• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis senyawa 4-asetamidofenil benzoat dari parasetamol dan benzoil klorida berdasarkan reaksi substitusi nukleofilik asil.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sintesis senyawa 4-asetamidofenil benzoat dari parasetamol dan benzoil klorida berdasarkan reaksi substitusi nukleofilik asil."

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Senyawa 4-asetamidofenil benzoat merupakan senyawa derivat p-aminofenol yang diduga mempunyai aksi analgetika dan anti-inflamasi, yang bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase-2 (COX-2). Penghambatan pada COX-2 berarti terjadi penghambatan pada interaksi enzim tersebut dengan asam arakhidonat yang memicu pembentukan prostaglandin sebagai penghasil respon inflamasi. Sintesis senyawa 4-asetamidofenil benzoat melalui reaksi substitusi nukleofilik asil (SNA) antara parasetamol (N-asetil-p-aminofenol) dan benzoil klorida dalam piridina dilakukan berdasarkan pemodelan molekul derivat p-aminofenol pada penelitian sebelumnya, yang memperoleh hasil yang menjanjikan sebagai senyawa dengan aksi yang lebih poten sebagai analgetika dan anti-inflamasi. Identifikasi senyawa hasil sintesis dilakukan melalui analisis terhadap organoleptis dan kelarutan, dilengkapi dengan uji kromatografi lapis tipis (KLT), uji titik lebur, elusidasi struktur malalui spektrofotometri inframerah, kromatografi gas, dan spektrometri massa (GC-MS), serta perhitungan rendemen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi reaksi yang membentuk senyawa baru dengan rendemen rata-rata 26,152% b/b yang memiliki karakteristik golongan ester sesuai dengan senyawa tujuan.

(2)

ABSTRACT

4-acetamidophenyl benzoate is a p-aminophenol derivative which is believed to have actions as analgesic and anti-inflammation, that blocks cyclooxygenase-2 (COX-2) enzyme in its mechanism. Blocking in COX-2 causes the inhibition of enzyme interaction with arachidonic acid which originally produces prostaglandine, resulting in inflammation response. Synthesis of 4-acetamidophenyl benzoate through nucleophilic acyl substitution reaction between paracetamol (N-acetyl-p-aminophenol) and benzoyl chloride in pyridine was done based on the previous study in p-aminophenol derivatives molecular modelling, resulting a promising conclusion as a substance with more potent actions as analgesic and anti-inflammation. Identification of the product substance were done by organoleptic and solubility analysis, completed with thin layer chromatography (TLC), melting point test, structure elutidation by infrared spectrophotometry, gas chromatography and mass-spectrometry (GC-MS), and yield calculation. The study shows that a new substance was formed through the reaction process with average yield of 26,152% w/w which has the characteristics of ester group substances as the expected product.

(3)

SINTESIS SENYAWA 4-ASETAMIDOFENIL BENZOAT DARI PARASETAMOL DAN BENZOIL KLORIDA BERDASARKAN REAKSI

SUBSTITUSI NUKLEOFILIK ASIL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Dolorosa Lintang Suminar

NIM : 098114047

FAKULTAS FARMASI

(4)
(5)
(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Life is not something that flow like a river,

it is not something that we should follow and let go effortlessly.

Life is the stage for us actors to challenge ourselves,

it is where we have to decide, be brave, take responsibility, be committed, be

passionate, and live fully.

Dream on! For no dream is a crime. Live on! For our souls are our own.

Be who we are and who we always want to be.. And be ourselves!

I B U   H E B A T, Enny Anggraini, Ph.D.; yang selalu menjadi cita-citaku, yang hampir

5 tahun terpisah benua, namun selalu kirimkan cinta.

B A P A K, Dwi Koratno, M.A.; yang selalu mengalah, yang terlalu sabar menghadapi

kerasnya tuturku, namun setia memperhatikanku.

Belahan jiwaku, mas Heronimus H E R U Adityo, suporter setiaku, generator bagi

semangatku, yang menemaniku malam hingga pagi via telpon, meskipun

dipisahkan jarak tapi kaulah yang memberiku kekuatan untuk berjuang.

Eyang-eyangku tercinta, keluarga yang terlalu besar, dan sahabat-sahabatku.

(7)
(8)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya

yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Sintesis Senyawa 4-Asetamidofenil Benzoat dari Parasetamol dan Benzoil

Klorida berdasarkan Reaksi Substitusi Nukleofilik Asil” dengan baik. Skripsi ini

disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata

Satu (S1) Program Studi Farmasi (S.Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

Penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang diberikan

oleh berbagai pihak, yakni:

1. Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi, Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt., selaku Ketua Program Studi Fakultas

Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Jeffry Julianus, M.Si., selaku dosen pembimbing yang memberikan bimbingan

serta arahan dengan penuh kesabaran, sekaligus sebagai dosen penguji atas

kritik dan saran yang diberikan kepada penulis.

4. Enade Perdana Istyastono, Ph.D., Apt., selaku dosen penguji atas saran, kritik,

dan solusi yang diberikan kepada penulis.

5. F. Dika Octa Riswanto, M.Sc., selaku dosen penguji atas saran, kritik, dan

(9)

6. Pak Parlan, mas Kunto, mas Bimo, serta segenap laboran Fakultas Farmasi

yang berkenan membantu selama proses di laboratorium, dan menjadi partner

bertukar pikiran yang luar biasa.

7. Ibu, Bapak, mas Heru dan keluarga, eyang A’uk di surga, eyang Uti, bulik Ida,

budhe Ninik, Ian, Nanto, eyang Benny (alm.), tante Dien, om Norman,

keluarga besar Kusumadi, keluarga besar Bhe Yu Hie, keluarga besar Ratidjo,

serta seluruh keluarga besar penulis atas dukungan, doa, kasih sayang, dan

reminder dalam menyelesaikan tulisan ini.

8. Para sahabat: Maria Indah, Agnes Wilis, Luthfi, Sani, Neo, Aldo, Majid, atas

dukungan, semangat, kesempatan untuk bertukar pikiran, dan persahabatan

luar biasa yang diberikan kepada penulis.

9. Teman-teman seperjuangan: Dino, Ita, Gita, Meta, Ria, Ella, Albet, Calista,

teman-teman FST 2010, dan teman-teman angkatan 2009, atas bantuan,

dukungan, serta persahabatan yang diberikan.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per-satu, yang berperan dalam

memberikan dukungan serta bantuan selama penyusunan skripsi ini.

Atas segala kekurangan dalam proses penelitian maupun penulisan yang

dilakukan oleh penulis, maka penulis mengharapkan kritik serta saran yang

membangun demi memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut. Semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pembaca dan mendukung pengembangan ilmu

(10)
(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………..ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………...v

PRAKATA………..vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………..viii

DAFTAR ISI ………..ix

DAFTAR TABEL………..xii

DAFTAR GAMBAR ………xiii

DAFTAR LAMPIRAN ………..xv

ABSTRAK ……….………..xvi

ABSTRACT………...xvii

BAB I. PENDAHULUAN …..……….1

A. Latar Belakang ………...………1

1. Rumusan Masalah .………...3

2. Keaslian Penelitian ………...3

3. Manfaat penelitian………...4

(12)

A. Parasetamol ………5

B. Benzoil Klorida ………..6

C. Piridina ………...9

D. Reaksi Substitusi Nukleofilik Asil ………...10

E. Rekristalisasi ………12

F. Uji Kelarutan ………....12

G. Uji Titik Lebur ……….15

H. Identifikasi dan Uji Kemurnian dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) …..17

I. Spektrofotometri Inframerah/Infrared (IR)…..………19

J. Kromatografi Gas ………22

K. Spektrometri Massa ……….27

L. Landasan Teori ……….31

M. Hipotesis………...33

BAB III. METODE PENELITIAN ………...34

A. Jenis Penelitian ……….34

B. Definisi Operasional Penelitian ………...34

C. Bahan Penelitian………...35

D. Alat Penelitian ……….35

E. Tata Cara Penelitian ……….35

1. Sintesis 4-Asetamidofenil Benzoat ………....35

2. Pemeriksaan Pendahuluan Senyawa Hasil Sintesis ………...36

3. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Sintesis ………37

(13)

1. Perhitungan Rendemen ………..38

2. Uji Pendahuluan ……….38

3. Pemeriksaan dan Uji Kemurnian Senyawa Hasil Sintesis ……….38

4. Elusidasi Struktur ………..38

BAB IV. PEMBAHASAN……….39

A. Sintesis 4-Asetamidofenil Benzoat ………..39

B. Analisis Pendahuluan ………...44

1. Pemeriksaan Organoleptis ……….44

2. Pemeriksaan Kelarutan………...44

3. Pemeriksaan Titik Lebur ………49

4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ………...50

C. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Sintesis ………..52

1. Elusidasi Struktur dengan Spektrofotometri Inframerah (IR) …………...52

2. Elusidasi Struktur dengan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GC-MS) ………55

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………...61

A. Kesimpulan ………...………...61

B. Saran ………61

DAFTAR PUSTAKA ………....62

LAMPIRAN ………...65

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Perbandingan sifat fisik senyawa produk sintesis dan starting

material ……….44

Tabel II. Perbandingan tingkat kelarutan produk sintesis dengan

parasetamol ………...45

Tabel III. Uji titik lebur terhadap produk sintesis dan starting material ……..50

Tabel IV. Perbandingan nilai Rf dan hRf produk sintesis dengan

parasetamol ………...51

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur parasetamol ………...…..5

Gambar 2. Struktur benzoil klorida ………..6

Gambar 3. Mekanisme reaksi antara asam klorida dengan alkohol ………….8

Gambar4. Struktur piridina ………...9

Gambar5. Reaksi substitusi nukleofilik asil ………...11

Gambar6. Interaksi dipol-dipol dan dipol-terinduksi dipol ………...23

Gambar7. Pemisahan 10 senyawa dalam (a) dimetilsiloksan (non-polar) dan

(b) etilen glikol (polar) ……….26

Gambar8. Reaksi umum sintesis 4-asetamidofenil benzoat ………...33

Gambar9. Reaksi substitusi nukleofilik asil dalam sintesis 4-asetamidofenil

benzoat ………...40

Gambar10. Kelarutan (a) parasetamol dan (b) 4-asetamidofenil benzoat dalam

NaOH 5% ………..………...46

Gambar11. Sisi donor dan akseptor proton pada parasetamol dan

4-asetamidofenil benzoat ……….47

Gambar12. Hasil elusi KLT terhadap parasetamol (PCT), produk orientasi (a),

dan produk sintesis replikasi I (b), II (c), dan III (d); fase

diam=silika gel GF254, fase gerak=aseton:etil asetat (2:3), deteksi

pada UV 254 nm ………...51

(16)

Gambar15. Kromatogram senyawa hasil sintesis………55

Gambar16. Spektra massa EI senyawa produk pada waktu retensi 33,683

menit ………...56

Gambar17. Spektra massa EI senyawa produk pada waktu retensi 34,183

menit ……….56

Gambar18. Spektra massa EI senyawa produk pada waktu retensi 34,942

menit ……….56

Gambar19. Usulan mekanisme fragmentasi ion molekul 4-asetamidofenil

benzoat ………...…...58

Gambar20. Spektra massa EI senyawa produk pada waktu retensi 45,392

menit ……….59

Gambar21. Spektra massa EI senyawa produk pada waktu retensi 47,092

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data penimbangan starting material dan perhitungan rendemen

teoretis ……….65

Lampiran 2. Data penimbangan dan perhitungan rendemen ………...66

Lampiran 3. Spektra inframerah produk sintesis ……….67

Lampiran 4. Kondisi alat spektrometri massa ……….68

Lampiran 5. Kromatogram spektrometri massa produk sintesis ……….69

(18)

ABSTRAK

Senyawa 4-asetamidofenil benzoat merupakan senyawa derivat p-aminofenol yang diduga mempunyai aksi analgetika dan anti-inflamasi, yang bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase-2 (COX-2). Penghambatan pada COX-2 berarti terjadi penghambatan pada interaksi enzim tersebut dengan asam arakhidonat yang memicu pembentukan prostaglandin sebagai penghasil respon inflamasi. Sintesis senyawa 4-asetamidofenil benzoat melalui reaksi substitusi nukleofilik asil (SNA) antara parasetamol (N-asetil-p-aminofenol) dan benzoil klorida dalam piridina dilakukan berdasarkan pemodelan molekul derivat p-aminofenol pada penelitian sebelumnya, yang memperoleh hasil yang menjanjikan sebagai senyawa dengan aksi yang lebih poten sebagai analgetika dan anti-inflamasi. Identifikasi senyawa hasil sintesis dilakukan melalui analisis terhadap organoleptis dan kelarutan, dilengkapi dengan uji kromatografi lapis tipis (KLT), uji titik lebur, elusidasi struktur malalui spektrofotometri inframerah, kromatografi gas, dan spektrometri massa (GC-MS), serta perhitungan rendemen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi reaksi yang membentuk senyawa baru dengan rendemen rata-rata 26,152% b/b yang memiliki karakteristik golongan ester sesuai dengan senyawa tujuan.

(19)

ABSTRACT

4-acetamidophenyl benzoate is a p-aminophenol derivative which is believed to have actions as analgesic and anti-inflammation, that blocks cyclooxygenase-2 (COX-2) enzyme in its mechanism. Blocking in COX-2 causes the inhibition of enzyme interaction with arachidonic acid which originally produces prostaglandine, resulting in inflammation response. Synthesis of 4-acetamidophenyl benzoate through nucleophilic acyl substitution reaction between paracetamol (N-acetyl-p-aminophenol) and benzoyl chloride in pyridine was done based on the previous study in p-aminophenol derivatives molecular modelling, resulting a promising conclusion as a substance with more potent actions as analgesic and anti-inflammation. Identification of the product substance were done by organoleptic and solubility analysis, completed with thin layer chromatography (TLC), melting point test, structure elutidation by infrared spectrophotometry, gas chromatography and mass-spectrometry (GC-MS), and yield calculation. The study shows that a new substance was formed through the reaction process with average yield of 26,152% w/w which has the characteristics of ester group substances as the expected product.

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Inflamasi adalah suatu respon sel hidup terhadap luka yang terjadi akibat

interaksi antara asam arakhidonat dan enzim siklooksigenase 2 (COX-2) yang

memicu pembentukan prostaglandin (Vane, 1996). Untuk mencegah atau

menghambat terjadinya inflamasi, maka interaksi antara asam arakhidonat dan

COX-2 harus dihambat.

Analgesik merupakan suatu agen atau senyawa yang memiliki

kemampuan untuk mengurangi rasa sakit/ nyeri dengan cara meningkatkan

ambang rasa sakit, tanpa mengganggu kesadaran maupun mempengaruhi agen

sensori lainnya (Hanson, 2000). Salah satu analgesik yang populer dan paling

sering diresepkan adalah N-asetil-p-aminofenol atau asetaminofen (parasetamol),

yang telah digunakan hampir selama 100 tahun akan tetapi belum diketahui

dengan jelas dalam hal mekanisme aksinya.

Mekanisme aksi asetaminofen/parasetamol sebagai analgesik dan

anti-inflamasi seperti mekanisme obat-obat antianti-inflamasi nonsteroid (NSAIDs). Akan

tetapi, seringkali dinyatakan bahwa parasetamol bekerja secara khusus, terpusat,

dan terbaik sebagai inhibitor lemah sintesis prostaglandin (PG) oleh enzim

siklooksigenase (COX)-1 dan COX-2. Menurut Hinz et al. (2008), penggunaan

(21)

terhadap COX-2 manusia, sementara itu hanya ditemukan inhibisi tingkat moderat

terhadap COX-1.

Penghambatan COX-1 oleh parasetamol nampak pada lemahnya aktivitas

antiplatelet serta keamanan bagi gastrointestinal yang baik. Dalam penelitian yang

dilakukan Hinz et al. (2008), fungsi platelet terhambat dengan pemberian dosis

tinggi parasetamol secara parenteral; pola yang serupa terjadi pada pengaruhnya

terhadap gastrointestinal. Dosis parasetamol yang lebih tinggi menimbulkan

peningkatan kemungkinan terjadinya gangguan gastrointestinal, seperti dispepsia,

dibandingkan dengan dalam dosis rendah. Suatu studi epidemiologi menyatakan

bahwa parasetamol yang diberikan dengan dosis harian 2 hingga 2,6 gram mampu

meningkatkan risiko efek samping yang severe/berat pada gastrointestinal,

termasuk pendarahan atau perforasi. Meskipun parasetamol masih diakui sebagai

obat yang bebas dari toksisitas gastrointestinal, sebaiknya tetap dilakukan uji coba

terhadap pasien yang menerima pengobatan dengan parasetamol dalam jangka

panjang.

Senyawa 4-asetamidofenil benzoat adalah suatu senyawa turunan

p-aminofenol yang diduga mempunyai aksi analgetika dan anti-inflamasi.

Berdasarkan pada penelitian Pudjono et al., 2011, pemodelan molekul

4-asetamidofenil benzoat berpotensi sebagai analgesik anti-inflamasi dan

merupakan salah satu senyawa yang disarankan untuk disintesis. Perhitungan

statistik menggunakan persamaan QSAR, dengan deskriptor-deskriptor yang telah

(22)

disebut sebagai senyawa nomer 10 dalam jurnal tersebut, deskriptor-deskriptor

yang diperhitungkan adalah: muatan substituen R No. 3 (qR3)= 0,035078

Coulomb; momen dwi kutub (µ)= 4,243 Debye; koefisien partisi n-oktanol–air

(Log P)= 2,08; bobot molekul (BM)= 255,273 a.m.u; luas permukaan van der

Waals (Avdw)= 274,765 Å2.

Senyawa 4-asetamidofenil benzoat merupakan senyawa golongan ester,

yang ditandai dengan adanya karbonil yang mengikat gugus –OR. Reaksi yang

secara umum digunakan sebagai dasar sintesis senyawa ester dari benzoil klorida

adalah reaksi substitusi nukleofilik asil, yaitu dengan mereaksikan benzoil klorida

dengan alkohol dalam suasana basa. Jika nukleofil mengikat karbonil, maka klor

dan gugus alkoksi berfungsi sebagai gugus pergi (leaving group). Pengikatan klor

pada karbonil akan tergantikan oleh nukleofil, yang memicu terjadinya reaksi

substitusi; sehingga pelepasan gugus pergi klorida memudahkan pembentukan

ikatan π baru (Sastrohamidjojo, 2009).

1. Rumusan masalah

Apakah 4-asetamidofenil benzoat dapat disintesis dari

N-asetil-p-aminofenol dan benzoil klorida?

2. Keaslian penelitian

Penelitian mengenai sintesis senyawa berdasarkan reaksi substitusi

nukleofilik asil telah dilakukan oleh Ramdani (2011), dalam sintesis benzoil

eugenol dari eugenol dan benzoil klorida. Ratnawati (2007) telah menggunakan

reaksi esterifikasi dalam penelitian tentang sintesis turunan benzofenon. Sejauh

(23)

N-asetil-p-aminofenol dan benzoil klorida berdasarkan reaksi substitusi nukleofilik

asil belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoretis. Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya pengetahuan

khususnya di bidang sintesis organik senyawa 4-asetamidofenil benzoat dari

N-asetil-p-aminofenol dan benzoil klorida berdasarkan reaksi substitusi

nukleofilik asil.

b. Manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

dalam pengembangan metode sintesis senyawa 4-asetamidofenil benzoat

turunan p-aminofenol melalui reaksi substitusi nukleofilik asil.

c. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan senyawa

4-asetamidofenil benzoat yang berpotensi dalam penelitian aktivitas

farmakologis sebagai analgesik anti-inflamasi yang lebih poten daripada

senyawa turunan p-aminofenol yang telah tersedia di pasaran.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

Melakukan sintesis 4-asetamidofenil benzoat dari N-asetil-p-aminofenol

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Parasetamol

Parasetamol atau dikenal dengan N-asetil-p-aminofenol merupakan suatu

serbuk granular putih yang mudah mengalir serta tidak berbau dan berasa pahit.

Mempunyai bobot molekul 151,16 g/mol, serta titik lebur 169-172oC.

kelarutaannya adalah larut dalam 70 bagian air, 7 bagian etanol p (95%), 13

bagian aseton p, dalam 40 bagian gliserol p dan dalam 9 bagian propilenglikol p;

serta larut dalam larutan alkali hidroksida (Dirjen POM, 1979).

Gambar 1. Struktur Parasetamol

Parasetamol merupakan salah satu pilihan umum yang digunakan secara

luas dalam penanganan nyeri serta demam. Akan tetapi, ditemukan bahwa efek

analgesik parasetamol disebabkan karena adanya aktivasi secara tidak langsung

dari reseptor kanabinoid CB1. Pada otak dan spinal cord, parasetamol, diikuti

dengan deasetilasi menjadi amina primernya (p-aminofenol), terkonjugasi dengan

asam arakhidonat untuk membentuk N-arakhi-donoilfenolamin, suatu senyawa

yang telah diketahui sebagai kanabinoid endogen. Enzim yang terlibat di

dalamnya adalah amida asam lemak hidrolase. N-arakhi-donoilfenolamin

merupakan agonis pada reseptor reseptor vaniloid subtipe 1 (TRPV1) dan

inhibitor uptake/penyerapan anandamida seluler, yang mengakibatkan terjadinya

HO

H

N CH

3

(25)

peningkatan jumlah kanabinoid endogen; terlebih lagi, menghambat

siklooksigenase dalam otak, akan tetapi dalam konsentrasi yang tidak sebesar

dosis analgesik yang diperlukan dalam penggunaan parasetamol (Bertolini et al.,

2006).

Profil farmakologi parasetamol sangat mirip dengan inhibitor selektif

COX-2 (coxibs). Sebagai coxib, parasetamol diberikan secara per-oral dalam

dosis tunggal yang disarankan sehingga tidak menimbulkan efek toksik dalam

jalur gastrointestinal, tidak menghalangi fungsi platelet, dan memiliki

kemungkinan kecil menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi dalam asma

aspirin-sensitif (Hinz et al., 2008).

B. Benzoil Klorida

Merupakan suatu cairan transparan atau tidak berwarna yang mudah

terbakar, memiliki bau menusuk, serta uap yang juga iritatif terhadap mukosa.

Benzoil klorida memiliki bobot molekul sebesar 140,57 g/mol serta titik didih

197,2oC. Senyawa ini mengandung tidak kurang dari 97% C7H5ClO.

Kelarutannya praktis tidak larut dalam air, namun larut dalam kebanyakan pelarut

organik; selain itu larut secara perlahan dan hampir sempurna dalam larutan

NaOH p (Dirjen POM, 1979).

Gambar 2. Struktur benzoil klorida

(26)

Benzoil klorida termasuk ke dalam derivat asam karboksilat, berupa

suatu asam halida atau asil halida, yang merupakan derivat teraktivasi dalam

sintesis senyawa asil lainnya seperti ester, amida, serta asilbenzena. Adapun asil

klorida didapatkan melalui reaksi antara asam karboksilat dengan tionil klorida

(SOCl2) atau oksalil klorida [(COCl)2], karena menghasilkan by-products berupa

gas yang tidak mengkontaminasi produk sintesis (Wade, 2013).

Ion-ion halida merupakan gugus pergi yang sangat baik untuk reaksi

substitusi nukleofilik asil; karena itulah asil halida merupakan intermediet yang

berguna dalam membuat derivat asam. Asil klorida dibuat dengan mudah dan

banyak digunakan sebagai bentuk aktif suatu asam karboksilat. Oksigen karbonil

dan atom klorin sama-sama menarik densitas elektron dari atom karbon asil,

membuatnya menjadi elektrofil yang kuat (Wade, 2013).

Asam klorida bereaksi dengan alkohol untuk menghasilkan suatu ester

melalui substitusi nukleofilik asil dengan mekanisme adisi-eliminasi.

Penyerangan gugus karbonil yang elektrofilik oleh alkohol memberikan

intermediet tatrahedral, kemudian hilangnya klorida dan terjadinya deprotonasi

memberikan produk ester. Reaksi tersebut merupakan reaksi yang efisien untuk

menghasilkan ester dari asam karboksilat. Piridina atau basa lainnya seringkali

ditambahkan untuk menetralkan HCl yang terbentuk, karena apabila dibiarkan,

alkohol—terutama alkohol tersier—dapat terdehidrasi di bawa kondisi asam kuat

(27)

Gambar 3. Mekanisme reaksi antara asam klorida dengan alkohol(Wade, 2013)

Benzoil klorida yang termasuk asam klorida merupakan derivat asam

karboksilat yang paling reaktif dibandingkan dengan derivat-derivat yang lainnya

(asam klorida > anhidrida > ester > amida > karboksilat), berbanding terbalik

terhadap kebasaan gugus perginya (Cl < OCOR < OR < NH2 < O). Basa-basa

kuat bukanlah gugus pergi yang baik, dan reaktivitas derivatnya menurun seiring

dengan peningkatan kebasaan gugus perginya (Wade, 2013).

Reaktivitas derivat asam karboksilat juga dipengaruhi oleh stabilisasi

resonansinya. Resonansi yang terjadi pada asam klorida sangat kecil, sehingga

membuatnya lebih reaktif dibandingkan dengan anhidrida, ester dan amida.

Pasalnya pada anhidrida, stabilisasi terjadi antara dua gugus karbonil, sehingga

masing-masing gugus karbonil terstabilkan lebih rendah daripada karbonil pada

ester. Sementara itu suatu senyawa ester beresonansi dengan lemah namun terjadi

hanya pada satu gugus karbonil. Resonansi yang cukup kuat dibandingkan dengan

derivat-derivat yang disebutkan sebelumnya terjadi pada amida. Meskipun

demikian, pada derivat-derivat tersebut resonansi akan terhenti ketika terjadi

penyerangan atom C karbonil oleh nukleofil. Sehingga, asam klorida yang kurang

stabil di antara yang lainnya merupakan senyawa paling reaktif dan mudah

mengadakan reaksi dengan nukleofil (Wade, 2013).

(28)

menggunakan piridin sebagai katalis. Katalisis piridin melibatkan pembentukan

ion asilpiridinium, yang kemudian bereaksi dengan alkohol. Piridin merupakan

nukleofil yang lebih baik daripada alkohol netral, tetapi ion asilpiridinium

bereaksi lebih cepat dengan alkohol daripada dengan asil klorida. Efek katalisis

lebih kuat dihasilkan ketika 4-dimetilaminopiridin (DMAP) digunakan sebagai

katalis nukleofilik. Gugus dimetilamino berlaku sebagai substituen donor

elektron, meningkatkan nukleofilisitas dan kebasaan nitrogen piridin (Carey and

Richard, 2001).

C. Piridina

Piridina (C5H5N) merupakan suatu cairan jernih tidak berwarna, memiliki

bau tidak sedap yang khas, serta higroskopis. Kelarutannya dapat campur dengan

air, etanol (95%) p, serta dengan kloroform p. Memiliki jarak didih tidak kurang

dari 95% tersuling pada suhu 114o dan 117oC, bobot per mL sebesar 0,981 g

hingga 0,983 g (Dirjen POM, 1979).

Gambar 4. Struktur piridina

Senyawa piridina merupakan suatu senyawa nukleofilik pada atom

nitrogennya, dikarenakan pasangan elektron bebas pada atom tersebut tidak dapat

terdelokalisasi di sekitar cincinnya. Pasangan elektron bebas itu terdapat pada

orbital ortogonal sp2 terhadap orbital p dalam cincin senyawa yang

mengakibatkan tidak adanya interaksi antara orbital-orbital ortogonal. Orbital p

(29)

dalam sistem aromatis piridina sebenarnya serupa dengan benzena, akan tetapi

peningkatan elektronegativitas atom nitrogen berperan dalam menurunkan energi

seluruh orbital. Orbital-orbital berenergi rendah berarti nukleofil tersebut kurang

reaktif, namun LUMO (lowest unoccupied molecular orbital/orbital molekul

kosong berenergi rendah) dengan energi lebih rendah berarti elektrofil yang lebih

reaktif. Maka dari itu, senyawa piridina kurang reaktif daripada benzena dalam

reaksi substitusi elektrofilik aromatik, tetapi sebaliknya dalam reaksi substitusi

nukleofilik lebih mudah bagi piridina dibandingkan dengan benzena (Szolcsànyi,

2016).

D. Reaksi Substitusi Nukleofilik Asil

Substitusi nukleofilik asil disebut juga reaksi transfer asil dikarenakan

reaksi tersebut melepaskan gugus asil dari gugus perginya menuju nukleofil yang

menyerang. Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik asil bermula dari adisi

nukleofil pada atom C gugus karbonil (C=O) yang mendorong terbentuknya

intermediet tetrahedral. Kemudian terjadi stabilisasi pasangan elektron bebas pada

atom oksigen kembali membentuk ikatan ganda karbonil dan melepaskan gugus

pergi sehingga terbentuklah produk dan satu atom gugus pergi (Wade, 2013).

Adisi nukleofil pada ikatan C=O polar merupakan kunci dari reaksi gugus

karbonil. Saat suatu nukleofil ditambahkan ke dalam suatu derivat asam

karboksilat, akan mengalami pembentukan intermediet tetrahedral; karenanya

(30)

Asam klorida atau halida dapat bereaksi secara cepat pada suhu ruangan

dengan senyawa alkohol baik primer, sekunder, maupun tersier; dan juga dengan

fenol. Produk yang dihasilkan berupa ester, suatu derivat asam karboksilat, di

mana gugus hidroksi (–OH) pada asam karboksilat telah digantikan oleh –OR atau

–OAr (Johnson, 1999). Konversi asil halida menjadi ester disebut juga dengan

istilah alkoholisis yang berlangsung dengan adanya piridina tau NaOH untuk

bereaksi dengan asam klorida (HCl) yang terbentuk dari reaksi tersebut.

Perlu diperhatikan bahwa asam klorida selain bereaksi cepat dengan

alkohol juga merupakan reaksi yang eksotermis sehingga perlu dipastikan bahwa

reaksi berlangsung dalam suhu rendah untuk menghindari dehidrasi alkohol,

dikarenakan asam klorida merupakan agen dehidrasi yang kuat. Maka dari itu

piridin (atau basa lainnya) seringkali ditambahkan dalam reaksi untuk

menetralisasi hasil reaksi samping (by-product) berupa HCl (Wade, 2013).

Suatu kelebihan dari reaksi ini adalah pembentukan ester dari alkohol

enansiomer di mana gugus –OH berada pada bagian tengah molekul tidak

menimbulkan rasemisasi dikarenakan berdasarkan mekanisme reaksinya, ikatan

[image:30.595.86.514.223.649.2]

antara karbon dan oksigen tidak pernah terputus selama reaksi berlangsung:

(31)

E. Rekristalisasi

Presipitasi yang diatur sedemikian rupa dengan cara memanipulasi

kelarutan menjadi teknik yang sering dilakukan dalam pemurnian produk hasil

reaksi dalam sintesis kimia. Reaksi samping yang tidak diharapkan dapat

menghasilkan sejumlah pengotor dalam produk; pengotor yang lainnya

didapatkan dari starting material atau senyawa lain yang digunakan misalnya

sebagai katalis reaksi.

Rekristalisasi yang merupakan salah satu metode paling ampuh dalam

pemurnian senyawa, menerapkan teknik seperti yang telah disebutkan, yakni

bergantung pada perbedaan kelarutan antara senyawa tujuan dengan

pengotor-pengotor lainnya. Produk hasil sintesis tadi dilarutkan dan diendapkan/

dipresipitasi, bila diperlukan berulang kali, dengan memperhatikan faktor-faktor

yang mempengaruhi kelarutannya, serta dilakukan kontrol terhadap faktor-faktor

tersebut. Namun bagaimanapun juga, dalam melakukan manipulasi terhadap

kelarutan diperlukan pemahaman terhadap kesetimbangan yang terdapat antara

senyawa yang tidak larut dengan larutannya (Oxtoby et al., 2008).

F. Uji Kelarutan

Gaya inter-molekuler berperan dalam menentukan sifat kelarutan senyawa

organik, atau disebut dengan istilah like dissolves like. Senyawa-senyawa polar

akan larut dalam solven polar, sebaliknya senyawa-senyawa non-polar akan larut

(32)

1. Solut polar dalam solven polar,

Kelarutan NaCl dalam air contohnya, memerlukan energi yang besar untuk

memisahkan ion-ion berlawanan muatan dalam NaCl. Solven polar seperti

air mampu mensolvatasinya, maka dengan solven air peristiwa ini disebut

hidrasi. Larutnya garam terjadi karena molekul-molekul air menyelubungi

masing ion dengan ujung momen dipol yang sesuai bagi

masing-masing muatannya. Atom oksigen dalam molekul air akan menyelubungi

ion natrium yang bermuatan positif, sementara atom hidrogennya

menyelubungi ion klorida yang bermuatan negatif.

2. Solut polar dengan solven non-polar,

Solut NaCl dalam solven non-polar seperti terpentin atau gasoline tidak

menyebabkan larutnya NaCl. Molekul non-polar solven tidak

mensolvatasi ion-ion secara kuat, dan tidak mampu mengatasi energi

lattice dari kristal garam. Ini merupakan peristiwa di mana interaksi

ion-ion dalam solut lebih besar daripada interaksinya dengan solven.

3. Solut non-polar dengan solven non-polar,

Parafin larut dalam gasoline, keduanya merupakan campuran hidrokarbon

non-polar. Molekul-molekul parafin sebagai senyawa non-polar menarik

satu sama lain secara lemah, dan interaksi van der Waals tersebut sangat

mudah diputuskan dengan interaksi van der Waals solven.

4. Solut non-polar dengan solven polar,

Parafin tidak larut dalam solven air yang polar, dikarenakan

(33)

hanya memerlukan sedikit energi untuk memisahkannya.

Permasalahannya adalah molekul air berinteraksi dengan kuat satu sama

lain karena adanya interaksi hidrogen. Saat solut parafin dilarutkan dalam

air, molekul-molekul air di sekitarnya akan membentuk rongga.

Molekul-molekul air pada tepi rongga memiliki lebih sedikit atom untuk mengalami

interaksi hidrogen, sehingga menghasilkan struktur yang lebih mampat

dan kaku di sekitar rongga tersebut. Struktur seperti ini menghasilkan

penurunan entropi sistem: = ∆�, dan ∆� seringkali bernilai

kecil. Karenanya nilai negatif ∆� membuat positif (tidak diinginkan),

sehingga senyawa non-polar tidak dapat larut (Wade, 2013).

Suatu senyawa organik yang belum diketahui dapat ditentukan strukturnya

melalui pengujian kelarutan dalam air, larutan NaOH 5%, larutan NaHCO3 5%,

larutan HCl 5%, dan H2SO4 pekat. Keberadaan gugus fungsional menjadi hal

pertama yang diuji, misalnya senyawa hidrokarbon tidak larut dalam air, sehingga

bila sampel senyawa sebagian larut dalam air, menunjukkan bahwa terdapat gugus

fungsi bersifat polar dalam senyawa tersebut. Kedua, kelarutan dalam solven

tertentu seringkali memberikan informasi spesifik mengenai gugus fungsi,

misalnya asam benzoat yang tidak larut dalam solven polar (air), tetapi diubah

oleh larutan NaOH 5% ke dalam bentuk garam dan dapat larut dalam air;

sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya indikasi keberadaan gugus fungsi

bersifat asam. Dugaan tentang ukuran molekul dan komposisinya terkadang

(34)

larut air, sementara lebih dari itu berarti tidak larut air. Dalam hal kelarutannya

dalam air, suatu senyawa dikatakan larut dalam air apabila memenuhi 3,3 g/100

mL solven (AJM, 2010).

G. Uji Titik Lebur

Suhu di mana terjadi peleburan suatu zat padat menjadi zat cair disebut

dengan titik lebur. Karena perubahan wujud zat tersebut memerlukan pemutusan

gaya inter-molekuler yang mengikat zat padat, maka suhu peleburan menjadi

bergantung pada struktur molekul bersangkutan; hal ini merupakan hubungan

nyata antara struktur dengan sifat senyawa. Maka dari itu, senyawa satu memiliki

titik lebur yang berbeda dengan senyawa lainnya (Calgary, 2010).

Suatu senyawa organik kristalin, non-ionik, dan murni, biasanya

mempunyai titik lebur tertentu yang tajam (pada umumnya antara 0,5-1,0o C).

Adanya campuran senyawa pengotor dapat menyebabkan penurunan titik lebur

serta peningkatan rentang titik leburnya. Akibatnya, titik lebur suatu senyawa

menjadi kriteria kemurnian selain digunakan dalam identifikasi (Calgalry, 2010).

Observasi visual dilakukan dalam uji titik lebur karena dalam prosesnya

akan nampak perubahan fisik serbuk sampel dalam pipa kapiler, baik secara fisika

maupun kimiawi. Terdapat beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan dalam

pengujian ini:

1. Tanda-tanda perubahan sampel, meliputi: dehidrasi, perubahan fase

kristalisasi, permulaan dekomposisi atau perubahan warna (misalnya

(35)

kapiler, serta dimulainya peleburan kristal tanpa diikuti kemunculan fase cair

dalam fase kohesif (sintering point).

2. Onset point, atau permulaan peleburan, di mana fase cair mulai nampak

dengan jelas sebagai fase yang terpisah dari kristal; berbeda dengan sintering

point yang hanya merupakan beberapa titik pada permukaan kristal yang

mulai melebur.

3. Meniscus point, yakni nampaknya meniskus fase cair dalam proses peleburan;

terdapat fase padat pada dasarnya serta fase cair yang nampak jelas dengan

meniskusnya.

4. Clear/liquefaction point, tahap saat fase dalam pipa kapiler telah seluruhnya

berubah menjadi fase cair tanpa keberadaan fase padat sama sekali, atau

kristal terakhir yang melebur.

5. Tanda-tanda akhir peleburan yang meliputi: sublimasi (munculnya kristal

pada dasar pipa kapiler) serta dekomposisi (munculnya gelembung atau

perubahan warna selama dan setelah peleburan) (Stanford, 2010).

Titik lebur suatu padatan merupakan temperatur saat cairan dan padatan

berada pada titik ekuilibrium pada tekanan 1 atmosfer. Berlawanan dengan

terjadinya perubahan volume karena adanya penguapan cairan, perubahan volume

saat peleburan padatan sangatlah kecil. Hal ini membuat titik lebur padatan tidak

(36)

H. Identifikasi dan Uji Kemurnian dengan Kromatografi Lapis Lipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan berdasarkan

pembagian 2 senyawa dalam fase diam yang berupa bidang datar. Campuran yang

akan dipisah berupa larutan, ditotolkan dalam bentuk pita atau bercak. Setelah plat

ditaruh dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok

(fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (Stahl, 1985).

Plat atau fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap

berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 �m. Semakin kecil ukuran

rata-rata partikel dan semakin sempit kisaran ukurannya, maka kinerja KLT dalam

hal efisiensi serta resolusinya semakin meningkat. Penjerap yang paling sering

digunakan berupa silika dan serbuk selulosa; sementara mekanisme sorpsi yang

utama pada KLT adalah partisi dan adsorbsi. Terdapat fase diam berupa Silika

Gel 60 F254 yang berarti fase diam tersebut berupa silika gel (dari E. Merck) yang

mempunyai ukuran pori 60 A0 (10 A0 = 1 nm), dengan adanya penambahan bahan

yang berfluoresensi seperti seng silikat teraktivasi mangan yang akan mengalami

eksitasi dan berfosforesensi pada panjang gelombang 254 nm. Dengan demikian

berarti terdapat pula fase diam dengan beberapa ukuran pori lain, bahan penambah

lain, maupun panjang gelombang eksitasi dengan nilai berbeda; pemilihannya

tergantung pada kebutuhan analisis senyawa yang bersangkutan (Gandjar dan

Abdul, 2007).

Fase gerak yang bergerak di sepanjang plat fase diam untuk membawa

sampel yang telah ditotolkan dan terjerembab dalam fase diam tersebut merambat

(37)

akibat adanya gaya gravitasi dalam pengembangan menurun (descending).

Pemilihan fase gerak KLT dapat dilakukan melalui studi pustaka untuk

menentukan kombinasi yang umum digunakan untuk suatu senyawa tertentu.

Atau dapat juga dengan tabel yang menunjukkan misibilitas atau mampu tidaknya

lebih dari satu macam fase gerak untuk saling campur, dengan dilengkapi angka

polaritas dari literatur. Hal ini dapat dilakukan ketika telah diketahui nilai

polaritas fase gerak yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan tidak lain agar pemisahan

dapat terjadi secara optimal (Gandjar dan Abdul, 2007).

Penentuan nilai polaritas serta perbandingan campuran lebih dari satu fase

gerak dapat dilakukan melalui kalkulasi sebagai berikut:

�! = !�!′�!′ ,

dengan �! = indeks polaritas solven i

�!′ = fraksi volume solven i (Cazes, 2005).

Adapun pemilihan dan optimalisasi fase gerak menurut (Gandjar dan

Abdul, 2007) dapat dilakukan melalui petunjuk-petunjuk berikut ini:

1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian sangat tinggi karena KLT merupakan

teknik yang sensitif.

2. Daya elusi fase gerak harus diatur sehingga nilai Rf terletak antara 0,2-0,8

dengan tujuan memaksimalkan pemisahan.

3. Untuk pemisahan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas

fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga

(38)

dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzena akan

meningkatkan harga Rf secara signifikan.

4. Analisis solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik menggunakan

campuran pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol

dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia

masing-masing akan meningkatkan solut-solut bersifat basa dan asam.

Pengamatan bercak pemisahan dalam KLT seringkali dilakukan melalui

cara khusus secara kimia, fisika, maupun biologi, dikarenakan sebagian besar

bercak merupakan bercak tidak berwarna. Cara kimia dilakukan dengan cara

penyemprotan bercak menggunakan pereaksi kimia, sementara itu cara fisika

dilakukan dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet.

Pengamatan plat di bawah lampu ultraviolet dengan emisi panjang gelombang

254 atau 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak gelap atau bercak yang

berfluoresensi terang pada dasar yang berfluoresensi seragam (Gandjar dan

Abdul, 2007).

Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan

dengan angka Rf atau hRf. Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara

jarak senyawa dari titik awal dan jarak tepi muka pelarut dari awal (Stahl, 1985).

I. Spektrofotometri Inframerah/Infrared (IR)

Radiasi inframerah yang berkisar antara 10.000-100 cm-1 diabsorbsi untuk

kemudian dikonversikan oleh suatu senyawa organik menjadi energi vibrasi

(39)

muncul akibat dari energi vibrasi dari suatu senyawa organik selalu diiringi

dengan beberapa perubahan energi rotasi. Adapun besarnya frekuensi atau

panjang gelombang absorbsi bergantung pada massa relatif atom, gaya konstan

ikatan, serta struktur atom yang terlibat atau menyusun suatu senyawa

(Silverstein, 2005).

Vibrasi molekuler terdiri dari dua macam, yakni stretching dan bending.

Vibrasi stretching/ulur merupakan pergerakan ritmis dalam sepanjang ikatan aksis

yang menyebabkan perubahan jarak/panjang antar-atom. Vibrasi bending/tekuk

adalah perubahan pada besar sudut ikatan, antara ikatan-ikatan dengan atom yang

umum atau pergerakan dari sekumpulan atom terhadap sisa suatu molekul tanpa

gerakan atom dalam grup antara satu sama lain; misalnya twisting, rocking, serta

vibrasi torsional. Meskipun demikian, hanya vibrasi yang menghasilkan

perubahan pada momen dipol molekul saja yang dapat terbaca dalam inframerah

(Silverstein, 2005).

Sebuah molekul organik memiliki lebih dari satu derajat kebebasan

sebagai hasil dari derajat kebebasan masing-masing atom yang menyusunnya.

Setiap atom memiliki tiga derajat kebebasan berdasarkan pada koordinat

Cartesian (x, y, z), yakni menentukan posisinya secara relatif terhadap atom-atom

lain dalam molekul tersebut. Sebuah molekul suatu atom berjumlah n memiliki 3n

derajat kebebasan, namun aturan tersebut berlaku berbeda pada molekul

(40)

a. Molekul non-linear,

tiga buah derajat kebebasan menunjukkan rotasi dan tiga yang lainnya

menunjukkan translasi, sehingga 3n-6 derajat kebebasan merupakan

derajat kebebasan vibrasi/vibrasi fundamental.

b. Molekul linear,

Memiliki 3n-5 derajat kebebasan vibrasi, dengan hanya dua derajat

kebebasan yang diperlukan untuk menyatakan terjadinya rotasi

(Silverstein, 2005).

Vibrasi fundamental tidak melibatkan perubahan pada pusat gravitasi

molekul. Untuk membedakan keduanya, dapat dibandingkan antara vibrasi

fundamental dari molekul air serta molekul karbon dioksida. Molekul air memiliki

tiga vibrasi dasar, yaitu vibrasi ulur simetris (vs OH, 3652 cm-1), vibrasi ulur

asimetris (vas OH, 3756 cm-1), dan scissoring (�! OH, 1596 cm -1

). Molekul CO2

adalah molekul linear dan terdiri dari tiga buah atom, sehingga membuat molekul

ini memiliki empat vibrasi dasar. Vibrasi ulur simetris bersifat inaktif pada IR

dikarenakan tidak menghasilkan perubahan apapun terhadap momen dipol

molekulnya. Kedua macam vibrasi tekuk pada molekul CO2 adalah setara, serta

merupakan komponen-komponen yang dipisahkan antara gerakan tekuk yang

berpusat pada sudut manapun terhadap aksis antar-inti; memiliki frekuensi yang

sama, atau ganda. Sementara itu untuk gugus-gugus AX2 yang menjadi suatu

bagian dari molekul seperti gugus CH2 suatu molekul hidrokarbon tidak dapat

diberlakukan aturan 3n-6. Hal tersebut dikarenakan gugus CH2 hanya sebagai satu

(41)

J. Kromatografi Gas

Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan solut-solut volatil yang

stabil terhadap suhu tinggi, bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase

diam dengan kecepatan yang bergantung pada rasio distribusinya. Solut akan

terelusi berdasarkan peningkatan titik didihnya dikurangi dengan semua interaksi

yang mungkin terjadi antara solut dengan fase diamnya. Fase gerak berupa gas

akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor.

Peningkatan suhu yang dilakukan dilakukan untuk dapat menguapkan solut

sehingga mampu cepat terelusi (Gandjar dan Abdul, 2009).

Jenis-jenis kromatografi gas:

1. Kromatografi gas cair

Digunakan fase diam berupa cairan yang dijerap dalam suatu pendukung

sehingga solut dapat terlarut; mekanisme sorpsinya berupa partisi.

2. Kromatografi gas padat

Digunakan fase diam berupa padatan (misalnya polimerik); mekanisme

sorpsinya berupa adsorpsi (Gandjar dan Abdul, 2009).

Sistem peralatan kromatografi gas:

1. Fase gerak

Suatu zat cair (liquid chromatography, LC) ataupun gas (gas chromatography,

GC) yang mengalami perkolasi melalui fase diam menuju ke arah tertentu.

Dalam kromatografi gas, yang disebut dengan karier gas digunakan untuk fase

(42)

2. Ruang suntik sampel

Tempat di mana sampel mengalami volatilisasi sehingga menyebabkan gas

masuk ke aliran zat pembawa dalam kolom kromatografi gas. Beberapa tipe

inlet yang ada misalnya split/splitless, Programmed Thermal Vaporizing

(PTV), serta cool-on-column (COC).

3. Kolom

Dalam kromatografi gas, retensi molekul-molekul analit timbul karena

terjadinya interaksi yang lebih kuat dengan fase diam daripada fase geraknya;

karenanya interaksi analit dengan fase diam menjadi hal yang penting.

Interaksi yang terjadi dapat berupa interaksi dispersi, dipol, maupun interaksi

[image:42.595.86.509.205.644.2]

hidrogen (Crawford Scientific, 2016).

Gambar 6. Interaksi dipol-dipol dan dipol-terinduksi dipol (Crawford Scientific, 2016)

4. Detektor dan macamnya (TCD, FID, ECD, NPD, fotometri nyala,

(43)

a. Thermal Conductivity Detector (TCD)

Konduktivitas termal mengukur kemampuan senyawa untuk

memindahkan panas dari daerah panas menuju dingin. Dalam TCD, gas

mengalir dari aliran kolom kromatografi melalui filamen tungsten-rhenium

panas. Saat solut mengalir dari kolom, konduktivitas termal aliran gas

menurun, filamennya memanas, resistensi elektriknya meningkat, dan

tegangannya turun karena adanya perubahan filamen. Detektor merespon

perubahan yang terjadi dalam konduktivitas termal, sehingga

konduktivitas solut dan gas pembawa menjadi sangat berbeda. Adapun

sensitivitas TCD berbanding tebalik (inversely proportional) terhadap

kecepatan alirnya: lebih sensitif dalam kecepatan aliran lebih rendah.

b. Flame Ionization Detector (FID)

Dalam FID, eluat dibakar dalam campuran H2 dan udara. Atom karbon

(kecuali karbon karbonil dan karboksil) memproduksi radikal CH, yang

selanjutnya menghasilkan ion CHO+ dalam flame.

CH + O  CHO+ + e-. Hanya sekitar 1 dalam 105 atom karbon diproduksi

suatu ion, namun produksi ion sebanding terhadap jumlah atom karbon

yang masuk ke dalam flame. FID relatif tidak sensitif terhadap O2, CO2,

H2O, dan NH3. Batas deteksi FID 100 kali lebih kecil daripada TCD dan

berkurang 50% saat tidak digunakan gas pembawa He, melainkan N2.

Untuk open tubular columns, gas N2 ditambahkan dalam eluat H2 atau He

(44)

c. Detektor lainnya, antara lain: capture detector, flame photometric

detector, alkali flame detector, sulfur chemiluminescence detector, atomic

emission detector (Harris, 1982).

5. Komputer

Sinyal yang dihasilkan dari detektor terdigitalisasi dan disimpan ke dalam

penyimpanan yang memudahkan akses data, sehingga waktu retensi, area

puncak, dan data lain yang dibutuhkan dapat dengan mudah didapatkan

kembali.

6. Derivatisasi (esterifikasi, asilasi, alkilasi, sililasi, kondensasi, siklisasi)

Derivatisasi dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

a. Sifat fisik solut yang tidak mendukung dalam hal volatilitas serta

stabilitasnya

b. Meningkatkan batas deteksi dan bentuk kromatogram; dalam analisis

belum tentu kromatogram yang dihasilkan sesuai dengan kriteria atau

terkadang ditemui adanya tumpang tindih, atau tidak terdeteksinya sampel

tujuan

c. Meningkatkan volatilitas seperti senyawa-senyawa gula yang tidak mudah

menguap; biasanya senyawa dengan bobot molekul yang rendah,

disebabkan keberadaan gaya tarik inter-molekuler antara gugus-gugus

polar yang dapat ditutup melalui derivatisasi sehingga meningkatkan

volatilitas senyawa secara dramatis

d. Meningkatkan deteksi, misalnya untuk kolesterol dan senyawa-senyawa

(45)

e. Meningkatkan stabilitas; biasanya dialami oleh senyawa volatil yang

mengalami dekomposisi parsial karena panas sehingga diperlukan

derivatisasi

f. Meningkatkan batas deteksi pada penggunaan electron capture detector

(ECD) (Rohman, 2009).

Penentu dasar retensi solut umumnya adalah volatilitasnya, namun

tergantung pula pada fase diam yang digunakan. Fase diam yang sangat polar

menahan solut-solut polar dengan kuat. Interaksi hidrogen pada fase diam

mungkin merupakan gaya terkuat yang berperan dalam retensi; maka dari itu tiga

alkohol adalah yang terakhir terelusi, dikuti dengan empat keton, dan empat

alkena berdasarkan contoh kromatogram pada gambar 7. Interaksi dipol pada

[image:45.595.88.512.172.648.2]

keton merupakan gaya terkuat kedua (Harris, 1982).

(46)

K. Spektrometri Massa

Spektrometri massa merupakan metode spektral yang berdasar bukan dari

absorbsi energi oleh molekul senyawa organik, namun berdasarkan fragmentasi

senyawa organik yang terjadi karena adanya tumbukan antara sebuah molekul

organik dengan elektron berenergi tinggi. Tumbukan yang terjadi mengakibatkan

sebuah elektron terlepas dari molekul sehingga terbentuk ion organik.

Fragmen-fragmen yang lebih kecil dari suatu molekul organik terbentuk akibat instabilitas

ion organik yang dihasilkan dari pembombardiran elektron, yang kemudian

ditemukan dalam bentuk radikal bebas maupun ion-ion lain. Spektrum massa

merupakan alur kelimpahan (abundance) versus nisbah massa/muatan (m/e atau

m/z) dari fragmen-fragmen itu. Muatan ion dari kebanyakan partikel yang

dideteksi dalam suatu spektrometer massa adalah + 1; nilai m/e untuk suatu ion

semacam itu sama dengan massanya. Oleh karena itu, spektrum massa merupakan

suatu rekaman dari massa partikel versus kelimpahan relatif partikel tersebut

(Fessenden dan Joan, 1986).

Pada umumnya, analisis menggunakan spektrometer massa dipadukan

dengan instrumen kromatografi seperti kromatografi gas (GC-MS) maupun

kromatografi cair (LC-MS). Spektrometer massa berguna dalam analisis senyawa

organik yang belum diketahui bentuk molekulnya berdasarkan analisis terhadap

spektra massa yang nampak, sehingga dapat dikatakan merupakan suatu metode

yang bersifat luas. Dalam analisis suatu senyawa organik yang telah diketahui

atau ada sebelumnya, perangkat komputer menelusuri basis data untuk

(47)

telah tersimpan dalam sistem sehingga dapat menjawab senyawa tersebut dengan

detil. Sementara itu, dalam suatu analisis senyawa yang belum diketahui, ion

molekuler, pola fragmentasi, serta pembuktian dari analisis spektrometri lainnya

(seperti IR dan NMR) dapat membantu ditemukannya senyawa baru (Silverstein,

2005).

Pola fragmentasi suatu molekul bergantung pada kerangka karbon dan

gugus fungsional yang terikat pada molekul tersebut. Karenanya, struktur dan

massa fragmen memberikan petunjuk mengenai struktur molekul induknya; serta

seringkali untuk menentukan bobot molekul suatu senyawa dari spektrum

massanya (Fessenden dan Joan, 1986).

Suatu aturan dalam fragmentasi yang disebut dengan “aturan nitrogen”

digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan pola fragmentasi. Suatu

molekul dengan massa molekuler genap harus tidak mengandung nitrogen atau

mengandung atom nitrogen dalam jumlah genap; sementara molekul dengan

massa molekuler ganjil harus mengandung atom nitrogen dalam jumlah ganjil

pula. Aturan ini berlaku untuk semua senyawa yang mengandung karbon,

hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan halogen, juga atom-atom yang tidak lazim

seperti fosfor, boron, silikon, arsen dan alkali tanah. Menurut pembuktian,

dinyatakan bahwa fragmentasi ikatan tunggal sebuah ion molekuler berjumlah

genap memberikan fragmen ion ganjil; sebaliknya ion molekuler berjumlah ganjil

memberikan fragmen ion dalam jumlah genap. Pernyataan tersebut berlaku

(48)

Intensitas puncak ion molekuler bergantung pada stabilitas ion

molekulernya. Ion molekuler yang paling stabil berasal dari sistem aromatis

murni. Apabila substituen yang memiliki jalur pemutusan yang lebih mungkin

terjadi, puncak ion molekuler akan tidak terlalu intens, sehingga puncak

fragmennya menjadi lebih intens secara relatif. Pada umumnya, gugus-gugus

senyawa berikut ini diurutkan berdasarkan penurunan kemampuannya,

menghasilkan puncak molekuler yang utama: senyawa aromatis > alkena

terkonjugasi > senyawa siklik > sulfida organik > alkana rantai pendek >

merkaptan. Ion-ion molekuler yang terdeteksi berdasarkan penurunan

kemampuan: keton > amina > ester > eter > asam karboksilat ~ aldehida ~ amida

~ halida. Ion molekuler seringkali tidak dapat dideteksi pada alkohol alifatik,

nitrit, nitrat, senyawa nitro, nitril, dan senyawa-senyawa dengan jumlah

percabangan yang banyak (Silverstein, 2005).

Dalam menentukan puncak pola fragmentasi pada spektra EI, terdapat

beberapa peraturan yang didasarkan pada konsep kimia organik fisik. Akan tetapi

perlu dipahami terlebih dulu bahwa aturan fragmentasi ini berlaku bagi

spektrometri massa EI. Hal ini dikarenakan teknik-teknik ionisasi (CI, dan

lainnya) lainnya seringkali menghasilkan ion molekuler dengan energi lebih

rendah atau ion kuasimolekuler dengan pola fragmentasi yang sangat berbeda,

sehingga berlaku aturan yang berbeda. Berikut ini merupakan peraturan bagi

(49)

1. Tinggi relatif suatu puncak ion molekuler tertinggi pada senyawa dengan

rantai lurus dan berkurang seiring dengan peningkatan jumlah percabangan

(lihat aturan 3).

2. Tinggi relatif puncak ion molekuler biasanya berkurang dengan adanya

peningkatan massa molekuler dalam deret homolog. Lemak ester menjadi

suatu pengecualian.

3. Pemaksapisahan (cleavage) terjadi lebih pada atom karbon tersubstitusi alkil:

semakin tersubstitusi, semakin besar kemungkinan terjadinya

pemaksapisahan. Hal ini terjadi akibat peningkatan stabilitas karbokation

tersier apabila dibandingkan dengan sekunder, yang lebih stabil daripada

karbokation primer, yakni dengan urutan stabilitas sebagai berikut:

CH3+ < R2CH2+ < R3CH+ < R3C+

Pada umumnya, substituen terbesar pada suatu cabang menjadi subtituen yang

paling mudah dieliminasi dalam bentuk radikal, diduga karena radikal rantai

panjang dapat mencapai stabilitas melalui delokalisasi elektron bebas.

4. Ikatan rangkap, struktur siklik, terlebih cincin aromatis (atau heteroatomik)

menstabilkan ion molekuler sehingga meningkatkan kemungkinan

kemunculannya.

5. Dalam ikatan rangkap, pemaksapisahan alilik lebih mungkin terjadi dan

memberikan karbokation alilik terstabilisasi resonansi. Aturan ini tidak

berlaku untuk alkena sederhana karena adanya migrasi ikatan rangkap, namun

(50)

6. Cincin jenuh lebih mudah untuk kehilangan rantai samping berupa alkil pada

ikatan �. Hal ini hanya pada kasus khusus dari percabangan (aturan 3).

Muatan positif cenderung berada pada fragmen cincinnya.

7. Dalam senyawa aromatis tersubstitusi alkil, pemaksapisahan sangat mungkin

terjadi pada ikatan � dalam cincin, sehingga membentuk ion benzyl yang

terstabilisasi resonansi, atau seringkali ion tropilium.

8. Ikatan C—C yang terletak di sebelah heteroatom seringkali mengalami

pemaksapisahan yang menghasilkan muatan pada fragmen yang mengandung

heteroatom di mana elektron yang tidak berpasangan menyediakan stabilisasi

resonansi.

9. Pemaksapisahan sering dihubungkan dengan eliminasi molekul-molekul yang

kecil, stabil, netral, seperti karbon monoksida, olefin, air, amonia, hidrogen

sulfida, hydrogen sianida, merkaptan, ketena, atau alkohol, yang seringkali

muncul dengan mengalami penataan ulang (rearrangement) (Silverstein,

2005).

L. Landasan Teori

Pembentukan senyawa melalui reaksi substitusi nukleofilik asil terjadi

antara senyawa alkohol dengan derivat asam karboksilat, yang umumnya

menghasilkan sintesis suatu senyawa golongan ester. Reaksi substitusi nukleofilik

asil diawali dengan terjadinya adisi nukleofil pada atom C gugus karbonil (C=O)

yang memicu terjadi pembentukan intermediet tetrahedral yang mengikat dua

(51)

stabilisasi pasangan elektron bebas pada atom oksigen yang menyebabkan

terbentuknya ikatan ganda karbonil kembali dan berakibat pada pelepasan gugus

pergi yakni ion klorida (Cl-), sehingga terbentuk produk dan sebuah atom gugus

pergi.

Benzoil klorida termasuk ke dalam derivat asam karboksilat yang

teraktivasi dalam sintesis senyawa asil, senyawa tersebut merupakan agen asilasi

yang sangat reaktif dalam reaksi. Reaktivitas benzoil klorida berbanding terbalik

terhadap kebasaannya, maka gugus pergi Cl yang merupakan basa lemah menjadi

gugus pergi yang lebih baik daripada gugus pergi lain yang lebih tinggi

kebasaannya. Oksigen karbonil dan atom klorin sama-sama menarik densitas

elektron dari atom karbon asil, sehingga menjadikannya elektrofil yang kuat.

Sementara itu parasetamol yang berperan sebagai senyawa alkohol mampu

bertindak sebagai nukleofil karena terdapat gugus hidroksi (-OH) yang

mempunyai pasangan elektron bebas. Nukleofil tersebut akan menyerang gugus

karbonil benzoil klorida menghasilkan senyawa 4-asetamidofenil benzoat dengan

gugus pergi atom klorin (Cl-). Reaksi antara benzoil klorida dengan alkohol

merupakan reaksi eksotermis sehingga perlu diperhatikan suhu reaksi untuk

menghindari hidrolisis maupun penurunan stabilitas reaksi. Di samping itu,

piridina (atau basa non-nukleofilik lainnya) ditambahkan ke dalam reaksi untuk

menetralisasi dan mencegah pembentukan by-product terutama asam klorida

(52)
[image:52.595.87.510.110.633.2]

Gambar 8. Reaksi umum sintesis 4-asetamidofenil benzoat

M. Hipotesis

Senyawa 4-asetamidofenil benzoat yang merupakan senyawa ester dapat

disintesis dari parasetamol dan benzoil klorida melalui reaksi substitusi

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non-eksperimental deskriptif

karena berupa pemaparan terhadap fenomena yang terjadi tanpa adanya perlakuan

terhadap subjek uji maupun melibatkan hubungan sebab-akibat.

B. Definisi Operasional Penelitian

1. Starting material (SM) merupakan senyawa yang digunakan dalam sintesis

yang merupakan senyawa asal, dalam penelitian ini adalah parasetamol dan

benzoil klorida.

2. Molekul target (MT) merupakan senyawa tujuan yang diharapkan terbentuk

dalam penelitian, yakni 4-asetamidofenil benzoat.

3. Katalis merupakan senyawa yang digunakan dalam reaksi untuk

meningkatkan laju reaksi kimia, yaitu piridin.

4. Rendemen merupakan jumlah molekul target yang terjadi dan dapat

diperhitungkan dari jumlah starting material yang digunakan. Rendemen

senyawa hasil sintesis yang diharapkan dalam penelitian ini adalah rendemen

(54)

C. Bahan Penelitian

Parasetamol (teknis, Brataco Chemika), benzoil klorida (p.a, Merck),

piridina (p.a, Merck), etanol 96% (teknis, General Labora), etanol absolut (p.a,

Merck), NaOH (Laboratorium Sanata Dharma), kloroform (p.a, Merck), etil asetat

(teknis, Brataco Chemika; p.a, Merck), n-heksana (p.a, Merck), aseton (p.a,

Merck), silika gel GF254 (Merck), akuades (General Labora), kertas saring, kertas

timbang, dan es batu (Laboratorium Sanata Dharma).

D. Alat Penelitian

Gelas beker, labu erlenmeyer, pipet tetes, gelas ukur, kaca pengaduk,

magnetic stirrer, mantle heater, labu hisap, corong Buchner, sendok spatel,

pompa vakum, pH indikator (E. Merck), cawan petri, waterbath (Memmert

W350), neraca analitik (Ohaus PA413), tabung reaksi, Melting Point System

(Mettler Toledo MP70), chamber KLT, micropipette, oven (Memmert Oven

Model 400), lampu UV, spektrometer inframerah (IR Shimadzu Prestige-21),

spektrometer massa EI (Shimadzu QP2010S), spektrometer massa FD

(JMS-T100GCV), spektrometer 1H-NMR, aluminium foil, dan baskom.

E. Tata Cara Penelitian

1. Sintesis 4-asetamidofenil benzoat

Parasetamol sebanyak 5 gram (0,033 mol) dimasukkan dalam

erlenmeyer 500 mL, kemudian ditambahkan piridin 12 mL dan diaduk selama

(55)

dalam larutan tersebut ditambahkan benzoil klorida sejumlah 7,7 mL (0,066

mol) sedikit demi sedikit sambil terus diaduk, hingga merata dan terjadi

perubahan konsistensi (60 menit).

Akuades dingin sebanyak ± 200 mL ditambahkan ke dalam campuran

untuk disaring dengan corong Buchner dan dicuci dengan akuades yang sama.

Padatan/filtrat yang didapatkan kemudian direkristalisasi dengan

melarutkannya dalam etanol 96% panas, disaring dengan corong Buchner,

sehingga filtrat dapat didinginkan sampai terbentuk kristal produk secara

optimal (± 60 menit). Setelah rekristalisasi selesai, kristal dikeringkan dalam

oven dengan temperatur 80o C selama ± 2 jam. Hasil pengeringan kemudian

direkristalisasi lagi dengan cara yang sama menggunakan ± 250 mL etanol

96% panas, dikeringkan dalam oven dengan temperatur 80º C selama 24 jam,

ditimbang, dan dihitung rendemennya dengan rumus:

%Rendemen=

berat senyawa hasil percobaan

berat senyawa secara teoretis x100%

2. Pemeriksaan pendahuluan senyawa hasil sintesis

a. Uji organoleptis. Dilakukan dengan pengamatan terhadap warna, bentuk,

bau, dan rasa senyawa hasil sintesis. Kemudian hasil pengamatan

dibandingkan dengan starting material yang digunakan dalam penelitian,

yaitu parasetamol dan benzoil klorida.

b. Pemeriksaan kelarutan senyawa hasil sintesis. Akuades sebanyak 2 mL

dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kristal hasil sintesis dalam wadah

(56)

reaksi, diamati kelarutannya hingga tepat jenuh, lalu dicatat kembali bobot

sisanya. Prosedur yang serupa dilakukan dengan larutan NaOH 10%,

etanol 96%, kloroform, dan etil asetat; kemudian dibandingkan dengan

kelarutan parasetamol dalam pelarut-pelarut yang sama.

c. Pemeriksaan senyawa hasil sintesis dengan kromatografi lapis tipis (KLT).

Senyawa hasil sintesis yang dilarutkan dalam pelarut yang sesuai

(kloroform), ditotolkan sebanyak ± 1 µL pada lempeng KLT silika gel

GF254 menggunakan micropipette 0,5-10 µL. Sebagai pembanding,

digunakan starting material dan dilakukan dengan cara serupa.

Pengembangan dilakukan dengan jarak rambat fase gerak 8 cm dalam

bejana yang berisi fase gerak aseton:etil asetat (2:3) dengan p’ = 4,680;

dan fase diam berupa silika gel 60 GF254. Pengamatan terhadap bercak

yang terbentuk dilakukan pada lampu UV 254 nm, kemudian dihitung Rf

masing-masing bercak hasil elusi.

d. Pengujian titik lebur. Kristal senyawa hasil sintesis diisikan ke dalam

electrothermal capillary tubes, kemudian dimasukkan ke dalam alat

pengukur titik lebur (Melting Point System). Amati peleburan kristalnya

dan catat suhu waktu pertama kali melebur hingga semua kristal melebur

dengan kenaikan suhu 1o C per-menit.

3. Elusidasi struktur senyawa hasil sintesis

a. Spektrofotometri inframerah (IR). Kurang lebih 1 mg kristal hasil sintesis

(57)

dan dibuat menyerupai pelet. Selanjutnya dibuat spektra inframerah

dengan spektrofotometer inframerah.

b. Spektrometri massa (MS). Kristal hasil sintesis dilarutkan dalam

pelarutnya, yakni kloroform (CHCl3), kemudian dilakukan pemeriksaan

dengan alat kromatografi gas-spektroskopi massa (GC-MS) dalam kondisi:

alat pengionan Electron Impact (EI) 70 eV, suhu injektor 310o C, jenis

kolom AGILENT

Gambar

Tabel II. Perbandingan tingkat kelarutan produk sintesis dengan
Gambar 1. Struktur parasetamol ……………………………………….....…..5
Gambar 2. Struktur benzoil klorida
Gambar 3. Mekanisme reaksi antara asam klorida dengan alkohol (Wade, 2013)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sintesis 4-hidroksifenilbenzamida ini dilakukan dengan menggunakan metode Schotten-Baumann yang dimodifikasi, dengan mereaksikan senyawa p - aminofenol dan benzoil klorida

Untuk meningkatkan aktivitas analgesik asam salisilat, dilakukan sintesis struktur kimia dari 5-kloro asam salisilat dengan 4 - trifluorometil benzoil klorida melalui reaksi

ini yang berjudul “ SINTESIS SENYAWA O-BENZOIL-5-METIL ASAM SALISILAT DAN UJI AKTIVITAS ANALGESIK PADA MENCIT ( Musmusculus ) ” sebagai persyaratan dalam memperoleh

Proses sintesis dilakukan dengan derivatisasi 2-(4-isobutilfenil) propanoat dengan benzoil klorida membentuk benzoil 2-(4-isobutilfenil) propanoat anhidrida yang

Pada penelitian ini telah dilakukan sintesis senyawa O -(asetil)parasetamol serta uji aktivitas analgesiknya terhadap mencit ( Mus musculus ) dengan menggunakan

Makalah ini akan membahas tentang sintesis senyawa bibenzil, diawali dengan bahan awal vanilin, dikenai reaksi Wittig, sehingga terbentuk senyawa alkena (turunan

Berdasarkan penenlitian ini dapat disimpulkan bahwa Senyawa 3-BM dapat disintesis melalui reaksi benzoilasi antara asam 3-amino-4-metil benzoat dengan benzoil klorida,

Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi struktur senyawa turunan tiourea, yaitu 1-feniltiourea dengan menambahkan gugus benzoil klorida pada gugus amin dari