MADHARAT
Oleh A. Hamzah
Sebuah keburukan (kebiasaan buruk) yang dapat mengakibatkan munculnya ekses negatif, baik
menyangkut kerugian bagi diri sendiri dan juga kepada orang lain, selalu diingatkan oleh Islam kepada para penganutnya.
Kendati segala perbuatan yang hendak dilakukannya tersebut sebetulnya tidak termasuk perbuatan yang dilarang agama, tidak juga haram tetapi jika nantinya akan dapat menimbulkan suatu keburukan yang lebih besar, yang akan menimpa kepada diri sendiri dan orang lain, sebaiknya urung untuk dilakukan atau sebaiknya dicegah agar tidak dilakukan.
Menimbang suatu perbuatan akan menimbulkan keburukan atau tidak, adalah pekerjaan manusia yang tidak mudah untuk dilakukan. Fase ini sangat membutuhkan suatu pertimbangan akal, instrospeksi yang
mendalam, dan perenungan yang sangat khusyuk.
Suatu perbuatan muncul terkadang tidak mesti melalui fase -fase instrospeksi dan perenungan, suatu perbuatan dapat terjadi dengan begitu saja, spontanitas, atau merupakan reaksi dari suatu rangsangan aksi. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut dapat ditimbulkan oleh faktor dari luar dirinya atau dari faktor dalam dirinya, sebagai contoh karena faktor dari luar adalah, seseorang dapat saja menjadi ‘kesetanan’ manakala menonton suatu pertunjukkan kesenian ( musik rock, ndangdut dsb) yang mengandung kesenangan di luar batas. Sedang faktor dari dalam, karena memang sejak awal ada keinginan untuk berbuat yang merugikan orang lain dan diri sendiri.
Sedang menimbang dan memilih melakukan perbuatan yang paling sedikit dapat menimbulkan madharat (keburukan) terhadap diri sendiri dan juga kepada orang lain, paling sering ditunjukkan oleh Rasulullah kepada umatnya dalam segala aspek kehidupannya. Ketika hendak memakan dan meminum sesuatu, harus dipilih makanan dan minuman yang baik, ketika hendak melakukan kerja memilih kerja yang aman dan sehat, ketika hendak memilih pasangan hidup memilih pasangan hidup yang berlatang belakang baik, mengemban amanat sebagai pemimpin memilih untuk melaksanakan tugas dengan baik dsb.
Menilai ‘kadar’ madharat sebelum melakukan sesuatu, saat ini bahkan sudah menjadi barang langka bagi para petinggi negeri , baik yang ada di legislatif, eksekutif, yudikatif, warga masyarakat, mahasiswa dll. Banyak bukti yang dapat mendukung hal itu, misalnya ditunjukkan jika dia kebetulan adalah seorang anggota DPR lebih memilih untuk mengadakan studi banding sambil belanja ke luar negeri ketimbang mengalokasikan dananya untuk memerangi dan membantu kemiskinan umat. Lebih baik memutuskan untuk memenangkan perkara dengan mendapat suatu imbalan dari seorang pengusaha daripada
memenangkan kepada si pencari keadilan buruh. Lebih baik menaikkan barang-barang ekonomi daripada menurunkan harga untuk meringankan beban hidup umat. Atau jika dia seorang mahasiswa, lebih suka narkoba daripada belajar Dsb.
Tetapi sebaliknya, sungguh amat mulia orang-orang yang melihat pemandangan ‘teraniaya’ tetapi memilih untuk memperjuangkannya untuk mencapai rasa keadilan dan kebenaran. Kendati terkadang ketika dalam memperjuangkan rasa keadilan dan kebenaran tersebut, mengandung risiko pada dirinya akan tertimpa musibah, tantangan, tindakan kasar, tekanan, teror dan bahkan mendapat benturan fisik.
Semua akibat tersebut bukanlah mengandung unsur madharat, melainkan suatu bentuk pengorbanan untuk memenangkan kebaikan yang ingin dicapai. Tindakan semacam ini, berkali-kali ditunjukkan oleh
Rasulullah dalam segala tindakannya untuk menyeru kebaikan kepada pihak-pihak yang melakukan perbuatan aniaya terhadap orang lain. Rasulullah berkali-kali mendapat ancaman fisik, tindakan fisik dan menjadi kurban dari perbuatan fisik.
Masalahnya adalah keadilan dan kebenaran yang ingin diperjuangkan Rasulullah adalah keadilan dan kebenaran yang sesuai dengan khaidah-khaidah syariat agama islam. Bukan keadilan dan kebenaran yang relatif, yang seringkali dipaksakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memenangkan tujuannya.
“Inandiina ngindallahi hil islamidiinaa”
“Agama yang benar di sisi Allah adalah agama Islam”
terutama yang terjun langsung di pelosok-pelosok kendati hidup dalam keadaan seadanya, perjuangan mereka pantas mendapatkan simpati dan tentu imbalan pahala dari Allah.
Dan para pelaku keburukan di negeri ini, orang-orang yang suka mengumbar madharat merajalela, yang semakin hari semakin banyak dipertunjukkan. Hendaknya suatu ketika akan melampaui batas maksimal untuk berhenti karena adanya peringatan dari Allah.
Bahkan mereka pantas mendapatkan peringatan, jika mereka tidak mau menghentikan segala bentuk perbuatan madharat yang semakin hari semakin mewabah.
Orang-orang semacam itu, tidak akan lagi dapat membedakan sinar indah yang dipancarkan oleh rembulan dan sinar terang yang dipancarkan oleh matahari. Karena malam adalah malam dan siang adalah siang. keduanya merupakan gejala alam yang berbeda. Sebagaimana yang baik adalah baik , dan yang madharat adalah buruk.
Maka sebaiknya kita ingat,
“Allaahhumma inni a’uudzu bika min qalbin laayaakhyaa’u wa mindu’aa-in laa yusma’u wa min nafsin laa tusyuba’u wa min ‘ilmin laayanfa’u a’uudzu bikaa min haa-ulaa-il-arba’l “
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’, doa yang tidak didengar, jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Aku berlindung kepada-Mu dari empat macam keburukan itu.”
***
Sumber: