x
BAB II TINJAUAN TEORITIS SISTEM PEMBIAYAAN PENDIDIKAN A. Teori Pembiayaan dalam Pendidikan ... 33
1. Konsep Administrasi Pendidikan dalam Prespektif Pembiayaan Pendidikan ... 33
a. Faktor Faktor yang Terkait dengan Pendidikan ... 37
b. Sistem Pembiayaan dilihat dari Strategi Formulasi Perencanaan 38
c. Sistem Pembiayaan dilihat dari Implementasi Strategi ... 44
d. Sistem Pembiayaan Pendidikan dilihat dari Strategi Pengawasan 49
xi
c. Model Perencanaan Pokok Jaminan Pajak (Guaranted Tax Base Plan Models) ... ... 92
d. Model Persamaan (Equalization Models) ... ... 94
e. Model Persamaan Persentase ( Percentage Equalizing) ... ... 95
f. Model Perencanaan Persamaan Kemampuan (Power Equalizing Plan) ... ... 96
g. Model Pendanaan Negara Sepenuhnya (Full State Funding Models)... ... 97
h. Model Sumber Pembiayaan (The Resource-Cost Models) ... 99
xii
2. Pengelolaan dan Mekanisme Pembiayaan Pendidikan Pemerintahan Kabupaten Garut ... ... 128
b. Proses Usulan Anggaran Pendidikan Berdasarkan Tingkat Pemerintahan ... ... 140
c. Proses Penetapan Anggaran Pembiayaan Pendidikan Pemerintah Kabupaten ... ... 144
5. Dukungan Sarana dan Fasilitas Pendidikan ... ... 149
B. Pengalokasian dan Pendistribusian Pembiayaan Pendidikan Pada Pemerintah Kabupaten Garut ... ... 155
2. Mekanisme Pendistribusian Dana Pendidikan pada Pemerintah Kabupaten ... ... 162
a. Belanja Rutin ... ... 162
b. Belanja Pembangunan ... ... 163
c. Pendistribusian Dana APBD Provinsi dan APBN ... ... 164
3. Analisis Efektifitas Alokasi Dana Terhadap Mutu Pelayanan Belajar Siswa ... ... 166
4. Analisis Efektifitas Alokasi Dana Terhadap Manajemen Sekolah 167
xiii
2. Pertanggungjawaban Penggunaan Pembiayaan Pendidikan ... 181
D. Pelaksanaan Pengawasan dalam Penggunaan Pembiayaan Pendidikan pada Pemerintahan Kabupaten ... ... 183
E. Potensi yang dapat Mengimplementasikan Sistem Pembiayaan Pendidikan yang Efisien dan efektif di Kabupaten Garut ... ... 186 A. Proses Penyusunan Anggaran Pendidikan pada Pemerintah Kabupaten ... ... 197
B. Pengalokasian dan Pendistribusian Pembiayaan Pendidikan pada Pemerintah Kabupaten ... ... 213
C. Realisasi Penggunaan Dana dan Pertanggung Jawaban dalam Penyelenggaraan Pendidikan pada Pemerintah Kabupaten ... ... 228
D. Pelaksanaan Pengawasan dalam Penggunaan Pembiayaan Pendidikan Pada Pemerintah Kabupaten ... 238
E. Implementasi Pembiayaan Pendidikan yang Efektif dan Efisien ... 242
xiv
Daftar Gambar
Halaman
1.1 Paradigma Penelitian Strategi Anggaran Pendidikan pada Pemerintahan
Kabupaten ... 32
2.1. Unsur Unsur yang Terkait dalam Manajemen Pendidikan ... 36
2.2. Perumusan Strategi ... 71
2.3. Balance Scorecard ... 72
2.4. Perumusan Strategi ... 75
2.5. Proses Penterjemahan Visi dan Misi Menjadi Kegiatan Operasional ... 76
2.6. Gambaran Aplikasi Strategi Manajemen didalam Pendidikan ... 77
4.1 Struktur Organisasi Tata Kerja Dinas Pendidikan Kabupaten Garut ... 131
4.2 Sistem Penganggaran Pendidikan pada Kabupaten ... 134
4.3 Proses Usulan Anggaran Pendidikan Bersifat Sektoral ... 141
4.4 Proses Usulan Sektor Pendidikan ... 142
4.5 Mekanisme Pendistribusian Dana Pendidikan Pemerintah Kabupaten ... 165
5.1 Mekanisme Pencairan Dana ... 214
5.2 Pola Perencanaan Anggaran Pendidikan Kabupaten ... 229
5.3 Model Penyusunan Anggaran Sekolah ... 230
5.4 Akuntabilitas Penggunaan Anggaran ... 241
5.5 Peningkatan Nilai Nominal ... 245
5.6 Konstruksi Biaya Menurut Sifatnya ... 251
5.7 Sistem Pembiayaan Pendidikan Pemerintah Kabupaten yang Feasible ... 254
xv
Daftar Tabel
Halaman
1.1 Keadaan Pendidikan Kabupaten Garut ... 15
1.2 Kadaan Guru TK-SD dan Menengah Negeri Menurut Usia Kabupaten Garut 16
1.3 Kadaan Guru TK-SD dan Menengah Swasta Menurut Usia Kabupaten Garut 17
1.4 Keadaan Guru RA-MA dan SLB Negeri Menurut Usia Kabupaten Garut .... 19
1.5 Keadaan Guru RA-MA dan SLB Swasta Menurut Usia Kabupaten Garut .... 20
1.6 Keadaan Pendidikan Guru pada Dinas Pendidikan Kabupaten Garut ... 21
1.7 Keadaan Guru PNS dan Swasta, pada TK-SD dan Menengah Kabupaten ... Garut ... 22
2.1 Jenis Pembelanjaan Sekolah ... 45
3.1 Keadaan Sekolah di Kabupaten Garut ... 111
3.2 Penarikan Sampel dan Pilihan yang Diambil ... 113
4.1 APK, APM, Mengulang dan Dropout Siswa pada Dinas Pendidikan Kabupaten Garut ... 126
4.2 Rekapitulasi Sumber Dana/Pendapatan RAPBS SMUN 2 Tarogong ... 139
4.3 Bentuk Pendanaan untuk Satuan Pendidikan ... 148
4.4 Keadaan Fasilitas Sekolah ... 151
4.5. Keadaan Kelas Sekolah Negeri dan Swasta ... 152
4.6. Alokasi Anggaran Rutin Pendidikan Bersumber dari APBD Kabupaten Garut ... 157
4.7. Anggaran Pembangunan Pendidikan Bersumber dari APBD Kabupaten Garut 159
4.8 Analisis SWOT Sistem Anggaran Pendidikan di Kabupaten Garut ... 195
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan pendidikan pada dasarnya sama pentingnya dengan
pembangunan ekonomi, karena pembangunan ekonomi akan sulit digerakkan jika
sumberdaya manusianya (SDM) tidak mempunyai kemampuan. Sebagai bahan
perbandingan dapat dilihat negara-negara yang bertetangga dengan Indonesia seperti
Jepang, Korea, Singapore dan lainnya tidak memiliki sumber daya alam yang
memadai, tetapi mereka memiliki SDM yang handal, yang mendukung terhadap
pergerakan roda ekonomi negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, sehingga
mereka dapat menikmati kehidupan yang layak.
Bagi Indonesia sumber daya alam sudah terbentang secara luas, namun tidak
diimbangi dengan kualitas SDM yang memadai, meskipun dilihat dari segi jumlah
SDM merupakan potensi yang besar. Institusi yang paling mungkin dapat dan mampu
menyiapkan SDM yang handal dan bermoral adalah institusi pendidikan, karena
institusi ini mempunyai instrumen yang diperlukan untuk itu. Untuk mendapatkan
SDM yang berkemampuan dan berketerampilan perlu disiapkan sejak dini.
Dalam upaya setiap pencapaian tujuan pendidikan baik bersifat kuantitatif
maupun kualitatif, biaya pendidikan memiliki peran yang sangat menentukan. Oleh
karena itu pendidikan tanpa didukung biaya yang memadai, proses pendidikan di
2 Biaya pendidikan merupakan komponen masukan instrumental (instrument
input) yang sangat penting dalam menyiapkan SDM melalui penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Pertanyaannya adalah sejauhmanakah institusi dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya ?. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu
memerlukan alasan dan kriteria yang diperlukan berkaitan dengan otonomi dan
profesionalisasi institusi tersebut. Disamping keberadaan institusi pendidikan,
kaitannya dengan manajemen pendidikan dilain pihak terpusatnya kewenangan
pemerintahan pada masa lalu telah menjadi bagian dari sebab rendahnya kualitas dan
kemandirian bangsa. Hal inilah salah satu yang menjadi hambatan penyelenggaraan
sektor pendidikan di Indonesia.
Kesuksesan yang dicapai khususnya dibidang pendidikan ternyata bagaikan
fatamorgana karena kenyataan Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan,
maka di era reformasi ini kewenangan yang terpusat sebagian telah diserahkan pada
pemerintah daerah (kabupaten/kota) melalui UU No. 22 Tahun 1999 (Sekarang UU
No. 32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah, sebagai upaya menerapkan sistem
desentralisasi pemerintahan yang sebelumnya menganut sistem sentralistik. Sejalan
dengan pemikiran itu, bahwa pendidikan merupakan sumber kunci pembangunan
ekonomi dan sekaligus sebagai outcome proses pembangunan. Kepustakaan sumber
ekonomi internasional sangat jelas menerangkan bahwa investasi di suatu negara
dapat diarahkan untuk pendidikan bangsa. Jadi melalui investasi pendidikan dasar
misalnya, hal ini dapat berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan
3 Dalam waktu yang bersamaan, mungkin jalan yang paling efektif adalah
membentuk masyarakat agar biasa memperoleh kemanfaatan pembangunan dengan
cara memperluas akses anak-anak terhadap pendidikan yang bermutu. Manajemen
pendidikan pada sistem pemerintahan selama ini terpusat dimana otoritas pengambil
kebijakan adalah pemerintah pusat, hal ini tampak bahwa sistem pendanaan juga amat
sentralistis, pedoman anggaran yang sudah ada diatur secara sentral pada Pemerintah
Pusat, dengan sistem ini pengelolaan dana tidak mudah untuk difahami khususnya
bagi sekolah dan juga masyarakat. Karena rumitnya sistem keuangan yang
sentralistik, untuk itu diperlukan pemotongan birokrasi sehingga jalur keuangan itu
menjadi lebih pendek. Pemotongan birokrasi itu dilakukan dengan pelimpahan
kewenangan dalam bentuk desentralisasi kebijakan mengenai anggaran ke daerah.
Dalam hal ini desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pengambilan
keputusan bidang pendidikan pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah yaitu
mengambil kebijakan sesuai kewenangan yang dilimpahkan. Artinya kewenangan
diberikan juga pada orang-orang diluar sistem atau masyarakat umum sesuai dengan
aturan yang ditentukan untuk memenuhi semangat berdemokrasi dalam manajemen
pendidikan dan penghargaan terhadap hak asasi seluruh masyarakat. Berkaitan
dengan hal ini UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa kewenangan pusat yang
diserahkan pada daerah mencakup semua kewenangan pemerintah kecuali
kewenangan bidang politik luar Negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang merupakan kewenangan
4 Dari sejumlah kewenangan yang dilimpahkan ke daerah menurut UU ini
terdapat 11 kewenangan wajib yang harus dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/
kota termasuk didalamnya kewenangan mengelola urusan pendidikan. Dengan
demikian sesuai kewenangan yang diberikan oleh UU tersebut, maka kebijakan
pendidikan dapat lebih terfokus, dan pembinaan sumberdaya manusia juga dapat
lebih terarah, yang menjadi persoalan tentu adalah sistem di daerah dan kesiapan
seluruh aparat pelaksana maupun masyarakatnya. Budaya kerja dan menyelesaikan
masalah menjadi salah satu pilihan penting dalam menetapkan kebijakan pendidikan
sebagai jawaban untuk mengisi sistem pemerintah yang otonom.
Pemerintah pusat lebih memusatkan perhatian pada penetap-penetapan tujuan,
standar mutu, menyalurkan sumberdaya pendidikan untuk kebutuhan khusus sebagai
penyeimbang kualitas pendidikan ditataran nasional, dan melakukan pemantauan
terhadap kinerja pendidikan tingkat lokal. Sedangkan manajemen yang bersifat
operasional berkaitan dengan kebijakan pembangunan dan pengelolaan pendidikan
diserahkan kepada pemerintah daerah bahkan sekolah, hal ini diarahkan untuk dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi daerah baik pertumbuhan ekonomi
individu maupum masyarakatnya. Sumber daya manusia (SDM) yang belajar di
sekolah pada semua jenjang dan jenis dibekali ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang mampu menghidupi dirinya atau memenuhi nafkahnya dari sudut ekonomi
maupun mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dilihat dari sumber pembiayaan,
para pengambil kebijakan menurut Vaizey (1972:56) perlu menggambarkan sebuah
5 Ambil contoh anggaran pendidikan tahun 1995-1996 menunjukkan bahwa dari
data yang bersumber dari pemerintah, persekolahan, dan keluarga-keluarga di
beberapa tingkat dan jenis persekolahan. Data mengenai pembiayaan pendidikan
tersebut dipresentasikan dalam tiga hal yaitu: Pertama: keseluruhan biaya pendidikan
di Indonesia yang terdiri dari: (a) dana pemerintah di luar anggaran pemerintah pusat,
yaitu anggaran rutin dan anggaran pembangunan; (b) pembayaran atau kontribusi
dari siswa/keluarga; (c) sumber-sumber pembiayaan lain yang tidak selalu disediakan
sekolah seperti biaya transportasi, seragam, buku-buku penunjang, dan lain
sebagainya. Kedua: Biaya sistem pendidikan, yaitu sebuah kombinasi dana-dana
pemerintah dan ketersediaan untuk memenuhi kontribusi bagi pengeluaran sekolah
yang bersumber dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, keluarga siswa atau
sumber lain. Terakhir yang ketiga: dana yang dibelanjakan untuk proses pengajaran,
termasuk pengeluaran sekolah untuk gaji personil, barang-barang lain keperluan
pengajaran dan sekolah, dan berbagai pelayanan di SD, SLTP dan SM.
Hasil studi Heyneman dan Loxley (1989) dalam Word Bank Report (1989)
Basic Education Study melaporkan di 29 negara menyatakan bahwa faktor guru,
waktu belajar, manajemen sekolah, sarana fisik dan biaya pendidikan memberikan
kontribusi yang berarti terhadap prestasi belajar siswa. Jadi semua pembiayaan dalam
pendidikan di persekolahan perlu dilaporkan dengan memberi gambaran yang utuh
(akuntabel). Pada umumnya bagi masyarakat dan sekolah sebenarnya tidak terlalu
mempertimbangkan berapa besar biaya yang tersedia, tetapi yang dibutuhkan adalah
6 Dengan transparansi anggaran ini dapat di ketahui peluang dan perolehan
peluang bagi keperluan sekolah selama para siswa menempuh pendidikannya. Fokus
persoalannya adalah cenderung kepada kompilasi berbagai biaya pendidikan dan
berapa besar penggunaannya pada masing-masing jenjang sekolah untuk memperoleh
mutu yang diharapkan. Oleh karena itu sumber data mengenai pembiayaan
pendidikan dapat dijadikan sebagai dasar perumusan dan penstrukturan masalah
untuk kebijakan pendidikan, hal ini demikian penting agar kepentingan yang
ditetapkan relevan dengan kebutuhan pendidikan. Untuk itu para pengambil
kebijakan pendidikan harus didukung oleh tiga sumber data yaitu : (1) anggaran
pemerintah pusat baik anggaran rutin, pembangunan dan dana-dana yang dihimpun
atas inisiatif institusi pendidikan itu sendiri; (2) informasi keuangan untuk pendidikan
dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Departermen Keuangan (Depkeu); dan
(3) informasi keuangan untuk pendidikan dari Departemen Agama (Depag).
Artinya semua data sumber-sumber anggaran ini diperlukan dan diterima agar
kebijakan tidak tumpang tindih. Beeby (1987:41) mengemukakan tidak mudah
memberikan gambaran yang sederhana mengenai pembiayaan pendidikan di
Indonesia. Menurutnya data mengenai sumbangan lokal dan provinsi kepada dunia
pendidikan sangat minim atau tidak ada sama sekali, dan pemerintah pusat sering
membuat perhitungan menjadi lebih sulit karena adanya belanja besar-besaran yang
dimasukkan dalam pos anggaran yang mengaburkan analisa. Suatu uraian mengenai
pembiayaan pendidikan yang terperinci dan kadang-kadang bertentangan dengan
7 Kecuali bila dilakukan peninjauan lebih mendalam dari yang biasa dilakukan,
karena itu mutu pendidikan sulit diukur dilihat dari besarnya kontribusi anggaran
yang disediakan oleh pemerintah berjenjang dari pusat sampai ke daerah. Sejalan
dengan itu sistem pembiayaan pendidikan terutama pada Dinas Pendidikan
Kabupaten yang berfungsi sebagai pelayan kebutuhan sekolah dalam implementasi
kebijakan otonomi daerah perlu pembenahan dan penataan strategi manajemennya.
Pembenahan ini dimaksudkan agar kesulitan yang selama ini terjadi dalam
pemanfaatan dan distribusi dana penyelenggaraan sekolah di daerah bisa diatasi dan
memiliki tingkat akuntabilitas serta pencapaian sasaran yang tinggi.
Pembenahan manajemen pembiayaan ini diarahkan untuk memberdayakan
seluruh potensi dinas kabupaten dan dinas kecamatan pada pemerintah kabupaten
yang menjadi wilayah kerjanya. Salah satu solusi yang paling mendasar oleh
pemerintah secara nasional mengatasi kesulitan manajemen pembiayaan tersebut
adalah dengan otonomi daerah (pelimpahan pengelolaan keuangan). Sistem otonomi
daerah ini akan membuka peluang lebih baik meskipun dilain pihak juga akan
membuka persoalan baru. Namun secara konsepsional pilihan otonomi cenderung
lebih aspiratif ketimbang pemerintah yang lebih sentralistik. Berkaitan dengan itu
secara operasional dilihat dari sudut yang lebih teknis, maka jenis pembiayaan yang
harus dibelanjakan pada dinas pendidikan untuk keperluan pembelajaran pada setiap
jenjang dan jenis satuan pendidikan perlu dipahami dan didefinisikan secara tepat
8 Karena bagaimanapun juga manajemen biaya pendidikan akan lebih banyak
ditangani pemerintah daerah baik penggunaan maupun sumber-sumbernya, maka
peran sekolah dan dinas pendidikan oleh sistem semakin memberi porsi yang lebih
besar. Hal ini dapat terjadi karena sumber pendapatan daerah baik pendapatan asli
daerah (PAD) maupun bantuan dari pemerintah pusat akan dapat terukur oleh
masyarakat baik dilihat dari sumbernya maupun peruntukannya. Oleh karena itu
peran dan responsibilitas kebijakan pendidikan baik legislatif, eksekutif dan
komponen yang terkait lainnya menjadi sangat penting dalam manajemen
pembiayaan pendidikan di daerah. Mengacu pada landasan konsepsional tersebut
menunjukkan bahwa peran Dinas Pendidikan Kabupaten bersama Dinas Pendidikan
Kecamatan bukan hanya sebagai birokrasi pengelola keuangan secara teknis
administratif yang sudah ditentukan oleh pemerintah secara kaku dan sempit, tetapi
lebih luas dari itu.
Yaitu menjadi fasilitator penyaluran dana ke satuan pendidikan dan rekruitmen
dana yang dimungkinkan dapat ditarik dari pihak-pihak tertentu yang secara teknis
maupun kebijakan sulit dijangkau oleh pihak sekolah. Agar penyelenggaraannya
menjadi lebih efektif, tentu saja Dinas Pendidikan Kabupaten harus bekerja sama
dengan instansi terkait dan juga masyarakat sesuai aturan dan kesepakatan yang
ditentukan. Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah sebagaimana diulas
sebelumnya, menggambarkan bahwa pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan
atau pembiayaan pendidikan kepada Pemerintah Kabupaten dalam sistem otonomi
9 Kebijakan ini dimaksudkan agar efisiensi dan efektifitas pengelolaan
pembiayaan lebih simpel, tidak lagi melalui pemerintah pusat, tetapi melalui
pemerintah daerah yang diurus oleh dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan sistem
ini diasumsikan semakin terjamin akuntabilitas manajemen maupun penggunaannya,
dan dapat mengoptimalkan kinerja dinas kecamatan dalam memberikan pelayanan ke
satuan pendidikan. Fokus keefektifan dan efisiensi pengelolaan pembiayaan
pendidikan, sistem dan mekanisme antar vertikal Dinas Pendidikan Provinsi dengan
Kabupaten/Kota diatur hubungan tanggung jawabnya sehingga tidak tumpang tindih.
Bertitik tolak dari kajian latar belakang masalah tersebut, maka peneliti tertarik
menelusuri dan melakukan studi mengenai sistem pembiayaan pendidikan dilihat dari
formulasi dan implementasinya oleh Pemerintah Kabupaten yang pelaksanaannya
ditugaskan pada Dinas Pendidikan Kabupaten mengelola anggaran pemerintah untuk
didistribusikan kepada satuan pendidikan baik formal maupun non formal. Sebagai
dasar dari penelitian ini, tentu peneliti sebelumnya setelah melihat kondisi objektif
keadaan pendidikan Kabupaten yaitu Kabupaten Garut yang juga memiliki Dinas
Pendidikan untuk mengelola pembiayaan pendidikan di daerah.
Di mana Kabupaten Garut memiliki luas wilayah 306.869 Km2 terdiri atas 37
Kecamatan, 403 Desa/Kelurahan, dengan jumlah penduduk 1.875.200 jiwa, diantara
jumlah tersebut ditemui sebanyak 313.389 jiwa penduduk usia 7-12 tahun, sebanyak
141.911 jiwa anak usia 13-15 tahun, dan sebanyak 119.194 jiwa anak usia 16-18
tahun. Adapun letak geografi, keadaan alam dan sebagainya dapat dikemukakan
10
1. Letak Geografis Kabupaten Garut
Pemerintah Kabupaten Garut merupakan salah satu Kabupaten yang berada di
Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Garut pada tahun 2001 terdiri dari 37 kecamatan
dengan jumlah penduduk sebesar 1.875.200 jiwa dengan mata pencaharian antara lain
terdiri dari petani, nelayan, industri rumah tangga, industri jasa, dan perdagangan.
Topografi Kabupaten Garut terdiri dari daerah pertanian khususnya persawahan,
pegunungan dan kehutanan, dan pesisir pantai. Keadaan geografis, alam, dan iklim
luas wilayah Kabupaten Garut kurang lebih 306.519 Ha (3.065,19 Km2) atau 6.99 %
dari seluruh wilayah Jawa Barat, dengan batas batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Kabupaten Sumedang - Sebelah Selatan : Samudra Indonesia
- Sebelah Barat : Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung - Sebelah Timur : Kabupaten Tasikmalaya
2. Keadaan Alam
Kabupaten Garut merupakan lembah yang dikelilingi gunung-gunung, dengan
ketinggian antara 500 M – 1.215 M diatas permukaan laut. Daerah pusat kota
merupakan daerah yang relatif datar dengan ketinggian 720 M di atas permukaan laut,
sedangkan daerah pinggiran kota merupakan daerah yang lebih tinggi dimana
pinggiran sebelah utara, barat, dan timur relatif datar. Sedangkan daerah pinggiran
selatan, barat daya dan tenggara relatif berlembah dan berbukit. Gunung- gunung
yang berada disekeliling kota Garut adalah Gunung Guntur, Cikurai, Mandalawangi,
11
3. Keadaan Topografi
Keadaan topografi wilayah Garut adalah: (1) Wilayah Garut Selatan
merupakan daerah pelataran yang miring ke selatan dengan berbukit-bukit, lembah
dengan aliran sungai dalam dan bermuara di Samudra Indonesia, dengan ketinggian
antara 9-477M diatas permukaan laut; dan (2) wilayah Garut Tengah Utara berada di
dataran tinggi Garut dengan areal berbukit, gunung yang tinggi, dan lembah yang
dalam. Aliran sungai utama adalah Sungai Cimanuk yang mengalir ke Laut Jawa.
Ketinggian daerah ini berkisar antara 500M-1215 M diatas permukaan laut. Keadaan
topografi ini menggambarkan bahwa Kabupaten Garut dikelilingi pegunungan dan
sebagian dibatasi lautan hindia. Ini artinya kehidupan penduduk berkaitan dengan
pertanian dan juga nelayan.
4. Keadaan Iklim
Berdasarkan Schmidth dan Pergusson iklim didaerah Garut termasuk iklim
tipe C atau agak basah, atau curah hujan rata-rata per tahun adalah 2589M kubik,
jumlah basah 8,6 dan bulan kering 3,2 dengan rata-rata dari hujan 23 hari.temperatur
rata-rata adalah 24 derajat celcius hingga 29 derajat celcius dengan temperatur tinggi
rata-rata pada bulan Agustus, sedangkan temperatur terendah pada bulan Februari dan
Maret. Keadaan iklim ini secara signifikan sangat berpengaruh terhadap
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang tersebar diseluruh Kabupaten
Garut. kondisi geografi, topogrfi dan iklim sangat berpengaruh terhadap bentuk dan
12 Kondisi yang demikian itu berpengaruh terhadap penyebaran penduduk yang
berdampak pada pendirian model sekolah kecil dan besar. Demikian juga iklim yang
akan berdampak pada pengaturan kalender pendidikan. Secara geografis wilayah
Kabupaten Garut terletak diantara 7 derajat LS –7 derajat 46’ 36 “ LS dan 5 derajat
‘BT – 1 derajat 20’ BT. Pengaruh letak pergeseran matahari di daerah ini nyata
sekali, dan terdapat perbedaan iklim musim dan pengaruh lain terhadap pergantian
musim disebabkan wilayah Garut berbatasan dengan samudra Indonesia. Data ini
menggambarkan bahwa keadaan geografis memberi pengaruh terhadap program
pendidikan dimana anak usia sekolah 6-12 tahun dan 13-19 tahun merupakan
penduduk yang dominan, dan memerlukan pembinaan khususnya melalui jalur
pendidikan untuk meningkatkan kualitasnya.
5. Penduduk, Agama dan Mata Pencaharian
Kabupaten Garut yang memiliki luas wilayah 306.869 Km2 sehingga rata-rata
setiap kilometer persegi dihuni oleh kurang lebih 632 orang, dengan laju
pertumbuhan penduduk rata-rata 2.5%. Kabupaten Garut terdiri atas 37 Kecamatan,
403 Desa/kelurahan, adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat. Menurut data
kependudukan Pemerintah Kabupaten Garut tahun 2001 bahwa penduduk Kabupaten
Garut sebanyak 1.875.200 jiwa. Keadaan penduduk tersebut dengan perincian
penduduk usia prasekolah (1-6 tahun) sebanyak 301.228 orang, anak usia sekolah
dasar (7-12 tahun) sebanyak 159.659 orang, anak usia 13-15 tahun sebanyak 141.911
13 Penduduk tersebut tersebar di seluruh Kabupaten. Dari gambaran dan keadaan
penduduk tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Garut mempunyai
tanggungjawab yang demikian besar untuk memajukan pendidikan di daerahnya.
Oleh karena itu Kabupaten Garut salah satu Kabupaten di Jawa Barat yang urusan
pendidikannya ditugaskan kepada Dinas Pendidikan mengurus sekolah terdiri dari
SD, SLTP, SMU, SMK. Mayoritas Agama yang dipeluk penduduk Kabupaten Garut
adalah agama Islam, sehingga pengaruh timbal balik dengan penyelenggara
pendidikan sangat terasa dan terlihat dengan jelas baik dalam muatan lokal maupun
dalam kegiatan intra dan ekstrakulikuler yang banyak diwarnai nuansa Agama Islam
untuk sekolah umum dan menjadi mata pelajaran bagi sekolah-sekolah yang
berbentuk madrasah. Sedangkan mata pencaharian penduduk didominasi oleh sektor
pertanian, baik sebagai petani, buruh tani, maupun industri pertanian.
Disamping mata pencaharian dibidang pertanian ada juga penduduk yang
bergerak dalam industri khususnya industri rumah tangga, industri jasa dan
perdagangan. Mata pencaharian masyarakat ini mempunyai keterkaitan sangat jelas
terhadap respons masyarakat dalam hal penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan
Menengah di Kabupaten Garut. Dari gambaran dan keadaan geografis maupun mata
pencaharian penduduk tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Garut mempunyai
tanggung jawab yang besar untuk mengalokasikan anggaran pendidikan untuk
memajukan pendidikan. Pengalokasian anggaran ini tentu meliputi pendidikan formal
14 Untuk mendukung kinerja dan pelayanan pendidikan pada Dinas Pendidikan
Kabupaten Garut terdiri dari 37 Cabang Dinas Kecamatan, mengurus dan melayani
sejumlah 83 TK swasta, 1.566 Sekolah Dasar (SD) terdiri dari 1.549 SD Negeri
dengan sebanyak 9.941 guru dan 17 SD Swasta, 66 SLTP Negeri 47 SLTP Swasta,
17 SMU Negeri dan 26 SMU Swasta, 4 SMK Negeri dan 19 SMK Swasta, dan
sejumlah sarana pendidikan masyarakat. Kewenagan pusat yang diserahkan kepada
daerah mencakup semua kewenangan pemerintahan kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, serta kewenangan bidang lain merupakan kewenangan pemerintah pusat. Dari
sejumlah kewenangan yang dilimpahkan kedaerah terdapat 11 kewenangan wajib
yang harus diaksanakan oleh kabupaten/kota termasuk didalam nya kewenangan
mengelola pendidikan.
Sebagai upaya mendukung program penyelenggaraan pendidikan pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Garut, peneliti mengambil contoh untuk tahun anggaran 2001
yaitu menggunakan dana yang terdiri dari dana APBD sebagai akumulasi dari
anggaran yang dialokasikan dari semua sumber terkait yang dialokasikan untuk dana
rutin digunakan untuk (ongkos kantor, inventaris kantor, penyelenggaraan
pendidikan, pemeliharaan kantor, perjalanan dinas, dan dana lain-lain) sebesar Rp
8.286.972.250,- dan pembangunan digunakan untuk (proyek pengadaan buku dan alat
pelajaran, muatan lokal, bantuan penyelenggaraan pendidikan swasta, bantuan
kenaikan pangkat guru melalui perhitungan angka kredit, bantuan kepada mahasiswa
15 Sedangkan penyelenggaraan SLTP Terbuka, dana operasional dan perawatan
SD SLTP dan SLTA, pendidikan masyarakat, peningkatan olahraga, pembinaan oleh
raga sekolah, pemberdayaan generasi muda, rehabilitasi SD-MI, dan pembangunan
SMU) sebesar Rp.16.263.983.000,- Miliar jumlahnya sebesar Rp.24.550.955.250,-
(Sumber data subag Keuangan Dinas Pendidikan per-Februari 2001).
6. Keadaan Guru dan Murid
Untuk menyelenggarakan pembangunan Sumberdaya Manusia (SDM) oleh
Pemerintah Kabupaten Garut dilakukan melalui jalur pendidikan formal terdiri dari
jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Tabel: 1.1
Keadaan Pendidikan Kabupaten Garut
No Jenjang Sekolah
Sekolah Jumlah Murid Jumlah
Negeri Swasta Negeri Swasta
1 TK 1 128 129 60 4.223 4.283
2 RA 0 48 48 0 1.332 1.332
3 SD 1.549 17 1.566 258.902 2.891 261.793
4 MI 4 141 145 904 17.665 18.569
5 SLTP 74 41 115 49.208 7.303 56.511
6 MTs 13 112 125 3.956 17.365 21.321
7 SMU 20 26 46 14.617 6.169 20.786
8 SMK 4 28 32 3.167 7.922 11.089
9 MA 5 44 49 2.478 5.555 8.033
16 Satuan pendidikan di Kabupaten Garut seperti dideskripsikan pada tabel 1.1
baik swasta dan negeri ditemui bahwa: (1) Taman Kanak-Kanak sebanyak 129
sekolah dengan siswa sebanyak 4.283 orang; (2) Sekolah Dasar sebanyak 1.566
sekolah dengan siswa sebanyak 261.793 orang; (4) Sekolah Lanjutan Pertama
sebanyak 115 sekolah dengan siswa sebanyak 56.511 orang; (5) Sekolah Menengah
Umum sebanyak 46 sekolah dengan siswa sebanyak 20.786 orang; dan (6) Sekolah
Menengah Kejuruan sebanyak 32 sekolah dengan siswa sebanyak 11.089 orang.
Satuan pendidikan tersebut seperti dideskripsikan pada tabel 1.2 dan 1.3 didukung
oleh tenaga kependidikan dan guru pada sekolah negeri maupun swasta.
Tabel: 1.2
Keadaan Guru TK-SD dan Menengah Negeri Menurut Usia Kabupaten Garut
Sekolah Jumlah Usia Jumlah
25-30 31-40 41-50 51-60
TK 1 2 3 1 0 6
SD 1.549 1.893 2.841 2.839 1.892 9.465
SLTP 74 343 514 514 343 1.714
SMU 20 111 166 166 111 554
SMK 4 20 29 29 20 98
Jumlah 2.369 3.553 3.549 2.366 11.837
Tabel ini menggambarkan keadaan guru TK, SD, SLTP, SMU, dan SMK
negeri maupun swasta dilihat dari usia 25 s/d 60 tahun terdapat sebanyak 11.837
orang guru pengajar di Sekolah Negeri dan sebanyak 3.271 orang guru pengajar di
17 secara berjenjang pendidikan di Kabupaten Garut dilaksanakan oleh pemerintah dan
juga lembaga-lembaga yayasan penyelenggara sekolah yang ditanggung oleh
masyarakat. Dari data tersebut tampak bahwa, guru yang berusia 31-40 sebanyak
3.553 yaitu sebesar 30.02 % sedangkan guru yang berusia 41-50 sebanyak 3549 yaitu
sebesar 29.98% artinya guru yang berada pada usia produktif terdapat sebesar 60%.
Potensi yang tampak pada data-data ini memberi makna bahwa penyelenggaraan
pendidikan pada satuan pendidikan di Kabupaten Garut dapat diselenggarakan sesuai
harapan yang tertuang dalam rencana strategis pendidikan Kabupaten Garut. Karena
guru pada usia produktif mencapai 60%, jika potensi ini dioptimalkan, maka keuatan
ini memberi arti bagi pembangunan pendidikan di Kabupaten Garut.
Tabel: 1 .3
Keadaan Guru TK-SD dan Menengah Swasta Menurut Usia Kabupaten Garut
Sekolah Jumlah Usia Jumlah
25-30 31-40 41-50 51-60
TK 128 77 155 116 39 387
SD 41 19 28 29 20 96
SLTP 47 280 421 422 280 1.403
SMU 26 147 220 221 147 735
SMK 28 130 195 195 130 650
Jumlah 653 1.019 983 616 3.271
Lebih lanjut diungkapkan bahwa guru berstatus PNS usia 31-40 tahun
sebanyak 3.553 orang, sedangkan guru swasta sebanyak 1.019 orang. Kemudian guru
PNS yang berusia 41-50 tahun sebanyak 3.549 guru dan guru swasta sebanyak 983
18 menunjukkan bahwa guru pada usia 31-40 tahun sebanyak 1.054 dan usia 41-50
tahun sebanyak 1.039 orang. Keadaan ini dilihat dari persentase dan kelincahannya
dalam melaksanakan tugas profesionalnya menggambarkan hal yang sama pada
sekolah negeri. Hanya saja jumlah guru swasta lebih banyak, keadaan ini
menggambarkan bahwa potensi guru sekolah negeri dan swasta di Kabupaten Garut
dilihat dari usia menunjukkan kemampuan SDM kependidikan yang relatif memadai.
Artinya guru yang dipandang sudah mapan dan berpengalaman baik
yang berstatus PNS maupun swasta cukup tersedia, sehingga dilihat dari ketersediaan
tenaga kependidikan dengan rasio jumlah penduduk bagi Kabupaten Garut secara
kuantitatif relatif memadai. Keadaan guru ini memberi gambaran bahwa Kabupaten
Garut sesungguhnya memiliki potensi yang kuat untuk mengembangkan sumberdaya
manusianya melalui jalur pendidikan formal. Tetapi jika dilihat dari kemampuan
profesional dalam melaksanakan pelayanan pendidikan, tentu perlu ada penentuan
kriteria yang lebih memberi gambaran untuk keperluan itu.
Dari data tersebut menggambarkan bahwa seluruh sekolah umum maupun
keagamaan di Kabupaten Garut sebanyak 2.255 sekolah dengan jumlah siswa sebesar
403.717 orang. Data ini memberi arti secara kuantitatif jumlah sekolah dan partisipasi
siswa usia sekolah dipandang memadai, namun secara kualitatif masih perlu
dilakukan pengukuran sesuai kebutuhan mutu yang dipersyaratkan. Keadaan guru
dilihat dari usia yang terbesar bergerak dari usia 31-40 tahun sebanyak 95 0rang dan
usia 41-51 sebanyak 96 orang. Ini artinya kebanyakan guru di Kabupaten Garut
19 Pada usia ini para guru diyakini masih memiliki semangat yang tinggi untuk
melaksanakan tugas profesionalnya dan juga memiliki energi yang cukup untuk
mengembangkan kreatifitasnya. Disamping sekolah umum pada pemerintahan
Kabupaten Garut ditemui juga sekolah keagamaan yaitu Madrasah dibawah
tanggungjawab Departemen Agama dan juga sekolah luar biasa (SLB) dibawah
tanggungjawab Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Namun demikian para siswa
yang menuntut ilmu pada sekolah-sekolah tersebut adalah warga Kabupaten Garut,
tentu dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Garut juga harus memberi perhatian
terhadap sekolah tersebut.
Tabel: 1.4
Keadaan Guru RA-MA dan SLB Negeri Menurut Usia Kabupaten Garut
Sekolah Jumlah Usia Jumlah
25-30 31-40 41-50 51-60
RA 0 0 0 0 0 0
MI 4 5 8 8 5 26
MTs 13 44 65 65 44 218
MA 5 8 11 11 8 38
SLB 1 7 11 12 7 37
Jumlah 64 95 96 64 319
Data seperti diungkapkan pada tabel: 1.4 dilihat dari keadaan guru
menggambarkan bahwa pada Raudatul Atfal (RA) setingkat Taman Kanak-Kanak
belum ada guru berstatus PNS. Tetapi guru PNS pada Madrasah Ibtidaiah (MI)
20 (MA) sebanyak 38 orang, kemudian SLB sebanyak 37 orang. Keadaan guru RA-MA
dan SLB swasta seperti dideskripsikan pada tabel 1.5 menunjukkan angka yang lebih
besar dibanding yang berstatus PNS. Guru pada RA sebanyak 144 orang, MI
sebanyak 829 orang, MTs sebanyak 1.960 orang, dan MA sebanyak 388 orang,
kemudian SLB sebanyak 192 orang. Keadaan ini menggambarkan bahwa Pemerintah
Kabupaten Garut memiliki potensi SDM tenaga kependidikan pada sekolah
keagamaan dan pendidikan luar biasa. Potensi kuantitatif ini tentu memerlukan
perhatian khusus untuk memberi arti dilihat dari kualitatif.
Tabel: 1.5
Keadaan Guru RA-MA dan SLB Swasta Menurut Usia Kabupaten Garut
Sekolah Jumlah Usia Jumlah
25-30 31-40 41-50 51-60
RA 48 29 58 43 14 144
MI 141 166 248 249 166 829
MTs 112 392 588 588 392 1.960
MA 44 68 102 101 67 338
SLB 16 38 58 58 38 192
Jumlah 693 1.054 1.039 677 3.463
Meningkatkan kemampuan SDM secara kualitatif memang diperlukan dana
atau anggaran yang sesuai kebutuhan kualitas yang diharapkan tersebut. Bagi mereka
para tenaga kependidikan dan guru tersebut yang berada pada sekolah umum dan
sekolah keagamaan khususnya yang berusia 25 sampai 40 tahun masih memerlukan
pendidikan yang mendukung pertumbuhan jabatan. Pendidikan pertumbuhan jabatan
21 pendek seperti kursus-kursus keahlian, pelatihan sebagai penajaman ketrampilan,
seminar dan lokakarya memperkuat kapabilitas, magang, dan sebagainya. Pendidikan
semacam ini bagi mereka diperlukan disamping untuk peningkatan kualitas keahlian
juga sebagai refreshing atau penyegaran untuk mengatasi kejenuhan dalam
menjalankan tugas-tugas rutin sehari-hari. Kebutuhan ini sesuai dengan konsep
kebutuhan yang diintrodusir oleh Maslow antara lain berkaitan dengan aktualisasi
diri. Persoalannya adalah apakah pemerintah memandang hal tersebut sebagai sesuatu
yang akan memberi kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan, dan apakah
anggaran untuk pertumbuhan jabatan tersebut telah atau akan dialokasikan oleh pihak
yang berwewenang mengatur anggaran.
Tabel: 1. 6
Keadaan Pendidikan Guru pada Dinas Pendidikan Kabupaten Garut
No Sekolah SLTA D1 D2 D3 S1 S2 S3 Jml
1 TK 318 7 53 1 1 2 0 382
2 RA 101 0 43 0 0 0 0 144
3 SD 5.351 498 3.217 425 260 0 0 9.751 4 MI 416 34 323 22 19 0 0 814 5 SLTP 31 125 250 314 515 1 0 1.236 6 MTs 718 0 0 374 1.083 3 0 2.178
7 SMU 0 7 0 98 732 3 0 840
8 SMK 0 8 0 60 164 9 0 241
9 MA 69 6 0 64 237 0 0 376
Jumlah 7.004 685 3.886 1.358 3.011 18 0 15..962
Dilihat dari latar belakang pendidikan guru sebagai penjamin kualifikasi yang
22 mengungkapkan seperti tampak pada tabel 1.6 bahwa pendidikan guru bergerak dari
SLTA sampai Magister. Pada umumnya guru berpendidikan D2, D3, dan S1 keadaan
ini menggambarkan bahwa dilihat dari latar belakang pendidikan sebagian besar guru
telah memenuhi kualifikasi pendidikan sebagai ukuran yang dipersyaratkan bagi
profesi keguruan. Namun demikian guru yang berpendidikan SLTA dan D1 masih
menunjukkan angka yang signifikan, data ini memberi petunjuk bahwa tanggung
jawab Pemerintah Kabupaten Garut untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan guru
tersebut masih merupakan beban yang berat khususnya dilihat dari penyediaan beban
anggaran pemerintah daerah dan waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan
pendidikan guru itu. Sekolah tersebut diasuh oleh sebanyak 11.837 orang guru,
pendidikan guru tersebut sebanyak 7.004 berpendidikan SLTA dan sebanyak 3.029
berpendidikan sarjana, selebihnya berpendidikan diploma.
Tabel: 1. 7
Keadaan Guru PNS dan Swasta, Menurut TK-SD dan Menengah Kabupaten Garut
No Sekolah Guru PNS Guru Swasta Jumlah
1 TK 16 366 382
2 RA 0 144 144
3 SD 8.202 1.549 9.751
4 MI 26 788 814
5 SLTP 829 407 1.236
6 MTs 218 1.960 2.178
7 SMU 406 434 840
8 SMK/BLTP 145 96 241
9 MA 38 338 376
10 SLB 37 192 229
23 Para guru yang berpendidikan SLTA pada umumnya adalah guru Sekolah
Dasar, sedangkan yang berpendidikan sarjana pada umumnya guru pada SLTP dan
SLTA. Keadaan guru TK-SD dan menengah PNS seperti pada tabel 1.7 sebanyak
9.917 orang dan swasta guru swasta sebanyak 6.274 orang di Kabupaten Garut. Data
ini menggambarkan bahwa guru berstatus PNS lebih besar dibanding guru berstatus
swasta. Guru PNS menerima gaji atau kesejahteraan dari pemerintah sesuai aturan
yang berlaku mengacu pada ruang golongan dan masa kerja serta jabatan
fungsionalnya masing-masing. Sedangkan guru swasta menerima gaji atau
honorarium dari yayasan atau sekolah dimana mereka melaksanakan tugasnya. Bagi
guru-guru yang bekerja pada yayasan tidak ada standar pembayaran gaji atau
honorarium, para guru menerima besarnya gaji dan honorarium sangat tergantung
pada kemauan dan kemampuan yayasan yang menugaskannya. Secara umum
kesejahteraan guru berupa gaji masih ada yang dibawah standar upah minimum
regional Jawa Barat yaitu Rp.550.000,- setiap bulan.
Sistem penganggaran pendidikan di Indonesia Clark at al (1998:25) sangat
rumit, dan di sana tidak terdapat mekanisme yang teratur untuk mendapatkan
gambaran yang utuh mengenai pembiayaan sekolah atau membandingkan perbedaan
biaya-biaya antar jenjang dan jenis pendidikan. Data komprehensif mengenai biaya
dan penganggaran pendidikan sebagai bahan bagi pemerintah dalam mengembangkan
dan menentukan kerangka kebijakan mobilisasi, alokasi sumber-sumber, dan
efektivitas penggunaan biaya pendidikan. Fokusnya di sekolah, termasuk madrasah.
24 dan menganalisis data mengenai sumber-sumber dana, biaya-biaya pendidikan, dan
pengeluaran-pengeluaran pendidikan. Dengan cara itu diharapkan dapat membantu
(pemimpin pendidikan di Indonesia) memahami pendanaan pendidikan nasional dan
penentuan kebijakan. Data yang dikumpulkan untuk tahun 1995-1996 diharapkan
dapat mengestimasi: (a) pengeluaran total dan pengeluaran per siswa untuk berbagai
jenis dan jenjang pendidikan; (b) besarnya anggaran pemerintah untuk pendidikan,
bagaimana anggaran itu dialokasikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, dan
apakah dana itu digunakan sesuai dengan kebutuhan; (c) jumlah dana pendidikan dari
berbagai sumber dan pengaruhnya terhadap pengeluaran total di sekolah; (d)
pengeluaran pada berbagai jenis sekolah.
Bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah dan kondisi objektif tersebut
dalam sistem pemerintahan yang sebelumnya mengacu pada UU No. 5 tahun 1974
tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, menunjukkan bahwa model atau sistem
pemerintahan adalah sentralistik. Termasuk dalam hal ini urusan pendidikan juga
dikelola secara sentralistik dari pemerintah pusat ke daerah. Oleh karena sistem
sentralistik ini tidak memberi peluang untuk memberdayakan masyarakat di daerah,
maka perlu ada perubahan yang mendasar yaitu sistem sentralistik menjadi
desentralisasi, karena dengan sistem ini terbuka peluang pemberdayaan masyarakat di
daerah. Untuk memenuhi kebutuhan akan pemberdayaan masyarakat di daerah
sebagai landasan yuridisnya, maka dikeluarkanlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini sebagai dasar untuk mereformasi sistem pemerintahan
25 bagian dari reformasi yang mendasar pada sistem pemerintahan, sekaligus juga
reformasi mendasar dalam sistem pendidikan nasional.
Jika mengacu pada teori manajemen strategik sebagaimana yang dikemukakan
Sharplin (1985:45) bahwa model manajemen strategik memerlukan dua fase besar
yang masing-masing terdiri atas beberapa tahapan kegiatan. Pertama, fase strategy
formulation yang mencakup tahapan penetapan misi organisasi, assessment
lingkungan, menetapkan arah dan sasaran, dan menentukan strategi. Kedua, fase
strategy implementation yang terdiri atas kegiatan menggerakkan strategi, melakukan
evaluasi strategik, dan kontrol strategik. Maka, dari studi pendahuluan menunjukkan
bahwa strategi formulasi dan strategi implementasi pembiayaan pendidikan pada
Pemerintah Kabupaten Garut secara sederhana telah dilakukan dalam bentuk Rencana
Strategis (Renstra) dan pelaksanaan program, tetapi belum memenuhi harapan dan
prinsip-prinsip teoritik.
Setelah membahas latar belakang penelitian ini dilihat dari pandangan teoritis,
hasil-hasil penelitian, dan sudut pandang yuridis, maka peneliti berpendapat bahwa
akuntabilitas manajemen anggaran pendidikan pada Pemerintahan Kabupaten dilihat
dari formulasi perencanaan anggaran atau strategi formulasi maupun strategi
implementasi pembiayaan pendidikan, perlu disusun suatu model strategi pembiayaan
pendidikan yang lebih feasibel dalam sistem otonomi daerah maupun otonomi
sekolah dan pentingnya pelayanan pendidikan yang dituangkan dalam rencana
26 Penelitian mengenai formulasi strategi dan implementasi dalam sistem
pembiayaan pendidikan Kabupaten Garut merupakan suatu yang menarik dan penting
untuk dilakukan penelitian. Rumitnya perencanaan anggaran, kurang tepatnya sasaran
pembiayaan, lemahnya pemberdayaan sekolah dalam hal anggaran, dan bervariasinya
dukungan masyarakat terhadap anggaran pendidikan semua ini merupakan
problematika pembiayaan pendidikan di Pemerintahan Kabupaten maupun di sekolah.
Hal inilah yang menarik perhatian peneliti dan juga menjadi alasan mendasar yang
kuat untuk melakukan penelitian difokuskan pada studi analisis strategi pembiayaan
pada pemerintahan kabupaten untuk dapat melakukan penataan dan pengelolaan
anggaran pendidikan yang lebih efektif dan efisien serta tepat sasaran pada Dinas
Pendidikan Kabupaten di Garut Provinsi Jawa Barat.
B. Permasalahan
Dalam penelitian ini permasalahan mendasar sebagai fokus penelitian adalah
“Bagaimanakah sistem pembiayaan pendidikan yang efektif dan efisien pada
Pemerintah Daerah Kabupaten Garut”, rumusan fokus masalah lebih khusus adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sistem penganggaran dan proses penyusunan anggaran pendidikan
yang diterapkan saat ini pada Pemerintahan Kabupaten Garut.
2. Bagaimanakah pengalokasian dan pendistribusian serta skala prioritas
pembiayaan pendidikan pada Pemerintah Kabupaten Garut sampai pada satuan
27 3. Bagaimanakah realisasi penggunaan dan pertanggung jawaban pembiayaan
pendidikan pada Pemerintahan Kabupaten Garut.
4. Bagaimanakah pelaksanaan pengawasan dalam penggunaan pembiayaan
pendidikan pada Kabupaten Garut.
5. Bagaimanakah mengembangkan potensi dalam mengimplementasikan pembiaya
an pendidikan yang efektif dan efisien pada Pemerintah Kabupaten Garut
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui “Sistem pembiayaan
pendidikan yang efektif dan efisien pada Pemerintah Kabupaten Garut Jawa
Barat”. Lebih khusus tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui proses penyusunan anggaran pendidikan yang diterapkan saat ini
pada Pemerintah Kabupaten Garut.
2.
Mengetahui pengalokasian dan pendistribusian pembiayaan pendidikan padaPemerintah Kabupaten Garut sampai pada satuan pendidikan.
3.
Mengetahui realisasi penggunaan dan pertanggung jawaban pembiayaanpendidikan pada Pemerintah Kabupaten Garut.
4.
Mengetahui pelaksanaan pengawasan dalam penggunaan pembiayaan pendidikanpada Kabupaten.
5.
Mengetahui pengembangan potensi dalam mengimplementasikan pembiayaan28
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini berguna bagi:
1. Para pengambil kebijakan pendidikan, baik tingkat nasional maupun regional
khususnya pada pemerintahan Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut yang
berkaitan dengan pembiayaan pendidikan.
2. Para pengambil kebijakan bidang pendidikan baik legislatif maupun eksekutif
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
3. Para guru, dosen, pengamat dan praktisi pendidikan, pemerintah, swasta, dan
organisasi kemasyarakatan yang berminat terhadap pembiayaan pendidikan.
4. Para ahli manajemen dan kebijakan pendidikan dan para peneliti yang menaruh
perhatian pada manajemen pembiayaan pendidikan untuk melakukan kajian yang
lebih mendalam berkaitan dengan manajemen dan organisasi pendidikan yang
lebih luas dan mendalam.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya membahas mengenai pembiayaan pendidikan pada satuan
pendidikan atau sekolah negeri yang menjadi tanggung jawab langsung Pemerintah
Kabupaten Garut. Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah sistem pembiayaan
pendidikan dilihat dari efektifitas dan efisiensi pembiayaan pendidikan setelah
implementasi otonomi daerah pada Dinas Pendidikan Kabupaten dalam hal ini
29 dengan penelitian ini tidak dibahas, dan pada kesempatan lain atau oleh peneliti
lainnya akan dibahas lebih mendalam. Temuan data dan pembahasan dalam
penelitian ini mengacu pada kebijakan pemerintah berkaitan dengan formulasi dan
implementasi pembiayaan dilihat dari kebutuhan satuan pendidikan.
F. Premis dan Asumsi Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa premis dan asumsi yang menjadi landasan
dalam studi ini adalah:
1. Pendidikan diperhitungkan sebagai faktor tertentu keberhasilan seseorang, baik
secara sosial maupun ekonomis. Nilai pendidikan berupa asas moral adalah
bentuk kemampuan, kecakapan, keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan
dipandang sebagai suatu investasi. Pandangan ini diarahkan atas premis human
capital (sumber daya manusia sebagai sumber modal). Berdasarkan premis
tersebut besarnya nilai yang dipergunakan untuk pendidikan dipandang sebagai
investasi yang ditanam dalam pendidikan perlu memperhitungkan nilai manfaat
(benefit) atau kekurangan dimasa yang akan datang. (Theodore W. Schultfz dalam
Cohn, 1979).
2. Pendidikan memiliki nilai konsumtif dalam jasa pendidikan dan nilai investatif.
pendidikan dapat diukur pendapatan (income) seseorang yang terdidik sesuai
dengan tingkat produktivitasnya. Menurut premis ini pendidikan memiliki nilai
30 aspek keuntungan (hasil) atau manfaat secara perorangan (individual), maupun
manfaat sosial ( Cohn, 1979).
3. Biaya dan mutu pendidikan mempunyai keterkaitan secara langsung. Biaya
pendidikan memberikan pengaruh yang positif melalui faktor kepemimpinan dan
manajemen pendidikan, dan tenaga pendidik yang kompeten dalam meningkatkan
pelayanan pendidikan melalui peningkatan mutu faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap proses belajar mengajar ( John dan Morphet, 1975).
4. Mutu pendidikan merupakan fungsi dari sejumlah faktor input, proses dan
konteks. Biaya pendidikan yang disediakan untuk menyediakan perangkat input
akan memberikan dampak terhadap mutu melalui fungsi alokasi yang tepat, adil
(eqitabel) dan pendayagunaan secara efisien (World Bank Study, 1998)
5. Biaya adalah salah satu dari sekian banyak faktor penentu mutu pendidikan yang
tidak dapat dihindarkan yang berfungsi dalam proses belajar mengajar (Sallis,
1993).
6. Manfaat langsung dari setiap pengeluaran biaya pendidikan akan berdampak
positif dan signifikan jika digunakan untuk keperluan yang langsung berhubungan
dengan pelaksanaan PBM, seperti bahan dan alat-alat pengajaran, gaji guru,
sarana kelas, dan bangunan sekolah (Mauren Woodhal, 1970 dalam John dan
31
G. Pendekatan Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian menggambarkan sistem pembiayaan pendidikan mulai
dari analisis teoritik manajemen pembiayaan pendidikan didukung konstruk empirik
untuk menemukan model pembiayaan pendidikan yang efektif pada pemerintahan
kabupaten sebagai daerah otonom. Sistem pembiayaan pendidikan ini akan
mengungkap secara detail proses penyusunan pembiayaan pendidikan pada tingkat
pemerintah kabupaten dan satuan pendidikan, alokasi dan pendistribusian, realisasi
dan penggunaan dana pendidikan di Kabupaten Garut.
Output penelitian menemukan model dan mekanisme pembiayaan
pendidikan yang efektif dan efisien pada pemerintahan kabupaten yang mungkin
dapat dikembangkan. Akuntabilitas manajemen pembiayaan pada tiap tingkatan
hierarki pemerintahan dan satuan pendidikan akan memberi gambaran kuat apakah
mekanisme pembiayaan pendidikan tersebut dapat di kontrol dan di evaluasi,
sehingga secara terus menerus dapat memberi layanan kebutuhan pembelajaran di
sekolah dan institusi pendidikan lainnya sebagai landasan penyelenggaraan
pendidikan kabupaten yang efektif mencapai tujuan. Alur pemikiran paradigma
penelitian secara diagramatik digambarkan dalam bentuk siklus seperti diungkapkan
108
BAB III
METOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Berdasarakan fokus masalah penelitian, tujuan penelitian, subjek penelitian,
dan karakteristik data maka desain yang tepat untuk penelitian ini adalah
menggunakan analisis deskriptif pendekatan kualitatif. Karena penelitian ini ingin
mendeskripsikan formulasi dan implementasi pembiayaan pendidikan pada
pemerintahan kabupaten dimana prioritas program yang membutuhkan dukungan
anggaran, sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan pendidikan. Pendekatan
yang dapat mendeskripsikan data tersebut adalah menggunakan disain penelitian
kualitatif. Perencanaan penelitian kualitatif oleh Lincoln dan Guba (1984) adalah
skema atau program penelitian yang berisi out line apa yang harus di lakukan peneliti,
mulai dari pernyataan sebagai informasi penelitian sampai pada analisis data finalnya.
Sedangkan strukturnya oleh Lincoln dan Guba (1984) adalah lebih spesifik
lagi yang membuat skema, paradigma-paradigma variabel, yang lebih operasional
yang melihat keterkaitan beberapa domain sehingga membangun suatu skema
struktural sebagai tujuan penelitian. Dengan demikian desain penelitian ini adalah
studi kasus (case study) menggunakan pendekatan eksploratif yang bersifat
mendalam mengenai pengelolaan dan penerapan pembiayaan pada Dinas Pendidikan
Kabupaten Garut. Studi eksplorasi ini menelusuri secara cermat dokumentasi yang
berkaitan dengan pembiayaan dan wawancara yang bersifat luas dan mendalam
109
B. Strategi Penelitian
Strategi penelitian oleh Lincoln dan Guba (1984:221) lebih spesifik dari
perencanaan yang intinya adalah memberikan metode-metode yang digunakan untuk
mengurai atau menganalisis data, dengan kata lain strategi merupakan bagaimana
penelitian itu dilakukan dan bagaimana masalah-masalah itu dijawab dengan prosedur
yang ada walaupun pada hakekatnya desain penelitian kualitatif bersifat “emergent”
atau tidak dapat dimantapkan pada taraf permulaan dan baru mendapat bentuk yang
lebih jelas sepanjang penelitian itu dijalankan namun untuk kepentingan penulisan
atau pengajuan suatu proposal, maka desain penelitian harus dibuat. Sebelum
melakukan penelitian sebaiknya peneliti memahami terlebih dahulu pandangan dasar
(axioma) disain kualitatif yakni: (1) desain tidak terinci, fleksibel, timbul (emergent)
serta berkembang sambil jalan atara lain mengenai tujuan, subjek, sampel sumber
data; (2) desain sebenarnya baru diketahui dengan jelas setelah penelitian selesai
(retrospektif); (3) tidak mengemukakan hipotesis sebelumnya; hipotesis lahir sewaktu
penelitian dilakukan; hipotesis hanya berupa “hunches”, petunjuk yang bersifat
sementara dan dapat berubah, hipotesis hanya berupa pertanyaan yang mengarah
pengumpulan data; (4) hasil penelitian terbuka dan tidak diketahui sebelumnya
karena jumlah variabel tidak terbatas; (5) langkah-langkah tidak dapat dipastikan
sebelumnya serta hasil penelitian tidak dapat diketahui atau diramalkan sebelumnya;
dan (6) analisa data dilakukan sejak awal bersamaan dengan pengumpulan data
110 Oleh karena itu strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1)
orientasi teoritik dengan pendekatan fenomenologis; (2) teknik pengumpulan data
tiga tahap yaitu tahap orientasi, eksplorasi pengumpulan data, dan penelitian terfokus;
(3) wawancara komprehensif; (4) observasi peran serta; dan (5) dokumentasi tertulis
yang terkait dengan penelitian ini.
C. Objek dan Sampling Penelitian
Tidak ada pengertian populasi. Sampling dalam hal ini ialah pilihan peneliti aspek
apa dan peristiwa apa dan siapa yang dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu
karena itu pemilihan sampel dilakukan terus-menerus sepanjang penelitian. Sampling
bersifat purposif yakni tergantung pada tujuan fokus. Instrumen penelitian tidak
bersifat eksternal atau objektif, akan tetapi subjektif yaitu peneliti itu sendiri tanpa
menggunakan test, angket atau eksperimen. Instrumen dengan sendirinya tidak
berdasarkan definisi operasional. Yang dilakukan ialah menseleksi aspek-aspek yang
khas, yang berulang kali terjadi, yang berupa pola atau tema dan tema itu senantiasa
diselidiki lebih lanjut dengan cara yang lebih halus dan mendalam. Tema itu akan
merupakan petunjuk kearah pembentukan suatu teori. Analisis data bersifat terbuka,
opened-ended dan induktif. Dikatakan terbuka karena teknik sampling purpossive
(bertujuan). Jadi sampel dalam penelitian ini antara lain adalah pejabat Dinas
Pendidikan Kabupaten Garut, pejabat instansi lain yang berada di lingkungan
Pemerintah Kabupaten Garut, legislatif Kabupaten Garut, dan unsur masyarakat yang
111 Keadaan sekolah sebagai objek penelitian terlihat seperti tabel 3.1 berikut ini
dimana jumlah siswa Sekolah Dasar yang terdiri dari Negeri dan Swasta 278.045.
Madrasah sebanyak 17.665 selanjutnya SMU 33.
Tabel 3.1 Keadaan Sekolah di Kabupaten Garut
No. Jenjang
Sekolah
Sekolah Murid
Negeri Swasta Jumlah Negeri Swasta Jumlah
1. TK 1 128 129 60 4.223 4.283
Sampel penelitian dalam penelitian kualitatif menurut Faisal (1990:44)
berkaitan dengan prosedur memburu informasi sebanyak karakteristik elemen yang
berkaitan dengan apa yang ingin diketahui. Informasi yang ingin diketahui oleh
peneliti adalah sistem dan mekanisme pembiayaan pendidikan yang dikelola oleh
Pemerintah Kabupaten Garut digunakan untuk membiayai program pembelajaran dan
kegiatan sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Dalam penelitian ini
populasi-nya sekaligus sebagai informan kunci yaitu para pejabat birokrasi unit
organisasi dan jabatan fungsional pada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Dinas
Pendidikan Kabupaten Garut sebagai tempat penelitian ini.
Pejabat tersebut oleh peneliti ditetapkan sebagai informan kunci dengan
112 memahami informasi yang berkaitan dengan pembiayaan pendidikan sebagai
permasalahan penelitian ini; (2) mereka sedang berkecimpung atau terlibat dengan
kegiatan yang diteliti; (3) mereka mempunyai kesempatan atau waktu untuk dimintai
informasi; dan (4) mereka dipandang tidak memberi keterangan atas dasar
kemasannya sendiri tetapi sesuai kondisi riil dan fakta-fakta pembiayaan yang
menjadi tanggung jawabnya. Sampel responden atau penentuan informan kunci
dipilih dengan menggunakan teknik purfosive. Penarikan sampel penelitian kualitatif
menurut Miles dan Huberman (1992:47) adalah mengambil sepenggalan kecil dari
suatu keseluruhan yang lebih besar, dan penarikannya cenderung menjadi lebih
purposif dengan tujuan yang jelas dari pada acak.
Penarikan sampel tidak hanya meliputi keputusan-keputusan tentang
orang-orang mana yang akan diamati, tetapi juga mengenai latar-latar, peristiwa-peristiwa,
dan proses-proses sosial. Penetapan responden bukan ditentukan oleh pemikiran
bahwa para responden harus mewakili populasi, melainkan responden itu harus dapat
memberikan informasi yang diperlukan. Responden karena jabatannya dan karena
fungsi tugas maupun wewenangnya memahami betul pembiayaan pendidikan di
Pemerintah Kabupaten Garut mulai dari perencanaan, sumber biaya, alokasi biaya,
mekanisme, penggunaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Responden dengan
kriteria ini menjadi sumber utama perolehan data dalam penelitian ini.
Penarikan sampel seperti pada tabel 3.2 yang merupakan fokus kajian
penelitian yaitu: (1) menentukan apa yang akan diobservasi yaitu sistem pembiayaan
113 ditanyakan yaitu mekanisme penentuan dan pendistribusian anggaran pendidikan
serta kegiatan organisasi; (3) siapa yang akan diajak bicara, yaitu seluruh pejabat
Pemerintah Kabupaten Garut yang terkait dengan pembiayaan pendidikan dan Dinas
Pendidikan; dan (4) apakah akan tinggal di suatu ruangan atau ditempat lainnya,
dalam hal ini peneliti berpindah-pindah dari satu ruangan ke ruangan lainnya karena
setiap jabatan mempunyai ruang yang berbeda.
Penarikan Sampel dan Pilihan yang Diambil
No. Parameter
Penarikan Sampel
Pilihan Yang Diambil
1. Latar (Setting) Kantor, ruang kerja pejabat, dan ruang pertemuan pada kantor Bupati, Setda, Bappeda dan Dinas Pendidikan Kabupaten Garut
2. Pelaku Bupati, Ketua/Wakil Ketua DPRD, Komisi E DPRD Kabupaten Garut, Sekretaris Daerah, Asisten Sekda, Kepala Bappeda, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sub Dinas /Bidang, Kepala Seksi, Kepala Bagian Tata Usaha, Kepala Sub Bagian sebagai pejabat struktural
3. Peristiwa Pertemuan atau rapat-rapat, pelaksanaan tugas sehari-hari, kegiatan rutin, dan keputusan-keputusan yang dapat dilihat dari dokumen.
4. Proses Melaksanakan kegiatan rutin, memberi instruksi, mekanisme anggaran, membuat keputusan-keputusan, dan meningkatkan kecakapan
5. Situs (Kasus) Suatu fenomena dalam konteks terbatas yang membentuk suatu kajian kasus pelaku dalam organisasi Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Garut bertitik tolak pada fokus penelitian ini
Tabel: 3.2 Sampel Penelitian
Sampling penentuan informan kunci dalam hal ini ialah pilihan peneliti aspek
apa, peristiwa apa, dan siapa yang dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu
karena itu pemilihan sampel dilakukan terus-menerus sepanjang penelitian. Sampling
bersifat purposif rasional (logical, purposive sampling) mengacu pada tujuan dan
fokus. Instrumen penelitian tidak bersifat eksternal atau objektif, tetapi subjektif yaitu
114 dengan sendirinya tidak berdasarkan defenisi operasional, tetapi menseleksi
aspek-aspek yang khas, yang berulang kali terjadi, berupa pola atau tema, dan tema itu
senantiasa diselidiki lebih lanjut dengan cara yang lebih halus dan mendalam. Tema
itu merupakan petunjuk kearah pembentukan suatu teaori.
Analisis data dalam penelitian ini sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan
Huberman, (1992:83) yaitu bersifat terbuka, opend-ended, induktif. dikatakan terbuka
karena teknik sampling purpossive, dan verifikasi data dilakukan dengan
mengembangkan wawancara mendalam dengan informan kunci maupun pengamatan
peranserta dengan menggunakan snow bool sampling technique.
D. Instrumen Penelitian
Manusia sebagai instrumen utama dalam penelitian kualitatif, karena
dipandang lebih cermat dengan ciri-ciri yang diintrodusir oleh Nasution (1996:55-56)
sebagai berikut: (1) manusia sebagai alat yang peka dan dapat bereaksi terhadap
segala stimulan dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak
bermakna bagi peneliti; (2) manusia sebagai alat yang dapat menyesuaikan diri
terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data
sekaligus; (3) tiap situasi merupakan suatu keseluruhan; (4) suatu situasi yang
melibatkan interaksi manusia, tidak dapat difahami dengan pengetahuan semata-mata;
(5) peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh;
(6) hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data
115 untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan; dan (7) manusia
sebagai instrumen, respon yang aneh dan yang menyimpang justru diberi perhatian.
Pada penelitian ini peneliti berperan sebagai instrumen utama dalam menjaring data
dan informasi dengan menggunakan teknik observasi partisipan, dokumentasi tertulis
dan wawancara mendalam.
E. Validitas, Reliabilitas dan Objektifitas Data Penelitian
1. Validitas (credibility and transferability)
Validitas secara umum menurut Nasution, (1996) mensyaratkan agar apa yang
terjadi dalam penelitian sesuai dengan apa yang terjadi secara riil di lapangan. Seperti
halnya penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif juga harus memenuhi syarat-syarat
validitas yaitu validitas internal dan eksternal. Validitas internal yang menyangkut
kesesuaian konsep peneliti dengan konsep yang ada pada para responden. Pokok
utama dalam validitas internal kualitatif ada pada penelitinya, yaitu seberapa jauh
konsep yang ada pada para peneliti bisa sesuai dengan konsep para responden. Istilah
validitas internal dalam penelitian kualitatif disebut dengan credibility, yaitu
menyangkut kemampuan kredibilitas penelitinya. Validitas eksternal menyangkut
sejauh mana hasil penelitian tersebut dapat diterapkan oleh orang lain. Hal ini hampir
sama dengan penelitian kuantitatif yang validitas eksternalnya adalah sejauh mana
generalisasinya dapat diterapkan pada situasi lain. Oleh karena menyangkut
kemampuan hasilnya diterapkan oleh orang lain, istilah validitas eksternal dalam