DAFTAR ISI
PERNYATAAN ……….. i
ABSTRAK ……… ii
KATA PENGANTAR ………. iv
UCAPAN TERIMA KASIH ……….. v
DAFTAR ISI ……… xi
DAFTAR TABEL ……… xiv
DAFTAR GAMBAR ……….. xv
DAFTAR LAMPIRAN ……… xvi
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
A. Lalar Belakang Masalah ………. 1
B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah ……….. 17
C. Tujuan Penelitian ……… 19
D. Manfaat Penelitian ………. 20
E. Struktur Organisasi Disertasi ……….. 22
BAB II TINJAUAN TEORETIS ……… 23
A. Dimensi-Dimensi Karakter dan Pendidikan Karakter ………..… 23
B. Pengembangan Nilai-Nilai Dasar Pendidikan Karakter Bangsa ……… 39
D. Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah ……….. 61
E. Hakikat Karakter Menurut Perpektif Pendidikan Umum/Nilai ……….. 87
F. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu ………. 110
BAB III METODE PENELITIAN ……… 121
A. Pendekatan dan Metode Penelitian ………. 121
B. Sumber Data ………. 124
C. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data ………. 125
D. Subjek dan Lokasi Penelitian ………. 127
E. Pengolahan Data ……… 139
F. Validasi Data ……….. 131
G. Etika Penelitian ……….. 132
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 133
A. Hasil Penelitian ……….………. 133
1. Gambaran Umum SMA Labschool Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ……… 133
2. Pola Pengembangan Pendidikan Karakter dalam Keseharian di Labschool Unsyiah ……… 151
3. Pendidikan Karakter Sebagai Prioritas ……… 168
6. Faktor Penunjang dan Kendala ………. 194
B. Pembahasan ……… 200
1. Prinsip Dasar ………. 200
2. Refleksi Pendidikan Karakter di Labschool Unsyiah ………. 211
3. Pendekatan-Pendekatan Pendidikan Karakter ………. 215
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 220
A. Kesimpulan Umum ……… 220
B. Kesimpulan Khusus ………. 223
C. Rekomendasi ………. 224
DAFTAR PUSTAKA .………. 228
LAMPIRAN ……….,,,,,,, 237
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Format Umum Sistem Fullday di Labcshool Unsyiah ……… 142
Tabel 4.2. Sinopsis Pola-Pola Pengembangan Pendidikan Karakter Disiplin
di Labschool Unsyiah ……….. 171
Tabel 4.3. Sinopsis Pola-Pola Pengembangan Pendidikan Karakter Bersih,
Rapi, dan Indah di Labschool Unsyiah ……… 173
Tabel 4.4. Sinopsis Praktik Kerjasama di Sekolah ………. 175
Tabel 4.5. Sinopsis Praktik Persahabatan Siswa-Guru di Sekolah ……….. 177
Tabel 4.6. Sinopsis Praktik Rasa Hormat dan Santun di Sekolah ………… 179
Tabel 4.7. Sinopsis Praktik Karakter Rajin, Kreatif, Inovatif dan Visioner … 182
Tabel 4.8. Sinopsis Praktik Peduli Lingkungan di Dalam dan di Luar Sekolah 184
Tabel 4.9. Sinopsis Praktik Nilai-Nilai Keagamaan dalam Lingkup dan di
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Komponen-Komponen Moral ……… 33
Gambar 2.2. Alur Pikir Pembangunan Karakter Bangsa ……….. 53
Gambar 2.3. Konfigurasi Karakter dalam Konteks Totalitas Proses
Psikososial-Kultural ……… 54
Gambar 2.4. Pendidikan Karakter dalam Tatanan Makro ……… 57
Gambar 2.5. Sinergitas Pendidikan Pada Tatanan Mikro di Sekolah ……. 70
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pokok-Pokok Pikiran sebagai Rekomendasi untuk
Pengembangan Pendidikan Karakter di Labschool Unsyiah ……. 238
Lampiran 2 Kisi-Kisi Penelitian ……….. 246
Lampiran 3 Pedoman Wawancara ……… 248
Lampiran 4 Pedoman Observasi Lapangan ………. 251
Lampiran 5 Sampel Catatan Lapangan (Field-Notes) ……… 253
Lampiran 6 Profil SMA Labschool Unsyiah ………. 257
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Pendidikan Karakter Sebagai Sebuah Keniscayaan
Dalam rangka membangun kualitas sumber daya manusia dan
memperjuangkan eksistensi peradaban bangsa yang kokoh di tengah-tengah arus
globalisasi yang melanda semua aspek kehidupan sekarang ini, pemerintah
Indonesia melalui Kemendiknas telah menggagas pentingnya membangun
pendidikan karakter bangsa. Sebagaimana ditegaskan oleh Mendiknas Muh. Nuh
pada perayaan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010, pendidikan karakter adalah
kunci untuk mengatasi segala permasalahan yang melanda bangsa Indonesia saat
ini. Apakah pendidikan karakter itu? Mengapa ia demikian penting dan
alasan-alasan apa sehingga isu ini telah diangkat sebagai topik penelitian disertasi ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pelecut bagi penulis untuk melakukan
penelitian ini.
Ide pendidikan karakter telah lama mengakar dalam sejarah. Akan tetapi ia
pernah sirna dan dicetuskan kembali di zaman modern ini oleh ahli pendidikan
Jerman Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter yang menekankan pada
dimensi nilai-moral dalam proses pembentukan pribadi merupakan reaksi atas
kelemahan pengaruh filsafat natural rousseauian dan paedagogi instrumentalisme
deweyan (Foerster dalam Koesoema, 2007:42).
Pengaruh filsafat Fragmatisme dan filsafat pendidikan Progresivisme
ke-19 dirasakan semakin tidak memadai lagi bagi sebuah formasi intelektual,
sosial dan kultural. Reaksi anti-positivistik dan anti naturalistik dalam konteks
pendidikan yang berkembang di Eropa pada awal abad ke-19 merupakan suatu
gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, dan
bergerak dari formasi personal yang lebih didominasi pendekatan
psiokologis-sosial menuju sebuah cita-cita humanisme yang bermuatan dengan dimensi
kultural dan religius (Foerster dalam Koesoema, 2007:42).
Munculnya gerakan pendidikan karakter dapat merupakan sebuah upaya
untuk menghidupkan kembali peadagogi ideal-spiritual yang sempat hilang
diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Perancis Auguste
Comte. Foerster menolak gagasan yang meredusir pengalaman manusia hanya
pada kepentingan sekedar bentuk murni hidup alamiah. Dalam sejarah
perkembangannya, manusia hanya tunduk pada hukum alami semata, sementara
kekebasan yang dimiliki oleh manusia yang memungkinkan dia menghayati
kebebasan dan pertumbuhannya telah diabaikan. Menurut Foerster, manusia tidak
semata-mata taat pada tata aturan alamiah, sementara kebebasannya sebagai
manusia makhluk yang bernilai-moral terabaikan. Pedoman nilai inilah yang
menjadi ukuran untuk menentukan kualitas tindakan manusia di dunia. Pandangan
Foerter tentang kemunduran nilai dalam praktik pendidikan, di kemudian hari
banyak juga diulas oleh pengamat sosial dan ahli kependidikan lainnya seperti
Fitjof Capra, (1999) dalam bukunya “Titik Balik Peradaban”.
Tujuan pendidikan yang utama, menurut Foerster senyatanya adalah untuk
sebagai subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter
adalah kualitas sesuatu yang mencirikan seorang pribadi, yang memberikan
kesatuan dan kekuatan atas keputusan diambilnya (Foerster dalam Adisusilo,
2012). Dengan kata lain, karakter menjadi semacam ciri identitas seseorang yang
mengatasi pengalaman kehidupannya yang selalu berubah. Berdasarkan tingkat
kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi ditentukan. Kekuatan karakter
seseorang dalam pandangan Foerster tampak dalam empat aspek fundamental
yang mesti dimiliki, yaitu “keteraturan interior, koherensi, otonomi, keteguhan
dan kesetiaan” (Foerster dalam Adisusilo, 2012: 77). Keempat aspek tersebut,
secara singkat, dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, keteraturan interior. Melalui kualitas ini setiap tindakan manusia
diukur berdasarkan hierarkis nilai. Karakter yang terbentuk dengan baik tidak
mengenal konflik, melainkan selalu merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan
untuk berubah dari tidak teratur menjadi teratur secara nilai. Kedua, koherensi,
yakni kualitas keberanian pada seseorang yang dapat mengakarkan diri pada
integritas kepribadiannya, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing
dalam dinamika kehidupan. Aspek koherensi ini merupakan dasar yang
membangun rasa saling percaya satu sama lain. Sebaliknya jika tidak adanya
koherensi akan dapat meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonom, yaitu kualitas kemampuan seseorang untuk
menginternalisasikan nilai dan norma dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi
pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan, kualitas ini merupakan daya tahan
seseorang untuk komitmen pada apa yang dipandang baik dan kesetiaaan
Gagasan Foerter yang pertama kali dihembuskan di Jerman ini mendapat
perhatian luas di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Pada saat
itu di Benua Amerika dan Eropa masyarakat telah menjadi sangat gelisah akibat
arus kehidupan modern yang penuh dengan dekadensi moral dan pendidikan telah
kehilangan ruhnya yakni telah mengabaikan aspek nilai karakter. Terdapat
sejumlah pendidik di Amerika Serikat yang telah memberikan perhatian yang
sangat serius terhadap masalah karakter ini, diantaranya Lickona (1992) dan
Borba (2001).
Bagi bangsa Indonesia, pendidikan karakter sebenarnya bukanlah hal baru
dalam tradisi sejarah dan praktik pendidikan di tanah air (Budimansyah, 2011;
Gunawan, 2012; Kemendiknas, 2010). Dalam sejarah perjuangan bangsa,
sejumlah the founding nation, dan pendidik nasional, seperti Soekarno,
Muhammad Hatta, Budi Utomo, R.A. Kartini, Ki Hajar Dewantara, Moh. Natsir,
Moh. Syafe’I dan lain-lain telah mencoba menerapkan semangat pendidikan
karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan
konteks dan situasi yang mereka alami sejak masa pra kemerdekaan.
Membentuk wajah bangsa yang berkarakter merupakan keprihatinan
pokok para cendekiawan kita saat itu. Mereka semua telah menggagas perlunya
sebuah bangsa yang memiliki identitas yang bermartabat. Sejarah menunjukkan,
bangsa ini terbentuk bukan hanya karena praksis perjuangan melawan penjajah
yang tersebar secara merata di seluruh tanah air. Akan tetapi, kemerdekaan kita
pada dasarnya berawal dari sebuah ide dan gagasan. Ide dan gagasan ini dimulai
Keinginan menjadi bangsa yang berkarakter sebagaimana yang
dikehendaki oleh para pejuang kemerdekaan, nilai-nilai filosofisnya tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea kedua, “…….mengantarkan rakyat Indonesia
ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur”. Para pendiri bangsa sejak dulu telah menyadari,
hanya dengan pembangunan karakter (jiwa) lah bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang bermartarbat dan dihormati oleh bangsa-bangsa lainnya.
Dengan demikian, apabila dirunut pada sejarah, jelas bahwa pendidikan
karakter atau watak merupakan ruh dari semangat kebangsaan. Semangat untuk
menjadi bangsa yang berkarakter ditegaskan oleh Soekarno dengan
mencanangkan nation and character building sebagai falsafah bangsa yang
tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila (Kemendiknas, 2010). Soekarno dan
para pendiri bangsa lainnya sejak awal telah meletakkan dasar, bahwa
pembangunan bangsa Indonesia harus dimulai dari karakternya.
Pada masa Orde Baru keinginan untuk memupuk karakter bangsa untuk
menjadi bangsa yang bermartabat juga tidak pernah surut (Kemendiknas, 2010:
1). Pada masa itu, di bawah kepemimpinan Soeharto, pembangunan karakter
bangsa melalui Pendidikan Pancasila sangat gencar dilakukan. Secara filosofis
Pendidikan Pancasila, yang juga melalui penataran P-4 (Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila) ditujukan untuk memperkuat karakter kebangsaan,
sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dalam ke-bhinnika tunggal
ika-an. Akan tetapi, secara praktis Pendidikan Pancasila mengalami kegagalan
Pada masa reformasi keinginan untuk mengoreksi keterpurukan bangsa
juga menaruh harapan yang besar bagi upaya pendidikan karakter. Pada masa
euphoria politik ini, dimana-mana rakyat mengumandangkan perlunya perbaikan
karakter bangsa dengan jargon anti KKN (Korupsi, Kulosi dan Nepotisme).
Namun sayangnya, masa reformasi juga ditandai oleh berbagai fenomena
degradasi karakter bangsa. Harapan akan munculnya jiwa kebangsaaan dan
kehidupan demokrasi yang lebih baik, tetapi yang muncul malah sebaliknya.
Konflik horizontal dan vertikal yang ditandai dengan maraknya perilaku
kekerasan, anarkisme dan kerusuhan terjadi hampir di seluruh bumi nusantara.
Seiring dengan itu, dibukanya kran politik desentralisasi telah menyebabkan
munculnya fenomena kedaerahan, primordialisme, bahkan separatisme yang dapat
mengancam integrasi bangsa (Budimansyah, 2010; Gunawan, 2012;
Kemendiknas, 2010).
Kondisi morosotnya karakter yang menyebabkan keterpurukan bangsa
sebagaimana dijelaskan di atas merupakan sebuah tantangan eksistensi bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, semua komponen bangsa yang terdidik merasa
terpanggil untuk memperbaiki kondisi objektif ini. Berdasarkan atas keprihatinan
bangsa ini, Presiden Republik Indonesia Susilo B. Yudhoyono memandang
perlunya membangun karakter bangsa dengan pernyataan:
(Petikan Pidato Presiden Republik Indonesia pada peringatan Dharma Shanti Hari Nyepi, 2010).
Dengan demikian, secara filosofis, historis, sosiologis, psikologis, yuridis
formal dan akademis pendidikan merupakan suatu keharusan. Pendidikan karakter
sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah ada sejak adanya
pendidikan itu sendiri. Persoalaannya sekarang adalah bukan ada atau tidak ada
pendidikan karakter dalam realitas kehidupan dan dalam dunia pendidikan, tetapi
intinya yaitu bagaimana nuansa pendidikan karakter perlu ditumbuhkembangkan
kembali secara holistik pada semua tataran kehidupan, baik tataran makro secara
nasional, maupun pada tataran mikro di dalam keluarga, lingkup masyarakat dan
sekolah-sekolah.
2. Masalah-masalah karakter bangsa di Indonesia
Masalah kemerosotan karakter yang melanda bangsa-bangsa di dunia,
termasuk bangsa Indonesia sekarang ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi
dunia (Lickcona, 1992; Gray, 2009; Budimansyah, 2010; Kemendiknas, 2010;
Wening, 2012). Sebagaimana diketahui bahwa era globalisasi yang dipicu oleh
perkembangan ilmu dan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi,
disamping telah membawa umat manusia kepada kemajuan mataerial, ia juga
telah memunculkan dampak negatif yang sulit di hindari (Borba, 2001; Sauri,
2010; Budimansyah, 2011, Wiyani, 2012).
Terkait dengan efek negatif globalisasi yang melanda masyarakat dunia
sekarang ini, Lickona (1992) memperingatkan akan munculnya sepuluh
menurut Lickona itu adalah (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2)
penggunaan bahasa yang buruk, (3) pengaruh peer group yang jelek, (4)
meningkatnya perilaku merusak diri, seperti narkoba dan sek bebas, (5) kaburnya
etika dan moral, (6) menurunnya etos kerja, (7) memudarnya rasa hormat kepada
orang tua, (8) rendahnya tanggungjawab pribadi, (9) meluasnya praktik
ketidakjujuran, dan (10) menaburnya rasa curiga dan kebencian dalam
masyarakat.
Sejalan dengan kekhawatiran Lickona, Borba (2008) juga mengutarakan
sejumlah perilaku masyarakat global, terutama di Amerika Serikat, yang
disaksikan oleh anak-anak dan merasuk jiwa mereka. Tindak kekerasan,
pornografi, penggunaan obat terlarang, permusuhan, dan penggunaan senjata
ilegal merupakan serentetan gejala negatif yang sangat mengkhawatirkan.
Anak-anak (Amerika) selain melihat secara langsung perilaku buruk itu, juga tambah
diperburuk oleh informasi media massa yang tiap hari menyajikan tayangan yang
negatif. Lebih buruk lagi, demikian Borba, masyarakat dan orang tua membiarkan
hal itu terjadi dengan kurang mengontrol anak-anak karena mereka disibukkan
oleh pekerjaannya.
Tanda-tanda kemorosotan moral yang disinyalir oleh Lickona dan Borba
itu bukan saja terjadi dalam masyarakat Amerika Serikat, tetapi juga menjadi
penyakit dunia karena dapat terjadi dimana-mana. Di Indonesia fenomena
keruntuhan moral merupakan suatu keprihatinan kolektif. Raka (2011: 10)
menyebutkan ada enam perilaku dalam masyarakat Indonesia saat ini, yaitu (1)
kurangnya disiplin bangsa, (4) sulit mengakui perbedaan, (5) kurangnya rasa
kritis, dan (6) munafik, tidak sesuainya ucapan dengan kelakuan.
Menurut Wiyani (2012) masalah berat yang dihadapi bangsa Indonesia
saat ini antara lain: kemiskinan dan kebodohan, konflik SARA karena efek
kemajemukan, pengaruh media massa yang buruk, terutama siaran-siaran
a-moral di televisi, praktik korupsi dalam berbagai bentuk, dan kerusakan alam
akibat tidak adanya kesadaran akan lingkungan. Sedangkan Supriatna
(http://www.google.co.id/search?q=masalah+ karakter+bangsa) menunjukkan
sejumlah ciri perilaku manusia Indonesia, antara lain: lemahnya etos kerja, tidak
mandiri, primordial, konsumtif bukannya produktif, kurang jiwa wirausaha,
irrasional dan masih percaya pada tahyul.
Merosotnya perilaku karakter kebangsaan bukan saja terjadi pada
masyarakat awam yang pada umumnya kurang terdidik, akan tetapi ironisnya,
justru banyak pula terjadi pada mereka yang telah memperoleh gelar pendidikan,
maupun juga perilaku peserta didik yang masih sedang berada di lembaga
pendidikan. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dipertontonkan oleh media
massa dengan berbagai kelakuan buruk seperti kekerasan, pembunuhan,
anarkisme, dan sebagainya.
Fenomena kemorosotan moral pada peserta didik dan mahasiswa sangat
mudah juga dijumpai di mana-mana, meskipun tidak semua. Ada berbagai
fenomena perilaku buruk yang sering muncul pada anak-anak yang sedang
berpendidikan sekarang ini (Fitri, 2011; Aqib, 2011; Kemendiknas, 2010; Wiyani,
memakai narkoba pada sebagian pelajar, perilaku seks bebas, rendahnya etos
belajar, perilaku hendonisme dan konsumtif, kurangnya disiplin dan rasa hormat
serta kesantunan, pudarnya rasa nasionalisme, dan yang paling memalukan adalah
merebaknya kebiasaan plagiarisme dan mencontek waktu ujian.
Di daerah Aceh, perilaku kemunduran moral di kalangan pelajar dan
mahasiswa juga sudah mengkhawatirkan. Ada kasus kelakuan siswa/mahasiswa
yang dimuat di media massa yang merupakan pelanggaran hukum dan asusila
(Waspada Online, 23 Desember 2009). Selain itu, banyak sekali perilaku
menyimpang di kalangan siswa yang tidak terangkat ke permukaan. Hasil
pengamatan penulis misalnya, banyak pelajar/mahasiswa Aceh sekarang ini yang
terjerumus pada perilaku kemunduran moral. Salah satu fenomena yang sangat
mencemaskan saat ini adalah banyaknya pelajar/mahasiswa yang duduk
nongkrong di Cafee (Kedai Kopi) baik pada waktu senggang maupun waktu
belajar. Sementara itu, ada juga pelajar/mahasiswa Aceh yang terlibat dalam
tawuran, kekerasan, premanisme, geng motor, perilaku asulisa, pemakai narkoba,
malah ada yang tergiring kepada ajaran-ajaran sesat. Semua itu memang tidak
terdata karena terjadi secara sporadis dan spontanitas. Akan tetapi, jika itu
dibiarkan tanpa ada upaya pendidikan karakter secara holistik, maka masa depan
generasi muda Aceh, sebahagiannya, akan sangat suram.
3. Harapan dan Kenyataan
Pendidikan karakter sudah sejak lama ada dalam dunia pendidikan di
sebagai pendidikan karakter, akan tetapi program-program pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan agama atau program
pengembangan diri sesungguhnya merupakan pendidikan karakter atau seukuran.
Tidak perlu dipertentangkan lagi, pendidikan nilaikarakter merupakan tugas utama
pendidikan di sekolah. Secara yuridis formal, Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional tahun 2003 Pasal 3 telah menegaskan, “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta perdaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Amanah
pendidikan nasional itu sangat esensial meletakkan pendidikan karakter sebagai
“ruh” dari semua pelaksanaan pendidikan, termasuk pendidikan formal di sekolah.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang
Pengolaan Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 17 Ayat (3) menyebutkan
bahwa pendidikan dasar, termasuk juga pendidikan menengah (SMP/SMU)
bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang: (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, (b)
berakhlak mulia dan berkepribadian luhur, (c) berilmu, cakap, kritis, kreatif dan
inovatif, (d) sehat, mandiri, toleran, memiliki kepekaan sosial, demokratis dan
bertanggungjawab. Berdasarkan kedua dasar yuridis formal pendidikan itu,
menjadi jelas bahwa pendidikan karakter sangat penting untuk diutamakan pada
setiap jenis dan jenjang pendidikan, termasuk di sekolah menengah atas (SMA).
Bennett (1991) menegaskan, sekolah mempunyai peran yang amat penting
dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan
kehidupan anak-anak di Amerika yang sebahagian besarnya menghabiskan cukup
banyak waktu di sekolah. Sehingga apa yang terekam dalam memori anak-anak di
sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.
Pendidikan karakter bukan hanya amanah undang-undang dan anjuran
pemerintah, tetapi juga tuntunan agama. Setiap agama di dunia pasti mengajarkan
nilai-nilai luhur karakter kepada pemeluk agama masing-masing. Dalam ajaran
Islam, karakter adalah kata lain dari kata “ahklak” yang begitu mendapat tempat
yang tinggi dalam pendidikan dan dakwah Islam. Aspek pendidikan akhlak dalam
Islam sama pentingnya dengan akidah dan syariah. Bahkan, kehadiran Rosulullah
Muhammad SAW di bumi, sebagaimana ditegaskan berulang kali dalam ajaran
Islam, tugasnya yang paling utama adalah untuk memperbaiki akhlak umat
manusia.
Dengan demikian, sesungguhnya kita tidak pernah berhenti
menyelenggarakan pendidikan karakter, khususnya di lembaga-lembaga
pendidikan formal. Akan tetapi, mengapa program-program pendidikan karakter
yang selama ini dilakukan seperti tidak memberikan dampak positif yang berarti
bagi pembangunan dan pengembangan karakter anak-anak bangsa? Keprihatinan
ini seperti sering diungkapkan oleh masyarakat dalam berbagai kesempatan.
Menurut hemat penulis, masih banyak ditemukan adanya persoalan
pendidikan karakter yang krusial dan mendasar, baik di lembaga pendidikan
sekolah, lembaga pendidikan rumah maupun lingkungan pendidikan masyarakat.
Pada lingkungan sekolah, pendidikan karakter sebagaimana yang kita saksikan
pengajarannya lebih dipercayakan pada beberapa bidang studi tertentu, seperti
Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Tentu saja kondisi seperti
ini dalam berbagai bentuk dan variasinya perlu diperbaiki, sehingga tujuan dan
proses pendidikan nilai karakter atau apapun namanya dapat dilaksanakan secara
lebih sempurna dan hasilnya lebih optimal.
Kondisi pendidikan karakter di sekolah-sekolah Aceh menurut
pemantauan penulis juga demikian halnya, dalam arti masih banyak mengandung
kelemahan. Hasil pengamatan dan wawancara penulis dengan sejumlah guru di
Banda Aceh, pada umumnya mereka mengatakan bahwa secara teoretik cukup
memahami pentingnya pendidikan karakter, tetapi secara praktik sangat susah
dilaksanakan. Menurut para guru, pendidikan karakter merupakan sesuatu yang
“abstrak”, tidak jelas substansinya seperti halnya materi pelajaran bidang studi
yang urutan materi dan lingkupnya ada dalam kurikulum. Sedangkan pendidikan
karakter tidak demikian halnya, demikian pengakuan para guru di sekitar Banda
Aceh. Kondisi pendidikan karakter di sekolah Aceh seperti yang penulis amati
tersebut sejalan juga dengan hasil studi yang dilakukan Wardani (1994) di
beberapa provinsi lainnya, dimana ia menyimpulkan bahwa aktivitas belajar
mengajar di sekolah kurang memperhatikan aspek sikap dan keterampilan anak.
Lemahnya pendidikan karakter juga terjadi pada lingkungan pendidikan
informal dan non-formal, yaitu pendidikan dalam keluarga dan pendidikan dalam
masyarakat. Suasana dan pendidikan dalam rumah tangga telah mengalami
pergeseran nilai. Ada banyak faktor yang menyebabkan terpuruknya pendidikan
edukatif orang tua mendorong mereka untuk memperlakukan anak semaunya.
Pada sisi lain himpitan tekanan sosial dan ekonomi yang menimpa banyak
keluarga menambah semakin tidak karuannya perlakuan orang tua terhadap anak.
Pada akhirnya rumah pun tidak lagi menjadi lahan yang subur bagi perkembangan
karakter anak yang baik, malah sebaliknya, rumah menjadi pembinaan karakter
anak yang negatif, seperti munculnya sikap keras dan membangkang pada anak.
Lebih rumit lagi kondisi kehidupan masyarakat yang carut-marut semakin
menambah persoalan dalam pendidikan karakter anak. Tindak kekerasan, perilaku
anarkis, pornografi dan berbagai tindakan amoral lainnya yang hampir setiap saat
berada pada pandangan mata dan pendengaran telinga anak semakin memperkuat
inkonsistensi-inkonsistensi pada pemikiran anak yang dapat menghambat
terbentuknya karakter yang baik pada anak. Pemerintah pun tampak seolah-olah
tak berdaya, membiarkan dan galau dalam menyikapi situasi-situasi tidak
kondusif tersebut.
Singkatnya, persoalan pendidikan karakter yang dihadapi sekarang sudah
sangat krusial dan menyeluruh sehingga perlu perombakan dalam strategi
penyelenggaraannya secara menyeluruh pula. Upaya untuk menggalakkan
pendidikan karakter sebagaimana ditegaskan oleh Mendiknas adalah sebuah tugas
bangsa, ia bukan tugas orang per orang saja, atau tugas kelembagaan atau tugas
komponen masyarakat tertentu saja, melainkan ia adalah tugas semua. Dengan
demikian, tidak harus dipertentangkan dimana saja pendidikan karakter itu
orang dan setiap lembaga memberikan kontribusi yang terbaik bagi upaya
pendidikan karakter anak bangsa.
Dalam konteks sekolah, pendidikan karakter, sebagaimana juga
pendidikan agama, yang dipraktikkan di sekolah-sekolah selama ini efeknya
masih jauh dari harapan (Raka, 2011; Saptono, 2011; Budimansyah, 2010).
Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama
misalnya, tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama,
sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya
disampaikan. Dilihat dari sisi metode pengajaran, tampaknya juga terjadi
kelemahan karena metode yang digunakan hanya difokuskan pada pendekatan
otak kiri/kognitif, yaitu hanya mengarahkan peserta didik untuk mengetahui dan
menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan,
emosi dan nuraninya. Selain itu, terdapat tanda-tanda bahwa belum dilakukan
dengan baik praktik perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia
dalam kehidupan di sekolah (Budimansyah, 2011; Sauri, 2010). Dalam praktik
Pendidikan Pancasila misalnya, banyak kesalahan metodologis yang mendasar
dalam pengajaran moral bagi peserta didik (Suyanto, 2011, Akbar, 2011). Oleh
karena pada waktu yang lalu, Pendidikan Pancasila telah disalahgunakan
terus-menerus sebagai metode indoktrinasi, sekarang orang menjadi enggan menyebut
dan membicarakannya lagi. Kandungan luhur nilai-nilai Pancasila tidak lagi
dirasakan memiliki relevansi dengan kehidupan nyata. Bahkan tiap hari
masyarakat dipertonton oleh media dengan berbagai peristiwa yang bertentangan
kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang terjadi pada anak
di luar sekolah.
Padahal, jika pendidikan karakter ingin menjiwai proses pembentukan
setiap anak muda, kesadaran bahwa Pancasila sebagai kepribadian bangsa yang
mempersatukan seluruh bangsa mesti dipahami sebagai hal yang sentral dalam
pendidikan karakter. Pancasila adalah pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia,
pandangan hidup yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat, menjelang dan sesudah
proklamasi kemerdekaan kita, Pancasila adalah pemerkaya kepribadian bangsa,
dan oleh sebab itu, Pancasila merupakan satu-satunya falsafah perekat yang dapat
mempersatukan berbagai wujud pluralitas kebangsaan.
Dengan demikian, peran sekolah dan orang tua serta pendidikan agama
untuk membentuk karakter anak (akhlak) menjadi sangat penting, karena melalui
peran orang tua dan guru pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai
kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orang tua dan
keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi
sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung
kognisi, afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan praktiknya sekaligus dalam bentuk
amalan kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat hal
yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. Permasalahan itu adalah: (1) secara
teoretis-normatif pendidikan karakter di Indonesia adalah suatu keharusan dan
telah menjadi gerakan pendidikan nasional, (2) terdapat banyak fenomena yang
dan anak-anak di Aceh, (3) pendidikan adalah salah satu wahana untuk
memperbaiki karakter anak bangsa, (4) sekolah adalah salah satu pilar, bersama
dua pilar lainnya yaitu rumah tangga dan masyarakat yang harus mengemban
tugas mendidik karakter. Untuk mengetahui seberapa jauh sebuah sekolah telah
melaksanakan fungsi pendidikan karakter ini, maka penelitian itu diadakan pada
SMA Labschool Universitas Syiah Kuala.
B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah
1. Fokus Penelitian
Penelitian ini memfokuskan perhatia pada tiga upaya pendidikan karakter,
yakni sebagai berikut: Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain
ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di
dalam kelas. Konteks pendidikan karakter merupakan proses relasional komunitas
kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog,
melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan
siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan
pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini,
termasuk di dalamnya pula adalah ranah non-instruksional, seperti manajemen
kelas, publikasi kelas dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar
yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini
mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak
terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai, misalnya disiplin,
kerjasama, tanggung jawab dan sebagainya, hal itu tidak cukup hanya dengan
memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini harus
diperkuat dengan penciptaan kultur sekolah melalui pembuatan tata peraturan
sekolah yang tegas dan dilaksanakan secara konsisten melalui intervensi, habituasi
dan keteladanan.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik,
komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga
pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum dan negara, juga memiliki
tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam
konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan
hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang
setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak
menghargai makna tatanan sosial bersama.
2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian seperti dikemukakan di
atas, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah pola
pendidikan karakter melalui sistem “Fullday School” di SMA Lab-School
Universitas Syiah Kuala?
Agar masalah penelitian ini lebih terinci, berikut dirumuskan dalam
a. Bagaimana pola pengembangan pendidikan karakter dalam keseharian di
Labschool Universitas Syiah Kuala?
b. Apa yang menjadi prioritas pendidikan karakter yang dilakukan Labschool
Universitas Syiah Kuala?
c. Bagaimana wawasan dan kompetensi guru yang membina pendidikan karakter
di Labschool Universitas Syiah Kuala?
d. Indikator-indikator apa saja yang menunjukkan keberhasilan pendidikan
karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala?
e. Adakah faktor penunjang dan kendala dalam penyelenggaraan pendidikan
karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pendidikan
karakter berdasarkan sistem “Fullday School” yang dikembangkan di sekolah
di SMA Labschool Unsyiah Banda Aceh. Pola pendidikan karakter itu dilihat
secara holistik dan terintegrasi dalam tiga aspek, yaitu aspek olah pikir (moral
knowing), olah rasa (moral feeling), olah raga dan olah aksi (moral acting).
2. Tujuan khusus.
a. Untuk mengetahui pola pengembangan pendidikan karakter dalam keseharian
b. Untuk mengetahui prioritas pendidikan karakter yang dilakukan Labschool
Universitas Syiah Kuala.
c. Untuk mengetahui wawasan dan kompetensi guru yang membina pendidikan
karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala.
d. Untuk mengetahui indikator-indikator keberhasilan pendidikan karakter di
Labschool Universitas Syiah Kuala.
e. Untuk mengetahui faktor penunjang dan kendala dalam penyelenggaraan
pendidikan karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Toeretis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan pendidikan
karakter dalam membina dan mengarahkan perserta didik secara holistik pada
sekolah bersistem fullday school, sehingga dapat menciptakan bukan hanya
karakter peserta didik melainkan karakter para guru yang menjadi pendidik dalam
menyampaikan pendidikan karakter itu sendiri. Dengan demikian, hasil penelitian
ini dapat memperkaya khasanah teoretik pendidikan karakter yang terfokus pada
pendidikan karakter di persekolahan formal. Selain itu, bagi Jurusan Pendidikan
Umum yang bergerak di bidang pengembangan nilai, hasil penelitian ini akan
semakin memperkaya literature kajian pendidikan karakter dan nilai-nilai budaya
2. Manfaat Praktis
Hasil-hasil penelitian ini dapat berguna:
a. Bagi peneliti, penelitian ini berguna sebagai bahan untuk menembangkan
pendidikan karakter dalam sekolah yang menggunakan sistem fullday school,
sehingga tercipta sekolah yang mampu mengembangkan pendidikan karakter
yang sesuai dengan lingkungan budaya sekolah tersebut.
b. Bagi sekolah-sekolah, hasil penelitian ini berguna terutama dalam upaya
menciptakan kebijakan sekolah sebagai sarana interventif dalam mengarahkan
kegiatan persekolahan agar terus mengandung nilai-nilai karakter.
c. Khususnya bagi Labschool Unsyiah, berbadasarkan temuan penelitian dan
diperkaya dengan tinjauan teoritis, telah disusun pokok-pokok pikiran sebagai
rekomendasi untuk pengembangan pendidikan di masa yang akan datang.
Butir-butir rekomendasi itu terdapat dalam Lampiran 1.
d. Bagi siswa, hasil penelitan ini berguna agar setiap program yang
dikembangkan sekolah senantiasa diikuti dan ditaati dalam rangka
pengembangan karakter yang terdapat pada siswa itu sendiri.
e. Bagi peneliti lain, penelitian ini berguna sebagai bahan kajian lebih lanjut
dengan jenis sekolah yang berbeda agar dapat dipersamakan dan
diperbandingkan agar memperkaya khasanah keilmuan khususnya mengenai
karakter-karakter dengan jenis sekolah yang berbeda.
f. Bagi pengambil keputusan/kebijakan pendidikan. Hasil penelitian ini dapat
menjadi masukan bagi pengambil kebijakan pendidikan dalam lingkup
tingkat satuan pendidikan untuk umpan balik (feedback) pengembangan
pendidikan karakter. Praktik-praktik terbaik (good practice) pendidikan
karakter di Labschool Unsyiah diharapkan menjadi bahan rujukan untuk
pengembangan model pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Sedangkan
hal-hal yang masih lemah diharapkan ada upaya perbaikan dari jajaran
Kemendiknas.
E. Struktur Organisasi Disertasi
Naskah Disertasi terdiri dari lima (5) Bab I Pendahuluan, menyajikan latar
belakang masalah, fokus dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian dan struktur organisasi penulisan.
Bab II merupakan kajian kepustakaan tentang urgensi pendidikan karakter.
Membahas tentang, pengertian karakter dan pendidikan karakter, karakteristik
sistem fullday, grand disain pendidikan karakter, strategi pendidikan karakter di
sekolah, pendidikan karakter dalam konteks pendidikan umum dan kajian studi
terdahulu.
Bab III merupakan penjelasan metodologis. Membahas tentang
pendekatan penelitian, lokasi dan subyek penelitian, teknik pengumpulan data,
teknik penafsiran data, prosedur validasi dan etika penelitian.
Bab IV merupakan sajian hasil-hasil penelitian dan pembahasan.
Sedangkan Bab V merupakan bab penutup, yang terdiri atas kesimpulan umum,
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, di mana masalah yang
diteliti berupa kajian deskriptif analitik yang bersifat fenomenologis-interpretatif.
Pada prinsipnya kajian fenomenologis-interpretatif dalam penelitian kualitatif
merupakan ukuran-ukuran untuk memilih masalah-masalah dan data-data yang
berkaitan satu sama lainnya.
Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini berimplikasi
pada penggunaan fenomena kualitatif yang mekanismenya secara konsisten
dilakukan dari mulai pengolahan data sampai dengan membuat kesimpulan tidak
menggunakan perhitungan ataupun pengolahan secara matematis dan statistik,
melainkan lebih menekankan pada kajian interpretative atau analisis deskriptif.
Lebih tegas Creswell (1998:15) mendefinisikan penelitian kualitatif
sebagai berikut:
Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.
Kutipan di atas memberikan pemahaman bahwa penelitian kualitatif
adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi
penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti
melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan
penelitian dalam situasi alamiah. Karakteristik pokok yang menjadi perhatian
dalam penelitian kualitatif adalah kepedulian terhadap ”makna”. Dalam hal ini
penelitian naturalistik tidak peduli terhadap persamaan dari objek penelitian
melainkan sebaliknya mengungkap tentang pandangan tentang kehidupan dari
orang yang berbeda-beda. Pemikiran ini didasari pula oleh kenyataan bahwa
makna yang ada dalam setiap orang berbeda-beda. Untuk mengungkapkan
keunikan seseorang digunakan pendekatan lain, maka yang utama adalah dengan
menggunakan manusia sebagai instrument utamanya.
Penelitian kualitatif dengan metode fenomenologis didasarkan pada
falsafah fenomenologi, di mana peneliti berupaya merumuskan suatu pertanyaan
yang kemudian dianalisis berdasarkan pada pertanyaan “persepsi” partisipan
mengenai fenomena yang sedang diteliti. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
meminta partisipan untuk mengungkapkan persepsi mereka tentang fenomena
(Dempsey, 2002).
Pada penelitian ini peneliti menggali dimensi pendidikan moral karakter
dalam program dan aktivitas di sekolah melalui sistem “fullday school” sebagai
upaya membina siswa yang berkepribadian utuh di SMA Labschool Universitas
Syiah Kuala Banda Aceh. Dengan pendekatan fenomenologi ini, peneliti meneliti
gejala dan kebiasaan serta pengalaman-pengalaman di lapangan berkaitan dengan
kegiatan di SMA Lab School dengan system fullday school ini.
Hakikatnya prinsip fenomenologi berkenaan dengan pemahaman tentang
Lebenswelt terbentuk. Fenomenologi bertujuan mengetahui bagaimana kita
menginterpretasikan tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sebuah yang
bermakna (dimaknai) dan untuk merekonstruksi kembali turunan makna (makna
yang digunakan saat berikutnya) dari tindakan yang bermakna pada komunikasi
intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial.
Dalam fenomenologi, setiap individu secara sadar mengalami sesuatu yang
ada. Sesuatu yang ada yang pada kemudian menjadi pengalaman yang senantiasa
akan dikonstruksi menjadi bahan untuk sebuah tindakan yang beramakna dalam
kehidupan sosialnya.
Manakala berbicara sesuatu yang dikonstruksi, tidak terlepas dari
interpretasi pengalaman di dalam waktu sebelumnya. Interpretasi itu sendiri
berjalan dengan ketersediaa dari pengetahuan yang dimiliki. Namun demikian,
sebagai mana proses interpretasi, harus diperhatikan kemampuan menangkap
lebih jauh atau melihat sesuatu lebih jauh (seeing beyond) dalam fenomena yang
sedang dikonstruksi itu.
Jika dilanjutkan dengan fenomenologi sebagai sebuah metodologi
penelitian, walaupun ada juga yang lebih senang menyebut sebagi tradisi
penelitian, maka kita dapat menelusuri beberapa pengertian yang sederhana.
Menurut Husserl (Creswell, 1998: 52) dalam penelitian fenomenologis peneliti
berusaha mencari tentang:
Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami
dalam kesadaran, dalam kognitif dan dalam tindakan-tindakan perseptual.
Fenomenologi mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan
konsep kunci yang intersubyektif. Studi fenomenologi dalam pelaksanaannya
memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapi peneliti. Creswell (1998: 55)
menjelaskan tantangan tersebut yaitu:
1. the researcher requires a solid grounding in the philosophical precepts of phenomenology;
2. the participants in the study need to be carefully chosen to be individuals who have experienced the phenomenon;
3. bracketing personal experiences by the researcher may be difficult; 4. the researcher needs to decide how and in what way his or her
personal experiences will introduced into the study.
Hakikatnya tantangan itu harus mampu dihadapi oleh seorang
fenomenolog, penguasaan pada landasan filosofis dalam cara fikir fenomenologi,
kemampuan memilih individu sebagai subjek yang mengalami yang akan
dieksplorasi, kemampuan memelihara dan meningkatkan kemampuan logos
fenomenologi, dan memilih serta memilah pengalaman bermakna yang
dikonstruksi oleh subjek penelitian.
B. Sumber Data
Sumber data adalah subjek yang bisa memberikan data penelitian, subjek
dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam dua kelompok.
Pertama, sumber informan (human resources) sebagai sumber primer
yang dipilih berdasarkan kedekatan dan pengetahuan informan dengan peristiwa
fenomenologi, kriteria informan yang baik adalah “all individuals studied
represent people who have experienced the phenomenon” (Creswell, 1998:118).
Sumber data pada bagian ini antara lain: siswa-siswi SMA Labschool Unsyiah
Banda Aceh, Para Guru, Komponen Sekolah lainnya seperti penjaga, Tenaga
Kependidikan dan Kepala Sekolah serta masyarakat di lingkungan sekolah.
Kedua, sumber pendukung, yaitu berupa data-data kepustakaan sebagai
sumber sekunder yang digunakan untuk melengkapi sumber informan atau
mengenail hal-hal yang tidak diperoleh dari informan. Data sekunder diperlukan
untuk memperkuat, melengkapi atau menguji kebenaran data yang diperoleh dari
informan.
Sumber pendukung ini bisa berupa transkripsi atau catatan hasil
wawancara dengan para informan, dokumen tertulis seperti dokumen resmi
negara, berupa surat keputusan, laporan-laporan, notulen rapat, transkripsi
workshop, seminar, symposium, buku, makalah, artikel, yang diperoleh dari surat
kabar, majalah, jurnal, situs internet, baik yang terkoleksi di berbagai
perpustakaan, terjual di toko buku maupun yang tersimpan di arsip kantor.
C. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
1. Instrumen Penelitian
Untuk menguji hasil penelitian ini, penulis memerlukan instrumen yang
tepat, instrumen yang digunakan dalam dalam penelitian adalah penulis sendiri
(sole instrument) yang terjun langsung ke lapangan untuk mencari informasi
memungkinkan peneliti banyak mengadakan kontak dengan manusia artinya
selama proses penelitian penulis lebih banyak mengadakan kontak dengan
orang-orang baik siswa, guru maupun masyarakat sekitarnya. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Creswell (2010; 264) dan Bogdan dan Biklen (1982: 33-36) tentang
ciri-ciri kualitatif khususnya dalam instrumen penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah teknik
pengumpulan data kualitatif, yang meliputi studi wawancara mendalam, studi
dokumentasi, studi literatur dan observasi. Pengambilan data dilakukan dengan
metode snowball sampling dengan proses jumlah kecil informan kemudian
melibatkan pihak yang terkait dengan informan awal untuk dijadikan informan
dan seterusnya sehingga menjadi besar seperti bola salju (snowball).
Agar memperoleh data akurat dan efektif maka untuk menggali informasi
yang terkait dengan permasalahan penelitian penulis menggunakan sejumlah
teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara mendalam dan studi
dokumentasi. Untuk lebih jelasnya teknik pengumpulan data secara operasional
adalah sebagai berikut:
a. Observasi atau pengamatan dilakukan dengan kegiatan pengumpulan data
langsung yang biasanya mencakup realitas sosial, fakta sosial, atau peristiwa
sosial sesuai objek penelitian. Pengamatan ini dilakukan di sekitar lingkungan
b. Wawancara dengan wawancara mendalam (indepth inverview) hal ini
dilakukan dengan para informan baik secara formal maupun informal,
dilakukan secara interaktif melalui pertanyaan dan jawaban yang terbuka.
Walaupun pada awalnya peneliti sudah mempersiapkan daftar pertanyaan,
pada pelaksanaannya, tidak kaku mengikuti daftar pertanyaan yang telah
dibuat. Wawancara mengalir sesuai dengan respon atau jawaban informan.
Hal terpenting dari kegiatan wawancara adalah dapat menggali semua data
yang dicari.Seperti pada tradisi fenomenologi sebagaimana dikemukakan
Creswell (1998:122) “for a phenomenological lstudy, the process of
collecting information involves primarily in-depthinterviewrs”, maka dalam
penelitian ini wawancara mendalam merupakan teknik pengumpulan data
yang diutamakan. Hasil-hasil wawancara terdokumentasi dalam perekam
audio (tape recorder) dan perekam gambar hidup (handycam) dan foto.
c. Studi Dokumentasi adalah studi yang difokuskan pada upaya mempelajari
sumber-sumber tertulis baik berupa laporan penelitian, dokumen resmi
negara, buku teks, surat edaran, pamplet, selebaran, artikel di media massa,
dan catatan-catatan pribadi, makalah dan artikel di jurnal.
D. Subjek dan Lokasi Penelitian
1. Subjek Penelitian
Pemilihan subjek penelitian dilakukan untuk mencari informasi secara
rinci yang sifatnya spesifik yang memberikan kekhasan yang unik. Untuk
latar atau situasi dan tempat berlangsungnya proses pengumpulan data, yakni di
dalam dan di luar sekolah, misalnya melakukan wawancara di rumah, di kantor,
wawancara formal dan informal, berkomunikasi secara resmi atau tidak resmi.
Kriteria kedua, adalah subjek penelitian utama yaitu siswa. Kriteria ketiga
adalah peristiwa, yang dimaksud adalah pandangan, pendapat dan penilaian dari
para pengamat atau para pakar dalam penelitian kualitatif sering disebut check
and balance, artinya untuk mengecek kembali kesahihan hasil penelitian tersebut.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Labschool Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh dengan rentang waktu yang cukup panjang.
a. Alat Bantu Penelitian
Untuk mempermudah peneliti dalam mendapatkan data penelitian peneliti
menggunakan alat bantu penelitian berupa:
1) lembar Pedoman wawancara dan serta lembar catatan wawancara atau fields
notes; dan
2) media perekam: seperti kamera, rekaman, alat tulis dan buku catatan.
b. Dokumentasi
Langkah berikutnya adalah melakukan dokumentasi sebagai data primer
berupa transkrip dan catatan lapangan, handphone perekam dan catatan lapangan,
handphone dan catatan lapangan hasil wawancara mendalam terdapat pada
percakapan yang direkam, namun hanya pembicaraan yang berhubungan dengan
penelitian saja.
E. Pengolahan Data
Setelah data diperoleh, kemudian peneliti melakukan langkah pengolahan
data. Pengolahan data kualitatif dengan tahapan sebagai berikut.
1. Membandingkan (Comparehending)
Data yang sudah dikumpulkan diberik kode atau label kemudian
menggunakan teori sebagai pembandingnya. Jadi pada tahap ini peneliti
membuat data yang baru dan menarik yang masuk atau data yang sebelumnya
sudah ada. Tahap comparehending ini dimulai dari:
a. Hasil perekaman maupun hasil catatan wawancara dan observasi
b. Kegiatan selanjutnya peneliti melakukan pengkajian dan penelaahan
sambil mencermati hasil rekaman
c. Untuk mempermudah, peneliti juga memberikan pengkodean untuk
mendapatkan kata kunci, kategori dan tema.
2. Sintesa (synthesizing)
Synthesizing merupakan bagian dari data yang dikumpulkan melalui
analisis informasi atau perbandingan transkrip yang berasal dari beberapa
informasi, kemudian dengan analisa kategori dipilih dari kata yang sering muncul,
yang terdiri dari bagian transkrip atau catatan yang dikombinasikan dengan
3. Teori (theorizing)
Pada tahapan ini, peneliti melakukan fase pemisahan untuk melakukan
pencocokan data secara sistematik dari model-model yang sudah terpilih kedalam
data.
4. Analisa
Alasan pemilihan metode analisa ini didasarkan pada kesesuaian dengan
filosofi Hussserl, yaitu suatu penampakan fenomena hanya akan ada bila ada
subjek yang mengalami fenomena (informan), sehingga sangat cocok untuk
memahami arti dan makna suatu fenomena pengalaman stigma pada keluarga
dengan gangguan jiwa di rumah.
Adapun langkah-langkah analisa sebagai berikut:
a. Membuat deskripsi informasi tentang fenomena dari informan dalam bentuk
narasi yang bersumber dari hasil wawancara dan field note.
b. Membaca kembali secara keseluruhan deskripsi informasi dari informan
untuk memperoleh perasaan yang sama seperti pengalaman informan. Peneliti
melakukan 3 – 4 kali membaca transkrip untuk merasa hal yang sama seperti
informan.
c. Mengidentifikasi kata kunci melalui penyaringan pernyataan informan yang
signifikan dengan fenomena yang diteliti. Pernyataan-pernyataan yang
merupakan pengulangan dan mengandung makna yang sama atau mirip maka
pernyataan ini diabaikan.
d. Memformulasikan arti dari kata kunci dengan cara mengelompokkan kata
kata kunci yang sejenis. Peneliti sangat berhatihati agar tidak membuat
penyimpangan arti dari pernyataan informan dengan merujuk kembali pada
pernyataan informan yang signifikan. Cara yang perlu dilakukan adalah
menelaah kalimat satu dengan yang lainnya dan mencocokkan dengan field
note.
e. Mengorganisasikan arti-arti yang telah teridentifikasi dalam beberapa
kelompok tema. Setelah tema-tema terorganisir, peneliti memvalidasi kembali
kelompok tema tersebut.
f. Mengintegrasikan semua hasil penelitian ke dalam suatu narasi yang menarik
dan mendalam sesuai dengan topik penelitian.
g. Mengembalikan semua hasil penelitian pada masing-masing informan untuk
divalidasi kembali oleh mereka setelah traskrib dibuat. Setiap ada informasi
baru dari informan lalu diikutsertakan pada deskripsi hasil akhir penelitian.
F. Validitas Data
Untuk memeriksa keabsahan data dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik triangulasi yaitu pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai perbandingan terhadap data yang telah diperoleh dari responden
(Moleong, 2006).
Triangulasi dengan sumber dalam penelitian ini dicapai dengan
membandingkan data dengan teknik melakukan wawancara di tempat dan waktu
ulang dengan pertanyaan yang sama untuk validasi data. Peneliti kemudian
membuat transkrip baru berdasarkan data yang didapatkan dari wawancara ulang
untuk dibandingkan dengan transkrip awal yang telah peneliti dapatkan
sebelumnya. Hasil validasi tersebut di dapatkan data yang sama dengan data
sebelumnya.
G. Etika penelitian
Etika dalam penelitian kualitatif diantaranya ada yang disebut dengan
informed consent, anonimity, dan confidentiallity. Informed consent, maksudnya
memberikan penjelasan kepada informan mengenai maksud dan tujuan penelitian
serta memberikan lembar persetujuan menjadi informan dengan tujuan agar
informan mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya.
Bila informan bersedia, maka informan harus menandatangani lembar persetujuan
dan jika informan menolak, maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati
haknya. Anonymity adalah berusaha untuk menjaga kerahasiaan, artinya identitas
responden tetap dijaga. Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan juga
dijamin oleh peneliti dengan menyimpan hasil rekaman tersebut secara baik dan
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan Umum
Hasil pengkajian lapangan menunjukkan bahwa pengembangan
pendidikan karakter telah menjadi bagian penting dari visi dan misi SMA
Labschool Unsyiah, Banda Aceh. Pendidikan karakter telah menjadi “ruh” dari
sekolah ini, dan telah dikembangkan secara terprogram serta alamiah dalam
lingkup sekolah. Meskipun pihak pimpinan sekolah dan guru-guru masih relatif
kurang memperoleh informasi dan pemahaman tentang kebijakan terbaru
pendidikan nasional tentang pendidikan karakter, tetapi dimensi-dimensi
substansial pendidikan karakter telah dikembangkan sejak sekolah mulai
difungsikan. Adanya penekanan pendidikan pada sisi moral karakter, dapat dilihat
pada suasana budaya sekolah yang tercermin dari kegiatan-kegiatan keseharian di
sekolah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan pendidikan karakter
di sekolah ini, disamping dilakukan melalui pengajaran mata pelajaran di dalam
kelas, juga diperkaya dengan kegiatan-kegiatan di luar kelas, atau apa yang di
sekolah ini disebut dengan “outdoor learning”. Sistem belajar sehari penuh, sejak
pukul 07.45 sampai pukul 18.00 telah memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan karakter dalam budaya sekolah ini. Kegiatan-kegiatan tipikal di
sekolah ini, seperti “active learning”, “system moving class”, ”ICT minded”, “
luar kelas, diasumsikan sebagai kegiatan yang kondusif untuk pendidikan
karakter.
Pendidikan karakter di SMA Labschool Unsyiah dilaksanakan secara
komprehensif, terintegrasi, sistemik dan dengan dukungan dari semua warga serta
komunitas sekolah. Hasil penelitian menemukan adanya “best practice”
pendidikan karakter di Labschool Unsyiah, yaitu lingkungan sekolah yang
kondusif, kultur sekolah yang mendidik, pendekatan belajar yang aktif dan
menyenangkan, kegiatan ekstrakurikuler yang terarah, dukungan komunitas
sekolah yang partisipatif, dan last but not least pemantapan karakter IMTAQ dan
akhlak mulia melalui pendidikan agama yang diperkaya dengan habituasi aktivitas
keagaamaan di sekolah dan di luar sekolah.
Selain nilaikarakter yang secara holistik dan terintegrasi diajarkan dan
dikembangkan di Labschool Unsyiah, terdapat juga nilai-nilai inti yang mendapat
perhatian khusus untuk pendidikan karakter. Nilai-nilai karakter itu antara lain;
religius, disiplin, kejujuran, rasa hormat, kesantutan, persahabatan, kerjasama,
rajin belajar, kreatif, inovatif, mandiri, visioner, peduli lingkungan dan
bertanggung jawab. Nilai-nilai ini diajarkan dan dibudayakan di sekolah sehingga
diharapkan menjadi tipikal sekolah yang muncul pada karakter siswa.
Dimensi pendidikan moral karakter di Labschool Unsyiah secara prinsip
memiliki keserasian karakteristik dengan konsepsi pendidikan karakter yang
dikembangkan dalam grand disain pendidikan karakter secara nasional.
Keserasian karakteristik itu antara lain tercermin dari visi, misi, tujuan, substansi
pendidikan karakter di labschool dilaksanakan secara holistik dan terintegrasi
dalam keseluruhan program dan kegiatan di sekolah, yaitu melalui proses belajar
mengajar di kelas, estrakurikuler, pembiasaan, penguatan dan pembudayaan di
sekolah. Dengan kata lain, praktik pendidikan moral karakter telah menyentuh
tiga ranah yaitu: moral knowing, moral feeling and moral acting. Pendidikan
karakter yang dikembangkan di labschool ini memiliki empat dimensi proses
psikososial seperti yang dikembangkan dalam grand disain pendidikan karakter,
yaitu: olah pikir, olah hati, atau olah rasa dan karsa serta olah raga. Tentu saja
bobot ketercapaian dari dimensi-dimensi itu adalah bersifat kualitatif dan masih
sulit untuk diukur secara kuantitatif.
Meskipun belum saatnya untuk menilai keberhasilan pendidikan karakter
di Labschool Unsyiah, tetapi terdapat indikator-indikator yang dapat diasumsikan
sebagai hasil atau efek positif dari pendidikan karakter. Indikator itu antara lain,
adanya pencapaian akademik yang membanggakan yang dapat dilihat dari
tingginya hasil ujian nasional, tingkat kelulusan memasuki perguruan tinggi, dan
daftar prestasi sekolah dalam berbagai bidang studi, olah raga, seni dan
penguasaaan IT. Dari sisi moral-karakter, belum ada siswa sekolah labschool yang
terlibat dalam kasus-kasus yang meresahkan.
Selain beberapa ”best practice” pendidikan karakter yang telah sukses
dikembangkan di sekolah, masih ada juga sisi kekurangan dan tantangan yang
berkaitan dengan pendidikan karakter di Labschool Unsyiah. Salah satu
kekurangannya adalah belum adanya ”dokumen sekolah” yang komprehensif
sekolah menunjukkan bahwa banyak praktik ”best practice” yang telah berjalan di
sekolah justru tidak memiliki dasar konseptual yang terbukukan. Pada sisi lain,
faktor kompetensi guru merupakan salah satu hal yang patut mendapat perhatian
untuk perbaikan dan peningkatan.
B. Kesimpulan Khusus.
Dari kesimpulan umum yang telah diuraikan di atas, dirumuskan
kesimpulan khusus sebagai tesis dari penelitian sebagai berikut:
1. Penerapan sistem fullday school memiliki landasan filosofis, sosiologis,
psikologis dan akademis.
2. Sistem fullday meru[akan jawaban strategis sekolah terhadap dilema beban
kurikulum versus keterbatasan waktu di sekolah, sehingga memungkinkan
bobot kurikulum nasional dapat dicapai dengan baik dan memungkinkan pula
kurikulum diperkaya dengan kurikulum plus.
3. Oleh karena fullday memperpanjang “visa anak tinggal di sekolah”, maka ia
memberikan kesempatan yang lebih luas bagi sekolah di satu pihak, dan bagi
siswa dan orang tua di pihak yang lain, untuk mengembangkan pilihan-pilhan
sekolah yang memungkinkan dicapainya mutu akademik yang lebih baik, dan
pengembangan aspek nilai karakter yang lebih baik pula.
4. Penerapan sistem fullday adalah “match” dengan kondisi psiko-sosio anak
dan kebutuhan/tuntutan orang tua maupun juga sebagai respon inovatif
C. Rekomendasi
Beberapa hal yang perlu di rekomendasikan berdasarkan hasil temuan
penelitian ini yaitu:
1. Pengejawantahan pendidikan karakter pada Labschool Unsyiah Banda Aceh
telah banyak yang memiki dimensi-dimensi positif dan selaras dengan harapan
tujuan pendidikan nasional. Sementara itu, di sisi lain, masih banyak pula
dimensi pendidikan karakter yang masih perlu dibenahi di sekolah ini. Salah
satu yang paling penting dilakukan adalah pemantapan pemahaman dan
kompetensi guru tentang pendidikan karakter, baik konseptual maupun
metodologis. Oleh karena itu, kepada manajemen sekolah maupun jajaran
Dinas Pendidikan terkait perlu merespon dengan baik masalah kompetensi
guru ini.
2. Menurut pengamatan penulis di Labschool Unsyiah, deseminasi kebijakan
nasional tentang gerakan pendidikan karakter dengan segala gagasan dan
acuan operasionalnya dirasakan relatif masih kurang geliatnya. Mengingat
sifat pentingnya dari kebijakan nasional itu, seyogyanya lebih banyak lagi
upaya-upaya yang dilakukan oleh instansi terkait sebagaimana di atur dalam
grand disain pendidikan karakter, khususnya tentang pedoman implementasi
pendidikan karakter pada tataran sekolah.
3. Berdasarkan “best practice” pendidikan karakter yang telah ditunjukkan oleh
Labschool Unsyiah, patut kiranya sekolah ini dijadikan sebagai salah satu
“sekolah percontohan pendidikan karakter” di Aceh. Hal ini sejalan dengan
sekolah percontohan atau laboratorium pendidikan karakter maknanya
bukanlah labschool ini sebagai sekolah yang telah “siap pakai” dengan
keberhasilan pendidikan karakternya. Akan tetapi hendaknya sekolah ini dapat
dijadikan sebagai “center of excellent” untuk merancang, mengujicoba dan
mengembangkan konsep, model atau pendekatan pendidikan karakter yang
inovati, efektif serta menjadi rujukan bagi sekolah lainnya. Selain itu, sebagai
sebuah pusat pendidikan, sekolah ini juga menjadi tempat untuk deseminasi,
sosialisasi, internalisasi maupun juga institusionalisasi pendidikan karakter
dalam arti yang luas.
4. Kepada stakeholder Labschool Unsyiah disarankan agar lebih
memberdayakan labschool dari dimensi pengembangan karakter. Misalnya,
usulan program pendidikan karakter yang digagas oleh sekolah, guru-guru
maupun oleh siswa seyogyanya perlu didukung secara moral maupun secara
financial sehingga dapat dilaksanakan dengan baik bersamaan dengan sukses
akademik yang telah dicapai oleh sekolah selama ini. Adapun stakeholder
Labschool Unsyiah adalah rektorat, yayasan, komite sekolah, orang tua,
donator dan pendiri labschool.
5. Kepada jajaran Kemendiknas di Aceh, khususnya Dinas Pendidikan Provinsi
Aceh dan Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh, disarankan agar lebih banyak
lagi memberi perhatian, dukungan manajerial dan financial untuk kemajuan
Labschool Unsyiah di masa mendatang. Selain memberikan dukungan
terhadap pengembangan pendidikan karakter di Labschool Unsyiah hendaknya
menjadi prioritas, apalagi mengingat status sekolah ini sebagai sekolah swasta.
6. Kepada pimpinan yayasan, pimpinan sekolah dan juga guru-guru disarankan
agar lebih banyak mengadakan rapat-rapat sekolah untuk membahas dan
mengevaluasi pendidikan karakter. Dengan demikian, diharapkan proses dan
mutu pendidikan karakter di labschool ini semakin membaik dari waktu ke
waktu. Salah satu kekurangan yang harus diperbaiki adalah belum adanya
dokumen sekolah yang memadai tentang pendidikan karakter.
7. Kepada orang tua, masyarakat sekitar, maupun kepada semua siswa perlu
dihimbau dan disosialisasikan pentingnya pendidikan karakter. Dengan
demikian mereka lebih sadar akan upaya pendidikan karakter bagi anak
mereka, baik di sekolah, di rumah, maupun dalam masyarakat luas.
8. Karakter dan pendidikan karakter memiliki spectrum makna yang luas
sehingga sukar untuk dibatasi. Begitu pula halnya dengan pendidikan karakter
di sekolah yang tidak mungkin dapat dikaji secara sempurna dalam waktu
singkat oleh sebuah penelitian. Penelitian ini, dengan segala keterbatasannya,
hanya mengkaji dimensi-dimensi pendidikan karakter secara
deskriptif-fenomenologis dengan maksud untuk diperoleh suatu “profil” pendidikan
karakter di satu sekolah di Aceh, yaitu di SMA Labschool Universitas Syiah
Kuala. Tentu saja masih banyak dimensi yang belum terjamah oleh penelitian
ini. Oleh karena itu, dihimbau adanya studi-studi lain yang mengkaji dimensi
pendidikan karakter di sekolah. Misalnya, penting dikaji pendidikan karakter
Gambar
Dokumen terkait
Pengaruh kebijakan open door policy Jerman terhadap perlindungan pengungsi Suriah membawa dampak positif dan telah sesuai dengan standar hukum Pengungsi
Hal ini disebabkan karena airtanah di daerah ini diperoleh dengan penggalian sedalam lebih dari 20 meter.Selain Mataair Umbulwadon, kedua desa tersebut juga memiliki
Bapak/Ibu dan hadirin yang saya banggakan, Dalam kesempatan ini pula, BKKBN akan melakukan Peresmian Sertifikasi Penyuluh Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan
1 10199362 NADIATUL IKHSANIYAH 11170140000029 Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Masalah Administrasi. Belum Buka Rekening Bank
Jika diketahui suatu matriks A=a ij berukuran mxn maka transpose dari A adalah matriks A T berukuran nxm yang didapat dari A dengan menuliskan baris ke-i dari A sebagai kolom ke-i
Hasil dari penelitian tersebut Terdapat perbedaan yang signifikan pada faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan profesi Akuntan Publik dan Non Akuntan Publik, Terdapat
Faktor yang memengaruhi tingkat kepuasan konsumen civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap kantin unit usaha Dharma Wanita UIN Syarif Hidayatullah
Berdasarkan angket yang telah disebarkan kepada responden tentang persoalan agunan, yaitu: Ketika melakukan pinjaman kebank syariah agunan bukan menjadi