BERCERAI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)
Psikologi (S.Psi)
Ratna Inayati Puspadewi
B07212026
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran self compassion dan faktor-faktor yang memengaruhi pada mahasiswa dari keluarga yang bercerai. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan triangulasi sebagai validasi data. Subjek penelitian adalah mahasiswa dengan prestasi akademik yang baik dan berasal dari keluarga yang bercerai. Ada tiga subjek yang dijadikan sumber informasi dalam penelitian ini.
Penelitian ini menemukan gambaranself compassion pada mahasiswa dari keluarga yang bercerai dengan melihat dimensi self compassion yaitu ketiga subjek dapat menerima dan tidak menyalahkan dirinya maupun orang lain atas peristiwa masa lalu. Ketiga subjek menunjukkan adanya kesadaran bahwa kesulitan atau masalah merupakan bagian dari hidup manusia. Ketiga subjek pun menghadapi kenyataan dengan melihat segala sesuatu seperti apa adanya dan menganggapnya sebagai takdir dari Allah.
Faktor yang memengaruhi self compassion pada ketiga subjek yakni lingkungan dan usia ketiga subjek yang telah memasuki dewasa awal.
ABSTRACT
This study aims to describe self-compassion and the factors that affect the students from divorced families. This study is a qualitative study, using triangulation as a validation data. The subjects were students with a good academic record and come from broken families. There are three subjects were used as a source of information in the study. This study know the description of self-compassion in students from divorced families with self-compassion dimension, namely the three subjects can receive and not blame himself or others over past events. All three subjects showed an awareness that the difficulties or problems is a part of human life. All three subjects were faced with the reality by seeing everything as it is and take it as the will of God Factors influencing self compassion on three subjects namely the environment and the age of three subjects who had entered early adulthood.
Cover
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Halaman Pernyataan ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... vi
Daftar Tabel ... viii
Daftar Lampiran ... ix
Intisari ... x
Abstract ... xi
Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang ... 1
B. Fokus Penelitian ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Keaslian Penelitian ... 8
Bab II: Kajian Pustaka A. Self Compassion ... 16
B. Mahasiswa ... 22
C. Keluarga Bercerai... 24
D. Self Compassion pada Mahasiswa dari Keluarga yang Bercerai ... 28
E. Perspektif Teoritis ... 29
Bab III: Metode Penelitian A. Jenis Penelitian ... 31
B. Lokasi Penelitian ... 32
C. Sumber Data ... 32
D. Cara Pengumpulan Data ... 37
vii
F. Keabsahan Data ... 42
Bab IV: Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Deskripsi Subjek ... 45 B. Hasil Penelitian ... 51 C. Pembahasan ... 73
Bab V: Penutup
A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 81
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara
resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak
menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri (Dariyo, 2004: 94).
Perceraian berasal dari kata cerai. Kata “cerai” menurut kamus besar
Bahasa Indonesia berarti: pisah, putus hubungan sebagai suami istri, talak.
Kemudian, kata “perceraian” mengandung arti: perpisahan, perihal
bercerai (antara suami istri), perpecahan. Adapun kata “bercerai” berarti:
tidak bercampur (berhubungan, bersatu) lagi, berhenti berlaki-bini (suami
istri) (kbbi.web.id). Istilah perceraian terdapat dalam pasal 113 UU No. 1
Tahun 1974 yang memuat ketentuan putusnya suatu perkawinan sebagai
berikut:
Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan (hukum.unsrat.ac.id).
Perceraian secara ringkas bermakna putusnya hubungan pernikahan,
yang mengakibatkan berhentinya menjalankan tugas dan kewajiban
sebagai suami-istri.
Perceraian memiliki dampak yang ditimbulkan. Dampak ini tidak
hanya dialami oleh pasangan suami istri namun juga oleh anak-anak
2
keluarga yang mengalami disfungsi, mempunyai resiko yang lebih besar
untuk bergantung tumbuh kembang jiwanya (misal, kepribadian anti
sosial) dibandingkan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang
harmonis dan utuh atau sakinah. Salah satu ciri disfungsi adalah perceraian
orang tuanya (Yusuf, 2012:43-44)
Penelitian yang dilakukan oleh Amato dan Keith (dalam Stevenson &
Black dalam Dewi & Utami, 2008) mengungkapkan bahwa individu yang
mempunyai pengalaman perceraian orang tua di masa kecilnya, memiliki
kualitas hidup yang lebih rendah di masa dewasanya dibandingkan dengan
individu yang tidak memiliki pengalaman perceraian orang tua.
Perceraian bukan berarti akhir, meski memberikan dampak negatif
pada psikologis terdapat banyak individu yang mampu berprestasi.
Berprestasi merupakan hal yang membanggakan bagi setiap orang.
Berprestasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan kata kerja
yang memiliki arti mempunyai prestasi dalam suatu hal (dari yang telah
dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya) (kbbi.web.id). Berbagai tantangan
dalam mencapai prestasi bukan hanya dari mudah atau sulitnya pelajaran
namun juga dipengaruhi oleh hal lain seperti kondisi keluarga. Salah satu
kondisi keluarga yang dapat menghambat atau menurunkan prestasi
seseorang yakni kondisi keluarga yang kurang harmonis seperti adanya
Sebagaimana dijelaskan oleh salah satu mahasiswa dari keluarga yang
bercerai sebagai subjek penelitian ini mengaku bahwa dirinya menjadi
memiliki rasa minder terhadap teman-temannya, dan mengaku menjadi
anak yang sangat pendiam pasca bercerainya kedua orang tua. Meski
demikian ia mengaku tidak mengalami penurunan dalam prestasi
(wawancara, 16 Mei 2016).
Sedangkan pada subjek lainya yang juga berasal dari keluarga yang
bercerai mengaku mengalami masa sulit menerima dan menurunkan
motivasi dalam belajar. “Ya.. dulu awalnya ndak menerima, kecewa,
mereka harus pisah. Sempet males belajar, mau ngapa-ngapain juga ndak
enak” (wawancara, 19 Mei 2016).
Berkaitan dengan dampak dari perceraian, peneliti dari University of
Arizona yakni David A. Sbarra, Hillary L.Smith, Matthias R. Meh pada
tahun 2011mengungkapkan bahwa mereka yang memiliki self compassion
lebih besar, mempunyai kemampuan lebih cepat untuk bangkit dari
dampak emosional. Temuan ini, menurut para peneliti dapat membantu
mereka yang mengalami kehancuran akibat perpisahan atau perceraian.
Sebagaimana yang terlihat dari subjek kini menjadi individu yang
lemah lembut dan mau bergaul dengan orang disekitarnya meski terkadang
4
Sedangkan pada subjek lainnya yang juga berasal dari keluarga yang
bercerai, terlihat sebagai individu yang ceria dan aktif serta senang bergaul
bersama teman-temannya (observasi, 19 Mei 2016).
Self compassion merupakan sikap memiliki perhatian dan kebaikan
terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup
ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta memiliki pengertian
bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan dalam dirinya merupakan
bagian dari kehidupan setiap orang. Neff menerangkan bahwa seseorang
yang memiliki self compassion lebih dapat merasakan kenyamanan dalam
kehidupan sosial dan dapat menerima dirinya secara apa adanya, selain itu
juga dapat meningkatkan kebijaksanaan dan kecerdasan emosi
(Ramadhani & Nurdibyanandaru, 2014: 122).
Self compassion juga dapat membantu seseorang untuk tidak
mencemaskan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, karena orang
yang memiliki self compassion dapat memerlakukan seseorang dan dirinya
secara baik dan memahami ketidak sempurnaan manusia (Neff, 2012
dalam Ramadhani & Nurdibyanandaru, 2014: 122).
Sikap baik dan perhatian terhadap diri sendiri juga dianjurkan
dalam agama islam. Sebagaimana dalam agama islam dilarang untuk
berbuat dzalim atau menganiyaya diri sendiri. Para ulama mendefinisikan
dzalim yakni menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Sedangkan definisi orang dzalim (menganiaya dirinya sendiri)
Yang lain mengartikan dzalim (Menganiaya) diri sendiri yaitu melakukan
dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar
maupun kecil. Sehingga, ketika seseorang melakukan perbuatan dosa,
hakikatnya dia telah menganiaya dirinya, yakni menjatuhkan dirinya
sendiri kepada siksa-Nya. Allah subhana wa ta’ala berfirman:
Artinya: Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.(QS. Huud : 101 )
Berkaitan dengan permasalah dalam kehidupan, Allah SWT
berfirman:
Artinya: “Apakah manusia mengira akan dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? (Q.S. Al-‘Ankabuut: 2)
6
Dari ayat Al-Qur’an di atas, maka dapat dipahami bahwa ujian atau
musibah adalah atas izin Allah yang memang harus dihadapi oleh manusia.
Allah akan memberikan petunjuk pada hati orang-orang yang beriman. Hal
ini sejalan dengan self compassion yang menganggap bahwa penderitaan,
kegagalan, dan kekurangan dalam dirinya merupakan bagian dari
kehidupan seseorang.
Dari fenomena dan pembahasan di atas, peneliti ingin meneliti
mahasiswa dari keluarga yang bercerai. Peneliti tertarik ingin mengetahui
self compassion yang mereka lakukan sehingga meski dibesarkan di
lingkungan keluarga yang bercerai namun ia dapat berprestasi. Mengingat
dampak psikologis dari perceraian orang tua dapat memengaruhi kualitas
kehidupan seseorang saat dewasa. Namun dengan kekurangannya ia dapat
berprestasi.
Dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi contoh positif bagi
mereka yang juga berasal dari keluarga yang bercerai untuk tetap
berprestasi tanpa memandang kekurangannya sebagai hambatan.
B. FOKUS PENELITIAN
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka
fokus dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran self compassion pada mahasiswa dari keluarga
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan self compassion pada mahasiswa
dari keluarga yang bercerai?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang:
1. Gambaran self compassion pada mahasiswa dari keluarga yang
bercerai
2. Faktor-faktor yang menyebabkan self compassion pada mahasiswa
dari keluarga yang bercerai
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan kepada ilmu psikologi dalam mengembangkan konsep
tentang self-compassion.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi
peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian dibidang yang
sama
b. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran self
8
keluarga yang bercerai sehingga mereka dapat lebih bersikap baik
kepada diri sendiri apabila menghadapi masalah.
E. KEASLIAN PENELITIAN
Terdapat penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan self
compassion pada mahasiswa dari keluarga yang bercerai diantaranya;
Penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2015) tentang Self Compassion
dan Loneliness. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan antara self
compassion dan loneliness. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
korelasional dengan subjek penelitian berjumlah 254 siswa yang tinggal di
Pondok Pesantren. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesa
penelitian ditolak, yang artinya bahwa tidak ada hubungan antara self
compassion dan loneliness.
Penelitian kedua oleh Ramadhani & Nurdibyanandaru (2014)
tentang Pengaruh Self Compassion terhadap Kompetensi Emosi Remaja
Akhir. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakan terdapat pengaruh
dari self compassion terhadap kompetensi emosi remaja akhir. Penelitian
dilaksanakan pada remaja akhir usia 18 sampai 22 tahun dengan jumlah
subjek sebanyak 108 yang terdiri dari 4 remaja dijenjang SMA dan 106
remaja pada jenjang kuliah, universitas, atau sederajat. Hasil penelitian
menunjukkan pengaruh positif dari self compassion terhadap kompetensi
emosi remaja akhir. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan self
Penelitian ketiga oleh Duran & Barlas (2016) tentang Effectiveness
of Psychoeducation Intervention on Subjective Well Being and Self
Compassion of Individuals with Mental Disabilities (Efektivitas Intervensi
Psychoeducation pada Subjektif Well Being dan Self Compassion Individu
dengan Mental Disabilitas). Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi efek
dari psychoeducation pada subjective well being dan self compassion yang
diberikan pada orang tua dari individu dengan mental disabilitas. Metode
yang digunakan pada 66 orang tua terdiri dari 33 sebagai kontrol dan 33
grup belajar, semua dari mereka memiliki anak dengan mental disabilitas.
Peneliti menggunakan desain pretest dan posttest untuk memeriksa efikasi
dari program psychoeducation pada kedua kelompok. Skala subjective well
being dan self compassion digunakan untuk memeroleh data dari kedua
kelompok. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan level
subjective well being dan self compassion orang tua setelah delapan sesi
dari psychoeducation.
Penelitian keempat dilakukan oleh Neff & Pommier (2012) tentang
The Relationship between Self Compassion and Other-focused Concern
among College Undergraduates, Community Adults, and Practicing
Meditators (Hubungan antara Self Compassion dan Other-focused
Concern antara Mahasiswa Perguruan tinggi, Komunitas Dewasa, dan
Praktisi). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self
compassion dan Other-focused Concern. Metode yang digunakan
10
172 praktisi. Hasil yang diperoleh penelitian ini yakni dari kesemua
kelompok peserta memiliki level yang tinggi dari self compassion.
Kekuatan hubungan antara self compasion dan other-focused concern juga
bervariasi menurut kelompok peserta dan gender. Hubungan terkuat
cenderung ditemukan di antara praktisi, sementara wanita cenderung
menunjukkan asosiasi lebih lemah dari laki-laki.
Penelitian kelima dilakukan oleh Kharina dan Saragih (2012)
tentang Meditasi Metta-Bhavana (Loving-Kindness Meditation) untuk
Mengembangkan Self Compassion. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahu perbedaan self compassion pada meditator metta bavana
(loving-kindness meditation) dan pada non meditator, serta antara
meditator pemula dan meditator lama serta mengetahui tahapan dalam
peoses meditasi yang berperan dalam pengembangan self compassion
dalam diri meditator metta-bhavana. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian campuran dengan jenis mixed method research. Metode
penelitian kuantitatif dalam penelitian ini adalah metode eksperimental
semu dimana tiap partisipan yang terdiri dari 30 orang kelompok kontrol,
30 orang kelompok eksperimen dengan pembagian 12 orang kelompok
eksperimen 1 (Meditator pemula), dan 18 orang kelompok eksperimen 2
(Meditator lama) diberikan kuisioner self compassion. Hasil penelitian
eksperimen semu ini kemudian diperdalam secara kualitatif dengan
wawancara terhadap 2 orang responden yang memiliki skor
perbedaan self-compassion pada meditator metta-bhavana (
loving-kindness meditation) dan pada non-meditator, dimana self-compassion
pada kelompok meditator lebih tinggi. Selain itu terdapat perbedaan
self-compassion yang signifikan antara kelompok meditator pemula dan lama,
dengan self-compassion yang lebih tinggi pada kelompok meditator lama.
Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa proses mindfulness, yaitu
selalu berusaha bersikap sadar dan penuh konsentrasi pada latihan meditasi
menjadi faktor penentu meditator dalam mendapatkan manfaat dari
meditasi metta-bhavana.
Penelitian keenam dilakukan oleh Satici, Uysal & Akin (2013)
tentang Investigating the Relationship Between Flourishing and Self
Compassion: A Struktural Equation Modeling Approach (Hubungan
antara Flourishing dan self Compassion: Sebuah Persamaan Struktural
Pendekatan Modeling). Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan
perbedaan gender dalam Self-Compassion, Self efficacy, dan Control Belief
untuk belajar dan untuk menguji hubungan antara Self-Compassion, Self
efficacy, dan Control Belief untuk belajar. Penelitian ini menggunakan
metode kuantitatif, subjek sebanyak 390 mahasiswa mengisi skala
Self-Compassion, Self efficacy, dan Control Belief. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan gender yang signifikan di Self-Compassion, self-efficacy, dan
Control Belief untuk belajar. Dalam analisis korelasi, Self-Compassion
12
Self-Compassion memiliki korelasi negatif dengan self-efficacy. Common
humanity memiliki korelasi positif dengan self-efficacy dan control belief
untuk belajar, dan memiliki korelasi negatif dengan self judgement. Di
samping itu, isolasi dikaitkan secara negatif dengan self-efficacy dan
self-compassion, dan positif dengan self judgement. Mindfulness berhubungan
positif dengan self-efficacy, dan control belief untuk belajar, dan itu
berhubungan negatif dengan self judgement.dan isolasi. Akhirnya,
ditemukan bahwa over identification memiliki korelasi negatif dengan
self-efficacy dan self-compassion, tapi korelasi positif dengan self
judgement.dan isolasi.
Penelitian ketujuh dilakukan oleh David A. Sbarra, Hillary
L.Smith, Matthias R. Mehl (2011) yang berjudul When Leaving Your Ex,
Love Yourself: Observational Ratings of Self-compassion Predict the
Course of Emotional Recovery Following Marital Separation. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi
ketahanan psikologis ketika suatu hubungan berakhir. Menggunakan
metode kualitatif eksperimen dengan subjek penelitian berjumlah 109
orang dewasa. Hasil penelitian ini yaitu mereka yang memiliki self
compassion lebih besar, mempunyai kemampuan lebih cepat untuk
bangkit dari dampak emosional. Temuan ini, menurut para peneliti dapat
membantu mereka yang mengalami kehancuran akibat perpisahan atau
Penelitian kedelapan dilakukan oleh Dipayanti & Chairani (2012)
yang berjudul Locus of Control dan Resiliensi pada Remaja yang Orang
Tuanya Bercerai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara locus of control dengan resiliensi pada remaja yang orang tuanya
bercerai. Menggunakan metode kuantitatif dengan subjek penelitian
berjumlah 60 remaja yang orang tuanya bercerai. Hasil penelitian ini yaitu
terdapat hubungan antara locus of control dengan resiliensi pada remaja
yang orang tuanya bercerai. Artinya semakin semakin internal locus of
control remaja yang memiliki orang tua yang bercerai maka semakin
baik resiliensi yang dimiliki oleh remaja tersebut dan sebaliknya semakin
eksternal locus of control yang dimiliki oleh remaja maka semakin
buruk resiliensi yang dimiliki remaja dalam menghadapi perceraian
orang tua.
Penelitian kesembilan dilakukan oleh Hakim & Rahmawati (2015)
tentang Strategi Coping dalam Menghadapi Permasalahan Akademik pada
Remaja yang Orang Tuanya mengalami Perceraian. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui strategi coping remaja yang orang tuanya
mengalami perceraian dalam mengatasi permasalahan akademiknya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek dalam mengatasi
permasalahan akademiknya menggunakan strategi coping yang lebih
14
Dilihat dari pernyataan subyek, yang mampu untuk menghindari
permasalahan, tidak terlalu memikirkan permasalahannya, dapat mengatur
emosi, menerima nasib yang diberikan Allah, dan mendapat dukungan
moral, simpati ataupun pengertian dari orang disekelilingnya.
Penelitian kesepuluh dilakukan oleh Chyntia (2015) tentang Self
Compassion pada Siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan Latar
Belakang Keluarga Bercerai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran derajat self compassion pada siswa SMA “X” dan
“Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuantitatif dengan subjek
sebanyak 35 siswa dari keluarga yang bercerai. Hasil penelitian ini
menunjukkan siswa dengan latar belakang keluarga bercerai memiliki
derajat self compassion tinggi sebanyak 51,4%, sementara 48,6% dengan
derajat self compassion yang rendah. Untuk siswa dengan derajat self
compassion rendah untuk diberikan sesi konseling.
Berdasarkan uraian penelitian terdahulu penelitian ini memiliki
kesamaan dalam topik penelitian yakni self compassion dan anak dari
keluarga yang bercerai. Sedangkan letak perbedaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya yaitu dalam penelitian ini meneliti individu dengan
hal positif yang diraih meski berasal dari keluarga yang bercerai sehingga
diharapkan penelitian ini nantinya dapat menjadi wawasan bagi pembaca
untuk lebih bersikap baik kepada diri sendiri atau tidak menyalahkan diri
penelitian yang diambil, penelitian ini juga memiliki perbedaan pada
lokasi penelitian, metode penelitian, dan fokus penelitian, yakni pada
gambaran self compassion pada mahasiswa berprestasi dari keluarga yang
bercerai dan faktor yang menyebabkannya. Sedangkan metode yang
digunakan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan tipe
pendekatan fenomenologi. Subjek yang digunakan sebanyak 3 mahasiswa
yang berasal dari keluarga yang bercerai dan instrumen yang digunakan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. SELF COMPASSION
Self-compassion merupakan konsep yang diadaptasi dari filosofi budha
tentang cara mengasihi diri sendiri layaknya rasa kasihan ketika melihat
orang lain mengalami kesulitan (Neff dalam Hidayati, 2015: 157). Konsep
compassion kemudian menjadi konsep penelitian ilmiah yang dirintis oleh
Kristin Neff. Compassion (yang merupakan unsur cinta kasih) melibatkan
perasaan terbuka terhadap penderitaan diri sendiri dan orang lain, dalam
cara yang non-defensif dan tidak menghakimi. Compassion juga
melibatkan keinginan untuk meringankan penderitaan, kognisi yang terkait
untuk memahami penyebab penderitaan, dan perilaku untuk bertindak
dengan belas kasih. Oleh karena itu, kombinasi motif, emosi, pikiran dan
perilakulah yang memunculkan compassion (Gilbert, 2005: 01).
Self compassion merupakan sikap memiliki perhatian dan kebaikan
terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup
ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta memiliki pengertian
bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan dalam dirinya merupakan
bagian dari kehidupan setiap orang. Neff menerangkan bahwa seseorang
yang memiliki self compassion lebih dapat merasakan kenyamanan dalam
kehidupan sosial dan dapat menerima dirinya secara apa adanya, selain itu
juga dapat meningkatkan kebijaksanaan dan kecerdasan emosi
Neff (dalam Hidayati F, 2015: 186) menyebutkan bahwa self
compassion melibatkan kebutuhan untuk mengelola kesehatan diri dan
well being, serta mendorong inisiatif untuk membuat perubahan dalam
kehidupan. Individu dengan self compassion tidak mudah menyalahkan
diri bila menghadapi kegagalan, memperbaiki kesalahan, mengubah
perilaku yang kurang produktif dan menghadapi tantangan baru. Individu
dengan self compassion termotivasi untuk melakukan sesuatu, atas
dorongan yang bersifat intrinsik, bukan hanya karena berharap penerimaan
lingkungan.
Self compassion juga dapat membantu seseorang untuk tidak
mencemaskan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, karena orang
yang memiliki self compassion dapat memerlakukan seseorang dan dirinya
secara baik dan memahami ketidaksempurnaan manusia (Neff dalam
Ramadhani & Nurdibyanandaru, 2014: 122). Seseorang yang memiliki self
compassion tinggi mempunyai ciri:
1. Mampu menerima diri sendiri baik kelebihan maupun
kelemahannya
2. Mampu menerima kesalahan atau kegagalan sebagai suatu hal
umum yang juga dialami oleh orang lain
3. Mempunyai kesadaran tentang keterhubungan antara segala
sesuatu (Hidayati, 2015: 157).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa self
18
dalam menghadapi kesulitan sehingga menganggap kesulitan adalah
bagian dari kehidupan yang harus dijalani.
a. Dimensi-Dimensi Self Compassion
Neff (dalam Germer & Siegel, 2012: 80-82) menjelaskan bahwa
self compassion terdiri dari tiga komponen yaitu:
a. Self kindess
Kemampuan individu untuk memahami dan menerima diri apa
adanya serta memberikan kelembutan, tidak menyakiti atau
menghakimi diri sendiri. Self kindess membuat individu menjadi
hangat terhadap diri sendiri ketika menghadapi rasa sakit dan
kekurangan pribadi, memahami diri sendiri dan tidak menyakiti
atau mengabaikan diri dengan mengkritik dan menghakimi diri
sendiri ketika menghadapi masalah.
Individu dengan self kindness dapat menghadapi permasalahan atau
situasi menekan dengan menghindari penyalahan diri sendiri, atau
perasaan rendah. Selfkindnessmerupakan afirmasi bahwa individu
akan menerima kebahagiaan dengan memberikan kenyamanan
pada individu lain. Self kindness inilah yang mendorong individu
untuk bertindak positif dan memberikan manfaat bagi individu lain
(Hidayati F, 2015: 186).
b. Common humanity
Common humanity adalah kesadaran bahwa individu memandang
manusia dan merupakan sesuatu yang dialami oleh semua orang,
bukan hanya dialami diri sendiri. Common humanity mengaitkan
kelemahan yang individu miliki dengan keadaan manusia pada
umumnya, sehingga kekurangan tersebut dilihat secara menyeluruh
bukan hanya pandangan subjektif yang melihat kekurangan
hanyalah milik diri individu. Penting dalam hal ini untuk
memahami bahwa setiap manusia mengalami kesulitan dan
masalah dalam hidupnya.
c. Mindfulness
Mindfulness adalah melihat secara jelas, menerima, dan
menghadapi kenyataan tanpa menghakimi terhadap apa yang
terjadi di dalam suatu situasi. Mindfulness mengacu pada tindakan
untuk melihat pengalaman yang dialami dengan perspektif yang
objektif. Mindfulness diperlukan agar individu tidak terlalu
teridenfikasi dengan pikiran atau perasaan negatif. Konsep dasar
mindfullness adalah melihat segala sesuatu seperti apa adanya
dalam artian tidak dilebih-lebihkan atau dikurangi sehingga
mampu menghasilkan respon yang benar-benar obyektif dan efektif
(Neff dalam Hidayati, 2015: 158).
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Compassion
Faktor yang mempengaruhi self compassion sebagaimana diungkapkan
oleh Neff (2003: 94-96) yakni:
20
Pertama kali manusia mendapat pengasuhan dari orang tua. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa individu yang tumbuh dengan
orang tua yang selalu mengkritik ketika masa kecilnya akan
menjadi lebih mengkritik dirinya sendiri ketika dewasa. Model dari
orang tua juga dapat mempengaruhi self compassion yang dimiliki
individu. Perilaku orang tua yang sering mengkritik diri sendiri
saat menghadapi kegagalan atau kesulitan. Orang tua yang
mengkritik diri akan menjadi contoh bagi individu untuk
melakukan hal tersebut saat mengalami kegagalan yang
menunjukkan derajat self compassion yang rendah.
Individu yang memiliki derajat self compassion yang rendah
kemungkinan besar memiliki ibu yang kritis, berasal dari keluarga
disfungsional, dan menampilkan kegelisahan dari pada individu
yang memiliki derajat self compassion yang tinggi (Neff &
McGeehee, 2010: 228).
b. Usia
Dalam tahap perkembangan, seorang remaja mengalami peralihan
yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa karena kepekaan
terhadap perubahan sosial dan historis di lain pihak, maka selama
tahap pembentukan identitas seorang remaja, masa remaja adalah
periode kehidupan di mana self compassionyang terendah.
Secara umum, hasil penelitian yang dilakukan oleh Yarnell,
Stafford et al. menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gender
yang mempengaruhi tingkat self compassion, dimana laki-laki
ditemukan memiliki tingkat self compassion yang sedikit lebih
tinggi dari pada perempuan. Temuan ini konsisten dengan temuan
masa lalu yang mana perempuan cenderung lebih kritis terhadap
diri mereka sendiri dan lebih sering menggunakan self-talk negatif
dibandingkan laki-laki.
Hal lain yang menjelaskan perbedaan gender tersebut yaitu
perempuan juga lebih sering melakukan perenungan yang berulang,
mengganggu, dan merupakan cara berpikir yang tak terkendali atau
yang disebut rumination. Rumination mengenai hal-hal yang terjadi
di masa lalu dapat mengarahkan munculnya depresi, sedangkan
rumination mengenai potensi peristiwa negatif di masa depan akan
menimbulkan kecemasan (Neff, 2003:94).
d. Budaya
Individu dari budaya kolektivis umumnya memiliki interdependent
sense of self yang lebih dibandingkan individualis, maka dari itu
diharapkan orang-orang Asia memiliki level self-compassion yang
lebih tinggi dari orang Barat. Namun, penelitian juga telah
menunjukkan bahwa orang-orang Asia cenderung lebih self-critical
dibandingkan dengan orang Barat (Kitayama & Markus, 2000;
22
Neff, 2003: 96), yang mana hal ini justru menunjukkan sebaliknya,
memiliki self compassion yang rendah.
B. MAHASISWA
Dalam Kamus Bahasa Indonesia mahasiswa didefinisikan sebagai
orang yang belajar di Perguruan Tinggi (Kamus Bahasa Indonesia Online,
kbbi.web.id)
Menurut Siswoyo (2007: 121) mahasiswa dapat didefinisikan sebagai
individu yang sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik
negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan
tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi,
kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak. Berpikir
kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang
cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, dan merupakan prinsip
yang saling melengkapi.
Kewajiban yang paling penting bagi seorang mahasiswa adalah belajar.
Belajar adalah syarat mutlak untuk mencapai tujuan ilmiah (Ganda, 2004:
1). Belajar, menuntut, dan mencari ilmu merupakan aktivitas seorang
mahasiswa. Aktivitas membaca, meneliti, berdiskusi, menulis, dan
berorganisasi merupakan kegiatan mahasiswa.
Adapun tujuan mahasiswa adalah untuk mencapai dan meraih taraf
keilmuan yang matang, artinya menjadi sarjana yang sujana, yang
menguasai suatu ilmu serta memahami wawasan ilmiah yang luas
berkaitan dengan keilmuannya untuk diabdikan kepada masyarakat
(Ganda, 2004: 1).
Melihat tujuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat harapan besar
bagi mahasiswa untuk berprestasi. Berprestasi dalam kbbi online memiliki
arti yakni mempunyai prestasi dalam suatu hal (dari yang telah dilakukan,
dikerjakan, dan sebagainya) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,
kbbi.web.id).
Berprestasi dapat dilihat dari nilai yang diperoleh selama masa
perkuliahan atau IPK (Indeks Prestasi Komulatif). IPK merupakan nilai
rata-rata yang didapat dari satuan kredit tota hasil suatu kredit mata kuliah
(kumulatif). Indeks Prestasi Kumulatif dan predikat kelulusan ditetapkan
sebagai berikut (Kep. Mendiknas No. 232 Tahun 2000 dalam Panduan
[image:32.595.139.510.237.645.2]Penyelenggaraan Pendidikan Tahun 2012):
Tabel 1
Indeks Prestasi Kumulatif dan Predikat Kelulusan
No Indeks Prestasi Kumulatif Predikat
1 2,00-2,75 Memuaskan
2 2,76-3,50 Sangat Memuaskan
3 3,51-4,00 Dengan Pujian
Selain dilihat dari nilai IPK dapat juga dilihat dari keaktifan
mahasiswa baik dalam organisasi maupun kegiatan yang berguna lainnya.
24
organisasi. Seorang mahasiswa yang memiliki bakat tertentu dan
mengembangkan serta membuat karya atas kemampuan yang dimiliki,
juga termasuk dalam katagori seorang mahasiswa yang berprestasi.
Sebagaimana arti kata dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa mahasiswa adalah seorang yang belajar diperguruan tinggi serta
dapat memiliki prestasi baik akademik maupun non akademik.
C. KELUARGA YANG BERCERAI
Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara
resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak
menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri (Dariyo, 2004: 94).
Menurut Holmes dan Rahe, perceraian adalah penyebab stres kedua
paling tinggi, setelah kematian pasangan.Perpisahan dan perceraian adalah
peristiwa yang stressfuluntuk semua orang yang terlibat, bahkan dalam
keadaan yang paling baik sekalipun (Woolfolk, 2009: 126).
Pada umumnya orang tua yang bercerai akan lebih siap menghadapi
perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena
sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan
pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental
dan fisik. Namun tidak demikian halnya dengan anak, ia tiba-tiba saja
harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa
sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah
(Dariyo, 2004: 94).
Menurut para ahli, seperti Nakamura, Turner & Helms, Lusiana Sudarto
& Henny E. Wirawan sebagaimana dikutip oleh Dariyo (2004: 95-96),
terdapat beberapa faktor penyebab perceraian yaitu:
1) Kekerasan Verbal
2) Masalah ekonomi-finansial
3) Keterlibatan dalam perjudian
4) Keterlibatan dalam penyalahgunaan minuman keras
5) Perselingkuhan
Beberapa faktor penyebab perceraian sebagaimana dipaparkan oleh
Dariyo (2003: 165-167) yakni:
1. Masalah keperawanan (Virginity)
Faktor keperawanan dianggap sebagai sesuatu yang suci bagi wanita
yang akan memasuki pernikahan. Bagi seorang individu (laki-laki)
yang menganggap keperawanan sebagai sesuatu yang penting,
kemungkinan masalah keperawanan akan mengganggu proses
perjalanan kehidupan perkawinan, tetapi bagi laki-laki yang tidak
mempermasalahkan keperawanan, kehidupan perkawinan akan dapat
dipertahankan dengan baik. Hal ini berlaku untuk sebagian
daerah/wilayah yang menjunjung tinggi nilai sosial-budaya bahwa
keperawanan merupakan faktor penting dalam perkawinan.
2. Ketidaksetiaan Salah Satu Pasangan Hidup
Salah satu pasangan (suami atau istri) ternyata menyeleweng atau
26
ditemukan kata sepakat untuk menyelesaikan dan saling memaafkan,
akhirnya perceraianlah jalan terbaik.
3. Tekanan Kebutuhan Ekonomi Keluarga
Harga barang-jasa kebutuhan hidup yang semakin melonjak tinggi
sementara suami memiliki gaji/penghasilan yang pas-pasan sehingga
hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk
menyelesaikan masalah itu, kemungkinan seorang istri menuntut
cerai dari suami.
4. Tidak Mempunyai Keturunan
Tidak adanya keturunan dapat disebabkan karena kemandulan yang
dialami salah satu atau keduanya.
5. Salah Satu dari Pasangan Hidup Meninggal Dunia
Setelah meninggal dunia dari salah satu pasangan hidup, secara
otomatis keduanya bercerai.
6. Perbedaan Prinsip, Ideologi, dan Agama
b. Dampak Perceraian
Individu yang telah melakukan perceraian, bak disadari maupun tidak
disadari akan membawa dampak negatif. Hal-hal yang dirasakan akibat
perceraian diantaranya:
1. Pengalaman traumatis pada salah satu pasangan hidup (laki-laki
maupun perempuan)
3. Ketidakstabilan kehidupan dalam pekerjaan (Dariyo, 2003:
168-169).
Penelitian yang dilakukan oleh Amato dan Keith (dalam Stevenson
& Black dalam Dewi & Utami, 2008) yang mengungkapkan bahwa
individu yang mempunyai pengalaman perceraian orang tua di masa
kecilnya, memiliki kualitas hidup yang lebih rendah di masa
dewasanya dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki
pengalaman perceraian orang tua.
Menurut Dadang Hawari anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga
yang mengalami disfungsi, mempunyai resiko yang lebih besar untuk
bergantung tumbuh kembang jiwanya (misal, kepribadian anti sosial)
dibandingkan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang
harmonis dan utuh atau sakinah. Salah satu ciri disfungsi adalah
perceraian orang tuanya. Perceraian tersebut ternyata memberi dampak
yang kurang baik terhadap perkembangan kepribadian anak. Dalam
penelitian para ahli seperti: MC Dermott, Moorison Offord dkk, Sugar,
Westman dan Kalter yaitu bahwa remaja yang orang tuanya bercerai
cenderung menunjukan:
1. Berperilaku nakal
2. Mengalami depresi
3. Melakukan hubungan seksual secara aktif
28
D. SELF COMPASSION PADA MAHASISWA DARI KELUARGA YANG BERCERAI
Self compassion adalah sikap perhatian dan baik terhadap diri serta
terbuka dalam menghadapi kesulitan sehingga menganggap kesulitan
adalah bagian dari kehidupan yang harus dijalani.
Sedangkan mahasiswa dari keluarga yang bercerai adalah seorang
yang belajar diperguruan tinggi, memiliki prestasi baik akademik maupun
non akademik dan berasal dari keluarga dengan orang tua bercerai.
Dapat disimpulkan bahwa self compassion pada mahasiswa dari
keluarga yang bercerai adalah sikap perhatian dan baik terhadap diri serta
terbuka dalam menghadapi kesulitan dampak perceraian orang tua dan
menganggap kesulitan tersebut adalah bagian dari kehidupan yang harus
dijalani.
Penelitian yang dilakukan oleh Sun mengungkapkan bahwa
perceraian dapat berdampak positif dan meningkatkan well being anak jika
perceraian tersebut dapat menyelesaikan konflik yang terjadi pada orang
tua sehingga anak terhindar dari suasana keluarga yang penuh dengan
ketegangan (Dewi & Utami, 2008: 196).
Berkaitan dengan dampak dari perceraian, peneliti dari University
of Arizona yakni David A. Sbarra, Hillary L.Smith, Matthias R. Meh pada
tahun 2011 mengungkapkan bahwa mereka yang memiliki self compassion
dampak emosional. Temuan ini, menurut para peneliti dapat membantu
mereka yang mengalami kehancuran akibat perpisahan atau perceraian.
Menurut Neff (dalam Akin dkk, 2013: 87) menyebutkan bahwa self
compassion merupakan cara penting untuk meningkatkan kesejahteraan
emosional dan kepuasan dalam hidup, memupuk pikiran positif seperti
kebahagiaan dan optimisme, memungkinkan untuk kesejahteraan (well
being) dan kemajuan.
E. PERSPEKTIF TEORITIS
Self compassion adalah sikap perhatian dan baik terhadap diri serta
terbuka dalam menghadapi kesulitan sehingga menganggap kesulitan
adalah bagian dari kehidupan yang harus dijalani.
Sedangkan mahasiswa dari keluarga yang bercerai adalah seorang
yang belajar diperguruan tinggi, memiliki prestasi baik akademik maupun
non akademik dan berasal dari keluarga dengan orang tua bercerai.
Dapat disimpulkan bahwa self compassion pada mahasiswa dari
keluarga yang bercerai adalah sikap perhatian dan baik terhadap diri serta
terbuka dalam menghadapi kesulitan dampak perceraian orang tua dan
menganggap kesulitan tersebut adalah bagian dari kehidupan yang harus
dijalani.
Berdasarkan kajian teori di atas, peneliti dapat membuat suatu
landasan berfikir bahwasannya mahasiswa dari keluarga yang bercerai
30
perceraian orang tua. Seseorang yang memiliki self compassion tinggi
mempunyai ciri:
1. Mampu menerima diri sendiri baik kelebihan maupun
kelemahannya
2. Mampu menerima kesalahan atau kegagalan sebagai suatu hal
umum yang juga dialami oleh orang lain
3. Mempunyai kesadaran tentang keterhubungan antara segala
sesuatu (Hidayati, 2015: 157).
Self compassion merupakan kesediaan diri untuk tersentuh dan
terbuka kesadarannya saat mengalami penderitaan dan tidak menghindari
penderitaan tersebut. Proses pemahaman tanpa kritik terhadap penderitaan,
kegagalan, atau ketidakmampuan diri dengan cara memahami bahwa
ketiga hal tersebut merupakan bagian dari pengalaman sebagai manusia
pada umumnya (Hidayati, 2015: 155).
Self Compassion dipengaruhi oleh faktor internal seperti usia dan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.
Karena penelitian ini membutuhkan data yang mendalam, untuk
memahami makna yang melandasi tingkah laku subjek penelitian.
Sehingga diperlukan kedekatan antara peneliti dengan subjek penelitian
agar menghasilkan data yang terbuka.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai
lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen
kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2010: 1).
Menurut Marshal (1995 dalam Sarwono, 2006: 193), metode
penelitian kualitatif didefinisikan sebagai suatu proses yang mencoba
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas
yang ada dalam interaksi manusia.
Sedangkan model penelitian yang dipakai adalah fenomenologi.
Menurut Sarwono (2006: 193), fenomenologi merupakan ilmu yang
mempelajari fenomena atau gejala yang dilandasi oleh teori Max Weber
(1864-1920). Teori ini menekankan pada metode penghayatan atau
32
Fenomenologi dipilih karena penelitian ini berusaha
mengungkapkan makna dari fenomena yang dialami seseorang. Menurut
Sarwono (2006: 193), jika seseorang menunjukkan perilaku tertentu dalam
masyarakat, maka perilaku tersebut merupakan realisasi dari
pandangan-pandangan atau pemikiran yang ada dalam kepala orang tersebut.
Berdasarkan data yang terkumpul nantinya, diharapkan dapat diketahui
self compassion pada mahasiswa dari keluarga yang bercerai.
Model penelitian fenomenologi dipilih karena fenomena perceraian
adalah pengalaman individu sekaligus peristiwa yang dialami oleh
beberapa orang atau bersifat masal.
B. LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian berada di tempat tinggal masing-masing subjek.
Peneliti mengambil tempat tinggal subjek sebagai lokasi penelitian agar
memberikan rasa aman dan nyaman bagi subjek dalam memberikan
informasi terkait self compassion pada dirinya melalui wawancara dan
observasi.
C. SUMBER DATA
Sumber data untuk penelitian ini berasal dari subjek dan significant
others. Pemilihan subjek dilakukan secara purposive (berdasarkan kriteria
tertentu), maka peneliti dapat menemukan subyek yang sesuai dengan
tema penelitian. Adapun karakteristik subyek penelitian adalah sebagai
1. Subyek merupakan mahasiswa aktif dengan latar belakang keluarga
yang bercerai dan memiliki prestasi.
2. Beragama islam
3. Bersedia menjadi subyek penelitian dan untuk jenis kelamin tidak
ditentukan perempuan atau laki-laki.
Kriteria di atas menjadi pedoman peneliti dalam menentukan dan
mencari subjek. Adapun profil subjek dalam penelitian ini akan dijabarkan
dengan menyamarkan identitas subjek guna menjaga kerahasian dan
privasi subjek. Profil dari ketiga subjek dalam penelitian ini yakni sebagai
berikut:
Subjek 1:
Nama : A
Tempat, tanggal lahir : Madiun, 25 Maret 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 22 tahun
Status : Mahasiswa aktif
Semester : 6
Peneliti memilih subjek ini, karena subjek berasal dari keluarga
yang bercerai dan memiliki prestasi akademik yang baik dengan perolehan
IPK pada semester 5 yakni 3,46 . Subjek juga aktif dalam organisasi ekstra
kampus yakni organisasi islam KAMMI.
Subjek 2:
34
Tempat, tanggal lahir : Situbondo, 24 September 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 20 tahun
Status : Mahasiswa aktif
Semester : 4
Peneliti memilih subjek ini, karena subjek merupakan mahasiswa yang
berasal dari keluarga bercerai dan memiliki prestasi akademik yang bagus
dengan perolehan nilai IPK pada semester 3 yakni 3,52 . Subjek juga aktif
dalam kegiatan organisasi seperti organisasi ekstra kampus KAMMI,
Gemabi (Gerakan Menuju Anak Baik) sebagai koordinator akhwat
(perempuan), Kopfi (Komunitas Pecinta Film Islami) sebagai Penanggung
Jawab (PJ) daerah Surabaya.
Subjek 3:
Nama : C
Tempat, tanggal lahir : Sidoarjo, 26 Juli 1993
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Mahasiswa aktif
Peneliti memilih subjek ini, karena subjek berasal dari keluarga yang
bercerai dan memiliki prestasi akademik berdasarkan nilai IPK terakhir
sebesar 3,36
Significant others guna mengecek kebenaran hasil wawancara dari
Dalam penelitian ini menggunakan dua significant others. Berikut profil
dari significant others:
Significant others subjek 1
Significant others I: Kakak subyek
Nama : EL
Tempat, tanggal lahir : Madiun, 13 Juli 1980
Usia : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : PNS
Peneliti memilih kakak kandung subyek untuk menjadi sumber data
pendukung karena berdasarkan keterangan dari subjek yang mengaku
bahwa keluarga terdekatnya yakni kakak disebabkan karena memang
subjek tidak tinggal bersama orang tua subjek baik ayah maupun ibu.
Significant others II: Teman dekat subyek
Nama : FT
Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 21 November 1992
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswa
Peneliti memilih teman subjek sebagai sumber data pendukung, karena
subjek berada dalam organisasi yang sama dan berdasarkan keterangan
subjek merupakan teman dekat.
36
Significant others I: Ustadzah
Nama : K
Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 15 Maret 1989
Usia :27 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Wiraswasta
Peneliti memilih K sebagai sumber data pendukung karena merupakan
orang terdekat subjek.
Significant others II: Teman subyek
Nama : FA
Tempat, tanggal lahir : Sidoarjo, 7 Juli 1995
Usia : 21 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswa
Peneliti memilih teman subjek sebagai sumber data pendukung, karena
subjek berada dalam organisasi yang sama dan merupakan teman dekat.
Significant others subjek 3 :
Significant others I: Ibu
Nama : UT
Tempat, tanggal lahir : Sidoarjo, 5 September 1968
Usia : 48
Jenis Kelamin : Perempuan
Peneliti memilih ibu sebagai sumber data pendukung karena merupakan
orang terdekat subjek.
Significant others II: Teman subyek
Nama : RI
Tempat, tanggal lahir : Sidoarjo, 02 Februari 1993
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswa
Peneliti memilih teman subjek untuk menjadi sumber data pendukung,
karena diduga mempunyai informasi kuat tentang subjek karena telah
berteman sejak masa SMA.
D. CARA PENGUMPULAN DATA
Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara,
observasi dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data yang digunakan
tersebut guna mendapatkan keakuratan data.
a. Wawancara
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi
dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu. Wawancara digunakan sebagai teknik
pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan
untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila
peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam.
38
diri sendiri atau self-report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan
dan keyakinan pribadi (Sugiyono, 2010: 72).
Penelitian ini dilakukan dengan wawancara terbuka. Wawancara
terbuka menurut Moleong (2009:189) yakni wawancara yang
dilakukang dengan para subjek tahu bahwa mereka sedang
diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud dan tujuan wawancara
itu.
Tujuan wawancara ini adalah untuk memperoleh informasi secara
mendalam tentang self compassion yang dilihat dari tiga aspek yaitu
self kindness, common humanity, dan mindfullness. Wawancara
dianggap selesai ketika telah memasuki titik jenuh atau sudah tidak
menemukan pertanyaan yang perlu ditanyakan lagi.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan guidance wawancara guna
membantu dalam proses wawancara. Data yang ingin diperoleh dalam
wawancara ini antara lain tentang proses subjek dalam memahami dan
memaknai perceraian orang tuanya, cara subjek dalam menghargai
pemikiran, perasaan, dan tingkah laku orang lain yang beragam, serta
pandangan subjek dalam melihat segala sesuatu yang terjadi dalam
hidupnya. Data ini guna mengetahui gambaran self compassion
berdasarkan aspek self kindness, common humanity, dan mindfullness.
b. Observasi
Observasi menjadi metode paling dasar dan paling tua dari psikologi,
mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif
maupun kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya. Istilah
observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti ‘melihat’ dan
‘memperhatikan’. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yangmuncul dan
mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut.
Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat
berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun
dalam konteks alamiah (Poerwandari, 2005: 116).
Sebelum melakukan observasi, peneliti terlebih dahulu mengadakan
pendekatan dengan subjek penelitian. Kegiatan ini dilakukan untuk
menjalin keakraban antara peneliti dengan subjek penelitian.
Penelitian ini menggunakan jenis observasi non partisipan dimana
peneliti tidak ikut serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang subjek
lakukan, tetapi observasi dilakukan pada saat wawancara.
Pengamatan dilakukan menggunakan pedoman observasi catatan
lapangan atau field note. Observasi ini mengamati tingkah laku subjek
dan kondisi lingkungan selama wawancara. Data yang ingin diperoleh
dari observasi ini diantaranya tentang sikap yang subjek tunjukkan
seperti permusuhan, rendah diri, malu dan mengisolasi diri ataukah
sikap menghargai, kasih sayang, dan kebahagiaan. Data ini guna
menggambarkan self compassion dalam diri subjek sehingga
40
c. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen
bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental
seseorang (Sugiyono, 2010: 82). Hasil penelitian dari observasi dan
wawancara akan lebih kredibel/dapat dipercaya kalau didukung oleh
sejarah pribadi kehidupan masa kecil, di sekolah, di tempat kerja, di
masyarakat, dan autobiografi (Sugiyono, 2010: 83).
Pada penelitian ini, dokumentasi yang dipergunakan yakni Kartu Hasil
Studi (KHS) atau transkip nilai mahasiswa yang menunjukkan nilai
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Dokumen ini guna mendukung
informasi prestasi akademik subjek.
E. PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
Analisis data adalah proses mencari dan menyususn secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan atau
field note, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke
dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan
dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri
sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2010: 88).
Prosedur analisis data kualitatif dibagi menjadi lima langkah, yaitu:
Cara ini dilakukan dengan membaca berulang kali data yang ada
sehingga peneliti dapat menemukan data yang sesuai dengan
penelitiannya dan membuang data yang tidak sesuai
2. Membuat kategori, menentukan tema, dan pola
Peneliti mengelompokkan data yang ada ke dalam suatu kategori
dengan tema masing-masing sehingga pola keteraturan data menjadi
terlihat jelas
3. Menguji hipotesis yang muncul dengan menggunakan data yang ada
Peneliti melakukan pengujian kemungkinan berkembangnya suatu
hipotesis dan mengujinya dengan menggunakan data yang tersedia
4. Mencari eksplanasi alternatif data
Peneliti memberikan keterangan yang masuk akal data yang ada dan
peneliti harus mampu menerangkan data tersebut didasarkan pada
logika makna yang terkandung dalam data tersebut
5. Menulis laporan
Peneliti menuliskan kata, frasa, dan kalimat serta pengertian secara
tepat yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan data dan hasil
analisisnya (Sarwono, 2006: 239-240).
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini menggunakan metode
analisis deskripsi esensi karena merupakan penelitian fenomenologi.
Untuk analisis dan interpretasi data dalam penelitian ini terlebih dahulu
data ditulis dalam transkip wawancara, dikoding, dan dikategorikan dalam
42
F. KEABSAHAN DATA
Dalam penelitian kualitatif, data dinyatakan terpercaya atau absah
apabila memiliki derajat keterpercayaan (credibility), keteralihan
(transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian
(confirmability). Masing-masing dijelaskan dibawah ini (Nawawi, 2012:
316-318):
a. Keterpercayaan (Credibility)
Kriteria ini digunakan dengan maksud data dan informasi yang
dikumpulkan peneliti harus mengandung nilai kebenaran (valid).
Kredibilitas data bertujuanuntuk membuktikan apakah yang teramati
oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia
kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia
kenyataan tersebut memang sesuai dengan yang sebenarnya ada atau
terjadi. Adapun untuk memperoleh keabsahan data dengan beberapa
cara, yaitu:
1. Perpanjangan keikutsertaan
2. Ketekunan pengamatan
3. Triangulasi
4. Pengecekan sejawat
5. Kecukupan referensial
6. Kajian kasus negatif
Dari ketujuh cara tersebut, peneliti menggunakan cara triangulasi.
Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
melakukan pengecekan atau perbandingan terhadap data yang
diperoleh dengan sumber atau kriteria yang lain diluar data itu, untuk
meningkatkan keabsahan data. Validasi dengan triangulasi dalam
penelitian ini melalui informan pendukung seperti saudara dan orang
tua subjek.
b. Keteralihan (Transferability)
Dalam penelitian kualitatif, tranferabilitas tergantung pada pembaca,
yakni sampai manakah hasil penelitian itu dapat mereka gunakan
dalam konteks situasi tertentu. Karena itu, tranferabilitas hasil
penelitian ini diserahkan kepada pemakainya. Suatu penelitian yang
nilai transferabilitasnya tinggi senantiasa dicari orang lain untuk
dirujuk, dicontoh, dipelajari lebih lanjut, untuk diterapkan di tempat
lain. Oleh karena itu, peneliti perlu membuat laporan yang baik agar
terbaca dan memberikan informasi lengkap jelas, sistematis, dan dapat
dipercaya. Bila pembaca mendapat gambaran yang jelas dari suatu
hasil penelitian yang dilakukan (tranferability), maka hasil penelitian
tersebut memenuhi standar tranferabilitas.
c. Kebergantungan (Dependability)
Pengujian ini dilakukan dengan mengaudit keseluruhan proses
penelitian. Kalau proses penelitian tidak dilakukan di lapangan dan
44
Audit dilakukan oleh independen atau pembimbing untuk mengaudit
keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian. Bagaimana
peneliti menentukan masalah, memasuki lapangan, menentukan
sumber data, melakukan analisis data, melakukan keabsahan data, dan
membuat kesimpulan. Jika peneliti tidak mempunyai dan tidak dapat
menunjukkan aktivitas yang dilakukan di lapangan, maka
dependabilitas penelitiannya patut diragukan.
d. Kepastian (Conformability)
Uji konformabilitas berarti menguji hasil penelitian dikaitkan dengan
proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari
proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah
memenuhi standar konfirmabilitas. Artinya, seorang peneliti
melaporkan hasil penelitian karena ia telah melakukan serangkaian
kegiatan penelitian di lapangan. Untuk menjaga kebenaran dan
objektivitas hasil penelitian, perlu dilakukan ‘audit trail’ yakni
melakukan pemeriksaan guna meyakinkan bahwa hal-hal yang
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. DESKRIPSI SUBJEK
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan subjek
mahasiswa yang berasal dari keluarga yang bercerai dan memiliki prestasi
akademik yang baik.
Peneliti melakukan wawancara kepada tiga subjek mahasiswa
tentang self compassion, di bawah ini dipaparkan data dan profil subjek
[image:54.595.141.507.242.578.2]sebagai berikut:
Tabel 2
Data Subjek
No Subjek
Penelitian
Usia Jenis
Kelamin
IPK
1 A 22 tahun Perempuan 3,46
2 B 20 tahun Perempuan 3,52
3 C 23 tahun Perempuan 3,36
1) Profil Subjek A (subjek 1)
Subjek A seorang mahasiswa kelahiran Madiun, 25 Maret 1994
merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Subjek berusia 22 tahun
seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan tengah
46
pada saat duduk di bangku kelas enam SD. Semenjak perceraian orang
tuanya, subjek tidak lagi tenggal bersama kedua orang tuanya dan
belum pernah lagi bertemu dengan mereka. Subjek tinggal bersama
nenek hingga sang nenek meninggal dan akhirnya subjek harus tinggal
bersama tante subjek di Madiun.
Perempuan dengan tinggi 168 ini merupakan seorang yang memiliki
nilai akademik yang baik yakni dengan IPK di semester sebesar 3,46.
Selain itu, perempuan berjilbab lebar ini juga aktif di organisasi sejak
duduk di bangku SMA mulai dari Organisasi Rohis, Pramuka,
Paskibraka, hingga kini saat duduk di bangku kuliah ia juga ikut
organisasi keagamaan ekstra kampus yakni KAMMI.
2) Profil Subjek B
Subjek B seorang mahasiswa semester 4 kelahiran Situbondo, 24
September 1995 merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Subjek
B mengalami perceraian orang tua pada saat duduk di bangku kelas
dua SMA. Semenjak perceraian orang tuanya tersebut, subjek tidak
lagi tinggal bersama kedua orang tua, lantaran sang ibu yang menikah
lagi dan ikut suaminya sedangkan sang ayah yang tidak lagi tinggal di
Situbondo melainkan ke Kalimantan dan telah menikah lagi. Sehingga
subjek hanya tinggal berdua bersama adiknya karena kakak-kakaknya
pun telah menikah juga.
Perempuan dengan tinggi 157 ini merupakan seorang yang aktif di
dan IKAPELPENA dan kini organisasi KAMMI, KOPFI, dan
GEMABI. Selain itu, perempuan berusia 20 tahun ini seorang
mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling Islam yang duduk di
semester empat yang memiliki prestasi akademik yang baik terbukti
dari pencapaian nilai IPK pada semester 3 sebesar 3, 52.
3) Profil Subjek C
Subjek C seorang mahasiswa kelahiran Sidoarjo, 26 Juli 1993
merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Namun kini ia
merupakan anak pertama dari lima bersaudara dengan tiga saudara tiri
dari ayah tirinya dan satu saudara tiri dari ibu tirinya. Subjek C
mengalami perceraian orang tua pada saat duduk di bangku kelas enam
SD. Semenjak SD ia telah tinggal bersama kakek dan neneknya di
daerah Sepanjang, Taman, Sidoarjo, namun semenjak ibu subjek
menikah lagi dengan seorang perwira, subjek pun ikut ibunya tinggal
di daerah Candi, Sidoarjo tempat tinggal ayah tirinya.
Perempuan dengan usia 23 tahun ini merupakan seorang yang aktif di
organisasi Forum Lingkar Pena (FLP) dalam bidang kaderisasi. Subjek
C mengikuti organisasi ini karena kegemarannya dalam menulis dan
berharap dapat membuat cerita tentang kehidupannya. Sedangkan
prestasi akademiknya juga baik yakni 3,36.
Sedangkan profil informan dari ketiga subjek adalah sebagai berikut:
48
EL merupakan significant others dari subjek A. Perempuan kelahiran
Madiun, 13 Juli 1980 ini adalah saudara sepupu dari A. Peneliti
memilih kakak sepupu subjek sebagai informan dalam penelitian ini
karena memang orang terdekat subjek di keluarganya adalah EL. EL
berusia 36 tahun dan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)
guru.
2) FT
FT merupakan significant others dari subjek A. Perempuan kelahiran
Surabaya, 21 November 1992 ini adalah seorang mahasiswa semester
8 di UIN Sunan Ampel Surabaya. FT sebagai teman dekat dari subjek
A semenjak kenal da sering bertemu lantaran mengikuti organisasi