Kristen menganggap pengampunan menjadi dasar untuk doktrin (misalnya, Witvliet, 2001). Dalam agama Kristen, Allah dan Kristus menjadi panutan pengampunan (Marty, 1998). Menurut beberapa ulama, pengampunan, memiliki bentuk belas kasih bagi pelanggar dan melepaskan dia / dia dari pelanggaran, tidak selalu memerlukan rekonsiliasi (Rye et al, 2000;. Cf. Marty, 1998). Juga mirip dengan Yudaisme, orang Kristen didorong untuk mengampuni karena Tuhan mengampuni mereka (Enright et al., 1992).

Pengampunan juga penting dalam Islam (Ayoub, 1997); pada kenyataannya, salah satu sebutan Allah Isal-Ghafoor (Rye et al., 2000). Kedua Allah dan Rasul-Nya, Muhammad, adalah model peran pengampunan dalam Islam. Islam menekankan pentingnya tentang pengampunan individu sehingga seseorang dapat menerima pengampunan dari Allah atas dosa-dosa kita sendiri (Ayoub, 1997), dan dapat memiliki kebahagiaan dalam kehidupan sekarang (Rye et al., 2000).

Penekanan Buddha pada kesabaran dan kasih sayang juga relevan dengan pengampunan (Enright et al., 1992). Sabar dalam tradisi Buddhis adalah baik daya tahan pelanggaran, dan penyerahan kebencian terhadap pelanggar. Sabar kontras dengan pengampunan, yang biasanya menggabungkan melepaskan, tetapi tidak tahan Rye et al., 2000). Sabar bersama dengan kasih sayang yang tertanam dalam

(12)

fokus yang lebih besar dalam Buddhisme pada perbaikan penderitaan (Higgins, 2001). Kasih sayang digunakan untuk meringankan penderitaan orang lain, sedangkan fungsi kesabaran untuk mencegah penderitaan lebih lanjut (Rye et al., 2000). Sabar dan kasih sayang yang mungkin dalam arti sistem Buddha dengan memfokuskan kesadaran percaya pada keterkaitan segala sesuatu. Tidak ada "musuh" untuk diampuni; korban dan pelanggar bersatu bukan entitas yang terpisah (Higgins, 2001).

Buddhisme juga merangkul konsep karma, yang menurut perbuatan baik dihargai dengan baik, dan kejahatan dengan kejahatan. Dalam konteks karma, berpegangan pada kebencian seseorang setelah pelanggaran yang akan membawa kebencian dari orang lain terhadap diri di masa depan (Rye et al., 2000).

Pengampunan adalah salah satu konsep yang diperlukan untuk mengikuti ofdharma, atau kebenaran, dalam agama Hindu (Klostermaier, 1994). Seperti Buddhisme, Hindu menekankan versi ofkarma, yang akan menyatakan bahwa kurangnya pengampunan dalam hidup ini akan dilunasi dengan hasil negatif dalam kehidupan berikutnya (Rye et al., 2000). Pengampunan dalam agama Hindu dapat didefinisikan sebagai tidak adanya kemarahan atau agitasi dalam menghadapi pelanggaran (Temoshok & Chandra, 2000). Meskipun beberapa tradisi Hindu yang nonteistik (Rye et al., 2000), versi Hindu yang menggabungkan kepercayaan yang tertinggi atau makhluk juga menyediakan contoh pengampunan ilahi bagi orang percaya untuk mengikuti (Zaehner, 1962). Agama Hindu menegaskan bahwa semua orang memiliki kekuatan untuk

(13)

memaafkan, karena setiap orang memiliki keilahian dalam nya makhluk (Saraswati, 1995).

Sentralitas pengampunan dalam agama-agama besar dunia menunjukkan bahwa mereka bisa berfungsi sebagai sistem makna yang memfasilitasi perilaku pemaaf dan sikap terhadap pelanggar-sistem yang menggeser tujuan pengikut mereka dari balas dendam terhadap perbaikan hubungan.

Penelitian psikologis pada pengampunan dan agama akan dibandingkan dengan sejarah teologis yang kaya pengampunan, studi psikologis pengampunan telah muncul baru-baru ini (untuk ulasan, lihat Enright & Coyle, 1998; McCullough, 2001). Exline dan Baumeister (2000) mendefinisikan pengampunan sebagai "pembatalan utang" oleh "orang yang telah terluka atau dirugikan". Berbagai definisi tentang pengampunan adalah ide pengampunan sebagai perubahan motivasi prososial. Individu tersinggung merasa kurang negatif terhadap pelanggar, dan / atau mulai merasa motivasi yang lebih baik hati terhadap orang yang melanggar (McCullough, Fincham, & Tsang, 2003). Oleh karena itu kita mendefinisikan pengampunan sebagai perubahan motivasi pelanggaran yang terkait terhadap pelanggar seseorang, dengan motivasi balas dendam dan menghindari berhubungan yang mereda serta digantikan dengan motivasi ke kebajikan (McCullough dkk., 1997).

McCullough dan Worthington (1999) meninjau penelitian tentang hubungan antara religiusitas dan pengampunan. Mereka menunjukkan bahwa pengampunan dapat diukur pada tingkat disposisional dengan menghadirkan individu dan laporan diri tentang nilai mereka. Pengampunan dan persepsi tentang

(14)

bagaimana memaafkan sebenarnya. Pengampunan juga dapat diukur pada tingkat pelanggaran dengan menilai sejauh mana individu memaafkan pelanggaran tertentu yang terjadi pada mereka. Perbedaan antara tindakan dispositional dan-pelanggaran tertentu pada pengampunan. Mereka berpendapat, mungkin penting untuk memahami hubungan antara agama dan pengampunan.

Penelitian telah menunjukkan hubungan positif antara religiusitas dan menghargai pengampunan. Variabel keagamaan seperti frekuensi kehadiran di rumah ibadah, religiusitas diri dinilai dari orientasi religius intrinsik, pentingnya agama, merasa dekat dengan Allah, dan langkah-langkah doa pribadi, telah dikaitkan secara positif dengan nilai-nilai masyarakat dan perilaku tentang pengampunan (Edwards et al, 2002;. Poloma & Gallup, 1991; Rokeach, 1973). Temuan ini menunjukkan bahwa individu agama menempatkan nilai tinggi pada pengampunan.

Demikian pula, religiusitas tampaknya terkait dengan penalaran moral tentang pengampunan. Enright, Santos, dan Al-Mabuk (1989) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan individu dalam penalaran tentang pengampunan. Kemudian mewawancarai orang-orang di pikiran mereka tentang pengampunan dalam konteks ini. Tanggapan peserta kemudian dinilai dengan menggunakan model perkembangan enam tahap penalaran tentang pengampunan, mirip dengan Kohlberg (1976) Model enam tahap penalaran keadilan. McCullough, dan Hoyt menyelesaikan kuesioner tentang keyakinan agama mereka. Enright et al. (1989) menemukan bahwa individu dengan keyakinan

(15)

agama yang kuat cenderung untuk melakukan pengampunan dari orang-orang dengan keyakinan agama yang lemah.

Keagamaan juga terkait dengan kecenderungan sendiri orang untuk memaafkan. Sebagai contoh, Gorsuch dan Hao (1993) menemukan bahwa individu yang tinggi dalam keberagamaan pribadi melihat diri mereka lebih termotivasi untuk memaafkan dan bekerja lebih keras untuk mengampuni orang lain, bila dibandingkan dengan individu yang lebih rendah dalam keberagamaan pribadi. Mauger, Saxon, Hamill, dan Pannell (1996) menemukan bahwa disposisi memaafkan terkait dengan penggunaan sumber daya spiritual mengatasi di kedua sampel klinis dan non-klinis. Studi ini menunjukkan bahwa orang-orang yang sangat religius cenderung mempoposikan diri sebagai pemaaf.

Sebaliknya, studi using transgression-specific measures pengampunan telah menemukan beberapa hubungan antara religiusitas dan pengampunan (McCullough & Worthington, 1999). Langkah-pelanggaran tertentu menilai pengampunan individu dari pelaku untuk pelanggaran tertentu.

Orang-orang beragama mempoposikan diri untuk menjadi lebih pemaaf dalam bermasyarakat. Penjelasan Ameasurement untuk perbedaan pengampunan-agama pertama kali disampaikan oleh McCullough dan Worthington (1999). Pertama, mereka menyebutkan bahwa perbedaan dalam agregasi dan spesifisitas tindakan menilai agama dan pengampunan mungkin menutupi hubungan antara religiusitas dan pengampunan. Sampel tunggal perilaku dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik disposisional dan situasional, yang dapat menutupi pengaruh salah satu variabel disposisional tertentu seperti keagamaan. Namun, ketika

(16)

perilaku dikumpulkan dalam situasi, secara teoritis diharapkan korelasi antara disposisi dan perilaku yang relevan lebih mungkin muncul (Epstein, 1983).

Orang akan berharap hubungan antara religiusitas dan pengampunan menjadi lebih kuat. Selain itu, banyaknya individu yang keras kepala, konflik agama berdarah di seluruh dunia berbicara dengan hubungan yang berbeda antara agama dan pengampunan. Di banyak tempat, orang-orang yang menganggap dirinya sebagai pengikut taat agama mereka secara aktif bekerja untuk mempertahankan sikap kebencian terhadap musuh-musuh mereka. Konflik lama antara Palestina dan Israel (misalnya, Bar-Tal, 1990; Rouhana & Bar-Tal, 1998), Irlandia Katolik dan Protestan (misalnya, O'Donoghue & O'Donoghue, 1981), dan Azerbaijan dan Armenia (misalnya, Fraser, Hipel, Jaworsky, & Zuljan, 1990) adalah beberapa contoh agama gagal mempengaruhi kasih sayang dan pengampunan.

Dalam ini, serta lainnya, kasus yang lebih biasa, ketimbang mempromosikan pengampunan, agama muncul untuk bahan bakar kebencian dan balas dendam. Rasionalisasi penjelasan untuk perbedaan agama-pengampunan menunjukkan bahwa perbedaan tersebut dapat terjadi karena agama sebagai sistem makna mungkin cukup abstrak untuk memberikan keyakinan kepada individu dengan pembenaran bagi perilaku pendendam dan pemaaf.

Tiga asumsi yang mendasari penjelasan rasionalisasi untuk perbedaan agama-pengampunan adalah sebagai berikut: Pertama, daripada hanya menyediakan sistem makna tunggal, agama dapat menyajikan individu dengan beberapa sistem makna yang dapat dipanggil ke dalam pelayanan untuk

(17)

menangani masalah-masalah yang berbeda dalam kehidupan masyarakat (Paloutzian & Smith, 1995). Kedua, perilaku (misalnya, perilaku pemaaf) lebih proksimal ditentukan oleh mana motivasi dominan pada saat (misalnya, pengampunan vs balas dendam), dan kurang langsung dipengaruhi oleh prinsip-prinsip dan nilai-nilai (Ajzen & Fishbein, 1977) moral dan agama. Ketiga, jika motivasi seseorang bertentangan dengan agama atau prinsip moral seseorang, maka individu yang mungkin memilih untuk merasionalisasi perilaku nya untuk prinsip yang relevan.

Demikian pula, kelompok agama yang menekankan satu sistem makna akan diharapkan memiliki efek-doktrin tertentu pada pengampunan. Kelompok yang menekankan kasih sayang akan lebih mungkin untuk mendorong pengampunan, dan denominasi yang menekankan keadilan retributif akan lebih mungkin untuk mendorong balas dendam.

Meskipun hubungan sebab akibat ini dari makna sistem agama untuk pengampunan cukup masuk akal, model rasionalisasi menunjukkan bahwa wilayah masyarakat sulit untuk memaafkan mungkin juga mempengaruhi mereka untuk mendukung sistem makna tertentu. Sebagai contoh, orang beragama yang mendukung hukuman mati sebagai alat untuk retribusi mungkin membenarkan pendapat mereka atas dasar "mata ganti mata, gigi ganti gigi". Namun, orang yang lebih memilih alternatif yang lebih pemaaf dengan pidana mati menunjukkan bahwa Allah memanggil orang-orang " untuk mengasihi musuh kita dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita "(Higi, 1997). Dengan cara ini, orang dapat

(18)

memilih sistem makna religius yang berbeda untuk membenarkan keinginan mereka untuk membalas dendam atau pengampunan.

Agama dapat berfungsi sebagai pengampunan dalam arti sistem, berpotensi mempengaruhi kepercayaan individu, emosi, tindakan, dan tujuan yang berkaitan dengan pengampunan. Namun efek agama terhadap pengampunan mungkin tidak searah, sementara penekanan agama pada cinta dan kasih sayang yang secara umum dapat bekerja untuk memfasilitasi pengampunan, yang bersaing dengan sistem makna keadilan retributif memungkinkan individu untuk menggunakan agama sebagai rasionalisasi untuk membalas dendam.

Berdasarkan pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa religiusitas adalah hubungan gaib antara seseorang dengan tuhan melalui internalisasi dan penghayatan ajaran agama, yang kemudian menyatu dalam diri individu sehingga berpengaruh ke dalam sikap, perkataan dan pola perilaku sehari-hari.

2.1.2.1 Dimensi Religiusitas

Menurut Glock & Stark, (Ancok & Fuat, 2008) ada lima macam dimensi keberagaman atau religiusitas, yaitu dimensi keyakinan, (ideologis), dimensi peribadatan atau praktek agama (ritualistik), dimensi penghayatan (eksperensial), dimensi pengalaman (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan agama (intelektual) :

a. Dimensi keyakinan, dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan

(19)

seperangkat kepercayaan diamana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi sering kali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.

b. Dimensi praktik agama, dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu ritual dan ketaatan.

c. Dimensi pengalaman, dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengahrapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supranatural). Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagaaaman, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi, yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ke Tuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, denagn otritas transendental.

d. Dimensi pengetahuan agama, dimensi ini megacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi. Diemensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama

(20)

lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya. Walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan. Lebih jauh, bahwa seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit.

e. Dimensi pengamalan, dimensi ini mengacu pada identifkasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama. Searah dengan pandangan islam, Glock & Stark (Ancok & Fuat, 2008) menilai bahwa kepercayaan keagamaan adalah jantungnya dimensi keyakinan. Disamping tauhid atau akidah, dalam islam juga ada syariah dan akhlak. Konsep Glock & Stark (dalam Ancok & Fuat, 2008) mencoba melihat keberagamaan seseorang bukan hanya dari satu atau dua dimensi, tetapi mencoba memperhatikan segala dimensi. Keberagamaan (religiusitas) dalam islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tetapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem yang menyeluruh, islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh, oleh karena itu konsep ini mampu memahami keberagaman umat islam.

(21)

Untuk memahami islam dan umat islam, konsep yang tepat adalah konsep yang mampu memahami adanya beragam dimensi dalam berislam. Menurut Ancok & Fuat (2008), rumusan Glock & Stark membagi keberagaman menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu yang mempunyai kesesuaian dengan islam.

Dimensi keyakinan atau akidah islam menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran yang bersifat fundamental. Didalam keberislaman, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah SWT, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah SWT, surga dan neraka serta qadha dan qadhar (Ancok, Fuat, 2008).

Dimensi praktik agama atau syariah menunjuk pada beberapa tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dimensi peribadatan dalam keberislaman menyangkut pelaksanaan sholat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, doa, zikir, ibadah kurban, itikaf di mesjid dibulan puasa, dan sebaginya (Ancok & Fuat, 2008).

Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan muslim berperilaku di motivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lainnya. Dimensi ini dalam keberislaman meliputi perilaku suka menolong, berkerja sama, berderma, menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum

(22)

minuman yang memabukkan, mematuhi norma-norma islam, berjuang untuk hidup sukses menurut ukran islam (Ancok & Fuat, 2008).

Akidah pada dasarnya sudah tertanam sejak manusia ada dalam alam azali (pra-kelahiran). Akidah akan terpelihara dengan baik apabila perjalanan hidup seseorang diwarnai dengan penanaman tauhid secara memadai. Sebaliknya, bila perjalanan hidup seseorang diwarnai pengingkaran terhadap apa yang telah Allah SWT ajarkan pada zaman azali, maka ketauhidan seeorang bisa rusak. Oleh karena itu, agar akdiah seseorang terpelihara maka ia harus mendapatkan penjelasan tentang akidah dari sumber sumber formal islam (Al-Quran & Sunnah Nabi), dengan informasi yang benar tentang akidah maka janji manusia untuk mengakui kekuasaan Tuhan akan tetap terpelihara. Pada tahap ini, agar ketauhidan terjaga, maka orang harus melengkapinya dengan pengetahuan (dimensi pengetahuan) tentang akidah.

Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman Muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dimensi ini dalam keberislaman menyangkut pengetahuan tentang isi Al-Quran, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun islam dan rukun iman), hukum-hukum islam, sejarah islam, dan sebagainya.

Syariah (dimensi peribadatan) dan akhlak (dimensi pengamalan) harus dipelajari dengan sadar dan sungguh-sungguh oleh manusia. Manusia harus berusaha untuk mengumpulkan ilmu tentang bagaimana sesungguhnya syariah islam dan akhlak islam, maka dari itu dimensi ilmu merupakan prasyarat

(23)

terlaksananya dimensi peribadatan dan dimensi pengamalan, sedangkan dimensi pengamalan atau penghayatan merupakan dimensi yang menyertai keyakinan, pengamalan, pengetahuan, dan peribadatan. Dimensi penghayatan menunjuk pada seberapa jauh tingkat muslim merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dimensi ini dalam keberislaman terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah SWT, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah SWT, perasaan bertawakkal (pasrah diri secara positif) kepada Allah SWT, perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al-Quran, perasaan bersyukur kepada Allah SWT, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah SWT.

Dari uaraian diatas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas seseorang tidak dapat dinilai dengan aktivias-aktivitas yang tampak saja, melainkan apa yang di yakininya, apa yang dihayatinya, apa yang ditaatinya, apa yang diamalkannya, dan apa yang diketahui tentang agama yang dianutnya.

2.2 Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai Hubungan religiusitas terhadap perilaku memaafkan telah banyak diteliti, seperti yang dikemukakan oleh para peneliti berikut:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Fatemeh Amini (2014) yang berjudul A Study o the Relationship between Religiosity and Forgiveness among Students. Tujuan dari penelitian ini adalah penentuan hubungan antara religiusitas dan pengampunan. Studi ini didasarkan pada metode Deskripsi-Korelasi. 148 siswa

(24)

(61 wanita & laki-laki 63) dipilih melalui cluster, multi dipentaskan dan random sampling di Universitas. Mereka mengisi kuesioner dua pada religiusitas, berdasarkan model Glock-Stark, dan kecenderungan Memaafkan.Data dianalisis melalui koefisien korelasi dan analisis regresi antara variabel-variabel religiusitas. (ideologis, ritual, eksperimental, dan hasil) dan pengampunan, dan komponennya (diri, orang lain, dan situasi). Hasil dari analisis regresi menunjukkan bahwa total score pengampunan dan dua subscales pengampunan, pengampunan situasi telah dinubuatkan oleh pengampunan agama. Hasil studi dimaksudkan untuk mengkonfirmasi temuan konsep pengampunan dan religiusitas sebagai unsur terkait. hasil ini juga berguna untuk para ahli yang mencari pola-pola mencegah dan pengobatan gangguan mental dan perilaku. Persamaan dalam penelitian ini adalah variabel bebas yaitu religiusitas dan variabel terikat yaitu memaafkan. Perbedaanya adalah pada cara pengambilan sampel yaitu menggunakan purposive sampling.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Don E. Davis et al (2013) yang berjudul Reseach Religion/Spirituality and Forgiveness: A Meta-Analytic Review. Ditinjau dari literatur agama dan Spiritualitas (R/S) dan pengampunan yang menggunakan Meta-Analisis. R/S positif berkaitan dengan sifat forgivingness (yaitu, di seluruh hubungan dan situasi; r =. 29) menyatakan pengampunan (yaitu, dari tertentu pelanggaran; r =.15), dan pengampunan diri (r = 12 mendapat langkah-langkah yang kontekstual R/S lebih proksimal ke proses pengampunan yang lebih erat kaitannya dengan keadaan pengampunan daripada langkah-langkah yang dispositional dari ukuran R S. Hubungan seseorang dengan yang

(25)

suci yang lebih kuat terkait dengan diri-pengampunan daripada dispositional R/S tindakan. Implikasi untuk langkah berikutnya dalam studi R/S dan pengampunan. Persamaan dari penelitian ini adalah variabel terikat yaitu memaafkan. Sedangkan perbedaannya adalah Don E. Davis menggunakan Meta-Analysis.

2.3 Kerangka Berfikir

Dari uraian pemikiran tersebut, dapat diperjelas melalui variabel hubungan religiusitas terhadap perilaku memaafkan, secara sistematis dapat digambarkan pada gambar di bawah ini :

Tabel 2.1 Hubungan Religiusitas Terhadap Perilaku Memaafkan

2.4 Hipotesis Penelitian

Agama merupakan sistem yang menyeluruh, yang mencakup kehidupan jasmani dan rohani dan juga menyangkut kehidupan dunia dan akhirat. Dalam kehidupan keseharian manusia yang tidak luput dari permasalahan, agama juga memiliki fungsi tersendiri yaitu berfungsi sebagai perdamaian. Melalui agama

Religiusitas

Keyakinan (Ideological) Praktik Agama (Ritualistic) Pengalaman (Knowledge)

Pengetahuan Agama (Experience) Konsekuensi (Qonsequential)

Perilaku Memaafkan

Avoidance motivation Revenege motivation Benevolence motivation

(26)

seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntutan agama.

Islam mengharuskan umatnya untuk beragama secara menyeluruh. Setiap Muslim, baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, diperintahkan untuk berislam. Umat Muslim diperintahkan untuk melakukan aktivitas ekonomi, sosial, politik, atau aktivitas apapun dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.

Esensi islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah SWT sebagai yang Esa, pencipta yang mutlak, penguasa segala yang ada. Tidak ada satupun perintah dalam islam yang bisa dilepaskan dari Tauhid. Seluruh agama itu sendiri, kewajiban untuk menyembah Allah SWT, untuk mematuhi perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, akan hancur begitu tauhid dilanggar. Dan pada intinya Tauhid adalah intisari islam dan suatu tindakan tak dapat disebut sebagai hal yang bernilai islam tanpa dilandasi oleh kepercayaan kepada Allah SWT.

Seluruh dengan pandangan islam, Glock & Stark (Ancok & Fuat, 2008) menilai bahwa kepercayaan keagamaan adalah jantungnya dimensi keyakinan. Disamping tauhid atau akidah, islam juga ada syariah dan akhlak. Pada dasarnya islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu akidah, syariah, dan akhlak, dimana tiga bagian tadi satu sama lain saling berhubungan. Akidah adalah sistem kepercayaan dan dasar bagi syariah dan akhlak. Tidak ada syariah dan akhlak tanpa akidah islam. Untuk memahami islam dan umat islam, konsep yang tepat adalah konsep yang mampu memahami adanya beragam dimensi dalam berislam. Menurut

(27)

Ancok & Fuat (2008), rumusan Glock & Stark membagi keberagaman menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu yang mempunyai kesesuaian dengan islam.

Dimensi keyakinan atau akidah islam menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran yang bersifat fundamental. Didalam keberislaman, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah SWT, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah SWT, surga dan neraka serta qadha dan qadhar (Ancok, Fuat, 2008).

Dimensi praktik agama atau syariah menunjuk pada beberapa tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dimensi peribadatan dalam keberislaman menyangkut pelaksanaan sholat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, doa, zikir, ibadah kurban, itikaf di mesjid dibulan puasa, dan sebaginya (Ancok & Fuat, 2008).

Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan muslim berperilaku di motivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lainnya. Dimensi ini dalam keberislaman meliputi perilaku suka menolong, berkerja sama, berderma, menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi norma-norma islam, berjuang untuk hidup sukses menurut ukran islam (Ancok & Fuat, 2008).

(28)

Akidah pada dasarnya sudah tertanam sejak manusia ada dalam alam azali (pra-kelahiran). Akidah akan terpelihara dengan baik apabila perjalanan hidup seseorang diwarnai dengan penanaman tauhid secara memadai. Sebaliknya, bila perjalanan hidup seseorang diwarnai pengingkaran terhadap apa yang telah Allah SWT ajarkan pada zaman azali, maka ketauhidan seeorang bisa rusak. Oleh karena itu, agar akdiah seseorang terpelihara maka ia harus mendapatkan penjelasan tentang akidah dari sumber sumber formal islam (Al-Quran & Sunnah Nabi), dengan informasi yang benar tentang akidah maka janji manusia untuk mengakui kekuasaan Tuhan akan tetap terpelihara. Pada tahap ini, agar ketauhidan terjaga, maka orang harus melengkapinya dengan pengetahuan (dimensi pengetahuan) tentang akidah.

Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman Muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dimensi ini dalam keberislaman menyangkut pengetahuan tentang isi Al-Quran, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun islam dan rukun iman), hukum-hukum islam, sejarah islam, dan sebagainya.

Syariah (dimensi peribadatan) dan akhlak (dimensi pengamalan) harus dipelajari dengan sadar dan sungguh-sungguh oleh manusia. Manusia harus berusaha untuk mengumpulkan ilmu tentang bagaimana sesungguhnya syariah islam dan akhlak islam, maka dari itu dimensi ilmu merupakan prasyarat terlaksananya dimensi peribadatan dan dimensi pengamalan, sedangkan dimensi pengamalan atau penghayatan merupakan dimensi yang menyertai keyakinan,

(29)

pengamalan, pengetahuan, dan peribadatan. Dimensi penghayatan menunjuk pada seberapa jauh tingkat muslim merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dimensi ini dalam keberislaman terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah SWT, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah SWT, perasaan bertawakkal (pasrah diri secara positif) kepada Allah SWT, perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al-Quran, perasaan bersyukur kepada Allah SWT, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah SWT.

Memaafkan adalah sebuah konsep dengan akar keagamaan yang mendalam. Ini juga merupakan dasar fenomena sosial dan psikologis. Ajaran agama yang berhubungan dengan memaafkan termasuk dalam tradisi agama besar yaitu Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, dan Islam, namun dari agama-agama tersebut memiliki perspektif yang berbeda dalam bagaimana mereka memaafkan. Sebuah aspek penting memaafkan adalah dimensi spiritualnya. Dari perspektif spiritual, mereka yang memaafkan mampu mengubah kemarahan dan kebencian mereka dengan memaafkan. Orang yang taat beragama adalah orang yang benar-benar berbakti kepada Tuhan itu diwujudkannya dengan melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh Tuhan, dan menjauhi segala apa yang dilarangnya.

2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara religiusitas dengan perilaku memaafkan pada remaja.

Gambar

Tabel 2.1 Hubungan Religiusitas Terhadap Perilaku Memaafkan

Referensi

Dokumen terkait

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Asam”, Indonesia : Jurnal Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara,.

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Mengajak dan membimbing siswa untuk memulai kegiatan pembelajaran dengan penuh perhatian, semangat dan penampilan mereka dengan melakukan kegiatan berpikir, merasa,

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Berdasarkan hasil pembahasan yang dikemukakan dalam laporan akhir ini, kesimpulan yang didapatkan ialah untuk tingkat likuiditas perusahaan dianggap likuid tetapi

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian