i
PENGEMBANGAN KULTUR SEKOLAH DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 1 SLEMAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Yasmi Puji Lestari NIM 11110244042
PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
v MOTTO
vi
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan YME yang telah memberikan nikmat dan anugerah-Nya, karya ini saya persembahkan untuk :
1. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Mardi Prayitno dan Ibu Tukiyem yang selalu mencurahkan kasih sayang, cinta, dukungan, do’a serta pengorbanannya baik moral, spiritual maupun material
vii
PENGEMBANGAN KULTUR SEKOLAH DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 1 SLEMAN
Oleh
Yasmi Puji Lestari NIM 11110244042
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kultur sekolah yang ada di SMP Negeri 1 Sleman. Penelitian ini difokuskan untuk menggali dan menggambarkan tentang kultur fisik dan non fisik, serta nilai-nilai dan keyakinan yang di budayakan sehingga menjadi kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Subjek dalam penelitian ini meliputi pelaksana teknis kepala sekolah, 3 guru, 1 karyawan, dan 3 siswa dengan objek pengembangan kultur sekolah. Setting penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Sleman. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan studi dokumen. Analisis data menggunakan model interaktif Miles dan Hubberman, yakni dengan tahap pengumpulan data, reduksi data, display data, dan verifikasi data. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa program sekolah dalam
mengembangkan kultur di SMP Negeri 1 Sleman sebagai berikut. (1) Penanaman budaya bersih dengan dibentuknya regu piket, Jumat bersih serta tumitlangkung. (2) Penanaman budaya berprestasi dengan adanya sarapan pagi, classmeeting dan pemberian reward. (3) Penanaman budaya religius dengan sholat berjamaah, tadarus setiap hari Jumat dan pendalaman iman untuk siswa non muslim, serta pengajian rutin sekolah. (4) Penanaman budaya disiplin dengan pembuatan tata tertib sekolah dan pemberian sanksi tegas bagi yang melanggar. (5) Penanaman budaya kerjasama siswa dengan pembentukan kelompok pengerjaan tugas, dan outbound. (6) Penanaman budaya sopan santun dengan penerapan senyum, salam, sapa, sopan, santun dan salaman pagi di pintu masuk sekolah. (7) Penanaman budaya tanggung jawab pembentukan kelompok kerja siswa dan pembagian wilayah sekolah yang sedang dalam upaya realisasi. (8) Menanamkan minat membaca dengan wajib baca selama 15 menit sebelum pembelajaran dimulai.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis masih diberikan kesempatan, kekuatan, kesabaran, serta kemampuan untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Pengembangan Kultur Sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Sleman” dengan baik dan lancar. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh gelar sarjana pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta.
Proses penulisan skirpsi ini tentunya tidak akan terwujud dengan baik dan lancar tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan izin dan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Kebijakan Pendidikan, yang telah memberi kelancaran dalam pembuatan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
rela meluangkan waktu, tenaga, pikiran, serta perhatiannya untuk membimbing, menuntun, dan memberi masukan-masukan yang baik selama proses penulisan skripsi ini.
4. Drs. Murtamadji, M.Si selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan akademik dari awal sampai akhir proses studi.
5. Dosen Penguji yang telah bersedia menguji dan meluangkan waktu untuk memberikan arahan,dan bimbingan pada penulis.
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta yang mau berbagi dan mengajarkan ilmu pengetahuannya.
ix
8. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Mardi Prayitno dan Ibu Tukiyem serta kedua kakak dan adik saya yang telah memberikan semangat, do’a dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
9. Sahabatku tersayang (Tri Angga Dewi, Annisa Fauziah Septiani, Setiawan Dwi Cahya Nugraha, Trika, Laskar, Osa, Erda, Rahma, Hapsari, Dyah, Endah, Ryna, Novi, Rinto) yang telah memberikan semangat, do’a, dukungan, dan kasih sayang.
10. Teman-teman Kebijakan Pendidikan angkatan 2011 yang telah menjadi teman berjuang selama kuliah.
11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan sehingga dapat memperlancar proses penyusunan skripsi.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan informasi terkait kultur sekolah. Penulis juga berharap semoga skripsi ini juga memberikan kontribusi nyata dalam membangun bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Segala bentuk kritik dan saran senantiasa penulis
harapkan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Yogyakarta, 14 Maret 2017 Penulis,
x DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ...………...
HALAMAN PERSETUJUAN ...…..………...
HALAMAN PERNYATAAN …...………... HALAMAN PENGESAHAN ...
HALAMAN MOTTO ...
HALAMAN PERSEMBAHAN ...
ABSTRAK ...
KATA PENGANTAR ...
DAFTAR ISI ...
DAFTAR TABEL ...
DAFTAR BAGAN ...
DAFTAR GAMBAR ...
DAFTAR LAMPIRAN ...
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah ...
B.Identifikasi Masalah ...
C.Batasan Masalah ...
D.Rumusan Masalah ...
E. Tujuan Penelitian ...
F. Manfaat Penelitian ...
BAB II KAJIAN TEORI
A.Deskripsi Teori ...
1. Pengertian Kultur ...
2. Pengertian Sekolah ...
3. Pengertian Kultur Sekolah ...
4. Karakteristik Kultur Sekolah ...
xi
6. Fungsi dan Peran Kultur Sekolah ...
7. Pengembangan Kultur Sekolah ...
B.Penilitian Yang Relevan ...
C.Kerangka Pikir ...
D.Pertanyaan Penelitian ...
BAB III METODE PENELITIAN
A.Pendekatan Penelitian ...
B.Setting Penelitian ...
C.Subjek dan Objek Penelitian ...
D.Teknik Pengumpulan Data ...
E. Instrumen Penelitian ...
F. Keabsahan Data ...
G.Teknik Analisis Data ...
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.Deskripsi Lokasi Penelitian ...
1. Setting Penelitian ...
a. Sejarah Sekolah ...
b. Visi dan Misi Sekolah ...
c. Tujuan Sekolah ...
d. Pedoman Sekolah ...
e. Keadaan Sumber Daya yang Dimiliki ...
f. Struktur Organisasi ...
2. Gambaran Kultur Sekolah di SMP Negeri 1 Sleman ...
a. Kultur Fisik SMP Negeri 1 Sleman ...
b. Kultur Non Fisik SMP Negeri 1 Sleman ...
1) Budaya Bersih ...
2) Budaya Berprestasi ...
3) Budaya Religius ...
4) Budaya Disiplin ...
5) Budaya Kerjasama ...
xii
7) Budaya Tanggung Jawab ...
8) Minat Membaca ...
9) Ekstrakurikuler ...
B.Pembahasan ...
1. Gambaran Kultur Sekolah di SMP Negeri 1 Sleman ...
2. Implementasi Program Sekolah dalam Pengembangan Kultur Sekolah .
3. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Program
Pengembangan ... C.Keterbatasan Penelitian ...
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan ...
B.Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ... 94
98
100
101
101
119
112 114
115
117
119
xiii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Fokus Pedoman Observasi ...………
Tabel 2. Fokus Pedoman Wawancara ...…..………..
Tabel 3. Fokus Pedoman Studi Dokumen …...………
Tabel 4. Identitas Sekolah ... 43
44
44
xiv
DAFTAR BAGAN
hal
xv DAFTAR GAMBAR hal Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23. Gambar 24. Gambar 25. Gambar 26. Gambar 27. Gambar 28.
Lapisan Kultur Sekolah ...
Analisis Data Interactive Model Miles dan Huberman ...
Struktur Organisasi ...
Slogan Kebersihan yang Dipajang di Lobi ...
Tempat Sampah Dibedakan Menjadi 3 Jenis ...
Piala Hasil Kejuaraan Siswa ...
Slogan Untuk Melaksanakan Sholat ...
Buku Saku Siswa ...
Skor Pelanggaran dalam Buku Saku ...
Siswa Sedang Melakukan Diskusi Kelompok ...
Siswa Hendak Bersalaman dengan Guru ...
Pengerjaan Tugas Kelompok ...
Grafik Peningkatan ...
Halaman Sekolah ...
Taman Sekolah ...
Jalan Masuk Sekolah ...
Lobi Sekolah ...
Ruang TU ...
Ruang Guru ...
Perpustakaan ...
Laboratorium Biologi ...
Ruang Kelas ...
Aula ...
Kantin Sekolah ...
Parkir Motor Guru ...
Kondisi Toilet ...
Kondisi Prasarana Pendukung Lain ...
Interaksi Warga Sekolah ...
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Catatan Lapangan ………... 123
Lampiran 2. Dokumentasi ...…....………... 128
Lampiran 3. Pedoman Wawancara ……...………... 134
Lampiran 4. Transkrip Wawancara………...…... 142
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang, melalui pendidikan potensi seseorang dapat berkembang dan menjadi manusia yang
berkualitas. Pendidikan menjadi salah satu alternatif pemerintah untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan yang terjadi di kehidupan sosial. Seperti yang disampaikan Peter W. Cookson dan Barbara Schneider (dalam Arif
Rohman, 2010: 2) “Education as the primary mechanism for redressing the problem of social life”. Penanaman moral dan berbagai pengetahuan disampaikan
demi mempersiapkan masyarakat yang unggul sehingga dapat menghadapi perubahan zaman yang begitu pesat.
Masalah akan bermunculan seiring dengan berjalannya waktu dan tentu
saja semakin lama masalah yang ada menjadi semakin kompleks sehingga dibutuhkan sumber daya yang unggul untuk dapat memecahkan berbagai masalah yang ada. Selain permasalahan sosial yang terjadi, terdapat banyak permasalahan
pendidikan yang sampai saat ini belum dapat dituntaskan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain rendahnya mutu pendidikan, kurangnya
pemerataan pendidikan, minimnya sarana prasarana pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, serta kinerja guru yang harus senantiasa diperbaharui.
Upaya yang dilakukan demi perbaikan mutu pendidikan tentu saja dapat
2
baik. Sekolah sebagai salah satu lembaga penyelenggara pendidikan tentu saja
harus memiliki mutu yang baik sehingga dapat membentuk masyarakat yang baik pula. Perbaikan mutu sekolah selama ini telah dilakukan dengan berbagai cara,
salah satunya adalah dengan pengembangan kultur sekolah.
Kultur sekolah atau yang sering juga dipahami sebagai budaya sekolah
merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh sekelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai, yang tercermin dalam bentuk fisik maupun abstrak. Oleh sebab itu kultur secara alami akan diwariskan oleh
satu generasi ke generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut
(Ariefa Efianingrum, 2009: 21).
Perbaikan mutu sekolah melalui kultur sekolah disampaikan oleh Rudi Prihantoro (2010: 149) Penerapan strategi struktural telah sering digunakan
namun hasilnya belum mencapai seperti apa yang diharapkan. Berbagai program seperti penataan manajemen sekolah, pelatihan kepala sekolah, pelatihan para guru, penambahan fasilitas belajar telah dilakukan namun hasilnya tidak banyak
membawa perubahan. Berdasarkan pengalaman yang cukup panjang itulah cara tersebut dipahami kurang efektif karena tidak terjadi peningkatan kualitas yang
berkelanjutan. Berbagai pengalaman dan hasil penelitian di dunia bisnis dan pendidikan memberikan tanda bahwa kultur unit-unit pelaksanaan kegiatan menjadi faktor penentu dalam meningkatkan kualitas.
3
menjelaskan bagaimana sekolah berfungsi dan seperti apakah mekanisme internal
yang terjadi. Siswa masuk ke sekolah dengan bekal kultur yang mereka miliki, sebagian bersifat positif yaitu mendukung peningkatan kualitas pembelajaran.
Namun, ada pula yang negatif, yaitu yang menghambat usaha peningkatan kualitas pembelajaran. Sekolah harus terus berusaha memperkuat kultur yang
positif dan menghilangkan kultur negatif.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Selviyanti Kaawoan (2014: 44) peran kultur di sekolah akan sangat mempengaruhi perubahan sikap maupun
perubahan perilaku dari warga sekolah. Kultur sekolah yang positif akan menciptakan suasana yang kondusif bagi tercapainya visi dan misi sekolah,
demikian juga sebaliknya kultur yang negatif akan membuat pencapaian visi dan misi sekolah mengalami banyak kendala.
Kultur suatu sekolah akan memberikan pengaruh yang besar terhadap
kualitas dan mutu sekolah. Kultur sekolah yang baik secara tidak langsung akan berpengaruh kepada pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang berimbas kepada kualitas dan mutu sekolah, begitu juga sebaliknya kultur sekolah yang buruk akan
membawa dampak buruk pula terhadap kualitas dan mutu sekolah. Namun begitu belum semua sekolah paham dan menyadari fungsi dan peran kultur sekolah
tersebut.
Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan rentang usia 13-15 tahun merupakan keadaan dimana siswa mengalami masa peralihan dari masa
4
perubahan emosional yang terjadi pada siswa SMP ini biasanya siswa mulai
terlibat dalam lingkungan sosial yang lebih luas dan mulai melakukan pelanggaran aturan. Seperti yang disampaikan oleh Annastasia Ediati (2015: 197)
secara umum, remaja SMP memiliki lebih banyak problem emosi daripada remaja Sekolah Menengah Atas (SMA), terutama dalam hal bergaul, berpikir, keluhan
somatik, dan melanggar aturan. Disamping itu, remaja SMP lebih sering mengalami externalizing problem dari pada remaja SMA.
Dari hasil observasi awal, SMP Negeri 1 Sleman merupakan salah satu
sekolah yang berada di kecamatan Sleman. Sekolah ini memiliki suasana pendukung berjalannya proses belajar mengajar yang cukup mumpuni karena
dekat dengan akses jalan besar. Dari segi fasilitas pun SMP Negeri 1 Sleman ini sudah cukup lengkap, salah satunya dapat terlihat dengan luasnya lahan yang dimiliki oleh sekolah dan fasilitas pendukung lain yang ada di dalamnya sehingga
kultur sekolah dapat dikembangkan secara maksimal di sekolah ini.
Kultur sekolah yang ada di sekolah tersebut telah memilki peranan yang penting dalam membangun prestasi dan citra sekolah. SMP Negeri 1 Sleman
merupakan salah satu sekolah yang menjadi pilihan favorit masyarakat. Berbagai prestasi telah diraih oleh SMP Negeri 1 Sleman, salah satunya menjadi sekolah
yang memiliki nilai ujian nasional tertinggi di kecamatan Sleman pada tahun 2015 serta lomba-lomba lain seperti lomba Karya Ilmiah Remaja (KIR) dan lomba Pleton Inti atau Tonti. SMP Negeri 1 Sleman merupakan sekolah menengah
5
melanjutkan ke sekolah-sekolah favorit baik di kota Jogja maupun di kabupaten
Sleman dan sekolah senantiasa berupaya semaksimal mungkin agar siswa tidak terlibat kedalam gengster ataupun kegiatan lain seperti tawuran dan klitih. Dengan citra baik yang telah dimiliki SMP Negeri 1 Sleman di masyarakat sekitar menjadi salah satu alasan peneliti untuk melakukan penelitian di SMP Negeri 1
Sleman.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas terdapat beberapa masalah yang teridentifikasi sebagai berikut:
1. Masih terdapat sekolah yang belum paham bahwa kultur sekolah akan mempengaruhi kinerja sekolah.
2. Masih terdapat sekolah yang memiliki kultur negatif yang berpengaruh pada
kinerja dan kualitas sekolah.
3. Siswa SMP dalam masa peralihan remaja rentan melakukan pelanggaran dan terlibat gengster.
4. Sudah cukup banyak sekolah yang memiliki kultur sekolah yang baik, tetapi belum terinformasikan kepada masyarakat luas.
C. Batasan Masalah
Sesuai dengan identifikasi masalah di atas, maka peneliti perlu membatasi
6
luasnya permasalahan dalam penelitian ini, maka perlu dibatasi cakupan masalah
agar dalam pembahasan nanti menjadi lebih terfokus, mendalam, dan mencapai sasaran yang dikehendaki. Dengan demikian, penelitian dibatasi pada kultur
sekolah yang ada di SMP Negeri 1 Sleman.
D. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman?
2. Bagaimana pelaksanaan program pengembangan sekolah yang mendukung terciptanya kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan kultur sekolah yang ada di SMP Negeri 1 Sleman.
2. Mendeskripsikan pelaksanaan program pegembangan sekolah yang
mendukung terciptanya kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi data dan kepustakaan mengenai pengembangan kultur sekolah, terutama yang
7
a. Bagi Dinas Pendidikan, penelitian ini dapat memberikan informasi tentang
pengembangan kultur sekolah yang positif untuk meningkatan kualitas pendidikan dan kinerja sekolah.
b. Bagi Sekolah, penelitian ini dapat memberikan masukan informasi tentang kultur sekolah yang teridentifikasi oleh peneliti sehingga dapat dijadikan
8 BAB II KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori 1. Pengertian Kultur
Pengertian budaya menurut Antropologi (Koentjaraningrat, 2003: 72)
merupakan seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar. Selanjutnya menurut bahasa Sansekerta budaya atau yang disebut
Buddhayah, merupakan bentuk jamak dari Budhi (akal).
Menurut Zamroni (2000: 148) kultur merupakan suatu pandangan hidup
yang diakui bersama oleh sekelompok masyarakat, yang meliputi cara berpikir, perilaku, sikap, ataupun nilai yang tercermin baik secara fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat terlihat sebagai perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara
hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan serta cara memandang sebuah permasalahan dan solusinya. Oleh karena itu, secara alami kultur akan diwariskan oleh satu generasi ke generasi berikutnya. Sekolah menjadi salah satu
lembaga utama yang dipersiapkan untuk memperlancar proses penyebaran kultural antar generasi tersebut.
Selanjutnya berbagai pengertian mengenai kultur muncul diantaranya menurut Diana Febriana (2008: 13) sebagai berikut.
9
penyesuaian dengan lingkungan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya.”
Menurut Stolp dalam Srinatun (2011: 63) definisi budaya sekolah belumlah diperoleh sebuah kesatuan pandangan. Terminologi budaya sekolah masih di samakan dengan “iklim atau ethos”. Konsep budaya sekolah masuk ke
dalam dunia pendidikan pada dasarnya sebagai salah satu upaya untuk memberikan arah tentang efisiensi dalam lingkungan pembelajaran, lingkungan
dalam hal ini dibedakan menjadi dua hal yaitu lingkungan yang sifatnya alami sesuai dengan budaya siswa dan guru, serta lingkungan buatan yang dibentuk oleh guru atau hasil interaksi antara guru dengan siswa.
Ary H Gunawan (2000: 17-18) membagi kultur menjadi 2 bagian, yaitu Kultur/ Kebudayaan Material (Kebendaan) dan Kultur/ Kebudayaan Nonmaterial
(Rohaniah)
a. Kultur/ Kebudayaan Material (Kebendaan)
Kebudayaan material (material culture) merupakan wujud kebudayaan
yang berupa benda-benda konkret hasil karya manusia seperti rumah, mobil, candi, jam, benda hasil teknologi, dan lain sebagainya. Dengan begitu, dapat
diartikan bahwa budaya material merupakan hasil ciptaan manusia yang berupa benda-benda yang dapat secara langsung kita gunakan.
b. Kultur/ Kebudayaan Nonmaterial (Rohaniah)
10
1) Hasil cipta manusia, seperti filsafat dan ilmu pengetahuan, baik yang
berupa teori murni maupun yang telah disusun untuk diamalkan dalam kehidupan masyarakat (pure science dan applied science).
2) Hasil rasa manusia, dapat berupa nilai-nilai dan bermacam-macam norma kemasyarakatan yang perlu diciptakan untuk mengatur permasalahan
sosial dalam arti luas, yang mencakup agama (religi, bukan wahyu), ideologi, kebatinan, kesenian, serta semua unsur yang merupakan hasil dari ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Kultur atau budaya non material merupakan hasil cipta manusia yang hanya dapat kita rasakan manfaatnya namun tidak berwujud dalam sebuah benda.
Sehingga, jika disimpulkan dari pengertian kedua jenis kebudayaan diatas, dapat diketahui bahwa budaya merupakan berbagai macam hasil cipta manusia yang dapat berupa benda maupun tidak.
Berdasarkan beberapa pengertian kultur di atas maka dapat disimpulkan bahwa kultur merupakan sekumpulan keyakinan yang diperoleh masyarakat dari kehidupan bermasyarakat yang didalamnya berisi aspek-aspek penting untuk
kehidupan bermasyarakat seperti norma, moral, adat-istiadat, sikap, dan kepercayaan yang tercermin baik berupa abstrak ataupun fisik yang kemudian
diwariskan secara turun-temurun.
2. Pengertian Sekolah
Sekolah menurut Ariefa Efianingrum (2009: 21) adalah suatu sistem yang
11
tidak pernah sama sekali menyentuh aspek kultur sekolah. Tugas sekolah selama
ini adalah mendidik anak dengan menyampaikan pengetahuan, sikap, keterampilan yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku dengan metode dan
teknik kontrol yang berlaku di sekolah tersebut. Dalam pelaksanaan kurikulum maupun ekstra kurikulum berkembanglah sejumlah pola khas yang menjadikan
pembeda dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat. Norma dalam hal ini adalah bentuk perilaku yang diharapkan dari anggota, di dalam sekolah adalah bentuk perilaku dari siswa terhadap guru mereka. Walaupun unsur-unsur
kebudayaan dimiliki oleh setiap sekolah, namun setiap sekolah tidak akan memiliki kebudayaan yang sama persis dengan sekolah lainnya.
Selanjutnya menurut Wahjosumidjo (2011: 136) terdapat beberapa definisi sekolah, antara lain:
a. Sekolah sebagai birokrasi, dimana birokrasi merupakan salah satu bentuk dari
organisasi. Sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat kelompok-kelompok manusia yang masing-masing baik secara individual maupun kelompok melakukan hubungan kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu.
Kelompok-kelompok yang dimaksud tersebut antara lain adalah sumber daya manusia yang terdiri dari: Kepala sekolah, guru-guru, tenaga administrasi/ staf, kelompok
peserta didik atau siswa, dan orang tua. Tujuan yang ingin dicapai yaitu tujuan pendidikan seperti yang telah dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, TAP MPR/GBHN, Undang-Undang Nomor 2 tentang Sistem
12
b. Sekolah sebagai sistem sosial, adalah organisasi yang dinamis dan yang
mampu berkomunikasi secara aktif. Sebagai sistem sosial, di dalam sekolah melibatkan dua orang atau lebih yang saling berkomunikasi untuk mencapai
tujuan tertentu. Beberapa hal yang menarik tentang sekolah sebagai sistem sosial adalah dimensi-dimensi yang terdapat di dalam sekolah tersebut, semangat, dan
konflik yang terjadi di dalam organisasi itu sendiri.
c. Sekolah sebagai sistem terbuka, karena di dalam sekolah berkumpul manusia yang saling berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan begitu sekolah terbuka
untuk memperoleh input dan selanjutnya di transformasikan sebagai produksi. d. Informalitas dalam kehidupan sekolah, selain menjadi organisasi formal/
birokrasi, sebagai sistem sosial dan sistem terbuka, sekolah juga memiliki kehidupan informalitas di dalamnya. Guru-guru, tenaga administrasi, para siswa, di dalam pergaulan mereka satu dengan yang lainnya membangun suatu
hubungan-hubungan pribadi. Mereka saling berusaha untuk menerima norma tingkah laku tertentu serta pola-pola berpikir yang biasa dilakukan. Mereka berkumpul dalam sebuah kelompok informal tetapi tetap dalam kerangka formal
sekolah.
e. Sekolah sebagai agen perubahan, dapat didefinisikan sebagai seseorang atau
sekelompok orang yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan perubahan dalam pola perilaku seseorang atau sistem sosial. Dengan begitu sekolah sebagai agen perubahan harus senantiasa siap untuk berperan aktif dalam melaksanakan
13
dalam rangka pemecahan permasalahan yang memiliki tujuan untuk kondisi dan
keadaan yang lebih baik lagi.
f. Sekolah sebagai wawasan Wiyatamandala. Secara konseptual, wawasan
wiyatamandala merupakan suatu paham, pandangan, atau tinjauan, yang menempatkan sekolah sebagai suatu lingkungan pendidikan, dalam pengertian
tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar, masyarakat belajar, tempat proses pembudayaan manusia yang bebas dari pengaruh yang sifatnya buruk, baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
Wawasan wiyatamandala itu sendiri mengandung lima unsur pokok yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga wawasan wiyatamandala
merupakan satu totalitas, satu kesatuan yang utuh, atau bisa disebut satu sistem. Oleh karena itu pelaksanaan wawasan wiyatamandala pada hakikatnya merupakan kegiatan bagaimana kelima unsur yang ada mendukung fungsi dan tujuan
pendidikan. Kelima unsur pokok tersebut antara lain adalah: a. sekolah sebagai lingkungan pendidikan,
b. peranan kepala sekolah,
c. hubungan antara guru dengan orangtua siswa,
d. sikap warga sekolah terhadap martabat dan citra guru, serta
e. hubungan antara sekolah dengan masyarakat.
Roemintoyo (2013: 132) menyampaikan bahwa sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat terhadap mutu
14
sekolah harus memahami kultur atau budaya sekolah yang terdapat di sekolah
yang dipimpinnya. Kultur sekolah ini sangat erat kaitannya dengan misi yang dimiliki oleh kepala sekolah tentang masa depan sekolah yang dipimpin olehnya.
Kepala sekolah yang memiliki visi untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam upayanya membangun sekolah. Oleh karena itu
kepala sekolah harus memiliki budaya kerja atau disiplin kerja yang baik pula. Berdasarkan berbagai pengertian sekolah yang telah disampaikan, dapat dipahami bahwa sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk
kepribadian generasi penerus bangsa. Di sekolah berlangsung proses penanaman nilai-nilai dan moral yang dibutuhkan siswa untuk bekal masa depan dalam
menghadapi tantangan zaman. Berbagai kegiatan yang dilakukan di sekolah pada dasarnya memiliki tujuan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah menjadi cita-cita bangsa dari generasi ke generasi. Oleh karena itulah keberadaan sekolah
menjadi sangat penting mengingat segala kegiatan yang dilaksanakan di sekolah memiliki tujuan yang luhur untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah diciptakan.
3. Pengertian Kultur Sekolah
Definisi kultur sekolah telah banyak diungkapkan oleh para ahli, sehingga
terdapat sejumlah pengertian tentang kultur sekolah, antara lain yang dikemukakan oleh Deal dan Kennedy dalam Yunia Nur Aini (2013: 12) bahwa kultur sekolah merupakan keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi
15
kultur dengan satu kultur dominan dan sejumlah kultur yang lain sebagai
pendukung.
Dalam Kemdiknas (2011: 68) kultur atau budaya sekolah merupakan
suasana kehidupan sekolah dimana warga masyarakat sekolah saling berinteraksi. Interaksi yang berlangsung tersebut meliputi antara peserta didik berinteraksi
dengan sesama peserta didik, kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan siswa, konselor dengan siswa dan sesamanya. Interaksi yang terjadi terikat dengan berbagai aturan, norma, moral, serta etika bersama yang berlaku di
sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, tanggung jawab, serta
rasa memiliki merupakan sebagian dari nilai-nilai yang dikembangkan didalam budaya sekolah.
Kultur atau budaya sekolah merupakan sistem di belakang layar yang
menunjukkan kebiasaan, norma, keyakinan, serta nilai yang sudah dibangun dalam waktu yang cukup lama oleh semua warga sekolah. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa budaya sekolah adalah kehidupan di sekolah berlangsung
yang terikat dengan adanya nilai dan norma yang ada di sekolah tersebut sehingga menjadi pembeda dengan sekolah lain.
16
sekolah menjadi komitmen luas sekolah, menjadi jati diri sekolah, menjadi kepribadian sekolah dan didukung oleh stakeholder-nya.”
Menurut Harun dan Mansur (2008: 31) kultur sekolah didefinisikan
sebagai pola transmisi historis tentang arti dan norma, nilai, kepercayaan, seremonial, ritual, tradisi, pemahaman, mitos yang dirasakan oleh anggota
komunitas sekolah. Sedangkan arti nilai dimaknakan sebagai apa yang orang pikirkan dan bagaimana mereka bertindak.
Menurut Hedley Beare dalam Srinatun (2011: 64) unsur-unsur budaya
sekolah terdiri dari dua kategori, yaitu unsur kasat mata dan unsur yang tidak kasat mata. Unsur kasat mata memiliki makna jika mencerminkan apa yang tidak
kasat mata. Unsur yang tidak kasat mata itu adalah filsafat atau pandangan dasar sekolah mengenai kenyataan yang luas, makna kehidupan atau sesuatu yang di anggap penting dan harus diperjuangkan oleh sekolah dan harus dinyatakan secara
konseptual dalam suatu rumusan visi, misi, tujuan, dan sasaran yang lebih konkrit yang akan dicapai oleh sekolah. Selanjutnya unsur kasat mata dapat di aktualisasikan secara konseptual yang meliputi:
a. visi, misi, tujuan, dan sasaran, b. kurikulum,
c. bahasa komunikasi, d. narasi sekolah, e. narasi tokoh-tokoh,
17 h. upacara,
i. prosedur belajar mengajar,
j. peraturan sistem ganjaran/ hukuman,
k. layanan psikologi sosial, dan
l. pola interaksi sekolah dengan orang tua, masyarakat dan yang materiil dapat
berupa fasilitas serta peralatan, artifak, tanda kenangan, dan pakaian seragam. Selanjutnya menurut Vembriarto dalam Ariefa Efianingrum (2009: 17) kebudayaan sekolah memiliki unsur-unsur peting, diantaranya adalah:
a. Letak, lingkungan, serta prasarana fisik sekolah,
b. Kurikulum sekolah yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta yang
menjadi keseluruhan program pendidikan,
c. Pribadi-pribadi atau warga sekolah yang terdiri dari siswa, guru non teaching spesialist, dan tenaga administrasi,
d. Nilai-nilai moral, sistem peraturan, serta iklim kehidupan sekolah.
Setiap sekolah memiliki kebudayaannya sendiri yang bersifat unik. Setiap sekolah memiliki aturan tata tertib, kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, mars/ hymne sekolah, pakaian seragam dan lambang lain yang memberikan ciri khas terhadap sekolah yang bersangkutan.
Menurut Mardapi dalam Farida Hanum (2008: 7) analisis kultur sekolah harus dilihat sebagai satu bagian dari kesatuan sekolah yang utuh. Artinya sesuatu yang ada di dalam kultur sekolah hanya dapat dilihat dan dijelaskan dalam
18 a. Rangsangan yang tinggi terhadap prestasi,
b. Penghargaan yang tinggi terhadap prestasi, c. Komunitas sekolah yang tertib,
d. Pemahaman tujuan sekolah, e. Ideologi organisasi yang kuat,
f. Partisipasi orang tua siswa, g. Kepemimpinan kepala sekolah, h. Hubungan akrab antar guru.
Nusyam dalam Darmiyati Zuchdi (2011: 139) berpendapat setidaknya terdapat 3 budaya yang seharusnya dikembangkan di sekolah, antara lain adalah
budaya akademik, budaya nasional lokal, dan budaya demokratis. Ketiga kultur tersebut harus dijadikan prioritas yang melekat dalam lingkungan sekolah. Ketiga budaya tersebut antara lain:
a. Kultur atau Budaya Akademik
Kultur akademik bercirikan pada setiap tindakan, keputusan, kebijakan, dan opini yang didukung dengan dasar akademik yang kuat. Hal ini mengacu pada
teori, dasar hukum, dan nilai kebenaran yang telah teruji.
Budaya akademik dipahami sebagai suatu totalitas yang berasal dari
kehidupan dan kegiatan yang berhubungan dengan akademik yang dihayati, dimaknai, serta di amalkan oleh masyarakat akademik, di lembaga pendidikan maupun lembaga penelitian. Dengan begitu, kepala sekolah, guru,dan siswa
19
akademik tercermin dalam keilmuan serta keahlian dalam berpikir dan
berargumentasi. Warga sekolah yang menerapkan kultur akademik di dalam dirinya akan memiliki sifat kritis, objektif, analitis, kreatif, terbuka untuk
menerima kritik dan saran, menghargai waktu dan prestasi ilmiah, memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, dinamis, serta berorientasi kepada masa depan.
b. Kultur atau Budaya Nasional Lokal
Budaya nasional dapat dilihat dari upaya pengembangan sekolah dalam memelihara, membangun, serta mengembangkan budaya bangsa yang positif
sebagai kerangka pembangunan manusia yang seutuhnya sehingga sekolah akan membentengi pertahanan diri yang terkikir karena masuknya budaya asing yang
tidak relevan seperti budaya konsumerisme, materialisme, hedonisme, serta individualisme. Sekolah yang konsisten akan membentengi warga sekolahnya dengan nilai-nilai nasionalisme yang tinggi, nilai kerja sama, serta rela berkorban.
Disisi lain, sekolah mengembangkan pula budaya lokal melalui pengembangan seni tradisi yang berakar pada budaya lokal yang telah di kreasikan secara modern dengan tetap mempertahankan keaslian serta nilai yang
terkandung di dalamnya.
c. Kultur atau Budaya Demokratis
Budaya demokratis memiliki corak kehidupan yang menyediakan perbedaan untuk dapat secara bersamaan membangun kemajuan, sehingga warga sekolah mampu untuk bertindak objektif, transparan, dan bertanggung jawab
20
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kultur atau
budaya sekolah merupakan suatu nilai, keyakinan, asumsi, norma, ataupun tradisi yang dimiliki dan dipahami oleh setiap warga sekolah yang tercermin dalam
perilaku sehari-hari sehingga menjadi ciri khas sekolah tersebut dimana budaya yang positif akan memberikan dampak yang positif pula pada sekolah dan begitu
juga sebaliknya, jika sekolah memiliki budaya sekolah yang negatif maka akan berpengaruh negatif pada sekolah.
Selain itu kultur sekolah tidak dapat secara singkat terjadi pada suatu
sekolah melainkan membutuhkan proses yang cukup lama untuk pembiasaan kepada seluruh warga sekolah. Proses tersebut dibutuhkan agar nilai-nilai yang
akan dijadikan kultur dalam sekolah dapat tertanam dalam diri masing-masing warga sekolah sehingga kesadaran untuk melakukan keyakinan yang ada berasal dari diri sendiri, bukan hanya berasal dari tata tertib yang dibentuk oleh sekolah.
Oleh karena itu, peran serta seluruh warga sekolah sangatlah penting guna terciptanya kultur sekolah yang ingin dibentuk bersama.
Kemajuan suatu sekolah sangatlah ditentukan oleh budaya sekolah yang
tertanam dalam setiap diri warga sekolah. Hal ini sangatlah beralasan karena budaya sekolah mengandung kekuatan yang mampu menggerakkan kehidupan
sekolah. Budaya sekolah dalam hal ini berperan dalam mengarahkan pikiran, ucapan, dan tindakan seluruh warga sekolah. Budaya sekolah yang terkonsep dengan baik sesuai dengan tujuan sekolah memiliki strategi, daya ungkit untuk
21
begitu saja, justru akan membahayakan keberlangsungan sekolah. Budaya juga
dapat digunakan sebagai strategi sekolah untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, serta memenangkan mutu para siswa. (Barnawi & M. Arifin, 2013: 67)
4. Karakteristik Kultur Sekolah
Kultur sekolah terbagi menjadi dua, yaitu kultur sekolah positif dan kultur
sekolah yang negatif. Kultur sekolah yang positif adalah yang membantu perbaikan mutu sekolah dan mutu kehidupan, seperti memiliki ciri sehat, dinamis atau aktif, positif dan profesional. Kultur yang bersifat positif harus diperkuat.
Kultur sekolah yang sehat akan memberikan peluang sekolah dan warga sekolah berfungsi secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, memiliki
semangat tinggi dan akan mampu terus berkembang. Oleh karena itu kultur sekolah yang positif ini sangat perlu dikembangkan.
Menurut Jumadi dalam Evi Rovikoh Indah Saputri (2012: 19) adalah
sebagai berikut
“keberhasilan pengembangan kultur sekolah dapat dilihat dari tanda-tanda atau indikator sesuai fokus yang dikembangkan. Beberapa indikator yang dapat dilihat antara lain adalah adanya rasa kebersamaan dan hubungan yang sinergis diantara warga sekolah, berkurangnya pelanggaran disiplin, adanya motivasi untuk berprestasi, adanya semangat dan kegairahan dalam menjalankan tugas, dan sebagainya.”
Kultur sekolah bersifat dinamis dan merupakan suatu keyakinan milik bersama yang diperoleh dari hasil perjalanan sekolah, segala interaksi yang
terdapat dalam sekolah. Sekolah perlu dengan serius mengenali adanya berbagai sifat kultur sekolah yang ada, sehat-tidak sehat, kuat-lemah, positif-negatif,
22
Selanjutnya menurut Moerdiyanto melalui artikelnya (2010: 5-6) kultur
sekolah terdiri dari kultur positif dan kultur negatif. Kultur positif yaitu budaya yang membantu mutu sekolah dan mutu kehidupan warganya. Mutu kehidupan
warga yang diharapkan adalah warga yang sehat, aktif, dinamis, dan profesional. Kultur positif ini akan memberikan peluang sekolah beserta warganya berfungsi
secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, punya semangat tinggi dan akan mampu berkembang. Kultur positif ini harus terus menerus dikembangkan dan diwariskan dari siswa ke siswa, dari satu kelompok ke
kelompok lainnya. Kultur positif dan kuat memiliki kekuatan dan akan menjadi modal dalam melakukan perubahan menuju perbaikan. Kultur negatif adalah
budaya yang cenderung bersifat anarkis, negatif, beracun, dan bias serta bersifat dominan. Sekolah yang sudah merasa puas dengan apa yang mereka capai merupakan salah satu bagian dari kultur negatif, karena mereka cenderung tidak
ingin melakukan perubahan serta takut untuk mengambil sebuah resiko terhadap perubahan yang terjadi, dengan kata lain berpengaruh terhadap menurunnya kualitas sekolah tersebut.
Langkah-langkah untuk membentuk kultur sekolah yang positif menurut Farida Hanum (2013: 202) antara lain adalah sebagai berikut.
a. mengamati dan membaca kultur sekolah yang kini ada, melacak historinya dan masalah apa saja yang muncul oleh keberadaan kultur sekolah,
23
c. melakukan kegiatan assessment sekolah guna mendiagnosis permasalahan yang ada dan tindakan kultural yang dapat dilakukan,
d. mengembangkan visi strategis dan misi perbaikan sekolah,
e. mewaspadai perilaku negatif,
f. merancang pola pengembangan kultur,
g. melakukan pemantauan terhadap perkembangan kultur sekolah dan dampaknya.
Sekolah sebagai sebuah lembaga penyelenggara pendidikan tentu saja
menginginkan memiliki kualitas yang baik sehingga dapat menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk membentuk anak didik menjadi generasi penerus bangsa
yang positif dan berkarakter. Penanaman kultur positif pada suatu sekolah secara perlahan akan meningkatkan kualitas dari sekolah tersebut. Akan tetapi sekolah harus dengan sabar melalui serangkaian proses untuk dapat termasuk dalam
sekolah yang memiliki kultur yang positif.
Untuk membentuk kultur sekolah yang positif sekolah pertama kali harus melakukan analisis situasi sekolah. Kultur apa yang terbentuk, apakah positif atau
negatif. Jika negatif maka perlu dianalisis bagaiamana cara untuk memperbaiki keadaan tersebut. Jika kultur yang ada sudah bersifat positif maka sekolah perlu
mengembangkan kultur yang ada agar tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Setelah upaya perbaikan atau pengembangan dilakukan, maka sekolah perlu melakukan kontrol agar kondisi yang diinginkan dapat tercipta serta mengevaluasi
24
Selanjutnya menurut Barnawi & M. Arifin (2013: 71) ada dua cara yang
dapat dilakukan untuk mengukur kuat atau tidaknya suatu budaya, yaitu dengan melakukan uji nilai secara berkala dan melihat kenyataan apakah sekolah telah
benar-benar kompak atau belum. Ukuran uji nilai dapat dilihat dari seberapa jauh komunikasi di tingkat manajemen puncak sekolah ke tingkat yang paling bawah.
Apabila deviasinya kurang dari 20% maka masih dapat di toleransi, apabila deviasi menyimpang antara 20%-30% maka perlu diwaspadai, dan apabila deviasinya lebih dari 30% maka situasi sekolah termasuk dalam golongan krisis
budaya. Budaya yang kuat akan mendorong kerja sama yang baik sehingga tujuan sekolah yang diinginkan mudah tercapai
Tidak kalah penting adalah nilai budaya sekolah haruslah benar-benar tertanam dan didukung oleh suatu sistem yang berlaku di sekolah tersebut. Biasanya penerapan budaya pada sekolah baru akan lebih mudah dibandingkan
dengan sekolah yang lama. Di sekolah baru, budaya informal para guru, karyawan, dan siswa belum terbentuk sehingga budaya yang ditentukan oleh manajemen sekolah akan lebih mudah untuk diterapkan. Meskipun dalan suatu
sekolah para siswa masuk dan keluar (lulus), namun biasanya terdapat pewarisan budaya yang dilakukan siswa senior kepada juniornya. Artinya, ada pewarisan
budaya antar-siswa yang terjadi. Penerapan budaya pada sekolah baru relatif lebih mudah dikarenakan siswa benar-benar baru atau belum terkontaminasi oleh seniornya. Penerapan budaya sekolah tersebut tentu saja memerlukan dukungan
25 5. Identifikasi Kultur Sekolah
Stolp dan Smith dalam Farida Hanum (2013: 204) membagi tiga lapisan kultur yaitu artifak di permukaan, nilai-nilai dan keyakinan di tengah, dan asumsi
di dasar. a. Artifak
Artifak merupakan lapisan kultur sekolah yang paling mudah diamati seperti berbagai kegiatan sehari-hari di sekolah, berbagai upacara, benda-benda simbolik di sekolah, serta aneka ragam kebiasaan yang berlangsung di sekolah.
Keberadaan kultur ini dengan cepat akan dirasakan ketika orang mengadakan kontak dengan suatu sekolah.
b. Nilai-Nilai dan Keyakinan
Nilai dan keyakinan menjadi salah satu ciri utama suatu sekolah yang sebagian berupa norma-norma perilaku yang diinginkan oleh sekolah seperti
ungkapan rajin pangkal pandai, air beriak tanda tak dalam, dan berbagai gambaran nilai dan keyakinan yang lainnya.
c. Asumsi
Asumsi merupakan simbol-simbol, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang tidak nampak secara kasat mata tetapi secara terus menerus berdampak pada
perilaku warga sekolah.
26
Gambar 1. Lapisan –Lapisan Kultur Sekolah Stolp dan Smith dalam Farida Hanum (2013: 204)
Wirawan (2007: 41) berpendapat bahwa artifak merupakan dimensi isi
budaya organisasi yang dapat dirasakan dengan panca indera. Saat kita memasuki satu lingkungan organisasi, kita dapat melihat dan merasakan dengan jelas artifak
budaya organisasinya. Dalam hal ini, artifak merupakan bagian dari budaya sekolah dimana budaya tersebut dapat dilihat dan dirasakan ketika kita berada di lingkungan sekolah tersebut.
Lapisan kultur yang lebih dalam dapat berupa nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang berada di sekolah, yang merupakan ciri utama sekolah tersebut.
Sebagian dapat berupa norma-norma perilaku yang diinginkan oleh sekolah seperti ungkapan rajin pangkal pandai, tong kosong nyaring bunyinya, serta penggambaran nilai dan keyakinan lainnya.
Lapisan paling dalam di kultur sekolah adalah asumsi-asumsi yaitu dapat berupa simbol-simbol, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang tidak dapat
langsung dikenali namun terus-menerus berdampak terhadap perilaku warga sekolah.
ARTIFAK
NILAI & KEYAKINAN
27
Kepala sekolah sebagai pemegang peran utama dalam pengembangan
kultur sekolah harus bisa menjadi teladan dalam berinteraksi didalam sekolah. Kepala sekolah berusaha keras untuk menciptakan kultur kolaboratif di kalangan
komunitas sekolah termasuk guru, staf, siswa, orang tua, dan komite sekolah, dalam hal itu, ia melakukan koordinasi dengan mereka dalam membuat keputusan
dan mengimplementasikan program-program (Raihani, 2010: 135). a. Kultur Positif, Negatif, dan Netral
Kultur sekolah sangatlah berpengaruh pada kegiatan sekolah
sehari-harinya, oleh karena itu setiap warga sekolah perlu memiliki wawasan bahwa unsur dari kultur tersebut bersifat positif, negatif, dan netral. Menurut Jumadi
dalam Evi Rovikoh Indah Saputri (2012: 23) Kultur sekolah yang bersifat positif adalah kultur yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Kultur yang bersifat negatif adalah kultur yang menghambat peningkatan kualitas pendidikan,
sedangkan kultur yang bersifat netral adalah kultur yang tidak mendukung maupun menghambat peningkatan kualitas pendidikan.
Selanjutnya menurut Mardapi dalam Srinatun (2011: 64) kultur positif dan
negatif dapat tercermin dalam beberapa hal. Artifak kultur positif dapat dilihat dengan adanya kerja sama dalam mencapai prestasi, penghargaan terhadap
prestasi, dan komitmen dalam belajar. Kultur negatif menurut Mardapi yaitu kultur yang kontra terhadap peningkatan mutu pendidikan. Artinya, kebal terhadap perubahan yang ada, dapat berupa siswa yang takut salah, siswa takut
28
masalah. Kultur yang netral menurut Mardapi dapat terlihat dari adanya kegiatan
arisan keluarga sekolah, seragam guru, seragam siswa, dan lain-lain.
Beberapa artifak terkait kultur positif dan negatif disampaikan oleh Farida
Hanum (2013: 206). Artifak terkait kultur positif terdiri dari: (1) ada ambisi untuk meraih prestasi, pemberian penghargaan pada yang berprestasi; (2) hidup
semangat menegakkan sportifitas, jujur, mengakui keunggulan pihak lain; (3) saling menghargai perbedaan; (4) trust (saling percaya).
Artifak terkait kultur negatif antara lain (1) banyak jam kosong, absen dari
tugas; (2) terlalu permisif terhadap pelanggaran nilai-nilai moral; (3) adanya friksi yang mengarah pada perpecahan, terbentuknya kelompok yang saling
menjatuhkan; (4) penekanan pada nilai pelajaran bukan pada kemampuan; (5) artifak yang netral muatan kultural; (6) kegiatan arisan sekolah, jumlah fasilitas sekolah, dan sebagainya.
b. Artifak, Nilai, keyakinan, dan Asumsi
Kultur sekolah merupakan suatu aset yang besifat abstrak dan unik dimana satu sekolah dan sekolah lainnya tidak akan sama. Menurut Depdiknas Direktorat
Pendidikan Menengah Umum (2003:12) dalam kaitannya dengan kebutuhan pengembangan kultur sekolah, yang perlu dipahami bahwa kultur hanya dapat
dikenali melalui pencerminannya pada berbagai hal yang dapat diamati disebut dengan artifak. Artifak ini dapat berupa:
1) Perilaku verbal: ungkapan lisan atau tulis dalam bentuk kalimat dan
kata-kata
29
3) Benda hasil budaya: arsitektur, eksterior dan interior, lambang, tata ruang,
meubelair dan sebagainya
Dibalik artifak itulah tersembunyi kultur yang dapat berupa:
1) Nilai-nilai: mutu, disiplin, toleransi, dan sebagainya
2) Keyakinan: tidak kalah dengan sekolah lain bila mau bekerja keras
3) Asumsi: semua anak dapat menguasai bahan pelajaran, hanya waktu yang diperlukan berbeda
Kultur sekolah memiliki beberapa lapisan, dimana setiap lapisan tersebut
memiliki ciri khas masing-masing. Lapisan pertama disebut dengan artifak, atau bisa disebut juga dengan hal-hal yang dapat secara langsung dilihat oleh mata.
Artifak ini terdiri dari artifak fisik dan non fisik. Artifak fisik terdiri dari gedung-gedung dan fasilitas yang ada, sedangkan artifak non fisik berisi kebiasaan-kebiasaan yang berada di sekolah tersebut.
Lapisan kedua berisi nilai-nilai dan keyakinan. Dalam lapisan ini kultur sekolah biasanya berisi sederet norma-norma yang diinginkan sekolah dan kebanyakan tertuang dalam bentuk slogan-slogan yang ditempelkan di lingkungan
sekolah.
Kemudian lapisan yang terakhir adalah asumsi. Berupa nilai-nilai,
norma-norma, dan keyakinan yang tidak terlihat langsung oleh mata akan tetapi sangat berpengaruh pada perilaku warga sekolah.
Untuk dapat mengamati kultur yang ada di sekolah, aspek-aspek yang
30
terjadi antara warga sekolah baik yang bersifat positif maupun negatif yang di
dalamnya meliputi rasa saling memaafkan, menolong, memberi penghargaan dan hal lainnya yang meliputi interaksi sesama warga sekolah, (2) Aspek budaya
akademik, yang meliputi pengawasan dalam kemajuan belajar, persaingan dalam meraih prestasi, strategi belajar mengajar, serta ketepatan media pembelajaran
yang digunakan, (3) Aspek budaya mutu, yang meliputi pemahaman terhadap budaya utama sekolah yang meliputi budaya jujur, saling percaya, kerjasama, kegemaran membaca, disiplin, bersih, berprestasi, penghargaan dan efisien, (4)
Aspek artifak, yang meliputi pemahaman terhadap artifak fisik yang berada di sekolah dan artifak perilaku warga sekolah.
6. Fungsi dan Peran Kultur Sekolah
Fungsi kultur sekolah menurut Stoll dalam Rahmani Abdi (2007: 25) yaitu budaya pada dasarnya adalah memberikan dukungan serta identitas pada sekolah dan selanjutnya membentuk kerangka kerja (framework) bagi kegiatan
pembelajaran. Dalam hal ini, pengertian budaya sekolah lebih berfungsi sebagai pembentukan kinerja warga sekolah dan kemudian menjadi identitas sekolah.
Berdasarkan berbagai definisi yang ada, menurut Noor Tri Widianingsih (2012: 18-19) fungsi kultur sekolah adalah sebagai berikut:
31
b. Sebagai sumber, kultur sekolah merupakan sumber inspirasi, kebanggan dan
sumber daya yang dapat dijadikan arah kebijakan (strategi) lembaga pendidikan tersebut.
c. Sebagai pola perilaku, dimana kultur sekolah menentukan batas-batas perilaku yang telah disepakati oleh seluruh warga sekolah
d. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Dalam dunia yang berubah dengan amat pesat, kunci keberhasilan suatu organisasi umum maupun lembaga pendidikan dalam meningkatkan efektivitas yang terletak pada
fleksibilitas dan kemampuan inovatifnya. Oleh karena itu lembaga pendidikan mau tidak mau harus berani melakukan perubahan guna peningkatan mutu
lembaga tersebut. Salah satu jalan untuk melakukan strategi perubahan tersebut adalah dengan merubah kultur di lembaga pendidikan itu.
e. Sebagai tata nilai. Kultur sekolah merupakan gambaran perilaku yang
diharapkan dari warga sekolah dalam mewujudkan tujuan institusi pendidikan tersebut. Tata nilai yang dimaksud dalam hal ini adalah aktualisasi dari keyakinan seseorang sebagai pemberian makna terhadap pekerjaan dam sebagai pengabdian
kepada Tuhan YME
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa kultur sekolah memiliki peran
yang besar terhadap mutu suatu sekolah, yang mencakup berbagai aspek seperti norma, intelektual, moral dan sosial. Kultur sekolah berkembang secara dinamis dan bersifat kompleks dimana dalam pelaksanaannya di sekolah dibutuhkan peran
32 7. Pengembangan Kultur Sekolah
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah adalah dengan mengembangkan kultur sekolah. Kultur
sekolah yang sudah bernilai positif agar terus ditingkatkan, serta kultur yang negatif diminimalisir. Cara mengembangkan kultur sekolah menurut Rudi
Prihantoro (2010: 156) pertama-tama adalah dengan memotret kultur sekolah, menganalisis, menilai, merancang tindakan pengembangan, melaksanakan tindakan, memonitoring dan mengevaluasi, dan yang terakhir adalah pelaporan.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memotret atau melihat terlebih dahulu kultur apa saja yang terdapat di sekolah. Selanjutnya dilakukan
analisis dan penilaian untuk kemudian dapat dirancang tindakan pengembangan kultur yang akan dilakukan. Setelah rancangan tindakan pengembangan sudah ditentukan kemudian rancangan tersebut dilaksanakan dengan tetap diawasi dalam
pelaksanaannya. Setelah periode waktu tertentu pelaksanaan rancangan kegiatan di evaluasi, kemudian dinilai kembali apakah kultur yang berjalan di sekolah sudah sesuai dengan rancangan yang ditentukan atau belum.
Selanjutnya menurut Serasson dalam Moerdiyanto (2010: 11), kultur sekolah dapat dikembangkan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan struktural
dan pendekatan kultural. Pendapat lain mengenai pengembangan kultur sekolah disampaikan (Sastrapratedja Dinamika Pendidikan, 2001) dalam Ariefa Efianingrum (2008: 7) bahwa pendekatan budaya untuk meningkatkan kinerja
33
pikiran, kata-kata, sikap, perbuatan, serta hati setiap warga sekolahnya.
Pendekatan budaya dalam upaya mengembangkan budaya sekolah dapat dilakukan dengan dengan beberapa kegiatan berikut.
a. Pembentukan tim kerja dari berbagai unsur dan jenjang untuk saling berdiskusi dan bernegosiasi. Tim kerja ini terdiri dari kepala sekolah, guru,
konselor, karyawan/ staf administrasi.
b. Dengan berorientasi pada pengembangan visi. Pendekatan visioner menekankan pandangan kolektif mengenai hal yang ideal.
c. Hubungan kerjasama, melalui kerjasama tim, akan muncul bagaimana sikap saling menghargai serta memperkuat identitas kelompok, bersama-sama dan
saling mendukung.
d. Kepercayaan dan dukungan. Saling percaya (trust) serta dukungan (support) merupakan salah satu unsur penting bagi bekerjanya sebuah organisasi. Tim dapat
bekerja secara sinergis dan dinamik jika kedua tersebut ada.
e. Nilai dan kepentingan bersama. Sebuah tim harus dapat mendamaikan berbagai kepentingan. Akan menjadi tugas seorang pemimpin untuk
mendamaikan kepentingan tersebut.
f. Akses pada informasi. Mereka yang bekerja dalam suatu organisasi hanya
akan dapat menggunakan kemampuannya secara efektif dan mereka dapat memperoleh akses pada informasi yang mereka butuhkan.
34
Berikut beberapa kegiatan yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk
menghidupkan kultur kelas atau sekolah yang kondusif bagi pendidikan nilai di sekolah menurut Ariefa Efianingrum (2008: 8)
a. Hadap masalah/ Problem Solving
Murid diajak berdiskusi untuk memecahkan satu masalah konkrit. b. Reflective Thingking/ Critical Thinking
Murid secara pribadi atau kelompok diajak untuk membuat catatan refleksi atau tanggapan atas sebuah artikel, peristiwa, kasus, gambar, foto, dan lain-lain.
c. Dinamika kelompok (Group Dynamic)
Murid dilibatkan dalam kerja kelompok secara kontinyu untuk mengerjakan suatu
proyek kelompok.
d. Membangun suatu komunitas kecil (Community Building)
Murid satu kelas diajak untuk membangun komunitas atau masyarakat mini
dengan tatanan dan tugas-tugas yang mereka putuskan bersama secara demokratis.
e. Membangun sikap bertanggung jawab (Responsibility Building)
Murid diserahi tugas atau pekerjaan yang konkrit dan diminta untuk membuat laporan yang sejujurnya.
B. Penelitian yang Relevan
35
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SMP Negeri 2 Yogyakarta
dapat disimpulkan bahwa SMP Negeri 2 Yogyakarta telah memiliki kultur positif yang dapat terlihat dari artifak fisik yang dimiliki. Sarana dan prasarana yang
dimiliki oleh SMP Negeri 2 Yogyakarta ini pun sudah cukup lengkap dan memadai. Selain itu kultur positif terkait dengan nilai dan keyakinan tercermin
dengan adanya kultur kebersihan, kedisiplinan, gemar membaca, berprestasi, yang sudah terlaksana dengan baik. Namun untuk kultur berperilaku di sekolah tersebut masih tergolong kurang karena masih kurang terjalin sesuai dengan yang
diinginkan sekolah. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa kultur di sekolah tersebut tergolong positif dan sudah membudaya pada warga sekolah.
Kebijakan yang dilakukan sekolah untuk menciptakan kultur atau budaya sekolah positif yang dikembangkan dan difokuskan di SMP Negeri 2 Yogyakarta meliputi:
1) Budaya kebersihan dengan disediakannya tong sampah di setiap sudut sekolah dan di setiap depan ruangan, adanya kesepakatan bersama dalam
menjaga kebersihan, dan pengadaan lomba kebersihan, serta
mengikutsertakan sekolah dalam ajang lomba kebersihan sekolah tingkat kota.
2) Budaya kedisiplinan dengan pembuatan tata tertib sekolah yang tegas dan jelas.
3) Budaya berperilaku dengan mencantumkan tata pergaulan pada tata tertib
36
4) Budaya berprestasi dengan mengikutsertakan siswa dalam berbagai
perlombaan, pembinaan khusus siswa yang akan mengikuti perlombaan, penambahan jam pelajaran bagi siswa kelas IX, adanya aturan resmi untuk
penghargaan siswa berprestasi dalam tata tertib, dan adanya program pertukaran pelajar ke Korea.
5) Budaya religi dengan penyediaan tempat ibadah yang cukup, penyediaan guru pembina agama yang cukup, dan kewajiban warga sekolah dalam kegiatan keagamaan.
Penelitian di atas menunjukkan bagaimana gambaran kultur sekolah yang terjadi terdapat di SMP Negeri 2 Yogyakarta serta kebijakan yang diambil oleh
sekolah dalam mengembangkan kultur sekolah di SMP Negeri 2 Yogyakarta, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan dengan menggambarkan kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman, kemudian bagaimana program sekolah dalam
mengembangkan kultur sekolah.
2. Penelitian Srinatun (2011) tentang “Upaya Meningkatkan Kinerja Guru Melalui Kultur Sekolah”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya
kultur sekolah yang diterapkan di SMA Negeri 4 Semarang menghasilkan guru yang berprestasi mulai dari tingkat kota hingga tingkat nasional. Kemudian di
37
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa penerapan kultur sekolah yang
ada di SMA Negeri 4 Semarang tidak dapat dipungkiri lagi telah menimbulkan aspek yang positif di beberapa bidang.
Hubungan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah penerapan kultur sekolah dapat berpengaruh pada kualitas dan mutu sekolah seperti yang
peneliti lakukan di SMP Negeri 1 Sleman.
C. Kerangka Pikir
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan atau pengembangan program guna meningkatkan
kualitas sekolah itu sendiri. Kultur sekolah diyakini memiliki peran yang besar dalam memperbaiki kualitas sekolah, baik dari kepala sekolah, guru, maupun siswa. Beberapa unsur dari kultur sekolah tersebut antara lain berupa artifak, nilai,
keyakinan, dan asumsi menyatu dengan komponen sekolah yaitu kepala sekolah, guru, siswa, dan staf atau karyawan membentuk hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi.
Dari hubungan yang saling mempengaruhi tersebut kemudian akan terbentuk kultur yang sudah diidentifikasi sebelumnya yaitu kultur positif, kultur
negatif, dan kultur netral. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki wewenang untuk membentuk program sebagai upaya untuk membentuk kultur atau budaya di sekolah masing-masing. Dari pelaksanaan program sekolah itulah
38
Berikut adalah bagan yang menunjukkan kerangka berpikir dalam
penelitian:
Bagan 1. Kerangka pikir Sekolah
KULTUR SEKOLAH SMP NEGERI 1 SLEMAN
1. Gambaran Kultur Sekolah SMP Negeri 1 Sleman
2. Program Pengembangan Sekolah Kultur Sekolah
Unsur Kultur Sekolah:
Artifak
Nilai dan Keyakinan
Asumsi
Warga Sekolah:
Kepala
Sekolah
Guru
Siswa
Staff/ Karyawan
39 D. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka pertanyaan penelitiannya yaitu: 1. Bagaimanakah gambaran artifak fisik di SMP Negeri 1 Sleman?
2. Bagaimana deskripsi mengenai artifak non-fisik yang ada di SMP Negeri 1 Sleman?
3. Apa saja program yang diterapkan sekolah untuk mengembangkan kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman?
4. Bagaimana pelaksanaan program pengembangan sekolah yang mendukung
40 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif. Metode penelitian ini digunakan untuk menganalisis dan menafsirkan suatu fakta,
gejala dan peristiwa pendidikan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya dalam konteks ruang dan waktu serta situasi lingkungan pendidikan secara alami dan tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga pada saat peneliti memasuki obyek,
saat berada di obyek dan setelah keluar dari obyek keadaannya relatif tidak berubah. Oleh karena itu peneliti harus terjun langsung dan membaur dengan
objek penelitian. Data yang diperoleh dapat berasal dari hasil pengamatan, hasil wawancara, dokumentasi, analisis dokumen, dan catatan lapangan yang disusun oleh peneliti di lapangan kemudian dituangkan dalam bentuk narasi, bukan dalam
bentuk angka.
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian yang bersifat deskriptif karena peneliti akan mendeskripsikan tentang kultur sekolah yang
teridentifikasi dari data lapangan baik yang berbentuk lisan maupun tertulis.
B. Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2015-Januari 2017 dan dilaksanakan di SMP Negeri 1 Sleman yang terletak di Jalan Bhayangkara no. 27
41 C. Subjek Dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian adalah warga sekolah SMP Negeri 1 Sleman yang terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan. Sedangkan objek pada
penelitian ini adalah kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman.
D.Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data utama dimana peneliti
dan sumber data bertemu melakukan serangkaian diskusi untuk saling bertukar informasi dengan menggunakan instrumen wawancara. Prof. Dr. Burhan Bungin dalam (Jamal Ma’mur Asmani, 2011 : 122) menyampaikan bahwa wawancara
mendalam yaitu suatu proses memperoleh keterangan dengan tujuan penelitian melalui cara tanya jawab dan bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau yang diwawancarai, dengan menggunakan pedoman wawancara.
Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai subjek penelitian kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa dengan tujuan untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan terbuka terkait topik permasalahan penelitian untuk memperoleh data tentang pengembangan kultur sekolah. Dalam mewawancarai peneliti menggunakan pedoman wawancara. Pemilihan narasumber wawancara peneliti
42
yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan, maka
mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sample sumber data akan semakin besar, seperti bola salju yang
menggelinding, lama-lama menjadi besar (Sugiyono, 2015: 219). Proses pengambilan sample ini dibantu oleh pelaksana harian kepala sekolah dengan menunjuk beberapa narasumber yang mampu memberikan informasi yang dibutuhkan terkait kultur sekolah.
2. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian dilakukan terhadap objek di
tempat berlangsungnya suatu peristiwa. Dalam penelitian ini observasi dilakukan untuk mengamati kondisi artifak sekolah baik fisik seperti halaman, gedung, dan lain-lain maupun non fisik seperti interaksi, nilai, keyakinan, dan lain-lain. Pada
saat melakukan observasi ini peneliti menggunakan 3 bentuk observasi yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur yaitu peneliti melakukan observasi tanpa guide, serta yang terakhir observasi terus terang atau tersamar untuk mendapatkan gambaran realistik fenomena yang terjadi di sekolah.
3. Studi Dokumen
Menurut Sugiyono (2010 : 329) dokumen adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen biasanya berbentuk tulisan, gambar, atau hasil karya. Pengambilan dokumen yang dilakukan oleh peneliti berupa catatan peristiwa yang
43 E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yaitu alat yang digunakan untuk mendapatkan informasi atau melakukan pengukuran terhadap subjek dan objek penelitian.
Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pedoman Observasi
Pedoman observasi dapat berupa butir-butir pertanyaan dalam garis besar mengenai hal-hal yang akan diobservasi, kemudian akan diperinci dan dikembangkan pada saat pelaksanaan penelitian dengan maksud untuk
mendapatkan data yang fleksibel, lengkap, dan akurat. Dalam pengumpulan data ini, peneliti menggunakan alat bantu berupa kamera.
Tabel 1. Fokus Pedoman Observasi
Aspek yang diamati Indikator yang dicari
Kultur sekolah
Artifak fisik
- Arsitektur, tata ruang, simbol, logo, slogan, gambar, tanda, cara berpakaian, sarana prasarana
Artifak non fisik
- Interaksi, perilaku, sopan-santun, budaya akademik (dilihat dari piala, dan sertifikat-sertifikat)
2. Pedoman Wawancara
Dalam pedoman wawancara berisikan tentang pertanyaan-pertanyaan secara garis besar dan saat pelaksanaan wawancara dilakukan dapat
44 Tabel 2. Fokus Pedoman Wawancara
No Aspek yang dikaji Indikator yang dicari Sumber data
1 Nilai dan Keyakinan Nilai-nilai yang
dianut (terbentuknya visi & misi) <