• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asuhan Kebidanan Ibu Nifas Pada Ny. S Umur 36 Tahun P3a0 Dengan Pre Eklampsia Berat Di Rsud Karanganyar COVER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Asuhan Kebidanan Ibu Nifas Pada Ny. S Umur 36 Tahun P3a0 Dengan Pre Eklampsia Berat Di Rsud Karanganyar COVER"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TEORI MEDIS

1. Nifas Normal

Masa nifas adalah suatu periode dalam minggu-minggu pertama

setelah kelahiran. Lamanya “periode” ini tidak pasti, sebagian besar

menganggapnya antara 4 sampai 6 minggu. Nifas ditandai oleh banyak

perubahan fisiologis (Cunningham, 2013).

Asuhan masa nifas diperlukan dalam periode ini karena merupakan

masa kritis ibu maupun bayinya. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu

akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian masa nifas

terjadi dalam 24 jam pertama (Syaifudin, 2008).

Wanita pasca persalinan harus cukup istirahat. Delapan jam

pascapersalinan, ibu harus tidur telentang untuk mencegah perdarahan.

Sesudah itu, ibu boleh miring ke kiri atau ke kanan untuk mencegah

thrombosis, ibu dan bayi ditempatkan pada satu kamar. Pada hari kedua,

bila perlu dilakukan latihan senam. Pada hari ketiga umumnya sudah dapat

duduk, hari keempat sudah bisa untuk berjalan, dan hari kelima dapat

dipulangkan. Makanan yang diberikan harus bermutu tinggi dan cukup

kalori, cukup protein, serta banyak buah (Mansjoer, 2007). Hal tersebut

adalah tahapan untuk wanita yang mengalami masa nifas, selain itu ada

(2)

Preeklamsia merupakan salah satu komplikasi yang dapat mengarah ke

komplikasi serius sehingga penting untuk diketahui dan dipelajari dalam

ilmu kebidanan (Cunningham, 2013).

2. Preeklamsia

a. Pengertian

Preeklampsia adalah penyebab utama mortalitas dan morbiditas

ibu dan janin. Preeklampsia adalah sindrom yang ditandai dengan

hipertensi dan proteinuria yang baru muncul di trimester kedua

kehamilan yang selalu pulih di periode postnatal (Robson, 2011).

Preeklamsia-eklamsia ditandai oleh hipertensi, edemageneralisata, dan

proteinuria tanpa penyakit vaskular atau renal. Tanda dan gejala muncul

sejak ke-20 kehamilan sampai minggu ke-6 setelah melahirkan

(Benson, 2009).

b. Klasifikasi

Preeklamsia di klasifikasikan sebagai Preeklamsia Ringan dan

Preeklamsia Berat. Tidak ada kategori sedang dalam preeklamsia

(Norwitz, 2008). Hal yang menjadi indikator dalam pengklasifikasian

preeklamsia ringan atau berat antara lain tekanan darah, kandungan

protein urin dalam gram per liter, output urin dalam cc per jam,

kemampuan serebral, visus, nyeri dan keadaan paru serta nafas (Sofian,

(3)

Tabel 2.1.DiferensialDiagnosis Preeklamsia Ringan dan Berat

No Temuan Preeklamsia Ringan Preeklamsia Berat

1. Tekanan darah

3. Proteinuria Samar (trace) sampai

+1 (gr/liter)

+2 persisten atau lebih ( gr/liter )

4. Nyeri kepala tidak ada Ada

5. Gangguan visus tidak ada Ada

6. Nyeri abdomen atas tidak ada Ada

7. Oliguria (urine<500 cc/ 24jam)

tidak ada Ada

8. Kejang tidak ada ada (eklamsia)

9. Kreatinin serum Normal menigkat

10. Trombositopenia tidak ada Ada

14. Edema paru Tidak ada Ada

Sumber: Cunningham (2013)

3. Nifas dengan Pre Eklampsia Berat

a. Pengertian

Preeklamsia berat adalah keadaan dengan tekanan darah sistolik

160 mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolic meningkat >20

mmHg atau nilai absolut 110 dengan proteinuria +2 persisten atau

(4)

abdomen atas, oliguria, trombositopenia, edema paru, serta

peningkatan kreatinin dan enzim hati (Chunningham, 2013).

b. Etiologi

Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan

pasti. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya preeklamsia,

tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar.

Menurut Prawirohardjo (2009). Teori tentang etiologi preeklamsia

yang sekarang banyak dianut adalah :

1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Tidak terjadinya invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri

spiralis dan jaringan matriks di sekitarnya.Lapisan otot arteri

spiralis menjadi tetap kaku dan keras, sehingga relatif mengalami

vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis.

2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, disfungsi endotel

Terjadinya kegagalan remodeling arteri spiralis mengakibatkan

plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia

dan hipoksia akan menghasilkan oksidan dan radikal bebas.

3) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

4) Teori adaptasi kardiovaskular genetik

Hilangnya daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan

terjadinya peningkatan kepekaan terhadap bahan vasopresor.

(5)

Konsumsi cukup gizi, misalnya minyak ikan atau asam lemak tak

jenuh dan kalsium dapat menurunkan resiko terjadinya

preeklamsi.

6) Teori inflamasi

Terjadinya disfungsi endotel karena produksi debris trofoblas

berlebihan mengakibatkan aktivitas leukosit yang sangat tinggi.

c. Patofisiologi

Preeklamsia didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah

dan proteinuria, namun preeklamsia dapat mempengaruhi sitem tubuh

yang berbeda dan mengakibatkan gejala preeklamsia yang tidak sesuai

dengan definisi diatas. Perubahan yang terjadi pada preeklamsia

tampaknya disebabkan oleh gabungan kompleks antara abnormalitas

genetic, faktor imunologis dan faktor plasenta. Akibat plesentasi yang

buruk, terjadi disfungsi organ dan terjadi gambaran klasik preeklamsia

disertai dengan gejalanya seperti sakit kepala, gangguan penglihatan,

dan nyeri epigastrik (Bothamley, 2011).

Pada pre eklamsia terjadi spasme pembuluh darah disertai

dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh

mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik sebagai usaha

untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan

dapat tercukupi. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola

(6)

Gambar 2.1.Bagan Patofisiologi Preeklamsia Berat

(7)

d. Predisposisi

1) Usia : primigravida dengan usia di bawah 20 tahun dan semua ibu

dengan usia di atas 35 tahun dianggap lebih rentan.

2) Paritas : primigravida memiliki insiden hipertensi hampir dua kali

lipat.

3) Status sosial ekonomi : preeklamsia dan eklamsia lebih umum ditemui

di kelompok sosial ekonomi rendah.

4) Komplikasi obstetrik : kehamilan kembar, kehamilan mola atau

hydrops fetalis.

5) Kondisi medis yang sudah ada sebelumnya : hipertensi kronis,

penyakit ginjal, diabetes mellitus, sindrom antifosfolipid antibodi

(Edwin, 2013). Riwayat preeklamsia atau eklamsia dalam keluarga

dan riwayat preeklamsia sebelumnya sangat berpengaruh besar

terhadap munculnya gejala preeklamsia, hal ini dapat terjadi pada

masa nifas (Varney, 2007).

e. Faktor Risiko

Beberapa faktor yang yang meningkatkan risiko terjadinya

preeklamsia dan eklamsia diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Risiko yang berhubungan dengan partner laki-laki berupa

primigravida (risiko pada primigravida), umur yang ekstrim (terlalu

muda atau terlalu tua) untuk kehamilan, partner laki-laki yang pernah

menikahi wanita yang kemudian hamil dan mengalami preeklamsia,

(8)

2) Risiko yang berhubungan dengan riwayat penyakit dahulu dan riwayat

penyakit keluarga berupa riwayat pernah pre eklamsia, hipertensi

kronis penyakit ginjal, obesitas, diabetes gestasional.

3) Risiko yang berhubungan dengan kehamilan berupa mola hidaditosa

kehamilan multiple(Fauziyah, 2012).

Preeklamsia merupakan faktor risiko yang dibuat untuk hasil

yang merugikan janin. Wanita dengan preeklamsia juga ditandai

keterbatasan aliran udara inspirasi saat tidur, mengakibatkan jumlah

yang lebih tinggi desaturasi oksigen dan apnea-hypopnea index

meningkat (Poyares D, 2007).

Wanita yang kelebihan berat badan atau lebih memiliki

peningkatan risiko preeklamsia. Oleh karena itu, langkah-langkah

pencegahan yang efektif sangat diperlukan, terutama perempuan di

strata sosial ekonomi rendah yang kurang memiliki akses ke

perawatan medis yang tepat dan nutrisi yang cukup (Dantas, 2013).

f. Keluhan Subyektif

Biasanya ibu mengeluhkan sakit kepala yang keras karena

vasospasmus atau oedema otak, sakit di ulu hati karena regangan

selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema, atau sakit karena

perubahan pada lambung. Gangguan penglihatan menjadi kabur

karena vasospasmus, oedema atau ablation retinae.

Perubahan-perubahan itu dapat dilihat dengan ophtalmoskop (alat untuk

(9)

Sedangkan menurut Sofian (2012), yaitu sakit, nyeri epigastrum,

penglihatan kabur, mual dan muntah, peningkatan berat badan karena

bengkak pada muka, tangan, dan kaki. Sakit kepala yang dirasakan

biasanya di daerah frontal, nyeri epigastrik karena kerusakan fungsi

hati, dan disertai mual ataupun muntah (Fraser, 2009).

g. Tanda Klinis/ Laboratoris

1) Gambaran klinik: pertambahan berat badan yang berlebihan,

edema, hipertensi, dan timbul proteinuria.

Gejala subyektif: sakit kepala didaerah frontal, nyeri

epigastrium, gangguan visus: pengliahatan kabur, skotoma,

diplopia, mual dan muntah. Gangguan serebral lainnya: reflex

meningkat, dan tidak tenang.

Pemeriksaan: tekanan darah tinggi, refleks meningkat, dan

proteinuria pada pemeriksaan laboratorium (Sofian, 2011).

Sedangkan dari sumber lain didapat pula tanda dan gejala

seperti:

a) Gangguan serebral atau visual

b) Nyeri epigastrik atau nyeri pada kuadran kanan atas

c) Pertumbuhan fetus terhambat

d) Kegagalan fungsi hepar

e) Oliguria < 500 pada urin 24 jam

f) Edema pulmonary

(10)

2)

Pemeriksaan penunjang

a) Urin : protein, reduksi, bilirubin, sedimen urin

b) Darah : trombosit, ureum, kreatinin, SGOT, LDH, dan

bilirubin

c) USG (Mansjoer,2007)

h. Prognosis

Morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi tinggi.

1) Kematian Maternal

Di Negara-negara maju kematian meternal lebih rendah, yaitu

sekitar 3-15%. Di Negara-negara berkembang angka ini lebih

tinggi yaitu sekitar 9,8-25,5%. Kematian maternal biasanya

disebabkan oleh: perdarahan otak (25%), kegagalan

jantung-paru (50%), kegagalan ginjal (10%), infeksi (5%), kegagalan

hepar (5%), dan lain-lain.

2) Kematian Perinatal

Kematian perinatal di negara maju lebih rendah dibandingkan

dengan negara-negara berkembang. Di negara berkembang

dilaporkan berkisar antara 42,2%-50%. Sebab kematian bayi

terutama adalah hipoksia intrauterine dan prematuritas (Sofian,

2011).

i. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan preeklamsia berat yaitu:

(11)

Wanita penderita preeklamsia berat perlu dirawat di area

ketergantungan tinggi (high-dependency unit), karena eklamsia sering

terjadi pada periode ini. Pengawasan kondisi harus cermat bersamaan

dengan pemberian obat dan dukungan yang sesuai akan mengurangi

risiko jangka panjang (Bothamlay, 2011). Perawatan yang penting

pada preeklampsia ialah pengelolaan cairan karena penderita

preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk

terjadinya edema paru dan oligouria. Oleh karena itu, monitoring

input cairan (melalui organ atau infus) dan output cairan (melalui urin)

menjadi sangat penting. Harus dilakukan pengukuran secara tepat

berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin.

Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan

koreksi. Selain melalui urine bisa melalui pengeluaran keringat

dengan menggunakan rumus 10-15cc/bbKg/hari, apabila demam

pengeluaran keringat akan memproduksi dalam jumlah yang lebih

banyak (Asmadi, 2009). Cairan yang diberikan dapat berupa (a) 5%

Ringer-dekstrose atau cairan garam faali jumlah tetesan < 125cc/jam

atau (b) Infus Dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus

Ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.

Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin.

Oligouria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau <

500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung,

(12)

asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah

karbohidrat, lemak, dan garam (Saifudin, 2009).

Observasi penderita dilakukan di dalam kamar isolasi yang

tenang, dengan lampu redup ( tidak terang ), jauh dari kebisingan dan

rangsangan. Kemudian dibuat catatan setiap 30 menit berisi tensi,

nadi, respirasi, suhu badan, refleks, dan diuresis. Bila memungkinkan

dilakukan funduskopi (pemeriksaan mata bagian dalam atau bagian

fundus) sekali sehari. Pemberian cairan disesuaikan dengan jumlah

diuresis, pada umumnya 2 liter dalam 24 jam dan kadar protein urin

diperiksa dalam 24 jam kuantitatif (Sofian, 2012).

2) Pengelolaan Medisional

a) Obat Anti Hipertensi

Obat-obatan anti hipertensi menjaga agar perdarahan intra

kranial pada ibu tidak terjadi. Obat yang paling umum digunakan

adalah:

(1) Nifedipin

(a) M Blocker kanal kalsium, terutama efektif untuk periode

pasca persalinan

(b) 10-20 mg setiap 6 sampai 8 jam. Pemberian sublingual

tidak direkomendasikan karena efek vasodilator poten

yang dimilikinya

(c) Efek samping mencakup sakit kepala, aliran udara panas

(13)

(2) Labetalol atau Atenolol

(a) Antagonis campuran alfa dan beta : dosis 3-4 x 50 mg/ hari

(b) 10-20 mg bolus intravena yang dapat diulang setiap 10

menit hingga dosis maksimal 300 mg. alternative lain,

infuse labetalol tanpa berhenti pada kecepatan 1-2 mg/jam

dapat digunakan dan dititrasi sesuai dengan kebutuhan

(Edwin, 2013)

b) Obat Anti Kejang

Pasien nifas dengan komplikasi pre eklamsia berat dalam

penatalaksanaannya diberikan profilaksis kejang (Edwin, 2013).

Obat antikejang adalah:

MgSO4

Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang:

(1) Diazepam

(2) Fenitoin

Cara pemberian magnesium sulfat

(1) Loding dose:initial dose

4 gram MgSO4 : intravena, (40% dalam 10 cc) selama 15

menit.

(2) Maintenance dose:

Diberikan infuse 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam; atau

diberikan 4 atau 5 gram i.m. selanjutnya maintenance dose

(14)

Syarat- syarat pemberian MgSO4 :

(1) Harus tersedia antidotum MgSO4, apabila terjadi

intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% = 1 g (10%

dalam 100 cc) diberikan intravena 3 menit

(2) Refleks patella (+) kuat.

(3) Frekuensi pernapasan >16 kali/menit, tidak ada

tanda-tanda distress napas.

Magnesium sulfat dihentikan apabila:

(1) Ada tanda-tanda intoksikasi

(2) Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang

berakhir.

Pemberian Magnesium sulfat dapat menurunkan risiko

kematian ibu dan didapatkan 50% dari pemberiannya

menimbulkan efek flushes (rasa panas) (Saifuddin, 2009).

3) Penatalaksanaan oleh Bidan

Dalam keadaan darurat pasien preeklamsia segera masuk

rumah sakit, istirahat dengan tirah baring ke satu sisi dalam suasana

isolasi, pemberian obat-obatan antikejang, antihipertensi,

pemberian diuretik, pemberian infus dekstrosa 5% dan pemberian

antasida. Oleh karena itu bidan yang praktek mandiri tidak

berkewenangan dalam menangani kasus ini seperti yang tercantum

(15)

dan penyelenggaraan praktik bidan karena tidak tersedianya tenaga

kesehatan yang lebih berwenang.

Intervensi bidan dalam menghadapai preeklamsi berat dengan

memperkirakan bahwa kondisi pasien preeklamsi berat dapat

sewaktu-waktu memburuk, misalnya terjadi eklamsi (kejang)

adalah:

a) Merujuk ibu nifas dengan preeklamsia berat ke rumah sakit

yang mampu memberi perawatan yang lebih baik.

b) Dalam proses merujuk, ada kemungkinan timbul menjadi

eklamsia, sehingga sebaiknya dipersiapkan untuk menghindari

penyulitnya yaitu memasang infus untuk rehidrasi dan nutrisi

dengan glukosa 5% atau 10%. Dalam infus dapat diberikan

valium sekitar 30-40 mg (dosis maksimal valium sekitar

120mg), MgSO4 dapat diberikan secara intramuskular sekitar 4

gr (Manuaba, 2008).

B. Teori Manajemen Kebidanan

Berikut ini akan diuraikan proses manajemen kebidanan menurut 7

langkah Varney:

1. Langkah I. Pengumpulan Data Dasar (Pengkajian)

a. Anamnesa

1) Data Subyektif

(16)

Biodata yang diperlukan adalah nama dan usia (Sulistyawati,

2009). Semua ibu dengan usia di bawah 20 tahun dan usia di

atas 35 tahun dianggap lebih rentan mengalami preeklamsia

(Edwin, 2013).

b) Keluhan Utama

Menanyakan apakah pasien mengalami nyeri kepala hebat,

gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium dan

kenaikan progresif tekanan darah (Saifuddin, 2009).

c) Riwayat Kesehatan

1) Riwayat kesehatan sekarang, apakah pasien mengalami

nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri

epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah

(Saifuddin, 2009).

2) Riwayat kesehatan yang lalu, apakah pasien pernah

mengalami preeklampsia berat selama kehamilan serta

apakah ibu pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya

(Varney, et al, 2007).

3) Riwayat kesehatan keluarga, dalam kasus ini dikaji apakah

ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat

preeklampsia (Varney, et al, 2007).

Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami

(17)

preeklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu

mengalami preeklamsia (Prawirohardjo, 2008)

d) Riwayat kehamilan, persalinan, nifas dan KB yang lalu.

Data yang diperlukan adalah tentang berapa kali klien hamil

karena paritas merupakan predisposisi dari preeklamsia

(Edwin, 2013). Menanyakan komplikasi pada kehamilan,

persalinan, dan nifas yang lalu apakah ada riwayat preeklamsia

atau tidak yang merupakan faktor risiko dari preeklamsia

(Fauziah, 2012).

e) Biopsokososiokultural

1. Pola makan dan minum

Restriksi garam ternyata tidak terbukti dapat mencegah

terjadinya preeklamsia (Fadlun, 2011). Tetapi dengan

mengkonsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati ikan

dapat mengurangi risiko preeklamsia (Prawirohardjo, 2008).

2. Pola istirahat dan aktivitas

Istirahat sangat diperlukan oleh ibu post partum

(Sulistyawati, 2009).

Cara paling sederhana untuk mencegah preeklamsia bagi

mereka yang mempunyai risiko tinggi yaitu dengan cara

(18)

b. Data Obyektif

Pemeriksaan yang membantu menegakkan diagnosa preeklampsia berat

adalah:

1. Tekanan darah sistolik >160 mmHg atau diastolik 110 mmHg

2.

protein total sebesar 2 gm/24 jam

3. Kadar kreatinin darah melebihi 1,2 mg/dl kecuali telah diketahui

meningkat sebelumnya

4. Sakit kepala yang terus bertahan atau gangguan serebral atau visual

lain

5. Nyeri epigastrik yang terus menerus

6. Enzim hati yang meningkat (SGOT, SGPT, LDH)

7. Trombosit <100.000/mm3(Edwin, 2013)

c. Pemeriksaan Khusus

1. Inspeksi

Data yang diperoleh dari teknik inspeksi: postur tubuh klien lordosis,

keadaan umum lemah, dan sklera ikterik.

2. Palpasi

Data yang didapatkan dari pemeriksaan melalui teknik palpasi pada

penderita preeklampsia berat adalah terdapat edema kaki, tangan,

atau muka (Manuaba, 2008). Selain itu ada pemeriksaan dinding

perut (TFU), puting susu sudah keluar ASI atau belum, dan kandung

(19)

3. Auskultasi atau Perkusi

Data yang diperoleh melalui teknik auskultasi adalah : suara paru

vesikuler, tidak ada ronchi.

Data yang diperoleh dari pemeriksaan secara perkusi diantaranya :

reflek patella positif (Maritalia, 2012).

d. Pada pasien dengan preeklampsia perlu dilakukan pemeriksaan

penunjang : pemeriksaan reagen urine untuk mengetahui protein urin

diikuti pemeriksaan urine 24 jam, hemoglobin, hematokrit, pada

preeklampsia hematokrit meningkat karena hipovolemia, hitung

trombosit, kadar menurun pada preeklampsia, tes fungsi hati, dilihat

dari nilai LDH, SGOT, SGPT yang meningkat, tes fungsi ginjal, dilihat

dari peningkatan kreatinin serum (Varney, 2007).

2) Langkah II. Interpretasi Data Dasar

Interpretasi data dasar dapat dilakukan bila pengkajian telah selesai

dilaksanakan dan data telah terkumpul dengan lengkap. Data dasar yang

telah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan diagnosa

dan masalah yang spesifik.

a. Diagnosa yang dapat ditegakkan adalah ”Ny S umur 36 tahun, P3A0

post partum dengan pre eklampsia berat”.

b. Masalah

Masalah yang sering timbul pada ibu nifas dengan preeklampsia adalah

ibu cemas (tidak tenang) dengan keadaannya yaitu nyeri kepala

(20)

c. Kebutuhan. Kebutuhan pada ibu nifas dengan preeklamsia berat

menurut Varney (2007) antara lain :

1. Bedresttotal.

2. Mengobservasi tekanan darah ibu tiap 4 jam.

3. Motivasi untuk tetap tenang.

4. Memberikan informasi pada ibu tentang preeklampsia dan

penanganannya.

3) Langkah III. Identifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial/Diagnosa

Potensial dan Antisipasi Penanganannya.

Pada langkah ini, bidan mengidentifikasikan masalah atau diagnosa

potensial lain berdasarkan pada rangkaian masalah dan diagnosa yang

sudah teridentifikasi. Diagnosa potensial dari preeklamsia berat adalah

terjadinya eklamsia (Maritalia, 2012).

Pembagian preeklamsia tidaklah berarti adanya dua perbedaan yang

jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan penderita dengan preeklamsia

ringan dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh koma (Saifuddin,

2009).

Tindakan antisipasi yang dilakukan bidan adalah observasi keadaan

umum dan mencegah kejang, pengawasan ketat tekanan darah, observasi

cairan yang masuk dan yang keluar (terutama urin), bedrest total

(21)

4) Langkah IV. Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera

Tindakan segera yang dapat dilakukan oleh bidan pada ibu nifas

dengan preeklampsia berat dengan melakukan kolaborasi dengan dokter

SpOG untuk menentukan jenis tindakan atau terapi yang akan dilakukan

sesuai dengan kondisi atau keadaan pasien (Varney, 2007). Pemberian

antikonvulsan misalnya MgSO4.(Saifuddin, 2008).

5) Langkah V. Perencanaan Asuhan Yang Menyeluruh

Langkah ini merupakan kelanjutan manajemen terhadap masalah

atau diagnosa yang telah diidentifikasi atau diantisipasi (Maritalia, 2012).

a) Evaluasi secara terus menerus. Melakukan pengukuran vital sign,

pemeriksaan laboratorium, pengeluaran per vaginam, masalah pada

payudara, intake cairan dan makanan (Sulistyawati, 2009).

b) Berikan terapi medikamentosa (infus RL atau Dekstrosa 5%, MgSO4,

antihipertensi, analgesi dan diuretika) (Saifuddin, 2009).

c) Cegah infeksi dengan menutup luka yang berfungsi sebagai

penghalang dan pelindung terhadap infeksi selama proses

penyembuhan (Saifuddin, 2009).

d) Atasi cemas. Kaji penyebab cemas, libatkan keluarga dalam mengkaji

penyebab cemas dan alternatif penanganannya, serta berikan

dukungan mental dan spiritual pada pasien dan keluarga (Sulistyawati,

(22)

e) Berikan pendidikan kesehatan. Mengenai gizi, higienis, istirahat,

ambulasi, KB, tanda bahaya, hubungan seksual, dan perawatan bayi

(Sulistyawati, 2009).

6) Langkah VI. Pelaksanaan Langsung Asuhan Dengan Efisien Dan Aman.

Pada langkah keenam ini, rencana asuhan menyeluruh pada ibu

nifas dengan preeklampsia berat seperti yang telah diuraikan pada

langkah kelima dilaksanakan secara efisien dan aman (Maritalia, 2012).

7) Langkah VII. Evaluasi

Hasil asuhan dalam bentuk konkret dari perubahan kondisi pasien

dan keluarga. Asuhan dikatakan efektif jika ibu nifas dengan

preeklampsia berat kondisinya menjadi tekanan darah normal (120/80

mmHg) secara menetap dan teratasinya kepala pusing sehingga nifas

preeklampsia berat tidak berlanjut ke komplikasi yaitu eklampsia

(Varney, et al, 2007).

C. FOLLOW UP/DATA PERKEMBANGAN KONDISI KLIEN

7 langkah Varney disarikan menjadi 4 langkah yaitu : SOAP

(Subyektif, Obyektif, Assesment, dan Plan). SOAP disarikan dari proses

pemikiran penatalaksanaan kebidanan sebagai perkembangan catatan

kemajuan keadaan klien. SOAP menurut Kepmenkes RI No.

938/Menkes/SK/VII/2007 yaitu :

a. S = Subyektif

Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumuman data klien melalui

(23)

preeklampsia berat, data subyektif yang muncul adalah sakit kepala di

daerah frontal, nyeri epigastrum, gangguan visus (penglihatan kabur,

skotoma, diplopia), dan mual muntah (Sofian,2011).

b. O = Obyektif

Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil

laboratorium dan tes diagnostik lain yang dirumuskan dalam data fokus

untuk mendukung asuhan sebagai langkah I Varney. Data objektif pada

kasus ibu nifas dengan preeklampsia berat diperoleh melalui pemeriksaan

umum dan fisik pasien.

c. A = Assesment

Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan interpretasi data

subyektif dan obyektif dalam suatu identifikasi dan masalah kebidanan

serta kebutuhan. Sebagai langkah 2 Varney.

Diagnosa kebidanan yang dapat ditegakkan berdasakan data subyektif dan

objektif adalah Ny. S umur 36 tahun P3A0, post partum dengan pre

eklampsia berat. Masalah yang dapat terjadi pada ibu nifas dengan pre

eklampsia berat adalah ibu takut dan cemas dengan keadaannya.

d. P =Plan

Penatalaksanaan, mencatat seluruh perencanaan dan penatalaksanaan

yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera,

tindakan secara komprehensif, penyuluhan, dukungan, kolaborasi,

(24)

Beberapa hal yang perlu direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi dalam

kasus ibu nifas dengan pre eklampsia berat antara lain seperti observasi

tanda-tanda vital, ukur keseimbangan cairan, perawatan luka bekas

perineum, pemberian antikonvulsan, pemberian antihipertensi, pantau

pengeluaran urin dan proteinuria (Saifuddin, 2009). Kemudian setelah

dilakukan penatalaksanaan tindakan sesuai rencana diharapkan pasien

Gambar

Tabel 2.1.Diferensial Diagnosis Preeklamsia Ringan dan Berat
Gambar 2.1.Bagan Patofisiologi Preeklamsia Berat

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: studi kasus ini untuk mempelajari dan memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru berat lahir rendah secara komprehensif dengan menggunakan

Tujuan : Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien post partum spontan hari ke-1 atas indikasi pre-eklampsia berat, meliputi pengkajian, intervensi, implementasi,

Kesimpulan : Diagnosa yang ditemukan pada kasus post partum spontan hari ke- 1 atas indikasi pre-eklampsia berat pada Ny.. H adalah nyeri akut berhubungan dengan agen

Dalam asuhan secara berkelanjutan mulai dari masa kehamilan, persalinan, masa nifas, bayi baru lahir dan keluarga berencana.. Dalam proses penyelesaian Tugas Akhir ini,

kebidanan pada ibu hamil dengan preeklampsia berat menggunakan.. pendekatan manajemen kebidanan

N yaitu ibu nifas dengan pre eklamsia berat menggunakan manajemen kebidanan varney, pasien di observasi, dilakukan asuhan sesuai kolaborasi dan dari asuhan yang di berikan

Dalam pengkajian data dapat ditemukan diagnosa dan masalah kebidanan berdasarkan pendekatan manajemen asuhan kebidanan yang didukung oleh beberapa data, baik data

Pembahasan : Berdasarkan hasil penelitian tersebut kepada tenaga kesehatan khususnya bidan dapat melakukan Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin dengan Pre