• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PERTAMBANGAN DI KABUPATEN GOWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PERTAMBANGAN DI KABUPATEN GOWA"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PERTAMBANGAN DI KABUPATEN GOWA

(Studi Kasus Putusan 1759/PID.B/2017/PN.MKS)

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

ANDI MUHAMMAD ISFAN FAJAR 4515060018

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2019

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan nikmat tak terhingga serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul: “Analisis Yuridis Tindak Pidana Pertambangan di Kabupaten Gowa (Studi Kasus Putusan 1759/Pid.B/2017/PN.Mks)”

Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan guna untuk menyelesaikan studi pada Program Strata Satu (S1) Universitas Bosowa Makassar.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam segi bentuk, isi maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk dapat memberikan pemikiran,kritik maupun saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Skripsi ini saya persembahkan kepada kedua orang tua tercinta yang tiada henti melantunkan doa disetiap sujudnya, serta dukungan dan motivasi yang tidak bosannya diberikan kepada penulis, ayahanda H. Ir. Andi Muh Risal, M.Si. dan Ibunda Hj. Andi Herlinda, S.E. terima kasih atas segalanya. Persembahan skripsi ini tiada setitik pun sepadan dengan perjuangan yang tiada pernah mengeluh membesarkan saya, sementara mengerjakan skripsi ini telah banyak keluhan- keluhan yang terlontar dari bibir.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis dengan

v

(6)

segala kerendahan hati ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muh. Saleh Pallu., M.Eng. selaku Rektor Universitas Bosowa Makassar dan seluruh jajarannya.

2. Bapak Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing I dan Bapak Basri Oner S.H., M.H. selaku pembimbing II yang telah senantiasa meluangkan waktu memberikan bimbingan dan nasihat, memberikan ilmu, saran dan masukan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Abdul Haris Hamid, S.H., M.H. dan Bapak Dr. Baso Madiong., S.H., M.H. selaku penguji yang telah memberikan saran serta masukan selama penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar beserta seluruh jajarannya.

5. Bapak Dr. Almusawir S.H., M.H. selaku Ketua Prodi Fakultas Hukum Universitas Bosowa dan segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar yang telah memberikan bekal pengetahuan yang sangat berharga kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan.

6. Seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Bosowa, terimakasih atas bantuan dan fasilitas yang diberikan selama ini.

7. Saudara-saudariku yang selalu menjadi motivasi, semangat untuk terus menerus belajar, dan menyelesaikan studi strata satu dengan tepat waktu.

8. Kepada keluarga besar penulis tanpa terkecuali yang telah mendukung dan mendoakan selama ini.

9. Lily Nurlinda Sari, A.md. yang menjadi penyemangat hidup, membantu, dan terus memotivasi untuk memperoleh gelar sarjana.

vi

(7)

10. Seluruh teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2015 terima kasih untuk suka dan duka semoga kedepannya kita masih menjalin hubungan silaturahim dan menjadi lebih baik dari sekarang. Semoga kita meraih mimpi yang selama ini kita cita-citakan.

11. Aslan, S.H. dan Muh Syahrul Ago, S.H. terima kasih atas arahan, dukungan, dan motivasinya.

12. Teman-teman KKN Tematik Angkatan ke 3 atas dukungan dan kerjasama dalam menyelesaikan tugas KKN Tematik.

13. Teman-teman dan adik-adik Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum yang selalu bersatu untuk membangun kerjasama demi Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

Akhirnya, Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penyusunan skripsi ini, dan apabila ada yang tidak tersebutkan Penulis mohon maaf, dengan besar harapan semoga skripsi yang ditulis oleh Penulis ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca. Bagi para pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini semoga segala amal dan kebaikan yang telah disumbangkan mendapatkan balasan yang berlimpah dari allah SWT. Aamiin

Makassar, Maret 2019

ANDI MUHAMMAD ISFAN FAJAR

vii

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.2 Kegunaan Penelitian ... 6

1.4. Metode Penelitian ... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tindak Pidana ... 10

2.1.1 Pengertian Tindak Pidana ... 10

2.1.2 Unsur - Unsur Tindak Pidana ... 13

2.1.3 Jenis - Jenis Tindak Pidana ... 14

2.2 Pertambangan ... 19

2.2.1 Pengertian Pertambangan ... 19

2.2.2 Hukum Pertambangan ... 20

2.2.3 Jenis - Jenis Tindak Pidana Dalam Bidang Pertambangan 22 2.2.4 Aturan Hukum Yang Mengatur Tentang Pertambangan . 30 2.3 Proses Hukum Dan Sanksi Penambang Ilegal ... 31

2.3.1 Penyidikan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Pengadilan .. 31

2.3.2 Efektifitas Sanksi Pidana ... 35

viii

(9)

BAB 3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Lokasi Pertambangan di Kabupaten Gowa ... 40 3.2 Proses Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Pertambangan Liar

Gol. C Di Kabupaten Gowa ... 41 3.3 Sanksi Pidana Yang Dijatuhkan Oleh Hakim Dalam Putusan

Nomor :1759/Pid.B/2017/PN.Mks Sejalan Dengan

Upaya Pemberantasan Penambang Liar Gol. C ... 55 BAB 4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan ... 60 4.1 Saran ... 61 DAFTAR PUSTAKA ... 62

ix

(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bahan tambang merupakan bagian dari lingkungan hidup yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup.

Dewasa ini, kejahatan lingkungan termasuk pertambangan sering terjadi di Indonesia, namun semua itu sering dianggap hal yang biasa. Misalnya saja pada pertambangan, pertambangan merupakan usaha untuk menggali berbagai potensi- potensi yang terkandung dalam perut bumi.

Indonesia merupakan negara kaya akan bahan tambang. Bahan itu meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batubara, dan lain- lain. Sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia, menuntut rakyat Indonesia agar berupaya semaksimal mungkin dalam mengelola dan memanfaatkan hal tersebut demi kesejahteraan manusia itu sendiri dan Negara Indonesia. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pembangunan yang bermuara pada peningkatan dan pembinaan untuk menciptakan manusia yang unggul, kompetitif, dan inovatif serta melalui pembangunan.

Salah satu kekayaan alam Indonesia adalah terdapatnya bahan galian berupa mineral endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan menjadi aset tidak tergantikan bagi Bangsa Indonesia oleh karenanya penguasaannya dikuasai oleh negara dan di pergunakan sebesar-

(11)

besarnya kemakmuran rakyat, yang secara jelas dan tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3), bahwa: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adanya penegasan tersebut mencerminkan pentingnya setiap pengelolaan atau pengusahaan hanya dapat dilakukan dengan adanya izin dari negara (pemerintah). Selain itu, penegasan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur dan mengawasi tata cara pengelolaan bahan galian dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Negara menguasai secara penuh semua kekayaan yang terkandung di dalam bumi dan di pergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat.

Akan tetapi kenyataannya rakyat melakukan kegiatan penambangan dengan tidak memperhatikan aspek-aspek yang penting di dalamnya, seperti tidak memperhatikan akibat yang ditimbulkan atau pengaruh dengan adanya pertambangan tersebut (pertambangan liar), namun tidak menutup kemungkinan pertambangan juga dilakukan oleh perusahaan tambang yang telah memiliki ijin resmi. Istilah hukum pertambangan merupakan terjemahan dan bahasa Inggris, yaitu mining law. Hukum pertambangan adalah : "hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan bijih-bijih dan mineral-mineral dalam tanah".Definisi ini hanya difokuskan pada aktivitas penggalian atau pertambangan bijih-bijih. Penggalian atau pertambangan merupakan usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi yang terkandung dalam perut bumi. Didalam definisi ini juga tidak terlihat

(12)

bagaimana hubungan antara pemerintah dengan subyek hukum. Padahal untuk menggali bahan tambang itu diperlukan perusahaan atau badan hukum yang mengelolanya.

Pengertian Pertambangan menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 Angka 1 Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang, Ayat (6) Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang, dan Ayat (19) Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral.

Dengan sebuah kekayaan alam yang bersifat tidak dapat diperbaharui dan memiliki jumlah terbatas tentu saja membuat komoditas bahan tambang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Adanya nilai ekonomis yang tinggi tersebut menjadi faktor utama dalam pengusahaan bahan tambang ini menjadi sebuah industri pertambangan oleh pihak pemerintah (melalui BUMN/BUMD) maupun dari pihak swasta (investor dalam negeri maupun asing).

(13)

Kegiatan pertambangan ini selain menghasilkan keuntungan atau profit yang besar bagi para investornya, tentu saja juga memiliki dampak positif bagi negara dan masyarakat lingkungan sekitar. Dimana setiap pengusahaannya memiliki setiap keuntungan (laba) baik bagi investor maupun negara. Penggunaan pajak bagi kegiatan pengusahaan pertambangan dapat pula menjadi nilai pemasukan bagi negara dalam menjalankan pembangunan fisik maupun kehidupan negara. Di sisi lain kegiatan pertambangan dapat membuka lapangan pekerjaan yang jumlahnya besar, mengingat besarnya kegiatan pengusahaan ini yang memiliki tahapan-tahapan yang sangat panjang serta cakupan pelaksanaan (dari segi waktu dan luas wilayah pertambangan) pekerjaan yang besar memerlukan tenaga yang besar pula, sehingga tidak mengherankan apabila kegiatan pelaksanaan ini dapat membuka lapangan kerja dalam jumlah yang banyak dan tentunya sangat membantu masyarakat serta negara dalam menanggulangi masalah pengangguran yang merupakan salah satu faktor memperlambat laju roda pembangunan di negara ini. Keberadaan kegiatan pertambangan selain membawa dampak positif juga memiliki dampak negatif. Dimana kegiatan pertambangan selalu identik dengan kerusakan lingkungan dan masalah-masalah lainnya. Pengerjaan yang tidak sesuai standar operasional pertambangan,

Ketidakpedulian terhadap masalah lingkungan sekitar, atau kesengajaan untuk tidak berbuat seperti yang diperjanjikan dalam kontrak (productsharing atau kontrak karya/reklamasi, dsb) atau izin kegiatan

(14)

pertambangan serta timbulnya masalah dengan masyarakat sekitar adalah akar permasalahan dalam kehadiran kegiatan pertambangan di suatu daerah.

Permasalahan pertambangan tidak hanya timbul dari adanya kegiatan pertambangan yang bersifat resmi, tetapi juga menyentuh kepada kegiatan pertambangan yang bersifat tidak resmi (tidak memiliki izin/illegal) atau biasa disebut Illegal Mining. Bahkan kegiatan pertambangan tanpa izin ini merupakan faktor timbulnya kerusakan lingkungan yang tidak terkendali serta masalah-masalah lainnya. Maraknya kegiatan pertambangan tanpa izin/illegal mining tidak terlepas dari beberapa faktor yang melandasi keberadaannya. Perkembangan kegiatan pertambangan tanpa izin ini sudah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan karena juga menimbulkan tumbuhnya perdagangan produk pertambangan di pasar-pasar gelap (black market) yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap penghindaran pajak resmi penjualan bahan tambang.

Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Gowa, kegiatan pertambangan tanpa izin/illegal mining cenderung meningkat dari tahun ketahun. Hal tersebut didasari atas adanya faktor korelatif antara lain, seperti: Kabupaten Gowa merupakan sentra produksi material tambang jenis mineral pasir, batuan, dan tanah timbunan, yang mencakup wilayah Kecamatan Bontomarannu, Pallangga, Bajeng, Bontonompo, dan Parangloe yang mana hasil produksinya mensuplai beberapa daerah yang ada di sekitarnya seperti:

Kota Makassar dan Kabupaten Takalar, bahkan dilakukan distribusi material antar pulau. Adanya kegiatan pertambangan tanpa izin/illegal mining tentu

(15)

saja berimplikasi terhadap masalah hukum khususnya dengan masalah pidanaan hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Melihat hal itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan berjudul “Analisis Yuridis Tindak Pidana Pertambangan Di Kabupaten Gowa ( Studi Kasus Putusan 1759/Pid.B/2017/PN.Mks )”

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Proses Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Pertambanngan Liar Gol. C Di Kabupaten Gowa ?

2. Apakah Sanksi Pidana Yang Dijatuhkan Oleh Hakim Dalam Putusan Nomor : 1759/Pid.B/2017/PN.Mks Sejalan Dengan Upaya Pemberantasan Penambang Liar Gol. C ?

1.3. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimanakah Proses Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Pertambangan Liar Gol. C Di Kabupaten Gowa

2. Untuk Mengetahui Apakah Sanksi Pidana Yang Dijatuhkan Oleh Hakim Dalam Putusan Nomor : 1759/Pid.B/2017/PN.Mks Sejalan Dengan Upaya Pemberantasan Penambang Liar Gol. C

1.3.2 Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya yang

(16)

menyangkut Tindak Pidana Pertambangan. Dapat memberikan informasi dan bahan/literature bagi para pembaca tentang Tindak Pidana Pertambangan.

2. Secara Praktis

Dapat bermanfaat bagi para praktisi hukum dan aparat penegak hukum dalam rangka Penanganan Perkara Tindak Pidana Pertambangan.

1.4. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian dilaksanakan di Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Kejaksaan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri Makasssar.

2. Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini sesui dengan permasalahan dan tujuan penelitian, dibagi dalam dua jenis yaitu :

a. Data Primer

Data primer yaitu data empiris yang bersumber dari pengetahuan dan pengalaman narasumber yang diperoleh langsung di lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu pada umumnya merupakan data-data normative yang dijadikan sebagai landasan teori dalam menjawab

(17)

permasalahan penelitian, yang sumbernya diperoleh dari kajian perpustakaan, referensi-referensi hukum, peraturan perundang- undangan dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai tindak lanjut dalam memperoleh data penelitian sebagaimana yang diharapkan, maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Penelitian Kepustakaan ( Library Research )

Penelitian kepustakaan untuk mengumpulkan data sekunder yang merupakan kerangka dasar yang bersifat teoritis sebagai pendukung data empiris. Penelitian ini dilaksanakan dengan cara menelaah dan mempelajari referensi berupa buku-buku ilmu hukum, tulisan-tulisan ilmu hukum, majalah, laporan media cetak dan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti.

b. Penelitian Lapangan ( Field Research ).

Adalah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara, peneliti mendatangi langsung informan dan narasumber sebagai sumber-sumber data (Informasi) penelitian. Studi lapangan ini ditempuh menggunakan teknik :

1. Wawancara

Instrument ini digunakan dalam pengumpulan data dimana seorang peneliti melakukan komunikasi langsung dengan objek

(18)

penelitian atau sumber data dengan cara bertatap muka dan berkomunikasi secara langsung.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder dianalisis secara kualitatif, kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Penggunaan teknik analisis kualitatif mencakup semua data penelitian yang diperoleh dari dua macam teknik pengumpulan data (kepustakaan dan lapangan).

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tindak Pidana

2.1.1Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana.

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaarfeit”

untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan

“strafbaarfeit” tersebut. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari

“strafbaarfeit”. Pengertian “strafbaarfeit” menurut Vos yang dikutip dalam bukunya Bambang Poernomo (1993:91) adalah suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstrcto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secara konkret dan pelaku tindak pidana dapat dikatakan merupakan “subjek tindak pidana”.

Untuk memberi gambaran secara jelas tentang pengertian tindak pidana atau delik, berikut penulis kemukakan beberapa pandangan ahli hukum berikut ini:

(20)

Menurut Wirjono Prodjodikoro (2003:59), tentang Tindak Pidana adalah:

tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana, dan pelakunya ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana

Tindak pidana pada dasarnya harus ada subjek dan orang itu melakukannya dengan kesalahan. Dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana, hal itu berarti bahwa ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu terdapat kesalahan, sebaliknya jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang memenuhi unsur sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang serta diancam dengan pidana oleh undang-undang dan faktor-faktor lainnya, tanpa adanya unsur kesalahan, berarti telah terjadi suatu tindak pidana.

Menurut D. Simons, (Frans Maramis, 2016:58), tentang tindak pidana hal ini dinyatakan sebagai berikut:

Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana “yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (eene strafbaar gestelde “onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar perso”).

Jadi, pengertian strafbaarfeit menurut Simons menjelaskan bahwa strafbaarfeit tidak hanya perbuatan melawan hukum, tetapi juga merupakan peristiwa pidana yang berdasarkan kesalahan dalam arti luas yaitu dolus (sengaja), culpa late (alpa atau lalai), yang dimana perbuatan tersebut akan dipertanggung jawabkan.

(21)

Menurut Moeljatno (Ruslan Renggong, 2018:145) menggunakan istilah perbuatan pidana, yang artinya :

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu atura hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Atau dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan erat pula, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan, justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu; maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang meunjuk kepada dua keadaan konkret; pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

Sebagai perbandingan terhadap pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum pidana tersebut, perlu kiranya mengemukakan pengertian tindak pidana menurut Pasal 11 ayat (1) RUU KUHP yang menentukan bahwa, tindak pidana adalah perbuatan melakukan

(22)

atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

2.1.2 Unsur – Unsur Tindak Pidana

Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:

1. Perbuatan (manusia),

2.Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil), 3. Bersifat melawan hukum (syarat materil).

Syarat formil harus ada, karena asas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP.

Unsur-unsur tindak pidana dikemukakan oleh Moeljatno (1987:63), sebagai berikut :

a. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;

c. Perbuatan itu bertentangan dengan hukum;

d. Harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertaggungjawabkan;

e. Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada pembuat.

Hanya perbuatan manusia yang boleh dilarang oleh aturan hukum.

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak harus perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana.

Selanjutnya juga dijelaskan oleh R. Tresna (Adam Chazawi, 2002:80), tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni :

a. Perbuatan atau rangkaian perbuatan (manusia);

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c. Diadakan tindakan penghukuman.

(23)

Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman yang menunjukkan bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan pendapat Moeljatno karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dijatuhi pidana.

2.1.3 Jenis - Jenis Tindak Pidana

Dalam buku Teguh Prasetyo (2014:58-62) memberikan penjelasan mengenai jenis-jenis tindak pidana yaitu sebagai berikut :

a. Kejahatan dan Pelanggaran.

KUHP Menempatkan kejahatan di dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran. Semuannya di serahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan.

Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum dan pelangaran merupakan wetsdelict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa kadilan, misalnnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan sebagainya.

Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya saja keharusan untuk mempunyai sim bagi yang mengendarai kendaraan bermotor ijalan umum, atau

(24)

mengenakan helm ketik mengendarai sepeda motor. Disini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.

b. Delik Formal (Formil) dan Delik Material (Materiil)

Pada umumnya rumusan delik didalam KUHP merupakan rumusan yang selesai, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya.

Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak dipermasalahkan apakah perbuatanya, sedagkan akibatnya hanya merupakan aksidentalia (hal yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal 362 (pencurian), Pasal 160 (penghasutan), dan Pasal 209-210 (penyuapan). Jika seseorang dalam melakukan perbuatan mengambil dan seterusnya, dalm delik pencurian sudah cukup. Juga jika penghasutan sudah dilakukan, tidak peduli apakah yang dihasut benar-benar mengikuti hasutan itu.

Sebaliknya didalam delik material titik beratnya pada akibat yang dilarang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah. Contohnya adalah Pasal 338 (pembunuhan), yang terpenting adalah matinya seseorang. Caranya boleh dengan mencekik, menusuk, menembak, dan sebagainya.

(25)

c. Delik Dolus dan Delik Culpa

Dolus dan culpa merupakan bentuk kesalahan (schuld) yang akan dibicarakan tersendiri dibelakang.

1. Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas. . . dengan sengaja, tetapi mungkin juga dengan kata-kata lain yang senada, seperti. . . diketahuinya, dan sebgainya. Contohnya adalah Pasal 162, 197, 310, dan Pasal 338, dan lebih banyak lagi.

2. Delik Culpa didalam rumusannya memuat unsur kealpaan, dengan kata . . . karna kealpaannya, misalnya pada Pasal 359, 360, 195. Didalam beberapa terjemahan kadang-kadang dipakai istilah . . . karna kesalahanya.

d. Delik Commissionis dan Delik Omissionis.

Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuat sesuatu yang dilarang atau tidak berbuat sesuatu yang diharuskan (to commit = melakukan ;to omit = meniadakan).

1. Delik Commissionis barangkali tidak terlalu sulit dipahami, misalnya berbuat mengambil, menganiaya, menembak, mengancam, dan sebagainya.

2. Delik Omissions dapat kita jumpai pada Pasal 522 (tidak datang menghadap kepengadilan sebgai saksi), Pasal 164 (tidak melaporkan adanya pemufakatan jahat).

(26)

Disamping itu, ada yang disebut delik commissionis per omissionem commissa. Misalnya seorang ibu dengan sengaja tidak memberikan air susu kepada anaknya yang masih bayi dengan maksud agar anak itu meninggal (Pasal 338), tetapi dengan cara tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.

Keharusan menyusui bayi tidak terdapat didalam hukum pidana.

Juga seseorang penjaga pintu lintasan kereta api yang tidak menutup pintu itu sehingga terjadi kecelakaan (Pasal 164).

e. Delik Aduan dan Delik Biasa (Bukan Aduan)

Delik Aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang kepentingan atau terkena. Misalnya penghinaan, perzinaan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini tidak banyak terdapat didalam KUHP. Siapa yang dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perzinaan misalnya, yang berkepentingan adalah suami atau istri yang bersangkutan.

Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute, yang penuntutannya hanya berdasarka pengaduan, dan delik aduan relatif disini karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal 367 ayat (2) dan (3)).

(27)

Beberapa waktu yang lalu ada usul agar delik perzinahan tidak lagi dimasukkan sebagai delik aduan, tetapi sebagai delik biasa.

Ternyata banyak yang menentang, sebab hal itu dapat berakibat lebih parah. Didalam proses penangkapan, orang awan dapat melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan jika dalam keadaan tertangtap tangan, yaitutertangkap ketika sedang berbuat.

Sebaliknya dalam masalah pembajakan buku, kaset, dan sebagainya, yang semula merupakan delik aduan didalam UU Hak Cipta yang baru dinyatakan buku sebagai dalam delik aduan.

f. Jenis Delik Yang Lain

1. Delik berturut-turut (foortgezet delict) : yaitu tindak pidana yang dilakukan berturut-turut misalnya mencuri uang satu juta rupiah, tetapi dilakukan setiap kali seratus ribu rupiah.

2. Delik yang berlangsung terus : misalnya tindak pidana merampas kemerdekaan orang lain, cirinya adalah perbuatan terlarang itu erlangsung memakan waktu.

3. Delik berkualifikasi (gequalificerd), yaitu tindak pidana dengan pemberatan, misalnya pada malam hari, penganiayaan (Pasal 351 ayat 3 dan 4) hendak tidak dikacaukan dengan kualifikasi dari delik yang artinya adalah nama delik itu.

4. Delik dengan privilege (gepriviligeerd delic), yaitu delik dngan peringanan, misalnya pembunuhan bayi oleh ibu yang

(28)

melahirkan karena takut diketahui (Pasal 341), ancaman pidananya lebih ringan daripada pembunuhan biasa.

5. Delik Politik, yaitu tindak pidana yang berkaitan dengan negara sebagai keseluruhan, serti terhadap keselamatan kepala negara dan sebagainya (Bab I – IV Buku II KUHP), dan juga tindak pidana subversi.

6. Delik Propria, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kualitas tertentu, seperti hakim, ibu, pegawai negeri, ayah, majikan, dan sebgainya yang disebutkan di dalam pasal KUHP.

2.2 Pertambangan

2.2.1 Pengertian Pertambangan

Dalam buku Gatot Supranomo (2012:6) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pertambangan yaitu suatu kegiatan yang dilakukan dengan penggalian kedalam tanah (bumi) untuk mendapatkan sesuatu yang berupa hasil tambang.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan, dijelaskan bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

Pengertian tersebut dalam arti luas karena meliputi berbagai kegiatan

(29)

pertambangan yang ruang lingkupnya dapat dilakukan sebelum penambangan, proses penambangan, dan sesudah proses penambangan.

Pengertian pertambangan mineral dan pertambangan batubara jelaslah berbeda. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, diluar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Sedangkan yang dimaksud dengan pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

2.2.2Hukum Pertambangan

Muhammad Yusuf HS (2017:28-30) dalam Skripsi Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Pertambangan Gol.C Tanpa Izin menyatakan bahwa :

Hukum pertambangan merupakan salah satu bidang kajian hukum yang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Lahirnya hukum pertambangan selama ini adalah tidak terlepas dari ideologi hak menguasai negara yang dianut pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan:

Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan sebsar-besarnya untuk kepentingan rakyat

Hukum pertambangan merupakan seperangkat aturan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan yang berkaitan dengan industry pertambangan dan untuk meminimalkan konflik antara perusahaan tambang dan memberikan penjelasan yang bersifat umum kepada siapa saja yang mempunyai hak-hak untuk melakukan kegiatan pertambangan.

(30)

Defenisi lain tentang hukum pertambangan disajikan oleh Salim HS (2014:8). Ia mengemukakan bahwa hukum pertambangan adalah:

keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur kewenangan Negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) setelahnya dan mengatur hubungan hukum antara Negara dengan orang dan atau badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang)

Seiring dengan perkembangan pembangunan dan berbagai kebijakan pemerintah, Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 diganti dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentan Pembinaan dan Pengawasan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Ada tiga unsur esensial yang tercantum dalam landasan filosofis atau pertimbangan hukum Undang-Undang nomor 4 tahun 2009, yaitu:

a. Eksistensi sumber daya mineral dan batubara, b. Penguasaan Negara,

c. Tujuan penguasaan Negara.

Negara Republik Indonesia Negara diberi kewenangan untuk menguasai sumber daya mineral dan batubara. Pada hakekatnya, tujuan penguasaan Negara atas sumber daya alam adalah memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran

(31)

dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan, sementara itu yang menjadi tujuan pengelolaan mineral dan batubara yaitu:

a. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;

b. Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;

c. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan /atau sebagai sumber energy untuk kebutuhan dalam negeri;

d. Mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;

e. Meningkatkan pendapatan masyarakat local, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat;

f. Menjamin kepastian hukum dalam menyelenggarakan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (Pasal 3 Undang- undang no.4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara).

2.2.3 Jenis–Jenis Tindak Pidana Dalam Bidang Pertambangan

Gatot Supramono (2012:248-252) dalam UU Pertambangan selain mengenal adanya tindak pidana illegal mining juga terdapat bermacam- macam tindak pidana lainnya, yang sebagian besar yang ditujukan kepada pelaku usaha pertambangan, dan hanya satu macam tindak pidana yang

(32)

ditujukan kepada pejabat penerbit izin di bidang pertambangan. Tindak Pidana Tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tindak pidana melakukan pertambangan tanpa izin

Sebagaimana telah diketahui di atas bahwa negara mempunyai hak menguasai atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya termasuk tambang. Berdasarkan hal tersebut setiap orang yang akan melakukan kegiatan pertambangan aturan mainnya wajib meminta izin lebih dahulu dari negara atau pemerintah.

Apabila terjadi kegiatan penambangan pelakunya tidak memiliki izin, maka perbuatannya merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara yang berbunyi “setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

b. Tindak pidana menyampaikan data laporan keterangan palsu

Dalam melaksanakan kegiatan pertambangan dibutuhkan data-data atau keterangan-keterangan yang benar dibuat oleh pelaku usaha yang bersangkutan seperti data studi kelayakan, laporan

(33)

kegiatan usahanya, dan laporan penjualan hasil tambang agar hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Perbuatan memberikan data atau laporan yang tidak benar sebenarnya sanksinya sudah diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Oleh karena itu pemalsuan suratnya dibidang pertambangansudah diatur secara khusus, terhadap pelakunya dapat di pidana berdasarkan Pasal 159 UU pertambangan yang dapat di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

c. Tindak pidana melakukan eksplorasi tanpa hak

Pada dasarnya untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan wajib memliki izin dan setiap izin yang dikeluarkan terhadap 2 kegiatan yang harus dilakukan yaitu untuk eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan eksplorasi meliputi penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan. Yang dimaksud eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan telitit tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup (Pasal 1 angka 15).

Kegiatan eksplorasi pertambangan didasarkan atas izin yang dikeluarkan pemerintah yaitu IUP atau IUPK, maka eksplorasi yang dilakukan tanpa izin tersebut merupakan tindak pidana yang diancam

(34)

hukuman berdasarkan Pasal 160 ayat (1) UU No.4 tahun 2009 dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

d. Tindak pidana sebagai pemegang IUP eksplorasi tidak melakukan melakukan kegiatan operasi produksi

Orang yang melakukan kegiatan usaha penambangan pada prinsipnya melakukan penambangan dengan cara menggali tanah untuk mendapatkan hasil tambang kemudian dijual da akan memperoleh keuntungan. Seperti diketahui diatas bahwa kegiatan usaha pertambangan terdiri atas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

Oleh karena itu terdapat 2 tahap dalam melakukan usaha pertambangan maka pelaksanaannya harus sesuai dengan prosedur, melakukan kegiatan eksplorasi baru eksploitasi. Sehubungan dengan itu khusus bagi pemegang IUP eksplorasi setelah melakukan kegiatan eksplorasi tidak boleh melakukan operasi produksi sebelum memperoleh IUP produksi. Pelanggarannya diancam dengan Pasal 160 ayat 2 UU No.4 tahun 2009 yang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar).

Ketentuan tersebut digunakan pemerintah sebagai alat untuk mengontrol perusahaan pertambangan yang nakal, ketika melakukan kegiatan eksplorasi sesuai dengan izinnya langsung melakukan kegiatan operasi produksi padahal belum menjadi pemegang IUP eksploitasi

(35)

e. Tindak pidana pencucian barang tambang

Dalam kegiatan keuangan dan perbankan dikenal adanya pencucian uang atau money laundering, dimana uang yang berasal dari kejahatan “dicuci” melakukan perusahaan jasa keuangan agar menjadi yang dianggap “bersih”. Dibidang pertambangan juga dapat terjadi pencucian hasil tambang, penambang-penambang gelap dapat berhubungan dengan para penambang yang memiliki izin untuk mengadakan transaksi barang tambang yang sah.

Tindak pidana pencucian barang tambang (mining laundering) dalam UU No.4 tahun 2009 di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Untuk dapat membongkar kejahatan tersebut tentu tidak mudah karena pada umumnya penambangan dilakukan di daerah pedalaman yang biasanya jauh dari keramaian dan sepi petugas, sehingga dibutuhkan adanya pengawasan intensif dengan kerjasama antara kementerian pertambangan, pemerintah daerah setempat dan kepolisian.

f. Tindak pidana menghalangi kegiatan usaha pertambangan

Pengusaha pertambangan yang telah memperoleh izin dari pejabat yang berwenang dapat segera melakukan kegiatannya sesuai lokasi yang diberikan. Dalam melaksanakan kegiatan usaha

(36)

pertambangan terkadang tidak dapat berjalan lancer karena adanya gangguan dari warga masyarakat setempat.

Gangguan tersebut antara lain karena disebabkan jalan menjadi rusak akibat dilalui kendaraan-kendaraan berat, sungai dan sawah tertutup tanah galian tanaman menjadi rusak, dll. Warga yang merasa dirugikan biasanya protes dengan berbagai cara agar penambangan tidak diteruskan.

Terhadap perbuatan yang mengganggu kegiatan usaha pertambangan tersebut merupakan tindak pidana yang diancam dengan Pasal 162 UU No.4 tahun 2009, di pidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp.

100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Akibat adanya gangguan dari masyarakat akan merepotkan pengusaha pertambangan karena proyek tidak dapat jalan, setidaknya hal tersebut telah tergambar dalam analisis psiko sehingga pengusaha dapat menghindari akan timbulnya resiko yang akan terjadi. Misalnya jika jalan yang dilewati menuju proyek sebelum rusak berat segera diperbaiki tentu masyarakat akan senang.

g. Tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahguaan wewenang pejabat pemberi izin

Ketentuan pidana yang telah dibicarakan diatas lebih banyak ditujukan kepada perbuatan yang dilakukan oleh penerima/pemegang izin tambang. Selain itu UU pertambangan juga

(37)

mengatur tentang tindak pidana yang ditujukan pada pejabat pemberi izin sebagaimana Pasal 165 berbunyi: “setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, dan IUPK yang bertentangan dengan undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun pidana penjara dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Perbuatan penyalahgunaan kewenangan sifatnya luas tetapi terhadap pejabat penerbit izin tersebut dibatasi sepanjang perbuatan penerbitan IUP, IPR, dan IUPK saja. Tujuan diaturnya tindak pidana ini agar pejabat tersebut dapat bekerja dengan baik dan melayani kepentingan masyarakat dengan semestinya.

h. Tindak pidana yang pelakunya badan hukum

Badan hukum adalah sekelompok orang yang terkait suatu organisasi yang dipandang sebagai manusia pada umumnya. Suatu organisasi disebut badan hukum apabila akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah. Untuk perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, pengesahan akta pendiriannya dilakukan oleh menteri hukum dan ham dan diumumkan dalam berita Negara RI. Dalam badan hukum kegiatannya dilakukan oleh pengurusnya. Oleh karena badan hukum dipandang sebagai manusia maka badan hukum dapat menjadi pelaku pidana dan yang bertanggungjawab adalah pengurusnya.

(38)

Dalam tindak pidana dibidang pertambangan badan hukum dapat sebagai pelaku pidananya sebagaimana diatur pada Pasal163 ayat (1) UU No.4 tahun 2009. Meskipun demikian dalam UU tersebut tidak memberikan pengertian tentang badan hukum. Istilah badan hukum disinggung dalam pengertian badan usaha (Pasal 1 angka 23). Badan usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak dibidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum indonesia dan berkedudukan dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.

Jika tindak pidana dibidang pertambangan dilakukan oleh suatu badan hukum, maka yang dapat dituntut di pengadilan adalah badan hukumnya, namun hukuman yang dijatuhkan hakim selain pidana penjara, juga pidana denda terhadap pengurusnya. Disamping itu terhadap badan hukum tersebut dijatuhi hukuman berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan.

Kemudian hakim juga dapat menjatuhkan hukuman tambahan terhadap badan hukum berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.

i. Pidana tambahan

Dalam hukuman pidana dikenal adanya hukuman pokok dan hukuman tambahan. Pelaku tindak pidana dibidang pertambangan diatas yang dijatuhi pidana penjara dan denda merupakan hukuman

(39)

pokok. Selain jenis hukuman tersebut pelakunya dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

1. Perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana,

2. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindaak pidana, 3. Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana

terhadap badan hukum berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.

2.2.4 Aturan Hukum Yang Mengatur Tentang Pertambangan

a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Didalam undang-undang khusus (lex specialis) dalam hal ini undang-undang no.4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara ketentuan pidana diatur didalam Bab XXIII Pasal 158 sampai Pasal 165. Ketentuan pidana yang terdapat didalam undang- undang ini banyak mengatur persoalan izin yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambanan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Didalam pasal 158 tersebut dinyatakan bahwa “setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, dan IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling

(40)

lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

b. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

Didalam Peraturan Pemerintah tersebut telah dijelaskan ruang lingkup ketentuan umum yaitu pasal 5 yang berisi:

Lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi pemberian IUP, IPR, dan IUPK, kewajiban pemegang IUP, IPR, dan IUPK, serta pegutamaan penggunaan mineral logam dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri.

2.3 Proses Hukum Dan Sanksi Penambang Ilegal

2.3.1 Penyidikan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Pengadilan a. Penyidikan

Pengertian penyidikan secara umum dalam KUHAP dijelaskan dalam BAB I Pasal 1 angka 2 yang berbunyi :

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Untuk menggambarkan pengertian kata penyidikan, KUHAP membedakan penyidikan dan penyelidikan. Penyidikan sejajar dengan pengertian opsporing atauinvestigation. Perbedaan kedua istilah tersebut rupanya tidak didasarkan kepada pengertian biasa.

Pengertian biasa menunjukkan bahwa penyidikan berasal dari kata

(41)

sidik yang mendapat sisipan el, menjadi selidik. Artinya sama dengan sidik, hanya diperkeras pengertiannya, banyak menyidik (Andi Hamzah, 2000:118).

Menurut Andi Hamzah (2000:118) bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidikan

2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik.

3. Pemeriksaan ditempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.

5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan.

7. Pemeriksaan atau interogasi

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan ditempat).

9. Penyitaan.

10. Penyampingan perkara.

11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan

pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.

b. Penuntutan

Pengertian penuntutan dalam KUHAP dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 yang berbunyi :

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

(42)

undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, (Muhammad Rusli, 2007:76) yang dimaksud dengan penuntutan adalah :

menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa

Tujuan penuntutan adalah untuk mendapat penetapan dari penuntut umum tentang adanya alasan cukup untuk menuntut seorang terdakwa di muka hakim. Wirjono Prodjodikoro (Muhammad Rusli, 2007:76).

c. Pemeriksaandi Pengadilan

Pemeriksaan di pengadilan dimulai dengan penentuan hari persidangan yang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara, hal tersebut diatur di dalam Pasal 152 ayat (1) KUHAP. Dalam hal ini, hakim tersebut memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan sanksi untuk datang di siding pengadilan yang diatur di dalam Pasal 152 ayat (2) KUHAP.

KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang pengadilan yaitu :

a. Pemeriksaan perkara biasa b. Pemeriksaan singkat c. Pemeriksaan cepat

(43)

Pemeriksaan cepat dibagi lagi atas pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas.

Undang-undang tidak memberikan batasan tentang perkara- perkara yang mana yang termasuk pemerisaan biasa. Hanya pada pemeriksaan singkat dan cepat saja diberikan bantuan. Pasal 203 ayat (1) KUHAP memberi batasan tentang apa yan dimaksud dengan pemeriksaan singkat yaitu :

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana”.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan pemeriksaan cepat ditentukan oleh Pasal 205 ayat (1) berkaitan dengan tindak pidana ringan yaitu :

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak- banyaknya tujuh ribu rupiah dan penghinaan ringan, kecuali yang ditentukan dalam paragraph 2 bagian ini”.

2.3.2 Efektifitas Sanksi Pidana

Efektifitas penerapan sanksi diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemberian sanksi atau pemidanaan. Suatu pemidanaan dikatakan efektif apabila tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaa itu tercapai

Menurut Baso Madiong (2014:116) efektifitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan

(44)

tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolak ukur efektivitas.Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (Baso Madiong, 2014:116-121) bahwa ada lima faktor yang menjadi tolak ukur efektifitas hukum yaitu :

a. Faktor Hukum

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama.

Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif dari masing-masing orang.

Mengenai faktor hukum dalam hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada Pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya saja, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas batas maksimal hukuman.

(45)

Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.

b. Faktor Penegak Hukum

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy (Baso Madiong, 2014:118) yang mengatakan :

“Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.

Didalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau petugas hukum. Sayang dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap

(46)

atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut dan hal ini merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan efektif atau tidaknya ketentuan hukum yang berlaku.

c. Faktor Sarana Dan Fasilitas

Sarana yang ada di Indonesia sekarang ini memang diakui masih cukup tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang memiliki sarana lengkap dan teknologi canggih di dalam membantu penegakan hukum. Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, kalau tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Namun menurut pendapat Baso Madiong (2014:20) bahwa faktor ini tidaklah menjadi faktor yang dominan untuk segera diperbaiki ketika ingin terwujudnya suatu efektivitas hukum.

d. Faktor Masyarakat

Masyarakat dalam hal ini menjadi suatu faktor yang cukup mempengaruhi juga di dalam efektifitas hukum. Apabila masyarakat

(47)

tidak sadar hukum dan/atau tidak patuh hukum maka tidak mungkin ada keefektifan. Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum dan efektifitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan.

e. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto (Baso Madiong, 2014:121), mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor tersebut tidak ada faktor yang sangat dominan berpengaruh, semua faktor tersebut harus saling mendukung untuk membentuk efektifitas hukum.

(48)

Dan dapat disimpulkan bahwa berfungsinya hukum dengan baik sangat ditentukan oleh keserasian kelima faktor tersebut yang akan mengarah pada penegakan hukum, sebab secara sosiologis hukum dan penegakannya serta aspek kemasyarakatan lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar hukum.

(49)

BAB 3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3 1. Gambaran Umum Lokasi Pertambangan di Kabupaten Gowa

Kabupaten Gowa yang berada pada bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan ini berbatasan dengan 7 kabupaten/kota lain, yaitu di sebelah Utara berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan Jeneponto sedangkan di bagian Barat berbatasan dengan Kota Makassar dan Takalar.

Luas wilayah Kabupaten Gowa adalah 1.883,33 km2 atau sama dengan 3,01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah Kabupaten Gowa terbagi dalam 18 Kecamatan dengan jumlah Desa/Kelurahan definitif sebanyak 167 dan 726 Dusun/Lingkungan. Wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar berupa dataran tinggi berbukit-bukit, yaitu sekitar 72,26% yang meliputi 9 kecamatan yakni Kecamatan Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Selebihnya 27,74% berupa dataran rendah dengan topografi tanah yang datar meliputi 9 Kecamatan yakni Kecamatan Somba Opu, Bontomarannu, Pattallassang, Pallangga, Barombong, Bajeng, Bajeng Barat, Bontonompo dan Bontonompo Selatan.

Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Gowa, kegiatan pertambangan tanpa izin/illegal mining cenderung meningkat dari tahun ketahun. Hal tersebut didasari atas adanya faktor korelatif antara lain, seperti: Kabupaten Gowa

(50)

merupakan sentra produksi material tambang jenis mineral pasir, batuan, dan tanah timbunan, yang mencakup wilayah Kecamatan Bontomarannu, Pallangga, Bajeng, Bontonompo, dan Parangloe yang mana hasil produksinya mensuplai beberapa daerah yang ada di sekitarnya seperti: Kota Makassar dan Kabupaten Takalar, bahkan dilakukan distribusi material antar pulau.

3 2. Proses Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Pertambangan Liar Gol. C di Kabupaten Gowa

Sebagaimana telah diketahui di atas bahwa negara mempunyai hak menguasai atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya termasuk tambang sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3). Berkaitan dengan pengelolaan tambang, setiap orang atau badan usaha yang hendak melakukan penambangan wajib memiliki izin lebih dahulu dari negara atau pemerintah.

Apabila terjadi kegiatan penambangan pelakunya tidak memiliki izin, maka perbuatannya merupakan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi “setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”

Penulis akan terlebih dahulu menguraikan proses hukum terhadap tindak pidana pertambangan liar berdasarkan Putuan Nomor 1759/Pid.B/2017/PN.Mks ;

(51)

A. Identitas Terdakwa

Pengadilan Negeri Makassar yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara terdakwa :

1. Nama lengkap : ABD. RAHMAN Dg. SIRIWA ; 2. Tempat lahir : Tebakkang, Kabupaten Gowa ; 3. Umur/tanggal lahir : 37 Tahun/ 15 Mei 1980 ; 4. Jenis kelamin : Laki-laki ;

5. Kebangsaan : Indonesia ;

6. Tempat Tinggal : Dusun Tebakkang, Desa Paraikatte, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa ;

7. Agama : Islam ;

8. Pekerjaan : Wiraswasta ; B. Posisi Kasus

Kasus usaha pertambangan tanpa izin di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, perkara ini diputus di Pengadilan Negeri Makassar dengan pertimbangan bahwa sebagian besar saksi bertempat tinggal di Makassar.

Bahwa ia terdakwa ABD. RAHMAN Dg, SIRIWA, pada sekitar bulan Maret Tahun 2017, atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2017, bertempat di Kampung Sogayya, Desa Paraikatte, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa, dimana berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP, Pengadilan Negeri Makassar berwenang mengadili, telah melakukan usaha

(52)

pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK, sebagaimana dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

C. Barang Bukti

Menimbang bahwa didalam pemeriksaan perkara ini Penuntut Umum mengajukan barang bukti berupa : 1 (satu) unit mesin penghisap pasir (dompeng), 1 (satu) unit mobil truk izusu warna putih DD 8684 LC, Sample mineral hasil tambang berupa pasir, telah diperlihatkan serta dibenarkan oleh saksi dan terdakwa ;

D. Proses Penyidikan

1. Menerima laporan dari warga sekitar lokasi penambangan illegal.

2. Melakukan tindakan pertama yaitu memerintahkan terdakwa untuk berhenti melakukan kegiatan penghisapan pasir dan menanyakan izinnya serta tanda pengenalnya tetapi tersagka tidak dapat memperlihatkan izinnya oleh sebab itu pihak penyidik memasang police line.

3. Penyidik tidak melakukan penahanan terhadap tersangka ; - dikarenakan selama proses tersangka koperatif

- tidak dilakukan penggeledahan

- dan melakukan penyitaan barang bukti, yaitu ; 1). Alat penghisap pasir ( dompeng )

2). Sebuah unit mobil truk isuzu

4. Tidak melakukan pengambilan sidik jari dan mengambil foto lokasi penambangan liar tersangka

(53)

5. Mendatangkan seorang saksi di pemeriksaan penyidikan serta ahli dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Selatan.

Demikian proses hukum yang dilaksanakan oleh penyidik terhadap terdakwa kasus pertambangan liar yang dilakukan oleh ABD.RAHMAN Dg. SIRIWA.

E. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Bahwa ia terdakwa ABDUL RAHMAN Dg SIRIWA, pada sekitar bulan Maret Tahun 2017, atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam Tahun 2017, bertempat di Kampung Sogayya Desa Paraikatte Kec.Bajeng Kab.Gowa, dimana berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP, PN Makassar berwenang mengadili, telah melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK, sebagaimana dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5).

Perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

- Bahwa berawal ketika terdakwa melakukan kegiatan pertambangan di lokasi milik kakek terdakwa seluas 20 are, dimana jenis mineral yang terdakwa ambil dari kegiatan pertambangan tersebut berupa pasir.

- Bahwa adapun alat yang digunakan dalam penambangan tersebut adalah 1 (satu) Unit mesin penghisap pasir merk Jiandon yang dilengkapi dengan pipa untuk menghisap pasir kurang lebih 3 meter dan pipa untuk pembuangan sebanyak 10 batang serta 1 buah sekop.

- Bahwa kegiatan tersebut terdakwa memperkerjakan 2 (dua) orang atas nama Sdr.Dg.Tayang yang bertugas sebagai pengawas dan operator

(54)

dan diberi upah oleh terdakwa sebesar Rp.100.000,- sedang Sdr.Rizal selaku tukang sekop pasir dan diberi upah sebesar Rp.25.000.-

- Bahwa hasil pengerukan /penghisapan pasir tersebut terdakwa jual kepada orang yang membutuhkan material pasir dimana terdakwa jual dengan harga Rp.530.000,- (lima ratus tiga puluh ribu rupiah) sudah termasuk dengan biaya angkutannya dengan menggunakan truk, dimana dalam sehari terdakwa menjual 7 s/d 8 truk.

- Bahwa kegiatan penambangan tersebut dilakukan terdakwa sejak pertengahan bulan Januari 2017.

-

Bahwa untuk kegiatan tersebut diatas, terdakwa tidak memiliki ijin dalam melaksanakan kegiatan penambangan, dimana untuk ijin penambangan tersebut sesuai keterangan ahli Ir.H.Syarifuddin., MH menjelaskan bahwa terdakwa harus mengajukan permohonan Izin Usaha Pertambangan sesuai dengan Undang-undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang berwenang untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), didaerah adalah Gubernur.

-

Bahwa walaupun terdakwa tidak memiliki IUP tersebut, terdakwa tetap melakukan penambangan jenis pasir hingga ditemukan oleh pihak kepolisian dan saat penambangan dilakukan terdakwa tidak dapat memperlihatkan ijin dimaksud.

(55)

F. Alat Bukti Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Izin Gol. C

1. Keterangan Saksi

Menimbang, bahwa selanjutnya dipersidangan telah didengar keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Penuntut Umum yang telah memberikan keterangan dibawah sumpah pada pokoknya sebagai berikut :

a. Saksi INDRA KUSMAWAN AHMAD. SH., menerangkan :

- Bahwa saksi saat ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan mengerti dihadirkan dipersidangan ini ;

- Bahwa pada hari Rabu, taggal 21 Maret 2017, sekitar pukul 11.00 Wita, bertempat di Kampung Sogayya, Desa Julukanaya, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa, saksi bersama team menemukan terdakwa telah melakukan penambangan pasir tanpa ijin ;

- Bahwa pada awalnya saksi menerima laporan dari masyarakat yang mengatakan bahwa di Kampong Sogayya, Desa Julukanaya, Kecamatan Palangga ada yang melakukan penambangan pasir tanpa ijin dari yang berwenang ;

- Bahwa saksi menemukan kegiatan pertambangan dilakukan diatas lahan seluas 20 are dengan menggunakan 1 unit mesin penghisap pasir dan truk enam roda dan dari hasil wawancara dengan masyarakat setempat diketahui kalua yang bertanggung jawab di lokasi itu adalah Abdul Rahman Daeng Siriwa (terdakwa) ;

- Bahwa kemudian saksi menanyakan langsung kepada terdakwa tentang ijin-ijin yang dimilikinya akan tetapi saat itu diketahui kalua

Referensi

Dokumen terkait

Vertebrae thoraks bagian dorsal ular buhu kanan ular pucuk kiri pengamatan metode rebus dengan kamera digital……….. Vertebrae thoraks ventral ular buhu bagian kanan ular pucuk

bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan retribusi daerah maka Peraturan Daerah Kabupaten Majene Nomor 9 Tahun 1999 tentang

Pada makalah ini penulis akan menguraikan tentang blog sebagai media pembelajaran interaktif karena blog sebagai salah satu jurnal online yang menjadi alternatif

Dari pemaparan mengenai kajian pemerolehan bahasa kedua dapat disimpulkan jika dalam mempelajari bahasa, yang diperlukan seorang pembelajar bukah hanya aptitude (kecerdasan

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengganalisis kinerja usahatani jagung pada penerapan inovasi varietas hibrida pada lahan kering di

Untuk membantu proses pengeringan gabah yang lebih merata perlu dilakukan proses pembalikan atau pengadukan gabah, pada mesin pengering padi tersebut terdapat pengaduk yang

Hasil kajian menunjukkan tahap kompetensi guru dari aspek pemahaman (min3.60) dan aspek pengetahuan (min3.35) berada pada tahap sederhana, manakala sikap guru-guru

Ancaman terhadap keamanan pangan karena alih fungsi lahan, perlu upaya melalui budidaya di bawah tegakan pohon. Pertanaman sengon akhir-akhir ini digemari baik oleh