• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh cerita adalah orang (-orang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh cerita adalah orang (-orang)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Tokoh dan Penokohan

1. Tokoh

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh cerita adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Menurut Thobroni (2008: 66) tokoh dan penokohan merupakan dua buah unsur cerita yang penting. Selain tokoh dan penokohan, di dalam ilmu sastra juga ada istilah-istilah serupa yaitu watak dan perwatakan, serta karakter dan karakterisasi. Tokoh merujuk kepada orang, alias pelaku cerita.

Menurut Aminuddin (1995: 79) peristiwa dalam karya sastra fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh.

Menurut Khairil (2010) tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Dengan melihat definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa tokoh dalam cerita memiliki variasi fungsi atau peran mulai dari peran utama, penting, agak penting, sampai sekedar penggembira saja. Perbedaan peran inilah yang menjadikan tokoh mendapat predikat sebagai tokoh utama (sentral), tokoh protagonis, antagonis, peran pembantu utama (tokoh andalan), tokoh tidak penting (figuran), dan tokoh penggembira (lataran).

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah orang atau pelaku yang ditampilkan dalam sebuah cerita atau karya sastra yang memiliki peranan yang

(2)

sangat penting. Karena tanpa adanya tokoh dalam suatu cerita bisa dikatakan cerita tersebut tidak akan hidup dan tidak akan menarik untuk dibaca.

Dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan setiap tokoh tidak sama. Ada tokoh yang dapat digolongkan sebagai tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh yang dapat digolongkan sebagai tokoh tambahan. Menurut Stanton (dalam Sugihastuti, 2003: 16) bahwa hampir setiap cerita memiliki tokoh sentral yaitu tokoh yang berhubungan dengan setiap peristiwa dalam cerita.

Biasanya tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa dalam cerita. Peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap dalam diri tokoh dan perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut. Jelasnya tokoh utama atau tokoh sentral suatu fiksi dapat ditentukan paling tidak dengan tiga cara. Pertama, tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan makna atau tema. Kedua, tokoh itu yang yang paling terlibat dengan makna atau tema. Ketiga, tokoh itu yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan (Sayuti, 2000: 74).

Menurut Nurgiyantoro (2007: 176-178) tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan berdasarkan beberapa hal meliputi:

a. Berdasarkan peranannya dalam suatu cerita, maka tokoh cerita dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya sebagai pelengkap saja.

b. Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan pembaca, harapan-harapan pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.

(3)

c. Berdasarkan perwatakan, tokoh dibagi menjadi dua, yaitu tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh bulat (compleks character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat tertentu saja. Sedangkan tokoh bulat atau tokoh kompleks adalah tokoh yang memiliki kompleksitas yang diungkap dari berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.

Tokoh-tokoh cerita sebagaimana dikemukakan tersebut, tidak akan begitu saja secara serta merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan sarana yang memungkinkan kehadirannya. Sebagai bagian dari karya fiksi yang bersifat menyeluruh dan padu, dan mempunyai tujuan artistik, kehadiran dan penghadiran tokoh-tokoh cerita haruslah juga dipertimbangkan dan tidak lepas dari tujuan tersebut. Masalah penokohan dalam sebuah karya sastra tak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadiran secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan.

2. Penokohan

Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyarankan pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007: 166).

Cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan. Boulton melalui Aminuddin (1995: 79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Mungkin pengarang menampilkan tokoh

(4)

sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidup dan lain sebagainya.

Thobroni (2008: 66) juga mengungkapkan bahwa penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu di dalam cerita. Pendeknya, penokohan adalah penggambaran yang jelas tentang diri seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita, dengan kata lain penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan tokoh.

Menurut Sudjiman melalui Sugihastuti (2003: 18), pengkajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh disebut penokohan. Pengkajian tersebut dapat berupa pemberian nama yang menyiratkan arti, uraian pengarang secara ekspilisit mengenai tokoh, maupun percakapan atau pendapat tokoh-tokoh lain dalam cerita.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah cara pengarang menggambarkan atau menampilkan tokoh dalam sebuah cerita. Penokohan menunjuk kepada penempatan tokoh-tokoh tertentu dan watak-watak tertentu pula dalam sebuah cerita.

Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam karya fiksi dibedakan ke dalam dua cara, yaitu pelukisan secara langsung dan pelukisan secara tidak langsung. Pelukisan secara langsung atau disebut juga dengan teknik analisis adalah pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Pelukisan tokoh secara tidak langsung adalah pengarang mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.

B. Konflik Psikologis

Konflik (conflict) adalah kejadian yang tergolong penting merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot. Pengembangan plot sebuah karya naratif akan dipengaruhi untuk tidak ditentukan oleh wujud dan isi konflik, bangunan konflik yang ditampilkan. Kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik melalui

(5)

berbagai peristiwa (baik aksi maupun kejadian) akan sangat menentukan kadar kemenarikan cerita yang dihasilkan. Misalnya peristiwa-peristiwa manusiawi yang seru dan sensasional, yang berkaitan satu sama lain dan menyebabkan munculnya konflik-konflik yang kompleks biasanya cenderung disenangi oleh pembaca. Bahkan sebenarnya, yang dihadapi dan menyita perhatian pembaca sewaktu membaca suatu karya naratif adalah terutama peristiwa-peristiwa konflik, konflik yang semakin memuncak, klimaks dan kemudian penyelesaian (Nurgiyantoro, 2007: 122).

Menurut Sayuti (2000: 42) konflik dalam cerita biasanya dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, konflik dalam diri seseorang (tokoh). Konflik jenis ini sering disebut psychological conflict ‘konflik kejiwaan’, yang biasanya berupa perjuangan seorang tokoh dalam melawan dirinya sendiri. Kedua, konflik antara orang-orang atau sesorang dalam masyarkat. Konflik jenis ini sering disebut dengan social conflict ‘konflik sosial’, yang biasanya berkaitan dengan permasalahan-permasalahan sosial. Ketiga, konflik anatara manusia dan alam. Konflik jenis ini sering disebut sebagai physical or element conflict ‘.

Menurut Stanton melalui Nurgiyantoro (2007: 124) konflik Internal (konflik kejiwaan) adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh (atau tokoh-tokoh) cerita. Jadi merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri dan lebih merupakan permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu terjadi karena adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan pilihan yang berbeda, harapan-harapan atau masalah-masalah yang lainnya.

Menurut Moeliono (Peny.) (2007: 587), konflik adalah percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Konflik dalam sastra adalah ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dsb). Konflik batin atau psikologis adalah konflik yang

(6)

disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku.

Menurut Dirgagunarsa (1986: 98) situasi konflik psikologis adalah situasi di mana seseorang merasa bimbang atau bingung karena harus memilih antara dua atau beberapa motif yang muncul pada saat bersamaan. Kebimbangan itu ditandai pula dengan adanya ketegangan dalam mengambil suatu keputusan atau pilihan.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat Dirgagunarsa, Walgito (2010: 261) juga berpendapat bahwa dalam kehidupan sehari-hari kadang-kadang atau sering individu menghadapi keadaan adanya bermacam-macam motif yang timbul secara bebarengan, dan motif-motif itu tidak dapat dikompromikan satu dengan yang lain, melainkan individu harus mengambil pemilihan dan bermacam-macam motif tersebut. Keadaan ini dapat menimbulkan konflik dalam diri individu yang bersangkutan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa konflik adalah pertentangan atau pertikaian yang terjadi pada diri sendiri atau terjadi antarkelompok. Sedangkan konflik dalam sastra adalah pertikaian atau perselisihan yang terjadi dalam sebuah cerita. Adanya konflik sangat mempengaruhi cerita karena dengan adanya konflik cerita menjadi lebih hidup.

Konflik psikologis adalah konflik yang terjadi pada jiwa manusia, hal itu terjadi karena adanya pertentangan antara dua keyakinan. Jika dalam sebuah cerita konflik psikologis terjadi pada jiwa tokoh-tokohnya dalam cerita. Konflik psikologis terjadi bila ada dua tujuan yang ingin dicapai sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Konflik terjadi akibat perbedaan yang tidak dapat diatasi antara kebutuhan individu dan kemampuan potensial. Konflik dapat diselesaikan melalui keputusan hati.

(7)

C. Bentuk-Bentuk Konflik Psikologis

Menurut pendapat Lewin, Hooland dan Sears (dalam Walgito, 2010: 155-156) bahwa konflik mempunyai empat bentuk. Tiga bentuk konflik pertama dikemukakan oleh Lewin, kemudian yang keempat dikemukakan oleh Hooland Sears. Bentuk-bentuk konflik itu antara lain adalah:

1. Konflik Mendekat-mendekat (approach-approach conflict). Konflik ini timbul apabila individu menghadapi dua motif atau lebih yang kesemuanya mempunyai nilai positif (menyenangkan atau menguntungkan) bagi individu yang bersangkutan, dan individu harus mengadakan pemilihan di antara motif-motif yang ada.

2. Konflik Mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict). Konflik ini timbul apabila individu menghadapi objek yang mengandung nilai yang positif, tetapi juga mengandung nilai yang negatif. Hal ini dapat menimbulkan konflik pada individu yang bersangkutan. 3. Konflik Menjauh-menjauh (avoidance-avoidance conflict). Konflik ini timbul apabila

individu menghadapi dua atau lebih motif yang kesemuanya mempunyai nilai negatif bagi individu yang bersangkutan. Individu tidak boleh menolak semuanya, tetapi harus memilih salah satu dari motif-motif yang ada.

4. Konflik terjadi jika individu menghadapi situasi yang mengandung baik nilai-nilai positif maupun nilai-nilai negatif. Keadaan ini dapat menimbulkan respons positif (penerimaan) maupun negatif (penolakan). Jadi, menimbulkan double approach-avoidance. Dalam hal ini individu harus memilih salah satu.

Menurut Wicaksono (2007), faktor-faktor penyebab timbulnya konflik batin atau psikologis, jika merujuk pada struktur dan dinamika kepribadian yang dibangun Sigmund Frued, maka munculnya konflik batin ini adalah akibat pertentangan dari unsur-unsur kepribadian, Id, Ego, dan Superego. Id berisi dorongan-dorongan instinktif, ego berisi pikiran-pikiran rasional manusia yang sesuai dengan realitas yang dihadapi, dan superego

(8)

berisi sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat di mana individu berada. Sepanjang hidup manusia selalu mengalami konflik dari unsur-unsur kepribadian tersebut. Konflik yang sering terjadi adalah pertentangan antara id dan superego. Ego sebagai penengahnya, oleh karena itu, seseorang yang memiliki ego lemah diasumsikan akan seringkali mengalami konflik batin yang tak terselesaikan dengan baik.

Menurut Rohmansyah (2010), konflik psikologis ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal adalah faktor yang berasal dari dalam individu itu sendiri. Sedangkan faktor situasional adalah faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri.

Menurut Dirgagunarsa (1986: 99) konflik dapat dikenali karena beberapa ciri yang umum sifatnya, yaitu:

1. Terjadi pada setiap orang dengan reaksi-reaksi yang berbeda untuk rangsang yang sama. Hal ini tergantung pada faktor-faktor yang pribadi sifatnya.

2. Konflik terjadi bilamana motif-motif mempunyai nilai yang seimbang atau kira-kira sama, sehingga menimbulkan kebimbangan dan ketegangan.

3. Konflik akan segera hilang kalau keputusan telah ditetapkan.

4. Konflik dapat berlangsung dalam waktu yang singkat, mungkin beberapa detik, tetapi bisa juga berlangsung lama, berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

D. Kepribadian Manusia 1. Pengertian Kepribadian

Istilah “kepribadian” (personality) sesungguhnya memiliki banyak arti. Hal ini disebabkan oleh adanya perbeadaan dalam penyusunan teori, penelitian, dan pengukurannya. Kiranya patut diakui bahwa di antara para ahli psikologi belum ada kesepakatan tentang arti

(9)

dan definisi kepribadian itu. Boleh dikatakan, jumlah arti dan definisi kepribadian adalah sebanyak ahli yang mencoba menafsirkannya (Koswara, 1991: 9).

Adapun kepribadian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris personality. Kata personality sendiri berasal dari bahasa Latin persona yang berarti topeng yang digunakan oleh para aktor dalam suatu permainan atau pertunjukkan. Di sini para aktor menyembunyikan kepribadiannya yang asli, dan menampilkan dirinya sesuai dengan topeng yang digunakannya (Yusuf dan JuntikaNurihsan, 2007: 3).

Yusuf dan JuntikaNurihsan(2007: 3) menambahkan dalam kehidupan sehari-hari, kata kepribadian digunakan untuk untuk menggambarkan: (1) identitas diri, jati diri seseorang, seperti: “Saya seorang yang terbuka” atau “Saya seorang pendiam,” (2) kesan umum seseorang tentang diri sendiri atau orang lain, seperti “Dia agresif” atau “Dia jujur”, dan (3) fungsi-fungsi kepribadian yang sehat atau bermasalah, seperti: “Dia baik” atau “Dia pendiam”.

Untuk memperoleh pemahaman tentang kepribadian ini, berikut dikemukakan beberapa pengertian dari para ahli (Yusuf dan JuntikaNurihsan, 2007: 3-4):

a) Hall & Lindzey mengemukakan bahwa secara populer, kepribadian dapat diartikan sebagai keterampilan atau kecakapan sosial (social skill), dan kesan yang paling menonjol, yang ditunjukkan sesorang terhadap orang lain (seperti sesorang yang dikesankan sebagai orang yang agresif atau pendiam).

b) Woodworth mengemukakan bahwa kepribadian merupakan “kualitas tingkah laku total individu”.

c) Dashiell mengartikan sebagai “gambaran total tentang tingkah laku individu yang terorganisasi”.

(10)

d) Derlega, Winstead & Jones mengartikan sebagai “Sistem yang relatif stabil mengenai karakteristik individu yang bersifat internal, yang berkontribusi terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku yang konsisten”.

Pengertian kepribadian menurut disiplin ilmu psikologi bisa diambil dari rumusan beberapa teori kepribadian yang terkemuka. George Kelly, misalnya, memandang kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya. Teoris yang lain, Gordon Allport, merumuskan kepribadian sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan atau bisa diartikan bahwa setiap individu bertingkah laku dalam caranya sendiri karena setiap individu memiliki kepribadiannya sendiri. Tidak ada dua orang yang berkepribadian sama. Sementara itu Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem, yakni id, ego, dan soperego. Tingkah laku, menurut Freud, tidak lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian tersebut (Koswara, 1991: 11).

2. Struktur kepribadian

Freud membagi struktur kepribadian ke dalam tiga komponen, yaitu id, ego dan superego. Perilaku seseorang merupakan hasil interaksi antara ketiga komponen tersebut 1) Id

Id merupakan komponen kepribadian yang primitif instinktif (yang berusaha untuk memenuhi kepuasan instink) dan rahim tempat ego dan superego berkembang. Id berorientasi pada prinsip kesenangan (pleasure principle) atau prinsip reduksi ketegangan. Id merupakan sumber energi psikis, maksudnya, bahwa id itu merupakan sumber dari instink kehidupan (eros) atau dorongan-dorongan biologis (makan, minum, tidur, bersetubuh dan lain sebagainya). Prinsip kesenangan merujuk kepada pencapaian kepuasan yang segera dari

(11)

dorongan-dorongan biologis tersebut. Id merupakan proses primer yang bersifat primitif, tidak logis, tidak rasional, dan orientasinya bersifat fantasi (maya).

2) Ego

Ego merupakan eksekutif atau manajer dari kepribadian yang membuat keputusan (decision maker) tentang instink-instink mana yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya atau sebagai sistem kepribadian yang terorganisasi, rasional dan berorientasi kepada prinsip realitas. Peranan utama ego adalah sebagai moderator (perantara) atau yang menjembatani antara id (keinginan yang kuat untuk mencapai kepuasan yang segera) dengan kondisi lingkungan atau dunia luar yang diharapkan. Ego dibimbing oleh prinsip realitas yang bertujuan untuk mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan atau dorongan id.

Seperti halnya id, ego pun mempunyai keinginan untuk memaksimalkan pencapaian kepuasan, hanya dalam prosesnya, ego berdasarkan kepada proses sekunder, yaitu berpikir realistis yang bersifat rasional, dan berorientasi kepada pemecahan masalah. Ke dalam proses sekunder ini termasuk pula fungsi-fungsi persepsi, belajar, memori, dan yang sepertinya. Melalui proses sekunder ini pula, ego merumuskan suatu rencana untuk memuaskan kebutuhan atau dorongan dan kemudian menguji rencana itu.

Hal yang harus diperhatikan dari ego ini adalah bahwa (1) ego merupakan bagian dari id yang kehadirannya bertugas untuk memuaskan kebutuhan id, bukan untuk mengecewakannya, (2) seluruh energi (daya) ego berasal dari id, sehingga ego tidak terpisahkan dari id, (3) peran utamanya menengahi kebutuhan id dan kebutuhan lingkungan sekitar, dan (4) ego bertujuan untuk mempertahankan kehidupan individu dan pengembangbiakannya.

(12)

3) Superego

Superego merupakan komponen moral kepribadian yang terkait dengan standar atau norma masyarakat mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Melalui pengalaman hidup, terutama pada usia anak, individu telah menerima latihan atau informasi tentang tingkah laku yang baik dan yang buruk. Individu mampu menerima norma-norma sosial atau prinsip-prinsip moral tertentu, kemudian menuntut individu yang bersangkutan untuk hidup sesuai dengan norma tersebut.

Superego berfungsi untuk (1) merintangi dorongan-dorongan id, terutama dorongan seksual dan agresif, karena dalam perwujudannya sangat dikutuk oleh masyarakat, (2) mendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan tujuan-tujuan moralistik, dan (3) mengejar kesempurnaan (perfection).

3. Tipe-tipe Kepribadian

Tipe pribadi menurut Galenus (dalam Yusuf dan JuntikaNurihsan, 2008: 26) adalah sebagai berikut.

a) Tipe Sanguins, tipe ini mempunyai sifat dasar, periang, optimistis, dan percaya diri. Sifat perasaannya adalah mudah menyesuaikan diri, tidak stabil, baik hati, tidak serius, kurang dapat dipercaya karena kurang begitu konsekuen.

b) Tipe Melankolis, sifat dasarnya adalah pemurung, sedih, pesimistis, kurang percaya diri. Sifat lainnya adalah, merasa tertekan dengan masa lalunya, sulit menyesuaikan diri, berhati-hati, konsekuen dan suka menepati janji.

c) Tipe Koleris, sifat dasarnya adalah selalu merasa kurang puas, bereaksi negatif dan agresif. Sifat-sifat lainnya adalah mudah tersinggung (emosional), suka membuat provokasi, tidak mau mengalah, tidak sabaran, tidak toleran, dan banyak inisiatif (usaha).

(13)

d) Tipe Plegmatis, sifat dasarnya adalah pendiam, tenang, netral, dan stabil. Sifat lainnya merasa cukup puas, tidak peduli, dingin hati, bersifat hemat, sangat hemat dan tertib/ teratur.

Untuk menggambarkan bagaimana masing-masing tipe kepribadian di atas memberi reaksi terhadap suatu persoalan. Di sini dapat dikemukakan ilustrasi tentang bagaimana apabila mereka sedang berjalan di jalan yang kecil dan di tengah-tengah jalan itu ada batu besar yang menghalanginya. Bagi yang Sanguins, dia akan meloncati batu itu, yang koleris menendangnya dengan penuh amarah, yang Plegmatis mencari jalan memutar untuk menghindari batu, sedangkan yang Melankolis, dia akan duduk di atas batu itu sambil menangis.

4. Mengatasi Konflik

Freud berasumsi bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari rentetan konflik internal yang terus menerus. Konflik antara id, ego dan superego adalah hal yang biasa (rutin), karena id menginginkan kepuasan dengan segera, sementara ego menundanya sampai ada kecocokan dengan dunia luar, dan superego sering sekali menghalanginya. Contoh: id seseorang mendorong untuk memukul teman yang mencemooh. Namun, superego menghalanginya, karena perbuatan itu kurang baik. Akhirnya dalam diri mengalami konflik.

Konflik sering terjadi secara tidak disadari. Walaupun tidak disadari, konflik tersebut dapat melahirkan kecemasan. Kecemasan ini dapat dilacak dari kekhawatiran ego akan dorongan id yang tidak dapat dikontrol, sehingga melahirkan suasana yang mencekam atau mengerikan (Yusuf dan JuntikaNurihsan, 2008: 51 ).

Menurut Alwisol (2009: 65) ada tiga macam hubungan interpersonal, yakni kecenderungan mendekat, kecenderungan menentang, dan kecenderungan menjauh. Dalam mengatasi tingkah laku, konflik dan kecemasan hanya dapat dilakukan melalui perbaikan hubungan interpersonal yang salah satu itu.

(14)

Bergerak mendekat orang lain, orang mendekati orang lain sebagai usaha untuk melawan perasaan tak berdaya. Orang yang merasa selalu kalah atau mudah kalah menjadi sangat membutuhkan kasih sayang-penerimaannya, atau membutuhkan partner yang kuat untuk yang dapat mengambil tanggung jawab terhadap kehidupannya.

Bergerak melawan orang lain, orang yang agresif memandang orang lain sebagai musuh, dan memakai strategi untuk melawan orang lain untuk meredakan kecemasan. Sedangkan bergerak menjauh orang lain, untuk mengatasi konflik dasar, orang justru memisahkan diri. Strategi ini adalah ekspresi kebutuhan keleluasaan pribadi (privacy), kemandirian, dan kecukupan diri sendiri. Kebutuhan semacam itu bisa menimbulkan tingkah laku yang positif, tetapi juga bisa menimbulkan yang negatif.

E. Psikologi Sastra

Sastra adalah sastra. Begitu batasan yang paling sulit dibantah. Artinya selain sastra adalah bukan sastra. Namun dilain pihak, kita juga boleh menyatakan sastra adalah ungkapan jiwa. Sastra itu wakil jiwa lewat bahasa. Lewat simbol sastra itu ada. Simbol yang mewadahi jiwa hingga sastra itu menarik (Endraswara, 2008: 86).

Menurut Wellek dan Warren (1995: 90) istilah “Psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).

Ratna (2004: 61) berpendapat bahwa pendekatan psikologi sastra pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala uatama yaitu, pengarang, karya sastra, dan pembaca dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologi lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra.

(15)

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra merupakan kajian terhadap tokoh-tokoh yang ada dalam sastra meliputi: (1) kajian terhadap pengarang sebagai pencipta karya sastra, (2) kajian terhadap proses penciptaan sastra, (3) kajian terhadap hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra, dan (4) kajian terhadap pengaruh karya sastra terhadap pembacanya.

Menurut Endraswara (2008: 87) sastra sebagai “gejala kejiwaan”, di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang tampak, lewat perilaku tokoh-tokohnya. Dengan demikian, karya sastra dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi. Sastra dan psikologi terlalu dekat hubungannya. Meskipun sastrawan jarang berpikir secara psikologis, namun karyanya tetap bisa bernuansa kejiwaan. Hal ini dapat diterima karena antara sastra dan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional.

Tidak langsung artinya hubungan itu ada karena baik sastra maupun psikologi, kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama, yakni kejiwaan manusia. Pengarang dan psikolog adalah sama-sama manusia biasa. Mereka mampu menangkap keadaan kejiwaan manusia secara mendalam. Hasil penangkapan itu setelah mengalami proses pengolahan diungkapkan dalam bentuk sebuah karya. Hanya perbedaannya, sang pengarang mengemukakannya dalam bentuk karya sastra, sedangkan psikolog sesuai dengan keahliannya, ia mengemukakannya dalam bentuk formulasi teori-teori psikologi.

Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Hanya perbedaannya gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil. Namun keduanya saling melengkapi dan saling mengisi untuk pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia,

(16)

karena terdapat kemungkinan apa yang ditangkap oleh sang pengarang tak mampu diamati oleh psikologi atau sebaliknya (Endraswara, 2008: 88).

Secara definitif tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike (Ratna, 2004: 342-343).

Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Sebagai dunia dalam kata karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan.

Psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin, yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hubungan inilah peneliti harus menemukan gejala yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh pengarangnya yaitu dengan memanfaatkan teori-teori psikologi yang dianggap relevan. Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh dan penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis adalah karya-karya yang memberikan intensitas pada aspek kejiwaan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa novel mempunyai dunia otonom sendiri yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai karakter berbeda-beda.

(17)

Karakter tokoh-tokoh tersebut dapat diamati dalam suatu rangkaian peristiwa yang ada pada sebuah cerita. Psikologi merupakan disiplin ilmu sendiri yang memiliki otonom dan berdiri sendiri. Objek psikologi adalah manusia riil, sedangkan objek dalam novel adalah manusia rekaan pengarang. Namun diantara keduanya terdapat titik temu. Psikologi memiliki teori-teori yang dapat dimanfaatkan untuk membantu mengkaji karakter tokoh-tokoh dalam novel.

Dalam disiplin ilmu yang sebenarnya, psikologi digunakan untuk mengamati perilaku manusia nyata. Dalam hubungannya dengan novel, psikologi dimanfaatkan untuk mengamati perilaku tokoh-tokoh rekaan pengarang. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan psikologi sangat membantu dalam mengkaji karakter para tokoh dalam sebuah karya sastra.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, tokoh merupakan unsur yang penting dalam karya sastra (novel), karena suatu peristiwa terjadi karena reaksi para tokoh, tanpa tokoh tidak mungkin

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sastra anak merupakan salah satu karya sastra yang lebih dikhususkan untuk anak-anak dengan bahasa dan

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh cerita adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca

Apabila suatu cerita hanya terdapat tokoh utama saja atau tokoh pendamping saja, cerita tidak dapat tersampaikan dengan baik bahkan cenderung membingungkan karena

terdapat dalam karya sastra, yang mengemban peranan sesuai dengan alur cerita dari karya..

Aminudin (2010: 79) berpendapat bahwa tokoh utama atau tokoh sentral merupakan tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita. Tokoh utama merupakan tokoh

Penokohan dalam suatu karya sastra berarti mendevinisikan atau mengidentifikasi setiap tokoh yang ada dalam karya sastra tersebut baik secara fisik ataupun batin.. Pendapat

2.6.2 Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah suatu pelaku yang bermain dalam cerita Tokoh dala m novel adalah kumpulan orang-orang yang ditampilkan dalam setiap bab ak atau jalannya cerita