• Tidak ada hasil yang ditemukan

SELF COMPASSION PADA MAHASISWA DARI KELUARGA YANG BERCERAI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SELF COMPASSION PADA MAHASISWA DARI KELUARGA YANG BERCERAI."

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Ratna Inayati Puspadewi

B07212026

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran self compassion dan faktor-faktor yang memengaruhi pada mahasiswa dari keluarga yang bercerai. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan triangulasi sebagai validasi data. Subjek penelitian adalah mahasiswa dengan prestasi akademik yang baik dan berasal dari keluarga yang bercerai. Ada tiga subjek yang dijadikan sumber informasi dalam penelitian ini.

Penelitian ini menemukan gambaranself compassion pada mahasiswa dari keluarga yang bercerai dengan melihat dimensi self compassion yaitu ketiga subjek dapat menerima dan tidak menyalahkan dirinya maupun orang lain atas peristiwa masa lalu. Ketiga subjek menunjukkan adanya kesadaran bahwa kesulitan atau masalah merupakan bagian dari hidup manusia. Ketiga subjek pun menghadapi kenyataan dengan melihat segala sesuatu seperti apa adanya dan menganggapnya sebagai takdir dari Allah.

Faktor yang memengaruhi self compassion pada ketiga subjek yakni lingkungan dan usia ketiga subjek yang telah memasuki dewasa awal.

(7)

ABSTRACT

This study aims to describe self-compassion and the factors that affect the students from divorced families. This study is a qualitative study, using triangulation as a validation data. The subjects were students with a good academic record and come from broken families. There are three subjects were used as a source of information in the study. This study know the description of self-compassion in students from divorced families with self-compassion dimension, namely the three subjects can receive and not blame himself or others over past events. All three subjects showed an awareness that the difficulties or problems is a part of human life. All three subjects were faced with the reality by seeing everything as it is and take it as the will of God Factors influencing self compassion on three subjects namely the environment and the age of three subjects who had entered early adulthood.

(8)

Cover

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Halaman Pernyataan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

Daftar Lampiran ... ix

Intisari ... x

Abstract ... xi

Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

Bab II: Kajian Pustaka A. Self Compassion ... 16

B. Mahasiswa ... 22

C. Keluarga Bercerai... 24

D. Self Compassion pada Mahasiswa dari Keluarga yang Bercerai ... 28

E. Perspektif Teoritis ... 29

Bab III: Metode Penelitian A. Jenis Penelitian ... 31

B. Lokasi Penelitian ... 32

C. Sumber Data ... 32

D. Cara Pengumpulan Data ... 37

(9)

vii

F. Keabsahan Data ... 42

Bab IV: Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Deskripsi Subjek ... 45 B. Hasil Penelitian ... 51 C. Pembahasan ... 73

Bab V: Penutup

A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 81

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara

resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak

menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri (Dariyo, 2004: 94).

Perceraian berasal dari kata cerai. Kata “cerai” menurut kamus besar

Bahasa Indonesia berarti: pisah, putus hubungan sebagai suami istri, talak.

Kemudian, kata “perceraian” mengandung arti: perpisahan, perihal

bercerai (antara suami istri), perpecahan. Adapun kata “bercerai” berarti:

tidak bercampur (berhubungan, bersatu) lagi, berhenti berlaki-bini (suami

istri) (kbbi.web.id). Istilah perceraian terdapat dalam pasal 113 UU No. 1

Tahun 1974 yang memuat ketentuan putusnya suatu perkawinan sebagai

berikut:

Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian,

b. Perceraian, dan

c. atas putusan Pengadilan (hukum.unsrat.ac.id).

Perceraian secara ringkas bermakna putusnya hubungan pernikahan,

yang mengakibatkan berhentinya menjalankan tugas dan kewajiban

sebagai suami-istri.

Perceraian memiliki dampak yang ditimbulkan. Dampak ini tidak

hanya dialami oleh pasangan suami istri namun juga oleh anak-anak

(11)

2

keluarga yang mengalami disfungsi, mempunyai resiko yang lebih besar

untuk bergantung tumbuh kembang jiwanya (misal, kepribadian anti

sosial) dibandingkan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang

harmonis dan utuh atau sakinah. Salah satu ciri disfungsi adalah perceraian

orang tuanya (Yusuf, 2012:43-44)

Penelitian yang dilakukan oleh Amato dan Keith (dalam Stevenson &

Black dalam Dewi & Utami, 2008) mengungkapkan bahwa individu yang

mempunyai pengalaman perceraian orang tua di masa kecilnya, memiliki

kualitas hidup yang lebih rendah di masa dewasanya dibandingkan dengan

individu yang tidak memiliki pengalaman perceraian orang tua.

Perceraian bukan berarti akhir, meski memberikan dampak negatif

pada psikologis terdapat banyak individu yang mampu berprestasi.

Berprestasi merupakan hal yang membanggakan bagi setiap orang.

Berprestasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan kata kerja

yang memiliki arti mempunyai prestasi dalam suatu hal (dari yang telah

dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya) (kbbi.web.id). Berbagai tantangan

dalam mencapai prestasi bukan hanya dari mudah atau sulitnya pelajaran

namun juga dipengaruhi oleh hal lain seperti kondisi keluarga. Salah satu

kondisi keluarga yang dapat menghambat atau menurunkan prestasi

seseorang yakni kondisi keluarga yang kurang harmonis seperti adanya

(12)

Sebagaimana dijelaskan oleh salah satu mahasiswa dari keluarga yang

bercerai sebagai subjek penelitian ini mengaku bahwa dirinya menjadi

memiliki rasa minder terhadap teman-temannya, dan mengaku menjadi

anak yang sangat pendiam pasca bercerainya kedua orang tua. Meski

demikian ia mengaku tidak mengalami penurunan dalam prestasi

(wawancara, 16 Mei 2016).

Sedangkan pada subjek lainya yang juga berasal dari keluarga yang

bercerai mengaku mengalami masa sulit menerima dan menurunkan

motivasi dalam belajar. “Ya.. dulu awalnya ndak menerima, kecewa,

mereka harus pisah. Sempet males belajar, mau ngapa-ngapain juga ndak

enak” (wawancara, 19 Mei 2016).

Berkaitan dengan dampak dari perceraian, peneliti dari University of

Arizona yakni David A. Sbarra, Hillary L.Smith, Matthias R. Meh pada

tahun 2011mengungkapkan bahwa mereka yang memiliki self compassion

lebih besar, mempunyai kemampuan lebih cepat untuk bangkit dari

dampak emosional. Temuan ini, menurut para peneliti dapat membantu

mereka yang mengalami kehancuran akibat perpisahan atau perceraian.

Sebagaimana yang terlihat dari subjek kini menjadi individu yang

lemah lembut dan mau bergaul dengan orang disekitarnya meski terkadang

(13)

4

Sedangkan pada subjek lainnya yang juga berasal dari keluarga yang

bercerai, terlihat sebagai individu yang ceria dan aktif serta senang bergaul

bersama teman-temannya (observasi, 19 Mei 2016).

Self compassion merupakan sikap memiliki perhatian dan kebaikan

terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup

ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta memiliki pengertian

bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan dalam dirinya merupakan

bagian dari kehidupan setiap orang. Neff menerangkan bahwa seseorang

yang memiliki self compassion lebih dapat merasakan kenyamanan dalam

kehidupan sosial dan dapat menerima dirinya secara apa adanya, selain itu

juga dapat meningkatkan kebijaksanaan dan kecerdasan emosi

(Ramadhani & Nurdibyanandaru, 2014: 122).

Self compassion juga dapat membantu seseorang untuk tidak

mencemaskan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, karena orang

yang memiliki self compassion dapat memerlakukan seseorang dan dirinya

secara baik dan memahami ketidak sempurnaan manusia (Neff, 2012

dalam Ramadhani & Nurdibyanandaru, 2014: 122).

Sikap baik dan perhatian terhadap diri sendiri juga dianjurkan

dalam agama islam. Sebagaimana dalam agama islam dilarang untuk

berbuat dzalim atau menganiyaya diri sendiri. Para ulama mendefinisikan

dzalim yakni menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Sedangkan definisi orang dzalim (menganiaya dirinya sendiri)

(14)

Yang lain mengartikan dzalim (Menganiaya) diri sendiri yaitu melakukan

dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar

maupun kecil. Sehingga, ketika seseorang melakukan perbuatan dosa,

hakikatnya dia telah menganiaya dirinya, yakni menjatuhkan dirinya

sendiri kepada siksa-Nya. Allah subhana wa ta’ala berfirman:

Artinya: Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.(QS. Huud : 101 )

Berkaitan dengan permasalah dalam kehidupan, Allah SWT

berfirman:

Artinya: “Apakah manusia mengira akan dibiarkan (saja)

mengatakan: “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? (Q.S. Al-‘Ankabuut: 2)

(15)

6

Dari ayat Al-Qur’an di atas, maka dapat dipahami bahwa ujian atau

musibah adalah atas izin Allah yang memang harus dihadapi oleh manusia.

Allah akan memberikan petunjuk pada hati orang-orang yang beriman. Hal

ini sejalan dengan self compassion yang menganggap bahwa penderitaan,

kegagalan, dan kekurangan dalam dirinya merupakan bagian dari

kehidupan seseorang.

Dari fenomena dan pembahasan di atas, peneliti ingin meneliti

mahasiswa dari keluarga yang bercerai. Peneliti tertarik ingin mengetahui

self compassion yang mereka lakukan sehingga meski dibesarkan di

lingkungan keluarga yang bercerai namun ia dapat berprestasi. Mengingat

dampak psikologis dari perceraian orang tua dapat memengaruhi kualitas

kehidupan seseorang saat dewasa. Namun dengan kekurangannya ia dapat

berprestasi.

Dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi contoh positif bagi

mereka yang juga berasal dari keluarga yang bercerai untuk tetap

berprestasi tanpa memandang kekurangannya sebagai hambatan.

B. FOKUS PENELITIAN

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka

fokus dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran self compassion pada mahasiswa dari keluarga

(16)

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan self compassion pada mahasiswa

dari keluarga yang bercerai?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang:

1. Gambaran self compassion pada mahasiswa dari keluarga yang

bercerai

2. Faktor-faktor yang menyebabkan self compassion pada mahasiswa

dari keluarga yang bercerai

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan kepada ilmu psikologi dalam mengembangkan konsep

tentang self-compassion.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi

peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian dibidang yang

sama

b. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran self

(17)

8

keluarga yang bercerai sehingga mereka dapat lebih bersikap baik

kepada diri sendiri apabila menghadapi masalah.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Terdapat penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan self

compassion pada mahasiswa dari keluarga yang bercerai diantaranya;

Penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2015) tentang Self Compassion

dan Loneliness. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan antara self

compassion dan loneliness. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif

korelasional dengan subjek penelitian berjumlah 254 siswa yang tinggal di

Pondok Pesantren. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesa

penelitian ditolak, yang artinya bahwa tidak ada hubungan antara self

compassion dan loneliness.

Penelitian kedua oleh Ramadhani & Nurdibyanandaru (2014)

tentang Pengaruh Self Compassion terhadap Kompetensi Emosi Remaja

Akhir. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakan terdapat pengaruh

dari self compassion terhadap kompetensi emosi remaja akhir. Penelitian

dilaksanakan pada remaja akhir usia 18 sampai 22 tahun dengan jumlah

subjek sebanyak 108 yang terdiri dari 4 remaja dijenjang SMA dan 106

remaja pada jenjang kuliah, universitas, atau sederajat. Hasil penelitian

menunjukkan pengaruh positif dari self compassion terhadap kompetensi

emosi remaja akhir. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan self

(18)

Penelitian ketiga oleh Duran & Barlas (2016) tentang Effectiveness

of Psychoeducation Intervention on Subjective Well Being and Self

Compassion of Individuals with Mental Disabilities (Efektivitas Intervensi

Psychoeducation pada Subjektif Well Being dan Self Compassion Individu

dengan Mental Disabilitas). Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi efek

dari psychoeducation pada subjective well being dan self compassion yang

diberikan pada orang tua dari individu dengan mental disabilitas. Metode

yang digunakan pada 66 orang tua terdiri dari 33 sebagai kontrol dan 33

grup belajar, semua dari mereka memiliki anak dengan mental disabilitas.

Peneliti menggunakan desain pretest dan posttest untuk memeriksa efikasi

dari program psychoeducation pada kedua kelompok. Skala subjective well

being dan self compassion digunakan untuk memeroleh data dari kedua

kelompok. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan level

subjective well being dan self compassion orang tua setelah delapan sesi

dari psychoeducation.

Penelitian keempat dilakukan oleh Neff & Pommier (2012) tentang

The Relationship between Self Compassion and Other-focused Concern

among College Undergraduates, Community Adults, and Practicing

Meditators (Hubungan antara Self Compassion dan Other-focused

Concern antara Mahasiswa Perguruan tinggi, Komunitas Dewasa, dan

Praktisi). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self

compassion dan Other-focused Concern. Metode yang digunakan

(19)

10

172 praktisi. Hasil yang diperoleh penelitian ini yakni dari kesemua

kelompok peserta memiliki level yang tinggi dari self compassion.

Kekuatan hubungan antara self compasion dan other-focused concern juga

bervariasi menurut kelompok peserta dan gender. Hubungan terkuat

cenderung ditemukan di antara praktisi, sementara wanita cenderung

menunjukkan asosiasi lebih lemah dari laki-laki.

Penelitian kelima dilakukan oleh Kharina dan Saragih (2012)

tentang Meditasi Metta-Bhavana (Loving-Kindness Meditation) untuk

Mengembangkan Self Compassion. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahu perbedaan self compassion pada meditator metta bavana

(loving-kindness meditation) dan pada non meditator, serta antara

meditator pemula dan meditator lama serta mengetahui tahapan dalam

peoses meditasi yang berperan dalam pengembangan self compassion

dalam diri meditator metta-bhavana. Penelitian ini menggunakan metode

penelitian campuran dengan jenis mixed method research. Metode

penelitian kuantitatif dalam penelitian ini adalah metode eksperimental

semu dimana tiap partisipan yang terdiri dari 30 orang kelompok kontrol,

30 orang kelompok eksperimen dengan pembagian 12 orang kelompok

eksperimen 1 (Meditator pemula), dan 18 orang kelompok eksperimen 2

(Meditator lama) diberikan kuisioner self compassion. Hasil penelitian

eksperimen semu ini kemudian diperdalam secara kualitatif dengan

wawancara terhadap 2 orang responden yang memiliki skor

(20)

perbedaan self-compassion pada meditator metta-bhavana (

loving-kindness meditation) dan pada non-meditator, dimana self-compassion

pada kelompok meditator lebih tinggi. Selain itu terdapat perbedaan

self-compassion yang signifikan antara kelompok meditator pemula dan lama,

dengan self-compassion yang lebih tinggi pada kelompok meditator lama.

Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa proses mindfulness, yaitu

selalu berusaha bersikap sadar dan penuh konsentrasi pada latihan meditasi

menjadi faktor penentu meditator dalam mendapatkan manfaat dari

meditasi metta-bhavana.

Penelitian keenam dilakukan oleh Satici, Uysal & Akin (2013)

tentang Investigating the Relationship Between Flourishing and Self

Compassion: A Struktural Equation Modeling Approach (Hubungan

antara Flourishing dan self Compassion: Sebuah Persamaan Struktural

Pendekatan Modeling). Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan

perbedaan gender dalam Self-Compassion, Self efficacy, dan Control Belief

untuk belajar dan untuk menguji hubungan antara Self-Compassion, Self

efficacy, dan Control Belief untuk belajar. Penelitian ini menggunakan

metode kuantitatif, subjek sebanyak 390 mahasiswa mengisi skala

Self-Compassion, Self efficacy, dan Control Belief. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan gender yang signifikan di Self-Compassion, self-efficacy, dan

Control Belief untuk belajar. Dalam analisis korelasi, Self-Compassion

(21)

12

Self-Compassion memiliki korelasi negatif dengan self-efficacy. Common

humanity memiliki korelasi positif dengan self-efficacy dan control belief

untuk belajar, dan memiliki korelasi negatif dengan self judgement. Di

samping itu, isolasi dikaitkan secara negatif dengan self-efficacy dan

self-compassion, dan positif dengan self judgement. Mindfulness berhubungan

positif dengan self-efficacy, dan control belief untuk belajar, dan itu

berhubungan negatif dengan self judgement.dan isolasi. Akhirnya,

ditemukan bahwa over identification memiliki korelasi negatif dengan

self-efficacy dan self-compassion, tapi korelasi positif dengan self

judgement.dan isolasi.

Penelitian ketujuh dilakukan oleh David A. Sbarra, Hillary

L.Smith, Matthias R. Mehl (2011) yang berjudul When Leaving Your Ex,

Love Yourself: Observational Ratings of Self-compassion Predict the

Course of Emotional Recovery Following Marital Separation. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi

ketahanan psikologis ketika suatu hubungan berakhir. Menggunakan

metode kualitatif eksperimen dengan subjek penelitian berjumlah 109

orang dewasa. Hasil penelitian ini yaitu mereka yang memiliki self

compassion lebih besar, mempunyai kemampuan lebih cepat untuk

bangkit dari dampak emosional. Temuan ini, menurut para peneliti dapat

membantu mereka yang mengalami kehancuran akibat perpisahan atau

(22)

Penelitian kedelapan dilakukan oleh Dipayanti & Chairani (2012)

yang berjudul Locus of Control dan Resiliensi pada Remaja yang Orang

Tuanya Bercerai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

antara locus of control dengan resiliensi pada remaja yang orang tuanya

bercerai. Menggunakan metode kuantitatif dengan subjek penelitian

berjumlah 60 remaja yang orang tuanya bercerai. Hasil penelitian ini yaitu

terdapat hubungan antara locus of control dengan resiliensi pada remaja

yang orang tuanya bercerai. Artinya semakin semakin internal locus of

control remaja yang memiliki orang tua yang bercerai maka semakin

baik resiliensi yang dimiliki oleh remaja tersebut dan sebaliknya semakin

eksternal locus of control yang dimiliki oleh remaja maka semakin

buruk resiliensi yang dimiliki remaja dalam menghadapi perceraian

orang tua.

Penelitian kesembilan dilakukan oleh Hakim & Rahmawati (2015)

tentang Strategi Coping dalam Menghadapi Permasalahan Akademik pada

Remaja yang Orang Tuanya mengalami Perceraian. Tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mengetahui strategi coping remaja yang orang tuanya

mengalami perceraian dalam mengatasi permasalahan akademiknya.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek dalam mengatasi

permasalahan akademiknya menggunakan strategi coping yang lebih

(23)

14

Dilihat dari pernyataan subyek, yang mampu untuk menghindari

permasalahan, tidak terlalu memikirkan permasalahannya, dapat mengatur

emosi, menerima nasib yang diberikan Allah, dan mendapat dukungan

moral, simpati ataupun pengertian dari orang disekelilingnya.

Penelitian kesepuluh dilakukan oleh Chyntia (2015) tentang Self

Compassion pada Siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan Latar

Belakang Keluarga Bercerai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui gambaran derajat self compassion pada siswa SMA “X” dan

“Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuantitatif dengan subjek

sebanyak 35 siswa dari keluarga yang bercerai. Hasil penelitian ini

menunjukkan siswa dengan latar belakang keluarga bercerai memiliki

derajat self compassion tinggi sebanyak 51,4%, sementara 48,6% dengan

derajat self compassion yang rendah. Untuk siswa dengan derajat self

compassion rendah untuk diberikan sesi konseling.

Berdasarkan uraian penelitian terdahulu penelitian ini memiliki

kesamaan dalam topik penelitian yakni self compassion dan anak dari

keluarga yang bercerai. Sedangkan letak perbedaan penelitian ini dengan

penelitian sebelumnya yaitu dalam penelitian ini meneliti individu dengan

hal positif yang diraih meski berasal dari keluarga yang bercerai sehingga

diharapkan penelitian ini nantinya dapat menjadi wawasan bagi pembaca

untuk lebih bersikap baik kepada diri sendiri atau tidak menyalahkan diri

(24)

penelitian yang diambil, penelitian ini juga memiliki perbedaan pada

lokasi penelitian, metode penelitian, dan fokus penelitian, yakni pada

gambaran self compassion pada mahasiswa berprestasi dari keluarga yang

bercerai dan faktor yang menyebabkannya. Sedangkan metode yang

digunakan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan tipe

pendekatan fenomenologi. Subjek yang digunakan sebanyak 3 mahasiswa

yang berasal dari keluarga yang bercerai dan instrumen yang digunakan

(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. SELF COMPASSION

Self-compassion merupakan konsep yang diadaptasi dari filosofi budha

tentang cara mengasihi diri sendiri layaknya rasa kasihan ketika melihat

orang lain mengalami kesulitan (Neff dalam Hidayati, 2015: 157). Konsep

compassion kemudian menjadi konsep penelitian ilmiah yang dirintis oleh

Kristin Neff. Compassion (yang merupakan unsur cinta kasih) melibatkan

perasaan terbuka terhadap penderitaan diri sendiri dan orang lain, dalam

cara yang non-defensif dan tidak menghakimi. Compassion juga

melibatkan keinginan untuk meringankan penderitaan, kognisi yang terkait

untuk memahami penyebab penderitaan, dan perilaku untuk bertindak

dengan belas kasih. Oleh karena itu, kombinasi motif, emosi, pikiran dan

perilakulah yang memunculkan compassion (Gilbert, 2005: 01).

Self compassion merupakan sikap memiliki perhatian dan kebaikan

terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup

ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta memiliki pengertian

bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan dalam dirinya merupakan

bagian dari kehidupan setiap orang. Neff menerangkan bahwa seseorang

yang memiliki self compassion lebih dapat merasakan kenyamanan dalam

kehidupan sosial dan dapat menerima dirinya secara apa adanya, selain itu

juga dapat meningkatkan kebijaksanaan dan kecerdasan emosi

(26)

Neff (dalam Hidayati F, 2015: 186) menyebutkan bahwa self

compassion melibatkan kebutuhan untuk mengelola kesehatan diri dan

well being, serta mendorong inisiatif untuk membuat perubahan dalam

kehidupan. Individu dengan self compassion tidak mudah menyalahkan

diri bila menghadapi kegagalan, memperbaiki kesalahan, mengubah

perilaku yang kurang produktif dan menghadapi tantangan baru. Individu

dengan self compassion termotivasi untuk melakukan sesuatu, atas

dorongan yang bersifat intrinsik, bukan hanya karena berharap penerimaan

lingkungan.

Self compassion juga dapat membantu seseorang untuk tidak

mencemaskan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, karena orang

yang memiliki self compassion dapat memerlakukan seseorang dan dirinya

secara baik dan memahami ketidaksempurnaan manusia (Neff dalam

Ramadhani & Nurdibyanandaru, 2014: 122). Seseorang yang memiliki self

compassion tinggi mempunyai ciri:

1. Mampu menerima diri sendiri baik kelebihan maupun

kelemahannya

2. Mampu menerima kesalahan atau kegagalan sebagai suatu hal

umum yang juga dialami oleh orang lain

3. Mempunyai kesadaran tentang keterhubungan antara segala

sesuatu (Hidayati, 2015: 157).

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa self

(27)

18

dalam menghadapi kesulitan sehingga menganggap kesulitan adalah

bagian dari kehidupan yang harus dijalani.

a. Dimensi-Dimensi Self Compassion

Neff (dalam Germer & Siegel, 2012: 80-82) menjelaskan bahwa

self compassion terdiri dari tiga komponen yaitu:

a. Self kindess

Kemampuan individu untuk memahami dan menerima diri apa

adanya serta memberikan kelembutan, tidak menyakiti atau

menghakimi diri sendiri. Self kindess membuat individu menjadi

hangat terhadap diri sendiri ketika menghadapi rasa sakit dan

kekurangan pribadi, memahami diri sendiri dan tidak menyakiti

atau mengabaikan diri dengan mengkritik dan menghakimi diri

sendiri ketika menghadapi masalah.

Individu dengan self kindness dapat menghadapi permasalahan atau

situasi menekan dengan menghindari penyalahan diri sendiri, atau

perasaan rendah. Selfkindnessmerupakan afirmasi bahwa individu

akan menerima kebahagiaan dengan memberikan kenyamanan

pada individu lain. Self kindness inilah yang mendorong individu

untuk bertindak positif dan memberikan manfaat bagi individu lain

(Hidayati F, 2015: 186).

b. Common humanity

Common humanity adalah kesadaran bahwa individu memandang

(28)

manusia dan merupakan sesuatu yang dialami oleh semua orang,

bukan hanya dialami diri sendiri. Common humanity mengaitkan

kelemahan yang individu miliki dengan keadaan manusia pada

umumnya, sehingga kekurangan tersebut dilihat secara menyeluruh

bukan hanya pandangan subjektif yang melihat kekurangan

hanyalah milik diri individu. Penting dalam hal ini untuk

memahami bahwa setiap manusia mengalami kesulitan dan

masalah dalam hidupnya.

c. Mindfulness

Mindfulness adalah melihat secara jelas, menerima, dan

menghadapi kenyataan tanpa menghakimi terhadap apa yang

terjadi di dalam suatu situasi. Mindfulness mengacu pada tindakan

untuk melihat pengalaman yang dialami dengan perspektif yang

objektif. Mindfulness diperlukan agar individu tidak terlalu

teridenfikasi dengan pikiran atau perasaan negatif. Konsep dasar

mindfullness adalah melihat segala sesuatu seperti apa adanya

dalam artian tidak dilebih-lebihkan atau dikurangi sehingga

mampu menghasilkan respon yang benar-benar obyektif dan efektif

(Neff dalam Hidayati, 2015: 158).

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Compassion

Faktor yang mempengaruhi self compassion sebagaimana diungkapkan

oleh Neff (2003: 94-96) yakni:

(29)

20

Pertama kali manusia mendapat pengasuhan dari orang tua. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa individu yang tumbuh dengan

orang tua yang selalu mengkritik ketika masa kecilnya akan

menjadi lebih mengkritik dirinya sendiri ketika dewasa. Model dari

orang tua juga dapat mempengaruhi self compassion yang dimiliki

individu. Perilaku orang tua yang sering mengkritik diri sendiri

saat menghadapi kegagalan atau kesulitan. Orang tua yang

mengkritik diri akan menjadi contoh bagi individu untuk

melakukan hal tersebut saat mengalami kegagalan yang

menunjukkan derajat self compassion yang rendah.

Individu yang memiliki derajat self compassion yang rendah

kemungkinan besar memiliki ibu yang kritis, berasal dari keluarga

disfungsional, dan menampilkan kegelisahan dari pada individu

yang memiliki derajat self compassion yang tinggi (Neff &

McGeehee, 2010: 228).

b. Usia

Dalam tahap perkembangan, seorang remaja mengalami peralihan

yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa karena kepekaan

terhadap perubahan sosial dan historis di lain pihak, maka selama

tahap pembentukan identitas seorang remaja, masa remaja adalah

periode kehidupan di mana self compassionyang terendah.

(30)

Secara umum, hasil penelitian yang dilakukan oleh Yarnell,

Stafford et al. menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gender

yang mempengaruhi tingkat self compassion, dimana laki-laki

ditemukan memiliki tingkat self compassion yang sedikit lebih

tinggi dari pada perempuan. Temuan ini konsisten dengan temuan

masa lalu yang mana perempuan cenderung lebih kritis terhadap

diri mereka sendiri dan lebih sering menggunakan self-talk negatif

dibandingkan laki-laki.

Hal lain yang menjelaskan perbedaan gender tersebut yaitu

perempuan juga lebih sering melakukan perenungan yang berulang,

mengganggu, dan merupakan cara berpikir yang tak terkendali atau

yang disebut rumination. Rumination mengenai hal-hal yang terjadi

di masa lalu dapat mengarahkan munculnya depresi, sedangkan

rumination mengenai potensi peristiwa negatif di masa depan akan

menimbulkan kecemasan (Neff, 2003:94).

d. Budaya

Individu dari budaya kolektivis umumnya memiliki interdependent

sense of self yang lebih dibandingkan individualis, maka dari itu

diharapkan orang-orang Asia memiliki level self-compassion yang

lebih tinggi dari orang Barat. Namun, penelitian juga telah

menunjukkan bahwa orang-orang Asia cenderung lebih self-critical

dibandingkan dengan orang Barat (Kitayama & Markus, 2000;

(31)

22

Neff, 2003: 96), yang mana hal ini justru menunjukkan sebaliknya,

memiliki self compassion yang rendah.

B. MAHASISWA

Dalam Kamus Bahasa Indonesia mahasiswa didefinisikan sebagai

orang yang belajar di Perguruan Tinggi (Kamus Bahasa Indonesia Online,

kbbi.web.id)

Menurut Siswoyo (2007: 121) mahasiswa dapat didefinisikan sebagai

individu yang sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik

negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan

tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi,

kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak. Berpikir

kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang

cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, dan merupakan prinsip

yang saling melengkapi.

Kewajiban yang paling penting bagi seorang mahasiswa adalah belajar.

Belajar adalah syarat mutlak untuk mencapai tujuan ilmiah (Ganda, 2004:

1). Belajar, menuntut, dan mencari ilmu merupakan aktivitas seorang

mahasiswa. Aktivitas membaca, meneliti, berdiskusi, menulis, dan

berorganisasi merupakan kegiatan mahasiswa.

Adapun tujuan mahasiswa adalah untuk mencapai dan meraih taraf

keilmuan yang matang, artinya menjadi sarjana yang sujana, yang

menguasai suatu ilmu serta memahami wawasan ilmiah yang luas

(32)

berkaitan dengan keilmuannya untuk diabdikan kepada masyarakat

(Ganda, 2004: 1).

Melihat tujuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat harapan besar

bagi mahasiswa untuk berprestasi. Berprestasi dalam kbbi online memiliki

arti yakni mempunyai prestasi dalam suatu hal (dari yang telah dilakukan,

dikerjakan, dan sebagainya) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,

kbbi.web.id).

Berprestasi dapat dilihat dari nilai yang diperoleh selama masa

perkuliahan atau IPK (Indeks Prestasi Komulatif). IPK merupakan nilai

rata-rata yang didapat dari satuan kredit tota hasil suatu kredit mata kuliah

(kumulatif). Indeks Prestasi Kumulatif dan predikat kelulusan ditetapkan

sebagai berikut (Kep. Mendiknas No. 232 Tahun 2000 dalam Panduan

[image:32.595.139.510.237.645.2]

Penyelenggaraan Pendidikan Tahun 2012):

Tabel 1

Indeks Prestasi Kumulatif dan Predikat Kelulusan

No Indeks Prestasi Kumulatif Predikat

1 2,00-2,75 Memuaskan

2 2,76-3,50 Sangat Memuaskan

3 3,51-4,00 Dengan Pujian

Selain dilihat dari nilai IPK dapat juga dilihat dari keaktifan

mahasiswa baik dalam organisasi maupun kegiatan yang berguna lainnya.

(33)

24

organisasi. Seorang mahasiswa yang memiliki bakat tertentu dan

mengembangkan serta membuat karya atas kemampuan yang dimiliki,

juga termasuk dalam katagori seorang mahasiswa yang berprestasi.

Sebagaimana arti kata dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan

bahwa mahasiswa adalah seorang yang belajar diperguruan tinggi serta

dapat memiliki prestasi baik akademik maupun non akademik.

C. KELUARGA YANG BERCERAI

Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara

resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak

menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri (Dariyo, 2004: 94).

Menurut Holmes dan Rahe, perceraian adalah penyebab stres kedua

paling tinggi, setelah kematian pasangan.Perpisahan dan perceraian adalah

peristiwa yang stressfuluntuk semua orang yang terlibat, bahkan dalam

keadaan yang paling baik sekalipun (Woolfolk, 2009: 126).

Pada umumnya orang tua yang bercerai akan lebih siap menghadapi

perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena

sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan

pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental

dan fisik. Namun tidak demikian halnya dengan anak, ia tiba-tiba saja

harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa

sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah

(Dariyo, 2004: 94).

(34)

Menurut para ahli, seperti Nakamura, Turner & Helms, Lusiana Sudarto

& Henny E. Wirawan sebagaimana dikutip oleh Dariyo (2004: 95-96),

terdapat beberapa faktor penyebab perceraian yaitu:

1) Kekerasan Verbal

2) Masalah ekonomi-finansial

3) Keterlibatan dalam perjudian

4) Keterlibatan dalam penyalahgunaan minuman keras

5) Perselingkuhan

Beberapa faktor penyebab perceraian sebagaimana dipaparkan oleh

Dariyo (2003: 165-167) yakni:

1. Masalah keperawanan (Virginity)

Faktor keperawanan dianggap sebagai sesuatu yang suci bagi wanita

yang akan memasuki pernikahan. Bagi seorang individu (laki-laki)

yang menganggap keperawanan sebagai sesuatu yang penting,

kemungkinan masalah keperawanan akan mengganggu proses

perjalanan kehidupan perkawinan, tetapi bagi laki-laki yang tidak

mempermasalahkan keperawanan, kehidupan perkawinan akan dapat

dipertahankan dengan baik. Hal ini berlaku untuk sebagian

daerah/wilayah yang menjunjung tinggi nilai sosial-budaya bahwa

keperawanan merupakan faktor penting dalam perkawinan.

2. Ketidaksetiaan Salah Satu Pasangan Hidup

Salah satu pasangan (suami atau istri) ternyata menyeleweng atau

(35)

26

ditemukan kata sepakat untuk menyelesaikan dan saling memaafkan,

akhirnya perceraianlah jalan terbaik.

3. Tekanan Kebutuhan Ekonomi Keluarga

Harga barang-jasa kebutuhan hidup yang semakin melonjak tinggi

sementara suami memiliki gaji/penghasilan yang pas-pasan sehingga

hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk

menyelesaikan masalah itu, kemungkinan seorang istri menuntut

cerai dari suami.

4. Tidak Mempunyai Keturunan

Tidak adanya keturunan dapat disebabkan karena kemandulan yang

dialami salah satu atau keduanya.

5. Salah Satu dari Pasangan Hidup Meninggal Dunia

Setelah meninggal dunia dari salah satu pasangan hidup, secara

otomatis keduanya bercerai.

6. Perbedaan Prinsip, Ideologi, dan Agama

b. Dampak Perceraian

Individu yang telah melakukan perceraian, bak disadari maupun tidak

disadari akan membawa dampak negatif. Hal-hal yang dirasakan akibat

perceraian diantaranya:

1. Pengalaman traumatis pada salah satu pasangan hidup (laki-laki

maupun perempuan)

(36)

3. Ketidakstabilan kehidupan dalam pekerjaan (Dariyo, 2003:

168-169).

Penelitian yang dilakukan oleh Amato dan Keith (dalam Stevenson

& Black dalam Dewi & Utami, 2008) yang mengungkapkan bahwa

individu yang mempunyai pengalaman perceraian orang tua di masa

kecilnya, memiliki kualitas hidup yang lebih rendah di masa

dewasanya dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki

pengalaman perceraian orang tua.

Menurut Dadang Hawari anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga

yang mengalami disfungsi, mempunyai resiko yang lebih besar untuk

bergantung tumbuh kembang jiwanya (misal, kepribadian anti sosial)

dibandingkan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang

harmonis dan utuh atau sakinah. Salah satu ciri disfungsi adalah

perceraian orang tuanya. Perceraian tersebut ternyata memberi dampak

yang kurang baik terhadap perkembangan kepribadian anak. Dalam

penelitian para ahli seperti: MC Dermott, Moorison Offord dkk, Sugar,

Westman dan Kalter yaitu bahwa remaja yang orang tuanya bercerai

cenderung menunjukan:

1. Berperilaku nakal

2. Mengalami depresi

3. Melakukan hubungan seksual secara aktif

(37)

28

D. SELF COMPASSION PADA MAHASISWA DARI KELUARGA YANG BERCERAI

Self compassion adalah sikap perhatian dan baik terhadap diri serta

terbuka dalam menghadapi kesulitan sehingga menganggap kesulitan

adalah bagian dari kehidupan yang harus dijalani.

Sedangkan mahasiswa dari keluarga yang bercerai adalah seorang

yang belajar diperguruan tinggi, memiliki prestasi baik akademik maupun

non akademik dan berasal dari keluarga dengan orang tua bercerai.

Dapat disimpulkan bahwa self compassion pada mahasiswa dari

keluarga yang bercerai adalah sikap perhatian dan baik terhadap diri serta

terbuka dalam menghadapi kesulitan dampak perceraian orang tua dan

menganggap kesulitan tersebut adalah bagian dari kehidupan yang harus

dijalani.

Penelitian yang dilakukan oleh Sun mengungkapkan bahwa

perceraian dapat berdampak positif dan meningkatkan well being anak jika

perceraian tersebut dapat menyelesaikan konflik yang terjadi pada orang

tua sehingga anak terhindar dari suasana keluarga yang penuh dengan

ketegangan (Dewi & Utami, 2008: 196).

Berkaitan dengan dampak dari perceraian, peneliti dari University

of Arizona yakni David A. Sbarra, Hillary L.Smith, Matthias R. Meh pada

tahun 2011 mengungkapkan bahwa mereka yang memiliki self compassion

(38)

dampak emosional. Temuan ini, menurut para peneliti dapat membantu

mereka yang mengalami kehancuran akibat perpisahan atau perceraian.

Menurut Neff (dalam Akin dkk, 2013: 87) menyebutkan bahwa self

compassion merupakan cara penting untuk meningkatkan kesejahteraan

emosional dan kepuasan dalam hidup, memupuk pikiran positif seperti

kebahagiaan dan optimisme, memungkinkan untuk kesejahteraan (well

being) dan kemajuan.

E. PERSPEKTIF TEORITIS

Self compassion adalah sikap perhatian dan baik terhadap diri serta

terbuka dalam menghadapi kesulitan sehingga menganggap kesulitan

adalah bagian dari kehidupan yang harus dijalani.

Sedangkan mahasiswa dari keluarga yang bercerai adalah seorang

yang belajar diperguruan tinggi, memiliki prestasi baik akademik maupun

non akademik dan berasal dari keluarga dengan orang tua bercerai.

Dapat disimpulkan bahwa self compassion pada mahasiswa dari

keluarga yang bercerai adalah sikap perhatian dan baik terhadap diri serta

terbuka dalam menghadapi kesulitan dampak perceraian orang tua dan

menganggap kesulitan tersebut adalah bagian dari kehidupan yang harus

dijalani.

Berdasarkan kajian teori di atas, peneliti dapat membuat suatu

landasan berfikir bahwasannya mahasiswa dari keluarga yang bercerai

(39)

30

perceraian orang tua. Seseorang yang memiliki self compassion tinggi

mempunyai ciri:

1. Mampu menerima diri sendiri baik kelebihan maupun

kelemahannya

2. Mampu menerima kesalahan atau kegagalan sebagai suatu hal

umum yang juga dialami oleh orang lain

3. Mempunyai kesadaran tentang keterhubungan antara segala

sesuatu (Hidayati, 2015: 157).

Self compassion merupakan kesediaan diri untuk tersentuh dan

terbuka kesadarannya saat mengalami penderitaan dan tidak menghindari

penderitaan tersebut. Proses pemahaman tanpa kritik terhadap penderitaan,

kegagalan, atau ketidakmampuan diri dengan cara memahami bahwa

ketiga hal tersebut merupakan bagian dari pengalaman sebagai manusia

pada umumnya (Hidayati, 2015: 155).

Self Compassion dipengaruhi oleh faktor internal seperti usia dan

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.

Karena penelitian ini membutuhkan data yang mendalam, untuk

memahami makna yang melandasi tingkah laku subjek penelitian.

Sehingga diperlukan kedekatan antara peneliti dengan subjek penelitian

agar menghasilkan data yang terbuka.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang

digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai

lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen

kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan),

analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih

menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2010: 1).

Menurut Marshal (1995 dalam Sarwono, 2006: 193), metode

penelitian kualitatif didefinisikan sebagai suatu proses yang mencoba

untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas

yang ada dalam interaksi manusia.

Sedangkan model penelitian yang dipakai adalah fenomenologi.

Menurut Sarwono (2006: 193), fenomenologi merupakan ilmu yang

mempelajari fenomena atau gejala yang dilandasi oleh teori Max Weber

(1864-1920). Teori ini menekankan pada metode penghayatan atau

(41)

32

Fenomenologi dipilih karena penelitian ini berusaha

mengungkapkan makna dari fenomena yang dialami seseorang. Menurut

Sarwono (2006: 193), jika seseorang menunjukkan perilaku tertentu dalam

masyarakat, maka perilaku tersebut merupakan realisasi dari

pandangan-pandangan atau pemikiran yang ada dalam kepala orang tersebut.

Berdasarkan data yang terkumpul nantinya, diharapkan dapat diketahui

self compassion pada mahasiswa dari keluarga yang bercerai.

Model penelitian fenomenologi dipilih karena fenomena perceraian

adalah pengalaman individu sekaligus peristiwa yang dialami oleh

beberapa orang atau bersifat masal.

B. LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian berada di tempat tinggal masing-masing subjek.

Peneliti mengambil tempat tinggal subjek sebagai lokasi penelitian agar

memberikan rasa aman dan nyaman bagi subjek dalam memberikan

informasi terkait self compassion pada dirinya melalui wawancara dan

observasi.

C. SUMBER DATA

Sumber data untuk penelitian ini berasal dari subjek dan significant

others. Pemilihan subjek dilakukan secara purposive (berdasarkan kriteria

tertentu), maka peneliti dapat menemukan subyek yang sesuai dengan

tema penelitian. Adapun karakteristik subyek penelitian adalah sebagai

(42)

1. Subyek merupakan mahasiswa aktif dengan latar belakang keluarga

yang bercerai dan memiliki prestasi.

2. Beragama islam

3. Bersedia menjadi subyek penelitian dan untuk jenis kelamin tidak

ditentukan perempuan atau laki-laki.

Kriteria di atas menjadi pedoman peneliti dalam menentukan dan

mencari subjek. Adapun profil subjek dalam penelitian ini akan dijabarkan

dengan menyamarkan identitas subjek guna menjaga kerahasian dan

privasi subjek. Profil dari ketiga subjek dalam penelitian ini yakni sebagai

berikut:

Subjek 1:

Nama : A

Tempat, tanggal lahir : Madiun, 25 Maret 1994

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 22 tahun

Status : Mahasiswa aktif

Semester : 6

Peneliti memilih subjek ini, karena subjek berasal dari keluarga

yang bercerai dan memiliki prestasi akademik yang baik dengan perolehan

IPK pada semester 5 yakni 3,46 . Subjek juga aktif dalam organisasi ekstra

kampus yakni organisasi islam KAMMI.

Subjek 2:

(43)

34

Tempat, tanggal lahir : Situbondo, 24 September 1995

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 20 tahun

Status : Mahasiswa aktif

Semester : 4

Peneliti memilih subjek ini, karena subjek merupakan mahasiswa yang

berasal dari keluarga bercerai dan memiliki prestasi akademik yang bagus

dengan perolehan nilai IPK pada semester 3 yakni 3,52 . Subjek juga aktif

dalam kegiatan organisasi seperti organisasi ekstra kampus KAMMI,

Gemabi (Gerakan Menuju Anak Baik) sebagai koordinator akhwat

(perempuan), Kopfi (Komunitas Pecinta Film Islami) sebagai Penanggung

Jawab (PJ) daerah Surabaya.

Subjek 3:

Nama : C

Tempat, tanggal lahir : Sidoarjo, 26 Juli 1993

Usia : 23 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Mahasiswa aktif

Peneliti memilih subjek ini, karena subjek berasal dari keluarga yang

bercerai dan memiliki prestasi akademik berdasarkan nilai IPK terakhir

sebesar 3,36

Significant others guna mengecek kebenaran hasil wawancara dari

(44)

Dalam penelitian ini menggunakan dua significant others. Berikut profil

dari significant others:

Significant others subjek 1

Significant others I: Kakak subyek

Nama : EL

Tempat, tanggal lahir : Madiun, 13 Juli 1980

Usia : 36 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : PNS

Peneliti memilih kakak kandung subyek untuk menjadi sumber data

pendukung karena berdasarkan keterangan dari subjek yang mengaku

bahwa keluarga terdekatnya yakni kakak disebabkan karena memang

subjek tidak tinggal bersama orang tua subjek baik ayah maupun ibu.

Significant others II: Teman dekat subyek

Nama : FT

Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 21 November 1992

Usia : 23 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Mahasiswa

Peneliti memilih teman subjek sebagai sumber data pendukung, karena

subjek berada dalam organisasi yang sama dan berdasarkan keterangan

subjek merupakan teman dekat.

(45)

36

Significant others I: Ustadzah

Nama : K

Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 15 Maret 1989

Usia :27 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Wiraswasta

Peneliti memilih K sebagai sumber data pendukung karena merupakan

orang terdekat subjek.

Significant others II: Teman subyek

Nama : FA

Tempat, tanggal lahir : Sidoarjo, 7 Juli 1995

Usia : 21 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Mahasiswa

Peneliti memilih teman subjek sebagai sumber data pendukung, karena

subjek berada dalam organisasi yang sama dan merupakan teman dekat.

Significant others subjek 3 :

Significant others I: Ibu

Nama : UT

Tempat, tanggal lahir : Sidoarjo, 5 September 1968

Usia : 48

Jenis Kelamin : Perempuan

(46)

Peneliti memilih ibu sebagai sumber data pendukung karena merupakan

orang terdekat subjek.

Significant others II: Teman subyek

Nama : RI

Tempat, tanggal lahir : Sidoarjo, 02 Februari 1993

Usia : 23 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Mahasiswa

Peneliti memilih teman subjek untuk menjadi sumber data pendukung,

karena diduga mempunyai informasi kuat tentang subjek karena telah

berteman sejak masa SMA.

D. CARA PENGUMPULAN DATA

Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara,

observasi dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data yang digunakan

tersebut guna mendapatkan keakuratan data.

a. Wawancara

Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi

dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna

dalam suatu topik tertentu. Wawancara digunakan sebagai teknik

pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan

untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila

peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam.

(47)

38

diri sendiri atau self-report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan

dan keyakinan pribadi (Sugiyono, 2010: 72).

Penelitian ini dilakukan dengan wawancara terbuka. Wawancara

terbuka menurut Moleong (2009:189) yakni wawancara yang

dilakukang dengan para subjek tahu bahwa mereka sedang

diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud dan tujuan wawancara

itu.

Tujuan wawancara ini adalah untuk memperoleh informasi secara

mendalam tentang self compassion yang dilihat dari tiga aspek yaitu

self kindness, common humanity, dan mindfullness. Wawancara

dianggap selesai ketika telah memasuki titik jenuh atau sudah tidak

menemukan pertanyaan yang perlu ditanyakan lagi.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan guidance wawancara guna

membantu dalam proses wawancara. Data yang ingin diperoleh dalam

wawancara ini antara lain tentang proses subjek dalam memahami dan

memaknai perceraian orang tuanya, cara subjek dalam menghargai

pemikiran, perasaan, dan tingkah laku orang lain yang beragam, serta

pandangan subjek dalam melihat segala sesuatu yang terjadi dalam

hidupnya. Data ini guna mengetahui gambaran self compassion

berdasarkan aspek self kindness, common humanity, dan mindfullness.

b. Observasi

Observasi menjadi metode paling dasar dan paling tua dari psikologi,

(48)

mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif

maupun kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya. Istilah

observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti ‘melihat’ dan

‘memperhatikan’. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan

memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yangmuncul dan

mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut.

Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat

berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun

dalam konteks alamiah (Poerwandari, 2005: 116).

Sebelum melakukan observasi, peneliti terlebih dahulu mengadakan

pendekatan dengan subjek penelitian. Kegiatan ini dilakukan untuk

menjalin keakraban antara peneliti dengan subjek penelitian.

Penelitian ini menggunakan jenis observasi non partisipan dimana

peneliti tidak ikut serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang subjek

lakukan, tetapi observasi dilakukan pada saat wawancara.

Pengamatan dilakukan menggunakan pedoman observasi catatan

lapangan atau field note. Observasi ini mengamati tingkah laku subjek

dan kondisi lingkungan selama wawancara. Data yang ingin diperoleh

dari observasi ini diantaranya tentang sikap yang subjek tunjukkan

seperti permusuhan, rendah diri, malu dan mengisolasi diri ataukah

sikap menghargai, kasih sayang, dan kebahagiaan. Data ini guna

menggambarkan self compassion dalam diri subjek sehingga

(49)

40

c. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen

bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental

seseorang (Sugiyono, 2010: 82). Hasil penelitian dari observasi dan

wawancara akan lebih kredibel/dapat dipercaya kalau didukung oleh

sejarah pribadi kehidupan masa kecil, di sekolah, di tempat kerja, di

masyarakat, dan autobiografi (Sugiyono, 2010: 83).

Pada penelitian ini, dokumentasi yang dipergunakan yakni Kartu Hasil

Studi (KHS) atau transkip nilai mahasiswa yang menunjukkan nilai

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Dokumen ini guna mendukung

informasi prestasi akademik subjek.

E. PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

Analisis data adalah proses mencari dan menyususn secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan atau

field note, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke

dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,

menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan

dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri

sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2010: 88).

Prosedur analisis data kualitatif dibagi menjadi lima langkah, yaitu:

(50)

Cara ini dilakukan dengan membaca berulang kali data yang ada

sehingga peneliti dapat menemukan data yang sesuai dengan

penelitiannya dan membuang data yang tidak sesuai

2. Membuat kategori, menentukan tema, dan pola

Peneliti mengelompokkan data yang ada ke dalam suatu kategori

dengan tema masing-masing sehingga pola keteraturan data menjadi

terlihat jelas

3. Menguji hipotesis yang muncul dengan menggunakan data yang ada

Peneliti melakukan pengujian kemungkinan berkembangnya suatu

hipotesis dan mengujinya dengan menggunakan data yang tersedia

4. Mencari eksplanasi alternatif data

Peneliti memberikan keterangan yang masuk akal data yang ada dan

peneliti harus mampu menerangkan data tersebut didasarkan pada

logika makna yang terkandung dalam data tersebut

5. Menulis laporan

Peneliti menuliskan kata, frasa, dan kalimat serta pengertian secara

tepat yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan data dan hasil

analisisnya (Sarwono, 2006: 239-240).

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini menggunakan metode

analisis deskripsi esensi karena merupakan penelitian fenomenologi.

Untuk analisis dan interpretasi data dalam penelitian ini terlebih dahulu

data ditulis dalam transkip wawancara, dikoding, dan dikategorikan dalam

(51)

42

F. KEABSAHAN DATA

Dalam penelitian kualitatif, data dinyatakan terpercaya atau absah

apabila memiliki derajat keterpercayaan (credibility), keteralihan

(transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian

(confirmability). Masing-masing dijelaskan dibawah ini (Nawawi, 2012:

316-318):

a. Keterpercayaan (Credibility)

Kriteria ini digunakan dengan maksud data dan informasi yang

dikumpulkan peneliti harus mengandung nilai kebenaran (valid).

Kredibilitas data bertujuanuntuk membuktikan apakah yang teramati

oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia

kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia

kenyataan tersebut memang sesuai dengan yang sebenarnya ada atau

terjadi. Adapun untuk memperoleh keabsahan data dengan beberapa

cara, yaitu:

1. Perpanjangan keikutsertaan

2. Ketekunan pengamatan

3. Triangulasi

4. Pengecekan sejawat

5. Kecukupan referensial

6. Kajian kasus negatif

(52)

Dari ketujuh cara tersebut, peneliti menggunakan cara triangulasi.

Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan

melakukan pengecekan atau perbandingan terhadap data yang

diperoleh dengan sumber atau kriteria yang lain diluar data itu, untuk

meningkatkan keabsahan data. Validasi dengan triangulasi dalam

penelitian ini melalui informan pendukung seperti saudara dan orang

tua subjek.

b. Keteralihan (Transferability)

Dalam penelitian kualitatif, tranferabilitas tergantung pada pembaca,

yakni sampai manakah hasil penelitian itu dapat mereka gunakan

dalam konteks situasi tertentu. Karena itu, tranferabilitas hasil

penelitian ini diserahkan kepada pemakainya. Suatu penelitian yang

nilai transferabilitasnya tinggi senantiasa dicari orang lain untuk

dirujuk, dicontoh, dipelajari lebih lanjut, untuk diterapkan di tempat

lain. Oleh karena itu, peneliti perlu membuat laporan yang baik agar

terbaca dan memberikan informasi lengkap jelas, sistematis, dan dapat

dipercaya. Bila pembaca mendapat gambaran yang jelas dari suatu

hasil penelitian yang dilakukan (tranferability), maka hasil penelitian

tersebut memenuhi standar tranferabilitas.

c. Kebergantungan (Dependability)

Pengujian ini dilakukan dengan mengaudit keseluruhan proses

penelitian. Kalau proses penelitian tidak dilakukan di lapangan dan

(53)

44

Audit dilakukan oleh independen atau pembimbing untuk mengaudit

keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian. Bagaimana

peneliti menentukan masalah, memasuki lapangan, menentukan

sumber data, melakukan analisis data, melakukan keabsahan data, dan

membuat kesimpulan. Jika peneliti tidak mempunyai dan tidak dapat

menunjukkan aktivitas yang dilakukan di lapangan, maka

dependabilitas penelitiannya patut diragukan.

d. Kepastian (Conformability)

Uji konformabilitas berarti menguji hasil penelitian dikaitkan dengan

proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari

proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah

memenuhi standar konfirmabilitas. Artinya, seorang peneliti

melaporkan hasil penelitian karena ia telah melakukan serangkaian

kegiatan penelitian di lapangan. Untuk menjaga kebenaran dan

objektivitas hasil penelitian, perlu dilakukan ‘audit trail’ yakni

melakukan pemeriksaan guna meyakinkan bahwa hal-hal yang

(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. DESKRIPSI SUBJEK

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan subjek

mahasiswa yang berasal dari keluarga yang bercerai dan memiliki prestasi

akademik yang baik.

Peneliti melakukan wawancara kepada tiga subjek mahasiswa

tentang self compassion, di bawah ini dipaparkan data dan profil subjek

[image:54.595.141.507.242.578.2]

sebagai berikut:

Tabel 2

Data Subjek

No Subjek

Penelitian

Usia Jenis

Kelamin

IPK

1 A 22 tahun Perempuan 3,46

2 B 20 tahun Perempuan 3,52

3 C 23 tahun Perempuan 3,36

1) Profil Subjek A (subjek 1)

Subjek A seorang mahasiswa kelahiran Madiun, 25 Maret 1994

merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Subjek berusia 22 tahun

seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan tengah

(55)

46

pada saat duduk di bangku kelas enam SD. Semenjak perceraian orang

tuanya, subjek tidak lagi tenggal bersama kedua orang tuanya dan

belum pernah lagi bertemu dengan mereka. Subjek tinggal bersama

nenek hingga sang nenek meninggal dan akhirnya subjek harus tinggal

bersama tante subjek di Madiun.

Perempuan dengan tinggi 168 ini merupakan seorang yang memiliki

nilai akademik yang baik yakni dengan IPK di semester sebesar 3,46.

Selain itu, perempuan berjilbab lebar ini juga aktif di organisasi sejak

duduk di bangku SMA mulai dari Organisasi Rohis, Pramuka,

Paskibraka, hingga kini saat duduk di bangku kuliah ia juga ikut

organisasi keagamaan ekstra kampus yakni KAMMI.

2) Profil Subjek B

Subjek B seorang mahasiswa semester 4 kelahiran Situbondo, 24

September 1995 merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Subjek

B mengalami perceraian orang tua pada saat duduk di bangku kelas

dua SMA. Semenjak perceraian orang tuanya tersebut, subjek tidak

lagi tinggal bersama kedua orang tua, lantaran sang ibu yang menikah

lagi dan ikut suaminya sedangkan sang ayah yang tidak lagi tinggal di

Situbondo melainkan ke Kalimantan dan telah menikah lagi. Sehingga

subjek hanya tinggal berdua bersama adiknya karena kakak-kakaknya

pun telah menikah juga.

Perempuan dengan tinggi 157 ini merupakan seorang yang aktif di

(56)

dan IKAPELPENA dan kini organisasi KAMMI, KOPFI, dan

GEMABI. Selain itu, perempuan berusia 20 tahun ini seorang

mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling Islam yang duduk di

semester empat yang memiliki prestasi akademik yang baik terbukti

dari pencapaian nilai IPK pada semester 3 sebesar 3, 52.

3) Profil Subjek C

Subjek C seorang mahasiswa kelahiran Sidoarjo, 26 Juli 1993

merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Namun kini ia

merupakan anak pertama dari lima bersaudara dengan tiga saudara tiri

dari ayah tirinya dan satu saudara tiri dari ibu tirinya. Subjek C

mengalami perceraian orang tua pada saat duduk di bangku kelas enam

SD. Semenjak SD ia telah tinggal bersama kakek dan neneknya di

daerah Sepanjang, Taman, Sidoarjo, namun semenjak ibu subjek

menikah lagi dengan seorang perwira, subjek pun ikut ibunya tinggal

di daerah Candi, Sidoarjo tempat tinggal ayah tirinya.

Perempuan dengan usia 23 tahun ini merupakan seorang yang aktif di

organisasi Forum Lingkar Pena (FLP) dalam bidang kaderisasi. Subjek

C mengikuti organisasi ini karena kegemarannya dalam menulis dan

berharap dapat membuat cerita tentang kehidupannya. Sedangkan

prestasi akademiknya juga baik yakni 3,36.

Sedangkan profil informan dari ketiga subjek adalah sebagai berikut:

(57)

48

EL merupakan significant others dari subjek A. Perempuan kelahiran

Madiun, 13 Juli 1980 ini adalah saudara sepupu dari A. Peneliti

memilih kakak sepupu subjek sebagai informan dalam penelitian ini

karena memang orang terdekat subjek di keluarganya adalah EL. EL

berusia 36 tahun dan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)

guru.

2) FT

FT merupakan significant others dari subjek A. Perempuan kelahiran

Surabaya, 21 November 1992 ini adalah seorang mahasiswa semester

8 di UIN Sunan Ampel Surabaya. FT sebagai teman dekat dari subjek

A semenjak kenal da sering bertemu lantaran mengikuti organisasi

Gambar

   Tabel 1
   Tabel 2
      Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Supported the opinion by Arin as student of Islamic education departement as follows: I think if there entrepreneurship courses at FITK agreed it was good I agree, because yes

Hingga saat ini, perkembangan penelitian mengenai peran modal sosial dalam upaya peningkatan kesejahteraan rumah tangga (mikro) ternyata tidak diimbangi dengan perkembangan

Alternatif strategi pengembangan bisnis gula semut Koperasi Serba Usaha Jatirogo berdasarkan analisis SWOT, antara lain meningkatkan kegiatan promosi, meningkatkan

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian crossectional yang dilakukan di Kabupaten Tegal yang mennjukkan penyebab kusta menyebar merata disebabkan karna

 adanya lokasi dan subyek ysng tidak konsisten.  adanya tanggal pembuatan yang tidak konsisten.  terdapat berbagai data yang tidak konsisten.  adanya kesamaan isi, format,

Pemetaantopografi dan penggambaran profil irigasi sekunder pringwulung daerah irigasi ciujung (pamarayan timur)kecamatan pamarayan kabupaten serang provinsi banten..

Siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan tentang: penyajian data dalam bentuk tabel, diagram garis, diagram batang, dan diagram lingkaran, rata-rata, median,

Salah satu cara untuk mengatasi tidak adanya estimator "terbaik" adalah melalui pembatasan kelas estimator, salah satu pembatasan yang akan kita bahas adalah melalui