SKRIPSI
OLEH:
NURMALIKA YUNITA SARI
C04212072
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
SURABAYA
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan
Program Sarjana Strata Satu Ilmu Ekonomi Syariah
Oleh:
Nurmalika Yunita Sari
C04212072
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Program Studi Ekonomi Syariah
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Analisis Konversi Akad Mura>bahah menjadi Akad
Wadi>‘ah Yad}}} D}ama>nah pada Proses Rescheduling Pembiayaan Mura>bahah
Bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya” merupakan hasil penelitian
kualitatif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana analisis
mekanisme konversi akad mura>bahah menjadi akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah pada
proses rescheduling pembiayaan mura>bahah bermasalah di BMT UGT Sidogiri
Cabang Surabaya dan bagaimana implikasi konversi akad mura>bahah menjadi
akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah pada proses rescheduling terhadap penyelesaian
pembiayaan mura>bahah bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitiatif deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dengan informan kepala cabang dan manajer (unit khusus) yang menangani kasus pembiayaan mura>bahah bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya.
Hasil penelitian menjelaskan dalam menghadapi pembiayaan mura>bahah
bermasalah pada nasabah yang prospektif (memiliki kemampuan untuk membayar) dilakukan dengan cara melakukan konversi akad mura>bahah menjadi
akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah. Akad mura>bahah dihentikan dan langsung diterapkan
akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah atas barang jaminan yang masih berada di BMT UGT
Sidogiri Cabang Surabaya hingga nasabah dapat melunasi sisa angsuran dan
margin pada waktu yang telah disepakati. Akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah diterapkan
karena BMT menanggung risiko atas hilang ataupun rusaknya barang jaminan
yang masih berada di BMT. Penentuan besarnya ujrah (biaya) wadi>‘ah yad}}}
d}ama>nah adalah sebesar 2,5 persen dari besar sisa angsuran dan margin yang
belum mampu dilunasi nasabah sebelumnya. Nasabah membayar ujrah (biaya)
wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah selama perpanjangan waktu pembayaran sisa angsuran
pokok dan margin. Pada saat perpanjangan waktu tersebut nasabah hanya
membayar ujrah (biaya) atas barang jaminan dan tidak membayar angsuran
pokok dan margin. Nasabah baru melunasi sisa angsuran pokok dan margin pada waktu yang telah disepakati saat dilaksanakan rescheduling.
Mekanisme konversi akad mura>bahah menjadi akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah
pada proses rescheduling pembiayaan mura>bahah bermasalah tidaklah sesuai
dengan ketentuan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 49/DSN-MUI/II/2005 karena dalam ketentuan fatwa tersebut tidak ada ketentuan akad
mura>bahah untuk dikonversi menjadi akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah. Penentuan
pengambilan ujrah (biaya) sewa atas akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah juga tidak
sesuai, karena ketentuan akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah tidak diperbolehkan untuk
mengambil ujrah (biaya). Implikasi konversi akad mura>bahah menjadi akad
wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah terhadap penyelesaian pembiayaan mura>bahah bermasalah
DAFTAR ISI
B.Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9
C.Rumusan Masalah ... 11
D.Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 15
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16
G. Definisi Operasional ... 16
H.Metode Penelitian ... 18
I. Sistematika Pembahasan ... 24
BAB II TINJAUAN TENTANG MURA>BAHAH, WADI>‘AH, PEMBIAYA- AN MURA>BAHAH BERMASALAH, DAN PENYELESAIAN PEMBIAYAAN MURA>BAHAH BERMASALAH ... 26
A.Mura>bahah... 26
B.Wadi>‘ah ... 38
C.Pembiayaan Mura>bahah Bermasalah ... 44
D.Sebab-sebab Terjadinya Pembiayaan Mura>bahah Bermasalah .... 46
BAB III MEKANISME KONVERSI AKAD MURA>BAHAH MENJADI
AKAD WADI>‘AH YAD}}} D}AMA>NAH PADA PROSES RESCHE-
DULING PEMBIAYAAN MURA>BAHAH BERMASALAH DI
BMT UGT SIDOGIRI CABANG SURABAYA ... 54
A.Gambaran Umum BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya ... 54
B. Mekanisme Pembiayaan Mura>bahah di BMT UGT Sidogiri Ca- bang Surabaya ... 62
C. Langkah-Langkah Penyelesaian Pembiayaan Mura>bahah Berma- salah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya ... 65
D.Mekanisme Konversi Akad Mura>bahah Menjadi Akad Wadi>‘ah Yad}}} D}ama>nah pada Nasabah Prospektif di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya ... 70
BAB IV ANALISIS KONVERSI AKAD MURA>BAHAH MENJADI AKAD WADI>‘AH YAD}}} D}AMA>NAH PADA PROSES RESCHEDULING PEMBIAYAAN MURA>BAHAH BERMASALAH DI BMT UGT SIDOGIRI CABANG SURABAYA ... 76
A.Analisis Konversi Akad Mura>bahah menjadi Akad Wadi>‘ah Yad}}} D}ama>nah pada Proses Rescheduling Pembiayaan Mura>bahah Bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya ... 76
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia dimulai pada
tahun 1992 dengan kehadiran Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang telah
memberikan inspirasi untuk membangun sistem keuangan syariah yang
bertujuan menyentuh kalangan bawah. Sistem keuangan syariah merupakan
tatanan perekonomian dalam suatu negara yang berperan dan melakukan
aktivitas dalam berbagai jasa keuangan syariah yang diselenggarakan oleh
lembaga keuangan syariah untuk menjembatani antara dua pihak, yaitu pihak
yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana.1 Terkait dengan
firman Allah Swt untuk saling tolong-menolong yang terdapat dalam Surat
al-Ma>idah ayat 2:
dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan
pelanggaran.”2
Dalam Surat al-Ma>idah ayat 2 disebutkan perintah untuk
tolong-menolong dalam hal kebaikan. Hal ini sangatlah sesuai dengan operasional
lembaga keuangan syariah sebagai jembatan antara pihak yang kelebihan
dana dengan pihak yang kekurangan dana. Namun munculnya bank syariah
pada masa itu belumlah mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan
industri perbankan nasional. Landasan hukum operasional bank syariah pada
masa itu berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang
hanya dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil, belum terdapat
rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.3
Sebagaimana dijelaskan pada pasal 6 mengenai usaha bank yang berbunyi
“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”.4
Pada era reformasi disetujui adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 yang mengatur secara rinci landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang
dapat dioperasikan oleh bank syariah. Selain itu dalam undang-undang
tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk
membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total
menjadi bank syariah.5 Pesatnya perkembangan perbankan syariah
mendorong diterbitkannya UU Nomor 21 Tahun 2008 pada tanggal 16 Juli
2008 yang membuat perkembangan perbankan syariah di Indonesia memiliki
landasan hukum yang lebih memadai.6
Dalam operasionalnya, terdapat batasan dan peraturan yang mengatur
operasional bank syariah sehingga membatasi jangkauan pelayanannya
kepada masyarakat. Terbatasnya jangkauan bank umum syariah dan BPRS
3 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 26.
4 Gemala Devi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 169.
5 Muhammad Syafi’i, Bank Syariah..., 26.
dalam melayani masyarakat dengan usaha mikro menyebabkan lahirnya
sebuah lembaga keuangan kecil yang beroperasi dan merangkul masyarakat
dengan sektor usaha mikro.7 Lembaga ini tidak hanya berorientasi bisnis,
namun juga beriorientasi sosial. Lembaga yang juga diharapkan mampu
mendistribusikan kekayaan secara adil dan terlahir untuk menolong
kelompok mayoritas dari pengusaha kecil. Lembaga tersebut adalah Bait al
Ma>l Wa at Tamwi>l (BMT).8
Salah satu contoh dari BMT adalah BMT UGT Sidogiri yang berawal
dari keprihatinan masyarakat sekitar pesantren yang mayoritas
masyarakatnya mengandalkan uang pinjaman dari rentenir. Masyarakat
sekitar pesantren banyak yang terjerat hutang dengan rentenir. Dari situlah
Sidogiri berinisiatif untuk mengurangi beban masyarakat dengan cara
meminjami uang pada guru-guru pesantren yang mayoritas adalah penduduk
sekitar pesantren. Berawal dari koperasi kecil yang hanya melayani
masyarakat pesantren namun terus berkembang dalam membantu rakyat
kecil untuk menambah modal usaha bahkan mendirikan usaha. Hingga saat
ini berkembang BMT UGT Sidogiri di seluruh Indonesia termasuk di
Surabaya yang berdiri pada bulan Juni tahun 2000.9
Dalam operasionalnya, BMT memiliki beberapa macam produk, terdiri
dari produk penghimpunan dana dan produk penyaluran dana yang
dilaksanakan dengan memegang tiga prinsip, yaitu: prinsip bagi hasil, prinsip
non profit, dan prinsip jual beli dengan keuntungan. Prinsip bagi hasil
merupakan pelaksanaan pada produk simpanan dan pembiayaan secara bagi
hasil antara pemilik dana dengan pengelola dana dengan akad mudha>rabah
dan musha>rakah. Prinsip non profit disebut juga dengan pembiayaan
kebajikan yang bersifat sosial dan tidak bertujuan memperoleh keuntungan
semata. Bentuk produk dalam prinsip ini adalah pembiayaan qa>rd} al hasan.
Prinsip jual beli dengan keuntungan, yaitu tata cara jual beli antara BMT dan
anggota. BMT bertindak sebagai penjual yang menjual barang kepada
anggota dengan harga beli awal ditambah dengan keuntungan yang telah
disepakati dengan anggota yang bertindak sebagai pembeli. Bentuk produk
dengan prinsip ini adalah pembiayaan mura>bahah. Produk pembiayaan inilah
yang paling banyak diterapkan oleh BMT.10
Aplikasi akad mura>bahah pada kegiatan jual beli atas suatu barang
tertentu, di mana penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada
pembeli kemudian menjualnya kepada pihak pembeli dengan tingkat
keuntungan (margin) tertentu yang telah disepakati kedua belah pihak. BMT
merupakan penjual atas barang dan nasabah (anggota BMT) adalah pembeli.
BMT menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli
barang dari supplier, kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga
yang sudah ditambahkan dengan margin yang disepakati kedua belah pihak.
Pembayaran nasabah atas transaksi mura>bahah ini dapat dilakukan dengan
cara membayar sekaligus pada saat jatuh tempo atau melakukan pembayaran
angsuran selama jangka waktu yang telah disepakati antara kedua belah
pihak.11
Adanya jangka waktu yang diterapkan pada pelaksanaan pembiayaan
akad mura>bahah tersebut tentunya dapat menimbulkan berbagai risiko
diantaranya adalah risiko pembiayaan. Pada umumnya risiko pembiayaan
seringkali dikaitkan dengan risiko gagal bayar. Risiko ini mengacu pada
potensi kerugian yang dihadapi oleh BMT ketika pembiayaan yang diberikan
mengalami kemacetan dalam masalah pembayaran angsuran. Nasabah
mengalami kondisi di mana dia tidak mampu memenuhi kewajiban
mengembalikan modal yang diberikan oleh BMT. Selain pengembalian
modal, risiko ini juga mencakup ketidakmampuan nasabah untuk
menyerahkan porsi keuntungan yang seharusnya diperoleh oleh BMT dan
telah dijanjikan pada awal kesepakatan pada saat dilaksanakan akad.12
Saat berjalannya pembiayaan akad mura>bahah bisa saja nasabah
mengalami beberapa hal yang bisa menyebabkan nasabah tidak dapat
memenuhi kewajiban atau terlambat memenuhinya ataupun dapat
memenuhi tetapi tidak seperti yang telah disepakati pada saat akad
(perjanjian) dilaksanakan. Nasabah yang mengalami hal tersebut dapat
dikatakan dengan istilah nasabah wanprestasi. Pada keadaan nasabah
wanprestasi dalam akad pembiayaan, keadaan wanprestasi dapat langsung
terpenuhi walaupun tidak ada peringatan atau pernyataan lalai dari suatu
11 Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana, 2011), 138-139.
lembaga keuangan karena keadaan wanprestasi tersebut telah nyata terjadi
dengan lewatnya waktu pembayaran yang telah ditentukan (jatuh tempo).13
Risiko pembiayaan juga dialami oleh BMT UGT Sidogiri Cabang
Surabaya pada produk pembiayaan dengan akad mura>bahah. Dalam
pelaksanaan pembiayaan ini nasabah diharuskan menaruh barang tertentu
sebagai jaminan. Dikarenakan sistem BMT adalah selalu mengutamakan
sistem kekeluargaan, maka jika terdapat nasabah wanprestasi akan dilakukan
musyawarah untuk mencapai jalan keluarnya. Sebagian besar nasabah
wanprestasi yang terjadi pada BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya masih
memiliki prospektif bayar namun terjadi kendala sehingga nasabah tersebut
tidak dapat membayar angsuran sesuai dengan waktu yang telah
disepakati.14
Pihak BMT dan nasabah melakukan musyawarah untuk mencari jalan
keluar tersebut yaitu dengan cara memperpanjang periode angsuran
pembiayaan dengan konversi akad pembiayaan. Hal ini disebut dengan
rescheduling. Jalan keluar dengan cara rescheduling ini merupakan jalan
keluar pertama yang ditempuh jika terdapat pembiayaan bermasalah.
Rescheduling dilaksanakan dengan cara memperpanjang periode angsuran
pembiayaan sehingga beban angsuran setiap bulannya semakin ringan.15
Sesuai dengan firman Allah Swt dalam Surat al-Baqarah ayat 280:
13 Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa dalam Praktik Perbankan Syariah (Yogyakarta: Parama Publishing, 2012), 144.
beban angsuran bisa menjadi lebih ringan. Kebijaksanaan terkait dengan
rescheduling yang dapat diberikan antara lain dengan cara memperpanjang
jarak waktu angsuran misalnya semula angsuran ditetapkan dibayar lunas
selama tiga bulan kemudian diperpanjang menjadi enam bulan atau
penurunan jumlah untuk setiap angsuran yang mengakibatkan perpanjangan
jangka waktu pembiayaan.17
Dalam praktiknya, BMT UGT Sidogiri melaksanakan rescheduling
dalam mengatasi pembiayaan bermasalah pada nasabah yang masih
prospektif dengan cara mengkonversi akad mura>bahah menjadi akad wadi>‘ah
yad}}} d}ama>nah karena jaminan yang masih berada pada pihak BMT. Contoh
kasus pembiayaan mura>bahah bermasalah yang terjadi adalah seorang
nasabah mengajukan pembiayaan dengan akad mura>bahah untuk membeli
mesin cuci dengan harga Rp 5.000.000,00. Pembiayaan ini dilaksanakan
dalam waktu sepuluh bulan. Besar margin 2,5 persen per bulan dengan
BPKB (Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor) sepeda motor sebagai
jaminan. Besar angsuran pokok setiap bulan adalah Rp 500.000,00 dan
margin setiap bulan sebesar Rp 125.000,00. Total angsuran pokok dan
margin yang harus dibayar adalah Rp 625.000,00.18
Dalam jangka waktu tujuh bulan, pembayaran angsuran pokok dan
margin berjalan dengan lancar. Namun pada bulan kedelapan nasabah tidak
mampu membayar angsuran dan mengajukan perpanjangan waktu kepada
BMT. Nasabah memohon perpanjangan waktu untuk melunasi sisa angsuran
pokok sebesar Rp 1.500.000,00 dan margin sebesar Rp 375.000,00 dalam
tiga bulan ke depan, sehingga sisa angsuran pokok dan margin akan dibayar
lunas pada bulan kesebelas. Oleh karena itu akad mura>bahah dihentikan dan
diganti dengan akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah atas jaminan yang masih ada pada
BMT. Pada bulan kesembilan dan kesepuluh nasabah tidak membayar
angsuran pokok dan margin, namun nasabah diharuskan membayar ujrah
wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah atas BPKB yang dijadikan jaminan sebesar 2,5 persen
dari total sisa angsuran pokok dan margin sebesar Rp 1.875.000,00 yang
belum mampu dibayarkan.19
Pada bulan kesembilan dan kesepuluh nasabah membayar ujrah wadi>‘ah
saja sebesar Rp 46.875,00 setiap bulan dan pada bulan kesebelas nasabah
membayar ujrah wadi>‘ah sebesar Rp 46.875,00 dan sisa angsuran pokok dan
margin sebesar Rp 1.875.000,00. Nasabah diwajibkan membayar ujrah
wadi>‘ah karena pihak BMT beranggapan apabila terjadi kerusakan atau
hilangnya barang jaminan tersebut, maka BMT akan bertanggung jawab
untuk mengganti. Karena itu BMT berhak menarik ujrah wadi>‘ah atas titipan
jaminan tersebut.20
Dalam Fatwa No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad
Mura>bahah dijelaskan bahwa mekanisme konversi akad untuk mengatasi
pembiayaan mura>bahah bermasalah adalah menghentikan akad mura>bahah
yang dilaksanakan pada awal kesepakatan dengan cara anggota menjual
obyek (barang) mura>bahah kepada BMT untuk melunasi sisa hutangnya.
Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang, maka kelebihan uang tersebut
bisa dijadikan uang muka untuk membentuk akad ija>rah atau untuk bagian
modal dari akad mudha>rabah dan musha>rakah. Apabila hasil penjualan lebih
kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang anggota yang
pelunasannya disepakati antara BMT dengan anggota. Dalam fatwa ini tidak
dijelaskan konversi akad mura>bahah menjadi akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah.
Inilah yang menarik perhatian penulis untuk melaksanakan penelitian lebih
lanjut dan menuangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul “Analisis
Konversi Akad Mura>bahah menjadi Akad Wadi>‘ah Yad}}} D}ama>nah pada
Proses Rescheduling Pembiayaan Mura>bahah Bermasalah di BMT UGT
Sidogiri Cabang Surabaya”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang, maka dapat diidentifikasi masalah yang
berkaitan dengan penelitian ini, antara lain:
1. Akad mura>bahah.
2. Mekanisme pembiayaan dengan akad mura>bahah.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan mura>bahah bermasalah.
4. Rescheduling pembiayaan mura>bahah bermasalah.
5. Akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah yang diterapkan pada proses rescheduling
pembiayaan mura>bahah bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang
Surabaya.
6. Mekanisme konversi akad mura>bahah menjadi akad wadi>‘ah yad}}}
d}ama>nah pada proses rescheduling pembiayaan mura>bahah bermasalah
di BMT UGT Sidogiri.
Untuk lebih fokus dalam penelitian ini, penulis membatasi sebagian
permasalahan tertentu yang berkaitan dalam proses penelitian. Batasan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Analisis mekanisme konversi akad mura>bahah menjadi akad wadi>‘ah yad}}}
d}ama>nah pada proses rescheduling pembiayaan mura>bahah bermasalah
di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya.
2. Implikasi konversi akad mura>bahah menjadi akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah
pada proses rescheduling terhadap penyelesaian pembiayaan mura>bahah
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang masalah beserta identifikasi dan
masalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana analisis mekanisme konversi akad mura>bahah menjadi akad
wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah pada proses rescheduling pembiayaan mura>bahah
bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya?
2. Bagaimana implikasi konversi akad mura>bahah menjadi akad wadi>‘ah yad}}}
d}ama>nah pada proses rescheduling terhadap penyelesaian pembiayaan
mura>bahah bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini berisi penelitian yang pernah dilakukan yang ada
kaitannya dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Dari sini akan jelas
bahwa tidak ada pengulangan dari penelitian yang sudah dilakukan
sebelumnya. Berdasarkan penelusuran penulis terdapat beberapa penelitian
sebelumnya antara lain:
1. Penelitian dengan judul Penanganan Pembiayaan Mura>bahah dan
Mudha>rabah Bermasalah pada Bait al Ma>l Wa at Tamwi>l (BMT) Al-Fath
Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) oleh Firza Syahrullah. Dalam penelitian
ini disebutkan apabila ada nasabah yang mengalami pembiayaan
kemudian melakukan kunjungan baik ke tempat usaha atau bekerja
maupun di rumah nasabah. Jika sudah tiga bulan berturut-turut
menunggak, maka BMT akan melakukan perpanjangan jangka waktu
pembayaran angsuran pokok beserta margin tergantung pada keadaan
pembiayaan dan kesepakatan. Setelah itu baru dilakukan eksekusi
jaminan jika jalan tersebut tidak berhasil.21 Dalam penelitian ini tidak
dijelaskan adanya proses rescheduling dengan konversi akad. Hal ini jelas
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis karena penulis
akan lebih detail membahas mekanisme rescheduling dengan konversi
akad mura>bahah menjadi akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah.
2. Penelitian dengan judul Wanprestasi dan Model Penyelesaian di LKMS
(Studi pada Lembaga KSPS BMT Bina Ummat Sejahtera) oleh Nurul
Hidayah dan Ariy Khaeruddin. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa
penyelesaian nasabah wanprestasi dengan cara mengedepankan
musyawarah melalui model pendampingan dengan pendekatan secara
kekeluargaan. Jika tidak berhasil akan dilakukan somasi (teguran) kepada
nasabah bahkan untuk pembiayaan dengan modal tertentu (dibawah dua
juta) akan dibebaskan dengan akad qa>rd} al hasan.22 Penyelesaian
wanprestasi dalam penelitian ini dilakukan secara kekeluargaan bahkan
jika benar-benar tidak berhasil akan dibebaskan dengan akad qa>rd} al
21 Firza Syahrullah, “Penanganan Pembiayaan Mura>bahah dan Mudha>rabah Bermasalah pada Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Al-Fath Ikatan Masjid Indonesia (IKMI)” (Skripsi—UIN Syarif Hidayatullah, 2011), 79-80.
hasan. Ini jelas berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan penulis
tentang konversi akad dalam rescheduling pembiayaan bermasalah.
3. Penelitian dengan judul Strategi Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di
KJKS BMT Syariah Sejahtera Boyolali oleh Heri Saputra. Penelitian ini
menjelaskan jika ada nasabah yang bermasalah dalam pembiayaan dalam
jangka waktu tiga hingga enam bulan, maka akan dilakukan rescheduling
dengan memperpanjang jangka waktu pelunasan. Jika jalan ini tidak ada
perubahan, maka akan dilakukan eksekusi jaminan (menjual jaminan dari
nasabah untuk melunasi angsuran). Jika hasil penjualan belum cukup
untuk melunasi angsuran, maka nasabah diharuskan untuk membayar
pokoknya saja tanpa harus membayar margin.23 Dalam penelitian ini
tidak ada penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan cara melakukan
konversi akad. Inilah yang membedakan dengan penelitian yang akan
penulis lakukan.
4. Penelitian dengan judul Analisis Rescheduling Pembiayaan Mura>bahah
di BPR Syariah Jabal Nur Surabaya oleh Lailul Maromi yang
menjelaskan bahwa jika ada pembiayaan yang bermasalah akan
dilakukan rescheduling dengan memperpanjang jangka waktu
pembayaran angsuran. Namun dalam perpanjangan jangka waktu ini
BPRS mengharuskan nasabah untuk tetap membayar margin diluar
angsuran pokok dan margin awal selama proses jangka waktu selesai.
Jadi selama proses rescheduling tersebut bisa dikatakan nasabah
membayar margin dua kali.24 Hal yang membedakan penelitian ini
dengan penelitian penulis adalah tata cara rescheduling yang diterapkan.
Dalam penelitian ini lebih fokus kepada permasalahan pembayaran
margin pada proses rescheduling.
5. Penelitian dengan judul Studi Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
terhadap Aplikasi Konversi Akad pada Nasabah yang Tidak Prospektif di BMT
UGT Sidogiri Cabang Waru Sidoarjo oleh Rizki Kurnia Anggraini
menyatakan bahwa pada pembiayaan bermasalah yang terjadi, maka cara
penyelesaiannya adalah dengan cara konversi akad. Konversi akad ini
bisa disebut dengan restructuring. Akad pembiayaan yang pada awalnya
adalah akad mura>bahah dikonversi menjadi akad musha>rakah dengan
syarat banyaknya uang yang dipinjam adalah lebih besar daripada
pembiayaan mura>bahah bermasalahnya. Jadi pinjaman tersebut digunakan
untuk pembayaran angsuran pembiayaan yang bermasalah sebelumnya
dan sisanya digunakan nasabah untuk tambahan modal usaha.25
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis adalah pada konversi akad yang dilakukan pada proses
rescheduling. Dalam penelitian ini akad mura>bahah bermasalah
dikonversi menjadi akad musha>rakah dengan cara BMT meminjami uang
lagi sebagai modal kepada nasabah. Sedangkan penelitian yang dilakukan
24 Lailul Maromi, “Analisis Rescheduling Pembiayaan Mura>bahah di BPR Syariah Jabal Nur Surabaya” (Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), 88.
penulis adalah akad mura>bahah bermasalah dikonversi menjadi akad
wadi>‘ah yad}}} d}ama>nahpada proses rescheduling.
Dari kelima penelitian di atas belum ada yang secara khusus membahas
mengenai konversi pembiayaan akad mura>bahah menjadi akad wadi>‘ah yad}}}
d}ama>nah pada proses rescheduling pembiayaan mura>bahah bermasalah. Oleh
karena itu penulis ingin melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul
“Analisis Konversi Akad Mura>bahah menjadi Akad Wadi>‘ah Yad}}} D}ama>nah
pada Proses Rescheduling Pembiayaan Mura>bahah Bermasalah di BMT UGT
Sidogiri Cabang Surabaya”.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka terdapat beberapa
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
1. Menganalisis mekanisme konversi akad mura>bahah menjadi akad
wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah pada proses rescheduling pembiayaan mura>bahah
bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya.
2. Mengetahui implikasi konversi akad mura>bahah menjadi akad wadi>‘ah
yad}}} d}ama>nah pada proses rescheduling terhadap penyelesaian
pembiayaan mura>bahah bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Sejalan dengan tujuan penelitian di atas, penelitian ini juga diharapkan
memiliki kegunaan antara lain:
1. Kegunaan teoretis
Diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta
dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi bidang keilmuan pada
bidang manajemen risiko terkait dengan cara menangani pembiayaan
bermasalah pada suatu lembaga keuangan syariah.
2. Kegunaan praktis
Bagi kalangan akademis dan praktisi diharapkan dapat menunjang
penelitian selanjutnya yang akan bermanfaat sebagai bahan perbandingan
bagi penelitian lain. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
masukan yang bermanfaat demi kemajuan BMT UGT Sidogiri di masa
yang akan datang terkait cara pengambilan keputusan dalam menangani
pembiayaan bermasalah.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan pembaca dalam memahami istilah-istilah
yang terdapat pada skripsi dengan judul “Analisis Konversi Akad Mura>bahah
menjadi Akad Wadi>‘ah Yad}}} D}ama>nah pada Proses Rescheduling Pembiayaan
perlu dijelaskan beberapa istilah pokok yang menjadi pokok bahasan dalam
: Menghentikan akad mura>bahah yang
dijalankan pada awal akad dan diubah dengan
akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah, nasabah sudah
tidak harus membayar angsuran setiap
bulannya setelah akad mura>bahah dihentikan,
namun dalam jangka perpanjangan waktu
tersebut nasabah wajib membayar ujrah
wadi>‘ah terhadap barang jaminan yang masih
berada di BMT hingga angsuran pokok dan
margin dapat dilunasi nasabah. Untuk
pelunasan angsuran dan margin dibayarkan
pada akhir jangka waktu rescheduling.
saat awal akad mura>bahah disepakati. Barang
jaminan ini masih berada di BMT hingga
proses rescheduling selesai. Jika terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan (barang jaminan
hilang atau rusak) maka pihak BMT
adanya tanggung jawab yang besar tersebut
: Memperpanjang jangka waktu pelunasan
angsuran pokok dan margin saat nasabah
mengalami masalah dengan cara melakukan
kesepakatan dengan BMT terkait jangka
waktu yang disepakati untuk melunasi sisa
angsuran.
: Analisis yang dilakukan terhadap mekanisme
konversi akad mura>bahah menjadi akad
wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah pada proses rescheduling
pembiayaan mura>bahah bermasalah terhadap
Fatwa No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang
Konversi Akad Mura>bahah.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yaitu
penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data secara langsung dari
wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah pada proses rescheduling pembiayaan mura>bahah
bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya.26
Untuk dapat memberikan hasil yang baik maka dibutuhkan serangkaian
langkah sistematis yang terdiri atas:
1. Data yang dikumpulkan
Data yang diperlukan diperoleh untuk menjawab pertanyaan dalam
rumusan masalah mengenai konversi akad mura>bahah menjadi akad
wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah pada proses rescheduling pembiayaan mura>bahah
bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya.
2. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder yang dijelaskan berikut ini:
a. Sumber data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh secara
langsung dengan wawancara kepada beberapa informan. Informan
pertama yaitu Bapak Samsul Arifin selaku Kepala Cabang BMT
UGT Sidogiri Cabang Surabaya. Informan kedua adalah Bapak
Mochammad Mansur selaku Waka II yang menangani pembiayaan di
BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya. Informan ketiga adalah Bapak
Muchdor, S. Pd. I selaku kasir pembiayaan di BMT UGT Sidogiri
Cabang Surabaya.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur
atau bahan pustaka dan bersifat siap pakai, antara lain:27
1) Fatwa DSN No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad
Mura>bahah.
2) Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi
Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis.
3) Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan.
4) Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.
5) Atang Abd. Hakim, Fiqih Perbankan Syariah.
6) Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah.
7) Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di
Bank Syariah.
8) Ikatan Bankir Indonesia, Memahami Bisnis Bank Syariah.
9) Ismail, Perbankan Syariah.
10) Ismail, Manajemen Perbankan.
11) Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik.
12) Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah.
13) Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syariah
14) Wiroso, Jual Beli Mura>bahah
15) Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
3. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini subjek penelitian diambil berdasarkan teknik
snowball sampling, di mana penulis mengambil informan yang bisa
memberikan data yang berkaitan dengan topik yang diteliti. Penulis
mencari data yang terkait dengan penanganan pembiayaan mura>bahah
bermasalah secara umum. Setelah itu penulis menggunakan data yang
berkaitan dengan penanganan pembiayaan mura>bahah bermasalah khusus
pada nasabah prospektif.
4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yaitu teknik pengumpulan data secara riil
(nyata) digunakan dalam penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan
cara mengumpulkan data secara langsung yang terkait dengan
permasalahan yang terkait dengan penelitian, meliputi:
a. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan observasi pasif, yaitu
pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan. Penulis hanya berperan
mengamati kegiatan, tidak ikut serta dalam kegiatan. Penulis
melakukan observasi pada kegiatan penanganan pembiayaan
mura>bahah bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya.28
b. Wawancara (interview)
Wawancara (interview) merupakan salah satu teknik
pengumpulan data yang pelaksanaannya dapat dilakukakan secara
langsung berhadapan dengan responden mengenai hal yang berkaitan
dengan topik penelitian.29 Wawancara dilakukan antara penulis
dengan kepala cabang, waka II (unit khusus) yang menangani
pembiayaan mura>bahah bermasalah, dan kasir pembiayaan di BMT
UGT Sidogiri Cabang Surabaya.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder yang
diperlukan dalam sebuah penelitian yang berupa bahan tertulis yang
diterbitkan oleh lembaga yang dijadikan obyek penelitian ataupun
film, gambar, dan foto-foto baik berupa prosedur, peraturan, laporan
hasil kerja dan lain sebagainya.30 Pengumpulan data secara
dokumentasi ini yaitu teknik pengumpulan data yang berkaitan
dengan mekanisme konversi akad dalam proses rescheduling.
5. Teknik pengolahan data
Dalam penelitian ini dilakukan teknik-teknik pengolahan data
sebagai berikut:
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali dari semua data yang diperoleh
terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, keselarasan antara
29 Wahyu Purhantara, Metode Penelitian Kualitatif..., 80.
data yang ada dan relevansi dengan penelitian. Penulis akan
mengambil data yang berkaitan dengan rumusan masalah.
b. Organizing, menyusun kembali data yang telah didapat dalam
penelitian yang diperlukan untuk menjawab rumusan masalah yang
ada. Penulis melakukan pengelompokan data yang dibutuhkan untuk
dianalisis dan menyusun data dengan sistematis untuk mempermudah
penulis dalam menganalisis data.
c. Penemuan data, yaitu menganalisis data yang diperoleh dari
penelitian untuk memperoleh kesimpulan mengenai kebenaran fakta
yang ditemukan, yang pada akhirnya merupakan jawaban dari
rumusan masalah.31
6. Teknik analisis data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif
yang bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif berangkat dari fenomena
kemudian dihubungkan dengan teori dan kajian pustaka.32 Analisis
deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan
pokok-pokok yang diteliti terkait dengan mekanisme konversi akad pada proses
rescheduling pembiayaan mura>bahah bermasalah di BMT UGT Sidogiri
Cabang Surabaya.33
Teknis analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah:
31 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D (Bandung: Alfa Beta, 2008), 243. 32 Wahyu Purhantara, Metode Penelitian Kualitatif..., 63.
a. Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan data mentah yang muncul dari catatan-catatan
tulisan di lapangan. Hal ini dilakukan secara terus memerus selama
penelitian ini berlangsung.
b. Penyajian data, merupakan sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan keputusan.
c. Verifikasi, yaitu proses penarikan kesimpulan dari keseluruhan
penelitian yang telah berlangsung.34
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan ini bertujuan agar pembahasan dalam
penelitian ini lebih terarah sesuai dengan bidang kajian, mudah dipahami,
dan lebih sistematis dalam penyusunannya, maka penulis membagi lima bab
dalam penulisan penelitian ini yang sistematikanya adalah sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab kedua pada penelitian ini merupakan pembahasan tentang landasan
teori yang akan menjadi alat yang akan diuji dengan menggunakan data dan
instrumen peneliti.35 Pada bab ini akan dibahas tinjauan umum tentang
mura>bahah, wadi>‘ah, pembiayaan mura>bahah bermasalah, penyelesaian
pembiayaan mura>bahah bermasalah, serta fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN) yang berkaitan dengan konversi akad mura>bahah pada pembiayaan
mura>bahah bermasalah.
Bab ketiga, merupakan pembahasan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh penulis yang meliputi mekanisme pembiayaan mura>bahah,
persyaratan pengajuan pembiayaan, prosedur pemberian pembiayaan
mura>bahah, penyebab terjadinya pembiayaan mura>bahah bermasalah, serta
proses rescheduling pembiayaan mura>bahah bermasalah yang dikonversi
menjadi akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah di BMT UGT Sidogiri Cabang
Surabaya.
Bab keempat, berisi analisis mekanisme konversi akad mura>bahah
menjadi wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah pada nasabah pembiayaan mura>bahah
bermasalah di BMT UGT Sidogiri Cabang Surabaya terhadap Fatwa No.
49/DSN-MUI/II/2005 tentang konversi akad mura>bahah dan implikasinya
terhadap penyelesaian pembiayaan mura>bahah bermasalah.
Bab kelima pada penelitian ini memuat penutup yang mencakup
kesimpulan dan saran yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dalam
penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN TENTANG MURA>BAHAH, WADI>‘AH, PEMBIAYAAN
MURA>BAHAH BERMASALAH, DAN PENYELESAIAN PEMBIAYAAN MURA>BAHAH BERMASALAH
A. Mura>bahah
1. Pengertian mura>bahah
Mura>bahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) karena dalam
transaksi jual beli, penjual (lembaga keuangan syariah) menyebutkan
jumlah keuntungan (margin) kepada pembeli (nasabah).36 Mura>bahah
dalam istilah fiqih berarti suatu perjanjian jual beli barang tertentu dan
penjual menyebutkan biaya perolehan yang meliputi harga barang dan
biaya-biaya lain yang dibutuhkan untuk memperoleh barang tersebut serta
menyebutkan tingkat keuntungan yang diinginkan oleh penjual.37
Mura>bahah juga dapat diartikan sebagai prinsip jual beli di mana harga
jualnya terdiri dari harga pokok barang ditambah dengan nilai keuntungan
(margin) yang telah disepakati antara penjual dan pembeli.38
Tingkat keuntungan dari akad mura>bahah ini dapat diperoleh dari
persentase tertentu dari biaya perolehan.39 Dalam menentukan besar
margin, suatu lembaga keuangan syariah pada umumnya
mempertimbangkan besarnya keuntungan yang ingin diperoleh,
36 Atang Abd. Hakim, Fiqih Perbankan Syariah (Bandung: Refika Aditama, 2011), 225. 37 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 81-82.
38 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007), 40.
biaya yang ditanggung dalam proses perolehan obyek (barang), serta
antisipasi adanya kemacetan dan jangka waktu pengembalian.40
Lembaga keuangan sebagai pemilik dana membeli barang sesuai
dengan spesifikasi yang diinginkan oleh nasabah. Setelah itu barang
tersebut dijual kepada nasabah.41 Penyerahan barang pada akad
mura>bahah dilakukan pada saat akad (perjanjian) dilaksanakan.
Sedangkan pembayaran bisa dilakukan secara tunai atau pada waktu yang
telah disepakati oleh lembaga keuangan dan nasabah yang melaksanakan
akad mura>bahah yaitu bisa dilakukan secara tangguh atau dicicil. Karena
pada dasarnya konsep mura>bahah tidak selalu dalam konsep pembayaran
tertunda seperti yang dipahami sebagian besar masyarakat.42
2. Landasan hukum mura>bahah
Terdapat beberapa landasan hukum akad mura>bahah yang terdapat
dalam al-Qura>n dan al-Hadith berikut ini:
a. Firman Allah Swt dalam Surat al-Baqarah ayat 275
“...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....”43
b. Firman Allah Swt dalam Surat an-Nisa>’ ayat 29
40 Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 17.
41 Ascarya, Akad dan Produk..., 83 42 Ibid., 82.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”44
c. Al-Hadith
ُةَضَراَقُمْلاَو ٍلَجَأ ىَلِإ ُعْيَ بْلا ُةَكَرَ بْلا َنِهيِف ٌث َََث َمَلَسَو ِهْيَلَع ُهَللا ىَلَص ِهَللا ُلوُسَر َلاَق
ِعْيَ بْلِل َ ِ ْيَ بْلِل ِريِ َللاِ ِرُ بْلا ُ ََْ َأَو
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tiga hal yang
di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli yang memberi tempo, peminjaman, dan campuran gandum dengan tepung untuk di konsumsi orang-orang rumah, bukan untuk dijual." (HR. Ibnu Majah dari
mushtari’ (pembeli) yang memerlukan dan akan membeli barang.
b. Objek akad, yaitu mabi‘ (barang dagangan) dan thaman (harga).
c. S}ighah, yaitu ijab dan qabu>l.46
Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan akad
mura>bahah antara lain:
44 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 2..., 153.
a. Penjual menyampaikan biaya modal (harga perolehan) barang kepada
nasabah.
b. Tingkat keuntungan dalam mura>bahah ditentukan berdasarkan
kesepakatan bersama dan harus bebas dari riba.
c. Kontrak harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
d. Penjual harus menjelaskan kepada nasabah jika terdapat cacat atas
barang sesudah pembelian.
e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. Apabila
syarat dalam poin (a), (d), atau (e) tidak dipenuhi, pembeli memiliki
pilihan untuk melanjutkan pembelian, kembali kepada penjual dan
menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang tersebut atau dapat
membatalkan kontrak.47
4. Macam-macam mura>bahah
Dalam praktiknya, akad mura>bahah terdiri dari dua macam, antara
lain:
a. Mura>bahah tanpa pesanan. Dalam akad ini lembaga keuangan syariah
tetap menyediakan barang meskipun ada yang pesan atau beli maupun
tidak ada, sehingga penyediaan barang tidak terpengaruh dengan
adanya pesanan atau pembeli.
b. Mura>bahah berdasarkan pesanan. Dalam akad ini lembaga keuangan
syariah baru melakukan transaksi mura>bahah jika ada nasabah yang
pesan barang, sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada
pesanan.48
5. Manfaat dan risiko pembiayaan mura>bahah
Transaksi pembiayaan dengan akad mura>bahah tentunya memiliki
manfaat dan risiko. Pembiayaan mura>bahah memberi manfaat kepada
lembaga keuangan syariah dengan adanya keuntungan yang muncul dari
selisih harga beli dan harga jual kepada nasabah. Selain itu akad
mura>bahah juga sederhana, memudahkan penanganan administrasi oleh
lembaga keuangan syariah, dan memudahkan nasabah yang membutuhkan
barang namun belum tersedia uang yang cukup karena pembayaran dalam
akad mura>bahah ini dapat dilakukan secara mengangsur.49
Menurut Abdullah Saeed, dalam pelaksanaan pembiayaan akad
mura>bahah juga terdapat beberapa risiko yaitu pada saat nasabah tidak
membayar angsuran. Risiko tidak terbayar angsuran seperti yang
dijadwalkan dalam kontrak tentunya ada dalam pembiayaan mura>bahah.
Untuk menghindari risiko ini lembaga keuangan syariah dengan
menentukan adanya janji tertulis (kontrak) beserta jaminan.50
Dalam kontrak pada awal kesepakatan disebutkan bahwa jaminan
akan ditaruh di lembaga keuangan syariah hingga angsuran dapat dibayar
sepenuhnya. Jika gagal bayar ini dilakukan di luar kemampuan nasabah,
lembaga keuangan syariah berkewajiban untuk melakukan penjadwalan
48 Wiroso, Jual Beli Mura>bahah (Yogyakarta: UII Press, 2005), 37-38. 49 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah..., 106.
ulang (rescheduling). Namun jika nasabah memiliki kemampuan
membayar namun sengaja tidak membayar angsuran, maka bank syariah
beserta Dewan Syariah telah mengadopsi konsep denda yang dapat
dibebankan kepada nasabah.51
Menurut Muhammad Syafii Antonio, beberapa risiko yang berkaitan
dengan pembiayaan mura>bahah adalah:
a. Fluktuasi harga jika terjadi perubahan harga di pasar setelah bank
membelikan barang untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga
jual beli yang akan dilakukan dengan nasabah.
b. Penolakan nasabah yang dikarenakan berbagai macam sebab. Hal ini
bisa dikarenakan barang rusak dalam perjalanan sehingga nasabah
tidak mau menerimanya atau nasabah merasa spesifikasi barang tidak
sesuai dengan yang telah dipesan. Apabila lembaga keuangan syariah
telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjual barang, maka
barang tersebut akan menjadi milik lembaga keuangan syariah
sehingga lembaga keuangan syariah berisiko untuk menjual kepada
pihak lain.
c. Barang bisa dijual nasabah kepada pihak lain karena pada saat
terjadinya kontrak ditandatangani, barang sudah menjadi milik
nasabah sehingga nasabah bebas melakukan apapun terhadap barang
yang dimiliki. Jika ini terjadi maka risiko gagal bayar akan menjadi
lebih besar. 52
6. Mekanisme akad mura>bahah pada lembaga keuangan syariah
Pelaksanaan akad mura>bahah antara pihak lembaga keuangan syariah
dengan nasabah ini di mana lembaga keuangan syariah bertindak sebagai
penjual dan nasabah bertindak sebagai pembeli. Peran lembaga keuangan
syariah dalam pembiayaan dengan akad mura>bahah yaitu sebagai berikut:
a. Lembaga keuangan syariah bertindak sebagai penyedia dana dalam
transaksi akad mura>bahah dengan nasabah.
b. Lembaga keuangan syariah dapat membiayai sebagian atau seluruh
harga pembelian barang yang telah disepakati sesuai dengan spesifikasi
yang diinginkan oleh nasabah.
c. Lembaga keuangan syariah wajib menyediakan dana untuk
merealisasikan penyediaan barang yang dipesan oleh nasabah.
d. Lembaga keuangan syariah dapat memberikan potongan dalam besaran
yang wajar namun tidak dijanjikan pada awal akad.53
Pelaksanaan pembiayaan dengan akad mura>bahah memiliki beberapa
karakteristik, yang paling utama adalah barang dagangan harus tetap
dalam tanggungan lembaga keuangan syariah selama transaksi antara
lembaga keuangan syariah dengan nasabah belum selesai. Karakteristik
lainnya dalam pembiayaan dengan akad mura>bahah antara lain:
a. Pembiayaan mura>bahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga,
namun merupakan jual beli komoditas (barang) dengan harga tangguh
dengan keuntungan (margin) yang disepakati oleh lembaga keuangan
syariah dengan nasabah.
b. Akad mura>bahah merupakan akad jual beli sehingga harus memenuhi
rukun dan syarat dalam pelaksanaan akad mura>bahah.
c. Mura>bahah hanya dapat digunakan ketika nasabah memerlukan dana
untuk membeli suatu komoditas (barang) tertentu dengan bayar secara
tangguh sehingga akad ini tidak hanya berfungsi untuk menyalurkan
pinjaman uang.
d. Lembaga keuangan syariah harus sudah memiliki barang sebelum
dijual kepada nasabah.
e. Cara terbaik untuk melakukan akad mura>bahah adalah lembaga
keuangan syariah sudah membeli barang dan menyimpan dalam
kekuasaannya atau membeli komoditas melalui orang ketiga sebagai
agen sebelum dijual kepada nasabah. Namun jika langkah ini dianggap
tidak praktis, maka nasabah bisa bertindak sebagai wakil untuk
membeli barang sesuai spesifikasi yang diinginkan atas nama lembaga
keuangan syariah. Dalam kasus ini nasabah hanya bertindak sebagai
wakil dan kuasa barang tersebut adalah pada lembaga keuangan
syariah sehingga risiko atas barang tersebut berada pada pihak lembaga
keuangan syariah. Pada saat akad dilaksanakan, kepemilikan barang
f. Dalam jual beli terdapat ketentuan komoditas (barang) yang akan
dijual harus dikuasai oleh penjual, namun penjual dapat berjanji untuk
menjual meskipun barang belum berada dalam kepemilikannya. Hal ini
juga berlaku pada akad mura>bahah.
g. Apabila terjadi wanprestasi oleh nasabah terkait pembayaran angsuran,
harga tidak boleh dinaikkan. Namun jika ada perjanjian bahwa nasabah
akan memberi infa>q, maka nasabah harus memenuhi hal tersebut.
Pembayaran infa>q tersebut tidak boleh diambil sebagai penghasilan
oleh lembaga keuangan syariah, tetapi harus disalurkan pada kegiatan
atau lembaga sosial atas nama nasabah. 54
Suatu permohonan pembiayaan yang telah diajukan oleh nasabah
akan melalui proses analisis untuk memperoleh kesimpulan atas
kelayakan proyek yang akan dibiayai. Analisis pembiayaan merupakan
faktor yang sangat penting bagi lembaga keuangan syariah dalam
mengambil keputusan untuk menyetujui atau menolak permohonan
pembiayaan. Langkah-langkah analisis pembiayaan adalah sebagai
berikut:
a. Character
Analisis karakter bertujuan untuk mengetahui calon debitur dalam
rangka memenuhi kewajiban membayar pembiayaan yang telah
diterima hingga lunas sesuai dengan jangka waktu yang disepakati
(willingness to repay). Langkah ini untuk mengetahui bahwa calon
debitur memiliki karakter yang baik, jujur, dan mempunyai komitmen
terhadap pembayaran pembiayaan. Cara yang dapat dilakukan adalah
dengan mencari informasi tentang karakter debitur melalui tetangga,
teman kerja, atasan langsung, dan rekan usahanya.
b. Capacity
Analisis capacity bertujuan untuk mengetahui kemampuan
keuangan calon debitur dalam memenuhi kewajibannya sesuai jangka
waktu yang disepakati. Kemampuan keuangan calon nasabah
sangatlah penting karena merupakan sumber utama pembayaran. Cara
yang dapat dilakukan adalah memeriksa slip gaji dan rekening
tabungan, sehingga dapat diketahui sumber dana dan penggunaan
dana untuk digunakan sebagai asumsi dasar kondisi keuangan debitur
setelah mendapat pembiayaan.
c. Capital
Analisis capital ini bertujuan untuk mengetahui modal yang
dimiliki debitur. Semakin besar modal yang dimiliki dan disertakan
oleh nasabah dalam obyek pembiayaan akan semakin meyakinkan
bagi kreditur. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan melihat uang
muka yang dibayarkan oleh debitur. Semakin besar uang muka yang
dibayarkan oleh calon debitur, semakin meyakinkan bagi kreditur
d. Collateral
Analisis collateral berkaitan dengan agunan yang diberikan oleh
calon debitur. Hasil penjualan agunan merupakan sumber pembayaran
kedua untuk melunasi pembiayaan jika pembayaran tidak lancar.
Pertimbangan analisis collateral antara lain:
1) Marketability, yaitu agunan haruslah mudah diperjualbelikan
dengan harga yang menarik dan meningkat dari waktu ke waktu.
2) Ascertainability of value, agunan yang diterima memiliki standar
harga yang lebih pasti.
3) Stability of value, agunan yang diserahkan memiliki harga yang
stabil sehingga saat dijual akan bisa memenuhi kewajiban
debitur.
4) Transferability, agunan yang diserahkan mudah
dipindahtangankan dan mudah dipindahkan dari satu tempat ke
tempat yang lain.
e. Condition of economy
Analisis dilakukan terhadap kondisi perekonomian. Lembaga
keuangan syariah perlu melakukan analisis dampak kondisi ekonomi
terhadap usaha calon debitur di masa yang akan datang untuk
mengetahui pengaruh kondisi ekonomi terhadap usaha calon
debitur.55
Mekanisme pembiayaan dengan akad mura>bahah pada lembaga
keuangan syariah adalah sebagai berikut:
a. Nasabah dan lembaga keuangan syariah menandatangani perjanjian
untuk melaksanakan akad jual beli dengan waktu tertentu dan
keuntungan (margin) yang telah disepakati.
b. Lembaga keuangan dapat mewakilkan kepada nasabah pada proses
pembelian komoditas (barang) atas nama lembaga keuangan syariah
dan pada saat ini kepemilikan barang berada pada lembaga keuangan
syariah.
c. Lembaga keuangan syariah membeli barang sesuai spesifikasi yang
dipesan oleh nasabah. Apabila pembelian barang diwakilkan, maka
nasabah membeli komoditas (barang) atas nama lembaga keuangan.
d. Lembaga keuangan syariah meginformasikan harga perolehan barang
dan menentukan besar margin sesuai kesepakatan. Selanjutnya adalah
dilaksanakan akad mura>bahah sehingga kepemilikan barang beralih
kepada nasabah dan pembayaran dilakukan secara tangguh sesuai
dengan kesepakatan.
e. Apabila nasabah bertindak sebagai wakil untuk membeli barang
sendiri, maka nasabah menginformasikan kepada lembaga keuangan
syariah bahwa dia telah membeli barang atas nama lembaga keuangan
dilaksanakan akad mura>bahah dan kepemilikan beralih kepada
nasabah.56
Untuk masalah pembebanan biaya pada akad mura>bahah, para ulama’
berbeda pendapat, namun secara ringkas dapat dikatakan bahwa keempat
mazhab sepakat tidak memperbolehkan pembebanan biaya langsung yang
harus dibayarkan kepada pihak ketiga. Biaya langsung merupakan biaya
yang berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh penjual yang tidak
termasuk dalam keuntungan dan tidak menambah nilai barang. Sedangkan
para ulama’ sepakat boleh membebankan biaya tidak langsung selama
biaya tersebut bisa menambah nilai suatu barang.57
B. Wadi>‘ah
1. Pengertian wadi>‘ah
Dalam fiqih Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan
istilah wadi>‘ah. Sedangkan pengertian dari wadi>‘ah adalah titipan murni
dari satu pihak kepada pihak lain, baik individu maupun badan hukum
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja saat diminta oleh si
penitip. Dalam praktik lembaga keuangan syariah, wadi>‘ah adalah akad
penitipan uang atau barang antara pihak yang mempunyai uang atau
barang dengan pihak diberi amanah (kepercayaan) dengan tujuan untuk
56 Ascarya, Akad dan Produk..., 86-87.
menjaga keselamatan, keamanan, dan keutuhan uang atau barang yang
dititipkan.58
2. Landasan hukum wadi>‘ah
a. Firman Allah Swt dalam Surat an-Nisa>’ ayat 58
b. Firman Allah Swt dalam Surat al-Baqarah ayat 283
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.”60
c. Hadith
َلاَق َ َرْ َرُ ِ َأ ْنَع
ْنَم ىَلِإ َةَناَمَْْا ِدَأ َمَلَسَو ِهْيَلَع ُهَللا ىَلَص ِهَللا ُلوُسَر َلاَق
َ َناَ ْنَم ْنُ َ َ َو َ َ َمَ ْ اا
“Dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tunaikanlah (sampaikanlah) amanat kepada orang yang berhak menerimanya dan jangan engkau mengkhianati
orang yang mengkhianatimu!” (HR. Abu Daud)61
3. Rukun dan syarat wadi>‘ah
Dalam pelaksanaan akad wadi>‘ah terdapat beberapa rukun dan syarat
yang harus dipenuhi. Rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaan akad wadi>‘ah antara lain:
58 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis..., 34.
59Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 2..., 195. 60 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1..., 431-432.
a. Pemilik uang atau barang yang bertindak sebagai pihak penitip
(mudi’/muwaddi’).
b. Pihak yang memberikan jasa penyimpanan (muda’/mustawda’).
c. Obyek akad, yaitu uang atau barang yang dititipkan.
d. S}ighah, yaitu ijab dan qabu>l.62
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada pelaksanaan akad
wadi>‘ah adalah syarat yang berkaitan dengan bonus, yaitu:
a. Bonus merupakan kebijakan pihak yang menerima (menyimpan)
titipan.
memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan dan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan
selama kerusakan atau kehilangan tersebut bukan diakibatkan oleh
kelalaian atau kecerobohan dari penerima titipan.64 Pada dasarnya,
pihak penyimpan (custodian) sebagai penerima kepercayaan (trustee),
sehingga barang yang dititipkan harus dijaga dari kerusakan,
62 Ibid., 35.
kerugian, kemananan dan keutuhannya, serta dikembalikan kapan
saja saat penitip menghendaki. 65
Dalam akad ini biaya penitipan boleh dibebankan kepada pihak
penitip sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan barang
titipan. Pihak penerima titipan tidak boleh menggunakan
(memanfaatkan) barang atau aset yang dititipkan. Barang atau aset
yang dititipkan tidak boleh dicampur dengan barang atau aset lain,
tetapi harus dipisahkan untuk masing-masing barang atau aset dari
penitip.66
b. Wadi>‘ah Yad}}} D}ama>nah
Akad wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah merupakan akad penitipan barang
atau uang di mana pihak penerima titipan boleh memanfaatkan
barang titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang atau uang.
Pihak penerima titipan harus bertanggung jawab apabila terjadi
kerusakan atau hilangnya barang yang dititipkan. Semua manfaat
atau keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan barang titipan
menjadi hak penerima titipan.67
Pihak penerima titipan (custodian) menjadi guarantor (penjamin)
keamanan barang atau aset yang dititipkan. Namun pihak penerima
titipan berkewajiban mengembalikan barang titipan secara utuh saat
penitip menghendaki. Dengan prinsip ini, penerima titipan boleh
65 Ascarya, Akad dan Produk..., 43. 66 Ibid.
mencampur barang titipan dengan barang titipan milik penitip lain
dan kemudian dilakukan untuk kegiatan produktif. Pihak penerima
titipan berhak atas keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan
barang titipan, namun penerima titipan diperbolehkan memberikan
bonus kepada pemilik aset tanpa akad (perjanjian) sebelumnya.68
5. Mekanisme akad wadi>‘ah pada lembaga keuangan syariah
Berikut adalah mekanisme akad wadi>‘ah pada lembaga keuangan
syariah:
a. Lembaga keuangan syariah bertindak sebagai penerima dana titipan
dan nasabah bertindak sebagai penitip dana.
b. Lembaga keuangan syariah tidak diperbolehkan menjanjikan
pemberian bonus kepada nasabah.
c. Lembaga keuangan syariah dapat membebankan biaya administrasi
berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan
rekening antara lain: biaya cek/bilyet giro, biaya materai, cetak
laporan transaksi dan saldo rekening, serta pembukaan dan penutupan
rekening.
d. Lembaga keuangan syariah menjamin dana titipan nasabah.
e. Dana titipan dapat diambil sewaktu-waktu oleh nasabah.69
Dalam mekanisme akad wadi>‘ah ini terdapat beberapa ketentuan,
antara lain:
68 Ascarya, Akad dan Produk..., 44.
a. Penerima titipan memiliki hak untuk menginvestasikan aset yang
dititipkan.
b. Penitip memiliki hak untuk mengetahui bagaimana asetnya
diinvestasikan.
c. Penerima titipan hanya menjamin nilai pokok jika modal berkurang
karena rugi atau terdepresiasi.
d. Setiap keuntungan yang diperoleh penerima titipan dapat dibagikan
sebagai hibah atau hadiah (bonus). Penerima titipan tidak memiliki
kewajiban mengikat untuk membagikan keuntungan yang diperoleh.
e. Penitip tidak memiliki hak suara.70
Simpanan dengan prinsip wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah juga memiliki
potensi untuk bermasalah dalam beberapa hal, yaitu:
a. Investasi yang terbatas, hal ini dikarenakan dalam rangka melindungi
kerugian modal, penerima titipan tidak dapat menginvestasikan dana
wadi>‘ah yad}}} d}ama>nah pada proyek-proyek berisiko tinggi dengan
profit yang tinggi pula sehingga penerima titipan hanya bisa
bergantung pada investasi berisiko rendah dengan profit yang rendah,
misalnya pada akad mura>bahah.
b. Distribusi profit menguntungkan penerima titipan, karena penerima
titipan tidak berkewajiban mendistribusikan profit yang diperoleh
kepada penitip. Suatu lembaga keuangan boleh memberikan bonus
yang rendah meskipun telah memperoleh profit yang tinggi.
c. Undang-undang tidak memperbolehkan lembaga keuangan syariah
untuk mencampur dana simpanan dengan modal.71
C. Pembiayaan Mura>bahah Bermasalah
Pengertian pembiayaan menurut pasal 1 butir 25 UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yaitu:
Penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudha>rabah dan musha>rakah.
2. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ija>rah atau sewa beli
dalam bentuk ija>rahmuntahiyah bit tamlik.
3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang mura>bahah, salam, dan
istishna‘.
4. Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qa>rd}.
5. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ija>rah untuk
transaksi multijasa.
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan
atau bagi hasil.72
Setiap nasabah yang mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan
syariah apapun jenisnya wajib untuk mengembalikan pembiayaan tersebut
kepada bank syariah berikut imbalan atau bagi hasil atau tanpa imbalan untuk
transaksi dalam bentuk qa>rd} setelah jangka waktu tertentu yang telah
disepakati. Namun saat berjalannya akad pembiayaan terkadang terdapat
kondisi nasabah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh
kewajibannya kepada lembaga keuangan syariah. Inilah yang disebut dengan
71Ibid.
risiko pembiayaan. Setiap bisnis dalam lembaga keuangan syariah tentunya
mengandung risiko, karena risiko selalu mengikuti potensi keuntungan yang
akan didapat.73
Untuk menetapkan golongan kualitas pembiayaan mura>bahah dari aspek
kemampuan membayar angsuran nasabah dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Lancar, yaitu pembayaran dilakukan dengan tepat waktu, tidak ada
tunggakan, sesuai persyaratan akad, selalu menyampaikan laporan
keuangan secara teratur dan akurat, serta dokumentasi perjanjian piutang
lengkap dan pengikatan agunan kuat.
2. Dalam perhatian khusus, apabila terdapat tunggakan pembayaran
angsuran pokok dan/atau margin sampai dengan 90 hari, selalu
menyampaikan laporan keuangan secara teratur dan akurat, dokumentasi
perjanjian piutang lengkap dan pengikatan jaminan kuat, serta
pelanggaran terhadap persyaratan perjanjian piutang tidak prinsipil.
3. Kurang lancar, apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok
dan/atau margin yang lebih dari 90 hari sampai dengan 180 hari,
penyampaian laporan keuangan tidak teratur dan meragukan,
dokumentasi perjanjian piutang kurang lengkap dan pengikatan agunan
kuat, terjadi pelanggaran terhadap persyaratan pokok perjanjian piutang,
serta berupaya melakukan perpanjangan piutang untuk menyembunyikan
kesulitan keuangan.