• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. ANALISIS EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. ANALISIS EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

VI. ANALISIS EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING

6.1. Pendahuluan

Upaya pemberantasan pembalakan liar (Illegal logging,IL) telah menjadi perhatian pemerintah. Berbagai upaya pemberantasan IL di Indonesia dilakukan melalui sejumlah kegiatan, seperti upaya penegakan hukum dengan menggelar berbagai operasi pemberantasan IL di lapangan. Sejumlah operasi pemberantasan IL seperti operasi wanalaga, wanabahari, dan sebagainya dilakukan oleh pemerintah. Selain itu untuk mempertegas komitmen pemerintah dalam pemberantasan IL telah dikeluarkan kebijakan, seperti Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Indonesia. Kegiatan pemberantasan IL tidak hanya dilakukan pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi juga dilakukan pada pemerintahan sebelumnya. Berbagai operasi penegakan hukum dilakukan, misalnya operasi wanalaga, wana bahari, operasi wana lestari, operasi hutan lindung, dan sebagainya.

Selain itu, pemerintah pun telah melakukan sejumlah perjanjian kerjasama dengan negara lain untuk mempersempit ruang gerak perdagangan kayu ilegal. Beberapa nota kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah lainnya adalah (a) Pada tanggal 18 April 2002 ditandatangangi kerjasama dengan Pemerintah Inggris untuk memberantasa IL dan perdagangan internasional kayu dan produk turunannya yang ilegal; (b) penandatanganan kerjasama dengan Pemerintah Cina tanggal 18 Desember 2002 untuk pemberantasan perdagangan ilegal produk hasil hutan, (c) penandatanganan kerjasama dengan Pemerintah Jepang dalam pemeberantasan IL dan perdagangan kayu dan hasil hutan ilegal yang ditandatangani pada tanggal 24 Juni 2003; (d) penandatanganan letter of intent antara Departemen Kehutanan dengan USDA Forest Services Amerika Serikat pada tanggal 13

(2)

November 2006 yang diikuti dengan nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat dalam pemberantasan IL dan perdagangan yang terkait dengannya pada tanggal 17 November 2006; serta (e) menerima upaya-upaya yang dilakukan Uni Eropa dalam memberantasan IL dan perdagangan yang terkait dengannya di bawah rencana aksi dari program FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance, and Trade) yang mulai diadopsi sejak Mei 2003.

Upaya-upaya pemberantasan IL yang dilakukan melalui sejumlah kebijakan dan kerjasama secara internasional belum menampakkan hasil yang memuaskan dan memberikan efek jera (detterent effects) terhadap pelaku dan jaringannya. Masduki (2009) menyebutkan bahwa efektifitas pemberantasan masih sangat rendah yang diindikasikan dengan hanya 4,3% dari kasus IL pada tahun 2005 yang diputuskan dan memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht). Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan penegakan hukum IL masih menemui beberapa kendala. Lebih lanjut Masduki (2009) menyebutkan bahwa kendala penegakan hukum pemberantasan IL di Indonesia disebabkan oleh pengadilan tidak mendukung pemberantasan IL dan penegakan hukum hanya menyentuh pelaku di tingkat bawah dan kurang menyentuh pelaku utama (aktor tingkat atas).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas implementasi kebijakan pemberantaan IL di Indonesia

6.2. Metode

a. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam merupakan data sekunder berupa data kasus IL dan proses penyelesaiannya sampai tingkat pengadilan di Indonesia. Data kasus IL di Indonesia diperoleh dari institusi penyidik, yaitu Kepolisian Republik Indonesia (Polri) selama kurun empat tahun terakhir.

(3)

b. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan fakta hukum terkait proses pemberantasan IL di Indonesia dengan memperhatikan karakteristik kasus IL, pelaku IL, dan putusan vonis pengadilan terhadap pelaku IL. Hasil analisis data tersebut akan memberikan gambaran tentang efektifitas kebijakan pemberantasan IL di Indonesia. Kebijakan pemberantasan IL dikatakan efektif apabila kejadian IL setelah diterapkannya kebijakan tersebut menunjukkan intensitas yang menurun, sedangkan apabila tidak demikian menunjukkan bahwa kebijakan pemberantasan IL tidak efektif dijalankan.

6.3. Hasil dan Pembahasan

6.3.1. Penanganan Kasus Illegal logging di Indonesia

Pemberantasan IL di Indonesia menjadi prioritas program nasional yang telah menjadi komitmen pemerintah. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas IL di Indonesia, termasuk mengeluarkan kebijakan berupa Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) adalah aparat penegak hukum yang berdasarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 diperintahkan untuk : (a) Menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya; (b) Melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia; serta (c) Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi rawan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya sesuai kebutuhan. Menindaklanjuti perintah tersebut, Polri melakukan upaya penanganan pemberantasan IL di Indonesia sesuai dengan kewenangannya sebagai penegak hukum baik melalui upaya penyidikan sendiri maupun menindaklanjuti laporan yang disampaikan masyarakat. Pihak Polri

(4)

melakukan upaya pemberantasan IL di Indonesia melalui upaya pre-emptif, preventif, dan represif. Upaya pre-emtif dilakukan dengan melalui upaya koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka melaksanakan Inpres Nomor 4 Tahun 2005, bekerjasama dengan Menteri Kehutanan melalui pelaksanaan operasi wanalaga dan operasi hutan lestari, melakukan pengawasan internal yang lebih ketat terhadap anggota Polri dalam menangani kasus IL, saat melakukan penindakan diberikan pengarahan kepada pelaku tentang pentingnya pengelolaan hutan lestari dan dorongan untuk mendapatkan pekerjaan lain yang legal, serta meningkatkan kemampuan penyidik di bidang IL. Upaya preventif oleh Polri dilakukan melalui pengamanan secara mandiri dan terpadu di jalur lalu-lintas keluar masuknya kayu dengan mendirikan pos polisi atau melakukan patroli, meningkatkan kemampuan sarana dan prasarana untuk kegiatan patroli dan pengawasan lalu lintas peredaran kayu, serta menindak dengan tegas terhadap siapapun yang terlibat IL termasuk anggota Polri (telegram Kapolri No.Pol.: TR201/III/2004 tanggal 23 Maret 2004). Upaya represif yang dilakukan Polri adalah melakukan tindakan kepolisian secara tegas dan konsisten baik yang bersifat mandiri dan gabungan antar instansi ditujukan kepada buruh penebang liar, cukong, penadah dan oknum pejabat pemerintah yang melakukan kolusi, mengusut sampai tuntas setiap informasi, laporan, atau temuan telah terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan IL, serta melakukan operasi kepolisian mandiri kewilayahan maupun secara terpusat misalnya Operasi Wanalaga I Tahun 2003 di wilayah Polda Jateng, Operasi Wanalaga II Tahun 2003 di wilayah Polda Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, Operasi Wanalaga III Tahun 2003 untuk seluruh Indonesia, serta Operasi Hutan Lestari I Tahun 2004 dan Operasi Hutan Lestari II Tahun 2005 (Bareskrim Polri, 2008).

Kasus IL yang ditangani oleh Polri dalam kurun waktu tahun 2006 sampai dengan Juli 2008 disajikan pada Gambar 7. Kasus IL di Indonesia yang ditangani Polri cenderung mengalami penurunan, yaitu pada tahun

(5)

2006 berjumlah 4.819 kasus, tahun 2007 berjumlah 1.790 kasus, dan sampai Juli 2008 berjumlah 454 kasus.

4 ,8 1 9 4 5 4 1 ,7 9 0 -1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 2006 2007 (Januari-Juli) 2008 Tahun Jumlah Kasus

Gambar 7. Jumlah kasus IL di Indonesia (2006-Juli 2008) (Diolah dari data Bareskrim Polri)

Praktek IL di Indonesia melibatkan cukup banyak orang. Pada tahun 2006 jumlah tersangka yang langsung terlibat praktek IL mencapai 5.217 orang, tahun 2007 jumlah tersangka 2.096 orang, dan tahun 2008 (sampai bulan Juli) sebanyak 579 tersangka (Gambar 8). Jumlah tersangka umumnya adalah pelaku yang langsung di lapangan.

2 ,0 9 6 5 7 9 5 ,2 1 7 -1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 2006 2007 (Januari-Juli) 2008 Tahun Jumlah Tersangka (orang)

Gambar 8. Jumlah Tersangka kasus IL di Indonesia (2006-Juli 2008) (Diolah dari data Bareskrim Polri)

(6)

Masduki (2009) mengemukakan bahwa di tingkat Mahkamah Agung, putusan kasus IL antara tahun 2005-2008 adalah sebanyak 80,77% aktor yang diproses di tingkat lapangan (operator, supir, petani perambah), sedangkan aktor utamanya (master minds) yang diproses hanya 19,23% (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa lembaga yudikatif memiliki political will yang masih rendah dalam pemberantan IL.

Tabel 11. Klasifikasi Aktor Putusan IL di Mahkamah Agung

Aktor Jumlah Persentase (%)

Mastermind/Pelaku Utama (Perwira Polisi, Jaksa, Pejabat Dishut, Kontraktor, Direktur, Cukong)

5 19,23%

Pelaksana Lapangan

(Operator, Supir, Petani) 21 80,77%

Total 26 100

Sumber : Masduki (2009)

Jumlah kayu olahan dan kayu bulat (log) yang berhasil disita dalam tiga tahun (2006-2008) mengalami penurunan sebagai akibat langsung dari menurunnya kasus IL di Indonesia (Gambar 9 dan Gambar 10). Jumlah kayu olahan sitaan pada tahun 2006, 2007, dan 2008 berturut-turut adalah 494.810,53 m3, 311.187,88 m3, dan 7.892,22 m3. Adapun jumlah kayu bulat yang berhasil diamankan pada tahun 2006, 2007, dan 2008 berturut-turut adalah 690.637 batang, 354.952 batang, dan 13.544 batang. 3 1 1 , 1 8 7 . 8 8 7 , 8 9 2 . 2 2 4 9 4 , 8 1 0 . 5 3 0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 2 0 0 6 2 0 0 7 ( J a n u a r i - J u l i ) 2 0 0 8 Tahun Ju m la h Ka yu O la ha n Si ta an (m 3)

Gambar 9. Jumlah Kayu Olahan Sitaan di Indonesia (2006-Juli 2008) (Diolah dari data Bareskrim Polri)

(7)

3 5 4 , 9 5 2 1 3 , 5 4 4 6 9 0 , 6 3 7 -100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 2 0 0 6 2 0 0 7 (Januari-Juli) 2008 Tahun Jumlah Kayu Bulat Sitaan (Batang)

Gambar 10. Jumlah Kayu Bulat Sitaan di Indonesia (2006-Juli 2008) (Diolah dari data Bareskrim Polri)

Walaupun pihak Polri telah banyak melakukan tindakan hukum terhadap pelaku IL di Indonesia, tetapi masih banyak praktek IL dilakukan di Indonesia. Pemberantasan IL yang dilakukan belum memberikan efek jera (deterrent effect) terhadap pelaku IL dan jaringannya walaupun dampak kerugian akibat IL terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup tampak secara signifikan. Sebagai contoh lima belas kasus IL di Papua dan Papua Barat pada tahun 2005 yang dituntut jaksa dengan tuntutan antara dua tahun sampai dengan tujuh tahun dengan tuntutan denda antara Rp 100 juta sampai dengan Rp.1 milyar divonis bebas murni oleh pengadilan. Banyak kasus IL di Indonesia yang dituntut pada akhirnya divonis bebas murni di pengadilan. Tabel 12 menunjukkan kasus IL di Papua pada tahun 2005 semua putusan hakim membebaskan terdakwa.Sementara itu vonis hukuman bagi pelaku IL di Indonesia selama ini bervariasi, yaitu antara 1 bulan sampai dengan 9 tahun dengan kisaran denda antara satu juta rupiah sampai dengan lima ratus juta rupiah. Rentang variasi vonis terhadap pelaku IL yang lebar menunjukkan bahwa masih adanya perbedaan persepsi hukum diantara aparat hukum dalam menegakkan aturan hukum pemberantasan IL di Indonesia (Tabel 13).

(8)

Tabel 12. Perkara Tindak Pidana IL yang Dibebaskan Pengadilan

No Tersangka Nama Tempat Sidang Tuntutan Jaksa Vonis Denda Keterangan

1 2 3 4 5 6 7

1 Asong Kapuas Hulu kalbar Bebas Murni

POLDA PAPUA (OHL 11-2005)

1

Mr Tang Tung Kwong Als Freely Tang

(WN Malaysia)

PN Biak 6 Th, denda 500 juta Bebas Murni -

Kasasi

Lp/101/111/2005IReskdm tgl 8 Maret 2006 tp, kehutanan di wil Papua Sureng Anak Gain

(WN Malaysia) PN

Jayapura 3 Th, denda 100 juta. Bebas Murni -

Kasasi

LP/01/111/2D05tDit Polair tgI 26 Feb 2005 2

Jansen Maresit PN Jayapura 3 Th, denda 100 Juta Bebas Murni -

H. Simon Suleiman PN Jayapura 7 Th, denda 1 Milyard Bebas Mumi - Kasasi 3

Danang Suhargo, PN Jayapura 6 Th, denda 1 Milyard Bebas Murni - Kasasi Andi Sele PN Jayapura 4 Th, 400 juta. Bebas Murni - Kasasi H Romzan PN Jayapura 3 Th 6 bulan, 50 juta Bebas Murni - Kasasi 4

Kasiran PN Jayapura 3 Th, 50 juta Bebas Murni - Kasasi 5 Achmad Trisna Marseda PN Jayapura 6 Th, 250 juta Bebas Murni - Kasasi 6 Suwanta Als Ook PN Nabire 2 Th, 250 juta Bebas Murni - Kasasi 7 Yanto, Wibowo PN Nabire Bebas Murni - Kasasi 8 Hendro Pitoyo PN Nabire Bebas Murni - Kasasi 9 Ir. Rente Lino PN Nabire Bebas Murni - Kasasi 10 Mangga Marwan PN Nabire 3 Th, Denda 100 Juta Bebas Murni - Kasasi 11 Ir. Marthen Kayoi,MM PN Jayapura 6 th. Bebas Murni - Banding

Tang Eng Kwee (WN Malaysia Manager PT Wapoga Mutiara Timber 11 Jayapura PN Jayapura 7 th. Bebas Murni - Kasasi Lp/101/111/2005/Reskrim tgl 8 Maret 2006 tp kehutanan di wil Papua 12

Ir. Agusthinus

Joumilena SDA SDA SDA -

13 Ekan Alhamid PN

Marauke 3 th, 350 juta

Bebas

Murni - Kasasi 14 H. Bachtiar Efendi PN Marauke 3 th, denda 250 Juta Bebas Murni - Kasasi 15 Memberg Beslar PN Sorong - Bebas Murni - Kasasi Sumber : Bareskrim (2008)

(9)

Tabel 13. Perkara Tindak Pidana IL yang Divonis Penjara dan Denda

Vonis No Tersangka Nama Wil Tuntutan Jaksa

Penjara Denda

Keterangan

1 2 3 4 5 6 7

1 - M. Tadeus - Ronny R 6 Th penjara 1 Th 10 Jt 2 Jhonson (CV Makmur Bach) Manokwari PN 6 th penjara, denda 500 jt. 2 Th 100 Jt

3 Rahmad Dwi Nur sda 7 bln

4 Tie Sing Yew Als Mr. Tie sda 6 tahun penjara, denda 250 jt 7 bln 15 Jt 5 Suyono sda 3 th, denda 2560 Jt 7 bin 4 hr 10 jt 6 Demanius Jopari sda 3 th, 250 jt 1 th 100 juta 7 Sulaiman Enuwab sda 5 th, 100 jt 1 th 10 jt

8 John Larawo PN Sorong 1 th 1th, 6 bin

9 Andi Sumarta 1 th 50 jt

10 Boy F Kamarea PN Nabire 1 th, 2 bln 100 jt

11 Franky Lauw sda 10 bin 100 jt

12 Welly VViliyanto Sda 10 bin 100 jt

13 Ismail Tanah laut kabar 1 Bulan Rp. 1 Juta

14 Amran Sda 6,5 Bulan Rp. 1.5 Juta

15 Eko Wijianto Sda 1 Tahun Rp. 1.,5 Juta

16 Chien Lok Ung

Kapuas Hulu Kalbar 9 th 500 it LP/78/VII/DR- III tanggal 11 Juli 2005

17 Ngu Sie Kiong Sda 9th 500 it SDA

18 Ling Lik Ung ada 9th 500 jt SDA

19 H. Darto S. Banjarmasin 2,5 Bulan

20 H. S Sihombing Sda Sda

21 H. Fachrudin Sda Sda

22 Ardiansyah Sda Sda

23 H. Fariansyah Sda Sda

24 Budi Sujarwo Als. Budi Londo Sda 3 Bulan

25 Nahkoda MV. Qing An Jakarta 5 Bulan

26 Nahkoda MV. Bravery Falcon Jakarta 2 Tahun

27 Nahkoda KM. Bahtera Jaya Dumai Riau 4 Juta

28 Nahkoda KM Guna Karya Sda 20 Juta

29 Nahkoda KM Nusa Batam Sda 8 Juta

30 Nahkoda KM Adi Putera Sda 8 Bulan 2 juta

31 Makmur Purwanto Sda 8 Bulan 5 Juta

32 Dedi Berman sda 5 Juta

33 MV. Niaga 56 Sulsel

6 Bulan, Percobaan

1 th

34 Fernadus Asman NTT 10 Bulan

35 M. Arsyad Saleh Sda 3 Bulan

(10)

186 88 54 8 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Penyidikan (Kepolisian) Penuntutan (Kejaksaan) Persidangan Inkracht J u m la h K a s u s Vonis No Tersangka Nama Wil Tuntutan Jaksa

Penjara Denda

Keterangan

1 2 3 4 5 6 7

37 Abdul Hamid Sda 5 Bulan

38 Anton Yusuf Sda 5 Bulan

39 Abdul gani Ali Sda 15 Hari

40 Usman Husen Sda 3 Bulan

41 Samsudin Seni Sda 2 Bulan 15 Hari

Sumber : Bareskrim (2008)

Masduki (2009) menilai bahwa efektifitas pemberantasan IL di Indonesia sangat rendah. Gambar 11 menunjukkan bahwa dari 186 kasus IL pada Operasi Hutan Lindung (OHL)-2 tahun 2005 hanya 8 kasus atau 4,3% yang inkracht atau divonis oleh pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum IL belum didukung sepenuhnya oleh semua elemen criminal justice systems, sehingga dampak jera (detterent effect) terhadap pelaku IL dan jaringannya tidak terjadi. Lebih lanjut Masduki (2009) menyebutkan bahwa pengadilan kurang mendukung pemberantasan IL, walaupun Alkostar (2009) menyebutkan bahwa 666 orang hakim pengadilan negeri dan 161 hakim tinggi telah mendapatkan pelatihan lingkungan hidup yang di dalamnya mencakup masalah IL.

Gambar 11. Efektifitas Pemberantaan IL di Operasi Hutan Lestari-2 (OHL-2) (Masduki,2009)

(11)

Di tingkat Mahkamah Agung, vonis terhadap aktor pelaku IL yang terkategori aktor utama (master mind) dari 49 pelaku, 35 (72%) orang dibebaskan, divonis penjara di atas 1 tahun sebanyak 7 orang (14%), divonis penjara antara 1-2 tahun sebanyak 2 orang (4%), dan di atas 2 tahun sebanyak 5 orang (10%)(Masduki, 2009). Kondisi ini menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan perhatian serius terhadap upaya pemberantasan IL, sehingga dampak jera terhadap pelaku dan jaringannya sangat rendah. Walaupun kinerja aparat penyidik Polri dan PPNS Kehutanan telah cukup menunjukkan peningkatan kinerja yang cukup baik dalam pemberantasan IL, tetapi seringkali di tingkat pengadilan majelis hakim membebaskan terdakwa atau memvonisnya dengan hukuman yang sangat ringan.

Gambar 12. Putusan Kasus IL di Mahkamah Agung 6.3.2. Penanganan Kasus Illegal logging di Provinsi Jambi

Untuk mengetahui kondisi penanganan IL di lapangan, maka dilakukan kajian penanganan kasus IL di Provinsi Jambi. Kawasan hutan di Provinsi Jambi menjadi sasaran target pelaku IL pasca dilakukannya operasi pemberantasan IL secara besar-besaran di Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengannya. Kawasan hutan Provinsi Jambi mencapai 2,2 juta ha (Tabel 14 dan Gambar 13). Luas kawasan hutan menurut wilayah administrasi kabupaten disajikan pada Gambar 14. Persentase luas kawasan hutan produksi di Jambi mencapai 59% dari luas kawasan hutan yang ditetapkan. Kawasan hutan produksi tetap (HP)

7; 14%

2; 4% 5; 10%

35;

72%

(12)

dan hutan produksi terbatas masing-masing mencapai 46% dan 13% dari luas kawasan hutan, selanjutnya diikuti oleh taman nasional (TN) sebesar 31%, hutan lindung (HL) sebesar 8%, dan kawasan hutan lainnya di bawah 1%. Adapun sebaran kawasan hutan di Provinsi Jambi disajikan pada Gambar 14 dan Gambar 15.

Tabel 14. Luas Kawasan Hutan Di Provinsi Jambi menurut Fungsinya (Ha)

Kabupaten HP HPT HPK HL TN CA TWA TAHURA Jumlah

Batang Hari 115044 55820 41186 713 14404 227167 Muaro Jambi 44211 58954 26088 58779 3 188035 Tanjung Jabung Barat 212364 43596 780 16095 13333 2964 289132 Merangin 128287 32085 17906 154410 332688 Sarolangun 135035 103647 63733 7659 371 310445 Kerinci 31893 228479 260372 Bungo 101768 13115 38048 152931 Tanjung Jabung Timur 49191 31028 123893 7167 211279 Tebo 218638 9476 41668 6482 160 276424 1036431 294102 780 177441 707455 16987 873 14404 2248473 46% 13% 0% 8% 31% 1% 0% 1% 0% 10% 20% 30% 40% 50% HP HPT HPK HL TN CA TWA TAHURA

Gambar 13. Persentase Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Fungsinya

(13)

Gambar 14. Sebaran Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Fungsinya 227167 152931 260372 332688 188035 310445 289132 211279 276424 0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000

BATANG HARI BUNGO KERINCI MERANGIN MUARO JAMBI SAROLANGUN TANJUNG JABUNG BARAT

TANJUNG JABUNG TIMUR

TEBO

Gambar 15. Luas Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Kabupaten Jumlah kasus Praktek IL di Provinsi Jambi dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 disajikan pada Gambar 16. Kasus IL di

APL TN HP HPT HL AIR TAHURA CA TWA HPK HPT HPT HL HL HP HP HP TN HP HP HP HL HL HL HL HPT HP HP HP HP HP TN TEBO MERANGIN BUNGO SAROLANGUN KERINCI BATANG HARI MUARO JAMBI TANJUNG JABUNG BARAT TANJUNG JABUNG TIMUR KOTA JAMBI

(14)

Jambi yang ditangani polisi pada tahun 2004 relatif sedikit (33 kasus), namun pada tahun 2005 dan 2006 meningkat tajam menjadi 74 dan 93 kasus. Pada tahun 2007 menurun kembali menjadi 71 kasus, tetapi tahun 2008 meningkat menjadi 112 kasus. Peningkatan jumlah kasus sejak 2005 diduga merupakan imbas dari dilaksanakannya operasi pemberantasan IL di Provinsi Riau yang langsung berbatasan dengan Provinsi Jambi. Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan kayu di dalam Provinsi Jambi, sebagian besar kayu ilegal dibawa keluar Provinsi Jambi. Adapun jumlah tersangka kasus IL cenderung berbanding lurus dengan banyaknya kasus IL di Jambi (Gambar 17).

33 74 93 71 112 0 20 40 60 80 100 120 2004 2005 2006 2007 2008 Tahun Jum la h K as us Ilegal Logging di Provinsi Jambi

Gambar 16. Perkembangan Kasus IL di Provinsi Jambi

1 2 1 1 7 6 1 6 6 -20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 2006 2007 (Januari-Juli) 2008 Tahun Jumlah Tersangka (orang)

(15)

Jumlah kayu olahan dan kayu bulat yang berhasil disita dalam penegakan hukum pemberantasan IL di Jambi antara tahun 2006 sampai dengan 2008 disajikan pada Gambar 18 dan Gambar 19. Jumlah kayu olahan dan kayu bulat yang disita tampaknya tidak mengikuti jumlah kasus dan tersangka yang berhasil ditangkap, karena setiap kasus memiliki variasi jumlah kayu olahan dan bulat yang berbeda-beda. Selain itu kondisi ini menunjukkan bahwa sumber kayu ilegal di Provinsi Jambi semakin sulit didapatkan ketika perhatian publik dan tindakan penegakan hukum terhadap pemberantasan IL di Jambi intensif dilakukan.

8,538.50 638.03 11,334.18 -2,000.00 4,000.00 6,000.00 8,000.00 10,000.00 12,000.00 2006 2007 (Januari-Juli) 2008 Tahun Ju m la h K ay u O la h an S it aa n ( m 3)

(16)

4,906 3,766 2,278.73 -1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 2006 2007 (Januari-Juli) 2008 Tahun Jumlah Kayu Bulat Sitaan (Batang)

Gambar 19. Jumlah Kayu Bulat Sitaan di Provinsi Jambi

Jumlah kasus IL di setiap kabupaten di Provinsi Jambi bervariasi (Tabel 15). Selain kasus IL yang langsung ditangani oleh Polda Jambi, jumlah kasus di atas 25 kasus selama lima tahun terakhir terjadi di Kabupaten Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Merangin, Sarolangun, Kerinci, dan Bungo (Gambar 20). Data Dishut Jambi (2008) menyebutkan bahwa praktek IL di kawasan hutan lindung di daerah hulu berpotensi menimbulkan banjir. Kawasan hutan lindung yang terancam IL berada di Bukit Panjang-Rantau Bayur seluas 13.075 ha yang berada di Kabupaten Bungo, Bukit Limau seluas 6.657 ha di Kabupaten Tebo, Gunung Tungkat seluas 2.743 ha di Kabupaten Merangin, Bukit Tinjau Limau seluas 41.449 ha di Kabupaten Soralangun, Bukit Hulu Landai-Bukit Pale seluas 32.967 di Kabupaten Merangin, Landai-Bukit Muncung_Gamut seluas 8.609 ha di Kabupaten Merangin. Adapun hutan lindung gambut yang terancam penebangan liar adalah di Air Hitam Dalam-Air Hitam Laut seluas 35.375 ha di Kabupaten Muaro Jambi, Bram Hitam seluas 21.474 ha di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Sungai Baluh seluas 17.721 ha di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, serta Sungai Londerang seluas 11.080 ha di Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Dishut Jambi, 2008).

(17)

Polda/Polres 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah

Polda Jambi 5 18 22 19 29 93

Polres Batang Hari 5 6 15 9 12 47

Polres Bungo 6 4 8 1 6 25

Polres Merangin 2 3 10 8 9 32

Polres Tanjab Barat 8 7 13 1 4 33

Polres Tanjab Timur 2 9 4 3 4 22

Polres Kerinci 5 7 4 7 6 29

Polres Muaro Jambi 14 4 12 15 45

Polres Tebo 6 4 7 3 20

Polres Sarolangun 9 3 19 31

Poltabes Jambi 1 5 6

33 74 93 71 112 383

Sumber: Polda Jambi (2009)

47 45 33 32 31 29 25 22 20 6 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Polres Batang Hari Polres Muaro Jambi Polres Tanjab Barat Polres Merangin Polres Sarolangun Polres Kerinci Polres Bungo Polres Tanjab Timur

Polres Tebo Poltabes Jambi

Gambar 20. Jumlah Kasus IL di Provinsi Jambi menurut Wilayah Polres dalam LimaTahun Terakhir

Kasus IL umumnya terjadi di kabupaten yang masih memiliki potensi kayu yang berasal dari hutan alam yang didukung oleh ketersediaan jaringan jalan darat dan sungai. Potensi kayu dan ketersediaan akses jalan keluar masuk kawasan adalah dua faktor penting dalam menentukan target sumber kayu yang akan ditebang secara ilegal. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22 yang menunjukkan bahwa jumlah kasus IL tidak cenderung mengikuti luasan hutan, tetapi terkait dengan faktor lain

(18)

seperti aksesibilitas jalan keluar masuk lokasi IL. Adanya akses jalan ini menjadi pertimbangan penting karena pelaku IL sangat jarang membangun jalan angkutan, tetapi banyak memanfaatkan jalur angkutan yang telah ada, baik jalan darat maupun sungai. Daerah yang rawan IL di Jambi umumnya memiliki akses terhadap kawasan hutan, terutama kawasan hutan konservasi, lindung, dan produksi terbatas. Kecenderungan ini disebabkan oleh masih tersedianya standing stocks

kayu yang belum dieksploitasi sebagaimana telah dipanen di hutan produksi. Sungai Batang Hari, Sungai Batang Merangin, Sungai Batang Tembesi merupakan jalur sungai agkutan kayu ilegal di Jambi yang kesemuanya bermuara di Sungai Batanghari karena bermuara di laut. Wilayah yang rawan terjadinya IL di Jambi adalah : (a) Petaling yang berbatasan dengan Sungai Musin, Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan; (b) Taman Hutan Raya Senami (Kabupaten Batanghari), (c) Taman Nasional Bukit Dua Belas (Kabupaten Batanghari dan Tebo), (d) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Taman Nasional Berbak (Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur), (e) Taman Nasional Kerinci Seblat (Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Merangin), serta (f) Kawasan Lindung Gambut (Kabupaten Tanjung Jabung Timur). Kecenderungan daerah rawan IL berupa kawasan hutan yang masih memiliki potensi tegakan (standing stocks) yang cukup tinggi menunjukkan bahwa kegiatan IL dipengaruhi oleh adanya mekanisme pasar kayu ilegal. Hal ini didukung oleh fakta bahwa ketika operasi pemberantasan IL besar-besaran terjadi di Provinsi Riau, maka kasus IL di Provinsi Jambi meningkat akibat terjadinya ketimpangan kebutuhan kayu dengan pasokan kayu yang makin terbatas. Oleh karena itu, upaya mencari sumber kayu ilegal berimbas ke wilayah Jambi yang berbatasan langsung dengan Riau.

(19)

Gambar 21. Peta Kecenderungan Kegiatan IL di Provinsi Jambi 15% 14% 13% 12% 12% 10% 9% 8% 7% 32 31 33 20 29 47 22 45 25 0% 2% 4% 6% 8% 10% 12% 14% 16% M E R A N G IN S A R O LA N G U N TANJUNG JA B U N G BARAT TE B O KERINCI B A T A N G H A R I TANJUNG JA B U N G TIMUR MUARO JAMBI BUNGO 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 % Hutan Kasus IL

Gambar 22. Persentase Hutan Per Kabupaten dan Kasus IL di Jambi Efektifitas pemberantasan IL di Provinsi Jambi relatif sama dengan yang terjadi di Indonesia. Gambar 23 menunjukkan bahwa kasus IL yang ditangani oleh pihak penyidik (kepolisian) pada akhirnya banyak yang divonis bebas atau divonis dengan hukum yang rendah. Pada tahun 2004 walaupun persentase vonis pengadilan mencapai 58,82% dari kasus IL

(20)

yang ditangani kepolisian di wilayah Provinsi Jambi, tetapi vonis yang dijatuhkan tergolong ringan, yaitu antara 3 bulan 10 hari sampai dengan 1 (satu) tahun penjara. Untuk tahun-tahun berikutnya persentase vonis sangat rendah. 34 74 89 70 110 8 0.00% 0.00% 58.82% 0.00% 2.86% 1.12% 0 20 40 60 80 100 120 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Ju m la h K as us 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% P er se nt as e V on is te rh ad ap Ju m la h K as us ]

Gambar 23. Jumlah Kasus dan Persentase Vonis Kasus IL di Provinsi Jambi

Gambar 24 menunjukkan bahwa kasus IL yang telah P.21 (surat pemberitahuan dari penuntut umum kepada penyidik yang menyatakan bahwa berkas dan barang bukti serta tersangka segera dikirimkan ke penuntut umum untuk dilakukan penuntutan) jauh lebih banyak daripada jumlah vonis yang dijatuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja aparat dalam penyidikan perkara IL di Jambi cukup baik dibandingkan dengan kinerja pengadilan. Hal ini menjadi salahsatu kendala efektifitas pemberantasan IL di Jambi, bahkan di wilayah hukum Indonesia sekalipun. Belum kuatnya dukungan pengadilan terhadap pemberantasan IL yang dibuktikan dengan banyaknya pelaku IL yang tertangkap dan divonis bebas atau dihukum dengan hukuman yang sangat ringan menjadi salahsatu indikator belum tegaknya penegakan hukum pemberantasan IL di Indonesia, khususnya di Provinsi Jambi.

(21)

61.76% 51.35% 59.55% 61.43% 73.64% 37.50% 0.00% 0.00% 0.00% 58.82% 2.86% 1.12% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% 80.00% 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun P er se nt as e P .2 1 P er se n ta se Vonis

Gambar 24.Persentase Kasus yang Sudah P.21 dan Vonis Kasus IL di Provinsi Jambi

Berdasarkan kajian yang diuraikan sebelumnya, di dalam upaya pemberantasan IL di Indonesia sejauh ini masih dianggap belum efektif. Beberapa hambatan dalam proses penegakan hukum IL di Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Luasnya kawasan hutan di Indonesia yang mencapai lebih dari 100 juta ha menyulitkan pengawasan dilakukan secara intensif. Sementara itu kegiatan penyidikan IL membutuhkan dukungan dana yang relatif besar untuk mendukung operasional di lapangan;

b. Masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan banyak mengandalkan mata pencahariannya pada kegiatan penebangan kayu baik secara legal dan ilegal, sehingga dalam beberapa kasus penanganan IL berjalan tidak efektif karena tidak didukung oleh masyarakat setempat yang terlibat;

c. Adanya perbedaan diantara komponen criminal justice system (polisi, jaksa, dan hakim) dalam menginterpretasikan pasal-pasal di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan IL. Akibat dari adanya perbedaan persepsi dan interpretasi tersebut menyebabkan banyak kasus IL yang divonis bebas serta memerlukan waktu yang lama untuk menuntaskannya. Selain itu di dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

(22)

tersebut sanksi pidana tidak dapat menjerat pelaku intelektual karena ketentuan turut serta dalam tindakan pidana kehutanan belum diatur, sehingga menyulitkan penuntasan kasus IL sampai ke otak pelakunya. Pengungkapan secara tuntas juga terkendala dengan rapihnya jaringan pelaku IL dalam sistem organisasi sel, dimana diantara pelaku IL secara hirarki terputus;

d. Dukungan pengadilan terhadap pemberantasan tindak pidana kehutanan, khususnya IL masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pelaku IL yang tertangkap di tingkat pengadilan divonis bebas atau divonis dengan hukuman yang sangat ringan. Oleh karena itu komitmen pengadilan sebagai lembaga yudikatif yang memutus perkara tindak pidana di tingkat akhir harus ditingkatkan;

e. Apabila sistem penegakan hukum saat ini dianggap tidak mampu berjalan secara efektif dalam memberantas praktek IL yang dilakukan secara sistematis dengan melibatkan oknum aparat pemerintah dan penegak hukum, maka usulan untuk membentuk undang-undang khusus pemberantasan IL harus dipertimbangkan termasuk kemungkinan pembentukan majelis hakim ad hoc yang secara khusus menangani kejahatan dan pelanggaran tindak pidana kehutanan. f. Koordinasi diantara instansi sesuai dengan Inpres Nomor 4 Tahun

2005 belum berjalan dengan baik. Idealnya setiap instansi mampu menjabarkan instruksi presiden tersebut di dalam lingkup kerja masing-masing instansi, misalnya dengan membuat petunjuk teknis tentang pemberantasan IL sesuai dengan kewenangannya masing-masing. 6.4. Kesimpulan

Kebijakan pemberantasan IL di Indonesia sejauh ini dinilai belum efektif yang ditunjukkan oleh adanya fakta, yaitu : (a) pelaku IL banyak yang divonis bebas atau divonis dengan hukuman yang rendah, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku dan jaringannya; dan (b) pelaku IL yang diproses secara hukum umumnya adalah operator di tingkat lapangan, sedangkan aktor utama (master mind) banyak yang tidak

(23)

diproses atau lolos dari jeratan hukum. Oleh karena praktek IL dilakukan secara sistematis dan dikendalikan secara rapi oleh aktor utamanya, maka pemberantasan IL sering berhasil di tingkat permukaan masalahnya saja sedangkan akar penyebab IL tidak terberantas secara tuntas.

Komitmen dalam pemberantasan IL perlu didukung oleh peran pengadilan sebagai lembaga yudikatif yang memberikan vonis terhadap pelaku IL di Indonesia. Masih rendahnya komitmen pengadilan dalam memvonis seberat-beratnya terhadap pelaku IL menjadi salah satu kendala penegakan hukum dalam pemberantasan IL di Indonesia. Dengan vonis yang sangat rendah tidak memberikan dampak jera kepada pelaku IL dan jaringannya, bahkan pelaku IL yang terkategori sebagai kelompok mastermind dalam praktek IL banyak yang divonis bebas.

Gambar

Gambar 8.  Jumlah Tersangka kasus IL di Indonesia (2006-Juli 2008)    (Diolah dari data Bareskrim Polri)
Tabel 11. Klasifikasi Aktor Putusan IL di Mahkamah Agung
Gambar 10. Jumlah Kayu Bulat Sitaan di Indonesia (2006-Juli 2008)    (Diolah dari data Bareskrim Polri)
Tabel 12. Perkara Tindak Pidana IL yang Dibebaskan Pengadilan  No  Nama  Tersangka  Tempat Sidang  Tuntutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penetapan harga gelar kebangsawanan dalam tradisi perkawinan adat sasak di desa Batujai Lombok Tengah yang dilakukan ketika proses Sorong Serah Aji Kerama adalah Harga orang itu

Adapun tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh edukasi dengan pendekatan spiritual berbasis video terhadap kepatuhan pembatasan cairan atau

Hegel treats moral philosophy as a genus comprising two coordinate species: ethics and theory of justice, a conception which predominated from the Greeks through the nineteenth

Data Dosen Master Data Login Main Menu Data Topik Data Mahasiswa Kesediaan Menguji Data Ujian Transaksi Ujian Data Ruang Nilai Penguji Nilai Pembimbing Jadwal

Pada penelitian ini, akan mencari keterkaitan energi gap dengan kecepatan putar deposisi lapisan tipis semikonduktor organik Spirulina Sp hasil deposisi spin

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan maka analisis dengan menggunakan SIG dapat dimanfaatkan dalam mengidentifikasi potensi longsor berupa pembuatan peta

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) ini guna meraih derajat

Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sumber magnet permanen menghasilkan medan magnet yang lebih stabil yang dapat dilihat dari hasil pengukuran