• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Mahasiswa Buddhis di Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) Universitas 'X' di Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Mahasiswa Buddhis di Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) Universitas 'X' di Kota Bandung."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran derajat self-compassion mahasiswa Buddhis yang tergabung dalam organisasi Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) Universitas „X‟ di kota Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif dengan teknik purposive sampling. Sampel sebanyak 37 orang anggota KMB 2013-2014 dan berusia antara 18-25 tahun.

Alat ukur utama menggunakan kuesioner self-compassion yang terdiri dari 26 item, mengukur 3 komponen self-compassion, yaitu: self-kindness, common humanity, dan mindfulness, dibuat oleh Kristin Neff (2003) dan diadaptasi di Indonesia oleh Missiliana Riasnugrahani (2012). Alat ukur penunjang mengenai gambaran faktor-faktor yang memengaruhi self-compassion, yaitu: jenis kelamin, usia, role of parents, role of culture, emotional maturity, personality, dan pengetahuan tentang ajaran Buddhis. Pengolahan data menggunakan distribusi frekuensi program SPSS 13.0.

Hasil olah data menunjukkan: sebanyak 62,2% responden memiliki derajat self-compassion yang rendah, sedangkan 37,8% sisanya memiliki derajat self-compassion yang tinggi. Derajat self-compassion memiliki kecenderungan keterkaitan dengan faktor: usia, role of parents, personality dan pengetahuan tentang ajaran Buddhis.

(2)

Abstract

This research was to describe the degree of self-compassion among the Buddhist college students on The Buddhist College Students Family Organization at “X” University in Bandung City. This research is using descriptive analytical method with purposive sampling technique. The sample comprise 37 people from the members of The Buddhist College Students Family within 18-25 years of age in 2013-2014.

Primary data collected with Self-Compassion Scale consist of 26 items which includes 3 components of self-compassion: self-kindness, common humanity, and mindfulness, was made by Kristin Neff (2003) and adapted in Indonesia by Missiliana Riasnugrahani (2012). Secondary measuring instrument are to describe about factors affecting to self-compassion, such as: gender, age, role of parents, role of culture, emotional maturity, personality, and knowledge of the Buddhist values. Data processed by frequency distributional SPSS 13.0.

Results indicated that 62,2% of the respondents have a low degree of self-compassion, whereas 37,8% of the rest have a high degree of self-compassion. Self-compassion tend to be related to the factors: age, role of parents, personality, and knowledge of the Buddhist values.

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

LEMBAR ORISINALITAS PENELITIAN iii

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI PENELITIAN iv

KATA PENGANTAR vi

ABSTRAK viii

DAFTAR ISI x

DAFTAR BAGAN xiv

DAFTAR TABEL xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah 1

1.2. Identifikasi Masalah 6

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 7

1.3.1. Maksud Penelitian 7

1.3.2. Tujuan Penelitian 7

1.4. Kegunaan Penelitian 7

1.4.1. Kegunaan Teoritis 7

1.4.2. Kegunaan Praktis 7

1.5. Kerangka Pikir 8

(4)

xi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Self Compassion 21

2.2. Komponen Self Compassion 23

2.2.1. Self Kindness 23

2.2.2. Common Humanity 27

2.2.3. Mindfulness 36

2.3. Faktor yang memengaruhi Self Compassion 39

2.3.1. Personality 39

2.3.2. The Role Of Parents 40

2.3.3. The Role Of Culture & Values of Religion 43

2.3.4. Jenis Kelamin 44

2.3.5. Emotional Maturity 44

2.4. Dampak Self Compassion 46

2.5. Young Adult (Early adulthood) Stage of Development 46

2.5.1. The Formal Operational Stage 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian 49

3.2. Bagan Skema Prosedur Penelitian 49

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 50

3.3.1. Variabel Penelitian 50

3.3.2. Definisi Konseptual 50

(5)

xii

3.4. Alat ukur 51

3.4.1. Kuesioner Self Compassion (Data Primer) 51

3.4.2. Data Pribadi dan Data Penunjang 53

3.4.3. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 54

3.4.3.1. Validitas Alat Ukur 54

3.4.3.2. Reliabilitas Alat Ukur 54

3.5. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel 55

3.5.1. Populasi Sasaran 55

3.5.2. Karakteristik Populasi 55

3.5.3. Teknik Penarikan Sampel 56

3.6. Teknik Pengolahan Data 56

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Responden 57

4.2. Hasil Penelitian 58

4.3. Pembahasan 61

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan 74

5.2. Saran 76

5.2.1. Saran Teoritis 76

(6)

xiii

DAFTAR PUSTAKA 78

DAFTAR RUJUKAN 82

(7)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.5 Kerangka Pikir 19

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur 52

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Setiap Komponen Self Compassion 53

Tabel 4.1 Gambaran Responden 57

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasar Usia Perkembangan 57 Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasar Keaktifan Berorganisasi 58 Tabel 4.4 Pengelompokkan Responden Berdasar Self-compassion 59 Tabel 4.5 Pengelompokkan Responden Berdasar Self-compassion &

Self-kindness 59

Tabel 4.6 Pengelompokkan Responden Berdasar Self-compassion &

Common humanity 60

Tabel 4.7 Pengelompokkan Responden Berdasar Self-compassion &

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebagai generasi muda, keyakinan agama merupakan salah satu pilar yang penting dalam membangun kehidupan para mahasiswa, tidak terkecuali mahasiswa yang beragama Buddha. Seiring dengan bertambahnya usia, keinginan para individu muda untuk mencari nilai kebijaksanaan dalam hidup pun bertambah. Bagi sebagian individu muda mengembangkan kualitas spiritualitas pribadi menjadi salah satu cara mereka untuk mencari jati dirinya dan menetapkan prinsip hidup yang akan menjadi acuan cara berperilaku mereka sehari-hari. Termasuk bagi mahasiswa Buddhis yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) di Universitas „X‟. Memperdalam dan memraktikkan Dhamma (ajaran Sang Buddha) adalah salah satu tujuan mereka bergabung dalam KMB.

(10)

2

Selain memperdalam dan memraktikkan ajaran Buddha, organisasi KMB diharapkan dapat membantu dan menjadi wadah bagi para mahasiswa untuk saling berbagi pengalaman dalam menjalani kehidupan perkuliahan maupun kehidupan sehari-hari misalnya relasi sosial, serta kehidupan berkeluarga dengan sesama teman sebaya yang berkeyakinan sama. Dengan demikian diharapkan dapat terjalin hubungan yang saling mendukung dan mengembangkan rasa kekeluargaan para anggota KMB, agar mahasiswa Buddhis tidak merasa sendirian ketika menghadapi berbagai persoalan yang terjadi dalam hidupnya. Berdasarkan hasil survei awal terhadap 9 orang, seluruh responden (100%) mengatakan KMB bermanfaat bagi mereka untuk belajar menyelesaikan masalah sesuai ajaran Buddha. Hal ini diperlukan karena ajaran agama dapat membantu individu untuk memberi respons yang adaptif ketika menghadapi masalahnya.

(11)

3

karena adanya kontribusi faktor lain yang ada di sekitar individu dan tidak menganggap bahwa hal itu merupakan kelalaian individu sepenuhnya. Ajaran penting lainnya, yaitu, Buddha menekankan perlunya keseimbangan dalam mewujudkan cinta kasih (compassion) kepada orang lain (compassion for others) dan kepada diri sendiri (self-compassion).

Berdasarkan hasil wawancara terhadap anggota KMB, sebanyak 9 orang (100%) mengatakan bentuk cinta kasih yang mereka lakukan terhadap orang lain (Compassion to others) di antaranya adalah membantu orang lain, memahami dan menghibur orang lain yang sedang menghadapi masalah, misalnya kegagalan. Di sisi lain, seluruh responden (100%) juga mengemukakan kecenderungan mengkritik diri dengan menganggap bahwa kritik merupakan cara efektif untuk memotivasi diri mereka mencapai target-target dalam hidup mereka. Artinya, individu tidak mengembangkan cinta kasih kepada dirinya sendiri (self-compassion). Begitu pula mengenai wujud self-compassion yang dilakukan, sebanyak 7 dari 9 responden (77,7%) mengemukakan wujud cinta kasih mereka terhadap diri hanyalah sebatas kebutuhan fisik saja, seperti berolahraga, beristirahat cukup dan mengatur pola makan atau memberi jawaban yang „mengambang‟, seperti melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan

(12)

4

amal). Sementara itu, belum ada kegiatan yang berhubungan dengan self-compassion.

Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran individu terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian baik maupun buruk sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003). Self-compassion akan membuat individu lebih dapat memaknai, menghadapi, dan menyikapi setiap peristiwa dalam kehidupan ini secara adaptif, terutama saat menghadapi kegagalan. Terdapat tiga komponen yang membentuk self-compassion, yaitu: self-kindness, common humanity; mindfulness (Neff, 2009). Ketiga komponen ini sejalan dengan beberapa ajaran penting agama Buddha.

Melalui salah satu ajaranNya: anatta, yaitu ajaran untuk menghentikan pandangan yang salah terhadap diri, termasuk dalam hal memberi compassion yang “berat sebelah” baik hanya kepada orang lain maupun kepada diri sendiri.

(13)

5

diharapkan dapat menjadi dasar pembangun self-compassion dalam diri mahasiswa Buddhis.

Mengingat sejak usia remaja, individu cenderung mulai membandingkan diri mereka dengan orang lain di sekitar mereka (Ruble et. al, 1980, dalam Honess & Yardley, 2003), self-compassion diharapkan dapat mengurangi efek dari berbagai emosi negatif yang dirasakan oleh anggota KMB sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan, khususnya di Universitas „X‟. Baik emosi negatif yang berasal dari dalam diri, misalnya rasa frustrasi, kecemasan akibat sadar akan berbagai kekurangan diri, maupun yang berasal dari luar diri, misalnya komentar negatif dari orang lain terhadap keunikan diri, kekurangan dan kesalahan yang dilakukan oleh individu. Melalui self-compassion, diharapkan dapat membantu meningkatkan kebahagiaan dan rasa keberhargaan dalam diri anggota KMB, sekalipun sedang menghadapi berbagai masalah serta kekurangan diri, anggota KMB dapat mengelola ekspresi emosinya secara bertanggungjawab.

Berdasarkan hasil survei awal kepada 9 orang mahasiswa di KMB mengenai sikap saat menghadapi kegagalan, sebanyak 6 orang (66,7%) mengatakan mereka mampu menerima kegagalan dan kekurangan diri, mengingat bahwa keberhasilan juga merupakan bagian dari dirinya (self-kindness). Sementara 3 orang lainnya (33,3%) mengatakan bahwa tidak seharusnya kegagalan menjadi bagian dari diri mereka, individu tidak dapat menerima kegagalan atau kekurangan yang mereka miliki (self-judgment).

(14)

6

mengatakan bahwa kegagalan merupakan hal wajar yang dialami setiap orang, mereka menyadari ketidaksempurnaan merupakan bagian dari diri setiap manusia sebaik apa pun mereka berusaha (common humanity). Sementara 4 orang lainnya (47,3%) biasanya lebih memilih menarik diri dengan cara menyendiri untuk melakukan introspeksi ketika mengalami kegagalan, serta senantiasa berusaha mengubah diri mereka untuk menyenangkan orang lain (isolation).

Dalam hal kesadaran mengenai kegagalan yang dialami, sebanyak 7 orang dari 9 responden (72,2%) mampu mengakui, menerima kekecewaan yang muncul akibat kegagalan sebagai pembelajaran, serta berusaha menerima, menjalani situasi sulit hari demi hari tanpa menghindari hal itu atau menjadi terlalu tertekan dan stress (mindfulness). Sementara sisanya, sebanyak 2 orang (27,8%) mengatakan bahwa mereka merasa pesimistis, ingin menghindar ketika menghadapi situasi sulit, serta terlalu terfokus pada kegagalan yang dialami sehingga merasa tertekan dan stress (over-identification).

Berdasarkan hasil survei awal dan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk mengetahui mengenai “Derajat Self-Compassion pada Mahasiswa Buddhis

di Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) Universitas „X‟ di Kota Bandung”.

1.2. Identifikasi Masalah

(15)

7

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai derajat self-compassion pada mahasiswa Buddhis di KMB Universitas „X‟ Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat self-compassion pada mahasiswa Buddhis di KMB Universitas „X‟ di Kota Bandung, gambaran dari masing-masing komponen self-compassion dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

Kegunaan teoretis penelitian ini adalah:

1) Menambah informasi mengenai self-compassion bagi bidang Psikologi Perkembangan dan Psikologi Positif.

2) Memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis penelitian ini adalah:

(16)

program-8

program pengembangan diri para anggota KMB terutama dalam kaitannya dengan pengembangan ajaran anatta, metta dan compassion yang erat kaitannya dengan self-compassion.

2) Menambah informasi bagi pembina kerohanian organisasi KMB Universitas „X‟ di Kota Bandung (Bhikkhu & bhikkhuni) tentang derajat

self-compassion yang dimiliki para anggota KMB, sebagai bahan masukan untuk membina mahasiswa agar lebih mengenali dirinya dan mengaitkannya dengan ajaran-ajaran dalam agama Buddha untuk mengembangkan kualitas kepribadian dan spiritualitas para mahasiswa.

3) Memberi manfaat bagi para anggota KMB Universitas „X‟ di Kota Bandung, melalui program yang dirancang oleh ketua, agar lebih dapat menyadari manfaat dari self-compassion, sehingga dapat dioptimalkan demi meningkatkan mental health masing-masing individu.

1.5 Kerangka Pikir

Para anggota KMB di Universitas „X‟ rata-rata berusia 18-25 tahun dan

(17)

9

merupakan masalah-masalah yang menimbulkan stres, self-criticism yang buruk, dan self-worth yang rendah pada individu karena merasa gagal.

Individu pada masa ini cenderung melakukan self-evaluation atas pencapaian goals yang ditetapkannya akibatnya mereka akan merasa tertekan ketika memikirkan masa depannya/over-thinking (Heckhausen & Tomasik, 2002, dalam Lerner & Steinberg, 2004) karena hal ini terkait dengan jati diri/self-concept dan self-worth individu. Bila self-concept individu negatif terhadap dirinya dan tidak menganggap dirinya cukup berharga bagi orang lain, hal ini mencegah individu untuk melakukan self-kindness yang merupakan salah satu komponen dari self-compassion.

Self-compassion menurut Neff adalah keterbukaan dan kesadaran individu terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003). Menurut Neff self-compassion tidak dapat lepas dari tiga komponen yang saling berkaitan, yaitu: self-kindness, common humanity; mindfulness (Neff, 2009).

(18)

self-kindness-10

nya. Buddha pernah mengatakan bahwa compassion seharusnya juga berlaku bagi diri individu sendiri (self-kindness). Self-kindness dapat membantu individu dalam mencapai mental health (Dunn, Aknin & Norton, 2008, dalam Germer, Siegel, & Fulton, 2013). Self-kindness tinggi pada mahasiswa Buddhis yang tergabung dalam KMB di Universitas „X‟ ditunjukkan melalui kemampuan mahasiswa untuk

menerima keberadaan diri apa adanya, memahami diri, sabar kepada diri sendiri ketika menghadapi teguran atau kritikan atas kekurangan dan kegagalan mencapai prestasi akademik (nilai yang baik, mengulang mata kuliah tertentu) atau ketika menghadapi permasalahan relasi dengan figur signifikan dalam hidupnya (keluarga, sahabat, pasangan, dosen, atasan, rekan kerja, dan figur lainnya). Mereka juga bersedia sabar, memaklumi diri ketika gagal menerapkan ajaran agama Buddha.

(19)

11

Komponen kedua yaitu common humanity. Common humanity adalah kemampuan individu menyadari kenyataan bahwa bukan hanya dirinya yang mengalami kegagalan, namun orang lain juga pernah merasakan dan memiliki kekurangannya masing-masing serta menganggap kegagalan dan kekurangan merupakan bagian hidup yang dialami oleh semua individu. Komponen ini sejalan dengan ajaran interconnectedness/paticca samuppada dalam agama Buddha (Dhammananda, 2007: 160). Ajaran ini mengajarkan bahwa individu dan segala kejadian di dunia ini saling terkait dan berkontribusi pada kehidupan. Begitu juga kejadian buruk seperti kegagalan, dapat terjadi karena adanya kontribusi faktor di luar diri individu bukan hanya kesalahan internal seorang individu, dan hal ini wajar terjadi pada semua orang. Mahasiswa Buddhis yang memahami prinsip saling kebergantungan (interconnectedness) diharapkan derajat common humanity-nya tinggi, mereka menyadari kenyataan bahwa orang lain juga dapat mengalami kesulitan dan memiliki kekurangan masing-masing dalam hidupnya. Ketika mahasiswa mendapatkan nilai yang buruk, atau permasalahan relasi dengan orang lain dalam organisasi, figur signifikan, maupun dengan dirinya sendiri yang masih banyak mengalami kebimbangan, mereka menganggap bahwa itu semua adalah hal yang wajar dialami setiap individu yang masih terus belajar dan berkembang, termasuk dirinya.

(20)

12

kegagalan yang terjadi. Mahasiswa Buddhis yang derajat komponen common humanity-nya rendah akan lebih memilih menarik diri saat mendapatkan nilai buruk atau teguran dan feedback dari orang lain, menganggap tidak seharusnya penderitaan dan kekurangan terjadi pada dirinya. Ketika mendapatkan nilai yang buruk, mengalami relasi yang buruk dengan orang lain, atau masalah pekerjaan, mereka menganggap kesalahan sepenuhnya berasal dari diri mereka yang memiliki banyak kekurangan dan inkompeten,berpikir bahwa hal itu tidak seharusnya terjadi.

Komponen terakhir dari self-compassion yaitu kesadaran/mindfulness. Mindfulness menurut Neff (2003) yaitu kemampuan menerima dan menyadari kesalahan, kekurangan, dan kegagalan apa adanya, tanpa melebih-lebihkan kenyataan atau berusaha menghindari/menyangkal kenyataan yang ada. Mindfulness merupakan kunci untuk memahami salah satu ajaran agama Buddha tentang anatta. Ajaran non-egoistik ini mengajarkan individu untuk mengamati dan menghayati kejadian apa pun yang dialami oleh diri dalam perspektif yang benar dan apa adanya (Dhammananda, 2007). Anatta menghindarkan individu dari perilaku mengkritik diri akibat kesalahan dan kegagalan yang terjadi, karena memahami kejadian buruk tanpa memberi muatan „aku‟ di dalamnya (Ven.

Gunaratana, 1994, dalam http://buddhism.about.com/.../right-mindfulness.htm). Sejalan dengan hal ini, Barbara O‟Brien (2013) dalam www.buddhism.about.com

(21)

13

interconnectedness dalam menyikapi kegagalan serta kesalahan (Dunn, Aknin, & Norton, 2008). Mahasiswa yang memahami ajaran anatta akan memiliki derajat mindfulness yang tinggi. Mereka dapat menerima, menilai kesalahan, kekurangan, dan kegagalan yang dialami apa adanya. Mahasiswa dapat menerima dan mengakui bahwa tidak selalu mudah membina relasi dengan orang lain, keterbatasan diri dalam hal memenuhi target pribadi maupun target yang ditentukan pihak luar, kekurangan diri dalam mengaplikasikan ajaran agama Buddha dalam hidupnya tanpa mendramatisir masalah yang terjadi.

Pemahaman yang kurang tentang anatta akan menghasilkan mindfulness yang rendah pada mahasiswa sehingga muncul over-identification terhadap pengalaman buruk yang dialaminya. Mahasiswa Buddhis yang over-identification akan menganggap dirinya memang tidak mampu menjadi individu Buddhis maupun mahasiswa yang berhasil. Mereka akan mendramatisasi situasi dan bereaksi secara emosional terhadap nilai buruk, feedback, dan kekurangan diri. Selain over-identification, mindfulness yang rendah juga dapat menghasilkan perilaku avoidance. Avoidance, membuat mahasiswa Buddhis tidak bisa menerima kegagalannya dan selalu menghindar dari konsekuensi buruk yang mungkin terjadi, mereka mungkin tidak memiliki target dalam hidupnya, misalnya saja target IPK atau tahun lulus, karena mereka takut gagal mencapainya. Mereka mungkin menghindari relasi mendalam dengan orang lain karena pernah gagal dalam membina relasi.

(22)

self-14

yang tinggi (Neff, 2011). Sebaliknya, jika mahasiswa Buddhis memiliki derajat yang rendah dalam self-compassion, akan memunculkan self-judgment, isolation, dan over-identification/avoidance. Untuk dapat menyimpulkan bahwa individu memiliki self-compassion yang tinggi atau rendah, harus dilihat melalui ketiga komponen yang saling terkait dalam self-compassion (Barnard & Curry, 2011; Neff, 2011).

Pemahaman mahasiswa akan common humanity yang berkaitan dengan ajaran Buddha mengenai interconnectedness, yaitu prinsip bahwa setiap manusia saling terkait untuk memberi harmoni bagi kehidupan, termasuk ketidaksempurnaan dan kesempurnaan yang wajar dimiliki setiap individu, akan membuat individu memperlakukan dirinya dengan lebih baik (self-kindness), mengurangi kritik atas kekurangan yang dimiliki dirinya maupun orang lain.

(23)

15

Individu yang memilih melakukan self-kindness akan memberikan pemahaman kepada dirinya bahwa setiap orang wajar memiliki kekurangan dan melakukan kesalahan (mindfulness), tidak ada hal yang perlu dilebih-lebihkan atau disembunyikan. Sebaliknya, mereka akan menilai kesalahannya secara objektif, kemudian melakukan usaha perbaikan secara aktif yang bisa dilakukan saat ini. Mereka tidak menyesali masa lalu atau mengkhawatirkan masa depan. Mindfulness membuat individu terhindar dari perilaku mengecam diri (self-judgment), karena individu memahami bahwa orang lain juga pernah dan wajar melakukan kesalahan, bukan hanya dirinya (common humanity), ia tidak mendramatisasi kesalahan, kekurangan, kegagalan dirinya atau orang lain. Pemahaman ini membuat individu merasa layak untuk tetap terhubung dengan orang lain (Barnard & Curry, 2011).

Tinggi rendahnya derajat self-compassion individu, dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah: kepribadian, jenis kelamin, serta kematangan emosi/emotional maturity (Neff & Pommier, 2012), sedangkan faktor eksternal yaitu role of culture (termasuk agama) dan role of parents (Attachment, maternal criticism, modeling parents).

(24)

16

Berbeda dengan trait kepribadian agreeableness, extroversion, dan conscientiousness yang memiliki korelasi positif dengan self-compassion. Individu dengan trait extroversion cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah besar hubungan (Robbins, 2001, dalam Neff & Kirkpatrick, 2007). Trait agreeableness dan extroversion yang tinggi akan berorientasi pada sifat sosial sehingga mereka dapat melihat pengalaman yang negatif sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (common humanity), sehingga individu mampu self-compassion. Trait conscientiousness menekankan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memrioritaskan tugas. Jadi, individu lebih memperhatikan kebutuhan mereka dan dapat merespons situasi yang sulit dengan sikap yang lebih bertanggung jawab, tanpa memberikan kritik diri yang berlebihan (self-kindness, mindfulness), hal ini dapat meningkatkan self-compassion individu.

(25)

17

dalam diri individu dewasa awal. Oleh karena masa dewasa awal juga merupakan masa yang masih banyak dipengaruhi oleh lingkungan, dibutuhkan kemampuan individu untuk mereduksi dan mengelola emosi yang dirasakan dengan benar, agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain (Paramitasari & Alfian, 2012).

Self-compassion dapat dipengaruhi oleh role of culture. Indonesia merupakan salah satu negara penganut nilai budaya Timur (collectivism), yaitu, kepentingan diri sendiri harus dikesampingkan demi kepentingan orang lain atau kelompok. Value ini dapat menjadi penghambat untuk meningkatkan derajat self-compassion karena individu terlalu mementingkan compassion for others. Selain nilai budaya collectivism, tercakup juga nilai-nilai yang diperoleh dari kepercayaan yang dimiliki. Ajaran agama Buddha begitu erat kaitannya dengan nilai-nilai compassion dan wisdom/mindfulness, diharapkan hal ini menjadi dasar pembangun self-compassion yang tinggi dalam diri mahasiswa Buddhis.

(26)

18

memiliki derajat self-compassion yang lebih tinggi daripada individu yang tidak mendapatkan secure attachment (Neff, 2011).

Maternal criticism dapat memengaruhi self-compassion. Individu yang mendapatkan kehangatan dan hubungan yang saling mendukung dengan orang tua mereka, menerima dan memberi compassion kepada mereka, akan lebih mampu melakukan self-compassion (Storolow & Atwood, 1996) daripada individu yang tinggal dengan orang tua yang “dingin” dan sering mengkritik mereka saat

(27)

19

Tinggi Mahasiswa Buddhis di

KMB Universitas “X” di Kota Bandung

Ajaran Buddha

Self-Compassion

Rendah

Internal: Eksternal:

Kepribadian Role of Culture Jenis kelamin - Budaya Timur (Collectivism)

Emotional maturity - Nilai agama

Role of Parents -Maternal criticism -Modeling parents

Self-kindness vs self-judgment Common humanity vs isolation

Mindfulness vs over-identification

(28)

20

1.6 Asumsi Penelitian

a. Derajat self-compassion yang tinggi pada mahasiswa Buddhis di KMB Universitas „X‟ terdiri dari komponen: self-kindness, common humanity dan

mindfulness yang tinggi pula. Sebaliknya, self-compassion yang rendah pada mahasiswa Buddhis yang tergabung dalam KMB Universitas „X‟ di Kota Bandung akan memunculkan self-judgment, isolation, atau over-identification/avoidance.

b. Derajat self-compassion akan cenderung tinggi bila mahasiswa Buddhis yang tergabung dalam KMB Universitas „X‟ di Kota Bandung memahami ajaran Buddha mengenai metta yang sejalan dengan komponen self-kindness, interconnectedness/paticca samuppada yang sejalan dengan komponen common humanity, serta anatta yang sejalan dengan komponen mindfulness. Sebaliknya, derajat self-compassion akan cenderung rendah bila mahasiswa kurang memahami ajaran-ajaran tersebut.

c. Self-compassion mahasiswa Buddhis yang tergabung dalam KMB Universitas „X‟ di Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor internal yaitu

(29)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang self-compassion pada 37 orang anggota KMB (Keluarga Mahasiswa Buddhis) Universitas ‘X’ di Kota

Bandung, diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Anggota KMB (Keluarga Mahasiswa Buddhis) Universitas ‘X’ di Kota Bandung sebagian besar memiliki derajat self-compassion yang tergolong rendah, yaitu sebanyak 62,2% karena terdapat derajat yang rendah pada salah satu atau lebih komponen pembangun self-compassion, yaitu: self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Komponen yang paling banyak rendah adalah common humanity. Sedangkan 37,8% lainnya memiliki derajat self-compassion yang tinggi, karena derajat yang tinggi pada tiap-tiap komponen.

(30)

75

terjadi (modeling of parents). Maka self-compassion individu menjadi rendah.

3. Terdapat kecenderungan keterkaitan antara faktor trait kepribadian: neuroticism, conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan openness to experience dengan self-compassion. Derajat neuroticism yang tinggi cenderung memiliki kaitan dengan mindfulness yang rendah, maka self-compassion-nya pun rendah. Trait openness to experience yang tinggi cenderung memiliki kaitan dengan cara pandang khas individu pada usia perkembangan early adulthood, yaitu isolated dan over-identification, maka self-compassion-nya menjadi rendah. Sedangkan, conscientiousness yang rendah cenderung memiliki kaitan dengan self-kindness yang rendah, trait extraversion dan agreeableness cenderung memiliki kaitan dengan common humanity yang rendah, sehingga derajat self-compassion-nya pun rendah. 4. Terdapat kecenderungan keterkaitan antara faktor usia responden dengan

self-compassion. Semakin muda usia perkembangan anggota KMB (early adulthood), semakin sedikit referensi pengalaman yang dapat dijadikan bahan perbandingan dalam memandang masalahnya secara objektif (common humanity dan mindfulness rendah), maka semakin rendah derajat self-compassion.

(31)

76

dengan common humanity, dan anatta yang berhubungan dengan mindfulness, cenderung memiliki kaitan dengan rendahnya derajat self-compassion.

6. Faktor jenis kelamin, collectivism, emotional maturity, dan keaktifan dalam berorganisasi di KMB (Keluarga Mahasiswa Buddhis) Universitas ‘X’ di Kota Bandung tidak memiliki kecenderungan keterkaitan dengan self-compassion.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion, disarankan:

1. Untuk melakukan penelitian kontribusional atau korelasional antar faktor-faktor yang paling memengaruhi self-compassion.

2. Bagi peneliti lain disarankan untuk menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak dan dikaitkan dengan variabel lain.

5.2.2 Saran Praktis

Bagi pihak-pihak terkait di bawah ini, disarankan:

(32)

77

samuppada/interconnectedness yang berhubungan dengan common humanity, dan anatta yang berhubungan dengan mindfulness.

2. Bagi para pembina kerohanian KMB (Keluarga Mahasiswa Buddhis) Universitas ‘X’ di Kota Bandung, agar dapat membantu memberi ceramah

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Barnard, L., K., & Curry J. F. 2011. Self-compassion: Conceptualizations, Correlates, & Interventions. Journal of General Psychology, 289-303. Washington DC: American Psychological Association Press.

Bretherton, I. 1992. The Origins Of Attachment Theory: John Bowlby and Mary Ainsworth. Developmental Psychology, 28, 759-775.

Edwina, I. P. 2012. Laporan Penelitian Studi Deskriptif The Five-Factor Model Of Personality Pada Remaja Usia 15-18 Tahun (Studi Pada Siswa SMA “X” Bandung dan Mahasiswa Semester II Universitas “Y”Bandung). Repository UK. Maranatha.

Germer, C. K., Siegel R. D., Fulton P. R. 2013. Mindfulness and Psychotherapy, Second Edition. Guilford Press.

Honess, T., Yardley, M. K. 2003. Self and Identity: Perspectives Across the Lifespan. Routledge Publishing Company. Retrieved from http://books.google.co.id/books?id=hGSQAgAAQBAJ&pg=PA54&dq=rubl e+et+al,+1980&hl=id&sa=X&ei=mAGhU8abJZD88QWfyYDoBQ&ved=0 CCsQ6AEwAg#v=onepage&q=ruble%20et%20al%2C%201980&f=false

Indonesia, Sangha Therav da. 2001. DHAMMAPADA. Jakarta: Yayasan

Dhammadipa r ma.

Kaplan, Robert M., & Sacuzzo, Dennis P. 1993. Psychological Testing: Principles, Applications, and Issues. California : Brooks/Cole Publishing Company.

Kumar, Ranjit. 1996. Research Metodology. New York : Sage Publication.

(34)

79

Lerner, R. M., Steinberg L. 2004. Handbook of Adolescence Psychology. John Wiley & Sons. Retrieved from

http://books.google.co.id/books?id=_wXasY1HyAYC&dq=heckhausen+%2 6+tomasik,+2002+over+thinking&hl=id&source=gbs_navlinks_s

Nazir, Moh. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Neff, K. D. 2003. An Alternative Conceptualization of a Healthy Attitude Toward Oneself. Self and Indentity, 2:85-101. Psychology Press.

Neff, K. D. 2009. Self-compassion. In M.R. Leary & R.H. Hoyle (Eds.), Handbook of Individual Differences in Social Behavior (pp. 562-573). New York: Guilford Press.

Neff, K. D. 2009. The Role of Self-Compassion in Development: A Healthier Way to Relate to Oneself. Journal of Human Development, 52, 211-214. doi: 10.1159/000215071. Karger Publisher.

Neff, K. D. 2011. Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: Harper Collins Publishers.

Neff, K., McGehee, P. 2009. Self-compassion and Psychological Resilience Among Adolescents and Young Adults. Journal of Self and Identity, 9:3, 225-240. doi: 10.1080/15298860902979307.

Neff, K., Pisitsungkagarn, K., Hsieh, Y. P. 2008. Compassion and Self-Construal in The United States, Thailand, and Taiwan. Journal of Cross-Cultural Psychology, 39, 267-285. doi: 10.1177/0022022108314544.

(35)

80

Neff, K., Rude, S.S., & Kirkpatrick, K.L. 2007. An examination of self-compassion in relation to positive psychological functioning and personality traits. Journal of Research in Personality, 41, 908-916.

Paramitasari, R., Alfian, I. 2012. Hubungan Antara Kematangan Emosi Dengan Kecenderungan Memaafkan Pada Remaja Akhir. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Passer, M. W., Smith R.E. 2009. Psychology: The Science of Mind and Behaviour. McGraw-Hill Higher Education.

Raque-Bogdan, T. L., Ericson S. K., Jackson J., Martin H. M., Bryan N. A. 2011. Attachment and Mental and Physical Health: Self-Compassion and Mattering as Mediators. Journal of Counseling Psychology, Vol. 58, No. 2: 272-278. American Psychological Association.

Riasnugrahani, M. 2014. Self-compassion dan Compassion for Others Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Repository UK.Maranatha.

Santrock, John W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.

Sri Dhammananda, K. Ven. 2007. Keyakinan Umat Buddha. Yayasan Penerbit Karaniya.

Sri Dhammananda, K. Ven, et. al. 2009. How to Develop Happiness in Daily Living. Kuala Lumpur: Sasana Abhiwurdhi Wardhana Society.

Storolow R. D., Atwood G. E. 1996. The Intersubjective Perspective. Psychoanalitic Review, 83:181-194.

(36)

81

(37)

DAFTAR RUJUKAN

Bhagavant. 2013. Studi Buddhist: Ajaran Dasar Tiga Corak Kehidupan. http://www.bhagavant.com/. Diakses pada tanggal 5 Desember 2013.

Elmore, T. 14 November 2012. The Marks of Maturity. http://www.psychologytoday.com/the marks of maturity.htm. Diakses pada tanggal 21 September 2013.

Kait. http://kbbi.web.id/kait/. Diakses pada tanggal 25 November 2013.

KMB Adhitana. http://asia.groups.yahoo.com/group/KMB_Adhitana/. Diakses pada tanggal 5 Juli 2013.

Lee, T. Y. Basic Buddhism. http://www.justbegood.net/. Diakses pada tanggal 28 November 2013.

McLeod, S. 2011. Maslow’s Hierarchy of Needs. http://www.simplypsychology.org/maslow.html. Diakses pada tanggal 5 Juli 2013.

O’Brien, B. 2013. Buddhism and Compassion: Compassion, Wisdom, and The Path.http://buddhism.about.com/od/basicbuddhistteachings/a/compassion.ht m. Diakses pada tanggal 5 Juli 2013.

O’Brien, B. 2013. Dependent Origination: “When this is, that is”.

http://buddhism.about.com/od/basicbuddhistteachings/a/genesis.htm. Diakses pada tanggal 5 Juli 2013.

O’Brien, B. 2013. Right Mindfulness: A Foundation of Buddhis Practice.

(38)

83

Pannyavaro, V. 2012. Dharma Data: A Dictionary of Buddhist Terms. http://www.buddhanet.net/e-learning/dharmadata/fdd62.htm. Diakses pada tanggal 28 April 2013.

Pickhardt, C. E. 5 Agustus 2013. When Adolescents Become Their Own Worst Enemy. http://www.psychologytoday.com/surviving (your child’s) adolescence.htm/. Diakses pada tanggal 21 September 2013.

Sumedho. 2013. DCPedia Ensiklopedia Buddhis. http://www.dhammacitta.org. Diakses pada tanggal 12 Juni 2013.

Uttamo, B. 24 Agustus 2010. Pokok Dasar Agama Buddha. http://www.samaggi-phala.or.id. Diakses pada tanggal 12 Juni 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1) dan Iklim Organisasi terhadap Kinerja Mengajar Guru (Y) pada SMA Negeri di Kabupaten Subang ...146.. BAB V Kesimpulan dan

dalam selembar kertas, l paragraf tentang konsep karya ujian praktek hari ini, dan teori Nirmana apa saja yang terdapatdaram kmyaanda.. lfrha$wa yang tidakmengumpulkan tugas

tetap optimis bahwa hidup mereka yang akan datang dapat lebih baik dari kehidupan

“Kajian atau ruang lingkup pendidikan politik adalah penanaman nilai moral kepada siswa dengan tujuan membentuk karakter anak bangsa sesuai dengan kemampuannya masing-masing yang

Apakah terdapat perbedaan hasil belajar ranah kognitif aspek memahami (C2) antara siswa yang menggunakan dan tidak menggunakan media Prezi Desktop dengan pretest-posttest pada

Skor 3: Jika siswa mampu menyalin kalimat sederhana dengan benar proporsi huruf sesuai dengan tempat, jarak antar kata jelas dengan bantuan verbal. Skor 2: Jika siswa mampu

Sedangkan tidak banyak dari mereka yang mengetahui bahwa rasa kopi sebenarnya bermacam-macam, dari pahit,asam,memiliki aroma fruity, seperti yang dimiliki oleh biji kopi

21 Penulis dalam hal ini melakukan wawancara kepada Ketua Majelis Jemaat kedua negeri yang diyakini sebagai informan kunci 22 dari penelitian yang penulis lakukan dan