• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Rahman (dalam Dilla, et al. (2018) Kemampuan berpikir kreatif merupakan salah satu komponen kognitif siswa yang menunjang keberhasilan mereka. Meskipun demikian, kreativitas cenderung jarang sekali diperhatikan dalam pembelajaran matematika. Kemampuan berpikir kreatif matematis adalah suatu kemampuan dalam matematika yang meliputi kelancaran, keluwesan, keaslian dan elaborasi. Kelancaran adalah kemampuan menjawab masalah matematika secara tepat. Keluwesan adalah kemampuan menjawab masalah matematika, melalui cara yang tidak baku. Keaslian adalah kemampuan menjawab masalah matematika dengan menggunakan bahasa, cara, atau idenya sendiri. Elaborasi adalah kemampuan memperluas jawaban masalah, memunculkan masalah baru atau gagasan baru.

Menurut Faturohman dan Afriansyah (2020), berpikir kreatif merupakan proses pembelajaran yang mengharuskan guru untuk dapat memotivasi dan memunculkan kreativitas siswa selama pembelajaran berlangsung, dengan menggunakan beberapa metode dan strategi yang bervariasi, misalnya kerja kelompok, bermain peran, dan pemecahan masalah.

(Torrance dalam Lestari dan Yudhanegara, 2017) menyatakan kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan untuk menghasilkan ide atau gagasan

(2)

yang baru dalam menghasilkan suatu cara dalam menyelesaikan masalah, bahkan menghasilkan cara yang baru sebagai solusi alternatif.

Indikator kemampuan berpikir kreatif matematis yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari Torrance (Lestari dan Yudhanegara, 2017) yang terdiri dari:

a. Kelancaran (fluency), yaitu mempunyai banyak ide /gagasan dalam berbagai kategori.

b. Keluwesan (flexibility), mempunyai ide/gagasan yang beragam.

c. Keaslian (originality), yaitu mempunyai ide/gagasan baru untuk menyelesaikan persoalan.

d. Elaborasi (elaboration), yaitu mampu mengembangkan ide/gagasan untuk menyelesaikan masalah secara rinci

2. Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman hidup. Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang berupa keyakinan akan kemampuan diri seseorang sehingga tidak terpengaruh oleh orang lain dan dapat bertindak sesuai kehendak, gembira, optimis, cukup toleran dan bertanggung jawab Lauster (Sukirman, 2017). Indikator kepercayaan diri yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Percaya pada kemampuan sendiri

b. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan c. Memiliki konsep diri yang positif

d. Berani mengemukakan pendapat

(3)

Kepercayaan diri merupakan sikap percaya pada kemampuan, kekuatan, dan penilaian diri sendiri. Pengertian percaya diri menurut Hakim (Pratiwi, 2018) merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk mencapai berbagai tujuan hidup di dalam hidupnya.

Menurut Mardatilah (dalam Komara, 2016) seseorang yang memiliki kepercayaan diri tentunya memiliki ciri-ciri:

1) Mengenal dengan baik kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya lalu mengembangkan potensi yang dimilikinya.

2) Membuat standar atas pencapaian tujuan hidupnya lalu memberikan penghargaan jika berhasil dan bekerja lagi jika tidak tercapai.

3) Tidak menyalahkan orang lain atas kekalahan atau ketidak berhasilannya namun lebih banyak instrospeksi diri sendiri.

4) Mampu mengatasi perasaan tertekan, kecewa, dan rasa ketidak mampuan yang menghingapinya.

5) Mampu mengatasi rasa kecemasan dalam dirinya.

6) Tenang dalam menjalankan dan menghadapi segala sesuatunya.

7) Berpikir positif dan

8) Maju terus tanpa harus menoleh kebelakang.

Dari penjelasan beberapa ciri-ciri kepercayaan diri tersebut, dapat dijadikan sebagai tolak ukur penelitian dalam menilai siswa yang memiliki kepercayaan diri tinggi atau rendah. Aspek-aspek tersebut dapat dengan

(4)

mudah diamati dalam kehidupan sehari-hari sehingga hasilnya akan lebih efektif jika digunakan sebagai dasar penelitian.

Karakteristik percaya diri menurut Lindenfield (1997) terdiri dari:

a. Percaya diri batin adalah percaya diri yang memberi kepada kita perasaan dan anggapan bahwa kita dalam keadaan baik. Lindenfield (1997) mengemukakan empat ciri utama seseorang yang memiliki percaya diri batin yang sehat, sebagai berikut:

1) Cinta diri. Orang yang cinta diri akan mencintai dan menghargai diri sendiri dan orang lain. Mereka akan berusaha memenuhi kebutuhan secara wajar dan selalu menjaga kesehatan diri. Mereka juga memiliki keahlian dalam bidang tertentu sehingga kelebihan mereka bisa dibanggakan, hal ini yang menyebabkan individu tersebut menjadi percaya diri.

2) Pemahaman diri. Orang yang percaya diri batin sangat sadar diri.

Mereka selalu intropeksi diri agar setiap tindakan yang mereka lakukan tidak merugikan orang lain.

3) Tujuan yang jelas Orang percaya diri selalu mengetahui tujuan hidupnya. Hal ini disebabkan karena mereka mempunyai alasan dan pemikiran yang jelas dari tindakan yang mereka lakkan serta hasil yang bisa mereka dapatkan.

4) Pemikiran yang positif. Orang yang percaya diri biasanya merupakan teman yang menyenangkan. Salah satu senyebabnya adalah mereka

(5)

terbiasa melihat kehidupan dari sisi yang cerah dan mereka mengharap serta mencari pengalaman dan hasil yang bagus.

b. Percaya diri lahir. Percaya diri lahir bertujuan untuk memberikan kesan percaya diri pada dunia luar, melalui pengembangan ketrampilan dalam empat bidang sebagai berikut:

1) Komunikasi. Keterampilan komunikasi menjadi dasar yang baik bagi pembentukan sikap percaya diri. Menghargai pembicaraan orang lain, berani berbicara di depan umum, mengerti kapan harus berganti topik pembicaraan, dan mahir dalam berdiskusi adalah bagian dari keterampilan komunikasi yang bisa dilakukan jika individu tersebut memiliki rasa percaya diri.

2) Ketegasan. Sikap tegas dalam melakukan suatu tindakan juga diperlukan, agar kita terbiasa untuk menyampaikan pendapat dan keinginan serta membela hak kita, dan menghindari terbentuknya perilaku agresif dan positif dalam diri.

3) Penampilan diri. Seorang individu yang percaya diri selalu memperhatikan penampilan dirinya, baik dari gaya pakaian, aksesoris dan gaya hidupnya tanpa terbatas pada keinginan untuk selalu ingin menyenangkan orang lain.

4) Pengendalian perasaan. Pengendalian perasaan juga diperlukan dalam kehidupan kita sehari-hari, dengan kita mengelola perasaan kita dengan baik akan membentuk suatu kekuatan besar yang pastinya menguntungkan individu tersebut.

(6)

3. Contextual Teaching and Learning (CTL)

a. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)

Contextual merupakan suatu yang berhubungan dengan kenyataan, Teaching adalah pengajaran, dan learning adalah sebagai pelajar.

Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Vunna, 2017)

Depdiknas mengatakan bahwa strategi pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran Contextual Teaching and learning (CTL) lebih menekankan kepada siswa yang secara penuh melibatkan siswa dalam mencari meteri dan menghubungkannya kepada dunia nyata anak. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa untuk mencapai tujuan. Dimana guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi, tugas guru hanya mengelola kelas dan menjadi tutor pada saat pembelajaan berlangsung.

Melihat beberapa pengertian pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang disampaikan oleh para ahli terdapat kesamaan ataukata kunci yaitu berupa “kontekstual” yaitu nyata atau langsung. Dengan demikian pembelajaran kontekstual merupakan

(7)

pembelajaran yang menggunakan pendekatan kehidupan nyata, sehingga dalam pembelajaran kontekstual materi -materi pelajaran yang berupa teori akan dihubungkan dengan kehiupan nyata dengan harapan siswa akan lebih dapat mudah mengingat dan memahami materi yang diajarkan.

b. Karakteristik Contextual Teaching and Learning (CTL)

Johnson (2014) mengemukakan ada delapan komponen utama karakteristik dalam pembelajaran kontekstual sebagai berikut:

1) Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Artinya siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).

2) Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significany work).

Artinya siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.

3) Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning).

4) Bekerja sama(collaborating). Artinya siswa dapat bekerja sama, guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.

5) Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Artinya siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan

(8)

kreatif, dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika serta bukti-bukti.

6) Memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Artinya siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri.

Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa.

7) Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Artinya siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya.

8) Menggunakan penilaian autentik dalam penilaian sehari-hari.

Dalam pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL), program pembelajaran kelas yang dirancang oleh guru tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam program tersebut harus tercermin penerapan dari ketujuh komponen pembelajaran kontekstual dengan jelas.

c. Komponen Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Yamin (2017) terdapat 7 (tujuh) komponen pembelajaran kontekstual yaitu konstruktivisme (construktivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community) pemodelan (modelling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Ketujuh komponen tersebut yaitu sebagai berikut:

(9)

1) Konstruktivisme (Landasan berpikir (filosofi) kontekstual, pengetahuan itu dibangun oleh diri sendiri, dimulai pengetahuan yang sedikit yang diperluaskan berdasar pengalaman dan interaksi sosial serta lingkungan).

2) Questioning (Guru bertanya menggali informasi tentang apa yang sudah diketahui dan mengarah pada aspek yang diketahui. Bertanya merupakan analisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan).

3) Inquiry (Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri dengan cara (1) merumuskan masalah, (2) mengumpulkan data melalui observasi, (3) menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya., (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, atau audiens yang lain).

4) Learning Community (Belajar merupakan sharing dengan teman atau bekerjasama dengan orang lain, saling memberi informasi).

5) Modeling (Guru menciptakan siswa untuk meniru dengan mendemonstrasi dan mencontoh suatu pengetahuan keterampilan sehingga peserta didik dapat melakukannya).

6) Reflection (Gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima, siswa dapat merasakan ide-ide baru tersebut dalam pikirannya.

(10)

7) Authentic assessement (Guru mempergunakan assessement sebagai gambaran perkembangan belajar siswa melalui proses).

d. Langkah-langkah Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

Dalam pembelajaran CTL, program pembelajaran lebih merupakan suatu rencana kegiatan kelas yang direncanakan guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa sehubungan dengan topik yang dipelajarinya. Secara garis besar langkah-langkah Pembelajaran CTL dalam kelas adalah sebagai berikut:

Tabel 2. 1 Tahapan Contextual Teaching and Learning (CTL)

Fase Tahapan Guru Siswa

Grouping Siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang heterogen.

Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok.

Siswa membentuk kelompok

berdasarkan intruksi Guru.

Modeling Pemusatan perhatian, motivasi, dan penyampaian tujuan pembelajara.

Guru mengajak siswa memusatkan perhatian, memberi motivasi, dan menyampaikan tujuan pembelajara.

Siswa mereespon dengan semangat dari penyampaian Guru.

Questioning Meliputi eksplorasi, membimbing, menuntun, memberi petunjuk, mengarahkan,

mengembangkan, evaluasi, inkuiri, dan generalisasi.

Guru memberikan beberapa

pertanyaan.

Siswa aktif menjawab pertanyaan Guru.

(11)

Fase Tahapan Guru Siswa Learning

Community

Aktivitas belajar yang dilakukan melibatkan suatu kelompok social tertentu (learning community).

Komuitas belajar ini memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar karena didalamnya terjadi suatu proses interaksi dimana seluruh siswa

berpartisipasi aktif dalam belajar kelompok,

mengerjakan soal, dan sharing pengetahuan serta pendapat.

Guru memberikan beberapa soal pada setiap kelompok.

Siswa berdiskusi dalam

kelompoknya guna bertukar fikiran untuk

mengumpulkan, melengkapi, dan menyimpulkan suatu

permasalahan.

Inquiry Meliputi kegiatan identifikasi,investigasi, hipotesis, konjektur,

generalisasi, dan penemuan.

Guru membimbing dalam merumuskan penemuan.

Siswa

menyimpulkan hasil dari penemuan.

Contructivim Siswa membangun pemahaman sendiri, mengkontruksi konsep aturan, serta melakukan analisis dan sintesis.

Guru merangsang semua siswa untuk mengembangkan penemuannya.

Setiap siswa merespon aktif untuk

menyampaikan penemuannya.

Authentic Assessment

Penilaian selama proses pembelajaran dan sesudah pembelajaran, penilaian setiap aktivitas siswa, dan penilaian portofolio.

Guru menilai dan memberi apresiasi untuk setiap individu dan kelompok.

Siswa termotivasi dalam belajar.

Reflection Refleksi atas proses pembelajaran yang dilakukan.

Guru memberi penguatan materi.

Siswa merespon aktif.

Lestari dan Yudhanegara, (2017)

e. Kelebihan Contextual Teaching and Learning (CTL).

Menurut Fitriani (2017) kelebihan dalam pembelajaran CTL antara lain sebagai berikut:

(12)

1) Pembelajaran kontekstual dapat menekankan aktivitas berpikir siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.

2) Kontekstual dapat menjadikan siswa belajar bukan dengan menghafal, melainkan proses berpengalaman dalam kehidupan nyata.

3) Kelas dalam kontekstual bukan sebagai tempat untuk meperoleh informasi, melainkan sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan.

4) Materi pelajaran ditentukan oleh siswa sendirir, bukan hasil pemberian dari orang lain.

f. Kekurangan Contextual Teaching and Learning (CTL).

Gunawan (Indriani, 2019) menyatakan bahwa kekurangan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).

1) Kurang efisien karena membutuhkan waktu yang lama, tetapi untuk mengatasi hal tersebut hendaknya guru dapat mengkonsep materi dengan sebaik mungkin disesuaikan dengan waktu, sehingga pembelajaran dapat tercapai dengan baik.

2) Untuk peserta didik yang tertinggal dalam proses pembelajaran CTL maka akan terus tertinggal dan sulit untuk mengejar ketertinggalan dari yang lainnya. Karena kesuksesan dalam pembelajaran CTL tergantung kepada keaktifan dan usaha sendiri peserta didik, untuk mengatasi ketertinggalan itu hendaknya guru memberi pembelajaran tambahan di luar pembelajaran, misalnya dilakukan setelah pulang

(13)

sekolah sehingga peserta didik dapat mengejar materi yang tertinggal pada saat pembelajaran berlangsung.

4. Strategi Ekspositori

Strategi ekspositori adalah strategi pembelajaran yang digunakan dengan memberikan keterangan terlebih dahulu definisi, prinsip dan konsep materi pelajaran serta memberikan contoh-contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi, tanya jawab dan penugasan.

Siswa mengikuti pola yang ditetapkan oleh guru secara cermat. Penggunaan straetgi ekspositori merupakan staretgi pembelajaran mengarah kepada tersampaikannya isi pelajaran kepada siswa secara langsung.

Menurut Lisnaeni (2017) strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang digunakan dengan memberikan keterangan terlebih dahulu seperti definisi, prinsip dan konsep materi pelajaran serta memberikan contoh-contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi, tanya jawab dan penugasan.

Dari pengertian di atas penulis simpulkan bahwa yang dimaksud strategi ekspositori adalah cara menyajikan materi pembelajaran secara langsung disampaikan oleh guru, melalui beberapa metode, seperti metode ceramah, metode tanya jawab, demonstrasi dan metode diskusi. Serta siswa dapat mencerna dan mengingat informasi yang telah diberikan oleh guru dan dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang telah dimilikinya melalui respon yang diberikannya oleh guru.

(14)

5. Hubungan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Kepercayaan Diri Siswa

Herawati, et al. (2019) Menyatakan kemampuan berpikir kreatif matematis dan kepercayaan diri merupakan dua hal yang saling berkaitan atau berhuungan. Seseorang yang kreatif adalah orang yang percaya diri.

Hal ini sejalan dengan pendapat Moma (Herawati, et.al. (2019) yang menyatakan ciri-ciri berpikir kreatif meliputi rasa percaya diri, rajin, ulet, fleksibel, berani mengambil resiko, dan self-efficacy. Ciri-ciri pribadi yang kreatif biasanya anak selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif, dan juga anak remaja yang kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri.

Diana (Lidyasari, et al, 2017) mengkaji tentang hubungan antara kemampuan berpikir kreatif matematis dan kepercayaan diri siswa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan antara kemampuan berpikir kreatif matematis dan kepercayaan diri dengan hasil belajar matematika siswa. Eviliasani, et al. (2018) dalam penelitiannya menyatakan kepercayaan diri yang positif akan menambah semangat dan kemampuan berpikir kreatif untuk merasa yakin dengan kompetensi yang telah dimiliki. Dari beberapa pendapat di atas penulis simpulkan bahwa adanya keterkaitan kemampuan berpikir kreatif matematis dan kepercayaan diri, peserta didik yang kreatif akan memiliki rasa percaya diri yang baik.

(15)

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Untuk mendukung rencana penelitian ini, berikut disajikan beberapa penelitian yang relevan.

1) Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani (2017) “Efektifitas Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Peserta Didik Pada Materi Sistem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV) Kelas VIII MTsN Brangsong”.

Hasil penelitian menunjukkan penerapan pembelajaran matematika berbasis CTL (contextual teaching and learning) berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik pada materi SPLDV.

2) Penelitian yang dilakukan oleh Soleh (2017) “Pengaruh Strategi Contextual Teaching And Learning (CTL) Terhadap Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas VII Pada Materi Bangun Datar Di SMP Negeri 35 BATANGHARI” berdasarkan penyajian dan analisis data maka dapat ditarik kesimpulan pada penelitian ini terdapat pengaruh yang signifikan pada materi bangun datar di kelas VII SMP Negeri 35 Batanghari dengan rata-rata kemampuan literasi matematika kelas eksperimen 74,7 dan rata- rata kemampuan literasi matematika kelas kontrol adalah 66,6.

C. Kerangka Berpikir

Keberhasilan proses belajar mengajar biasanya dukur dengan keberhasilan siswa dalam memahami dan menguasai materi yang diberikan.

Guru berperan sebagai pendidik dan pembimbing dalam pembelajaran,

(16)

seorang guru akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik bila menguasai dan mampu mengajar di depan kelas dengan menggunakan strategi yang sesuai dengan mata pelajaran.

Tujuan pembelajaran matematika pada semua jenjang pendidikan yaitu mengarah pada kemampuan siswa pada pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pemecahan masalah diperlukan pemahaman materi dan berpikir kreatif siswa. Dengan kemampuan berpikir kreatif mampu mengembangkan ide/gagasan untuk meneyelesaikan masalah secara rinci. Atas dasar hal tersebut maka peneliti mencoba untuk menggunakan strategi pembelajaran Contextual Teaching and Learning pada pelajaran Matematika.

Selain itu, guru juga bisa mengarahkan dan membimbing siswa pada diskusi kelompok tersebut. dan media yang digunakan adalah media gambar yang berkaitan dengan materi, media ini dipilih karena mudah diperoleh serta murah namun dapat lebih memudahkan siswa untuk memahami materi dan melibatkan siswa aktif baik secara individu atau kelompok. Media ini digunakan untuk memudahkan keterbatasan ruang dan waktu. Kerangka berpikir peneliti dapat digambarkan dalam skema berikut:

(17)

Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir KONDISI AWAL guru melakukan pembelajaran

terlihat kegiatan pembelajaran yang dilakukan lebih didominasi oleh guru (teacher centered). Termasuk menggunakan strategi pembelajaran Contextual Teaching and Learning.

1. kegiatan pembelajaran belum mengaitkan materi dengan pengalaman belajar yang dimiliki oleh siswa.

2. siswa tidak terlatih untuk dapat menemukan, dan memecahkan masalah secara kritis dan kreatif tentang isu- isu sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat 3. Hasil belajar siswa rendah

TINDAKAN

Sesuai dengan sintaks Strategi Pembelajaran Contextual Teaching and Learning :

1. Konstruktivisme (membangun)

a. Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasarkan pada pengetahuan awal.

b. Pembelajaran harus dikemas menjadi proses dalam tanda kutip mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan.

2. Inquiri (menemukan)

a. Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.

b. Siswa belajar menggunakan kemampuan berpikir kritis.

3. Questioning (bertanya)

a. Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.

b. Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiri

4. Learning Community (masyarakat belajar)

a. Sekelompok orang yang terkait dalam kegiatan belajar

b. Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.

c. Tukar pengalaman d. Berbagi ide 5. Modeling (pemodelan)

a. Proses penampilan suatu contoh agar orang lain bisa berpikir, bekerja dan belajar

b. Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya

6. Reflection (refleksi)

a. Cara berpikir tentang apa yang kita pelajari b. Mencatat apa yang telah di pelajari

c. Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok 7. Authentic Assesment (penilaian yang sebenarnya)

a. Mengukur pengetahuan dan keterampilan b. Penilaian produk (kinerja)

c. Tugas-tugas yang relevan dan nyata

KONDISI

Dengan menggunakan strategi pembelajaran Contextual Teaching and Learning dalam pembelajaran Matematika dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan kepercayaan diri siswa.

(18)

D. Hipotesis

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan pada bagian sebelumnya, hipotesis dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi ekspositori.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melewati perjalanan dengan penuh perjuangan baik secara intelektual maupun fisik penuh suka dan duka namun tidak mematahkan semagat penulis untuk menyelesaikan

Menurut Dodi Harto dalam penelitian yang berjudul Perancangan Sistem Pakar Untuk Mengidentifikasi Penyakit pada Tanaman Semangka Dengan Menggunakan Metode Certainty

Kegiatan pembelajaran tidak lepas dari yang namanya latihan. Latihan dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana pembelajar menguasai materi. Menulis adalah salah satu

Tim yang masuk 10 nilai tertinggi dari keseluruhan tim yang mengikuti babak semifinal, maka akan dinyatakan lolos menuju babak final. Tim dengan nilai praktikum

Struktur ini lalu dianalisa lagi dengan meniadakan batang/ikatan angin yang memikul beban aksial tekan karena dianggap tidak berpengaruh dalam menahan beban angin

Pengukuran THR, Upah Lembur, Cuti Berimbalan Jangka Pendek, dan Program Bagi Laba dan Bonus Menurut PSAK No.. Pengukuran Cuti

(2) Untuk memberikan hak setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah berwenang menyelenggarakan kebijakan ketertiban di jalur hijau, taman,

Teknik kompresi dikatakan baik apabila menghasilkan nilai MSE yang kecil dan nilai PSNR yang tinggi yang berarti error atau kesalahan dari teknik kompresi ini sangat kecil dan