• Tidak ada hasil yang ditemukan

Susahnya Membangun Masyarakat yang Kritis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Susahnya Membangun Masyarakat yang Kritis"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Susahnya Membangun Masyarakat yang Kritis

Secara teoritis, sistem nilai dan budaya masyarakat akan ikut berpengaruh terhadap sikap dan perilaku politik yang ditampilkannya. Dari proposisi seperti itu kemudian dikenal istilah budaya politik (politic culture) yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Budaya politik itulah yang membentuk sikap dan perilaku politik masyarakat, baik dalam menentukan pilihan maupun mengambil keputusan. Cita-cita, harapan, dan keinginan dalam percaturan politik yang terjadi, seperti dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden yang baru berlalu di negeri ini telah mencerminkan hal itu.

Apakah ada keinginan dan kesadaran untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan demokratis, tetap mempertahankan status quo atau justru berspekulasi, itu tergantung pada budaya politik yang dianutnya. Begitulah, hubungan dan pengaruh dari budaya politik masyarakat tersebut secara faktual bisa dilihat dari masa-masa kampanye calon presiden-calon wakil presiden sampai dengan berlangsungnya pemilihan presiden-wakil presiden 5 Juli dan hasil perolehan suaranya yang diindikasikan kuat merefleksikan masyarakat yang tidak kritis.

Menurut penilaian banyak pengamat dan harapan berbagai kalangan di negeri ini, di antara 5 pasangan capres-cawapres kemarin sebetulnya Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo memenuhi kriteria yang paling unggul dan cocok untuk memimpin negara bangsa ini. Bahkan Tajuk Rencana HU Kompas (10 Mei 2004) menulis pasangan Amien Rais-Sisiwono adalah pasangan yang kompeten. Tetapi, ternyata hasil perolehan suara Dwi Tunggal ini tidak memungkinkan untuk masuk ke putaran kedua pemilihan presiden-wakil presdien 20 September nanti.

Masyarakat tidak Kritis?

(2)

lagi mengatakan belum. Secara sosiologis memang masyarakat kita sering dikelompokkan masih tradisional, paternalistik, dan tidak well educated. Mayoritas penduduk di negeri ini juga masih berdiam di pedesaan dengan kultur dan tradisinya yang memungkinkan untuk gampang dimanipulasi. Tetapi ada juga kelompok-kelompok masyarakat atau individu-individu di negeri yang masih krisis ini yang sudah memiliki sikap kritis, entah itu di kota atau di desa.

Seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Munif, “menurut saya masyarakat yang memiliki daya kritis hanya pada lapisan tertentu saja, yakni pada golongan intelektual.” Kemudian budayawan dari Yogyakarta ini menambahkan, “terus terang masyarakat pedesaan kurang kritis atau masih rendah. Contohnya, masyarakat menerima informasi secara sepihak dari partai politik atau tim sukses calon presiden, dan ini sudah lebih baik daripada zaman Orde Baru, tetapi meski begitu mereka tetap belum pandai betul dalam memilih pemimpinnya.”

Lain lagi pendapat Mochamad Nursyahid Purnomo, yang menurutnya masyarakat kita itu sudah kritis. Dalam pandangan Budayawan dari STSI Solo ini, “tingkat kesadaran kritis masyarakat itu sudah sampai menjalar ke pelosok-pelosok desa. Buktinya bisa dilihat dari hasil pemilihan (pilpres 5 Juli –Red.) kemarin.” Kemudian sambungnya dengan yakin, “rakyat sudah tahu betul pilihan mereka. Oleh karena itu rakyat pasti memilih siapa capres yang paling realistis dalam kampanye. Ini artinya bahwa rakyat sudah kritis.”

Kalau ukurannya adalah program yang realistis, kenapa capres yang dipilih itu bukan yang memiliki program kerja yang feasible dan keberpihakan yang tidak pura-pura terhadap rakyat? Berarti, sikap kritis masyarakat seperti itu masih perlu dipertanyakan. Ukuran kritis, dengan demikian, adalah tidak sederhana. Faktor kepentingan yang biasanya bersifat sesaat atau berjangka pendek dan ketidakmampuan berpikir panjang atas konsekuensi pilihannya merupakan aspek lain yang perlu dipertimbangkan.

(3)

ini terdiri dari tiga kategori, yakni tradisional, modern, dan posmodern. Direktur Eksekutif Pusat Kajian Dinamika Agama, Budaya dan Masyarakat PPS UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini lantas mengulasnya dengan panjang lebar, “pemilih tradisional masih menjadi mayoritas, sehingga benar ketika ada anggapan bahwa pemilih emosional lebih besar dibanding pemilih rasional. Pemilih tradisional lebih mengutamakan kolektivisme, tanpa melihat siapa capres itu. Ikatan emosional dari pemilih tradisional itu tidak bisa memandang antara benar atau salah.”

Kemudian lanjutnya, “sedangkan pemilih modern, mereka cenderung melihat capres kemarin atas pertimbangan mode atau trend. Biasanya capres yang dipilih atas pertimbangan seperti ini hanya akan berlaku sementara, sifatnya temporal. Adapun pemilih posmodern adalah mereka yang mempergunakan perhitungan-perhitungan selektif dan rasional. Namun persentasenya dalam pemilihan kemarin masih sangat sedikit.”

Kalau mengikuti kategorisasi tadi, berarti masyarakat yang kritis itu adalah masyarakat posmodern? Dilihat dari jenjang kemajuan masyarakat kita, jangankan masuk posmodern, menjadi modern pun belum tentu. Itu kalau posmodern dianggap sebagai kelanjutan dari modern, atau statusnya lebih tinggi daripada modern.

Dengan demikian, secara umum masyarakat kita ini memang belum kritis. Sikap masyarakat kritis atau masyarakat yang cerdas sebagaimana dikemukakan oleh Darmanto Djatman dan Trianto Tiwikromo, memang ada. Tetapi masih dalam jumlah yang sedikit atau hanya ada di tempat-tempat tertentu yang memperoleh pemberdayaan dan penyadaran dari tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga tertentu. Potensi untuk bersikap kritis sangat mungkin ada. Sehingga kata Sonny Farid Maulana, “masyarakat kita sekarang ini belum mampu menggunakan daya kritisnya secara maksimal karena tuntutan keadaan yang mendesak dan dilematis.”

Membangunkan Masyarakat

(4)

untuk membangunkan masyarakat atau memberdayakan mereka agar bisa bersikap kritis itu tidak mudah. Meski begitu, tetap saja usaha dan program kerja untuk mengubah sikap mental dan memperbarui cara berpikir masyarakat itu harus selalu dilakukan, agar mereka tidak lagi menjadi korban politik atau tumbal pembangunan. Pertanyaannya, siapa yang berkewajiban untuk melakukannya; dan bagaimana caranya?

Berbagai cara dan media sebetulnya bisa dicoba dan diterapkan untuk membangun kesadaran kritis masyarakat. Demikian pula, berbagai lembaga dan semua orang sebetulnya bisa ambil bagian dan peran untuk membangunkan masyarakat. Sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya, upaya untuk membangunkan masyarakat itu bisa dilakukan melalui media budaya, politik, pendidikan, jalur informal dan nonformal, dan sebagainya.

Dalam konteks pemilihan presiden, Sonny Farid Maulana mengusulkan langkah jangka pendek untuk membangun daya kritis masyarakat kita bisa dilakukan dengan memilih presiden yang pro-publik. Tetapi, apakah dua pasangan capres-cawapresi yang lolos putaran pertama pada 5 Juli kemarin itu adalah tipe yang pro-publik, merupakan tanda tanya besar. Karena tidak kritisnya masyarakat itu, capres-cawapres yang dinilai banyak pihak pro-publik justru tidak terpilih.

Masih menurut Sonny, “untuk jangka panjang peran-peran komunitas menengah yang terdidik bisa lebih maksimal untuk melakukan penyadaran dan pendampingan pada tingkat akar rumput.” Kemudian jurnalis dari Pikiran Rakyat di Bandung ini menambahkan, “peran LSM lebih kongkretnya tidak hanya melulu masuk dalam arus besar kebijakan pembangunan sosial dan politik saja, akan tetapi juga masuk pada persoalan-persoalan yang lebih kultural, seperti penyehatan pola pikir masyarakat.”

(5)

gerakannya lewat media, seperti radio-radio komunitas,” kata budayawan dari kota lumpia ini. Terus Dosen Fak. Psikologi Undip Semarang ini menambahkan, “LSM kecil yang bertebaran di seluruh pelosok negeri ini akan bisa menularkan sikap kritis kepada masyarakat, dan dengan demikian percepatan kesadaran warga ini akan jauh lebih cepat terlaksana.”

Sedangkan jalur lain yang bisa dimanfaatkan untuk membangunkan masyarakat juga sesungguhnya cukup banyak tersedia dalam kehidupan masyarakat kita, apakah melalui media pendidikan atau kebudayaan. Menurut Agus Maladi, “salah satu jalan untuk memperkuat daya kritis masyarakat saat ini adalah lewat pendidikan. Bagaimana pendidikan itu ditata kembali, kurikulumnya dibenahi, dan aspek-aspek lainnya diperbaiki.” Sedangkan melalui model pendidikan lain dan jalur kebudayaan, sastrawan dan pegiat Komunitas Lengkong Cilik di Semarang ini menyebutkan majelis ta`lim, pengajian, selapanan, dan yang sejenisnya, bisa dijadikan sarana untuk meningkatkan daya kritis masyarakat dan memunculkan kearifan lokal.

Kalau dilihat secara seksama, maka sebetulnya di masyarakat sendiri ada potensi yang bisa digali untuk menumbuhkan sikap kritis. Di samping itu, berbagai media dan lembaga juga lumayan banyak tersedia untuk menjalankan program atau aksi mengembangkan sikap kritis di masyarakat. Selain LSM, seperti yang dikatakan oleh Ahmad Munif, organisasi kemasyarakatan juga bisa memainkan peran penting dalam menumbuhkan daya kritis di masyarakat. “Oleh karena itu,” saran dari salah satu budayawan di Yogyakarta ini, “interaksi antara LSM, ormas dan masyarakat itu seyogianya ditingkatkan.”

(6)

Memperhatikan realitas politik masyarakat kita berikut dengan potensi dan lembaga-lembaga yang ada, maka yang mendesak dilakukan adalah menata jaringan dan mengorganisir kekuatan yang tersedia. Kekuatan yang berserak dan sumberdaya yang tidak terorganisir dengan baik akan memperlambat upaya untuk membangunkan masyarakat dari candu kehidupan yang menumpulkan daya kritis mereka. Itulah yang menjadi program mendesak untuk dilakukan bersama-sama sekarang untuk menjalankan agenda jangka panjang bagi kepentingan masyarakat. Memang susah untuk membangun masyarakat yang kritis, tetapi itu harus kita kerjakan.

[tulisan: tiar; bahan: k’ies, nafi, rif]

Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menjawab hipotesis ketiga maka dilakukan uji secara simultan (uji F). Dengan demikian hipotesis ketiga diterima. Hasil persamaan yang dilakukan secara manual dan

Melalui pengamatan gambar, siswa dapat menceritakan pengalaman yang mengesankan menggunakan kalimat yang runtut dan mudah dipahami dengan tepat..  Karakter siswa yang diharapkan

Periode penelitian yang berlangsung pada bulan Juli-Oktober dengan kondisi suhu udara yang relatif rendah, kecepatan angin tinggi dan tidak terlalu fluktuatif, serta curah hujan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, yang di dasarkan dari informasi statistik karena metode penelitian survey ini

1. Pendinginan produk perikanan baik segar maupun olahan dimaksudkan untuk memperlambat proses kemunduran mutu selama distribusi, pemasaran atau penyimpanan

Bersedia menjadi pembimbing skripsi yang berjudul: “Pembuatan Aplikasi Mobile Kegiatan Pelatihan dan Jadwal Mengajar Di PPA-FEUI Pada Platform Android dengan

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa semua komponen penyusun yang diujikan terdapat pada minyak pala baik yang berasal dari kepulauan maupun daratan.. Perbedaannya