ABSTRAK
KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH RI MASA DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959
Yosep Hengki Utama Riawan Universitas Sanata Dharma
2016
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok, yaitu : 1) Latar belakag lahirnya Demorasi Liberal 1950- 1959 , 2) Proses Penerapan Kebijkan Politik Pemerintah RI Masa Demokrasi Liberal 1950-1959, 3) dampak kebijakan Politik Pemerintah RI Masa Demokrasi Liberal 1950-1959.
Tulisan ini disusun berdasarkan metode penulisan sejarah yang mecakup lima tahapan yaitu perumusan judul, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, dan historiografi dengan pendekatan sosial politik dan ditulis secara deskriptif naratif.
ABSRACT
INDONESIAN GOVERNMENT POLICY DURING LIBERAL DEMOCRACY 1950 – 1959
Yosep Hengki Utama Riawan Sanata Dharma University
2016
This paper aims to describe and analyze three key issues, namely, 1) Background of the Liberal Democracy 1950 – 1959 in Indonesian, 2) Implementation process of the Indonesian government policy during the Liberal Democracy 1950-1959, 3) The Impact of the Indonesian government policy during the Liberal Democracy 1950-1959.
This paper is based on historical research method that includes five stages, namely the formulation of the title, collection of the data, verification, interpretation and historiography with political and social approach. The study was written in narrative and descriptive style.
i
KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH RI MASA DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh
YOSEP HENGKI UTAMA RIAWAN
NIM : 091314033
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DARMA
YOGYAKARTA
iv
PERSEMBAHAN
Makalah ini saya persembahka kepada :
1. Kedua orang tuaku Bapak Petrus Soring dan Ibu Helda Liberia yag telah
mendoaka saya, dan mendidik penuh kasih sayang.
2. Adiku Adreas Ario Atanggi dan Marselinus Celsi Lemambang yang selalu
v MOTO
Setiap kesakitan adalah pengalaman , rasakan dan pelajari, karena itu adalah rahasia
untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
( Dedy Corbuzier )
Jangan menilai orang dari masa lalunya, karena kita semua sudah tidak hidup dimana
semua orang bisa berubah, biarkan mereka membuktikannya.
( Mario Teguh )
Orang lemah tidak pernah memaafkan, memaafkan adalah sifat orang perkasa.
vi
Yogyakarta 30 Maret 2016 Penulis
Yosep Hengki Utama Riawan PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa makalah yang saya tulis tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan di dalam
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universita Sanata Dharma
Nama : Yosep Hengki Utama Riawan
Nomor Mahasiswa : 091314033
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sana Dharma karya ilmiah saya yag berjudul:
“Kebijakan Politik Pemerintah Ri Masa Demokrasi Liberal 1950-1959”. Beserta perangkat yang diperlukan ( bila ada ). Dengan demikian saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Saata Dharma hak untuk menyimpan , mengalihkan dalam
bentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data. Mendistribusikan
secara terbatas dan mempublikasinnya di internet atau media lain untuk kepentigan
akademis tanpa ijin dari saya maupun memberi royalti kepada saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta pada taggal 30 Maret 2016
Yang menyatakan
viii ABSTRAK
KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH RI MASA DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959
Yosep Hengki Utama Riawan Universitas Sanata Dharma
2016
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok, yaitu : 1) Latar belakag lahirnya Demorasi Liberal 1950- 1959 , 2) Proses Penerapan Kebijkan Politik Pemerintah RI Masa Demokrasi Liberal 1959, 3) dampak kebijakan Politik Pemerintah RI Masa Demokrasi Liberal 1950-1959.
Tulisan ini disusun berdasarkan metode penulisan sejarah yang mecakup lima tahapan yaitu perumusan judul, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, dan historiografi dengan pendekatan sosial politik dan ditulis secara deskriptif naratif.
ix Background of the Liberal Democracy 1950 – 1959 in Indonesian, 2) Implementation process of the Indonesian government policy during the Liberal Democracy 1950-1959, 3) The Impact of the Indonesian government policy during the Liberal Democracy 1950-1959.
This paper is based on historical research method that includes five stages, namely the formulation of the title, collection of the data, verification, interpretation and historiography with political and social approach. The study was written in narrative and descriptive style.
The results indicate that 1) Background to the Liberal Democracy 1950-1959 cannot be separated from the formation of RIS in August 17, 1950; 2) The implementation process of the Indonesian government policy during Liberal Democracy 1950-1959 startsed when Jakarta politicians established parliamentary system. But in liberal democracy or parliamentary democracy period frequent change of cabinet acouned. Thus, the policy taken do not work well; 3) The impacts of Indonesian government policy during Liberal Democracy 1950-1959, among others, is indicated by the rise and fall of the cabinet during the Liberal Democracy period and the return to UUD 1945.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ KEBIJAKAN
POLITIK PEMERINTAH RI MASA DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959”. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak lepas bantuan dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Dekan Falkultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
3. Dra. Theresia Sumini, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing,
membantu, dan banyak memberikan pengarahan, serta masukan selama
penyusunan makalah ini.
4. Seluruh dosen dan pihak skretariat Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah
memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di
Universitas Sanata Dharma.
5. Seluruh Karyawan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, yang telah
meberikan pelayanan dan membantu penulis dalam memproleh sumber penulisan
xi
6. Kedua orang tua penulis Bapak Petrus Soring dan Ibu Helda Liberia dan adiku
Andreas Ario Atanggi dan Marselinus Celsi Lemambang yang telah memberikan
dorongan spiritual dan mental sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di
Universitas Sanata Dharma serta seluruh keluarga besarku terima kasih atas
dorongan dan doanya.
7. Teman- teman Pendidikan Sejarah Angkatan 2009 yang telah membantu dan
mendorong penulis menyelesaikan makalah ini.
8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut membantu
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.
Yogyakarta 30 Maret 2016
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PEREMBAHAN iv
MOTO v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH vii
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
KATA PENGANTAR x
DAFTAR ISI xii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 7
C. Tujuan Penulisan 7
D. Manfaat Penulisan 7
E. Sistematika Penulisan 8
BAB II LATAR BELAKANG LAHIRNYA DEMOKRASI
xiii
A. Kondisi kekuasan RI 10
B. Menghadapi Agresi Militer Belanda 23
1. Menghadapi Agresi Militer Belanda I 23
2. Menghadapi Agresi Militer Belanda II 27
C. Akhir Perang dan Pengakuan Kedaulatan 29
1. Pendekatan RI Dengan Negara- Negara Federal 29
2. Menuju KMB 35
3. Pembentukan RIS dan Pengakuan Kedaulatan 36
a. Republik Indonesia Serikat 36
b. Kembali ke NKRI 38
BAB III PROSES PENERAPAN KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH RI
MASA DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959 41
A. Penerapan kebijakan Politik Pemerintah RI Masa Demokrasi Liberal
1950-1959 42
1. Masa Kabinet- Kabinet 42
a. Kabinet Natsir ( September 1950- Maret 1951 ) 42
b. Kabinet Sukiman ( April 1951- Februari 1952 ) 44
c. Kabinet Wilopo ( April 1952- Juni !953 ) 49
d. Kabinet Ali I (Agustus 1953- Juli 1955) 54
e. Kabinet Burhanuddin
(Agustus 1955- Maret 1956) 63
xiv
g. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Agustus 1959) 69
2. Politik Bebas Aktif 70
a. Politik Luar Negeri Setelah Pengakuan
Kedaulatan 70
b. Antara Dua Kekuatan Dunia 73
c. Konfrensi Asia-Afrika (KAA) 77
B. Ekonomi Nasional 80
1. Pemikiran Nasioal 80
2. Sistem Ekonomi Liberal 82
BAB IV DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH RI MASA DEMOKRASI
LIBERAL 1950-1959 87
A. Bidang Politik 87
B. Bidang Ekonomi 92
C. Bidang Sosial 94
1. Masalah Angkatan Perang 94
2. Krisis Tentara di Indonesia 97
3. Krisis Memuncak 98
a. Pergolakan di Daerah- Daerah 98
b. Pergolakan PRRI dan PERMESTA 108
BAB V KESIMPULAN
114
xv
DAFTAR LAMPIRAN
SILABUS 121
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan disetujui hasil Konferensi Meja Bundar (KMB ) pada tanggal 2
November 1949 di Den Hag maka terbentuklah Negara Republik Indonesia Serikat
(RIS ). RIS ini terdiri dari 16 negara bagian dengan masing- masing mempunyai luas
wilayah dan jumblah penduduk yang berbeda. Pada masa RIS ini yang terpilih
sebagai Presiden adalah Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta sebagai Perdana
Menteri. Anggota kabinet sebagian besar merupakan pendukung Negara Kesatuan RI
dan hanya 2 orang mendukung sistem federal yaitu Sultan Hamid II dan Anak Agung
Gede Agung. Sehingga untuk membubarkan negara federal dan membentuk negara
kesatuan semakin kuat. Lebih- lebih dasar pembentukan negara federal amat sangat
lemah, tidak ada ikatan idiologi yang kuat, dan tujuan negara yang jelas menurut
kenyataan negara federal adalah ciptaan Belanda dan bukan menurut kehendak rakyat
negara- negara bagian. Pada umumnya rakyat merasakan bahwa pembentukan negara
bagian federal ini hanyalah sarana Belanda untuk berkuasa di Indonesia. negara
federal itu juga tidak mempunyai kekuatan militer sendiri untuk mempertahankan
negaranya.1
1
Kabinet RIS dibawah Pimpinan Hatta memerintah sampai dengan tanggal 17
Agustus 1950, dan pada hari itu RIS menjelma Menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia ( NKRI ), pada masa RIS ini tidak sedikit masalah yang dihadapi oleh
pemerintah RIS. Indonesia harus menghadapi rongrongan dari dalam yang dilakukan
oleh beberapa golongan yang mendapat dukungan dari pihak Belanda dan mereka
yang takut kehilangan hak-hak istimewanya bila Belanda meninggalkan Indonesia
masalah-masalah yang dihadapi pemerintah RIS yang pertama, dikenal dengan
Angkatan Perang Ratu Adil ( APRA ) di bawah pimpinan Raymond Westerling.
Gerakan ini didalangi oleh Belanda. Salah satu landasan gerakan ini adalah
kepercayaan akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian
rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan baik oleh Belanda
maupun oleh Jepang. Rakyat Indonesia mendambakan akan datangnya kemakmuran
seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu seorang
pemimpin yang disebut Ratu Adil akan memerintah rakyat dengan adil dan bijak sana
sehingga rakyat akan makmur dan sejahtera. Tujuan APRA adalah mempertahankan
bentuk negara yang federal di Indonesia dan adanya tentara sendiri pada negara-
negara bagian RIS. Rongrongan yang kedua yang dihadapi RIS adalah
pemberontakan Andi Azis di Makassar ( Ujung Pandang ) motif pemberontakan ini
adalah penolakan masuknya pasukan APRIS dan TNI ke Sulawesi Selatan. Ini
mengkhawatirkan KNIL takut terdesak oleh pasukan baru yang akan datang itu.
Mereka bergabung dan menamakan diri dengan nama pasukan bebas yang di bawah
pasukannya menyerang markas TNI di Makassar, dan kota Makassar berhasil
dikuasai oleh Andi Azis.
Pada tanggal 5 April Perdana Menteri NIT Ir. Diapari Mengundurkan diri
karena menyetujui tindakan Andi Azis. Pemerintah kemudian dipegang oleh Ir.
Patuhena dan pada tanggal 21 April Wali Negara NIT Sukawati mengumumkan
bahwa NIT bersedia meleburkan kedalam NKRI. Selain itu pemerintah pusat RIS
mengeluarkan ultimatum pada tanggal 8 April yang menginstruksikan Andi Azis
dalam waktu 2x24 jam datang melaporkan diri ke Jakarta. Dan juga diperintahkan
agar senjata dikembalikan dan semua tahanan dilepaskan.2
Cobaan terakhir yang dihadapi pemerintah RIS dan berlanjut kemasa NKRI
adalah gerakan speratis dengan membentuk negara sendiri yang disebut Republik
Maluku Selatan ( RMS ) pendiri RMS adalah Mr. Dr. Cristian Robert Steven
Soumokil yang merupakan bekas jaksa agung NIT. Soumokil sebenarnya terlibat
dalam gerakan Andi Azis di Makassar, tetapi karena usaha Andi Azis menemui
kegagalan, maka dia mengalihkan usahanya ke Maluku Tengah dan Tenggara,
Ambon sebagai pusatnya. Pada waktu keadaan di Ambon sedang kacau karena
banyak anggotan bekas KNIL bergabung dengan TNI maka RI akan menjadi lebih
kuat. Untuk mencegah hal tersebut, Belanda mulai menghasut dan menyebarkan
desas-desus yang buruk tentang TNI dan RI, mereka akan dipaksa masuk sebagai
anggota Islam. Keadaan ini menguntungkan Soumokil dan pada tanggal 5 April
Soumokil memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan ( RMS ).
2
Pemerintah RIS berusaha mengatasi masalah ini dengan damai tapi ditolak
oleh Soumokil bahkan mereka meminta bantuan, perhatian, serta pengakuan dari
dunia luar, terutama bangsa Belanda, Amerika Serikat, dan PBB. Oleh karena ini
pemerintah RIS terpaksa menumpas pemberontakan Soumokil dengan senjata. Selain
menghadapi dan menyelesaikan pemberontankan terhadap RIS, kabinet Hatta
menyelesaikan masalah lain yang menyangkut ekonomi. Sosial, dan hubungan
dengan luar negeri. Masalah yang timbul ini merupakan masalah yang berat bagi
suatu negara yang baru lahir dengan suatu perang kemerdekaan. Sebagai akibat
perang banyak sarana dan prasarana hancur dan keadaan ekonomi pada umumnya
buruk pemerintah harus menghadapi inflasi dan defisit dalam anggaran belanja
negara.
Selain menghadapi soal ekonomi pemerintah harus menyelesaikan soal
dipegawaian dan dibidang militer. Jumlah pasukan harus dikurangi karena menjadi
beban bagi keuangan negara. Meraka ini perlu mendapatkan penampungan bila
diadakan rasionalisasi. Mereka yang terkena nasionalisasi untuk melanjutkan
pelajaran dalam pusat pendidikan, berupa pendidikan keahlian, juga dilakukan usaha
transmigrasi.3
Pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan resmi RIS dibubarkan dan dibentuk
negara kesatuan baru yang diberi nama Negara Kesatuan Repoulik Indonesia. Negara
kesatuan baru ini merupakan dari RIS yang mengalami perubahan undang-undang,
tetapi oleh kebanyakan orang Indonesia negara kesatuan dianggap sebagai kelanjutan
3
Republik proklamasi17 Agustus 1945. Negara bentuk federal dianggap sebagai
warisan penjajah yang dimaksudkan untuk mempertahankan pengarunya di Indonesia
bahkan negara federal adalah cara yang ditempuh Belanda untuk merintangi
perjuangan kemerdekaan, disampingkan mempertahankan RIS berarti
mempertahankan banyak posisi orang Indonesia pro Belanda yang hanya
mementingkan sendiri serta tidak mendapat dukungan rakyat.
Proses perubahan dari RIS ke NKRI dimulai dari Negara Pasundan, Sumatra,
Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Madura, dan lain-lain. Sehingga pada akhir Maret
1950 tanggal Kalimantan Barat, Sumatra Timur, dan Negara Indonesia Bagian Timur
ketiga sepakat untuk kembali ke NKRI. Untuk merealisasi tujuan tersebut UUD RIS
diganti dengan UUDS 1950. UUDS disahkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dan
mulai 17 Agustus 1950. Dengan demikian terbentuklah NKRI dan RIS dibubarkan.
UUDS 1950 mengamanatkan NKRI menganut sistem demokrasi liberal. Dalam
demokrasi ini secara kongkrit menganut sistem demokrasi perlementer, dalam sistem
demokrasi ini presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedangkan kepala
pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Para Menteri dan Perdana Menteri
bertanggung jawab terhadap parlemen, sementara dari segi liberalnya berlakunya
multi partai politik. Dengan demikian rakyat diberi kebebasan untuk berpartisipasi
dalam politik.4
4
Dalam Negara Kesatuan RI ini Indonesia dibagi menjadi 10 Provinsi yang
mempunyai otonomi. Dari tahun 1950-1959 terdapat 7 kali pergantian kabinet yang
memerintah sehingga rata-rata tiap tahun terjadi pergantian kabinet. Kabinet tersebut
adalah, Kabinet Natsir ( September 1950-Maret 1951 ), Kabinet Sukiman ( April
1951- Februari 1952 ), Kabinet Wilopo ( April 1952-Juni 1953 ). Kabinet Ali
Sastromidjojo I ( Juli 1953-Juli 1955 ) Kabinet Burhanudin Harahap ( Agustus
1955-Maret 1956 ), Kabinet Ali Sastromidjojo II ( April 1956-1955-Maret 1957 ), Kabinet Karya
( April 1957- Juli 1959 ). Dari sini tampak bahwa dengan dijalankan sistem
demokrasi liberal dimana disalurkan dengan mendirikan banyak partai politik.
Parlemen dapat menjatuhkan kabinet bila partai oposisi kuat dalam parlemen yang
mengakibatkan parlemen tidak berumur panjang yang terlihat dari seringnya
pergantian kabinet.5
Dalam parlemen terjadi persaingan yang besar antara satu partai politik
dengan partai politik lainnya. Setiap partai politik berusaha memperjuangkan
kepentingan partainya dan mengabaikan upaya untuk memperjuang kepentingan
rakyat. Kekuasaan menjadi tujuan perjuangan setiap partai akibatnya partai yang
berkuasa akan mendapat pengawasan yang ketat dari partai oposisi dan berusaha
mencari kesalahan-kesalahan kabinet atau pemerintah.
Kebijakan politik pemerintah RI masa demokrasi liberal 1950-1959 telah
membawa masyarakat Indonesia pada seringnya pergantian pemerintahan. Demokrasi
5
liberal pada dasarnya merupakan sistem politik yang didasarkan asas liberal yang
ditandai besarnya peran partai-partai politik.
B . Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang saya ambil
sebagai berikut:
1. Apa latar belakang lahirnya demokrasi liberal 1950-1959 ?
2. Bagaimana proses penerapan kebijakan politik pemerintah RI masa demokrasi
liberal 1950- 1959 ?
3. Bagaimana dampak kebijakan politik pemerintah RI masa demokrasi liberal
1950-1959 ?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan latar belakang lahirnya demokrasi liberal 1950-1959.
2. Menjelaskan proses penerapan kebijakan politik pemerintah RI masa
demokrasi liberal 1950-1959.
3. Menjelaskan bagaimana dampak kebijakan politik pemerintah RI masa
demokrasi liberal 1950-1959.
D. Manfaat Penulisan
a. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan khususnya sejarah nasional Indonesia Tentang Kebijakn Politik
b. Bagi Universitas Sanata Dharma
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi para mahasiwa khususnya mahasiswa Universitas Sanata
Dharma yang ingin mengetahui sejarah nasional Indonesia tentang Kebijakan
Politik Pemerintah RI Masa Demokrasi Liberal 1950-1959 dan juga bisa
menambah koleksi kepustakaan khusunya karya ilmiah dan dapat menjadi
bahan referensi mahasiswa yang ingin melanjutkan penelitian tentang
Demokrasi Liberal 1950-1959.
c. Bagi penulis .
Hasil penulisan ini bagi penulis telah mebuka wawasan baru dan telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk sekilas berbagi pengetahuan
mengenai sejarah nasional Indonesia kepada para pembaca khususnya sejarah
Kebijakan Politik Pemerintah RI Masa Demokrasi Liberal 1950- 1959.
d. Bagi pembaca.
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memperluasa wawasan terutama bagi
para pembaca yang merasa tertarik mengetahui tentang sejarah Kebijakan
Politik Pemerintah RI Masa Demokrasi Liberal1950-1959
E. Sistematika Penuliasan
Penulisan tentang “Kebijakan Politik Pemerintah RI Masa Demokrasi Liberal
BAB I : Berupa pendahuluan, memuat latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika
penulisan.
BAB II : Membahas latar belakang lahirnya demokrasi liberal 1950-1959.
BAB III : Membahas proses penerapan kebijan politik pemerintah RI masa
demokrasi liberal 1950-1959.
BAB Iv : Membahas dampak kebijakan politik pemerintah RI masa demokrasi
liberal 1950-1959.
10 BAB II
LATAR BELAKANG LAHIRNYA DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959
A. Kondisi kekuasaan RI
Pemerintah mengeluarkan maklumat politik, dinyatakan dalam maklumat
tersebut pemerintah menginginkan pengakuan terhadap negara dan pemerintah
Republik Indonesia maupun Belanda sendiri. Pemerintah RI bersedia membayar
semua hutang-hutang Hindia Belanda sebelum perang dunia II dan berjanji
mengembalikan semua milik asing atau memberi ganti rugi atas milik asing yang
telah dikuasai oleh pemerintah. Bersamaan dengan ini dikeluarkan pernyataan bahwa
pemerintah menyukai berdirinya partai-partai politik sebagai sarana pembantu
perjuangan. Sebagai realisasi maklumat tersebut kabinet Presidensial yang dipimpin
oleh Presiden sendiri diganti dengan Kabinet Ministerial, sebagai Perdana Menteri
ditunjuk Sultan Sjahrir. Pemerintah baru ini segera mengadakan hubungan diplomatik
dengan pihak Belanda dan Inggris Pemerintah Inggris mengirimkan Sir Archibald
Clark Karr dan perwakilan dari Belanda Van Mook. Perundingan dimulai pada
tanggal 10 Februari 1946. Dalam perundingan itu Van Mook menyampaikan sistem
politik penerintah Belanda.6
6
1. Indonesia akan dijadikan negara Comenwealth berbentuk federasi yang
memiliki self government di dalam lingkungan kerajaan.
2. Masalah dalam negeri diurus oleh Indonesia sedangkan masalam luar negeri
diurus oleh pemerintah Belanda.
3. Sebelum dibentuk Comenwealth akan dibentuk pemerintah 10 tahun.
4. Indonesia akan dimasukan sebagai anggota PBB.
Pihak Indonesia dalam perundingan ini belum memberi usulan, sementara suatu
gabungan organisasi dengan nama Persatuan Perjuangan melakukan oposisi terhadap
kabinet Sjahrir. Mereka berpendapat bahwa perundingan hanya dapat dilakukan atas
dasar pengakuan sepenuhnya terhadap Republik Indonesia. Dalam sidang KNIP di
Solo ( 28 Februari-2 Maret 1946 ) mayoritas suara menentang Sjahrir. Karena oposisi
itu terlalu kuat kabinet Sjahrir menyerahakan mandatnya kembali kepada Presiden.
Tapi kemudian Presiden menunjuk kembali Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Kabinet
Sjahrir yang kedua memberi usulan, diantaranya :
1. Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas
wilayah bekas jajahan Hidia-Belanda.
2. Pinjaman Belanda sebelum tanggal 8 Maret 1942 menjadi tanggung jawab
pemerintah RI.
3. Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu, dan
mengenai urusan luar negerri dan pertahanan akan diserahkan pada suatu
4. Tentara Belanda segara ditarik dari Indonesia jika perlu diganti dengan tentara
Republik Indonesia.
5. Pemerintah Belanda harus membantu Pemerintah Indonesia untuk dapat
diterima sebagai anggota PBB.
Balasan ini disampaikan kepada Van Mook, akan tetapi pihak Belanda tidak
dapat menerima dengan baik usulan balasan pemerintah RI tersebut, meskipun pihak
Republik sudah memberikan kosensi-kosensi yang oleh rakyat Indonesia sendiri
sukar diterima.
Dengan bercermin persetujuan tanggal 6 Maret 1946 dicapai antara Vietnam
dengan Prancis, diman Republik Vietnam akan merupakan negara yang bebas
didalam lingkungan Federatiom Ind-Chinoise, Van Mook mengajukan usulan pribadi
untuk mengakui Republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk mengadakan
kerjasama dalam rangka pembentukan negara federal yang bebas. Wakil semua
bagian Hindia Belanda dan wakil golongan minoritas akan berkumpul untuk
menentukan struktur negara Indonesia yang akan datang. Selanjutnya pasukan
Belanda akan mendarat menggantikan pasukan serikat pada tanggal 27 Maret 1946
Sultan Sjahrir memberikan jawaban yang disertai naskah, yang isi pokoknya adalah:
1. Supaya pemerintah Belanda mengakui RI de facto atas Jawa dan Sumatra.
2. Supaya Belanda dan RI berkerjasama membentuk RIS.
3. Republik Indonesia Serikat bersama-bersama dengan Nederland, Suriname,
Dengan usulan biasanya pemerintah RI maka kedua belah pihak dianggap
telah saling mengerti, karena itu perundingan perlu ditingkatkan. Perundingan di
Jakarta antara Sultan Sjahrir dan Van Mook dengan disaksikan oleh Archibald Clark
Karr. Hasil perundingan oleh Van Mook akan diserahkan kepada pemerintah
Belanda. Dengan perantara Clark Karr sekali lagi kedua pemerintah mengadakan
perundingan di Hooge Veluwe ( Negeri Belanda ). Pemerintah RI mengirimkan
delegasi yang terdiri dari Mr. Swardi, Dr. Sudarsono, dan Mr. Abdul Karim
Pringgodigdo.
Delegasi RI berangkat ke Belanda pada tanggal 4 April 1946 bersama- sama
dengan Sir Archibald Clark Karr. Delegasi Belanda yang diajukan dalam perundingan
ini adalah Van Mook, Prof. Legaman, Dr. Idebugh, Dr. Van Royen, Prof. Van
Asbeck, Sultan Hamid II dan Suryo Santoso. Didalam perundingan itu ternyata pihak
Beland memakai rancangan hasil pertemuan Sjahrir dan Van Mook serta Clark Karr
terutama mengenai usulan Clark Karr tentangan pengakuan secara de facto atas
Republik Indonesia di Jawa dan Madura saja, itu pun dikurangi daerah-daerah yang
diduduki pasukan serikat. Republik Indonesia yang dimaksud itu harus tetap menjadi
bagian kerajaan Belanda. Demikian juga campur tangan RI dalam menentukan
perwakilan daerah-daerah diluar daerah RI. Perundingan yang berlangsung selama 10
hari itu ( 14-24 April 1946 ) telah gagal. Untuk sementara waktu hubungan Indonesia
dan Belanda terrputus. Tetapi pada tanggal 2 Mei 1946 Van Mook kembali membawa
1. Pemerintah Belanda mengakui Republik Indonesia sebagai persemakmuran
Indonesia yang berbentuk federal.
2. Persemakmuran Indonesia Serikat disatu pihak dengan Nederland, Suriname
dan Cracau dilain pihak akan merupakan bagian dari kerajaan Belanda.
3. Pemerintah Belanda akan mengakuai de facto kekuasaan atas Jawa, Madura,
dan Sumatra, dikurangi daerah yang diduduki oleh tentara Inggris dan
Belenda.
Usulan Belanda itu pada tanggal 17 Juli ditolak oleh Pemerintah RI karena dianggap
tidak mengandung suatu yang baru, adapun ususlan RI:
1. Repulik Indonesia berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura, Sumatra, dan
ditambah daerah-daerah yang dikuasai oleh tentara Inggris dan Belanda.
2. Republik Indonesia menolak ikatan kenegaraan dengan Belanda dan
menghendaki perhentian pengiriman pasukan Belanda ke Indonesia
pemerintah Republik tidak akan menambahkan pasukan.
3. Pemerintah Republik menolak suatu periode peralihan dibawah kekuasaan
Belanda.
Usulan itu ditolak oleh pihak Belanda, sementara itu didalam negeri terjadi
krisis politik dengan jatuhnya Kabinet Sjahrir I. Sebenarnya Persatuan Perjuangan
mengharapkan Tan Malaka yang ditunjuk sebagai Perdana Menteri, tetapi Presiden
menunjuk kembali Sultan Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Persatuan Perjuangan
tetap meneruskan oposisinya terhadap kabinet Sjahrir sekalipun program kabinet baru
pemerintah. Program kabinet itu tidak memasukan golongan Tan Malaka. Karena itu
pemerintah mencurigai tindakan Tan Malaka dan kawan-kawan yang menginginkan
kedudukan dipemerintahan. Pada akhir bulan Maret tokoh politik khususnya dari
Persatuan Perjuangan ditangkap. Tujuan penangkapan untuk mencegah timbulnya
bahaya yang lebih besar yang disebabkan oleh pemimpin-pemimpin politik itu,
karena terdapat bukti bahwa mereka akan mengubah susunan negara diluar undang-
undang. Mereka yang ditangkap adalah Tan Malaka, Abikusumo Tjokrosuyoso,
Sayuti Malik, Charul Saleh, dan Muhamad Yamin.
Karena usulan ditolak. Pemerintah RI tetap membulatkan tekad mengerahkan
tenaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Rekrontruksi dan realisasi angkatan
perang diselenggarakan untuk menyempurnakan kesatuan komando. Pada bulan Juni
di Solo terjadi pergolakan dimana rakyat Solo menuntut dilenyapkannya
pemerintahan kesunanan. Daerah istimewa Surakarta dinyatakan menjadi daerah RI,
yang berbentuk keresidenan. Untuk mencegah segala terjadinya kemungkinan
kekacauan didalam negeri. Presiden Soekarno pada tanggal 6 Januari 1946
mengesahkan Undang-undang keadaan bahaya atau Undang-undang No. 6 tahun
1946, sehubungan dengan keadaan didaerah Solo Presiden mengumumkan keadaan
bahaya untuk daerah Kesunanan dan Mangkunegara. Pergolakan di Solo semakin
meluas menjadi pergolakan politik. Pengikut Tan Malaka tetap berusaha menjatuhkan
Perdana Menteri Sjahrir dengan cara lain, sehari kemudian diumumkan keadaan
bahaya untuk daerah Jawa dan Madura, oleh Presiden dibentuk dewan militer yang
Angkatan Perang ditugaskan dimana Panglima Besar Soedirman sebagai pemimpin
Angkatan Darat, Laut, dan Udara.
Selanjutnya Presiden pada tanggal 28 Juni 1946 menyatakan seluruh
Indonesia dalam keadaan bahaya. Berhubungan dengan adanya penculikan terhadap
Perdana Menteri Sjahrir dari penginapannya di Solo. Penculikan dilakukan oleh
pengikut Tan Malaka pada malam 27/28 Juni 1946. Sjahrir diculik bersama dengan
Mayor Jendral Sudibjo dan sehubungan dengan peristiwa Presiden menyerukan
kepada penculik agar segera mengembalikan Perdana Menteri Sjahrir. Sehari setelah
seruan itu penculik mengembalikan Sjahrir dalam keadaan selamat. Ketika terjadi
penculikan itu Presiden bersama kabinet mengambil alih pimpinan pemerintahan
untuk mengisi kekosongan.7
Sementara itu Belanda mendapat kemajuan dengan usaha mereka mencapai
penyelesaian federal. Pada bulan Juli 1946 mereka mengadakan suatu konferensi di
Malino ( Sulawesi Selatan ). Dimana tiga puluh orang Indonesia yang merupakan
wakil-wakil para Raja, umat Kristen, dan beberapa kelompok etnik dari Kalimantan,
dan Indonesia Timur mendukung tentang ide sebuah negara federal dan suatu bentuk
kelanjutan hubungan dengan Belanda. Akan tetapi pihak Belanda terkejut ketika
mengetahui orang-orang Indonesia menginginkan langkah-langkah kearah otonomi
yang murni. Disusunlah rencana untuk membentuk sebuah negara di Kalimantan dan
yang lain untuk Indonesia Timur.8
7
Ibid, hlm. 34-40.
8
Akhirnya pihak Belanda mencapai kesepakatan diplomatik dengan Republik
pada bulan November 1946. Pihak Inggris telah mendesak mencapai suatu
kesepakatan sebelum menarik semua pasukan mereka dari jawa dan sementara pada
bulan Desember. Pada bulan Oktober perundingan-perundingan dimulai dan
disepekati suatu gencatan senjata di Jawa dan Sumatra pada tanggal 12 November
diadakannya perjanjian Linggajati, isi perjanjian itu di antaranya:
1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Repulik Indonesia atas Jawa,
Madura, dan Sumatra.
2. Akan dibentuk negara federal dengan nama Indonesia Serikat yang salah satu
negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
3. Dibentuk Uni Indonesia- Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala Uni.
4. Pembentukan Republik Indonesia Serikat ( RIS ) dan Uni Indonesia- Belanda
sebelum tanggal 1 Januari 19499
Kedua pihak sepakat untuk kerja sama dalam pembentukan ( pada tanggal 1 Januari
1949 ) suatu negara Indonesia Serikat yang berbentuk federal, di dalamnya Republik
akan menjadi salah satu negara federal, dan Ratu Belanda akan menjadi pemimpin
secara simbolis Uni Indonesia-Belanda. Persetujuan perdamaian ini hanya
berlangsung singkat, kedua belah pihak saling tidak mempercayai pengesahan
9
perjanjian itu di kedua negara tersebut menimbulkan pertikaian-pertikaian politik
yang sengit mengenai kesepakatan yang telah dibuat.
Pihak Belanda mulai kini menyadari bahwa federal tidak selalu merupakan
pemecahan cara yang mudah. Pada November 1946 kedudukan mereka di Sulawesi
Selatan terancam oleh pemuda Republik setempat yang kembali dari Jawa, dimana
mereka telah mendapatkan pendidikan militer. Pada bulan Desember pihak Belanda
menjawab dengan mengirimkan seorang tokoh yang sangat keji, yaitu kapten
Raymond Turk Westerling. Dia menggunakan terror dengan sewenang-wenang
diikuti oleh pihak- pihak yang anti Republik. Dalam waktu tiga bulan sekitar 3.000
orang Indonesia telah terbunuh sebagai akibat terror tersebut. Dan kelompok pemuda
Republik semakin besar dibinasakan.10 Pihak Belanda terus maju dengan rencana
mereka membentuk negara-negara federal sedapat mungkin. Sebuah Negara
Indonesia Timur ( NIT ) didirikan dalam suatu konferensi di Denpasar pada bulan
Desember 1946. Walaupun kekuasaan Belanda masih berlanjut di Denpasar ide-ide
nasionalisme tetap kuat, bisa dilihat dari penggunaan lagu Indonesia Raya sebagai
lagu kebangsaan NIT.
Ternyata mustahil mendirikan sebuah negara untuk seluruh rakyat di
Kalimantan, karena kaum Muslim di pantai Selatan dan Timur sangat pro- Republik,
sebuah negara yang terpisah untuk Kalimantan Barat. Dibentuk dibawah Sultan
Hamid II ( 1946- 1950 ), Sjahrir memprotes dengan pembentukan negara secara
sepihak.
10
Perkembangan- perkembangan tersebut justru memperdalam kecurigaan pihak
Republik terhadap Belanda dan ketidak senangan terhadap persetujuan Linggarjati
dalam rangka memperbesar peluang desakanya persetujuan itu oleh KNIP,maka
dirasa perlu oleh pemerintah Republik untuk memperbanyak jumlah anggotanya dari
200 menjadi 514 orang dengan jalan memasukan tokoh-tokoh pro- pemerintah yang
telah membentuk koalisi yang bernama sayap kiri pada bulan Desember 1946
Bulan Mei 1947 Belanda sudah memutuskan bahwa mereka akan menyerang
Republik secara langsung. Pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa yang
sebagian tidak aktif merupakan pemborosan keuangan yang serius, tidak mungkin
dipikul oleh perekonomian Belanda yang hancur karena perang. Apabila mereka
ingin mempertahankan pasukan ini maka Belanda memerlukan komoditi dari pulau
Jawa ( khususnya gula ) dan Sumatra ( minyak dan karet ). Kalangan militer Belanda
merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai Republik dapat ditaklukkan dalam dua
minggu dan seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan.
Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam pihak Belanda melancarkan aksi
mereka yang pertama. Pasukan Bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki
Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Pasukan-
pasukan yang lebih kecil mengamankan kota Semarang, dengan demikian Belanda
menguasai pelabuhan di pulau Jawa. Di Sumatra perkebunan di sekitar Medan,
industri minyak di sekitar Palembang, dan daerah Padang.11 Pasukan Republik
11
bergerak mundur dalam kebingungan dan menghancurkan apa yang mereka dapat
hancurkan. Amerika dan Inggris tidak menyukai aksi Belanda tersebut, mereka
menyuruh Belanda untuk menghentikan pendudukan secara penuh terhadap Republik.
PBB kini terlibat langsung dalam konflik tersebut. Australia dan India sangat aktif
mendukung Republik dalam PBB dan Uni Soviet memberikan dukungannya. Akan
tetapi peran yang paling penting dipegang oleh Amerika Serikat, mereka menentukan
kebijakan Belanda, bahkan yang paling progresif di antara meraka, merasa sejarah
dan pikiran sehat memberikan mereka hak untuk menentukan perkembangan
Indonesia. Sekutu Belanda Inggris, Australia, dan Amerika Serikat tidak mengakui
hak semacam itu kecuali rakyat Indonesia menghendakinya. Mereka segera mendesak
negeri Belanda untuk mengambil sikap yang tidak terlalu kaku. Keadaan ini justru
memperbesar hasrat Belanda untuk mencari cara penyelesaaian secepatnya di
Indonesia.
Pada akhir bulan Juni 1947 pihak Belanda menyadari bahwa mereka harus
mendengarkan himbauan PBB agar diadakannya suatu gencatan senjata yang
diperintahkan oleh pihak Belanda Soekarno pada tanggal 4 Agustus. PBB
memperkenankan Sjahrir untuk berbicara atas nama Republik, tetapi tidak menerima
wakil-wakil daerah yang dikuasai Belanda. Pada bulan Oktober dibentuklah komite
jasa-jasa baik PBB yang beranggotakan wakil-wakil Amerika, Australia dan Belgia
gencatan senjata yang baru. Sejak bulan Agustus pihak Belanda telah melanjutkan
operasi pembersihan. 12
Pada tanggal 17 Januari 1948 tercapai suatu persetujuan baru di atas kapal
Amerika ( Renville ), yang antara lain berisikan persetujuan gencatan senjata antara
Indonesia dan Belanda.
1. Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat
(RIS)
2. Sebelum Republik Indonesia Serikat terbentuk, Belanda dapat menyerahkan
kekuasaanya kepada pemerintah federal sementara.
3. Republik Indonesia sejajar kedaulatanya dalam Uni Indonesia-Belanda.
4. Republik Indonesia menjadi negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.
5. Antara enam bulan sampai satu tahun akan diselengarakan pemilihan umum
untuk membentuk konstituante RIS.
6. Tentara Indonesia di daerah kekuasaan Belanda harus dipindah ke daerah
Republik Indonesia.13
Perjanjian Renvillle mengalami nasib yang sama dengan persetujuan Linggarjati.
Belanda melakukan aksi militer yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948. KTN
melaporkan kepada Dewan Keamanan bahwa Belanda melakukan pelanggaran.
Dewan Keamanan bersidang pada tanggal 22 Desember 1948 yang menghasilkan
resolusi, mendesak supaya pemusnahan dihentikan dan pemimpin Indonesia yang
12
M.C. Ricklefs, op.cit., hlm . 337-340.
13
ditahan segera dibebaskan. KTN ditugaskan untuk mengawas pelaksanaan resolusi
itu.
Pada waktu Dewan Keamanan bersidang lagi pada tanggal 7 Januari 1949,
bahwa nampak sekali pendapat umum dunia terhadap Belanda makin lama makin
buruk. Perdana Menteri India Nehru menuntut dipulihkan Republik Indonesia kepada
keadaan semula, ditarik mundur tentara Belanda, dan diserahkan kedaulatan kepada
rakyat Indonesia dan diperluaskanya wewenang KTN. Konferensi New Delhi ini
diperkasai Perdana Menteri India dan dihadiri oleh wakil-wakil negara Afganistan,
Australia, Burma, Sri Langka, Mesir, Ethopia, Iran, Iraq, Lebanon, Pakistan, Filipina,
Saudi Arabia, Suriah, dan Yaman sebagai peserta dan wakil negara-negara Cina,
Nepal, slandia Baru, dan Muangthai sebagai peninjau.
Pada peserta Konferensi New Delhi merupakan unsur yang sangat besar
dalam PBB, maka sudah logis jika Dewan Keamanan memberikan perhatian yang
wajar terhadap tuntutan Konfrensi New Delhi ini, arab dan Australia berkumandang
di Dewan Keamanan menerima suatu resolusi, yang antara lain berbunyi sebagai
berikut:
1. Segera gencatan senjata .
2. Pemimpin-pemimpin Republik Indonesia segera dibebaskan dan
dikembalikan ke Yogyakarta.
Resolusi itu untuk pertama kali menentukan dengan jelas garis-garis dan jangka
waktu penyerahan dari KTN yang namanya diubah menjadi United Nation
menjalankan politik damai dan bersedia untuk menyelesaikan soal-soal Indonesia atas
prinsip Indonesia Merdeka dan siap berperang untuk membela diri apabila diserang,
maka perjuangan Republik Indonesia mendapat simpati dunia internasional di forum
PBB.14
B. Menghadapi Agresi Militer Belanda 1. Menghadapi Agresi Militer Belanda I
Agresi terbuka Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 menimbulkan reaksi yang
hebat dari dunia. Pada tanggal 30 Juli pemerintah India dan Australia mengajukan
permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan dalam daftar acara
Dewan Keamanan. Permintaan itu diterima baik dan pada tanggal 31 Juli dimasukkan
dalam acara pembicaraan Dewan Keamanan. Tanggal 1 Agustus 1947 Dewan
Keamanan memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak yang dimulai
pada tanggal 4 Agustus 1947. Sementara itu untuk mengawasi gencatan senjata
dibentuk Komisi Konsuler. Dewan Keamanan yang memperdebatkan masalah
Indonesia akhirnya menyetujui usulan Amerika Serikat. Bahwa untuk mengawasi
penghenetian ini harus dibentuk suatu komisi jasa-jasa baik. Indonesia dan Belanda
dipersilahkan untuk memilih satu negara yang dipercayai mengawasi penghentian
permusuhan Pemerintah Indonesia meminta Australia menjadi angota komisi, dan
Belanda memilih Belgia. Australia diwakili oleh Richard Kirby, Belgia diwakili Paul
Van Seland, dan Amerika diwakili Dr. Frank Graham. Komite ini di Indonesia
dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN). Dalam masalah militer KTN mengambil
14
inisiatif, tetapi di dalam masalah politik KTN hanya memberikan saran dan usulan,
tidak mempunyai hak untuk memasukkan persoalan politik. KTN mulai bekerja di
Indonesia pada bulan Oktober 1947. Setelah KTN mengadakan pembicaraan dengan
kedua belah pihak akhirnya disepakati untuk kembali ke meja prundingan. Belanda
mengajukan Jakarta sebagai tempat perundingan, tetapi ditolak oleh pihak Republik.
Republik menganggap di Jakarta tidak ada kebebasan untuk menyatakan pendapat,
Republik menginginkan perundingan dilaksanakan di luar daerah yang dikuasai
Belanda. KTN mengambil jalan tengah dan mengusulkan kedua belah pihak
menerima tempat perundingan di atas sebuah Kapal Amerika Serikat yang disediakan
atas permintaan KTN.
Sebelum itu sudah dibentuk suatu komisi untuk melaksanakan gencatan
senjata, yang disebut Komite Taktis. Di dalam perundingan Komisi Taktis yang telah
dilakukan, usulan mengenai daerah batas militer dianggap kurang praktis, dan
Belanda tetap mempertahankan garis Van Mook, yakni suatu garis yang
menghubungkan pucuk-pucuk pasukan Belanda yang dimajukan sesudah keluar
perintah dari Dewan Keamanan untuk menghentikan permusuhan. Kemudian mareka
mengeluarkan pernyataan dari tempat perundingan di Kaliurang, yang berisikan
dilarang melakukan sabotase, intimidasi, pembalasan dendam, dan tindakan yang
semacamnya terhadap orang-orang atau masyarakat.
Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir III, Presiden menunjuk Mr. Amir Sjarifudin
untuk menyusun kabinet baru. Perundingan dengan Belanda delegasi Republik
Renville dibuka pada tanggal 8 Desember 1947 di bawah pimpinan Hermans wakil
Belgia dalam KTN. Sementara itu perundingan Komisi Taktis mengalami jalan
buntu. Hal ini disebabkan karena Belanda menolak saran dari KTN untuk
melaksanakan keputusan Dewan Keamanan PBB. Pihak Belanda tidak mau
berunding masalah politik sebelum gencatan senjata beres. Karena macetnya
perundingan, pemerintah Indonesia mengeluarkan keterangan mengenai sebab-sebab
kemacetan tersebut dinyatakan pihak Belanda hanya menyetujui hal-hal yang
menguntungkan dirinya. Kecepatan gerakan pasukan Belanda menunjukkan
keinginan untuk menduduki daerah seluas mungkin dengan dalih mengadakan
operasi-operasi pembersihan berdasarkan mereka yang terdepan. Namun situasi pada
tanggal 4 Agustus 1947 menunjukkan bahwa pihak Belanda hanya menduduki
kota-kota saja, di luar kota-kota pemerintahan RI dan TNI tetap aktif.
Untuk mengatasi kemacetan perundingan ini KTN mengajukan usulan baru
supaya kedua belah pihak berunding dulu dengan KTN. Dari hasil perundingan itu
KTN menyimpulkan bahwa persetujuan Linggarjati dapat dijadikan dasar
perundingan namun terdapat kesulitan mengenai gencatan senjata, karena Belanda
tetap menekankan pada tuntutan pada garis Van Mook, sedangkan pihak Republik
menolak wakil Australia mengusulkan daerah demiliterisasi yang diawsai oleh polisi.
Pasukan masing-masing diundurkan sejauh 10 km, kemudian KTN memberikan usul
politik yang didasari atas persetujuan Linggarjati, yaitu:
1) kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
3) suatu negara yang berdaulat atas dasar federasi.
4) Uni antara Indonesia Serikat dan bagian lain kerajaan Nederland.
Sebagai balasan usulan KTN pihak Belanda mengajukan 12 prinsip politik
untuk disampaikan pada pihak Republik. Prinsip-prinsip Belanda di antaranya adalah
menghidupkan kegiatan ekonomi, tetapi dalam usul itu tidak ada masalah mengenai
penarikan pasukan Belanda, Belanda menyatakan itu adalah usaha mareka terakhir,
apabila ditolak Belanda tidak dapat melanjutkan perundingan dan RI diberi 48 jam
untuk menjawabnya. KTN menyadari sikap Belanda ini situasi berbahaya. Untuk
mengatasi hal ini KTN mengajukan 6 prinsip tambahan untuk mencapai penyelesaian
politik. Karena prinsip-prinsip itu disampaikan kepada dua belah pihak, pemerintah
RI mendapatkan jaminan dari KTN, bahwa kekuasaan Republik tidak berkurang
selama peralihan sampai diserahkan kedaulatan Belanda kepada negara federasi
Indonesia. Pihak Belanda berjanji juga akan menerima usulan KTN. Akhirnya pada
tanggal 17 Januari 1947 kedua belah pihak bertemu di atas kapal Renvile untuk
menandatangani persetujuan gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik yang telah
disetujui bersama KTN. Sementara berlangsung perundingan pihak Belanda terus
berusaha membentuk negara-negara boneka. Konferensi Jawa Barat II diselengarakan
di Bandung pada tanggal 16-19 Desember 1947 untuk menentukan status Jawa Barat.
dapat dipisahkan dari RI. Di samping itu Belanda juga membentuk Komite Indonesia
Serikat dan membentuk Negara Indonesia Timur.15
2. Menghadapi Agresi Militer Belanda II
Karena tidak ada kesesuaian pendapat perundingan dengan Belanda
mengalami kemacetan lagi. Indonesia merasa kecewa terhadap KTN, KTN dianggap
lebih banyak sebagai wasit daripada sbagai perantara perjuangan diplomatik
Indonesia dan Belanda. Jalan keluar itu sebenarnya telah dirintis oleh Du Bois
Crtchley, yakni masing-masing Amerika dan Australia di dalam KTN. Sementara itu
wakil Amerika Serikat dipanggil oleh pemerintahnya, dan diganti Marle Cochran.
Jalan buntu untuk berunding masih belum bisa ditembus. Setelah gagal perundingan 9
Desember 1948 RI mengirimkan usulan kepada KTN mengenai pendirian RI.16 Pada
hakikatnya RI tidak mau mengakui adanya gencatan senjata dan Renville.
Dengan berakhirnya pemberontakan PKI, pimpinan angkatan perang mulai
memikirkan kemungkinan serangan militer Belanda. Berdasarkan persetujuan
Renville, Belanda berusaha mengepung RI secara politik, ekonomi, dan militer.
Gejala-gejala akan datangnya seramgan militer dirasakan oleh pimpinan Angkatan
Perang, sejak Belanda mulai mengulur-ulur waktu mengenai pelaksanaan
perundingan Renville. Sebagai tanggapan tindakan Belanda pimpinan Angkatan
Perang merencanakan pelaksanaan daripada pertahanan RI. Adapun konsep
pertahanan yang dianut adalah pertahanan Rakyat Semesta. Namun konsep ini
15
Ibid, hlm.139-144.
16
tadinya baru dicanangkan dalam tingkat politis dan belum dijabarkan secara nyata.
Penjabaran tersebut didasarkan pada pengalaman menghadapi Belanda pada agresi
militer I. pengalaman tersebut ditambah pula dengan kenyataan bahwa kurang lebih
dari 35.000 tentara keluar dari kantong-kantong dari daerah yang diduduki Belanda
baik di Jawa maupun Sumatra. Berdasarkan pengalaman tersebut pimpinan Angkatan
Perang menjabarkan konsep pertahanan semesta yang mudah dipahami dan
dilaksananakan, penjabaran diterangkan dalam perintah siasat No. I dari Panglima
Angkatan Perang. Isi pokok perintah itu adalah mengadakan perang dengan gerilya
yang agresif yang dilakukan oleh rakyat dan tentara untuk membela RI dan sekaligus
untuk memenangkan perang.
Beberapa hari setelah perundingan mengalami jalan buntu, Belanda
melakukan agresi militer yang kedua terhadap RI. Yogyakarta berhasil diuduki
dengan menggunakan pasukan terjun payung. Presiden serta sejumlah petingggi
negara ditawan oleh Belanda, tetapi sebelumnya pemerintah telah memberikan
mandat kepada Menteri Syarifudin Prawiranegara untuk membentuk dan memimpin
pemerintah Republik secara darurat.
Dewan Keamanan PBB segera bersidang pada tanggal 24 Januari 1949.
Amerika Serikat mengeluarkan resolusi yang ditunjukan pada semua anggota, yang
berisikan:
1. Hentikan permusuhan .
3. Memerintahkan kepada KTN agar memberikan laporan secara lengkap
mengenai situasi di Indonesia sejak 19 Desember 1948.
Sementara itu TNI dari satu bulan telah selesai dengan konsilidasinya dan sudah
mulai memberikan pukulan pada tentara Belanda. Pertama kali yang menjadi sasaran
adalah garis-gari komunikasi Belanda: kawat-kawat telepon diputuskan, jalan Kereta
Api dirusak, konvoi-konvoi Belanda dihadang dan diserang. Karena itu Belanda
terpaksa mendirikan pos-pos disepanjang jalan besar yang menghubungkan kota-kota
yang telah didudukinya. Serangan 1 Maret 1949 pada siang hari terhadap kota
Yogyakarta membuktikan pada dunia jauh dari kata hancur. Jalan buntu Belanda
dibidang militer disertai dengan Ameriaka Serikat memaksa Belanda untuk menerima
KMB yang bermuara kepada pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia atas bekas
wilayah Hindia Belanda.17
C. Akhir Perang Dan Pengakuan Kedaulatan 1. Pendekatan RI Dengan Negaea-Negara Federal
Pada bulan pertama tahun 1949, karena didesak oleh Dewan keamanan PBB
Belanda mengadakan pendekatan-pendekatan politis, Perdana Menteri Belanda
mengundang Prof. Dr. Supomo untuk berunding. Pertemuan yang sama diadakan
tanggal 21 Januari 1949 antara negara-negara bagian buatan Belanda. Mr. Moh Room
memimpin delegasi Republik kemudian menyatakan bahwa RI bersedia berunding
dengan BFO dengan syarat diawasi komisi PBB apabila telah mencapai tingkatan
formal. Pada tanggal 13 Februari Wakil Presiden Mohamad Hatta secara resmi
17
menyatakan bahwa perundingan dapat saja dimulai dengan syarat dikembalikannya
pemerintah RI ke Yogyakarta dan pengunduran pasukan Belanda dari RI sesuai
dengan resolusi PBB.
Berdasarkan kenyataan dan penjajakan politik oleh pihak Belanda pada
dasarnya pemimpin-pemimpin bersedia berunding, maka pada tanggal 26 Februari
1949 mereka mengumumkan akan mengadakan Konferesi Meja Bundar ( KMB )
pada tanggal 12 Maret 1949, guna merundingkan masalah Indonesia dan
merundingkan syrat-syarat penyatuan kedaulatan, serta pembentukan Uni
Indonesia-Belanda. Konferensi Meja Bundar diadakan di Den Hag, isi penjelasan yang
disampaikan Ir. Soekarno adalah:
1. Pemerintah Belanda akan mengadakan KMB di Den Hag guna untuk
membahas penyerahan kedaulatan yang dipercepat.
2. Penarikan pasukan Belanda secepat-cepatnya setelah penyerahan kedaulatan.
3. Tentang pengembalian pemerintah ke Yogyakarta dinyatakan bahwa hal itu
tidak mungkin dilaksanakan.
Pada tanggal 3 Maret 1949 presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan
dengan penghubung BFO, dan menegaskan adanya kedudukan pemerintah RI
dipulihkan sebagai syarat dilangsungkan perundingan yang selaras dengan resolusi
Dewan Keamanan PBB. Selesai pertemuan itu keesokan harinya pada tanggal 4
Maret 1949 Soekarno membalas undangan Wakil Tinggi Mahkota yang berisi
1. Pengembalian kekuasaan RI adalah syarat mutlak untuk melakukan
perundingan.
2. Kedudukan dan kewajiban PBB untuk Indonesia membantu melaksanakan
resolusi PBB akan terganggu.
Dari BFO dikeluarkan pernyatan yang berisikan pemberitahuan bahwa BFO
telah pada pendirian semula:
1. Supaya pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta.
2. Komisi PBB agar membantu melaksanakan resolusi.
3. RI menerima gencatan senjata.
Dari pihak Dewan Keaman PBB pada tanggal 23 Maret 1949 dikirimkan surat pada
perintah Belanda yang menyatakan bahwa komisi PBB untuk Indonesia telah bekerja
sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949 dan tidak
merugikan tuntutan kedua belah pihak. komisi PBB akan memberikan bantuan
terhadap:
1. Tercapainya tujuan sebagai pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan pada
tanggal 28 Januari 1949 paragraf 1 dan 2 yang menghentikan aksi militer oleh
Belanda dan pengembalian pemimpin RI ke Yogyakarta.
2. Menetapkan tanggal dan waktu serta syarat untuk mengadakan KMB agar
dapat diselenggarakan.
Dengan adanya petunjuk dari Dewan Keamanan dan adanya pendekatan
antara RI dan Belanda. Maka pada tanggal 19 April atas inisiatif komisisi PBB untuk
Delegasi RI dalam pidatonya mengemukakan bahwa perundingan ini lebih dahulu
menyetujuai pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta. Dengan pengembalian
pemerintah RI ke Yogyakarta, baru terbuka kemungkinan delegasi untuk mengambil
keputusan bagi hal-hal lainya. Delegasi Belanda bersedia melakukan perundingan
dengan syarat-syarat untuk kemungkinan kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta,
tetapi tiap kewajiban yang mengikat yang muncul dalam perundingan harus ditunda
sampai tercapai persetujuan tentang perintah penghentian gerilya dan membuat
perjanjian mengenai waktu dan syarat KMB di Den Hag.
Karena Perundingan berjalan dengan lambat, bahkan hampir mengalami jalan
buntu. Pada tanggal 24 April Mohammad Hatta datang ke Jakarta, pihak RI
menempuh cara lain yakni, mengadakan perundingan informal dan langsung dengan
pihak Belanda dengan disaksikan Marle Cochran ( Amerika Serikat ). Pada tanggal
25 April diadakan pertemuan pertama antara RI dan Belanda, hasil pertemuan ini
tidak diumumkan, namun Hatta menyatakan perundingan informal itu untuk
membantu memberikan penjelasan pada delegasi Belanda. Pertemuan ini memberikan
harapan untuk tercapai persetujuan, komisi PBB bersikap menunggu matangnya
perundingn informal tersebut. Pada dasarnya pihak Belanda tidak setuju tentang
pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta dengan syarat perhentian perang gerilya,
masalah ini dapat diatasi tetapi mengenai luasnya kekuasaan RI. Delegasi RI
menuntut daerah seluas daerah Istimewa Yogyakarta termasuk lapangan terbang
Maguwo dengan batas samudra Indonesia. Pihak Belanda sebaiknya menafsirkan
daerah sekitarnya adalah seluas lima mil persegi, mereka juga menolak menyerahkan
lapangan Maguwo.
Berkat usaha keras Marle Cochran anggota komisi PBB Amerika Serikat,
pada tanggal 17 Mei 1949 telah tercapai persetujuan. Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohamad Hatta menyatakan kesanggupan mereka sesuai resolusi Dewan
Keamanan tanggal 28 Januari 1949 serta petunjuk-petunjuk tanggal 23 Naret 1949
untuk memudahkan:
1. Pengeluaran perintah terhadap pengikut RI yang bersenjata untuk
menghentikan perang gerilya.
2. Kerja sama dalam pengembilan perdamaian dan menjaga keamanan dan
ketertiban.
3. Turut serta KMB di Den Hag dengan maksut untuk mempercepat penyerahan
kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada negara Indonesia
Serikat tidak bersyarat.
Selanjutnya delegasi Belanda Dr. Van Royen memberikan pernyataan yang berisikan
tentang:
1. Delegasi Belanda menyetujui pembentukan panitia di bawah pengawasan
komisi PBB dengan tujuan mengadakan penyelidikan dan persiapan yang
perlu dan sebelum kembalinya pemerintah RI ,dan mempelajari atau
memberikan nasehat tentang tindakan yang diambil dalam pelaksanaan
penghentian perang gerilya dan kerja sama dalam hal pengembalian
2. Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa
melakukan jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi keresidenan
Yogyakarta.
3. Pemerintah Belanda membebaskan dengan tidak bersyarat
pemimpin-pemimpin RI dan tahanan politik sejak tanggal 19 Desember 1949.
4. Pemerintah Belanda menyetujuii RI sebagai bagian Negara Indonesia Serikat
5. KMB di Den Hag akan diadakan setelah pemerintah RI ke Yogyakart. Pada
konferensi tersebut diadakan pembahasan tentang bagaimana cara
mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Indonesia Serikat.
Dengan disepakati prinsip-prinsip Room-Royen pemerintah darurat RI sementara
memerintahkan kepada Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih
perintahan di Yogyakarta apa bila Belanda mulai mundur dari Yogyakarta. Partai
politik yang pertama kali menyatakan persetujuan adalah Masyumi. Pihak Angkatan
Perang menyambut dengan adanya persetujuan itu dengan rasa curiga. Panglima
Besar Angkatan Perang pada tanggal 1 Mei 1949 mengingatkan pada
komandan-komandan agar tidak memikirkan masalah perundingan. Pernyataan yang sama untuk
mempertegas pernyataan Panglinma Besar Angkatan Perang dikeluarkan juga oleh
Panglima Tentara dan Tritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution pada tanggal 5 Mei
1949. Pernyataan itu mengetengahkan bahwa perundingan yang dilaksanakan itu
hanyalah taktik perjuangan, dan diperingatkan kepada semua komandan agar
kepentinagan militer. Pada pokoknya angkatan tidak percaya perundingan bisa
berhasil karena melihat dari pengalaman yang ada, seperti Linggarjati dan Renville.
Sebagai tindak lanjut antara persetujuan Room-Royen pada tanggal 22 Juli
diadakan perundingan formal antara, BFO dan Belanda di bawah pengawasan komisi
PBB, hasil perundingan itu adalah: Pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta
dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949, Keresidenan. Pada pokoknya angkatan tidak
percaya perundingan bias berhasil karena melihat dari pengalaman yang ada, seperti
Linggarjati dan Renville. Sebagai tindak lanjut antara persetujuan Room-Royen pada
tanggal 22 Juli diadakan perundingan formal antara, BFO dan Belanda dibawah
pengawasan komisi PBB, hasil perundingan itu adalah:
1. Pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24
Juni 1949, Keresidenan Yogyakarta dikosongkan oleh Belanda dan pada
tanggal 1 Juli 1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI
menguasai keadan sepenuhnya di daerah itu.
2. Mengenai permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI ke
Yogyakarta.
3. KMB diusulkan akan diadakan di Den Hag.
2. Menuju KMB
Sejak kembali pemimpin RI ke Yogyakarta perundingan dengan BFO yang
telah dirintis di Bangka dimulai lagi, yang dibahas dalam perundingan itu adalah
pembentukan pemerintah peralihan sebelum terbentuknya Negara Indonesia Serikat.
yang disebut Konferensi Antar-Indonesia. Konferensi ini memperlihatkan bahwa
politik Devide Et Impera untuk memisahkan daerah di luar RI dari RI, akhirnya
mengalami kegagalan. Pada Konferensi Antar-Indonesia yang diselenggarakan di
Yogyakarta dihasilkan persetujuan dan hal-hal mengenai ketatanegaraan Negara
Indonesia Serikat.
1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat.
2. Akan dibentuk dua badan perwakilan yakni sebuah Dewan Perwakilan Rakyat
dan Perwakilan Negara Bagian ( Senat ).
3. Pemerintah federal sementara akan menerima kedaulatan bukan hanya dari
pihak Belanda, melainkan dari pihak RI.
3. Pembentukan RIS dan Pengakuan Kedaulatan
KMB kemudian diajukan kepada KNIP untuk diratifikasi KNIP yang
bersidang pada tanggal 2 November 1949, berhasil menerima KMB 226 pro lawan 62
kontra dan 31 meninggalkan sidang, selanjutnya pada tanggal 15 Desember 1949
diadakan pemilihan Presiden RIS pada tanggal 16 Desember 1946 dan pada tanggi 17
Desember. Pada tanggal 20 Desember kabinet RIS di bawah pimpinan Hatta selaku
Perdana Menteri, dan pada tanggal 27 Desember 1949 baik di Indonesia maupun di
Belanda untuk menandatangani akte penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda
ke pemerintah RIS.
a. Republik Indonesia Serikat
Dari tanggal 23 Agustus sampai dengan tanggal 2 November 1949
Indonesia selama berlangsung perundingan dan semua peserta mengaguminya, suatu
Uni yang longgar disepakati antara Belanda dengan RIS disepakati dan Ratu Belanda
sebagai pimpinan simbolis. Sukarno akan menjadi Presiden dan Hatta akan menjadi
Perdana Menteri dan merangkap sebagai Wakil Presiden. Beberapa jaminan
investasi-investasi Belanda di Indonesia dan disepakati bahwa akan diadakan
konsultasi-konsultasi mengenai beberapa masalah keuangan, banyak orang Indonesia
menganggap rencana-rencana sebagai pembatasan-pembatasan yang tidak adil
terhadap kedaulatan mereka. Pihak Indonesia harus memberikan konsensi-konsensi
dalam dua masalah yang paling sulit. Belanda tetap mempertahankan kedaulatan atas
Irian Barat sampai ada perundingan-perundingan lebih lnjut mengenai wilayah Irian
Barat. Dan RIS memikul tanggung jawab atas hutang Hindia Belanda, setelah tawar
menawar ditetapkan sebesar 4,3 miliyar golden sebagian besar dari jumlah ini
sebenarnya adalah biaya yang dipakai oleh pihak Belanda untuk menumpas revolusi.
Pada tanggal 27 Desember Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas
Indonesia, tidak termasuk wilayah Irian Barat. Kepada RIS sebuah negara federal
yang hanya bertahan beberapa minggu saja. Ada banyak sentimen pro RI di negara
federal yang didirikan oleh Belanda itu, sentimen semakin kuat dengan dibebaskanya
sekitar 12.000 orang tawanan RI dari penjara Belanda antara bulanAgustus sampai
bulan Desember 1949. Pada tanggal 23 Januari 1949 Westerling dan sekitar 800
orang serdadunya merebut tempat-tempat penting di Bandung, tetapi Komisaris
Belanda mendesaknya untuk mundur pada hari itu juga. Pada hari itu juga Westerling