DIALEKTIKA TAFSIR AL-
QUR’AN DAN
BUDAYA SUNDA
DALAM TAFSIR
Rawd}at al-
‘
Irfa>n Fi>
Ma’rifat
al-Qur
’
an
KARYA AHMAD SANUSI
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
MUHAMMAD LUTFI ROBANI NIM: E73213137
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Produk budaya merupakan media yang sangat bagus untuk menanamkan nilai-nilai budaya secara efektif. Nilai budaya ini perlu diajarkan dan dijaga agar tetap menjadi ciri khas bangsa. Salah satu produk budaya di bidang karya sastra adalah
tafsir karya Ahmad Sanusi yang diberi judul Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an
yang ditulis dalam lingkup sosial budaya Sunda. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan tentang faktor yang mempengaruhi Ahmad Sanusi untuk menulis kitab tafsir tersebut, metodologi penafsirannya serta bagaimana dialektika tafsir tersebut dengan nilai-nilai budaya Sunda?
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang datanya bersumber dari
kepustakaan (library research) dan wawancara. Penelitian ini dikaji dengan
pendekatan hermeneutika dan didukung dengan pendekatan historis antropologis
guna mengungkap dialektika tafsir al-Qur’an dengan nilai budaya Sunda. Sehingga
mewujudkan dialektika yang dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu tah}mi>l, tah}ri>m dan
taghyi>r.
Kemudian dapat disimpukan mengenai latar belakang Ahmad Sanusi menyusun kitab tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an adalah untuk lebih mempermudah dan memenuhi kebutuhan intelektual masyarakat Sunda dalam
mempelajari agama dan mendalami al-Qur’an. Dan metode yang digunakannya
adalah ijmali. Dilihat dari sumber penafsirannya, tafsir tersebut tergolong tafsi>r bi
al-ra’yi. Adapun corak atau aliran dari tafsir tersebut bersifat umum dan tidak
didominasi oleh suatu aliran tertentu, Dialektika tafsir al-Qur’an dengan budaya
Sunda membentuk 3 (tiga) pola dialektika; pertama tah}mi>l, adalah sikap apresiatif
dan menerima berlakunya suatu budaya. Kedua tah}ri>m, adalah sikap penolakan
terhadap berlakunya suatu budaya. Ketiga taghyi>r, adalah sikap menerima terhadap
tradisi, tetapi memodifikasinya hingga berubah karakter dasarnya.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... ii
ABSTRAK ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN... iv
PENGESAHAN SKRIPSI ... v
PERNYATAAN KEASLIAN ... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
PEDOMAN TRANSLITASI ... xiv
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian... 10
D. Signifikansi dan Kegunaan Penelitian... 11
1. Secara Teoritis... 11
2. Secara Praktis ... 11
E. Kerangka Teoritik ... 11
G. Metode Penelitian ... 15
1. Model dan Jenis Penelitian ... 16
2. Sumber Data Penelitian ... 16
3. Teknik Pengumpulan Data ... 17
4. Teknik Analisis Data... 18
H. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II: KEBUDAYAAN SUNDA DAN ASPEK DIALEKTIKANYA A. Suku Sunda ... 22
1. Kebudayaan Sunda ... 22
2. Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda ... 24
3. Islam dan Budaya Sunda ... 25
B. Adat dan Tradisi dalam Masyarakat Sunda... 27
1. Adat Istiadat... 27
2. Upacara Tradisional... 28
3. Pamali ... 33
4. Budaya Komunikasi Masyarakat Sunda ... 33
C. Nilai-nilai Sosial Kemasyarakatan ... 35
1. Harmoni Sosial ... 36
2. Pergaulan Hidup ... 36
D. Dialektika Teks dan Konteks ... 37
BAB III: AHMAD SANUSI DAN TAFSIR RAWD}AT AL-‘IRFA>N A. Mengenal Lebih Dekat Ahmad Sanusi... 43
1. Biografi Ahmad Sanusi ... 43
2. Aktivitas Ahmad Sanusi ... 46
C. Tentang Tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an ... 57
1. Latar Belakang Penulisan ... 57
2. Sumber Penafsiran... 60
3. Metode dan Corak Penafsiran ... 60
4. Sistematika Penafsiran ... 64
BAB IV: POLA DIALEKTIKA TAFSIR RAWD}AT AL-‘IRFA>N FI> MA’RIFAT AL-QUR’ANDAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA A. Tah}mi>l (Adoptive-Complement) ... 67
1. Statifikasi Bahasa (Undak-Ususk Basa) ... 68
2. Pergaulan Hidup (Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh) ... 73
B. Tah}ri>m (Destructive) ... 74
1. Masalah Zakat ... 74
2. Tradisi Abdaka Maula ... 76
C. Taghyi>r (Adoptive-Reconstructive) ... 79
1. Tradisi Pagelaran Wayang Golek ... 79
BAB V: PENUTUP 1. Simpulan ... 84
2. Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara terminologis, para ulama memberi rumusan definisi al-Qur’an
yang beragam, diantaranya:
Menurut as-Sabuni, al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang
diturnkan kepada Nabi dan Rasul terakhir melalui malaikat Jibril yang tertulis
dalam mushaf dan sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, membecanya
merupakan ibadah yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Nas.
Sedangkan menurut az-Zarqani, Alquran adalah kalam yang mengandung mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis di
dalam mushaf, dinukil dengan cara mutawatir, dan membacanyanya dalah ibadah.
Dua rumusan di atas menujukan sifat-sifat dari al-Qur’an, yaitu:
a) kalam Allah,
b) mengandung mu’jizat,
c) diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
d) melalui malaikat Jibril,
e) tertulis dalam mushaf,
f) disampaikan dengan jalan mutawatir,
g) membacanya merupakan ibadah, dan
2
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan
suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak
manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur’an al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.
Untuk memahami makna kandungan ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an dibutuhkan tafsir. Tafsir berasal dari kata al-Fasr berarti menyingkap
sesuatu yang tertutup. Karenanya ia dipahami sebagai penjelasan, penyingkapan,
serta penangkapan makna yang dipahami akal dari al-Qur’an dengan menjelaskan
makna yang sulit atau belum jelas.1 Berbeda dengan terjemah yang
mengalihbahasakan baik harfiyah maupun tafsiriyah secara terbatas, tujuan tafsir
diorientasikan bagi terwujudnya fungsi utama al-Qur’an sebagai petunjuk hidup
manusia menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.2
Penafsiran al-Qur’an telah dimulai sejak al-Qur’an itu disampaikan
Nabi Muhammad Saw kepada umatnya. Hal ini merupakan suatu kenyataan
sejarah yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun, termasuk oleh sejarawan Barat
dan Timur, baik muslim maupun nonmuslim. Fakta yang mendukung penafsiran
al-Qur’an sangat valid dan mutawatir sehingga tidak mungkin ditolak.3
Pada saat al-Qur’an diturunkan, Rasulullah SAW yang berfungsi
sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya
tentang arti dan kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang
1
Jajang A Rohmana, “Kajian Al-Qur’an di Tatar Sunda”. Suhuf: Jurnal Kajian Alquran, Vol.6 No.2 (November,2013), 213. Lihat Manna’ Al- Qattan, Mabahis Fi Ulumil Quran (Beirut: Mansurat Al-„Asr al-Hadis, t.th), 323.
2
Ibid., 214. Lihat Muhammad „Abduh, tafsir Al-Fatihah wa Juz ‘Amma, (Kairo: Al-Hay’ah Al
-„Ammah li Qusur as-Saqafah, 2007), 8.
3
3
tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan
wafatnya Rasulullah SAW, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut
tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau
karena memang Rasulullah SAW sendiri tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.
Adapun pada masa Rasulullah SAW, para sahabat menanyakan
langsung kepadanya persoalan-persoalan yang tidak jelas, maka setelah wafatnya,
mereka melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan
semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.
Sementara ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah,
khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur’an
kepada tokoh-tokoh Ahli Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih
lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang
disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para ta>bi’i>n, khususnya di
kota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirnya tokoh-tokoh tafsir baru dari
kalangan ta>bi’i>n di kota-kota tersebut, seperti: (a) Sa’id bin Jubair, Mujahid bin
Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas; (b) Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin
Ka’ab; dan (c) al-Hasan al-Bashriy, Amir asy-Sya’bi, di Irak, yang ketika itu
berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.4
4
4
Selanjutnya perkembangan penafsiran al-Qur’an pun sampai di
Indoneia, Perkembangan penafsiran al-Qur’an di Indonesia jelas berbeda dengan
yang terjadi di dunia Arab (Timur Tengah), tempat turunnya al-Qur’an sekaligus
tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan
berbedanya latar belakang budaya dan bahasa.5
Tafsir di Indonesia, kerap berangkat dari corak penafsiran yang
terkandung di dalamnya. Ini berkaitan dengan cara penyampaian dan klasifikasi
materi yang bermuara pada sejauh mana karya tafsir mudah dipahami oleh para
peminatnya. Vernakularisasi al-Qur’an baik lisan maupun tulisan berkembang
dihampir semua kawasan di Nusantara, jauh sebelum abad ke-16.6
Kemudian berkembang menjadi pembahasalokalan al-Qur’an ke dalam
bahasa lokal Nusantara. Misalnya Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Aceh, Mandar,
Gorontalo, Makassar-Kaili, Sasak dan lainnya. Upaya ini tidak berarti menafikan
tradisi pengkajian al-Qur’an Nusantara yang ditulis dalam bahasa Arab.7
Pandangan bahwa tafsir merupakan sebuah mekanisme kebudayaan,
berarti tafsir al-Qur’an diposisikan sebagai suatu yang khas insani. Hal ini
sekaligus mempertegas perbedaan dua entitas yaitu al-Qur’an sebagai wujud
kalam ilahi yang suci, di satu pihak. dan tafsir al-Qur’an sebagai karya manusia
yang profane, di pihak lain. Di samping itu, berdasarkan definisi yang
5
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia, 31.
6Rohmana, “Kajian Al
-Qur’an”, 200.
7
5
dikemukakan oleh para ulama,8 keberadaan tafsir al-Qur’an tidak bisa lepas dari
peran akal; potensi dasar terpenting yang dimiliki manusia sebagai pembentuk
kebudayaan.9 Jika segala sesuatu yang dihasilkan atau diperbuat oleh manusia
disebut sebagai kebudayaan, maka tafsir al-Qur’an sebagai hasil kerja akal
manusia pada dasarnya merupakan fenomena kebudayaan.10
Pemahaman tersebut didasarkan pada konsepsi kebudayaan sebagai
cipta, rasa dan karsa manusia, yang aktualisasinya hadir dalam tiga wujud.
Pertama, komplek ide-ide, gagasan, nilai, norma, dan aturan-aturan. Kedua,
komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga,
benda-benda hasil karya manusia.11 Wujud pertama disebut “kebudayaan ideal”,
wujud kedua disebut “system sosial” dan wujud ketiga disebut “kebudayaan
fisik”.12
Berdasarkan klasifikasi wujud kebudayaan tersebut, maka tafsir al-Qur’an
yang muncul dari gagasan seseorang (penafsir) setelah membaca dan memahami
ayat-ayat al-Qur’an dapat dikategorikan ke dalam wujud pertama, yaitu
kebudayaan ideal. Ketika gagasan itu dinyatakan lewat tulisan, maka lokasi
kebudayaan ideal tersebut terdapat dalam berbagai karanagan berupa kitab-kitab
tafsir. Dalam konteks inilah penafsiran al-Qur’an yang telah didokumentasikan
8
Di antara definisi itu menyebutkan bahwa tafsir adalah penjelsan, atau penyingkapan serta penampakan makna-makna yang dapat dipahami dengan akal (al-ma’qul). Baca Manna’ al -Qhaththan, mabahis fi Ulum al-Quran, 323. Sementara itu, al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir
adalah “ilmu yang membahas tentang al-Qu’ran al-Karim dari sisi dalalah (petunjuknya) sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Menurut batas kemampuan manusia”. Lihat al -Zaqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran, jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 3.
9Baca Musa Asy’ari,
Manusia pembentukan Kebudayaan dalam al-Quran (Yogyakarta: LESFI, 1992), 105.
10
Cornelis Anthonie van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 10-11.
11
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1975), 83.
12
6
dalam berbagai karya tafsir berupa teks tulisan pada dasarnya merupakan sumber
data yang dapat dianalisis dalam perspektif ilmu pengetahuan budaya.
Konsekuensi logis dari keberadaan tafsir al-Qur’an sebagai fenomena
kebudayaan adalah munculnya keragaman dalam tafsir al-Qur’an, baik bentuk
maupun corak. Munculnya keragaman itu merupakan suatu yang tidak dapat
dihindari, lebih kepada peran manusia sebagai pelaku pertama dalam proses
penafsiran al-Qur’an tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan keragaman
bentuk dan corak karya tafsir al-Qur’an itu. Faktor-faktor tadi tidak berdiri
sendiri, dalam arti satu faktor paling dominan, tetapi bergerak secara unteraktif
dan dinamik dalam proses penafsiran.
Salah satu faktor yang pengaruhnya sangat besar terhadap proses
penafsiran al-Qur’an dan hasil akhirnya adalah latar belakang sosio-budaya
mufassir. Hal ini dapat dipahami mengingat tafsir al-Qur’an merupakan hasil
kontruksi intelektual seorang mufassir dalam menjelaskan pesan-pesan wahyu
Allah yang tekandung di dalam al-Qur’an sesuai dengan kebutuhan manusia di
dalam lingkungan social dan budaya dengan kompleksitas nilai-nilai yang
melengkapinya. Al-Qur’an sebagai teks yang hadir dalam realitas budaya manusia
yang konkret dan beragam selanjutnya akan dipahami dan ditafsirkan berdasarkan
keragaman budaya manusia itu sendiri. Inilah salah satu hal yang dapat
menjelaskan mengapa interpretasi atau penafsiran terhadap al-Qur’an yang sama
tetapi hasilnya dapat berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat
7
Di antara unsur penting yang senantiasa ada dan melekat dalam
kebudayaan masyarakat adalah bahasa. Bahasa dan masyarakat merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan, karena bahasa dapat membentuk realitas, atau
dapat pula sebaliknya, bahasa merupakan refleksi dari realitas. Dengan kata lain,
bahasa merupakan perangkat social yang paling penting dalam menangkap dan
mengorganisasi dunia. Berbicara tentang bahasa tidak mungkin terlepas dari
budaya dan realitas masyarakat pengguna bahasa tersebut. Hal ini menurut Nasr
Hamid Abu Zaid bahkan berlaku pada teks al-Qur’an ketika ia diposisikan sebagai
wacana kebahasaan.13
Di Tatar Sunda, tafsir ditulis dan diajarkan dalam beragam bahasa.
Tafsir berbahasa Arab banyak beredar di pesantren, sementara umumnya tafsir
Sunda dan Indonesia banyak beredar di masyarakat. Di lingkungan pesantren,
tafsir Arab termasuk kedalam elemen inti kurikulum.14 Tafsir Sunda beraksara
pegon masih digunakan, meski terbatas di pesantren tradisional. Meski pesantren
Sunda banyak menggunakan tafsir Arab, seperti al-Jala>layn, tetapi bahasa
pengantarnya masih menggunakan bahasa lokal (Sunda atau Jawa).15
Kajian tafsir Sunda setidaknya dimulai sejak Mustafa menulis Qur’an
al ‘Adzim dalam aksara pegon sekitar awal abad ke-20. Pada saat yang sama,
Ahmad Sanusi juga produktif menulis beberapa tafsir Sunda dan Melayu, di
antaranya: Malja>’ al-T}a>libi>n fi> Tafsi>r Kala>m Rabb al- ‘Alami>n, Tamsyiyyat al-Muslimi>n Fie fi> Tafsi>r Kala>m Rabb al- ‘Alami>n, Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
13
Imam Muhsin, Tafsir Al-Quran dan Budaya Lokal; Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid (Badan LITBANG dan DIKAT Kementrian Agama RI, 2010), 4-7.
14Rohmana, “Kajian Al
-Qur’an”, 214.
15
8
Qur’an dan banyak lainnya.16Malja>’ al-T}a>libi>n merupakan tafsir Sunda beraksara pegon yang ditulis sampai juz 9 (Surah al-A’raf ayat 7) dalam 28 jilid tipis.
Sedang Rawd}at al-‘Irfa>n juga beraksara pegon ditulis dengan system terjemah
antar baris (interliner, logat gantung). tafsirnya diletakan di bagian pinggir.
Terdiri dari dua jilid (Juz 1 s/d 15 dan Juz 2 s/d 30). Tidak seperti tafsir
sebelumnya yang memicu polemik (Tamsyiyyat al-Muslimi>n), tafsir ini disambut
baik oleh para ulama pesantren dan masyarakat priangan. Tafsir ini bahkan telah
mengalami puluhan kali cetak ulang sampai lebih dari 50.000 eksemplar.17 Van
Bruinessen mencatat bahwa hingga 1990-an Rawd}at al-‘Irfa>nmasih menjadi salah
satu kitab pegangan sejumlah pesantren di Jawa Barat.18
Ahmad Sanusi adalah seorang putera Sukabumi yang pernah berkiprah
di panggung nasional di era 1920-an, pernah menorehkan tinta emas dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga tidak heran
apabila beliau diangkat sebagai salah satu perintis kemerdekaan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dan mendapat anugerah penghargaan Bintang Maha Putera
Utama pada tanggal 12 Agustus 1992 dan Bintang Maha Putera Adipradan pada
tanggal 10 November 2009 dari Presiden Republik Indonesia.19
Namun kiprah dan perjuangan yang ia lakukan nyaris terlupakan oleh
sejarah dan masyarakat Sukabumi khususnya dan masyarakat Jawa Barat pada
16
Ahmad Sanusi, Malja>’ al-T}a>libi>n, Batavia Centrum, Kantor Cetak Al-Ittihad, 1931/1949 H.; Ahmad Sanusi, Rawd}at al-‘Irfa>n,; Ahmad Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimi>n,; Tentang Sanusi, lihat Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kyai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001.
17Rohmana, “Kajian Al
-Qur’an” 214.
18
Ibid., 215.
19
9
umumnya, sehingga tidak mengherankan jika ada generasi muda tidak begitu tahu
dan mengenal sosok ketokohan Ahmad Sanusi, walaupun mereka mengenal
hanyalah sebatas nama jalan dan pendiri pondok pesantren Syamsul „Ulum
Gunungpuyuh yang ada di wilayah Kota Sukabumi.20
Sebagai seorang tokoh pendiri pesantren sekaligus pejuang
kemerdekaan, beliau memiliki berbagai macam pemikiran, salah satunya adalah
pemikiran keumatan yang ia buktikan sikapnya dengan memimpin organisasi
Al-Ittihaadiyatul Islamiyyah (AII), yang berubah menjadi Persatuan Umat Islam
Indonesia (PUII) dan melakukan fusi dengan Perikatan Umat Islam (PUI) dari
Majalengka yang dipimpin oleh K.H. Abdul Halim (teman seperjuangan ketika
bermukim di Mekkah al-Mukarromah) menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).
Organisasi ini oleh Ahmad Sanusi dimanfaatkan untuk sarana dakwah, pendidikan
dan perjuangan. Semangat perjuangan untuk membebaskan dari kebodohan,
penindasan, kemiskinan, penjajahan, dan lain-lain dalam konteks pergerakan
nasional, dibangun dan dikembangkan dengan dikemas dalam pembahasan tafsir
al-Qur’an.21 Dan kitab tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an yang merupakan kitab tafsir paling lengkap 30 Juz yang terbagi menjadi 2 jilid.
Sebagai sebuah karya tafsir, kitab tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an sangat menarik untuk dikaji terkait dengan karakteristik serta
model-model dialektika yang dilakukan Ahmad Sanusi ketika menafsirkan ayat
al-Qur’an. Salah satu hal yang menarik dalam kitab tafsir ini adalah penyebutan
jumlah kalimat hingga jumlah huruf di dalam beberapa surat. Kemudian
20
Ibid., 2.
21
10
penafsiran-penafsiran yang erat kaitannya dengan tradisi-tradisi yang ada pada
jaman penjajahan Belanda. Akan tetapi banyak dari para peniliti yang lebih
tertarik membahas tentang sejarah pergerakan dan perjuangan Ahmad Sanusi
dalam proses kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Agar lebih jelas dan memudahkan operasional penelitian, perlu
diformulasikan beberapa rumusan permasalahan pokok, sebagai berikut:
1. Apa faktor yang mempengaruhi serta mendorong Ahmad Sanusi untuk
menulis kitab tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an?
2. Bagaimana bentuk metode dan corak penafsiran yang digunakan Ahmad
Sanusi dalam tafsirRawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an?
3. Bagaimana dialektika tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an dengan
nilai-nilai budaya sunda?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi serta mendorong Ahmad Sanusi
untuk menulis kitab tafsir
2. Untuk mengetahui bentuk metode dan corak penafsiran dalam tafsir Rawd}at
al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui pola dialektika tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
11
D. Signifikansi dan Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini ada dua signifikansi yang akan dicapai yaitu
aspek keilmuan yang bersifat teoritis, dan aspek praktis yang bersifat fungsional.
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menemukan rumusan tentang
dialektika dan pola hubungan antara Ahmad Sanusi, al-Qur’an, dengan
lokalitas budaya Sunda, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam
memahami ajaran agama Islam dan nilai-nilai budaya yang mengakar dalam
struktur masyarakat Sunda.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam
pengembangan khazanah tafsir di Indonesia, khususnya untuk masyarakat
Sunda sendiri dan bangsa Indonesia pada umumnya.
E. Kerangka Teoritik
Penelitian ini memposisikan karya tafsir sebagai suatu fenomena
budaya. Budaya dalam hal ini diartikan sebagai keseluruhan cara hidup yang khas
dengan penekanan pada pengalaman sehari-hari. Oleh karena penelitian ini ingin
mengungkap dialektika tafsirRawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an dengan
nilai-nilai budaya Sunda, maka teori enkulturasi budaya merupakan teori yang tepat
untuk menganalisa kitab tafsir tersebut sebagai usaha untuk masuk dalam suatu
budaya, meresapi suatu kebudayaan, menjadi senyawa, dan membudaya dengan
12
Konsep kebudayaan itu sendiri mencakup aspek yang amat luas karena
meliputi hampir seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Namun demikian,
untuk kepentingan analisis konsep kebudayaan tersebut dapat dibatasi cakupannya
pada unsur-unsur universal yang ada dalam setiap kebudayaan. Menurut
Koentjaraningrat, unsur-unsur universal setiap kebudayaan di dunia meliputi tujuh
macam, yaitu system religi dan upacara keagamaan; system dan organisasi
kemasyarakatan; system pengetahuan; bahasa; kesenian; system mata pencaharian
hidup; serta system teknologi dan peralatan.22 Urutan-urutan ketujuh unsur
universal kebudayaan itu sekaligus menggambarkan tingkat kesukarannya dalam
menerima perubahan atau pengaruh yang disebabkan oleh kontak dengan budaya
lain.23
Dari berbagai unsur kebudayaan yang muncul dalam kehidupan
manusia di atas, bahasa menempati kedudukan yang sangat penting. Hal ini
dikarenakan bahasa merupakan medium utama dalam pembentukan dan
penyampaian makna-makna kultural. Selain itu, bahasa juga menjadi alat dan
medium yang dapat dipakai untuk membentuk pengetahuan tentang manusia dan
dunia social.24 Oleh karena itu, unruk memahami suatu kebudayaan, salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah dengan menyelidiki bagaimana makna
dihasilkan secara simbolis lewat praktik-praktik pemaknaan bahasa.25
22
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 2.
23
Imam Muhsin, Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal (Badan LITBANG dan DIKLAT KEMENAG RI,2010), 28.
24
Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, terj. Tim KUNCI Cultural Studies Ceter, (Yogyakarta: Bentang, 2005), 89. Lihat. Imam Muhsin, Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal (Badan LITBANG dan DIKLAT KEMENAG RI,2010), 29.
25
13
Jika bahasa merupakan medium utama yang digunakan dalam
pembentukan dan penyampaian makna-makna kultural, maka bahasa memiliki
kedudukan penting untuk memahami kebudayaan dan kontruksi pengetahuan
manusia. Hal ini terkait dengan kemampuan bahasa sebagai media komunikasi
yang dapat mengungkapkan cara berpikir manusia penggunanya. Demikian juga,
setiap tindakan hidup manusia dipengaruhi oleh bahasa, karena bahasa marupakan
kreasi dasar kultural mereka. Kata-kata dalam bahasa memiliki kemampuan untuk
membantuk pengalaman manusia, dan cara bertutur tentang pengalamannya itu
mengandung makna social serta psikologis tertentu.
F. Telaah Pustaka
Penelitian tentang karya tafsir yang ditulis oleh mufasir Indonesia
sudah banyak dilakukan oleh para sarjana. Sementara untuk objek penelitian tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an karya Ahmad Sanusi, sejauh pengetahuan
penulis belum ada penelitian secara spesifik dan komprehensif yang mengkajinya.
Meski demikian, ada artikel yang menyinggung secara sepintas tentang
tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an karya Ahmad Sanusi yang ditulis
oleh Jajang A. Rohmana, Kajian Al-Qur’an di Tatar Sunda “Suhuf: Jurnal Kajian
Al-Qur’an dan Kebudayaan”, 200. Dalam artikel yang diterbitkan Jurnal Kajian
Al-Qur’an dan Kebudayaan vol.6 No.2 (November,2013) ini, Jajamg A.
Rohmana menguraikan tentang banyaknya kajaian lokal al-Quran dengan
publikasi terbatas cenderung termarginalkan dan luput dari perhatian. Tafsir
14
Qur’an ke dalam tradisi Islam di tatar Sunda. Ia mencerminkan pengalaman
keagamaan orang Sunda (Jawa Barat). Pada arikel ini juga di fokuskan pada
publikasi terjemah dan tafsir Sunda sepanjang akhir abad 19 hingga sekaranng,
serta berusaha membuktikan bahwa berkembangnya kajian al-Qur’an di tatar
Sunda mencerminkan kuatnya pengaruh Islam yang direfleksikan ke dalam
apresiasi terhadap sumber utamanya. Kajian menunjukan bahwa ajaran Islam
tidak lagi di permukaan, tetapi sudah menjadi bagian dari identitas Islam di tatar
Sunda. Adapun penelitian tentang karya yang ditulis oleh ulama Sunda atau
penelitian-penelitian sejenis dengan objek penelitian yang penulis lakukan adalah
sebagai berikut:
1. Tesis karya Alam Tarlam dari STAIN Kediri magister program studi Ilmu
al-Qur’an dan Tafsir (IAT) dengan judul Tafsir Di Tanah Pasundan (Kajian
Metodologi Kitab Tafsir Raudlatul Irfan Fi Ma’rifat alQuran Karya K.H.
Ahmad Sanusi Surah al-Fatihah Ayat 1-7). Tesis ini memiliki titik fokus
pembahsan pada metodologi K.H. Ahmad Sanusi dalam menafsirkan
alQuran.
2. Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal (Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam
Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid) karya Imam Muhsin yang diterbitkan
oleh Badan Litbang dan Diklat KEMENAG RI, Desember 2010. Karya ini
mengungkap aspek lokalitas dalam karya tafsir. Objek formal penelitian ini
adalah Tafsir al-Huda karya Bakri Syahid dengan fokus kajian tentang
analisa bahasa yang menunjukkan adanya enkulturasi nilai-nilai budaya Jawa
15
melahirkan tiga pola hubungan antara al-Qur’an dan nilai-nilai budaya Jawa,
yaitu pola adaptasi, integrasi, dan negoisasi.
3. Skripsi karya Asep Mukhtar Mawardi dari IAIN Syarif Hidayatullah jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam dengan judul Haji Ahmad Sanusi (Riwayat
Hidup dan Perjuangannya). Dalam kajiannya, Asep Mukhtar Mawardi
Menjelaskan perjalanan hidup K.H. Ahmad Sanusi dari sejak lahir hingga
wafat serta menjelaskan kiprah beliau dalam perjuangan kemerdekaan NKRI
dan perjuangan keisalaman.
4. Skripsi karya Abdullah al-Mahdi dari UIN Syarif Hidayatullah Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dengan judul Rawd}at al-‘Irfa>n Fi>
Ma’rifat al-Qur’an. Dalam kajiannya, Abdullah al-mahdi menjelaskan
metodologi penafsiran yang digunakan Ahmad Sanusi dalam menafsirkan al-Qur’an pada tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya sebagaimana
disebutkan di atas, nampak bahwa belum ada pembahasan tentang dialektika tafsir
al-Qur’an dan nilai-nilai budaya Sunda khususnya tentang tafsirRawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an karya Ahmad Sanusi.
G. Metodologi Penelitian
Pada hakikatnya, penelitian merupakan suatu tindakan yang diterapkan
16
rasa ingin tahu.26 Meski demikian, dibutuhkan sebuah metode guna mewujudkan
penelitian yang akurat, jelas, dan terarah. Secara terperinci metode dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Model dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk
mendapatkan data tentang tujuan Ahmad Sanusi dalam menyusun tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an, metode penafsiran yang aplikasikan
oleh Ahmad Sanusi, serta dialektika tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
-Qur’an karya Ahmad Sanusi dengan nilai-nilai budaya Sunda melalui riset
kepustakaan dan disajikan secara deskriptif-analitis.
Artinya, penelitian ini akan mendiskripsikan motif dan kepentingan
Ahmad Sanusi dalam menyusun tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an,
langkah-langkah metodis yang ditempuh Ahmad Sanusi dalam menafsirkan al-Qur’an, serta menyingkap ideologi yang terselip dibalik penafsirannya ketika
bersinggungan dengan konstruksi sosial-budaya Sunda di mana karyanya
diproduksi.
2. Sumber Data Penelitian
Data primer27 dalam penelitian ini adalah karya Ahmad Sanusi yang
berhubungan langsung dengan aspek penafsirannya, yaitu tafsir Rawd}at
al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an. Selain itu, juga menyertakan kitab-kitab karya
26
Moh. Soehada, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta: Suka Press, 2012), 53.
27
17
Ahmad Sanusi yang lain untuk memetakan pemikirannya serta
mengidentifikasi kegelisahan intelektualnya. Sebagai sumber sekunder,28 dan
karya-karya tulis berupa buku atau artikel yang membahas tentang teori yang
dipakai oleh Ahmad Sanusi dalam menafsirkan al-Qur’an serta bagaimana
dialektika yang terdapat dalam karya tafsirnya dengan nilai-nilai budaya lokal
Sunda, antara lain:
a. Metodologi Penelitian al-Qur’an karya Nashruddin Baidan.
b. Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir karya Abdul Mustaqim.
c. Antropologi al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya karya Ali
Sodiqin.
d. Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal karya Imam Muhsin.
e. Tata bahasa dan ungkapan bahasa Sunda.
f. K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan
Nasional karya Munandi Saleh
g. Wawancara dan interview kepada keluarga Ahmad Sanusi dan muridnya
serta sejarawan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang menyangkut aspek tujuan, metode penafsiran al-Qur’an
Ahmad Sanusi, dan dialektika penafsiran Ahmad Sanusi dengan nilai-nilai
budaya Sunda ditelusuri dari tulisan Ahmad Sanusi sendiri yang notabenenya
sebagai sumber primer, yaitu tafsirRawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an.
28
18
Sedangkan data yang berkaitan dengan biografi, latar belakang
pendidikan, karir intelektual dan lain-lainnya dilacak dari wawancara kepada
keluarga, murid-murid, serta tokoh-tokoh agama di daerah Gunung puyuh,
Sukabumi. Selain itu, untuk analisis metode penafsirannya dilacak dari literatur
dan hasil penelitian terkait. Sumber sekunder ini diperlukan, terutama dalam
rangka mempertajam analisis persoalan.
4. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan
dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Setelah itu dilakukan
kajian mendalam atas data-data yang memuat objek penelitian dengan
menggunakan content analysis.29 Dalam hal ini content analysis digunakan
untuk menganalisa tujuan, langkah-langkah metodis, dialektika tafsir Rawd}at
al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an dengan nilai-nilai budaya Sunda, dan ideologi
yang tersembunyi dibalik penafsiran Ahmad Sanusi dalam tafsir Rawd}at
al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an.
Metode analisis data yang diterapkan melalui pendekatan hermeneutik.
Peran hermeneutik untuk mengungkap episteme yang digunakan Ahmad
Sanusi dalam membangun metode tafsirnya, menunjukkan hubungan triadic
dalam proses kreatif penafsirannya, serta kondisi-kondisi di mana Ahmad
29
19
Sanusi memahami teks al-Qur’an. Selain itu digunakan analisis wacana kritis
untuk menyingkap kepentingan dan ideologi yang terselip dibalik bahasa yang
digunakan dalam penulisan tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an.
Analisis ini menekankan pada proses produksi dan reproduksi makna. Artinya,
individu tidak dipandang sebagai subjek netral yang bisa menafsirkan secara
bebas sesuai dengan pikirannya, sebab proses itu dipengaruhi oleh kekuatan
sosial yang ada dalam masyarakat.
Selanjutnya, untuk memaparkan kondisi objektif latar belakang kultur,
pendidikan, dan kondisi sosial-budaya yang melingkupi kehidupan Ahmad
Sanusi, terutama yang memberi inspirasi bagi tujuan menulis tafsir Rawd}at
al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an dan rumusan metode penafsirannya digunakan
pendekatan thaqa>fi>-ijtima>‘i> yaitu sebuah pendekatan yang menempatkan
nilai-nilai sosisal dan budaya kemasyarakatan sebagai acuan dalam mengelaborasi
pesan-pesan suci al-Qur’an sehingga dengan demikian diperoleh pemahaman
yang bersifat kultur-kontekstual. Dengan menggunakan pendekatan tersebut
itulah sebuah tafsir berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal tersebut
dilakukan melalui proses dialektika tripartite antara al-Qur’an sebagai objek
yang ditafsirkan, warisan budaya pengarang, dan kondisi social yang
melingkupinya.30
Namun demikian, karena tidak semua yang diartikulasikan Ahmad
Sanusi bisa dipahami secara mudah, maka perlu dilakukan telaah persoalan
yang sama dari sumber lain dengan memanfaatkan analisis perbandingan.
30
20
Analisis perbandingan ini menjadi krusial, terutama dalam membantu
memahami di mana Ahmad Sanusi selayaknya ditempatkan dalam sejarah
penafsiran al-Qur’an. Selanjutnya, untuk menarik kesimpulan dari analisis data
digunakan metode deduksi31 dan induksi.32
H. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai
dengan keperluan kajian yang akan dilakukan. Bab pertama menjelaskan latar
belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
kerangka teoretik, penelitian terdahulu, metode penelitian serta sistematika
pembahasan, sehingga posisi penelitian ini dalam wacana keilmuan tafsir al-Qur’an akan diketahui secara jelas.
Bab kedua menjelaskan mengenai struktur masyarakat Sunda,
sosio-kultur masyarakat Sunda, dan nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat
Sunda dengan beberapa aspeknya. Bahasan ini dimaksudkan sebagai dasar pijakan
menetapkan kriteria dalam menemukan dan memposisikan dialektika tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al-Qur’an karya Ahmad Sanusi dan nilai-nilai
budaya Sunda.
Bab ketiga mengungkap perkembangan intelektualitas Ahmad Sanusi
dan sisi kehidupan yang mengitarinya, sehingga perlu untuk membahas berbagai
macam dimensi yang mempengaruhi pemikiran Ahmad Sanusi secara umum dan
31
Metode deduksi yaitu cara menarik kesimpulan pengetahuan yang didasarkan pada suatu kaidah yang bersifat umum. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Vol.1 (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1974), 48.
32
21
metode penafsirannya secara khusus. Untuk memperjelas pokok bahasan, akan
diungkap biografi, latar belakang pendidikan dan karir intelektualnya, kondisi
sosio-kultur, dan peran Ahmad Sanusi dalam kajian tafsir. Selain itu, akan dibahas
latar belakang Ahmad Sanusi menulis tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
-Qur’an, metode, dan corak penafsiran yang digunakan oleh Ahmad Sanusi sebagai
bentuk ekspresi intelektualnya ketika bersinggungan dengan konstruksi
sosial-budaya di mana karyanyadiproduksi serta karya-karya Ahmad Sanusi.
Bab keempat akan dilakukan analisis terhadap penafsiran Ahmad
Sanusi serta uraian tentang dialektika tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
-Qur’an dengan nilai-nilai budaya Sunda. Setelah itu dilanjutkan dengan
pengelompokan pola dialektika antara tafsir Rawd}at al-‘Irfa>n Fi> Ma’rifat al
-Qur’an dengan nilai-nilai budaya Sunda ke dalam tiga pola: pertama tah}mi>l,
adalah sikap apresiatif dan menerima berlakunya suatu budaya. Kedua tah}ri>m,
adalah sikap penolakan terhadap berlakunya suatu budaya. Ketiga taghyi>r, adalah
sikap menerima terhadap tradisi, tetapi memodifikasinya hingga berubah karakter
dasarnya..
Bab kelima merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari
uraian-uraian yang telah dibahas dan diperbincangkan dalam keseluruhan
penelitian. Bahasan ini sebagai jawaban terhadap masalah-masalah yang diajukan
BAB II
KEBUDAYAAN SUNDA DAN ASPEK DIALEKTIKANYA
A. Suku Sunda
Secara antropologi-budaya dapat dikatakan, bahwa yang disebut suku
bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan
bahasa-ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta
bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah
Pasundan atau Tatar Sunda.1
1. Kebudayaan Sunda
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Bab XIII Pasal 32
dikatakan, kebudayaan bangsa ialah yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai
puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai
kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab,
budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan
bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.2
Kebudayaan tampil sebagai perantara yang secara terus menerus
dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi
1
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2010), 307.
2
23
kebudayaan tersebut. Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan
untuk memahami agama yang terdapat pada dataran empiriknya atau agama yang
tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengalaman agama yang
terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama yaitu
wahyu melalui penalaran. Misalnya kita membaca kitab fikih, maka fikih yang
merupakan pelaksanaan dari nash al-Qur’an maupun hadis sudah melibatkan unsur
penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian agama menjadi membudaya
atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya
yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat
tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan
tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama. Misalnya manusia
menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul bermasyarakat, dan sebagainya.
Islam di Tatar Sunda muncul dalam wajah yang lebih egaliter, harmonis,
jauh dari kekerasan struktural maupun kultural dan memiliki kepribadian yang jauh
lebih dari sekedar Islam dalam arti sebatas fenomena saja. Oleh sebab itu, maka
Islam di Tatar Sunda layak menjadi Islam sebuah mazhab. Bila kita melihat konteks
mazhab-mazhab hukum Islam, maka mazhab-mazhab tersebut pada awalnya dibentuk
berdasarkankan klaim daerah, seperti mazhab Irak, Madinah, Bashrah, dan Kufah.
24
berdasarkan daerah menjadi organisasi berdasarkan kesetiaan kepada tokoh tertentu.
Perubahan ini dimulai pada periode asy-Syafi’i.3
Fenomena di atas kiranya dapat disaksikan di Tatar Sunda, dimana
keberadaan Islam di Tatar Sunda dapat diibaratkan seperti gula dan manisnya karena,
dalam kenyataannya, perkembangan Islam di Tatar Sunda seiring sejalan dengan
local genium (kondisi asli) masyarakat Sunda itu sendiri. Islam lebih mudah
berinteraksi dengan sistem dan nilai yang berlaku pada saat itu. Disinilah titik
pertemuan antara Islam dengan kebudayaan Sunda dapat lebih dimaknai.4
Kemudian yang dimaksud dengan mazhab dalam tulisan ini adalah
mazhab dalam arti tradisi Islam, bukan dalam pengertian hukum (fikih atau ushul
fikih). Dengan demikian Islam mazhab Sunda dapat dikatakan sebagai Islam yang
mendasarkan cara pandangnya kepada ajaran-ajaran Islam yang masuk ke dalam
tradisi masyarakat Sunda sehingga menghasilkan tradisi Islam yang bercorak lokal
akibat dari perpaduan antara ajaran-ajaran Islam dengan kultur dan tradisi
masyarakan Sunda.5
2. Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda
Masyarakat Sunda adalah salah satu suku di Indoneisa yang mayoritas
beragama Islam. Sekitar 80% masyarakat Sunda beragama Islam dan sisanya
beragama Katolik, Kristen, Hindu dan Buddha. Dalam kehidupan masyarakat Baduy,
3Deden Sumpena: “Islam dan Budaya Lokal”.
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 6, No. 19 Edisi Januari-Juni 2012, 109.
4
Ibid.
5
25
meskipun mereka telah mengenal agama Islam, namun dalam praktik kehidupan
sehari-harinya mereka masih menjalankan praktik-praktik sinkretisme dan mistik.6
3. Islam dan Budaya Sunda
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah swt kepada Rasulullah
saw, melalui malaikat Jibril untuk disampaikan kepada umatnya agar mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.7 Lebih jelas, Ambary (1997) menjelaskan bahwa
Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah swt yang
ajaran-ajaran-Nya terdapat dalam kitab suci al-Qur’an dan Sunnah dalam bentuk perintah
-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di
dunia maupun diakhirat.8
Islam yang merupakan representasi dari nilai-nilai al-Qur’an memberikan
kebebasan pada manusia untuk mencari sendiri berbagai hal yang dapat disebut
dengan perinsip sekunder. Hal demikian dikarenakan agama adalah sesuatu yang
berkembang sesuai dengan perkembangan pemeluknya. Dan setiap pemeluk agama
mempunya tradisi budaya yang diwarisi dan dikembangkan juga dari generasi ke
generasi atau turun-temutun. Dalam perkembangan itu terjadi interaksi antar
keyakinan keagamaan dan ajaran-ajaran yang sering dianggap suci serta kreativitas
manusia serta budayanya yang dianggap profan.9
6
Rohmat Kurnia, Mengenal Keanekaragaman Suku Sunda (Depok: CV. Arya Duta, 2011), 54
7Ujang Saefullah, “Dialektika Komunikasi, Islam, dan Budaya Sunda”,
Jurnal Penelitian Komunikasi, Vol. 16 No. 1 (Juli, 2013), 75.
8
Ambary, dkk, Ensiklopedia Islam 2 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve), 26.
9
26
Sedangkan budaya Sunda atau kebudayaan Sunda merupakan manifestasi
gagasan dan pikiran serta kegiatan, baik yang abstrak maupun yang berbentuk
bendawi sekelompok manusia yang disebut atau menamakan dirinya sebagai orang
Sunda.10
Islam dan kebudayaan adalah dua hal yang dapat dibedakan meskipun
tidak dapat dipisahkan. Islam adalah agama yang berasal dari wahyu Allah.
Ajaran-ajarannya bersifat teologis karena didasarkan pada kitab suci al-Qur’an. Kebudayaan
didefinisikan sebagai hasil cipta, karsa, dan karya manusia sehingga bersifat
antropologis. Ruang lingkup kebudayaan meliputi keseluruhan cara hidup yang khas
dengan penekanan pada pengalaman sehari-hari. Makna sehari-hari meliputi: nilai
(ideal-ideal abstrak), norma (prinsip atau aturan-aturan yang pasti) dan benda-benda
material/simbolis. Makna tersebut dihasilkan oleh kolektivitas dan bukan oleh
individu, sehingga konsep kebudayaan mengacu pada makna-makna bersama.11
Secara teologis, keislaman orang Sunda sama saja dengan yang dianut
oleh penduduk Nusantara yang akhirnya sangat dominan adalah Islam yang fikihnya
adalah Syafiiyah, aqidahnya adalah asyariyah, dan tasawufnya adalah Sunni yang
aneka ragam. Akan tetapi dari sudut pengembangan budaya, Islam yang diserap dan
jadi agama masyarakat adalah Islam yang tidak atau kurang memberi dorongan bagi
kemajuan kebudayaan. Kemudian secara sosiologis, masyarakat Sunda sudah adaptasi, integrasi dan negosiasi. Pila yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan yang dipetakan Ali Sadiqin sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Lihat Imam Muhsin, Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal (t.k.: Badan Litbang dan Diklat KEMENAG RI, 2010), 233-258.
10
Ajip Rosidi, Masa Depan Budaya Daerah (Jakarta: Pustaka Jaya, 2010), 58.
11
27
dibangun sesuai dengan aspek tertentu dari sistem masyarakat Islam, dalam arti
hubungan antara individu dengan kegiatan masyarakat banyak berdasarkan prinsip
Islam.12
Sikap Islam terhadap budaya lokal yang ditemuinya dapat dipilah menjadi
tiga, yaitu menerima dan mengembagkan budaya yang sesuai dengan prinsip Islam,
menolak tradisi dan unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan prinsip Islam serta
membiarkan saja.13
B. Adat dan Tradisi dalam Masyarakat Sunda 1. Adat Istiadat
Dalam adat-istiadat masyarakat Sunda lama dikenal beberapa kebiasaan.
Misalnya, saat bayi masih dalam kandungan ada berbagai macam upacara dan
pantangan yang harus dijalankan. Seorang ibu yang sedang hamil sering mempunyai
keinginan atau perilaku yang aneh-aneh. Hal ini dianggap sebagai “bawaan” bayi
yang dikandungnya. Ada ungkapan nurut buat, artinya yang dilakukan orangtua si
bayi dapat berpengaruh pada bayi yang dikandung sehingga ayah si bayi, misalnya,
dilarang menyembelih atau menyabung ayam karena bisa berpengaruh buruk kepada
si bayi. Ketika usia kandungan sudah mencapai delapan bulan, biasanya diadakan
12Ujang Saefullah, “Dialektika Komunikasi”, 75.
13
Tipologi ini juga tidak jauh berbeda dengan pemetaan Ali Sadiqin dan Imam Muhsin. Hal ini menegaskan bahwa teks apapun tidak berangkat dari ruang hampa. Oleh karena itu, sebagai teks
28
upacara selamatan bubur lolos agar si bayi dapat dilahirkan dengan lancar.14
Contoh diatas yang berlaku di masyarakat Sunda dahulu, sebagiannya
masih dilakukan oleh masyarakat Sunda sekarang. Bila seorang bayi sakit panas, si
ibu menyembur si bayi dengan kunyahan panglay (semacam kunyit besar), dan
membakar kemenyan. Di sini tampak, bahwa penyembuhan dengan mengandalkan
obat tradisional dibarengi dengan usaha yang lebih bersifat adikodrati (supranatural).
Bila seorang bayi menangis terusmenerus, dibakarkan kemenyan pada tempat
tembuni dikubur atau tempat menghanyutkannya karena tembuni dianggap sebagai
saudara kembar si bayi. Adat kebiasaan tersebut menunjukkan, bahwa masyarakat
Sunda dahulu sebenarnya sudah mengenal budaya sehat yang berkaitan dengan
kehidupan seorang manusia saat masih dalam kandungan dan ketika baru lahir,
meskipun mereka menghubungkan gejala tentang sesuatu dengan hal-hal yang
abstrak.15
2. Upacara Tradisional
Upacara tradisional mengandung kegiatan sosialisasi di mana rasa
keterlibatan bersama dari anggota masyarakat penduduknya mendorong mereka
untuk berperan serta hingga mempertebal rasa solidaritas kelompok. Dalam upacara
tradisional akan terungkap bebagai nilai sosial secara simbolis yang dapat dihayati
oleh anggota masyarakatnya. Nilai-nilai yang dijumai merupakan pendorong proses
14
Nina H. Lubis, Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda (Bandung: Humaniora Utama Press, 2000), 127.
15
29
sisoalisasi bagi anggota masyarakatnya untuk menyiapkan diri menjadi anggota
masyarakt yang lebih dewasa dan dapat diterima oleh lingkungannya.
Norma-norma dan nilai-nilai budaya dalam kehidupan yang dianut dalam
masyarakat akan menjadi pedoman bagi tiap warga masyarakat dalam tatanan
pergaulan masyarakat yang bersangkutan. Upacara tradisional merupakan salah satu
pengokoh norma-norma dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh warga
pendukungnya. Nilai-nilai budaya yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat
pendukungnya akan tetap bertahan. Sebagai unsur budaya yang tinggi hal itu harus
tetap dipertahankan, dilestarikan, dan dikembangkan hingga dapat menunjang
terwujudnya kebudayaan nasional dan bisa diterima dalam masyarakat Indonesia di
daerah mana pun atau dari kelompok sosial apa pun.
Kebudayaan Indonesia yang mengandung nilai-nilai yang luhur harus
tetap dipelihara dan dilesatrikan. Upacara tradisional yang hingga kini masih
berfungsi dan didukung oleh masyarakat banyak yang mengandung hal-hal positif
untuk memperkaya dan mempertinggi kebudayaan bangsa Indonesia. Bentuk-bentuk
kebudayaan sebagai pengejawentahan pribadi manusia Indonesia banyak yang
menunjukkan nilai hidup dan makna kesusilaan yang dijiwai Pancasila. Sedangkan
kebudayaan itu sendiri banyak yang merupakan penghayatan nilai-nilai leluhur,
sehingga tidak dapat dipisahkan daripada manusia budaya Indonesia sebagai
pendukungnya.16 Salah satu dari segi kebudayaan adalah adat istiadat, sesuai dengan
16
30
semboyan “Bhineka Tunggal Ika” di Indonesia terdapat beraneka ragam adat yang
semuanya itu menjadi milik bangsa.
Upacara tradisional kematian di Jawa Barat merupakan salah satu bagian
dari adat istiadat masyarakat Jawa Barat, di samping upacara kelahiran, khitanan, dan
perkawinan. Upacara tersebut sampai saat ini masih bersifat tradisional dan masih
berfingsi serta dilaksanakan oleh masyarakat pada waktunya. Tidak berbeda jauh
dengan upacara tradisional kematian yang ada di Jawa. Bahakan sudah menjadi
tradisi pada masyarakat Jawa dan Sunda, apabila ada orang atau keluarga yang
meninggal, malam harinya ada tamu-tamu yang bersilaturahmi baik itu kerabat,
tetangga dekat maupun jauh. Mereka ikut berbela sungkawa atas orang yang
meninggal maupun yang ditinggalkan.17 Upacara Tradisional kematian yang
mengandung nilai-nilai budaya tinggi, yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat,
penting dan perlu diinventarisasikan dan didokumentasikan agar tidak pernah dan
tetap berfungsi. Hal ini perlu dilakukan dengan deskripsi penyelenggaraan upacara,
perlengkapannya, segala hal yang berkaitan dengan upacara, dan berbagai lambang
yang terkandung di dalamnya.
Seperti yang telah disebutkan bahwa upacara tradisional kematian di Tatar
Sunda tidak berbeda jauh dengan upacara tradisional kematian yang ada di Jawa.
Sebagai contoh adalah upacara tradisional kematian yang ada di Sukabumi, tepatnya
di tanah kelahiran Ahmad Sanusi yaitu, Desa Cantayan Kecamatan Cikembar. Di
Desa Cantayan terdapat sebuah tradisi pemberitahuan jika ada orang yang meninggal
17
31
dunia ialah dengan bunyi bedug, atau melalui pengeras suara di masjid-masjid.
Setelah keluarga, kerabat, dan tetangga berkumpul, segera disiapkan segala keperluan
untuk mengurus jenazah. Pada saat itu juga secara bergotong royong mereka
menyiapkan kuburan, padung, gebog, air secukupnya, sabun, handuk, boeh, dan
kapas.18
Jenazah dibaringkan pada gebog yang sudah disediakan, kemudian
dimandikan oleh tokoh masyarakat yang dibantu oleh beberapa orang. Setelah bersih
kemudian jenazah diwudlukan oleh petugas. Setelah selesai dimandikan, jenazah
dibawa ke dalam rumah untuk dikeringkan dengan handuk. Setelah kering, bagian
persendihan jenazah ditutup dengan kapas seperti hidung, telinga, dan kemaluan,
serta diberi bedak di muka jenazah. Setelah itu dibungkus dengan kain kafan.19 Kain
pembungkus jenazah (kafan) terdiri atas tiga lapis untuk laki-laki,20 dan jenazah
wanita memakai kerudung. Setelah selesai dikafani, jenazah dibaringkan membujur
dari utara ke selatan. Kepala di sebelah utara dan kaki di sebelah selatan.21
Selanjutnya jenazah yang sudah selesai dikafani tersebut dimasukkan ke
dalam pasaran (keranda) dan siap dibawa ke masjid untuk disembahyangkan. Selain
di masjid, kadang-kadang sembahyang jenazah dilaksanakan pula di halaman.
Sembahyang jenazah ini diikuti oleh keluarga, kerabat dan tetangga. Yang bertindak
sebagai imam biasanya yang dianggap sebagai tokoh agama. Selesai
18
Depdikbud, Upacara Tradisional , 95.
19Moh. Khairudin, “Tradisi Selametan Kematian dalam Tinjauan Hukum Islam dan Budaya”
.Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 2, Juli 2015, 54.
20
Ibid.
21
32
disembahyangkan, selanjutnya jenazah dibawa ke kuburan. Kedalaman kuburan
kurang lebih dua meter. Kemudian mayat diusung ke dalam lubang lahat. Para
pengantar membacakan doa. Setelah dibaringkan, tubuh jenazah ditutup dengan
padung, lalu ditimbun dengan tanah kembali.22
Pada hari pertama meninggalnya seseorang, setelah melakukan
penguburan, biasanya disebut nyusur tanah.23 Namun, di Desa Cantayan terdapat
tradisi yang agak lain yaitu Jenazah tidak pernah ditangguhkan penguburannya,
meskipun ada orang meninggal dunia pada malam hari. Begitu pula umumnya
masyarakat di Desa Cantayan tidak pernah melaksanakan tradisi nyusur taneuh,
tiluna, tujuhna, matang puluh, natus dan seterusnya. Meskipun demikian ada juga
sebagian kecil anggota masyarakat yang melaksanakannya.24
3. Pamali (pantangan/larangan)
Dialektika ini merupakan nasihat-nasihat yang tidak boleh dilakukan dan
sudah menjadi norma budaya yang mengikat bagi seluruh masyarakat Sunda.25
Dialektika pamali tersebut merupakan produk budaya yang dihasilkan masyarakat di
Tatar Sunda. Karena kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah hasil dari cipta,
karsa, dan rasa (manusia).26
Bagi masyarakat Sunda, orangtua sering memberikan nasihat-nasihat
22
Ibid,. 96
23
Capt. R. P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa; Roh, Ritual, Benda Magis (Yogyakarta, LKis, 2007), 147.
24
Depdikbud, Upacara Tradisional . 95.
25Saefullah, “Dialektika Komunikasi”, 79 .
26
33
berupa larangan-larangan kepada anaknya, tujuannya agar mereka tidak sembarangan
melakukan kesalahan atau melanggar sesuatu hal yang dilarang. Hal ini mereka
anggap efektif karena anak-anak akan patuh apabila diceritakan sesuatu yang
membuat mereka takut. Orangtua terkadang memberi nasihat dengan jalan
menceritakan para leluhur dan menakut-nakuti dengan sesuatu agar lebih mudah
melekat dalam hatinya dan bertambah kepercayaannya, cukup dengan perkataan: jangan melakukan sesuatu yang dianggap tabu, diantaranya: “tidak boleh bermain
pada waktu matahari terbenam, bisa diganggu setan”; “jangan makan makanan yang
masam-masam pada saat matahari sudah terbenam mengakibatkan ditinggal mati ibunya”; “tidak boleh melangkahi padi, akibatnya mendapat penyakit yang
disebabkan oleh setan”.27
Seperti yang diuraikan di atas, dialektika pamali (panatangam/laranga)
yang diberikan oleh orangtua tidak lebih untuk menasihati anak-anaknya agar mau
memperhatikan dan menghormati perkataan yang disampaikan kepadanya. Mereka
ditakut-takuti, tujuannya agar ia dapat menyadari bahwa apabila ia melakukan
kesalahan akibatnya akan ia tanggung sendiri. Sehingga kedepannya ia dapat menjadi
manusia yang beragama, mengetahui baik dan buruk, dan berperilaku sopan.
4. Budaya Komusikasi Masyarakat Sunda
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare yang artinya
memberitahukan. Kata tersebut kemudian berkembang dalam bahasa inggris
27
34
communication yang artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan,
perasaan dan lain-lain antara dua orang atau lebih. Secara sederhana dapat
dikemukakan pengertian kominikasi, ialah proses pengiriman pesan atau
simbol-simbol yang mengandung arti dari seorang sumber atau komunikator kepada seorang
penerima atau komunikan dengan tujuan tertentu.28
a. Budaya Rengkuh
Budaya rengkuh adalah ungkapan menghormati orang lain yang dianggap
lebih tua dengan cara membungkukkan badan. Sebagai contoh ketika seseorang
berjalan melintasi kerumunan, maka orang tersebut akan membungkukkan badan
seraya berkata punten dan lain sebagainya. Kemudian ketika hendak bersalaman atau
memulai percakapan dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya, maka
kecenderungan yang terjadi adalah orang tersebut membungkukkan badannya sebagai
bentuk penghormatan bagi orang lain. Kemudian contoh lain ketika berbicara
terhadap orang yang lebih tua, guru, atau kyai/ajeungan, maka tidak hanya
membungkukkan badan, tetapi intonasi suara pun ikut direndahkan. Orang Sunda
pada umumnya tak sungkan untuk mengajak bertamu bahkan menyuguhkan makanan
kepada orang yang baru dikenal. Hal ini tentu tidak lazim atau bahkan dianggap
berbahaya oleh kebudayaan di negara-negara Asia atau Eropa. Hal ini terjadi
semata-m karena perbedaan budaya.29
28
Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 2.
29Dasa Lukman, “Sistem Komunikasi Masyarakat Sunda”,
35
b. Budaya Someah
Selain budaya rengkuh sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yang
tergambar dalam sosok orang Sunda adalah orang yang apabila berbicara, bergerak,
dan bersikap menyiratkan kehangatan dan rasa hormat. Kemudian citra lain yang
melekat pada orang Sunda adalah ramah, rendah hati, dan mudah menerima
kehadiran orang lain. Konsep ini tercermin dalam sebuah peribahasa “someah hade
ka semah” (ramah terhadap tamu/orang lain). Secara garis besar konsep tersebut
bersifat akomodatif dan apresiatif terhadap orang lain. Bagi masyarakat Sunda, sikap
tersebut merupakan kewajiban yang memiliki makna kesalehan sosial. Budaya
someah telah memberikan manfaat yang luar biasa. Banyak orang-orang dari luar
darah bahkan dari mancanegara yang tertarik dan mengagumi keramahan orang sunda
sehingga berbondong-bondong ingin mengunjungi tatar Sunda.30
C. Nilai-Nilai Sosial Kemasyarakatan
Masyarakat Sunda dalam interaksi sosialnya dituntut untuk mematuhi
berbagai nilai budaya yang berlaku dalam kehidupan sosial. Di antaranya adalah yang
berhubungan dengan etika Sunda. Dilingkungan budaya Sunda ada ungkapan ciri
sabumi ciri sadesa. Secara harfiah, ungkapan tersebut menekankan bahwa di setiap
lingkungan ada ciri dan cara tersediri yang mempengaruhi tindak tanduk para
penghuninya. Jika ungkapan ini dikaitkan dengan bidang etika, dapat dikatakan
bahwa pada orang Sunda pun ada kesadaran bahwa di setiap lingkungan budaya, tak
30
36
terkecuali lingkungan budaya Sunda, tentu ada nilai-nilai etis yang diterima oleh para
penghuni lingkungan tersebut. Nilai-nilai etika Sunda yang dimaksud di sini adalah
titik acuan moral bagi masyarakat Sunda secara umum.
1. Harmoni Sosial
Harmoni, kerukunan, kedamaian, dan ketentraman dalam pandangan
orang Sunda tampak menduduki peringkat utama dalam urutan kebutuhan untuk
hidup bersama dalam masyarakat. Mengalah demi memenuhi kebutuhan itu
merupakan perbuatan terpuji (bukan aib) dalam pandangan orang Sunda, sepanjang
tidak menyinggung nilai anutan atau kebenaran yang dianggapnya paling tinggi:
harga diri, kehormatan, keyakinan, dan kata (suara) hati. Keributan sedapat mungkin
dihindari, lebih baik menahan diri dengan diam-diam, memendam rasa (pundung)
daripda melawan dengan kekasaran atau adu otot, sehingga tampak dari luar seperti
tak ada keberanian; perlawanan dengan kekasaran adalah pilihan yang paling akhir.
Semua ini melandasi perilaku dan peran sosial orang Sunda dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.31
2. Pergaulan hidup
Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari
kebudayaan–kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar
Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual.
31
37
Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan silih
asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling menyempurnakan
atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi
(saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai
lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua,
dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan
magis dipertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan
keseimbangan sosial masyarakat Sunda melakukan gotong-royong untuk
mempertahankannya.
D. Dialektika Teks dan Konteks
Teks dan konteks bagai dua sisi dari satu mata uang: satu sama lainnya
tidak bisa dipisahkan. Pemahaman keduanya juga merupakan persyaratan utama agar
umat Islam tidak hanya memahami pesan-pesan pewahyuan terbatas pada teks
al-Qur’an saja secara literal, akan tetapi juga harus memperhatikan konteks sosial
budaya yang ingin direspon oleh teks al-Qur’an sehingga mampu melakukan
“pembacaan kontekstual” atau “signifikansi” al-Qur’an untuk konteks kekinian.32
Pada masa modern, telah terjadi pergeseran paradigma (shifting paradigm)
dalam studi-studi al-Qur’an, dari berwatak literal ke arah yang lebih rasional dan
kontekstual. Kehadiran Sayyid Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh
(1849-1905) di Mesir merupakan tonggak penting dalam mengubah persepsi kaum
32Iqbal Hasanudin, “Pendekatan hermeneutik dalam Studi al
-Qur’an Kontemporer:
38
Muslimin tentang makna teks al-Qur’an yang tidak lagi dianggap statis, melainkan
dinamis dan historis. Historitas makna ini semakin didasari ketika para pemikir
Muslim mulai bersentuhan dengan temuan-temuan terbaru di bidang ilmu-ilmu
sosial-humaniora, linguistik, kritik sastra dan filsafat dalam pemikiran Barat
kontemporer. Tokoh-tokoh semisal Fazlur Rahman, Mohammad Abduh, Hasan
Hanafi, Amina Wadud Muhsin dan Nashr Hamid Abu Zayd, merupakan para pemikir
garda depan yang berupaya merumuskan metodologi penafsiran al-Qur’an secara
sistematis dengan berpijak pada pandangan tentang historitas makna al-Qur’an.33
Studi terhadap al-Qur’an dan metodologi tafsir sebenarnya mengalami
perkembangan yang cukup signifikan, produk-produk tafsir dari suatu generasi
kepada generasi berikutnya memiliki corak dan karakteristik yang berbeda seiring
dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia.
Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam
untuk selalu mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan
perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks (wa>qa‘i) yang terus berkembang. Hal itu juga merupakan salah satu implikasi
pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an itu s}ahih li kulli zama>n wa makan.34
Ketika al-Qur’an diturunkan kepada Nabi saw. Dengan membawa misi