• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KOMPARASI STATUS WALI WASI DALAM PERKAWINAN MENURUT MAZHAB MALIKI DAN MAZHAB SHAFI’I.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI KOMPARASI STATUS WALI WASI DALAM PERKAWINAN MENURUT MAZHAB MALIKI DAN MAZHAB SHAFI’I."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KOMPARASI STATUS WALI WA@S}I@ DALAM PERKAWINAN MENURUT MADZHAB MA@LIKI DAN MADZHAB SHA@FI’I@

SKRIPSI

Oleh

AKROM AULADI C51211160

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Program Studi Hukum Keluarga Islam

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul ‚Studi Komparasi Status Wali Wa@s}i@@ dalam

Perkawinan Menurut Madzhab Ma@liki dan Madzhab Sha@fi’i‛ ini merupakan hasil

penelitian pustaka yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana pendapat Madzhab Ma@liki dan Madzhab Sha@fi’i@ tentang status wali wa@s}i@ dalam perkawinan. Serta persamaan dan perbedaan pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang status wali wa>s}i@@ dalam perkawinan.

Data penelitian dikumpulkan dengan teknik dokumen (reading text). data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif komparatif

yaitu memaparkan pendapat kedua Mazhab tentang status wali wa@s}i@ dalam

perkawinan, kemudian membandingkan antara keduanya sehingga ditemukan persamaan dan perbedaan. Sedangkan pola pikir yang digunanakan adalah deduktif yaitu dari teori yang bersifat umum dianalisis dari persamaan dan perbedaan sehingga bisa diambil beberapa kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa Mazhab Ma@liki berpendapat bahwasanya wa@s}i@ merupakan bagian dari wali dalam pernikahan, dan

statusnya sama dengan ayah sehingga mempunyai hak ijba@r dan lebih

didahulukan daripada wali kerabat yang lain. Sedangkan menurut Mazhab Sha@fi’i@ wa@s}i@ tidak termasuk dalam kategori wali, karena orang yang berhak untuk menjadi wali secara runtut sudah diatur, sehingga ketika wali yang lebih berhak meninggal dunia maka secara otomatis perwalian berpindah kepada wali yang lain.

Persamaan pendapat antara Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ terletak pada landasan hadis yang dijadikan dasar oleh kedua Mazhab yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar yang berisi tentang peran wa@s}i@. Sedangkan

perbedaan pendapat kedua Mazhab ini terletak pada metode istinba@t} hukum

Imam Ma@lik yaitu qaul sah}a@bi serta analogi antara wakil nikah dengan wali wa@s}i@, juga berdasarkan pemahaman dari hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin

Umar sehinggga Mazhab Ma@liki beranggapan bahwasanya wali wa@s{i@ berhak

untuk menjadi wali dalam perkawinan. Sedangkan dengan berdasarkan

pemahaman dala@lah lafdhiyah dan petunjuk hadis dari Abdullah bin Umar

Mazhab Sha@fi’i@ beranggapan bahwasanya wa@s{i@ tidak termasuk dari wali yang

berhak untuk menikahkan seorang perempuan.

Berdasarkan hasil dari penelitian ini penulis lebih cenderung sependapat

dengan pernyataan bahwa wa@s}i@@ berhak untuk menikahkan seorang

perempuan,karena kedudukan wa@s}i@@ sama dengan wakil nikah. Sehingga status

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1

B. Identifikasi dan batasan masalah ... 9

C. Rumusan masalah ... 10

D. Kajian pustaka ... 10

E. Tujuan penelitian ... 14

F. Kegunaan hasil penelitian ... 14

G. Definisi operasional ... 15

H. Metode penelitian ... 16

I. Sistematika pembahasan ... 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH A. Pengertian dan dasar hukum wali nikah ... 21

(7)

BAB III STATUS WALI WA@S}I@@ MENURUT MAZHAB MA>LIKI DAN

MAZHAB SHA>FI’I>

A. Status Wali Wa@s}i@@ Menurut Mazhab Ma>liki> ... 33

1. Biografi Imam Ma@lik ... 33

2. Wali Wa@s}i@@ Menurut Mazhab Ma@liki ... 42

3. Metode istinba@t} Mazhab Ma@liki tentang Status Wali Wa@s}i@ dalam Perkawinan... 47

B. Status Wali Wa@s}i@@ Menurut Mazhab Sha@fi’i ... 48

1. Biografi Imam Sha@fi’i@ ... 48

2. Wali Wa@s}i@@ menurut Mazhab Sha@fi’i ... 57

3. Metode Istinba@t} Mazhab Sha@fi’i@ tentang Status Wali Wa@s}i@@ dalam Perkawinan... 64

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB MA@LIKI DAN MAZHAB SHA@FI’I@ TENTANG STATUS WALI WA@S}I@@ DALAM PERKAWINAN A. Analisis Pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang Status Wali Wa@s}i@@ dalam Perkawinan ... 64

B. Analisis Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang Ketentuan Perwalian Khususnya Status Wali Wa@s}i@@ dalam Perkawinan. ... 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(8)

DAFTAR TRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

A. Konsonan

No Arab Indonesia Arab Indonesia

1. ا ’ ط t}

2. ب B ظ z}

3. ت T ع ‘

4. ث Th غ Gh

5. ج J ف F

6. h} ق Q

7. خ Kh ؾ K

8. د D ل L

9. ذ Dh م M

10. ر R ن N

11. ز Z و W

12. س S ق H

13. ش Sh ’

14. ص s} ي Y

15. ض d}

Sumber: Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers.

(9)

B. Vokal

1. Vokal Tunggal (monoftong)

Tanda dan

Huruf Arab Nama Indonesia

__َ__ fath}ah A

__ِ__ Kasrah I

__ُ__ d}amah U

Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika hamzah berh}arakatsukun atau didahului oleh huruf yang

berh}arakatsukun. Contoh: iqtid}a>’ (ءاضتقا)

2. Vokal Rangkap (diftong)

Tanda dan

Huruf Arab Nama Indonesia Ket.

ْي َ fath}ah dan ya’ ay a dan y

ْو ُ fath}ah dan wawu au a dan w

Contoh : bayna ( نيب )

: mawd}u>’ ( عوضوم )

3. Vokal Panjang (mad)

Tanda dan

Huruf Arab Nama Indonesia Ket.

ا َ fath}ah dan alif a> a dan garis di atas ي ِ kasrah dan ya’ i> i dan garis di atas و ُ d}ammahdan wawu u> u dan garis di atas

Contoh : al-jama>’ah (ةعامجلا)

: takhyi}>r (رييخت)

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi sunnatullah, bahwa hidup berpasang-pasangan,

berjodoh-jodoh adalah fitrah segala makhluk Allah, termasuk manusia. Melalui makhluk

yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah Allah SWT

menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi

ke generasi berikutnya. Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan

itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud

peraturan-peraturan yang kemudian disebut sebagai hukum perkawinan.1

Perkawinan merupakan salah satu dari hukum agama yang kemudian

disebut sebagai fikih, dan kitab-kitab fikih dalam bentuk awalnya terdiri dari

empat bagian, yaitu iba@dat, mua@malat, muna@kaha@t, dan jina@yat. Fikih

muna@kaha@t sebagai salah satu pembahasan fikih dalam pendapat umat Islam

merupakan sesuatu yang berasal dari Allah dan harus dijalankan dalam rangka

meningkatkan keimanan kepada Allah SWT.2 Perkawinan dalam Islam tidaklah

semata-mata sebagai kontrak keperdataan saja, tetapi juga mempunyai nilai

ibadah, karena termasuk sunah Nabi yang manfaatnya sangat besar baik secara

1 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2013), 13.

(11)

2

lahir maupun batin. Perkawinan mempunyai tujuan yang mulia yaitu agar suami

istri bisa menjalani kehidupanya dengan tenteram dan nyaman. Hal itu

sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran yang dikenal dengan istilah saki@nah

mawaddah wa rahmah. Hal ini sebagaimana telah Allah SWT jelaskan dalam

QS. al-Ru@m ayat 21:

ْنِمَو

ِهِتاَيآ

ْنَأ

َقَلَخ

ْمُكَل

ْنِم

َأ

ْمُكِسُفْ ن

اًجاَوْزَأ

اوُنُكْسَتِل

اَهْ يَلِإ

َلَعَجَو

ْمُكَنْ يَ ب

ًةَدَوَم

ًةَََْرَو

َنِإ

ِِ

َكِلَذ

ٍتاَيآ

ٍمْوَقِل

َنوُرَكَفَ تَ ي

ُ

٣٧

َ

‚Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir‛ 3

Sebagaimana hukum-hukum agama yang lain, perkawinan dalam Islam

juga mempunyai aturan-aturan tersendiri, karena pada dasarnya hukum itu

identik dengan rukun dan syarat. Rukun dan syaratlah yang menentukan sebuah

perbuatan itu sah atau tidaknya dari segi hukum. Dalam perkawinan rukun dan

syarat tidak boleh ditinggal, artinya perkawinan tidak sah bila antara rukun

ataupun syarat tidak lengkap. 4

Wali pengantin wanita adalah rukun dalam pernikahan, karena seorang

wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, sebab dia tidak memiliki

otoritas untuk itu baik secara langsung, dengan izin atau melalui pengganti

orang lain. Tujuan adanya persyaratan wali dalam pernikahan adalah demi

(12)

3

menjaga dan melindungi seorang wanita, karena ia mudah tertipu dan terkecoh.

Sehingga tidak dibenarkan menguasakan urusan pernikahan kepada sesama

wanita. Jika wanita kawin tanpa adanya wali, maka nikah tersebut batal, dan

pernikahannya tidak sah.5Hal ini didasarkan pada hadis yang berbunyi:

ْنَع

َةَشِئاَع

َيِضَر

ُهَللا

اَهْ نَع

ِنَع

ِِبَنلا

ىَلَص

ُلا

ِهْيَلَع

َمَلَسَو

ُهَنَأ

َلاَق

اَمُأ

ٍةَأَرْما

ْتَحَكَن

َِْْغِب

ِنْذِإ

اَهِ يَلَو

اَهُحاَكِنَف

ٌلِطاَب

ُ

َث َََث

ٍتاَرَم

َ

،

ْنِإَو

َلَخَد

اَِِ

ُرْهَمْلاَف

اَََ

اَِِ

َباَصَأ

،اَهْ نِم

ِنِإَف

اوُرَجَتْشا

ُناَطْلمسلاَف

مَِِو

ْنَم

ََ

ََِِو

ُهَل

»

ُهَجَرَخ

،ميِذِمْرِ تلا

َلاَقَو

ِهيِف

:

ٌثيِدَح

ٌنَسَح

.

‚Perempuan manapun yang menikah tanpa izinnya wali maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal, ketika pasangan tersebut sudah

melakukan jima’ maka mahar yang sudah diberikan sepenuhnya menjadi

hak perempuan, ketika walinya enggan untuk menikahkan, maka walinya berganti ke hakim, karena hakim adalah wali bagi orang yang tidak punya wali.‛ 6

Dari hadis yang diriwayatkan Sayyidah ‘A@isyah di atas Imam Sh@afi’i@@

berpendapat bahwasanya tidak sah nikah tanpa adanya wali.7 Sependapat

dengan Imam Sha@fi’i@, Imam Ma@lik berpendapat bahwasanya tidak sah nikah

tanpa adanya wali, dan Imam Ma@lik menempatkan wali sebagai syarat dalam

perkawinan. Akan tetapi Imam Abu H}ani@fah, Zu’far, Sya’biy, Zuhri@

berpendapat bahwasanya nikahnya seorang perempuan balig tanpa adanya wali

dianggap sah dengan syarat calon suami tersebut sekufu’8. Pendapat Imam Abu

H}anifah, Zufar, Sya’biy, Zuhri ini berdasar pada realitanya perempuan balig

5 Muhammad Zuhaily, fiqh munakahat, Muhammad Kholison, ( Surabaya: Imtiyaz, 2013 ), 128. 6 Muhammad bin Idri@s, al-Umm, V, (Beirut: Da@r el Ma’rifat, 1990) , 13.

7 Ibid.

(13)

4

berhak untuk melakukan sendiri segala aktifitas transaksi seperti jual beli,

sewa, gadai dan lain sebagainya.9

Pembahasan siapa yang kemudian berhak menjadi wali untuk menikahkan

seorang perempuan juga memunculkan perbedaan pendapat. Imam H}anafi

berpendapat bahwasanya perwalian itu hanya mengenal istilah wali mujbir10,

hal ini didasarkan pada perkataan yang diriwayatkan dari sahabat Ali@. Wali

mujbir ini ditinjau dari kedekatan hubungan persaudaraan antara wali dengan

orang yang akan dinikahkannya. Sehingga menurut Imam H}anafi yang paling

berhak menjadi wali adalah: golongan anak, golongan ayah, golongan saudara,

golongan paman, orang yang memerdekakan budak, kemudian Imam atau

Hakim. Imam H}anafi menempatkan golongan anak pada golongan pertama

yang paling berhak menjadi wali, karena pada dasarnya anak merupakan orang

yang paling dekat dan juga orang yang paling disayang.11

Imam Ma@lik ketika membahas terkait dengan urutan wali hanya

mengelompokkan menjadi dua kategori, yaitu wali mujbir dan wali ghairu

mujbir. Wali mujbir diklasifikasikan sesuai dengan urutannya sebagaimana

yang dijelaskan di bawah ini:12

9 Wahbat Az-Zuhayli@, al-Fiqh al-Isla@m Wa Adillatuhu..., IX, 6699.

10 Wali mujbir adalah seorang wali yang mempunyai hak untuk menikahkan tanpa meminta izin dari anaknya. Hak dari wali tersebut berlaku ketika anak tersebut masih perawan (belum pernah

menikah).

(14)

5

1. Majikan seorang budak, walaupun majikannya tersebut perempuan.

Majikan tersebut mempunyai hak ijba@r bagi budak perempuan atau budak

laki-lakinya dalam urusan perkawinan, dengan syarat tidak menimbulkan

bahaya dikemudian hari bagi budak tersebut. Seperti halnya menikahkan

mereka pada orang yang mempunyai penyakit seperti lepra ataupun belang.

Maka majikan tidak memiliki hak ijba@r padanya. Dalam hal ini majikan

lebih didahulukan daripada ayah.

2. Ayah, baik dia orang yang cerdas ataupun orang yang bodoh. Dalam hal

menikahkan seorang gadis walaupun gadis itu tergolong perawan tua yang

telah berumur sampai enam puluh tahun lebih. Ayah berhak menikahkan

anaknya dengan hak ijba@r walaupun tanpa mahar mithli, ataupun calonnya

tesebut tidak sekufu’.

3. Orang yang diwasiati ayah ketika ayah sudah meninggal dengan tiga

ketentuan yaitu: 1. ketika seorang ayah telah menjelaskan pada wa>s}i@@ siapa

orang yang akan menjadi suami anaknya. Contohnya ketika ayah berkata

pada Wa>s}i@@ :‛nikahkanlah anakku dengan fulan‛. Atau ketika seorang ayah

dengan jelas menyebutkan hak ijba@r ketika berwasiat, contohnya: ‛paksalah

anak saya untuk menikah‛ ataupun dengan menyebutkan secara jelas kata

yang mengandung makna menanggung seperti :‛nikahkanlah anak saya

sebelum balig dan sesudahnya‛, ataupun ‚nikahkanlah anak saya terserah

(15)

6

tersebut tidak boleh kurang dari mahar mithli. 3. Bahwasanya calon

suaminya bukanlah orang yang fa@siq.

Sedangkan wali ghairu mujbir atau perwalian yang sifatnya fakultatif

terdiri dari golongan anak kebawah, golongan kakek, golongan saudara ayah

golongan paman.13 Pendapat Imam Ma@lik dalam urutan wali ini didukung oleh

pendapat Imam H}anbal.14

Membahas ketentuan wali Imam Sha@fi’i@ sependapat dengan Imam Ma@lik

yaitu dengan mengklasifikasikannya menjadi dua kategori, yaitu Wali Mujbir,

dan wali ghairu mujbir. Menurut Imam Sha@fi’i@, yang termasuk dari kategori

wali mujbir adalah : ayah, kakek, dan majikan seorang budak. Pendapat ini

tentunya berbeda dengan Imam Ma@lik . Sedangkan wali ghairu mujbir menurut

Imam Sha@fi’i@ yaitu ayah, kakek, dan seterusnya dilanjutkan oleh ahli waris

‘as}abah.15

Berbeda dengan Imam Ma@lik yang berpendapat bahwasanya golongan

wali ghairu mujbir dikatakan sebagai wali yang bersifat opsional, artinya tidak

diharuskan untuk mendahulukan wali yang pangkat kekerabatannya lebih dekat.

Imam Sha@@fi’i@ mewajibkan adanya urutan wali dengan runtut, sebagaimana yang

dijelaskan oleh Imam Zakariya al-Ans}@ori@ dalam kitab al-Minha@j terkait urutan

wali, beliau menjelaskan ketika ada wali yang lebih dekat maka harus

(16)

7

didahulukan,16 artinya ketika masih ada kerabat yang lebih dekat maka kerabat

tersebut yang berhak untuk menjadi wali. Dari beberapa penjelasan tersebut

Imam Sha@fi’i@ tidak memberikan keterangan secara tersurat terkait dengan

perwalian yang disebabkan oleh wasiat seorang ayah.

Perbedaan terkait dengan status wali wa>s}i@@ tidak lepas dari pendapat ulama’

Mazhab Ma@liki dan Sha@@fi’i@ terkait masalah Wis}a@yah atau kadang-kadang

disebut dengan wila@yah, atau al wa>s}i@@yah al ‘ahdiyah. Wis}a@yah merupakan

amanat yang diberikan seseorang kepada pihak lain agar melaksanakan

pesan-pesannya sesudah ia meninggal dunia, seperti melunasi hutang-hutangnya,

menagih piutang yang menjadi miliknya, menjaga dan menafkahi anak-anaknya

dan lain sebagainya.17

Imam Sha@@fi’i@ sendiri sepakat terkait dengan hukum Wis}a@yah. Dalam kitab

Fiqh al-Minnha@j ‘ala Mazhab Imam Sha@fi’i@ terdapat sebuah keterangan yang

memperbolehkan hukum Wis}a@yah, bahkan dalam kitab tersebut disebutkan

bahwasanya hukum asal Wis}a@yah adalah sunnah. 18

Ketika membahas lebih spesifik terkait dengan Wis}a@yah terkait hak

perwalian dalam nikah, seperti seorang ayah mengatakan kepada wa>s}i@@, ‚saya

mengangkat anda sebagai wa>s}i@@ untuk menikahkan anak perempuan saya si Anu,

16 Sulaiman al-Bujairomi, Ha@siyat al-Bujairomi, III, (Beirut: Da@r el Fikr, 1995), 340.

17 Muhammad Jawwa@d Mughni@, Fiqh Lima Mazhab, terj. Masykur A.B, dkk (Jakarta: lentera, 2012), 525.

(17)

8

atau anak laki-laki saya, si Anu‛ Imam Ma@lik mengatakan: hal itu boleh

dilakukan. Sedangkan Imam Sha@@fi’i@ tidak menjelaskan secara tersurat terkait

kebolehan berwasiat untuk menjadi wali dalam perkawinan. 19

Dari berbagai keterangan di atas yang menjelaskan berbagai macam

pendapat tentang wali, penulis hanya membatasi pendapat pada Imam Ma@lik

dan Imam Sha@fi’i@ saja yang kemudian diikuti oleh pengikutnya yaitu Mazhab

Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@, karena penulis sangat tertarik dengan pendapat

kedua Mazhab tersebut. Pada dasarnya Imam Ma@lik dan Imam Sha@@fi’i@ sepakat

bahwasanya wali merupakan rukun dalam perkawinan, akan tetapi kedua Imam

ini berbeda pendapat terkait siapa saja yang berhak dan yang lebih didahulukan

menjadi wali terutama dalam menyikapi wali wa>s}i@@@. Imam Ma@lik menyatakan

bahwa wali wa>s}i@@@ dikategorikan sebagai wali mujbir dan lebih didahulukan

menjadi wali daripada wali nasab. Sedangkan Imam Sha@@fi’i@ tidak menempatkan

wali wa>s}i@@@ sebagai orang yang berhak untuk menjadi wali dalam perkawinan.

Perbedaan pendapat tentang status wali wa>s}i@@@ ini menjadi sebuah diskusi

yang menarik karena bersangkutan dengan sah tidaknya akad yang dinikahkan

oleh wali tersebut. Dari berbagai literatur yang ditemukan, Ulama’ Mazhab

Sha@fi’i@ tidak menempatkan wali wa>s}i@@@ sebagai wali dalam urutan perwalian

sehingga ketika wali wa>s}i@@@ ini menjadi wali pada perkawinan seorang

perempuan, maka hukumnya tidak sah. Imam Ma@lik justru menempatkan wali

(18)

9

wa>s}i@@@ ini pada kedudukan ayah, sehingga lebih diprioritaskan dan bahkan

mempunyai hak sebagaimana haknya wali mujbir.

Untuk itulah penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang

bagaimana status wali wa>s}i@@ menurut Imam Ma@lik dan Imam Sha@fi’i@ dengan

judul ‚Studi Komparasi status wali wa>s}i@@ dalam perkawinan menurut Mazhab

Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Terkait dengan latar belakang masalah di atas, beberapa masalah dalam

penelitian ini dapat diidentifikasi dalam unsur-unsur sebagai berikut:

1. Pengertian wali menurut Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@

2. Macam-macam wali menurut Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@

3. Pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang urutan wali serta

implikasinya

4. Pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang wali wa>s}i@@

5. Persamaan dan perbedaan pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@

tentang status wali wa>s}i@@ dalam perkawinan.

Agar pembahasan dalam skripsi ini fokus, maka penulis membatasi

pembahasan hanya pada masalah:

1. Pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang status wali wa>s}i@@ dalam

(19)

10

2. Persamaan dan perbedaan pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@

tentang status wali wa>s}i@@ dalam perkawinan.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang status wali

wa>s}i@@ dalam perkawinan?

2. Apa persamaan dan perbedaan pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@

tentang status wali wa>s}i@@ dalam perkawinan?

D. Kajian Pustaka

Tinjauan pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang

sudah pernah dilakukan seputar permasalahan yang akan diteliti penulis.

Kajian pustaka dilakukan untuk menegaskan bahwa kajian penelitian ini

bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian

sebelumnya.20

Adapun penelitian (skripsi) yang membahas tentang perwalian diantaranya

adalah sebagai berikut:

1. ‚Wali Nikah dalam Perspektif Dua Mazdhab dan Hukum Positif ‛ yang

ditulis oleh Achmad Hadi Sayuti, mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Syarif

(20)

11

Hidayatullah Jakarta, 2011. Skripsi ini membahas tentang perbedaan

pendapat terkait status wali dalam perkawinan menurut Imam Sha@fi’i@ dan

Imam H}anafi, yang kemudian dikorelasikan dengan hukum positif yang

berlaku di Indonesia. Skripsi ini mempunyai kesimpulan bahwa antara Imam

Sha@fi’i@ dan Imam H}anafi mempunyai alasan tersendiri dan sebagai warga

negara Indonesia seharusnya mengikuti aturan dalam KHI yang mana lebih

condong pada pendapat Imam Sha@fi’i@.21

2. ‚Studi Analisis Pendapat Imam Malik tentang Wali Washi dari Bapak Lebih

didahulukan sebagai Wali Nikah Daripada Wali Nasab‛ skripsi yang ditulis

oleh Khoirul Jaza Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2008.

Skripsi ini menganalisis pendapat Imam Malik terkait dengan kewajiban

mendahulukan Wali Was}i daripada wali nasab. Analisis ini lebih diarahkan

ke metode istinbat} hukumnya Imam Ma@lik. Dalam metodologi istinbatnya,}

Imam Ma@lik lebih mengedepankan amal ahli madinah dan qaul s}aha@bat

daripada qiya@s. Faktor setting sosial juga dijadikan penulis sebagai alasan

terkait pendapat Imam Ma@lik tentang hukum wali wa>s}i@@, sehingga penulis

dalam kesimpulannya menegaskan kembali bahwa wali was}i lebih

didahulukan daripada wali nasab. 22

21Achmad Hadi Sayuti, ‚Wali Nikah dalam Perspektif Dua Mazdhab dan Hukum Positif ‛ (Skripsi-- UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011).

22Khoirul Jaza, ‚Studi Analisis Pendapat Imam Malik tentang Wali Washi dari Bapak Lebih

(21)

12

3. ‚Analisis Pendapat Imam al-Syafi’i tentang Wali Nikah Bagi Janda di

Bawah Umur‛ skripsi yang ditulis oleh Abdul Ghufron Fakultas Syariah

IAIN Walisongo Semarang, 2010. Skripsi ini menjelaskan tentang pendapat

Imam Sha@fi’i@ terkait dengan wajib tidaknya wali bagi janda yang masih di

bawah umur. Penelitian ini mempunyai kesimpulan bahwa masih tetap

diperlukan adanya wali bagi janda yang masih di bawah umur, karena

menurut penulis hal itu masih relevan dengan realitas kehidupan masa kini,

dan tentunya berdasar pada hadis Nabi yang berbunyi: tidak diperbolehkan

nikah tanpa adanya wali.23

4. ‚Nikah Tanpa Wali (Telaah Pemikiran Siti Musdah Mulia)‛. Skripsi ini

ditulis oleh Ahmad Khadik Sa’roni mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Sunan Kalijaga, 2014. Skripsi ini mengkaji terkait pendapat Siti

Musdah Mulia tentang tidak diharuskannya wali dalam sebuah pernikahan.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwasanya pendapat Siti Musdah Mulia ini

pada dasarnya merujuk pada pendapat Imam H}anafi tentang tidak

diwajibkannya wali bagi perempuan yang telah dewasa.24

Dari penelitian yang sudah ada, memang telah banyak karya tulis yang

membahas secara umum tentang wali. Akan tetapi dari beberapa penelitian

yang dilakukan, yang memfokuskan pada pengkajian terkait wali was}i hanya

23Abdul Ghufron, ‚Analisis Pendapat Imam al-Syafi’i tentang Wali Nikah Bagi Janda di Bawah

Umur‛ (Skripsi-- IAIN Walisongo Semarang, 2010).

(22)

13

skripsi yang ditulis oleh Khoirul Jaza Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Semarang, yakni tentang Pendapat Imam Malik tentang wali wa>s}i@@@ dari bapak

lebih didahulukan sebagai wali nikah daripada wali nasab. Penelitian tersebut

mangkaji wali wa>s}i@@@ ditinjau lebih khusus kepada metodologi istinbat} hukum

Imam Ma@lik yang lebih mengedepankan amal ahli madinah dan qaul s}aha@bi@,

dengan hanya berlandaskan hadis-hadis tentang wali yang masih umum.

Sedangkan dalam skripsi ini mengkaji status wali wa>s}i@@ menurut Imam Ma@lik

dan Imam Sha@fi’i@. Sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang, kedua

Imam Mazhab ini menempatkan wali dalam posisi yang penting dalam

pernikahan, akan tetapi dalam hal wali wa@@s}i@@@ kedua Imam Mazhab ini

mempunyai pendapat yang berbeda, penulis akan membahas perwalian

khususnya wali wa>s}i@@ dalam perkawina menurut Imam Ma@lik dan Imam Sha@fi’i@

melalui telaah metode pengambilan hukumnya dan dasar hukumnya. Jadi dari

beberapa penelitian terdahulu belum ada yang mengkhususkan pembahasan

tentang studi komparasi status wali wa>s}i@@@ menurut Imam Ma@lik dan Imam

(23)

14

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini mempunyai tujuan:

1. Untuk mengetahui pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang

status wali wa>s}i@@ dalam perkawinan.

2. Untuk mmengetahui persamaan dan perbedaan pendapat Mazhab Ma@liki dan

Mazhab Sha@fi’i@ tentang status wali wa>s}i@@ dalam perkawinan.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang- kurangnya

untuk dua hal:

1. Secara teoritis, diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan

dalam bidang perkawinan khususnya mengenai perwalian yakni tentang

status wali wa>s}i@@ menurut Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@.

2. Secara praktis, dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam masalah

(24)

15

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari pemahaman dan interpretasi yang tidak sesuai

dengan judul penelitian ini, maka penulis perlu menjelaskan beberapa maksud

dari variabel penelitian sebagai berikut:

Studi komparasi : jenis penelitian yang membandingkan dua pendapat

atau lebih dari suatu variable (objek tertentu). Jenis

penelitian ini dilatarbelakangi karena belum adanya

kesepakatan yang mantap di kalangan para ahli

hukum.25

Wali wa<s}i : adalah orang yang diwasiati ayah untuk

menggantikannya sebagai wali.26

Mazhab Ma@@liki : Aliran fikih hasil ijtihad Imam Ma@lik.27 dalam

penelitian ini selain mengemukakan pendapatnya

Imam Ma@lik, juga didukung dengan pendapatnya

para pengikut Imam Ma@lik.

Mazhab Sha@@fi’i : Aliran fikih hasil ijtihad Imam Sha@fi’i@28, artinya

dalam penelitian ini tidak hanya mengemukakan

pendapat Imam Sha@fi’i@ saja, akan tetapi didukung

25 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) ,101. 26 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve),1338.

(25)

16

pendapat-pendapat pengikut Imam Sha@fi’i@.

H. Metode Penelitian

Penelitian yang penulis gunakan adalah jenis penelitian yang termasuk

ke dalam penelitian normatif atau yang disebut juga sebagai penelitian

perpustakaan atau studi dokumen (ditinjau dari penelitian hukum). Penelitian

hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka.29

1. Data yang dikumpulkan

Data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini untuk adalah:

a. Data tentang status wali wa>s}i@@ dalam perkawinan menurut Mazhab

Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@.

b. Data tentang dasar hukum Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang

status wali wa>s}i@@ dalam perkawinan.

2. Sumber data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan dari sumber data

Sekunder, karena pada dasarnya penelitian normatif (kepustakaan) lebih

banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di

(26)

17

perpustakaan yang nantinya mencakup bahan hukum primer, sekunder,

tertier30.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang menjadi bahan

utama dalam sebuah penelitian, dalam penelitian ini penulis

menggunakan karya outentik Imam Ma@lik dan Imam Sha@fi’i@@ yaitu:

1) al-Mudawwanah al-kubra@

2) al-Umm

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer31. Dalam penelitian ini penulis

menggunakan bahan hukum dari pendapat pengikut Imam Ma@lik yang

berupa kitab-kitab sebagai berikut@:

1) Bida@yah al-Mujtahid karya Ibnu Rushd

2) As}l al-Mada@rik oleh Syiha@buddi@n al-Baghdadi@

3) Syarah} as} S}agi@r dan Syarah} al Kabi@r karya Abu@ al-Barakah Sa’idi@

Ah}mad ad-Dardiri@

Didukung juga oleh kitab karangan pengikut Sha@fi’i@@ seperti:

1) al-Muhadhab oleh Abu@ Ish}a@q Ibra@him as-Syirazi@

(27)

18

2) kitab al-Majmu@’ Sharh al-Muhadhab oleh Ima@m Nawawi@

3) Tuhfah al-Muhta@j oleh Ah}mad bin Hajar al-Haitami

4) Ha@siyah al Bujairami@ karya Sulaima@n al-Bujairami@

c. Bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier merupakan bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti:

1) Kamus

2) Ensiklopedia hukum Islam

3. Teknik pengumpulan data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik

dokumenter (reading text). Teknik dokumen sendiri menurut Holsti

merupakan teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha

menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara obyektif dan

sistematis.32 teknik ini dilakukan dengan cara menelaah teori-teori,

pendapat-pendapat, serta pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam media

cetak ataupun online, khususnya buku-buku yang menunjang dan relevan

dengan permasalahan yang dibahas. Terdapat dua macam dokumen yakni

dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dalam hal ini penulis lebih banyak

akan memakai dokumen pribadi, yakni catatan atau karangan seorang secara

(28)

19

tertulis tentang tindakan, pengalaman dan kepercayaannya.33

4. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan data yang terkumpul,

mengatur, mengurutkan, dan mengelompokkannya, kedalam suatu pola,

kategori, dan urutan dasar. Untuk menganalisis data yang telah

dikumpulkan. penulis menggunakan teknik deskriptif komparatif dengan

pola pikir deduktif.

Teknik deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk

membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang

diselidiki.34 Pendekatan deskriptif komparatif dipergunakan untuk

mengetahui pendapat Imam Ma@lik dan Imam Sha@fi’i@ terkait status wali wa>s}i@@

dalam perkawinan. Selanjutnya, deskripsi tersebut dianalisis menggunakan

pola pikir deduktif.

Dengan teori-teori yang bersifat umum mengenai status waliwa>s}i@@ dalam

perkawinan dalam hukum Islam, kemudian dianalisis dari persamaan dan

perbedaan kedua pendapat sehingga bisa diambil beberapa kesimpulan.

33 Ibid.,208.

(29)

20

I. Sistematika Pembahasan

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah kepada tercapainya tujuan

yang ada, maka penulis membuat sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan

penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian

dan sistematika pembahasan.35

Bab kedua, merupakan kerangka teoritik mengenai tinjauan umum tentang

wali nikah yang meliputi pengertian wali nikah, dasar hukum, strukturalisasi

perwalian serta syarat wali dalam perkawinan.

Bab ketiga, merupakan kerangka teoritik mengenai wali wa>s}i@@@ menurut

Mazhab Ma@liki dan Sha@fi’i@ yang meliputi sekilas tentang Imam Ma@lik dan

Imam Sha@fi’i@, mulai tempat tinggal, keadaan lingkungan, riwayat pendidikan,

nama-nama guru beliau, kitab-kitab karya beliau, pendapat dan dasar hukum

beliau tentang status wali wa>s}i@@ dalam perkawinan.

Bab keempat, merupakan analisis komparatif terhadap pendapat Mazhab

Ma@liki dan Sha@fi’i@ tentang status status wali was}i dalam perkawinan. Dan

analisis terhadap persamaan dan perbedaan kedua mazhab tentang status wali

wa>s}i@ dalam perkawinan.

Bab kelima, merupakan penutup yang memuat kesimpulan.

(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah

Wali secara bahasa bermakna mencintai dan pertolongan sebagaimana

firman Allah SWT:

ُيَو ِرَكْنُمْلا ِنَع َنْوَهْ نَ يَو ِفوُرْعَمْلاِب َنوُرُمْأَي ٍضْعَ ب ُ اَيِلْوَأ ْمُهُضْعَ ب ُتاَنِمْؤُمْلاَو َنوُنِمْؤُمْلاَو

َنوُميِق

ْؤُ يَو َةََصلا

ُ ٌميِكَح ٌزيِزَع َهَللا َنِإ ُهَللا ُمُهََُْرَ يَس َكِئَلوُأ ُهَلوُسَرَو َهَللا َنوُعيِطُيَو َةاَاَزلا َنوُت

١٧

َ

1

Artinya: ‚Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah

Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‛

Sedangkan menurut istilah wali adalah orang yang berhak dan berkuasa

untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang berada dibawah

perwaliannya karena dianggap tidak mampu atau tidak cakap hukum.2

Dalam pembahasan ini, yang dimaksud dengan wali adalah perwalian yang

menyangkut pribadi seseorang, yakni dalam masalah perkawinan. Abdurrahma@n

1

Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Al-Huda, 2010), 266.

(31)

22

al-Jazi@ry@ mendefinisikan wali sebagai orang yang menjadikan perkawinan itu

sah sehingga perkawinan tanpa adanya wali hukumnya tidak sah.3

Dasar hukum dari adanya wali terdapat dalam al Qur’an surat al-Baqarah

ayat 232 yang berbunyi:

ِإَو

ُهَ نْ يَ ب اْوَضاَرَ ت اَذِإ َنُهَجاَوْزَأ َنْحِكْنَ ي ْنَأ َنُوُلُضْعَ ت ََف َنُهَلَجَأ َنْغَلَ بَ ف َ اَسِنلا ُمُتْقَلَط اَذ

ِفوُرْعَمْلاِب ْم

ُرَهْطَأَو ْمُكَل ىَاْزَأ ْمُكِلَذ ِرِخآا ِمْوَ يْلاَو ِهَللاِب ُنِمْؤُ ي ْمُكْنِم َناَا ْنَم ِهِب ُظَعوُي َكِلَذ

َ ْمُتْ نَأَو ُمَلْعَ ي ُهَللاَو

ُ َنوُمَلْعَ ت

٣٢٣

َ

4

Artinya: ‚Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.‛

Ayat ini merupakan khita@b kepada para wali, jika mereka tidak mempunyai

hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-halangi.5

Surat an-Nur ayat 32 yang berbunyi:

َقُ ف اوُنوُكَي ْنِإ ْمُكِئاَمِإَو ْمُاِداَبِع ْنِم َنِِْاَصلاَو ْمُكْنِم ىَماَيلا اوُحِكْنَأَو

ُهَللاَو ِهِلْضَف ْنِم ُهَللا ُمِهِنْغُ ي َ اَر

ُ ٌميِلَع ٌعِساَو

٢٣

َ

6

Artinya: ‚Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki

3 Abdurrahman al-Ja@zi@ri@, al-Fiqhu ‘Ala@@ al-Madha@@hib al-Arba’ah, (Lebanon: Da@r el-Kutub al Alamiyah, 2003) 29.

4

Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Al-Huda, 2010),46.

5 Abu@ al Wa@lid al Qurthuby@, Bida@@@@@@yah al- Mujtahid wa Niha@yah al- Muqtasid, III, (Kairo: Da@r el Hadi@s, 2004), 37.

6

(32)

23

dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.‛

Sedangkan hadis yang menjelaskan tentang wali nikah diantaranya sebagai

berikut:

اَنَ ثَدَح

ُنْبا

ِبَأ

،َرَمُع

َلاَق

:

اَنَ ثَدَح

ُناَيْفُس

ُنْب

،َةَنْ يَ يُع

ِنَع

ِنْبا

،ٍجْيَرُج

ْنَع

َناَمْيَلُس

ِنْب

،ىَسوُم

ِنَع

،ِيِرْمزلا

ْنَع

،َةَوْرُع

ْنَع

،َةَشِئاَع

َنَأ

ُسَر

َلو

ِلا

ىَلَص

ُهَللا

ِهْيَلَع

َمَلَسَو

َلاَق

:

اَمَُأ

ٍةَأَرْما

ْتَحَكَن

َِْْغِب

ِنْذِإ

اَهِ يِلَو

اَهُحاَكِنَف

،ٌلِطاَب

اَهُحاَكِنَف

،ٌلِطاَب

اَهُحاَكِنَف

،ٌلِطاَب

ْنِإَف

َلَخَد

اَِِ

اَهَلَ ف

ُرْهَمْلا

اَِِ

َلَحَتْسا

ْنِم

،اَه ِجْرَ ف

ْنِإَف

َتْشا

اوُرَج

ُناَطْلمسلاَف

مَِِو

ْنَم

ََ

ََِِو

ُهَل

.

اَذَ

ٌثيِدَح

ٌنَسَح

7

Artinya: ‚Ibnu Abi@ Umar telah meriwayatkan hadis, diceritakan oleh Sufya@n bin ‘Uyaiynah, dari Ibnu Juraij, dari Sulaima@n bin Mu@sa@, dari Zuhri@, dari Urwah, dari Sayyidah A@isyah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : ‚Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal, jika mereka sudah melakukan hubungan suami istri maka mahar menjadi hak istri sebagai ganti atas kehalalan perbuatan tersebut, apabila wali menolak untuk menikahkannya maka

hakim merupakan wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.‛ Hadis ini

adalah hadis H}asan.

اَنَ ثَدَح

ميِلَع

ُنْب

،ٍرْجُح

َلاَق

:

اَنَرَ بْخَأ

ُكيِرَش

ُنْب

ِدْبَع

،ِلا

ْنَع

ِبَأ

َقاَحْسِإ

اَنَ ثَدَحو

،ُةَبْيَ تُ ق

َلاَق

:

اَنَ ثَدَح

وُبَأ

،َةَناَوَع

ْنَع

ِبَأ

َقاَحْسِإ

اَنَ ثَدَحو

َُم

ُدَم

ُنْب

،ٍراَشَب

َلاَق

:

اَنَ ثَدَح

ُدْبَع

ِنَََْرلا

ُنْب

،ٍيِدْهَم

ْنَع

،َليِئاَرْسِإ

ْنَع

ِبَأ

َقاَحْسِإ

اَنَ ثَدَحو

ُدْبَع

ِلا

ُنْب

ِبَأ

،ٍداَيِز

َلاَق

:

اَنَ ثَدَح

ُدْيَز

ُنْب

، ٍباَبُح

ْنَع

َسُنوُي

(33)

24

ِنْب

ِبَأ

،َقاَحْسِإ

ْنَع

ِبَأ

َقاَحْسِإ

،

ْنَع

ِبَأ

،َةَدْرُ ب

ْنَع

ِبَأ

ىَسوُم

َلاَق

:

َلاَق

ُلوُسَر

ِلا

ىَلَص

ُهَللا

ِهْيَلَع

َمَلَسَو

:

ََ

َ اَكِن

ََِإ

ٍَِِوِب

8

Artinya: ‚‘Ali@ bin Hujrin telah meriwayatkan hadis, beliau berkata: Shari@k bin Abdillah telah memberi kabar kepada saya, dai Abi@ Ish}a@k, dari Muhammad bin basha@r berkata: telah meriwayatkan kepada saya ‘Abdurrah}man bin Mahdiy, dari Isra@i@l, dari Abi@ Ish}ak dari Abdullah bin Abi@ Ziya@d berkata: telah menceritakan kepada saya Zaid bin H}uba@b, dari Yu@nus bin Abi@ Ish}a@k, dari Abi@ Ish}ak, dari Abi@ Burdah, dari Abi@ Musa@ berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: ‚tidak sah suatu perkawinan tanpa adanya wali‛

Ulama’ fikih sepakat bahwasanya wali merupakan syarat atas sah tidaknya

perkawinan. Ketika keberadaan wali ada dalam proses perkawinan maka

nikahnya sah dan langgeng. Akan tetapi ketika dalam perkawinan tersebut tidak

dihadiri wali, maka menurut pendapat jumhu@r ulama’ nikahnya batal.

Sedangkan menurut ulama’ H}anafiyah perkawinan tersebut dapat

ditangguhkan.9

Pendapat yang pertama yaitu yang disampaikan oleh Imam Abu@ H}ani@fah

dan Abu@ Yu@suf yang menjelaskan bahwa nikahnya orang yang merdeka dan

balig serta berakal tetap sah walau tanpa ada restu dari wali. Perempuan

tersebut berhak untuk menjadi wali untuk perkawinannya sendiri ataupun orang

lain. Akan tetapi ketika dia menjadi wali untuk perkawinannya sendiri

sedangkan perempuan tersebut masih mempunyai wali as}obah disyaratkan calon

suaminya harus sekufu’ agar supaya perkawinan tersebut sah dan terus menerus,

8Ibid., 398.

(34)

25

karena ketika perempuan tersebut menikahi seseorang yang tidak sekufu’ maka

walinya mempunyai hak untuk menggugat perkawinan tersebut dan

menyebabkan hakim membatalkan perkawinannya. Hak menggugat tersebut

berlaku sampai perempuan yang bersangkutan melahirkan seorang anak,

ataupun hamil. Hal itu dikarenakan untuk menjaga proses pendidikan anak,

keutuhan rumah tangga menjadi faktor utama lahirnya pendidikan yang baik

untuk anak. Pendapat tersebut, yang pertama didasarkan pada hadis

مقَحَأ َُِّلا"

ِبْلاَو ،اَهِ يِلَو ْنِم اَهِسْفَ نِب

"اَهُ تاَمِص اَهُ نْذِإَو ،اِهِسْفَ ن ِِ ُرمْأَتْسُت ُرْك

yang menjelaskan tentang tidak

diwajibkannya wali bagi seorang janda, al-ayyimu diartikan oleh Imam H}anafi

sebagai orang yang tidak mempunyai suami baik itu gadis maupun janda. Alasan

yang kedua, karena seorang perempuan yang sudah dewasa berhak untuk

melakukan semua transaksi secara mandiri baik dalam hal jual beli, sewa

menyewa, gadai dan yang lainnya, maka sudah seharusnya seorang perempuan

berhak untuk menikahkan dirinya sendiri.10

Pendapat yang kedua yang disampaikan oleh jumhu@r menyatakan

bahwasanya perkawinan tidak sah tanpa adanya wali. Seorang perempuan tidak

berhak menjadi wali, baik menjadi wali untuk perkawinannya sendiri, orang lain,

ataupun mewakili orang lain dalam suatu perkawinan. Pendapat ini merupakan

pendapat dari sebagian besar sahabat seperti Ibnu Umar, Ali@, Ibn Mas’u@d, dan

(35)

26

Ibnu Abba@s, Abu@ Hurairah, dan Sayidah ‘A@isyah. Landasan pertama dari

pendapat ini merujuk pada hadis-hadis yang telah disebut di atas.11

B. Strukturalisasi dan Syarat-Syarat Wali Nikah

Pembahasan tentang orang yang paling berhak menjadi wali memunculkan

perbedaan pendapat dari kalangan Ulama’. Madzhab H}anafi Imam H}anafi

berpendapat bahwasanya perwalian itu hanya mengenal istilah wali mujbir12, hal

ini didasarkan pada perkataan yang diriwayatkan dari sahabat ‘Ali@. Wali mujbir

ini ditinjau dari kedekatan hubungan persaudaraan antara wali dengan orang

yang akan dinikahkannya. Sehingga menurut Imam H}anafi yang paling berhak

menjadi wali adalah: golongan anak, golongan ayah, golongan saudara, golongan

paman, orang yang memerdekakan budak, kemudian Imam atau Hakim. Imam

H}anafi menempatkan golongan anak pada golongan pertama yang paling berhak

menjadi wali, karena pada dasarnya anak merupakan orang yang paling dekat

dan juga orang yang paling disayang13

Sedangkan Ulama’ Mazhab Ma@liki Ketika menjelaskan perihal wali

membaginya menjadi wali mujbir dan ghoiru mujbir. Perbedaan dari wali

mujbir dan ghoiru mujbir secara substansi terletak pada status calon mempelai

perempuan. Wali mujbir mempunyai hak ijba@r jika yang akan dinikahkannya

11 Ibid., 6700.

(36)

27

salah satu diantara: anak yang masih perawan walaupun sudah balig dan anak

kecil walaupun sudah janda. Selain dari dua kategori perempuan tersebut maka

walinya digolongkan menjadi wali ghoiru mujbir yang berarti wali tersebut

tidak boleh memaksa menikah, izin dari perempuan tersebut bagian dari hal

yang harus dipenuhi sebelum masuk dalam prosesi perkawinan. 14

Orang-orang yang dapat menjadi wali mujbir yaitu majikan seorang budak,

ayah, dan orang yang diwa@s}i@ati ayah sebagai wali. Sedangkan wali ghoiru mujbir

menurut Imam Ma@lik adalah anak, ayah keatas yang berhubungan langsung,

saudara, kakek, golongan paman. Lebih jelasnya secara runtut yaitu: anak, ayah,

saudara seayah dan seibu, anak saudara seayah dan seibu, anaknya saudara

seayah, kakek, paman, anak paman, ayahnya kakek, paman seayah anak paman

seayah, kemudian pamannya kakek dan anaknya pamannya kakek.15

Majikan lebih didahulukan untuk menjadi wali walaupun masih ada ayah,

dan berhak menikahkan budak wanitanya baik budak tersebut perawan, janda,

anak kecil, orang tua, karena pada dasarnya budak tersebut adalah salah satu

hartanya sehingga majikan berwenang untuk melakukan yang terbaik pada

barangnya dengan caranya sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat syeikh

ad-Dardiri dalam kitab Sharh} as-Sa@ghir yang menyatakan bahwa kedudukan

ayah setelah kedudukan majikan. Maka ayah tidak bisa menikahkan anaknya

jika anak tersebut adalah budak dan masih ada majikannya. Seorang ayah juga

(37)

28

mempunyai hak ijba@r walaupun calon suami tidak memberikan mahar mithl,

ataupun kurangnya ketertarikan anak perempuan terhadap calonnya, dengan

syarat anaknya masih perawan walaupun masih kecil.16 Orang yang diwasiati

ayah ketika ayah sudah meninggal dengan tiga ketentuan yaitu: 1. ketika

seorang ayah telah menjelaskan pada wa@s}i@ siapa orang yang akan menjadi suami

anaknya. Contohnya ketika ayah berkata pada Wa@s}i@ :‛nikahkanlah anakku

dengan fulan‛. Atau ketika seorang ayah dengan jelas menyebutkan hak ijba@r

ketika berwasiat, contohnya:‛paksalah anak saya untuk menikah‛ ataupun

dengan menyebutkan secara jelas kata yang mengandung makna menanggung

seperti: ‛nikahkanlah anak saya sebelum balig dan sesudahnya‛, ataupun

‚nikahkanlah anak saya terserah dengan apa yang kamu inginkan‛ 2. Dengan

catatan bahwa mahar anak tersebut tidak boleh kurang dari mahar mithli. 3.

Bahwasanya calon suaminya bukanlah orang yang fa@siq.17

Menurut Mazhab Sha@fi’i@ perwalian dibagi menjadi dua, yaitu wali mujbir

dan wali ikhtiya@r. Ayah dan kakek merupakan orang yang tergolong wali mujbir.

Seorang ayah ataupun kakek berhak untuk menikahkan anak perempuannya

yang masih gadis tanpa ada izin dari anak tersebut, akan tetapi izin kepada

anaknya hukumnya sunnah. Diamnya seorang perempuan yang sudah balig

sudah cukup dalam hal meminta izin dalam perkawinan. Sedangkan yang

termasuk wali ikhtiya@r adalah semua golongan wali, ketika yang akan

(38)

29

dinikahkan adalah perempuan yang sudah janda.18 Penjelasan terkait wali mujbir

dan wali ikhtiya@r lebih dijelaskan dalam kategorisasi sebagai berikut:

1. Wali mujbir

Menurut Imam Sha@fi’i@, seorang ayah atau kakek pada dasarnya

mempunyai hak ijba@r bagi anak perempuannya yang masih gadis, akan

tetapi ketika ayah tersebut berkehendak menikahkan tanpa harus izin

anaknya dengan syarat: 19

a. Ketika antara ayah dan anak tersebut tidak bermusuhan secara jelas.

Karena hadis riwayat daruqutni yang berbunyi

،اَهِ يِلَو

ْنِم

اَهِسْفَ نِب

مقَحَأ

ُبِيَ ثلا

«

ُرْكِبْلاَو

اَهُجِوَزُ ي

اَوُبَأ

dan hadis riwayat Muslim yang berbunyi

اَُرِم

ْأَتْسَي

ُرْكِبْلاَو

وُبَأ

ا

mengandung pengertian sunnah,

b. Anak gadis tersebut dengan pasangan yang sekufu’,

c. Anak gadisnya dinikahkan bersama dengan mahar mitsilnya,

d. Calon pengantin laki-laki tidak kesulitan dalam menyediakan mahar

mitsil

e. Hendaknya wali ijbar tidak mengawinkannya dengan laki-laki yang

tidak layak untuk anak gadis misalnya laki-laki tersebut buta atau

jompo.

18 Ibid., 6696.

(39)

30

2. Perwalian Ikhtiya@r

Setiap wali yang telah disebutkan pada pembahasan diatas telah

ditetapkan secara tertib. Perkawinan ikhtiya@r berlaku untuk perkawinan

wanita dewasa yang telah hilang keperawanannya baik sebab yang halal

maupun haram. Disyaratkan dalam perkawinan wanita janda harus melalui

izin dan kerelaannya. Izin anak gadis adalah diamnya, sedangkan izin janda

adalah ucapannya. Jadi, andaikata dia dikawinkan tanpa melalui persetujuan

dan kerelaannya, dan dia sendiri tidak menyukai pilihan yang ditawarkan

maka perkawinan tersebut tertolak (batal). Hal ini berdasarkan hadis yang

diriwayatkan oleh khunasa’ binti khidzam al-anshariyah yang berbunyi 20:

َنَأ

اَاَبَأ

اَهَجَوَز

َيَِو

ٌبِيَ ث

َيَِو

ٌةَِراَا

ْتَتَأَف

َِبَنلا

-ىَلَص

ُهَللا

ِهْيَلَع

َمَلَسَو

َدَرَ ف

اَهَحاَكِن

Artinya: Bahwasanya ayah Khunasa’ mengawinkan dia, sedangkan dia

tidak menyukai perkawinan tersebut, maka dia menghampiri Rasulullah, lalu Rasulullah menolak perkawinan itu.

Sedangkan Ulama’ Mazhab H}anabilah berpendapat bahwa yang

termasuk wali mujbir adalah: ayah, orang yang diwasiati ayah, dan hakim

ketika dibutuhkan, sedangkan orang yang dikategorikan sebagai wali ghoiru

mujbir adalah semua kerabat yang masuk dalam urutan ahli waris as}obah,

kemudian kerabat yang lebih dekat, sebagaimana dalam hal warisan.

Ulama’ Mazhab H}anafiyah mengkategorikan wali secara runtut yaitu:

golongan ayah, golongan anak, golongan saudara, golongan paman, majikan

(40)

31

serta ahli waris orang yang telah memerdekakan budaknya, kemudian

hakim.21

Sedangkan syarat-syarat orang yang menjadi wali adalah:22

a. Sempurnanya kecakapan (Balig, berakal, merdeka). Sehingga tidak sah

perwaliyannya anak kecil orang gila, orang yang idiot, orang yang

mabuk dan juga budak.

b. Persamaan agama antara wali dan orang yang dibawah perwaliannya.

Sehingga perwalian antara orang non Islam terhadap orang Islsm tidak

sah, begitujuga sebaliknya. Pendapat ini disampaikan oleh Ulama’

Mazhab Hanbali dan juga H}anafi. Imam Sha@fi’i@ berpendapa bahwa

orang muslim berhak menjadi wali wanita kafir baik orang yang

dinikahinya kafir atau muslim. Ulama’ Mazhab Ma@liki berpendapat

bahwasanya orang muslim berhak untuk menikahkan wanita yang kafir.

Sedangkan orang yang murtad tidak diperkenankan untuk menjadi wali,

baik bagi orang muslim maupun kafir.

c. Laki-laki. Jumhur Ulama’ kecuali Imam Abu Hanifah sepakat atas

disyaratkannya laki-laki untuk dapat menjadi wali. Menurut Jumhur

tidak sah perkawinan ketika walinya seorang perempuan, karena

seorang perempuan tidak bisa menjadi wali bagi dirinya sendiri terlebih

oang lain. Sedangkan menurut Mazhab H}anafi, laki-laki bukanlah

(41)

32

menjadi syarat dari wali karena ketika seorang perempuan itu telah

balig dan‘A@qil dia berhak untuk menjadi pengganti dari wali.

d. Adil yaitu konsisten dalam beragama diindikasikan dengan

melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan tidak melakukan perbuatan

dosa besar seperti zina, minum minuman keras, durhaka kepada orang

tua dan yang lainnya. Mazhab Sha@fi’i@ dan H}anbali menambahkan

kriteria adil dengan tidak melakukan dosa kecil.

e. Cerdas. Pengertian cerdas menurut ulama’ Mazhab H}anabilah berarti

mengetahui kufu’ dan kemaslahatan nikah bukan hanya tentang cerdas

dalam menjaga barang. Sedangkan menurut ulama’ Mazhab Sha@fi’iyah

cerdas berarti orang yang tidak boros dalam mengelola hartanya.

Cerdas sendiri merupakan syarat bagi kalangan Mazhab Sha@fi;iyah dan

Hanabilah23. Adapun pandai menurut kebanyakan pengikut Mazhab

Ma@liki tidak termasuk dari syarat perwalian. 24 pendapat ini juga

didukung oleh Mazhab H}anafi.

23 Ibid., 6702.

(42)

BAB III

STATUS WALI WA@S}I@@

MENURUT MAZHAB MA@LIKI DAN MAZHAB SHA@FI’I@

A. Status Wali Wa@s}i@ Menurut Mazhab Ma@liki

1. Biografi Imam Ma@lik

Imam Ma@lik bin Anas terlahir di kota Madinah pada tahun 93 H beliau

adalah Ma@lik bin Anas bin Ami@r al-As}ha@bi bin Amru bin Haris} bin Sa’id bin

Auf bin ‘A@di bin Ma@lik bin Yazi@d. Sedangkan ibu beliau bernama ‘A@liyah

binti Shari@k bin Abdurrahman bin Shari@k dari Uzud. Imam Ma@lik sendiri

ada di kandungan ibunya selama dua tahun, ada yang mengatakan tiga

tahun.1

Imam Ma@lik merupakan seorang Imam dari kota Madinah dan Imam

bagi penduduk Hijaz. Beliau merupakan ahli fikih terakhir bagi kota

Madinah. Imam Ma@lik dilahirkan pada masa pemerintahan al-Wa@lid bin

Abdul Ma@lik al-Umawi, dan meninggal pada umur 90 tahun tepatnya pada

masa pemerintahan Haru@n al-Rashi@d di masa pemerintahan Abbasiyyah.

Imam Ma@lik hidup semasa dengan Imam Abu H}ani@fah.2

Meskipun selama hidup Imam Ma@lik selalu di Madinah, beliau

bukanlah asli penduduk kota Madinah. Imam Ma@lik berasal dari kabilah

1 Ali Fikri, kisah-Kisah Para Imam Mazhab, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), 48.

(43)

34

Yama@niah. Leluhur beliau berasal dari daerah Yaman, tetapi setelah kakek

beliau Abu@ Ami@r menganut agama Islam, mereka pindah ke Madinah. Abu@

Ami@r adalah kakek Imam Ma@lik yang pertama kali masuk Islam pada tahun

2 H.3

Imam Ma@lik mengenyam pendidikan di kota Madinah di tengah-tengah

para tabi’i@n, ans}@ar, dan para cendikia serta ahli agama. Sebagai seorang

yang cerdas Imam Ma@lik cepat dalam menerima pelajaran, kuat dalam

berfikir dan menerima pelajaran, istiqa@mah, dan teliti. Dari kecil beliau

belajar membaca al-Qur’an dengan lancar serta menghafalkannya, beliau

juga juga mempelajari sunnah. Setelah dewasa beliau belajar kepada para

ulama fikih di kota Madinah. Guru beliau yang pertama adalah Imam

Abdurrahman bin Harmaz, seorang alim besar di kota Madinah pada masa

itu. Ketika Imam Ma@lik hendak mempelajari ilmu fikih secara komprehensif

beliau belajar pada Rabi@’ah al-Ra’yi, seorang alim besar ahli fikih di

Madinah. Sedangkan pembelajaran tentang hadis beliau belajar kepada

Imam Nafi@’ Maula ibnu Umar. Imam Ma@lik juga belajar kepada Imam Ibnu

Shaibah az-Zuhry@. Selain empat ulama’ tersebut masih banyak guru-guru

Imam Ma@lik yang lain seperti Imam Ibrahim bin Abi@ Ablah, Imam Ja’far bin

Muhammad, Imam Isma@’i@l bin Abi@ Ha@kim .4

3 Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 86.

(44)

35

Imam Ma@lik terkenal sebagai Imam dalam ilmu Hadis. Hadis yang

diriwayatkan oleh beliau selalu memiliki sanad yang kuat, bahkan yang

terkuat di antara para ulama Hadis yang lain. Imam Ma@lik berkata: ‚aku

menulis dengan tanganku sendiri seratus ribu Hadis. Hadis ini adalah ilmu

agama, maka teliti dulu sebelum engkau benar-benar menerima Hadis dari

orang lain‛. Suatu ketika ada tujuh puluh orang yang mengatakan bahwa

mereka telah mendengar Hadis Rasulullah SAW, namun Imam Ma@lik tetap

tidak mengambil satupun Hadis tersebut karena mereka semua bukan

termasuk dari ulama Hadis yang menjaga ucapannya.5

Sejak kecil Imam Ma@lik hidup sebagai orang yang miskin, akan tetapi

sebagai orang yang berbudi luhur beliau tidak pernah merasa kekurangan

lantaran dari kebesaran hatinya yang membuat beliau penuh kepercayaan

kepada Allah SWT bahwa Dialah yang akan mencukupi segala sesuatu yang

menjadi kebutuhannya. Setelah beliau menjadi mufti besar karena keluasan

ilmunya, maka beliau sering menerima hadiah dari orang-orang terkemuka

seperti pemberian dari kepala negara pada masa itu. Pada akhirnya Imam

Ma@lik tidak hanya seorang alim besar dan mufti di kota Madinah, akan

tetapi sebagai hartawan di kota tersebut. Walaupun demikian, harta

kekayaan beliau tidak hanya disimpan sendiri, tetapi dipergunakan untuk

kepentingan umum dan untuk keperluan yang diperintahkan oleh agama

(45)

36

Islam. Seperti membantu pelajar yang menderita atau yang kekurangan

bekal ataupun menolong orang yang sedang mendapatkan cobaan dari Allah

SWT.6

Sebagai ulama yang sangat terkenal di Madinah, beliau membuka

majelis-majelis ilmu pengetahuan terutama ilmu Hadis. Dalam majelis

beliau tidak pernah terjadi perselisihan, keramaian dan perdebatan. Proses

transfer ilmu dilakukan oleh beliau dengan penuh ketenangan dan

kehormatan. Beliau memiliki sekretaris yang selalu menulis ilmu yang

beliau sampaikan dalam majelis ilmu pengetahuan. Imam Ma@lik sangat

dihormati oleh murid-muridnya. Jika salah satu murid ada yang bertanya,

beliau hanya menjawab ya atau tidak, dan tidak ada yang meragukan

jawaban beliau didapat dari sumber mana.7

Murid Imam Ma@lik sangat banyak mulai dari golongan tabi’in yang

secara umur lebih tua hingga ulama yang lebih muda dari beliau. Di antara

nama murid Imam Ma@lik adalah Az-Zuhri@, Rabi@’ah Bin Abdurrah}ma@n, Musa

Bin Uqbah Nafi’ Bin An-Nu’i@m, Muh}ammad Bin ‘Ajlan, Sufyan As-Sawri@,

Laith Bin Sa’id, Sufyan Bin ‘Uyaynah, Abu H}anifah.8

Semasa hidupnya, Imam Ma@lik tidak mau ikut campur dalam hal

politik. Akan tetapi ketika ia diminta untuk memberi fatwa tentang bai’at

6 Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, 91.

(46)

37

yang dilakukan oleh Khalifah secara paksa, beliau berpendapat bahwa baiat

tersebut tidak sah. Kejadian ini berlangsung saat pembaitanan khalifah

Abbasiyah al-Manshu@r, yang menurut kelompok syiah waktu itu bai’at

dilakukan secara paksa. Dengan fatwa Imam Ma@lik tersebut, kelompok

Syi@’ah menjadikannya sebagai alasan pendorong untuk menentang

kekuasaan khalifah. Peristiwa yang terjadi pada tahun 147 H/765 M itu

menyebabkan Imam Ma@lik dituduh sebagai provokator pemberontakan

sehingga beliau ditangkap dan disiksa di dalam penjara. Saat musim haji

tiba, khalifah al-Manshu@r yang saat itu mengunjungi kota Madinah

membebaskan beliau dan meminta maaf atas perlakuan petugas yang ada di

Madinah. Pada saat itu pula khalifah meminta Imam Ma@lik untuk

mengumpulkan Hadis Rasulullah SAW supaya dapat dijadikan pegangan

bagi umat Islam. Akhirnya terciptalah kitab Hadis Imam Ma@lik yang

terkenal saat ini, yakni al-Muwatta’ atas perintah khalifah al-Manshu@r.9

Para pengikut Imam Ma@lik mempunyai peran yang besar dalam

mengembangkan ajaran Imam Ma@lik, yang kemudian biasa disebut Mazhab

Ma@liki. Di antara murid-muridnya yang besar peranannya dalam

mengembangkan Mazhab ini adalah Abu Muhammad Abdullah bin Wahha@b

bin Muslim dan Abdurrahma@n bin Ka@sim. Melalui kedua tokoh inilah

Mazhab Maliki berkembang ke berbagai negeri terutama Mesir. Seperti

(47)

38

yang dijelaskan Manna@’ al-Qatta@n, Mazhab Ma@liki pernah menjadi Mazhab

utama di Hijaz, seperti di Mekah, Madinah, Basra, Mesir, Andalusia,

Maroko, dan Sudan. 10

Imam Ma@lik dalam menggali hukum menggunakan metode

sebagaimana Imam-Imam da@r al Hijrah, yaitu berdasar pada al-Qur’an

sebagai acuan utama, ketika tidak ditemukan hukum dalam al-Qur’an maka

menggunakan hadis sebagai rujukan kedua, termasuk dalam kategori sunnah

menurut Imam Ma@lik adalah hadis-hadis Rasul, fatwa sahabat, dan juga

amal ahli Madinah, setelah sunnah metode yang dipakai adalah qiyas,

maslahah, sad ad dzarai’, urf dan adat.11

Dari beberapa data yang telah penulis kumpulkan tentang biografi

Imam Malik, dapat disimpulkan bahwa Imam Malik adalah tokoh yang

cinta pada ilmu pengetahuan, beliau sudah mempelajari al-Qur’an dan hadis

dari kecil. Kondisi ekonomi pada saat dia belajar keilmuan tidak menjadi

alasan untuk selalu menggali ilmu dari guru-gurunya. Beliau dikenal sebagai

ahli hadis}. Murid beliau sangat banyak dan masyhur seperti Imam Sha@fi’i.

Imam Ma@lik dalam menggali hukum menggunakan metode

sebagaimana Imam-Imam da@r al Hijrah, yaitu berdasar pada al-Qur’an

sebagai acuan utama, ketika tidak ditemukan hukum dalam al-Qur’an maka

menggunakan hadis sebagai rujukan kedua, termasuk dalam kategori sunnah

(48)

39

menurut Imam Ma@lik adalah hadis-hadis Rasul, fatwa sahabat, dan juga

amal ahli Madinah, setelah sunnah metode yang dipakai adalah qiyas,

maslahah, sad ad dzarai’, urf dan adat.12 Secara lebih jelasnya terkait

dengan metode istinba@t} hukumnya Imam Ma@lik adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an

Seperti halnya Imam Mazhab-Mazhab yang lain, Imam Ma@lik lebih

mengutamakan Al-Qur’an dibanding sumber hukum yang lain.

Perbedaan yang terjadi hanyalah dalam hal penafsiran ayat yang

berkaitan dengan hukum.13

b. Al-Hadis

Kedudukan Hadis yang shahih berada setelah Al-Qur’an dalam

fungsinya sebagai istinba@t} hukum. Termasuk Hadis yang dipakai oleh

Imam Ma@lik adalah Hadis ahad dan atsar sahabat yang sah meskipun

tidak masyhur. Namun kedudukan Hadis ahad dan atsar sahabat masih

di bawah perbuatan penduduk Madinah dan ijma para Ulama’14

c. Ijma’

Ijma’ ulama Madinah dianggap lebih tinggi kedudukannya dari

pada Hadis ahad karena secara kuantitas ijma’ ulama lebih banyak dan

sebagai ulama pasti apa yang mereka sepakati adalah suatu hal yang

12 Muhammad Abu@ Zahrah, Ta@rikh al Madza@hib al-fiqhiyyah, (Kairo: Matba’ah al Madanni), 231. 13 Ibid.,

(49)

40

lebih mendekati kebenaran disbanding Hadis ahad yang hanya

diriwayatkan oleh seorang saja.

d. Amal ahli Madinah

Imam Ma@lik menjadikan amal ahli Madinah sebagai hujjah dengan

syarat kebiasaan tersebut diadopsi dari zaman nabi. Imam Ma@lik lebih

mengedepankan kebiasaan penduduk Madinah daripada hadis ahad. hal

ini disandarkan kepada gurunya Imam Ma@lik yaitu Rabi@ah bin

Abdurrahman yang menyatakan ‚ seribu orang dari seribu orang lebih

baik daripada satu orang dari satu orang‛. Akan tetapi banyak ahli

Fikih yang berbeda pendapat dengan pendapatnya Imam Ma@lik ini,

yangmana tidak menjadikan kebiasaan penduduk Madinah sebagai

hujjah.15

e. Fatwa Sahabat

Istilah ini dalam kitab ushul fiqh biasa dikenal dengan Qaul

as-Shahabi@. Sahabat adalah orang yang bertemu langsung dengan

Rasulullah dan belajar Al-Qur’an serta hukum-hukum yang berada di

dalam Al-Qur’an. Sahabat memiliki keistimewaan dalam keilmuan

dibanding generasi setelahnya. Imam Ma@lik lebih mengutamakan

(50)

41

perkataan sahabat daripada menggunakan qiyas sebagai istinba@t}

hukum.16

f. Qiyas, Maslahah Mursalah, Istihsan

Dalam menggali sebuah hukum, Imam Ma@lik juga menggunakan

qiyas. Qiyas yang dimaksud oleh Imam Ma@lik adalah menyamakan

perkara yang sudah ada ketetapannya dalam nash dengan perkara lain

yang hukumnya tidak diatur dalam nash, karena persamaanya dalam

sifat yang merupakan illat hukmi. 17

Maslahah mursalah adalah prinsip yang mengutamakan

kemaslahatan umum secara mutlak dalam mengambil istinba@t} hukum.

Hal ini dapat dilakukan jika berbagai macam dalil dan jalan istinba@t}

sebelumnya

Referensi

Dokumen terkait

Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu kami dalam keterlibatan dengan hati penuh keiklasan sehingga laporan Pengabdian pada Masyarakat

Sedangkan pada debit desiccant yang tinggi proses penurunan kelembaban udara juga semakin besar yang dikarenakan massa alir yang besar dari desiccant sehingga desiccant

Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa varietas tertentu dapat berpengaruh terhadaptinggi tanaman dan jumlah cabang primer.Tinggi tanaman pada varietas Hypoma 2 lebih

Data dalam penelitian ini berupa data kuantitatif. Data tersebut diperoleh dari sumber primer dan sumber sekunder. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari hasil

Walaupun demikian kadar Fe tubuh buah JTT jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan Fe tubuh buah JTB yaitu 49,08 ppm untuk tubuh buah yang dihasilkan pada

Adapun perbedaannya adalah bahwa perencanaan pembelajaran di KB Cerdas dengan mengembangkan program-program kegiatan selama setahun untuk memenuhi target pencapaian

dismenore dengan istirahat atau tidur merupakan salah satu upaya yang banyak dilakukan dalam menghadapi dismenore pada remaja putri di Pondok Pesantren Darusslaam

Menurut Sudjana (2013), analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi unsur-unsur yang jelas susunannya. Analisis merupakan kecakapan yang kompleks