• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB IV"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Empat

Subak Wongaya Betan

di Kawasan Catur Angga

Pengantar

Di tengah tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan di tingkat nasional yang semakin besar, ternyata organisasi subak di Bali termasuk di Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan memiliki keyakinan bahwa ketahanan pangan akan tetap mampu di-capai dan dipertahankan melalui eksistensi subak. Keyakinan tersebut sangat besar karena di Bali pada kenyataannya organisasi ini masih tetap bisa eksis dalam jangka waktu hampir se abad lalu,1 dan bertahan sampai sekarang. Melalui kajian yang terus-menerus terhadap subak baik terhadap aspek kekuatan dan kelemahan subak maka diharapkan subak sebagai salah satu kearifan lokal dan kekayaan budaya Indonesia mampu dilestarikan dan lebih diberdayakan dalam rangka mendukung pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati (Sutawan, 2003 dan Windia, 2010).

(2)

organisasi penyangga ketahanan pangan dan hayati di Kabupaten Tabanan maka bab ini akan memuat tentang salah satu kawasan yang saat ini sedang diusulkan menjadi kawasan budaya dunia yang di-berikan oleh UNESCO yaitu Kawasan Catur Angga. Kawasan Catur

Angga berlokasi di Kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten

Tabanan, Provinsi Bali. Kawasan ini merupakan rangkaian areal pertanian yang meliputi 15 subak yang terletak pada kawasan suci di antara lima buah Pura besar di Kabupaten Tabanan. Di samping dianggap sebagai kawasan suci, ternyata kawasan ini juga merupakan kawasan sumber air bagi Kabupaten Tabanan. Subak Wongaya Betan yang terletak di Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan merupakan salah satu dari subak yang terletak di Kawasan

Catur Angga, dan subak ini akan menjadi daerah penelitian untuk

pengambilan data dari disertasi ini.

(3)

Oleh karena lokasi Subak Wongaya Betan berada di bagian hulu (up

stream) dari ekosistem subak di Kabupaten Tabanan, maka kelestarian

sumber air di Subak ini akan sangat berperan penting dalam pelestarian pertanian di bagian hilir ekosistem subak di Kabupaten Tabanan.

Elemen yang keempat adalah Pura Subak (Water Temple), dimana

Subak Wongaya Betan memiliki pura untuk pemujaan Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Adapun Pura yang dimiliki oleh Subak Wongaya Betan adalah Pura Ulun Suwi yang terletak di bagian hulu areal subak (bagian munduk Juukan), Pura Bedugul yang terletak di bagian tengah areal subak (bagian munduk desa), dan Pura Penaringan yang terletak di bagian hilir areal Subak Wongaya Betan. Pada masing-masing pura ini anggota subak memiliki kewajiban untuk melaksanakan ritual untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan kehidupan bagi anggota subak serta mohon keberhasilan pertanaman mereka di lahan masing-masing.

Lansing (1987) melakukan kajian tentang keterkaitan antara pura subak dengan sistem pengorganisasian air pada beberapa subak di Bali. Dari hasil penelitiannya Lansing menemukan bahwa sistem irigasi di Bali selain diorganisir oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Peker-jaan Umum (PU) ternyata juga diatur oleh keberadaan Pura Subak

(water temple). Mencermati beberapa bahasan sebelumnya maka bab

ini akan memuat tentang Kawasan Catur Angga dan Subak Wongaya Betan (SWB), dimana kawasan ini merupakan suatu kawasan di Kabupaten Tabanan yang memiliki posisi yang sangat penting bagi keberhasilan ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan di wilayah ini dan juga Bali pada umumnya.

Perkembangan

Subak

(4)

maka pemaparan akan bersumber dari data sekunder2 yang menjadi acuan dalam pemaparan perkembangan subak pada bagian ini.

Pemaparan tentang perkembangan subak pada bagian ini me-muat perkembangan subak dari masa ke masa secara umum (general), sehingga tidak membahas perkembangan elemen-elemen subak secara khusus.

Subak Pada Masa Kerajaan-Kerajaan

Tidak banyak yang tahu kapan sesungguhnya subak awalnya terbentuk. Akan tetapi berdasarkan beberapa prasasti (di antaranya Prasasti Pandak Bandung) di ungkapkan subak mulai dikenal pada abad IX. Pada masa itu subak hanya dikenal sebagai kumpulan masyarakat petani yang memiliki aturan pembagian air secara tradisional terutama pada lahan sawah. Tidak dijelaskan dengan pasti seberapa besar peran penguasa (Raja) pada masa ini. Tetapi ada dugaan kalau Raja tidak terlibat langsung dalam pembangunan sistem pembagian air. Rakyat (masyarakat) membangun, memelihara dan mengelola secara mandiri

empelan (sumber air) dan terowongan dengan segala fasilitasnya. Jadi

peran Raja hanya pada pemberian izin dalam pembukaan hutan untuk lahan persawahan dan pemanfaatan sungai sebagai sumber air. Peran Raja dalam urusan pemberian ijin ini dikuasakan kepada pejabat istana yang juga berfungsi sebagai bendahara kerajaan.

2 Adapun yang menjadi acuan dalam menggambarkan perkembangan subak di Bali

adalah beberapa pustaka sebagai berikut:

• Budiastra, P dan W. Suanda (1986). Museum Subak, Proyek Pengembangan Per-museuman Bali, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

• Geriya, I. W. (1985). Pola Kehidupan Petani Subak Rejasa di Tabanan. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta

• Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, (2010). Nominasi untuk Warisan Budaya Dunia UNESCO. Cultural Landscape of Bali Province

• Lansing, J.S. (1991). Priest and programmers, Princeton Univ.Press, Princeton, USA.

• Sirtha, N. (2008). Subak Konsep Pertanian Religius Perspektif Hukum. Budaya dan Agama Hindu. Paramita Surabaya.

• Suadnya, I Gst. Made (1990). Mengenal Subak. Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Dati I Bali, Sub Dinas Pengairan

• Sutawan, I. N. (2008). Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. PT BaliPost, Denpasar

(5)

Walaupun terbentuk secara tradisional, ternyata pada masa kerajaan ini subak sudah memiliki kepengurusan yang bervariasi sesuai dengan luas areal persawahan dan jumlah anggota yang terlibat. Secara umum susunan pengurus subak terdiri dari Pekaseh (ketua subak); Penyarikan (sekretaris); Kesinoman (juru arah). Pada zaman Kerajaan Majapahit (tahun 1343 Masehi), Raja mengangkat seorang sedahan yang bertugas mengkoordinasikan beberapa wilayah subak guna melancarkan pemungutan pajak yang harus dibayar oleh warga subak. Jadi sejak zaman kerajaan subak sudah diharuskan membayar pajak kepada Raja sesuai dengan luasan lahan yang dimiliki melalui Sedahan. Sistem perpajakan yang diberlakukan pada masa kerajaan ini adalah

suwinih. Yang menarik adalah suwinih yang dipungut oleh sedahan

seringkali tidak dimasukkan ke dalam kas kerajaan, akan tetapi kem-bali dimanfaatkan untuk pembiayaan pelaksanaan upacara (ritual) di pura subak.

Subak Pada Masa Kolonial

Ketika Kolonial mulai berkuasa di Bali, maka sistem pembagian air yang dilakukan secara tradisional oleh subak, mulai mendapat perhatian dengan pembangunan beberapa dam (bendungan) dan sistem pembagian airnya disebut irigasi. Diawali pada tahun 1914, pemerintah Hindia-Belanda membangun dam di Pejeng (Kabupaten Gianyar), kemudian dam Mambal (Kabupaten Badung), berikutnya dam Oongan (Kota Denpasar) dan dam Apuan (Kabupaten Tabanan).

Hampir sejalan dengan arah kebijakan pada masa kerajaan di mana subak dilihat prospektif sebagai penyetor pajak, maka pada masa kolonial ini subak juga dilihat sebagai sebuah lembaga yang sangat efektif untuk difungsikan sebagai pemungutan pajak pertanian

(landrente). Sehingga pada tahun 1925 pemerintah Hindia-Belanda

melakukan pengukuran ulang tanah-tanah sawah secara lebih pasti. Gerakan pengukuran ulang ini pada masa itu dikenal dengan istilah

klasier. Dengan adanya klasier ini maka berdampak pada struktur

organisasi subak, yang pada masa kerajaan hanya dikoordinasikan oleh

sedahan, maka pada masa kolonial diangkat lagi sedahan agung yang

memiliki tugas mengkoordinasikan sedahan. Selain itu tugas seorang

sedahan agung adalah melakukan pengawasan empelan (dam) dan

(6)

Subak Pada Masa Orde Lama

Subak pada masa Orde Lama sepertinya tidak terlalu mengalami

perkembangan. Hal ini diduga karena pada masa itu pemerintah dan masyarakat Indonesia masih disibukkan dengan urusan kemerdekaan Indonesia. Sehingga pada masa ini hanya beberapa hal yang sempat dilakukan pemerintah terhadap subak, yaitu mulai adanya bantuan pemerintah kepada petani yang tergabung dalam subak. Bantuan tersebut sebagian besar berupa sarana peningkatan atau perbaikan

empelan (sumber air) dan saluran primer. Tercatat pada masa

peme-rintahan Orde Lama diperkirakan baru 30.000 hektar sawah di Bali yang mendapatkan air dari jaringan irigasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Sampai pada awal Repelita I jaringan irigasi baru bisa mengairi 35.000 hektar sawah, dan sudah mulai dilakukan perbaikan jaringan sekunder.

Pada masa ini fungsi sedahan agung tetap dipertahankan seperti pada masa kolonial dan malahan sejak tahun 1955 sedahan agung diangkat menjadi pegawai pemerintah (PNS). Jadi pada masa Orde Lama sedahan agung memiliki otoritas dalam melaksanakan fungsinya sebagai pembina subak.

Subak

Pada Masa Orde Baru

Pada masa pemerintahan Orde Baru, subak mengalami perkem-bangan yang sangat pesat. Di samping karena pemerintah pada masa ini sangat memperhatikan pertanian, juga karena adanya desakan akan pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyat Indonesia. Maka sejak tahun 1979 pemerintah mulai mencanangkan proyek-proyek pening-katan jaringan irigasi tersier bagi subak. Pada masa ini, keterlibatan pemerintah dalam bidang irigasi menyebabkan pengambil alihan pula pada tanggung jawab operasi dan pemeliharaan jaringan utama (mulai dari bendungan, jaringan primer dan sekunder). Tanggung jawab subak pada masa ini hanya pada operasi dan pemeliharaan saluran tersier.

(7)

diikuti dengan adanya teknologi moderen (revolusi hijau) yang memperkenalkan varietas padi unggul yang sangat responsif terhadap pemupukan. Teknologi ini akhirnya memberikan pengaruh menye-luruh (multiflier effect) terhadap penggunaan pupuk anorganik, peng-gunaan obat-obatan kimia secara intensif untuk pemberantasan hama dan penyakit tanaman (HPT). Dampak inilah yang nantinya sangat mempengaruhi beberapa elemen subak seperti yang telah dijelaskan pada bab lima.

Dampak lainnya yang sebelumnya tidak diantisipasi oleh pemerintah adalah adanya konflik antar anggota subak maupun antar

subak yang berkaitan dengan pembagian air irigasi. Dimana konflik

seperti ini sebelumnya tidak pernah terjadi pada masa irigasi masih dikelola secara mandiri oleh subak. Beberapa bukti empiris menun-jukkan bahwa pendekatan pemerintah pada masa Orde Baru tidak partisipatoris sehingga kebijakan yang diambil cenderung bersifat top down. Akan tetapi karena ambisi pemerintah dengan program revolusi hijaunya, maka subak pada masa ini seolah menjadi tim sukses peme-rintah tanpa memperhatikan keberlanjutan aspek-aspek kelembagaan yang selama ini sudah mengakar pada organisasi ini. Kalau boleh digambarkan maka masa Orde Baru menjadikan subak sebagai suatu sistem irigasi yang rawan konflik. Fungsi sedahan agung yang pada masa Orde Lama memiliki otoritas dalam pembinaan subak yang kemudian diperkuat melalui Perda Provinsi Bali No. 02/PD/DPRD/ 1972, mulai tahun 1976 mengalami pengurangan peran dengan peng-gabungan lembaga ini ke dalam lembaga Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah). Apalagi ketika jabatan sebagai kepala sedahan agung mulai dirangkap oleh kepala Dispenda, maka fungsi sedahan agung justru lebih fokus kepada pemungutan pajak. Sehingga peran pembinaan kepada subak lebih sering terabaikan.

Pada masa Orde Baru memang perhatian pemerintah sangat intensif terhadap kemajuan subak, misalnya dengan melaksanakan lomba subak tingkat kabupaten sampai provinsi secara regular tiap tahun. Kemudian pada tahun 1988 Gubernur Bali meresmikan pusat pendidikan dan latihan informasi dan dokumentasi subak yang disebut

Mandala Mantika Subak (sekarang lebih dikenal dengan Museum

Subak) yang terletak di Kabupaten Tabanan. Akan tetapi tetap harus

(8)

terhadap kinerja dan kemajuan subak yang mendapat pembinaan dari pemerintah.

Subak

Pada Masa Reformasi

Komitmen Bupati Tabanan untuk mengembangkan dan menjaga kelestarian subak dibuktikan dengan pembentukan tim pengembangan objek wisata museum subak melalui Surat Keputusan Bupati No. 353 tahun 1988. Dan dengan adanya otonomi daerah maka Pemda Tabanan mengambil alih pengelolaan museum subak, karena lokasi museum memang berada pada wilayah Kabupaten Tabanan. Akan tetapi karena masih adanya ketidakpastian instansi yang diberikan tanggung jawab dalam pengelolaam museum tersebut maka sampai saat ini perkem-bangan museum masih jalan ditempat.

Hal yang sama juga dialami oleh lembaga sedahan agung yang

notabene memiliki fungsi untuk membina subak, secara lambat laun

dihapuskan sejak tahun 2004-2005. Sehingga subak sering merasa ke-bingungan pada saat mereka memerlukan konsultasi tentang masalah-masalah yang dialami oleh subak. Dari situasi ini maka banyak usulan untuk mengaktifkan kembali lembaga sedahan agung, dan sebaiknya kedudukannya dipisahkan dengan Dispenda. Fungsi sedahan agung agar tidak dicampur-baurkan dengan pemungutan pajak, sehingga

sedahan agung dapat fokus pada pembinaan subak dan penyelesaian

masalah-masalah di subak.

Sejak tahun 2010 ketika ada wacana untuk menjadikan beberapa wilayah di Bali sebagai kawasan budaya dunia (culture heritage), maka kawasan Catur Angga Batukaru merupakan salah satu nominasinya. Sejak saat itu maka subak di kawasan ini mendapat perhatian lebih banyak apalagi dengan kesuksesan beberapa subak di kawasan ini memperoleh sertifikasi organik pada produksi padi mereka.

Kawasan

Catur Angga

(9)

Tamba Waras. Ke lima pura tersebut dipercaya menjadi penyangga Kabupaten Tabanan yang dikenal dengan Kawasan Catur Angga

Batukaru. Kawasan ini merupakan area suci yang menjadi dasar

wilayah pertanian di sekitarnya untuk tetap menjunjung kesucian area tersebut dengan menjaga kelestarian lingkungan dan melakukan ritual secara berkelanjutan.

Masyarakat Tabanan khususnya dan Bali umumnya memper-cayai bahwa kawasan ini merupakan kawasan hulu yang berfungsi sebagai penyangga kawasan-kawasan di bawahnya dalam hal menjaga kelestarian sumber daya air. Masyarakat di wilayah Kabupaten Tabanan mempercayai bahwa Gunung Batukaru, Danau Tamblingan, Danau Buyan dan kawasan Hulu Jatiluwih merupakan kawasan yang harus dipertahankan kelestariannya, karena selain sebagai sumber air bagi sebagian besar wilayah pertanian di Tabanan juga karena wilayah ini memiliki pemandangan alam yang asri yang masih tetap mampu dilestarikan oleh masyarakat sekitar. Pemandangan alam di kawasan ini malahan sudah dikelola oleh masyarakat Jatiluwih sebagai objek wisata ”pemandangan sawah bertingkat”, dan sampai saat ini merupa-kan salah satu daerah kunjungan wisata yang menarik di Kabupaten Tabanan. Hal ini merupakan aset Pemerintah yang harus mendapat perhatian dan pelestarian dari pemerintah maupun masyarakat sekitar-nya. Kawasan Jatiluwih sebagai salah satu kawasan budaya dunia

“Subak landscape of Catur Angga Batukaru:” terdiri dari beberapa

(10)

Gambar 3 Gambar Pulau Bali

Sumber: http://www.google.co.id

Ke 15 subak tersebut pada Tabel 2 terletak di lereng Gunung Batukaru dengan perbatasan

Timur : Sungai Yeh Ho Selatan : Persawahan

Barat : Sungai Ngigih

Utara : Hutan Gunung Batukaru

(11)

Tabel 2

Subak yang termasuk ke dalam wilayah Catur Angga Batukaru

No Nama Subak Lokasi

Desa Kecamatan/Kabupaten

1 Subak Bedugul Desa Gunung Sari Penebel /Tabanan 2 Subak Jatiluwih Desa Jatiluwih Penebel/Tabanan 3 Subak Kedampal Desa Kedampal Penebel/Tabanan 4 Subak Keloncing Desa Kedampal Penebel/Tabanan 5 Subak Penatahan Desa Penatahan Penebel/Tabanan 6 Subak Pesagi Desa Pesagi Penebel/Tabanan 7 Subak Piak Desa Piak Penebel/Tabanan 8 Subak Piling Desa Piling Penebel/Tabanan 9 Subak Puakan Desa Piling Penebel/Tabanan 10 Subak Rejasa Desa Rejasa Penebel/Tabanan 11 Subak Sangketan Desa Sangketan Penebel/Tabanan 12 Subak Soka Desa Soka Penebel/Tabanan 13 Subak Tegallinggah Desa Tegallinggah Penebel/Tabanan 14 Subak Tengkudak Desa Tengkudak Penebel/Tabanan 15 Subak Wongaya Betan Desa Mengesta Penebel/Tabanan

Kawasan Budaya Dunia

Gambar 4

Peta Lokasi Nominasi Kawasan Budaya Dunia

(12)

Gambar 5

Posisi ke Lima Pura yang Dikenal dengan Kawasan Catur Angga

Sumber: Cultural Landscape of Bali Province

(13)

Gambar 6

Lokasi Subak Wongaya Betan (SWB)

(Sumber: Cultural Heritage of Bali Province)

(14)

Dari Gambar 4 dapat dilihat bentangan dari kawasan Catur

Angga Batukaru yang seolah-olah dikelilingi oleh lima pura yang

menjadi sungsungan seluruh masyarakat Hindu di Bali. Kelima pura tersebut berjejer dari Utara ke Selatan di sisi Barat yaitu Pura Luhur Pucak Petali, Pura Luhur Batu Karu, Pura Luhur Muncak Sari, dan Pura Luhur Tamba Waras, dan Pura Luhur Besi Kalung di sisi Timur.

Sebelum adanya program pemerintah yang dikenal dengan revolusi hijau pada tahu 1970-an, semua wilayah subak-subak ini melaksanakan pertanian secara tradisional misalnya seperti mengguna-kan sapi untuk membajak, padi yang ditanam adalah padi lokal (padi del) yang berumur 200 hari, pemupukan dilakukan dengan meman-faatkan limbah-limbah organik, panen masih menggunakan ani-ani, demikian juga dengan pemberantasan hama dan penyakit masih dilakukan dengan produk-produk organik seperti daun bawang, daun nimba (intaran). Khusus untuk pemberantasan tikus dan belalang masih dilakukan dengan cara-cara manual. Semua praktik-praktik tradisional ini sempat ditinggalkan petani di kawasan ini karena adanya anjuran penyeragaman teknologi yang pada saat itu diharapkan untuk meningkatkan produksi pangan terutama beras di seluruh Indonesia. Walaupun pada saat itu beberapa subak di kawasan ini termasuk Subak Wongaya Betan tidak setuju dengan anjuran peng-gunaan pupuk anorganik dan varietas unggul, tetapi karena pende-katan pemerintah melalui pekaseh (pimpinan) subak, maka anggota pun tidak bisa menolak program tersebut. Hal ini disebabkan karena subak memiliki awig-awig yang sangat mengikat setiap anggotanya.

Era ini dikenal dengan era transformasi teknologi subak dari tradisional menuju ke teknologi moderen. Mulai saat itu maka seluruh

subak di kawasan Catur Angga ini termasuk Subak Wongaya Betan

(15)

juga akhirnya tidak mengenal masa bera3. Pertanian dengan teknologi moderen ini yang dikenal juga dengan revolusi hijau akhirnya demikian meluas, sehingga masyarakat petani tidak menyadari bahwa praktiek pertanian moderen ini memiliki beberapa sisi negatif yang merugikan petani maupun kelestarian lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan karena tanah seolah-olah dieksploitasi secara terus-mene-rus, sehingga secara teoritis hal ini akan menyebabkan kerusakan tanah dan sumber daya alam lainnya. Masalah ini akan lebih banyak di ulas pada bab berikut yaitu sisi negatif revolusi hijau.

Mengacu penelitian Sutawan (2008) tentang karakteristik subak di Bali yang dilakukan berdasarkan klasifikasi air irigasi maka subak di wilayah Tabanan merupakan subak dengan irigasi tradisional terluas yaitu seluas 3,066 hektar. Di samping itu subak dengan irigasi teknis seluas 17,007 hektar, maka Tabanan memiliki luasan hampir 75,5% dari seluruh luasan subak dengan irigasi tradisional di Bali. Hal ini berakibat perkembangan penggunaan teknologi moderen dengan asup-an kimiawi di wilayah hulu (Kawasasup-an Catur Angga) sangat meng-khawatirkan wilayah-wilayah hilir di Tabanan, karena kontaminasi limbah kimia dari hulu akan berpengaruh pada sumber daya air di hilir.

Kekhawatiran ini ternyata menjadi perhatian beberapa anggota Subak Wongaya Betan yang dipelopori Pak Nengah Suarsana, SH. Pak Nengah dan 3 (tiga) orang teman sesama petani yang merasa peduli dengan dampak negatif penggunaan asupan kimiawi mulai memikir-kan cara untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan asupan kimiawi tersebut. Dengan latar belakang pengetahuan dan ekonomi yang cukup maka Pak Nengah mulai mempelajari cara-cara untuk kembali ke pertanian organik, dengan tujuan untuk mengembalikan lingkungan di Subak Wongaya Betan seperti sebelum revolusi hijau dipraktikkan. Berbekal pengetahuan dari surat kabar, Televisi dan juga kunjungan langsung ke Solo, maka sejak tahun 2004 mereka mulai melakukan terobosan dengan kembali menggunakan pupuk dan

3Bera: tanah tidak ditanami selama lebih kurang dua minggu sampai satu bulan. Hal

(16)

pestisida alami. Pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi dan urine sapi mereka olah sendiri menjadi pestisida alami (bio- urine). Walaupun pada mulanya ide kembali ke pertanian organik dianggap ide yang tidak berarti oleh pemerintahan Provinsi Bali, akan tetapi dengan tekad dan ketekunan Pak Nengah yang pada akhirnya berhasil mengajak 30 orang anggota Subak Wongaya Betan untuk melakukan pertanian organik, maka akhirnya pertanian organik ini berkembang dengan baik. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya sertifikasi organik bagi produk beras Subak Wongaya Betan. Sertifikasi beras organik ini diberikan oleh Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LeSoS) No. LSPO-005-IDN-010 pada tanggal 3 Nopember 2009. LeSoS ini adalah lembaga sertifikasi di bawah naungan Komite Akreditasi Nasional (KAN) Organik Indonesia. Kriteria yang dinilai adalah ke-amanan pangan yang dilihat dari bebasnya pangan tersebut dari bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Jadi kebangkitan pertanian organik di kawasan ini bisa dikatakan dimulai dari Subak Wongaya Betan. Hal ini ternyata berdampak positif bagi subak di sekitarnya terutama subak Jatiluwih, dibuktikan dengan bergabungnya beberapa anggota petani subak Jatiluwih dalam kelompok petani organik Wongaya Betan.

Subak Wongaya Betan (SWB)

Sebagai salah satu subak yang terletak dalam wilayah Kawasan

Catur Angga Batukaru yang sedang diusulkan menjadi salah satu

(17)

Secara geografis Subak Wongaya Betan terletak pada ketinggian 617 meter di atas permukaan laut (dpl)4 dengan topografi wilayah sebagian besar berbukit, sehingga banyak lahan sawah terletak pada area miring. Topografi ini akan sangat menentukan sistem pengem-bangan pertanian di wilayah subak ini, yang sebagian besar sudah menggunakan sistem terasering5, dimana sistem terasering inilah yang

nantinya menjadi unggulan dalam menarik wisatawan ke daerah ini untuk melihat keindahan terasering sawah.

Dengan curah hujan yang cukup serta kepemilikan sumber air sendiri, maka hampir tidak pernah ada persoalan air di wilayah subak ini. Malahan Subak Wongaya Betan merupakan salah satu subak yang berada di hulu (Up Stream) kota Tabanan. Hal ini yang menjadi salah satu faktor yang sangat mendukung pengembangan lahan sawah di Subak Wongaya Betan tetap eksis sampai saat ini. Di samping itu juga karena adanya kesadaran dan kewajiban tetap menjaga kelestaraian lahan terutama sawah yang selalu dikaitkan dengan kawasan Catur

Angga Batukaru yang sangat disucikan baik oleh masyarakat setempat

maupun masyarakat Bali umumnya.

4 Dpl adalah singkatan dari di atas permukaan laut. Satuan ini menunjukkan ketinggian

suatu tempat dan sangat bermanfaat untuk penentuan tanaman yang sesuai untuk di tanam dalam bidang pertanian.

(18)

Gambar 7

Hamparan Sawah Garapan Subak Wongaya Betan

(Sumber: Martiningsih, 2010)

(19)

dikemu-kakan oleh Sutawan (2008) maka awal mula terbentuknya Subak Wongaya Betan sebenarnya tidak jauh dari alur proses pembentukan

subak yang tersebut di atas (Monografi Subak Wongaya Betan, 1993:

4). Pada saat wilayah Bali masih dipimpin oleh Raja, maka di desa-desa di Bali belum dikenal kelompok banjar, termasuk di Desa Mengesta tempatSubak Wongaya Betan ini terbentuk.

Diawali dengan menyatunya beberapa orang untuk membangun saluran air di sekitar Sungai Yeh Baas, yang berada di wilayah Kesambahan Jatiluwih. Persatuan orang-orang tersebut kemudian di-ikuti dengan pembangunan Pura Ulun Suwi di masing-masing lahan warga. Pura Ulun Suwi ini merupakan tempat warga memohon kese-jahteraan yang berkaitan dengan kesuksesan pelaksanaan pertanaman di lahan pertanian warga. Setelah membanguan Pura Ulun Suwi akhirnya warga membangun pura yang lebih besar yaitu Pura Bedugul. Pura Bedugul ini biasanya terletak di munduk Desa (ujung desa) yang

disungsung (disembahyangi) oleh kelompok yang lebih besar. Hal ini

menunjukkan bersatunya beberapa warga dari seluruh kelompok dalam ikatan Pura Ulun Suwi yang secara bersama-sama memelihara dan melakukan persembahyangan di Pura Bedugul yang dibentuk.

(20)

Gambar 8

Pura Bedugul Subak Tempat Pelaksanaan Ritual Ngusaba Nini

(Sumber: Martiningsih, 2011)

(21)

Kalau dilihat posisi secara kelembagaan antara Desa Dinas Mengesta, Desa Adat (Pekraman) Mengesta, banjar Dinas Wongaya Betan, banjar Adat Wongaya Betan, dan Subak Wongaya Betan memang ada struktur yang sangat unik seperti dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar ini menunjukkan kedudukan dari anggota masya-rakat di sebuah desa (dalam hal ini Desa Mengesta). Kedudukan (posisi) ini akan sangat menentukan hak dan kewajiban bagi masyarakat yang berada dalam struktur kelembagaan-kelembagaan tradisional tersebut. Kalau dicermati anggota subak berada dalam posisi yang sangat kompleks yaitu selain sebagai anggota Subak Wongaya Betan yang memiliki kewajiban sebagai anggota subak, mereka juga memiliki kewajiban sebagai anggota banjar Wongaya Betan, sebagai bagian dari

desa Adat dan desa Dinas Mengesta. Posisi ini yang akan

mengharus-kan anggota Subak Wongaya Betan selalu berkompromi dengan kepen-tingan-kepentingan kewajiban pada masing-masing kelembagaan ter-sebut. Dari struktur ini terlihat bagaimana keluwesan antara masing-masing peran yang harus dilakoni oleh masyarakat desa Mengesta. Sehingga dapat dikatakan dalam kelembagaan desa Mengesta telah terbentuk harmonisasi antara kepentingan subak dan adat yang mem-berikan nilai positif bagi pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk mempercepat pemerataan pembangunan.

Yang menarik untuk disimak dari Gambar 7 adalah di dalam anggota Subak Wongaya Betan ada beberapa kelompok kecil yang disebut sekeha biasanya bersifat sosial. Sekeha ini terbentuk berda-sarkan kepentingan yang sama dari beberapa anggota subak. Di Wongaya Betan sekeha-sekeha ini terdiri dari sekeha numbeg (kelompok pembajak), sekeha nandur (kelompok menanam), sekeha

mejukut (kelompok menyiang), sekeha manyi (kelompok memanen),

sekeha nebuk (kelompok pemisah gabah dari tangkai padi). Oleh

karena sekeha-sekeha ini bersifat sosial, maka dalam melaksanakan kegiatannya mereka tetap mengutamakan nilai-nilai gotong royong.

Sekeha-sekeha ini berkembang baik saat sebelum revolusi hijau

(22)
(23)

Sekeha

Subak Wangaya Betan

Banjar Wangaya Betan

Desa Dinas Mengesta

Desa Adat (pekraman) Mengesta

Gambar 9

Posisi Anggota Subak Wongaya Betan dalam Struktur Kelembagaan Desa Mengesta

(24)

dan kopi beras merah organik dengan merk dagang ”Kuntum Sari”. Walaupun masing-masing kelompok memiliki aturan di dalam kelom-pok, akan tetapi mereka akan tetap tunduk pada awig-awig (aturan) yang berlaku di Subak Wongaya Betan. Karena pada dasarnya kelom-pok-kelompok ini anggotanya adalah anggota subak dan terbentuk dibawah naungan organisasi subak.

Penelitian yang dilakukan Sutawan (2008, Wiguna dan Surata 2008) mencatat bahwa struktur keanggotaan subak sangat ditentukan oleh kesepakatan di wilayah subak tersebut berada. Akan tetapi secara umum keanggotaan subak secara legal formal adalah para pemilik lahan yang mempunyai sertifikat tanah. Hal ini disebabkan karena pihak petani penggarap sering berganti, sehingga penentuan siapa yang akan melaksanakan kewajiban sebagai anggota subak akan tergantung dari kesepakatan antara petani penggarap dengan pemilik lahan. Lebih lanjut dinyatakan Sutawan (2008) bahwa kewajiban-kewajiban di

subak biasanya dapat berupa kontribusi tenaga kerja (ayahan) yang

dilakukan pada saat gotong royong dalam perbaikan jaringan irigasi maupun dalam persiapan dan pelaksanaan ritual. Kontribusi lainnya dapat juga dalam bentuk tunai seperti bahan-bahan pembangunan prasarana fisik seperti empelan6, untuk pembangunan pura subak, dan alat-alat perlengkapan beserta biaya penyelenggaraan upacara ritual. Semua aturan yang tersebut di atas, juga dilaksanakan oleh Subak Wongaya Betan yang tertuang dalam awig-awig subaknya. Walaupun memang besaran kontribusi dan sanksi yang diberlakukan dalam tiap-tiap subak berbeda-beda.

Sesuai dengan filosofi yang dianut seluruh umat Hindu di Bali yaitu Tri Hita Karana (THK), maka awig-awig Subak Wongaya Betan pun disusun berkaitan dengan implementasi filosofi THK tersebut. Berkaitan dengan hal itu maka di Bali termasuk Subak Wongaya Betan menyusun Awig-awig yang berlandaskan tiga landasan utama yaitu: (1) Awig yang berlandaskan hubungan anggota subak dengan Tuhan Yang Maha Esa (parhyangan), (2) Awig yang berlandaskan hubungan

6

Empelan: bangunan pengambilan air di sungai yang dikelola oleh petani secara

(25)

antara anggota subak dengan sesama anggota (pawongan), dan (3) Awig yang berlandaskan hubungan antara anggota subak dengan sawah (alam) yang dikelolanya (palemahan).

Awig-awig

yang berlandaskan

Parhyangan

Sesuai dengan landasan parhyangan yaitu hubungan anggota

subak dengan Sang Pencipta, maka Subak Wongaya Betan memiliki

beberapa aturan yang harus dilaksanakan anggotanya yaitu melakukan upacara (ritual) sebagai wujud bhakti dan syukur anggota subak ke hadapan Ida Sang Hyang WidhiWasa (Tuhan Yang Maha Esa). Bebe-rapa ritual yang harus dilakukan adalah:

(1) mapag toya (menjemput air), (2) ngendagin (memulai pengo-lahan pengo-lahan), (3) ngurit dan mawiwit pantun (menyemai padi), (4) ngerasakin (memulai persiapan menanam), (5) nandur (saat menanam), (6) tutug kambuhan (ritual ketika padi berumur 42 hst7), (7) nyungsung (ritual saat padi berumur 2 bulan), (8)

ma-biukungkung (ritual ketika padi berumur 82 hst, (9) maikuh lasan (pada saat padi mulai berbuah), 10) mesaba (ritual pada saat mau panen), (11) niki kaki dan niki manuh (pada saat panen dan sudah panen), (12) mantenin (ritual saat padi sudah di lumbung), (13) mrelina dewa nini (melebur dewa nini), (14) nyepi (tidak melakukan aktivitas apapun). Semua jenis upacara-upacara (ritual) tersebut harus dilakukan anggota subak baik secara kolektif maupun oleh masing-masing anggota subak secara mandiri (penjelasan mendalam dari masing-masing ritual yang dilakukan akan disajikan khusus pada Bab Peran Perem-puan dalam Ritual).

Awig-awig

berlandaskan

Pawongan

Subak merupakan sebuah organisasi tradisional yang bersifat

(26)

Betan memiliki awig-awig yang disesuaikan untuk masing-masing hierarki dalam kepengurusan subak. Misalnya ada awig untuk Pekaseh (ketua subak), awig untuk kelian subak (pembantu pekaseh di area

tempek/munduk), awig untuk pengurus lainnya yaitu bendahara,

sekretaris dan seksi upacara). Di samping itu awig yang berkaitan dengan landasan pawongan juga berlaku untuk anggota subak (krama

subak). Struktur kepengurusan Subak Wongaya Betan dapat dilihat

pada Gambar 8.

Pekaseh subak

Kelian subak

Seksi Upacara/ritual Sekretaris

Bendahara

Gambar 10

Struktur Organisasi Subak Wongaya Betan

(Sumber: wawancara dengan Alit, September 2009)

Awig-awig

berlandaskan

Palemahan

Awig-awig berlandaskan palemahan di Subak Wongaya Betan

dibuat untuk mengatur penggunaan sumber daya alam dan tata kelola lahan pertanian masing-masing anggota subak. Awig yang termasuk dalam landasan palemahan adalah: (1) pengaturan air irigasi meliputi pengalokasian dan pendistribusian, (2) pengaturan waktu tanam, (3) pengaturan pola tanam, (4) pengaturan mengenai sarana produksi yang digunakan.

(27)

kelestarian-nya. Awig ini juga memberikan dorongan kepada setiap anggota subak untuk memanfaatkan keterbatasan yang ada (baik keterbatasan sumber daya alam maupun sumber air) agar menghasilkan secara optimal sehingga dapat mensejahterakan keluarga dan masyarakat pada umum-nya. Seperti tersirat dari wawancara dengan salah satu anggota subak Pak Nyoman Alit (Pak Rama) yang menyatakan bahwa banyak inves-tor yang gagal membangun tempat wisata di daerah hulu Wongaya Betan, karena dianggap akan mencemari dan merusak sumber air bagi lahan sawah di Wongaya Betan.

Sistem Pertanian di Subak Wongaya Betan

Sistem pertanian yang dimaksud adalah tata kelola pertanian yang dilakukan pada satu musim tanam. Tata kelola pertanian meliputi pola tanam yang digunakan dan teknologi pertanian yang diterapkan serta usaha sampingan milik petani yang terkait dengan pertanian. Secara umum SubakWongaya Betan melakukan pola tanam serempak (kerta masa). Kerta masa selain bertanam secara serempak, juga meng-atur tentang jenis tanaman dan varietas tanaman yang akan ditanam. Sejak Subak Wongaya Betan kembali ke pertanian organik, jenis padi yang di tanampun kembali ke padi lokal (padi del), sehingga dalam 1 (satu) tahun hanya dilakukan penanaman padi dua kali tanam. Persiapan benih padi ini biasanya dilakukan secara tradisional oleh petani yang sudah memiliki keterampilan khusus untuk menyeleksi benih untuk musim tanam berikutnya. Areal tempat menyediakan benih untuk musim berikutnya ini biasanya ditempatkan dekat sumber air irigasi yang disebut area pengalapan. Jadi penggunaan benih lokal yang secara teori tidak banyak mengalami perubahan genetis ber-dampak pada tidak tergantungnya petani dari perusahaan multi-nasional yang menjual benih. Petani mampu mandiri dalam menye-diakan benih untuk lahan pertaniannya.

(28)

yang menyerang tanaman padi. Di samping itu dengan penanaman serempak proses-proses budidaya lainnyapun dapat dilakukan secara bersamaan seperti pengolahan lahan, pemupukan, penyiangan sampai pada pelaksanaan panen. Pada waktu revolusi hijau belum diper-kenalkan oleh pemerintahan Orde Baru, di wilayah ini sangat banyak

ada sekeha (kelompok sosial) yang bertujuan untuk kegiatan sosial

tertentu. Salah satu contoh sekeha yang sangat populer adalah sekeha

manyi (kelompok memanen). Sekeha manyi ini biasanya terdiri dari

ibu-ibu petani yang bertugas dalam rangka panen. Mereka akan bekerja secara gotong royong dan bersifat sosial (tanpa upah dalam bentuk uang). Setelah panen selesai, maka kegiatan sekeha ini biasanya langsung dilanjutkan pada kegiatan nebuk (memisahkan gabah dari tangkai padi). Alat yang digunakan untuk nebuk ini diberi nama luu8.

Di samping mengusahakan tanaman pokok yaitu padi, para petani anggota subak juga sering menanami telajakan atau pematang sawahnya dengan aneka sayuran seperti kacang panjang, kacang polong, kacang koro ataupun makanan ternak. Hal ini dilakukan untuk memanfaatkan areal yang kosong agar mendapatkan hasil tambahan. Hasil penanaman di pematang dan telajakan ini kadang kala dijual, tetapi lebih sering dimanfaatkan sendiri untuk kebutuhan pangan keluarga. Selain mengusahakan tanaman sela, setiap petani anggota Subak Wongaya Betan juga memiliki sapi. Dari observasi di lapang dan hasil wawancara dengan Pekaseh subak maka setiap petani minimal memelihara 2(dua) ekor sapi. Sapi-sapi ini akan digunakan sebagai alat untuk membajak sawah. Sedangkan kotoran sapi dan urinenya akan diolah secara sederhana oleh masing-masing petani menjadi pupuk organik, yang kemudian dimanfaatkan untuk memupuk lahan sawah masing-masing.

8 Luu; alat menumbuk padi yang biasanya terbuat dari kayu dengan panjang sekitar 1,5

(29)

(a)

(b)

Gambar 11

(a) Padi lokal merah (b) Memanen dengan ani-ani

Sumber: Martiningsih, 2011

(30)

Bagi kaum perempuan penanaman serempak juga akan meri-ngankan pekerjaan pada persiapan dan pelaksanaan ritual yang me-nyertai tata kelola pertanian dalam subak. Persiapan pembuatan ritual yang berkaitan dengan pengelolaan tanaman di lahan dapat dilak-sanakan dengan serempak pula. Hal ini tentu saja akan menghemat waktu dan biaya karena dilaksanakan secara bersama-sama sehingga akan menguntungkan secara ekonomi.

Sistem Budaya dan Agama di Subak

Wongaya Betan

Bagi masyarakat Bali, budaya dan agama adalah saling terkait dan tidak terpisahkan. Budaya Bali dan Agama Hindu di Bali saling terikat satu sama lainnya, sehingga akan sangat sulit untuk mengi-dentifikasi antara kegiatan budaya dan agama pada masyarakat Bali. Misalnya pada acara petoyan (persembahyangan) di Pura Kahyangan

Tiga di Desa Mengesta. Petoyan ini memang sudah terjadwal setiap 6 (enam) bulan sekali harus dilaksanakan seluruh masyarakat Desa

Mengesta termasuk anggota Subak Wongaya Betan yang merupakan bagian dari anggota masyarakat Desa Mengesta. Pelaksanaan petoyan ini adalah melaksanakan ritual di Pura Kahyangan Tiga, yang dilaksa-nakan masyarakat Desa baik sebagai anggota adat dan sebagai pemeluk agama Hindu. Pada saat pelaksanaan petoyan ini seluruh masyarakat desa Mengesta baik laki maupun perempuan akan memiliki kewajiban ngayah (membantu) pada pelaksanaan petoyan tersebut.

Pada saat warga masyarakat melaksanakan kewajiban ngayah maka warga anggota Subak Wongaya Betan berfungsi sebagai warga Adat Desa Mengesta. Di sisi lain pada saat yang bersamaan dari jadwal kegiatan subak ternyata ada jadwal kegiatan melaksanakan ritual

ngusaba (ritual yang dilakukan pada saat akan panen). Anggota subak

(31)

mendahu-lukan kepentingan ngayah di Pura Kahyangan Tiga maka biasanya kegiatan ritual subak ditunda. Walaupun penundaan ini hanya berkisar sehari sampai dua hari. Atau alternatif lainnya adalah anggoa subak akan dibagi dengan cara sebagian anggota melakukan kegiatan di subak dan sebagian anggota akan tetap melaksanakan kewajiban adat mereka. Hal ini sudah sering terjadi di Subak Wongaya Betan dan sampai saat ini belum pernah terjadi konflik antara dua kewajiban tersebut. Apalagi kebetulan anggota Subak Wongaya Betan ini ada yang berasal dari desa lain (Jatiluwih) sehingga dilema ini mudah diatasi dengan melakukan pembagian tugas di aras organisasi subak.

Hasil wawancara dengan Pak Nyoman Alit, Bu Rama dan Bu Wayan pada Maret 2010 menyiratkan bahwa masyarakat Desa Mengesta termasuk anggota Subak Wongaya Betan selalu bisa meng-kompromikan antara jadwal kegiatan adat, agama dan subak. Sehingga subak dikatakan merupakan organisasi yang bersifat sosial-religius adalah sangat tepat. Karena di dalam subak akan selalu terikat nilai budaya, sosial, dan agama. Di samping itu di dalam organisasi subak sendiri ada beberapa pura yang harus disungsung (anggota subak berkewajiban untuk melakukan persembahyangan di pura-pura terse-but) sebagai anggota subak. Misalnya seperti Pura Ulun Suwi, Pura

Bedugul, dan Pura Penaringan. Sehingga kegiatan yang berkaitan

dengan agama (berupa ritual), kegiatan adat (gotong royong sebagai bagian dari anggota adat) akan selalu menjadi rutinitas anggota subak.

Kesimpulan

(32)

menempat-kan Bali sebagai daerah dengan seribu Pura dengan perayaan ritual-ritualnya di kehidupan sehari-hari dan di ranah pertanian.

Gambar

Gambar  3 Gambar Pulau Bali
SubakTabel  2  yang termasuk ke dalam wilayah Catur Angga Batukaru
Posisi ke Lima Pura yang Dikenal dengan Kawasan Catur AnggaGambar 5
Lokasi Gambar  6 Subak Wongaya Betan (SWB)
+5

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Adapun maksud dan tujuan peneliti menyusun skripsi ini yaitu untuk memenuhi tugaas akhir dan melengkapi salah satu syarat kelulusan pada fakultas Ekonomi dan Bisnis,

Jawaban dibuktikan dengan daftar rata-rata nilai uji kompetensi mata pelajaran produktif tahun terakhir dan hasil penetapan kompetensi siswa sesuai dengan Standar Operasional

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Analisis data SP yang dilakukan dengan analisis regresi menghasilkan formulasi model yang berupa fungsi utilitas yang berbentuk linier dimana variabelnya adalah atribut sosio

Namun, dalam pengabdian masyarakat ini, kami lebih menekankan kepada kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik dengan cara menyampaikan materi debat disertai dengan

Dari hasil yang telah di dapat terhadap pada tahapan implementasi dan pengujian, dapat di nyatakan bahwa Implementasi Policy Base Routing dan Failover Menggunakan

dan komitmen yang tinggi. Untuk bekerja dengan professional maka seorang pegawai harus mau dan bisa melakukan pekerjaaan yang menjadi tugas dan fungsinya. Untuk bisa atau