• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN FENOMENOLOGIS TENTANG POLA PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI SISTEM “FULLDAY SCHOOL” PADA SMA LABSCHOOL UNIVERSITAS SYIAH KUALA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN FENOMENOLOGIS TENTANG POLA PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI SISTEM “FULLDAY SCHOOL” PADA SMA LABSCHOOL UNIVERSITAS SYIAH KUALA."

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ……….. i

ABSTRAK ……… ii

KATA PENGANTAR ………. iv

UCAPAN TERIMA KASIH ……….. v

DAFTAR ISI ……… xi

DAFTAR TABEL ……… xiv

DAFTAR GAMBAR ……….. xv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvi

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Lalar Belakang Masalah ………. 1

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah ……….. 17

C. Tujuan Penelitian ……… 19

D. Manfaat Penelitian ………. 20

E. Struktur Organisasi Disertasi ……….. 22

BAB II TINJAUAN TEORETIS ……… 23

A. Dimensi-Dimensi Karakter dan Pendidikan Karakter ………..… 23

B. Pengembangan Nilai-Nilai Dasar Pendidikan Karakter Bangsa ……… 39

(2)

D. Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah ……….. 61

E. Hakikat Karakter Menurut Perpektif Pendidikan Umum/Nilai ……….. 87

F. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu ………. 110

BAB III METODE PENELITIAN ……… 121

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ………. 121

B. Sumber Data ………. 124

C. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data ………. 125

D. Subjek dan Lokasi Penelitian ………. 127

E. Pengolahan Data ……… 139

F. Validasi Data ……….. 131

G. Etika Penelitian ……….. 132

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 133

A. Hasil Penelitian ……….………. 133

1. Gambaran Umum SMA Labschool Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ……… 133

2. Pola Pengembangan Pendidikan Karakter dalam Keseharian di Labschool Unsyiah ……… 151

3. Pendidikan Karakter Sebagai Prioritas ……… 168

(3)

6. Faktor Penunjang dan Kendala ………. 194

B. Pembahasan ……… 200

1. Prinsip Dasar ………. 200

2. Refleksi Pendidikan Karakter di Labschool Unsyiah ………. 211

3. Pendekatan-Pendekatan Pendidikan Karakter ………. 215

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 220

A. Kesimpulan Umum ……… 220

B. Kesimpulan Khusus ………. 223

C. Rekomendasi ………. 224

DAFTAR PUSTAKA .………. 228

LAMPIRAN ……….,,,,,,, 237

(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Format Umum Sistem Fullday di Labcshool Unsyiah ……… 142

Tabel 4.2. Sinopsis Pola-Pola Pengembangan Pendidikan Karakter Disiplin

di Labschool Unsyiah ……….. 171

Tabel 4.3. Sinopsis Pola-Pola Pengembangan Pendidikan Karakter Bersih,

Rapi, dan Indah di Labschool Unsyiah ……… 173

Tabel 4.4. Sinopsis Praktik Kerjasama di Sekolah ………. 175

Tabel 4.5. Sinopsis Praktik Persahabatan Siswa-Guru di Sekolah ……….. 177

Tabel 4.6. Sinopsis Praktik Rasa Hormat dan Santun di Sekolah ………… 179

Tabel 4.7. Sinopsis Praktik Karakter Rajin, Kreatif, Inovatif dan Visioner … 182

Tabel 4.8. Sinopsis Praktik Peduli Lingkungan di Dalam dan di Luar Sekolah 184

Tabel 4.9. Sinopsis Praktik Nilai-Nilai Keagamaan dalam Lingkup dan di

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Komponen-Komponen Moral ……… 33

Gambar 2.2. Alur Pikir Pembangunan Karakter Bangsa ……….. 53

Gambar 2.3. Konfigurasi Karakter dalam Konteks Totalitas Proses

Psikososial-Kultural ……… 54

Gambar 2.4. Pendidikan Karakter dalam Tatanan Makro ……… 57

Gambar 2.5. Sinergitas Pendidikan Pada Tatanan Mikro di Sekolah ……. 70

(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pokok-Pokok Pikiran sebagai Rekomendasi untuk

Pengembangan Pendidikan Karakter di Labschool Unsyiah ……. 238

Lampiran 2 Kisi-Kisi Penelitian ……….. 246

Lampiran 3 Pedoman Wawancara ……… 248

Lampiran 4 Pedoman Observasi Lapangan ………. 251

Lampiran 5 Sampel Catatan Lapangan (Field-Notes) ……… 253

Lampiran 6 Profil SMA Labschool Unsyiah ………. 257

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Pendidikan Karakter Sebagai Sebuah Keniscayaan

Dalam rangka membangun kualitas sumber daya manusia dan

memperjuangkan eksistensi peradaban bangsa yang kokoh di tengah-tengah arus

globalisasi yang melanda semua aspek kehidupan sekarang ini, pemerintah

Indonesia melalui Kemendiknas telah menggagas pentingnya membangun

pendidikan karakter bangsa. Sebagaimana ditegaskan oleh Mendiknas Muh. Nuh

pada perayaan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010, pendidikan karakter adalah

kunci untuk mengatasi segala permasalahan yang melanda bangsa Indonesia saat

ini. Apakah pendidikan karakter itu? Mengapa ia demikian penting dan

alasan-alasan apa sehingga isu ini telah diangkat sebagai topik penelitian disertasi ini?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pelecut bagi penulis untuk melakukan

penelitian ini.

Ide pendidikan karakter telah lama mengakar dalam sejarah. Akan tetapi ia

pernah sirna dan dicetuskan kembali di zaman modern ini oleh ahli pendidikan

Jerman Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter yang menekankan pada

dimensi nilai-moral dalam proses pembentukan pribadi merupakan reaksi atas

kelemahan pengaruh filsafat natural rousseauian dan paedagogi instrumentalisme

deweyan (Foerster dalam Koesoema, 2007:42).

Pengaruh filsafat Fragmatisme dan filsafat pendidikan Progresivisme

(8)

ke-19 dirasakan semakin tidak memadai lagi bagi sebuah formasi intelektual,

sosial dan kultural. Reaksi anti-positivistik dan anti naturalistik dalam konteks

pendidikan yang berkembang di Eropa pada awal abad ke-19 merupakan suatu

gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, dan

bergerak dari formasi personal yang lebih didominasi pendekatan

psiokologis-sosial menuju sebuah cita-cita humanisme yang bermuatan dengan dimensi

kultural dan religius (Foerster dalam Koesoema, 2007:42).

Munculnya gerakan pendidikan karakter dapat merupakan sebuah upaya

untuk menghidupkan kembali peadagogi ideal-spiritual yang sempat hilang

diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Perancis Auguste

Comte. Foerster menolak gagasan yang meredusir pengalaman manusia hanya

pada kepentingan sekedar bentuk murni hidup alamiah. Dalam sejarah

perkembangannya, manusia hanya tunduk pada hukum alami semata, sementara

kekebasan yang dimiliki oleh manusia yang memungkinkan dia menghayati

kebebasan dan pertumbuhannya telah diabaikan. Menurut Foerster, manusia tidak

semata-mata taat pada tata aturan alamiah, sementara kebebasannya sebagai

manusia makhluk yang bernilai-moral terabaikan. Pedoman nilai inilah yang

menjadi ukuran untuk menentukan kualitas tindakan manusia di dunia. Pandangan

Foerter tentang kemunduran nilai dalam praktik pendidikan, di kemudian hari

banyak juga diulas oleh pengamat sosial dan ahli kependidikan lainnya seperti

Fitjof Capra, (1999) dalam bukunya “Titik Balik Peradaban”.

Tujuan pendidikan yang utama, menurut Foerster senyatanya adalah untuk

(9)

sebagai subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter

adalah kualitas sesuatu yang mencirikan seorang pribadi, yang memberikan

kesatuan dan kekuatan atas keputusan diambilnya (Foerster dalam Adisusilo,

2012). Dengan kata lain, karakter menjadi semacam ciri identitas seseorang yang

mengatasi pengalaman kehidupannya yang selalu berubah. Berdasarkan tingkat

kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi ditentukan. Kekuatan karakter

seseorang dalam pandangan Foerster tampak dalam empat aspek fundamental

yang mesti dimiliki, yaitu “keteraturan interior, koherensi, otonomi, keteguhan

dan kesetiaan” (Foerster dalam Adisusilo, 2012: 77). Keempat aspek tersebut,

secara singkat, dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, keteraturan interior. Melalui kualitas ini setiap tindakan manusia

diukur berdasarkan hierarkis nilai. Karakter yang terbentuk dengan baik tidak

mengenal konflik, melainkan selalu merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan

untuk berubah dari tidak teratur menjadi teratur secara nilai. Kedua, koherensi,

yakni kualitas keberanian pada seseorang yang dapat mengakarkan diri pada

integritas kepribadiannya, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing

dalam dinamika kehidupan. Aspek koherensi ini merupakan dasar yang

membangun rasa saling percaya satu sama lain. Sebaliknya jika tidak adanya

koherensi akan dapat meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonom, yaitu kualitas kemampuan seseorang untuk

menginternalisasikan nilai dan norma dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi

pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan, kualitas ini merupakan daya tahan

seseorang untuk komitmen pada apa yang dipandang baik dan kesetiaaan

(10)

Gagasan Foerter yang pertama kali dihembuskan di Jerman ini mendapat

perhatian luas di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Pada saat

itu di Benua Amerika dan Eropa masyarakat telah menjadi sangat gelisah akibat

arus kehidupan modern yang penuh dengan dekadensi moral dan pendidikan telah

kehilangan ruhnya yakni telah mengabaikan aspek nilai karakter. Terdapat

sejumlah pendidik di Amerika Serikat yang telah memberikan perhatian yang

sangat serius terhadap masalah karakter ini, diantaranya Lickona (1992) dan

Borba (2001).

Bagi bangsa Indonesia, pendidikan karakter sebenarnya bukanlah hal baru

dalam tradisi sejarah dan praktik pendidikan di tanah air (Budimansyah, 2011;

Gunawan, 2012; Kemendiknas, 2010). Dalam sejarah perjuangan bangsa,

sejumlah the founding nation, dan pendidik nasional, seperti Soekarno,

Muhammad Hatta, Budi Utomo, R.A. Kartini, Ki Hajar Dewantara, Moh. Natsir,

Moh. Syafe’I dan lain-lain telah mencoba menerapkan semangat pendidikan

karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan

konteks dan situasi yang mereka alami sejak masa pra kemerdekaan.

Membentuk wajah bangsa yang berkarakter merupakan keprihatinan

pokok para cendekiawan kita saat itu. Mereka semua telah menggagas perlunya

sebuah bangsa yang memiliki identitas yang bermartabat. Sejarah menunjukkan,

bangsa ini terbentuk bukan hanya karena praksis perjuangan melawan penjajah

yang tersebar secara merata di seluruh tanah air. Akan tetapi, kemerdekaan kita

pada dasarnya berawal dari sebuah ide dan gagasan. Ide dan gagasan ini dimulai

(11)

Keinginan menjadi bangsa yang berkarakter sebagaimana yang

dikehendaki oleh para pejuang kemerdekaan, nilai-nilai filosofisnya tertuang

dalam Pembukaan UUD 1945 alinea kedua, “…….mengantarkan rakyat Indonesia

ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,

berdaulat, adil dan makmur”. Para pendiri bangsa sejak dulu telah menyadari,

hanya dengan pembangunan karakter (jiwa) lah bangsa Indonesia menjadi bangsa

yang bermartarbat dan dihormati oleh bangsa-bangsa lainnya.

Dengan demikian, apabila dirunut pada sejarah, jelas bahwa pendidikan

karakter atau watak merupakan ruh dari semangat kebangsaan. Semangat untuk

menjadi bangsa yang berkarakter ditegaskan oleh Soekarno dengan

mencanangkan nation and character building sebagai falsafah bangsa yang

tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila (Kemendiknas, 2010). Soekarno dan

para pendiri bangsa lainnya sejak awal telah meletakkan dasar, bahwa

pembangunan bangsa Indonesia harus dimulai dari karakternya.

Pada masa Orde Baru keinginan untuk memupuk karakter bangsa untuk

menjadi bangsa yang bermartabat juga tidak pernah surut (Kemendiknas, 2010:

1). Pada masa itu, di bawah kepemimpinan Soeharto, pembangunan karakter

bangsa melalui Pendidikan Pancasila sangat gencar dilakukan. Secara filosofis

Pendidikan Pancasila, yang juga melalui penataran P-4 (Pedoman Penghayatan

dan Pengamalan Pancasila) ditujukan untuk memperkuat karakter kebangsaan,

sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dalam ke-bhinnika tunggal

ika-an. Akan tetapi, secara praktis Pendidikan Pancasila mengalami kegagalan

(12)

Pada masa reformasi keinginan untuk mengoreksi keterpurukan bangsa

juga menaruh harapan yang besar bagi upaya pendidikan karakter. Pada masa

euphoria politik ini, dimana-mana rakyat mengumandangkan perlunya perbaikan

karakter bangsa dengan jargon anti KKN (Korupsi, Kulosi dan Nepotisme).

Namun sayangnya, masa reformasi juga ditandai oleh berbagai fenomena

degradasi karakter bangsa. Harapan akan munculnya jiwa kebangsaaan dan

kehidupan demokrasi yang lebih baik, tetapi yang muncul malah sebaliknya.

Konflik horizontal dan vertikal yang ditandai dengan maraknya perilaku

kekerasan, anarkisme dan kerusuhan terjadi hampir di seluruh bumi nusantara.

Seiring dengan itu, dibukanya kran politik desentralisasi telah menyebabkan

munculnya fenomena kedaerahan, primordialisme, bahkan separatisme yang dapat

mengancam integrasi bangsa (Budimansyah, 2010; Gunawan, 2012;

Kemendiknas, 2010).

Kondisi morosotnya karakter yang menyebabkan keterpurukan bangsa

sebagaimana dijelaskan di atas merupakan sebuah tantangan eksistensi bangsa

Indonesia. Oleh karena itu, semua komponen bangsa yang terdidik merasa

terpanggil untuk memperbaiki kondisi objektif ini. Berdasarkan atas keprihatinan

bangsa ini, Presiden Republik Indonesia Susilo B. Yudhoyono memandang

perlunya membangun karakter bangsa dengan pernyataan:

(13)

(Petikan Pidato Presiden Republik Indonesia pada peringatan Dharma Shanti Hari Nyepi, 2010).

Dengan demikian, secara filosofis, historis, sosiologis, psikologis, yuridis

formal dan akademis pendidikan merupakan suatu keharusan. Pendidikan karakter

sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah ada sejak adanya

pendidikan itu sendiri. Persoalaannya sekarang adalah bukan ada atau tidak ada

pendidikan karakter dalam realitas kehidupan dan dalam dunia pendidikan, tetapi

intinya yaitu bagaimana nuansa pendidikan karakter perlu ditumbuhkembangkan

kembali secara holistik pada semua tataran kehidupan, baik tataran makro secara

nasional, maupun pada tataran mikro di dalam keluarga, lingkup masyarakat dan

sekolah-sekolah.

2. Masalah-masalah karakter bangsa di Indonesia

Masalah kemerosotan karakter yang melanda bangsa-bangsa di dunia,

termasuk bangsa Indonesia sekarang ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi

dunia (Lickcona, 1992; Gray, 2009; Budimansyah, 2010; Kemendiknas, 2010;

Wening, 2012). Sebagaimana diketahui bahwa era globalisasi yang dipicu oleh

perkembangan ilmu dan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi,

disamping telah membawa umat manusia kepada kemajuan mataerial, ia juga

telah memunculkan dampak negatif yang sulit di hindari (Borba, 2001; Sauri,

2010; Budimansyah, 2011, Wiyani, 2012).

Terkait dengan efek negatif globalisasi yang melanda masyarakat dunia

sekarang ini, Lickona (1992) memperingatkan akan munculnya sepuluh

(14)

menurut Lickona itu adalah (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2)

penggunaan bahasa yang buruk, (3) pengaruh peer group yang jelek, (4)

meningkatnya perilaku merusak diri, seperti narkoba dan sek bebas, (5) kaburnya

etika dan moral, (6) menurunnya etos kerja, (7) memudarnya rasa hormat kepada

orang tua, (8) rendahnya tanggungjawab pribadi, (9) meluasnya praktik

ketidakjujuran, dan (10) menaburnya rasa curiga dan kebencian dalam

masyarakat.

Sejalan dengan kekhawatiran Lickona, Borba (2008) juga mengutarakan

sejumlah perilaku masyarakat global, terutama di Amerika Serikat, yang

disaksikan oleh anak-anak dan merasuk jiwa mereka. Tindak kekerasan,

pornografi, penggunaan obat terlarang, permusuhan, dan penggunaan senjata

ilegal merupakan serentetan gejala negatif yang sangat mengkhawatirkan.

Anak-anak (Amerika) selain melihat secara langsung perilaku buruk itu, juga tambah

diperburuk oleh informasi media massa yang tiap hari menyajikan tayangan yang

negatif. Lebih buruk lagi, demikian Borba, masyarakat dan orang tua membiarkan

hal itu terjadi dengan kurang mengontrol anak-anak karena mereka disibukkan

oleh pekerjaannya.

Tanda-tanda kemorosotan moral yang disinyalir oleh Lickona dan Borba

itu bukan saja terjadi dalam masyarakat Amerika Serikat, tetapi juga menjadi

penyakit dunia karena dapat terjadi dimana-mana. Di Indonesia fenomena

keruntuhan moral merupakan suatu keprihatinan kolektif. Raka (2011: 10)

menyebutkan ada enam perilaku dalam masyarakat Indonesia saat ini, yaitu (1)

(15)

kurangnya disiplin bangsa, (4) sulit mengakui perbedaan, (5) kurangnya rasa

kritis, dan (6) munafik, tidak sesuainya ucapan dengan kelakuan.

Menurut Wiyani (2012) masalah berat yang dihadapi bangsa Indonesia

saat ini antara lain: kemiskinan dan kebodohan, konflik SARA karena efek

kemajemukan, pengaruh media massa yang buruk, terutama siaran-siaran

a-moral di televisi, praktik korupsi dalam berbagai bentuk, dan kerusakan alam

akibat tidak adanya kesadaran akan lingkungan. Sedangkan Supriatna

(http://www.google.co.id/search?q=masalah+ karakter+bangsa) menunjukkan

sejumlah ciri perilaku manusia Indonesia, antara lain: lemahnya etos kerja, tidak

mandiri, primordial, konsumtif bukannya produktif, kurang jiwa wirausaha,

irrasional dan masih percaya pada tahyul.

Merosotnya perilaku karakter kebangsaan bukan saja terjadi pada

masyarakat awam yang pada umumnya kurang terdidik, akan tetapi ironisnya,

justru banyak pula terjadi pada mereka yang telah memperoleh gelar pendidikan,

maupun juga perilaku peserta didik yang masih sedang berada di lembaga

pendidikan. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dipertontonkan oleh media

massa dengan berbagai kelakuan buruk seperti kekerasan, pembunuhan,

anarkisme, dan sebagainya.

Fenomena kemorosotan moral pada peserta didik dan mahasiswa sangat

mudah juga dijumpai di mana-mana, meskipun tidak semua. Ada berbagai

fenomena perilaku buruk yang sering muncul pada anak-anak yang sedang

berpendidikan sekarang ini (Fitri, 2011; Aqib, 2011; Kemendiknas, 2010; Wiyani,

(16)

memakai narkoba pada sebagian pelajar, perilaku seks bebas, rendahnya etos

belajar, perilaku hendonisme dan konsumtif, kurangnya disiplin dan rasa hormat

serta kesantunan, pudarnya rasa nasionalisme, dan yang paling memalukan adalah

merebaknya kebiasaan plagiarisme dan mencontek waktu ujian.

Di daerah Aceh, perilaku kemunduran moral di kalangan pelajar dan

mahasiswa juga sudah mengkhawatirkan. Ada kasus kelakuan siswa/mahasiswa

yang dimuat di media massa yang merupakan pelanggaran hukum dan asusila

(Waspada Online, 23 Desember 2009). Selain itu, banyak sekali perilaku

menyimpang di kalangan siswa yang tidak terangkat ke permukaan. Hasil

pengamatan penulis misalnya, banyak pelajar/mahasiswa Aceh sekarang ini yang

terjerumus pada perilaku kemunduran moral. Salah satu fenomena yang sangat

mencemaskan saat ini adalah banyaknya pelajar/mahasiswa yang duduk

nongkrong di Cafee (Kedai Kopi) baik pada waktu senggang maupun waktu

belajar. Sementara itu, ada juga pelajar/mahasiswa Aceh yang terlibat dalam

tawuran, kekerasan, premanisme, geng motor, perilaku asulisa, pemakai narkoba,

malah ada yang tergiring kepada ajaran-ajaran sesat. Semua itu memang tidak

terdata karena terjadi secara sporadis dan spontanitas. Akan tetapi, jika itu

dibiarkan tanpa ada upaya pendidikan karakter secara holistik, maka masa depan

generasi muda Aceh, sebahagiannya, akan sangat suram.

3. Harapan dan Kenyataan

Pendidikan karakter sudah sejak lama ada dalam dunia pendidikan di

(17)

sebagai pendidikan karakter, akan tetapi program-program pendidikan nilai,

pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan agama atau program

pengembangan diri sesungguhnya merupakan pendidikan karakter atau seukuran.

Tidak perlu dipertentangkan lagi, pendidikan nilaikarakter merupakan tugas utama

pendidikan di sekolah. Secara yuridis formal, Undang-Undang Sistem Pendidikan

Nasional tahun 2003 Pasal 3 telah menegaskan, “Pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta perdaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Amanah

pendidikan nasional itu sangat esensial meletakkan pendidikan karakter sebagai

“ruh” dari semua pelaksanaan pendidikan, termasuk pendidikan formal di sekolah.

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang

Pengolaan Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 17 Ayat (3) menyebutkan

bahwa pendidikan dasar, termasuk juga pendidikan menengah (SMP/SMU)

bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang: (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, (b)

berakhlak mulia dan berkepribadian luhur, (c) berilmu, cakap, kritis, kreatif dan

inovatif, (d) sehat, mandiri, toleran, memiliki kepekaan sosial, demokratis dan

bertanggungjawab. Berdasarkan kedua dasar yuridis formal pendidikan itu,

menjadi jelas bahwa pendidikan karakter sangat penting untuk diutamakan pada

setiap jenis dan jenjang pendidikan, termasuk di sekolah menengah atas (SMA).

Bennett (1991) menegaskan, sekolah mempunyai peran yang amat penting

dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan

(18)

kehidupan anak-anak di Amerika yang sebahagian besarnya menghabiskan cukup

banyak waktu di sekolah. Sehingga apa yang terekam dalam memori anak-anak di

sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.

Pendidikan karakter bukan hanya amanah undang-undang dan anjuran

pemerintah, tetapi juga tuntunan agama. Setiap agama di dunia pasti mengajarkan

nilai-nilai luhur karakter kepada pemeluk agama masing-masing. Dalam ajaran

Islam, karakter adalah kata lain dari kata “ahklak” yang begitu mendapat tempat

yang tinggi dalam pendidikan dan dakwah Islam. Aspek pendidikan akhlak dalam

Islam sama pentingnya dengan akidah dan syariah. Bahkan, kehadiran Rosulullah

Muhammad SAW di bumi, sebagaimana ditegaskan berulang kali dalam ajaran

Islam, tugasnya yang paling utama adalah untuk memperbaiki akhlak umat

manusia.

Dengan demikian, sesungguhnya kita tidak pernah berhenti

menyelenggarakan pendidikan karakter, khususnya di lembaga-lembaga

pendidikan formal. Akan tetapi, mengapa program-program pendidikan karakter

yang selama ini dilakukan seperti tidak memberikan dampak positif yang berarti

bagi pembangunan dan pengembangan karakter anak-anak bangsa? Keprihatinan

ini seperti sering diungkapkan oleh masyarakat dalam berbagai kesempatan.

Menurut hemat penulis, masih banyak ditemukan adanya persoalan

pendidikan karakter yang krusial dan mendasar, baik di lembaga pendidikan

sekolah, lembaga pendidikan rumah maupun lingkungan pendidikan masyarakat.

Pada lingkungan sekolah, pendidikan karakter sebagaimana yang kita saksikan

(19)

pengajarannya lebih dipercayakan pada beberapa bidang studi tertentu, seperti

Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Tentu saja kondisi seperti

ini dalam berbagai bentuk dan variasinya perlu diperbaiki, sehingga tujuan dan

proses pendidikan nilai karakter atau apapun namanya dapat dilaksanakan secara

lebih sempurna dan hasilnya lebih optimal.

Kondisi pendidikan karakter di sekolah-sekolah Aceh menurut

pemantauan penulis juga demikian halnya, dalam arti masih banyak mengandung

kelemahan. Hasil pengamatan dan wawancara penulis dengan sejumlah guru di

Banda Aceh, pada umumnya mereka mengatakan bahwa secara teoretik cukup

memahami pentingnya pendidikan karakter, tetapi secara praktik sangat susah

dilaksanakan. Menurut para guru, pendidikan karakter merupakan sesuatu yang

“abstrak”, tidak jelas substansinya seperti halnya materi pelajaran bidang studi

yang urutan materi dan lingkupnya ada dalam kurikulum. Sedangkan pendidikan

karakter tidak demikian halnya, demikian pengakuan para guru di sekitar Banda

Aceh. Kondisi pendidikan karakter di sekolah Aceh seperti yang penulis amati

tersebut sejalan juga dengan hasil studi yang dilakukan Wardani (1994) di

beberapa provinsi lainnya, dimana ia menyimpulkan bahwa aktivitas belajar

mengajar di sekolah kurang memperhatikan aspek sikap dan keterampilan anak.

Lemahnya pendidikan karakter juga terjadi pada lingkungan pendidikan

informal dan non-formal, yaitu pendidikan dalam keluarga dan pendidikan dalam

masyarakat. Suasana dan pendidikan dalam rumah tangga telah mengalami

pergeseran nilai. Ada banyak faktor yang menyebabkan terpuruknya pendidikan

(20)

edukatif orang tua mendorong mereka untuk memperlakukan anak semaunya.

Pada sisi lain himpitan tekanan sosial dan ekonomi yang menimpa banyak

keluarga menambah semakin tidak karuannya perlakuan orang tua terhadap anak.

Pada akhirnya rumah pun tidak lagi menjadi lahan yang subur bagi perkembangan

karakter anak yang baik, malah sebaliknya, rumah menjadi pembinaan karakter

anak yang negatif, seperti munculnya sikap keras dan membangkang pada anak.

Lebih rumit lagi kondisi kehidupan masyarakat yang carut-marut semakin

menambah persoalan dalam pendidikan karakter anak. Tindak kekerasan, perilaku

anarkis, pornografi dan berbagai tindakan amoral lainnya yang hampir setiap saat

berada pada pandangan mata dan pendengaran telinga anak semakin memperkuat

inkonsistensi-inkonsistensi pada pemikiran anak yang dapat menghambat

terbentuknya karakter yang baik pada anak. Pemerintah pun tampak seolah-olah

tak berdaya, membiarkan dan galau dalam menyikapi situasi-situasi tidak

kondusif tersebut.

Singkatnya, persoalan pendidikan karakter yang dihadapi sekarang sudah

sangat krusial dan menyeluruh sehingga perlu perombakan dalam strategi

penyelenggaraannya secara menyeluruh pula. Upaya untuk menggalakkan

pendidikan karakter sebagaimana ditegaskan oleh Mendiknas adalah sebuah tugas

bangsa, ia bukan tugas orang per orang saja, atau tugas kelembagaan atau tugas

komponen masyarakat tertentu saja, melainkan ia adalah tugas semua. Dengan

demikian, tidak harus dipertentangkan dimana saja pendidikan karakter itu

(21)

orang dan setiap lembaga memberikan kontribusi yang terbaik bagi upaya

pendidikan karakter anak bangsa.

Dalam konteks sekolah, pendidikan karakter, sebagaimana juga

pendidikan agama, yang dipraktikkan di sekolah-sekolah selama ini efeknya

masih jauh dari harapan (Raka, 2011; Saptono, 2011; Budimansyah, 2010).

Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama

misalnya, tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama,

sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya

disampaikan. Dilihat dari sisi metode pengajaran, tampaknya juga terjadi

kelemahan karena metode yang digunakan hanya difokuskan pada pendekatan

otak kiri/kognitif, yaitu hanya mengarahkan peserta didik untuk mengetahui dan

menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan,

emosi dan nuraninya. Selain itu, terdapat tanda-tanda bahwa belum dilakukan

dengan baik praktik perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia

dalam kehidupan di sekolah (Budimansyah, 2011; Sauri, 2010). Dalam praktik

Pendidikan Pancasila misalnya, banyak kesalahan metodologis yang mendasar

dalam pengajaran moral bagi peserta didik (Suyanto, 2011, Akbar, 2011). Oleh

karena pada waktu yang lalu, Pendidikan Pancasila telah disalahgunakan

terus-menerus sebagai metode indoktrinasi, sekarang orang menjadi enggan menyebut

dan membicarakannya lagi. Kandungan luhur nilai-nilai Pancasila tidak lagi

dirasakan memiliki relevansi dengan kehidupan nyata. Bahkan tiap hari

masyarakat dipertonton oleh media dengan berbagai peristiwa yang bertentangan

(22)

kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang terjadi pada anak

di luar sekolah.

Padahal, jika pendidikan karakter ingin menjiwai proses pembentukan

setiap anak muda, kesadaran bahwa Pancasila sebagai kepribadian bangsa yang

mempersatukan seluruh bangsa mesti dipahami sebagai hal yang sentral dalam

pendidikan karakter. Pancasila adalah pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia,

pandangan hidup yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat, menjelang dan sesudah

proklamasi kemerdekaan kita, Pancasila adalah pemerkaya kepribadian bangsa,

dan oleh sebab itu, Pancasila merupakan satu-satunya falsafah perekat yang dapat

mempersatukan berbagai wujud pluralitas kebangsaan.

Dengan demikian, peran sekolah dan orang tua serta pendidikan agama

untuk membentuk karakter anak (akhlak) menjadi sangat penting, karena melalui

peran orang tua dan guru pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai

kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orang tua dan

keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi

sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung

kognisi, afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan praktiknya sekaligus dalam bentuk

amalan kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat hal

yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. Permasalahan itu adalah: (1) secara

teoretis-normatif pendidikan karakter di Indonesia adalah suatu keharusan dan

telah menjadi gerakan pendidikan nasional, (2) terdapat banyak fenomena yang

(23)

dan anak-anak di Aceh, (3) pendidikan adalah salah satu wahana untuk

memperbaiki karakter anak bangsa, (4) sekolah adalah salah satu pilar, bersama

dua pilar lainnya yaitu rumah tangga dan masyarakat yang harus mengemban

tugas mendidik karakter. Untuk mengetahui seberapa jauh sebuah sekolah telah

melaksanakan fungsi pendidikan karakter ini, maka penelitian itu diadakan pada

SMA Labschool Universitas Syiah Kuala.

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah

1. Fokus Penelitian

Penelitian ini memfokuskan perhatia pada tiga upaya pendidikan karakter,

yakni sebagai berikut: Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain

ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di

dalam kelas. Konteks pendidikan karakter merupakan proses relasional komunitas

kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog,

melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan

siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan

pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini,

termasuk di dalamnya pula adalah ranah non-instruksional, seperti manajemen

kelas, publikasi kelas dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar

yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini

mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak

(24)

terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai, misalnya disiplin,

kerjasama, tanggung jawab dan sebagainya, hal itu tidak cukup hanya dengan

memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini harus

diperkuat dengan penciptaan kultur sekolah melalui pembuatan tata peraturan

sekolah yang tegas dan dilaksanakan secara konsisten melalui intervensi, habituasi

dan keteladanan.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik,

komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga

pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum dan negara, juga memiliki

tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam

konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan

hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang

setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak

menghargai makna tatanan sosial bersama.

2. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian seperti dikemukakan di

atas, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah pola

pendidikan karakter melalui sistem “Fullday School” di SMA Lab-School

Universitas Syiah Kuala?

Agar masalah penelitian ini lebih terinci, berikut dirumuskan dalam

(25)

a. Bagaimana pola pengembangan pendidikan karakter dalam keseharian di

Labschool Universitas Syiah Kuala?

b. Apa yang menjadi prioritas pendidikan karakter yang dilakukan Labschool

Universitas Syiah Kuala?

c. Bagaimana wawasan dan kompetensi guru yang membina pendidikan karakter

di Labschool Universitas Syiah Kuala?

d. Indikator-indikator apa saja yang menunjukkan keberhasilan pendidikan

karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala?

e. Adakah faktor penunjang dan kendala dalam penyelenggaraan pendidikan

karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pendidikan

karakter berdasarkan sistem “Fullday School” yang dikembangkan di sekolah

di SMA Labschool Unsyiah Banda Aceh. Pola pendidikan karakter itu dilihat

secara holistik dan terintegrasi dalam tiga aspek, yaitu aspek olah pikir (moral

knowing), olah rasa (moral feeling), olah raga dan olah aksi (moral acting).

2. Tujuan khusus.

a. Untuk mengetahui pola pengembangan pendidikan karakter dalam keseharian

(26)

b. Untuk mengetahui prioritas pendidikan karakter yang dilakukan Labschool

Universitas Syiah Kuala.

c. Untuk mengetahui wawasan dan kompetensi guru yang membina pendidikan

karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala.

d. Untuk mengetahui indikator-indikator keberhasilan pendidikan karakter di

Labschool Universitas Syiah Kuala.

e. Untuk mengetahui faktor penunjang dan kendala dalam penyelenggaraan

pendidikan karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Toeretis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan pendidikan

karakter dalam membina dan mengarahkan perserta didik secara holistik pada

sekolah bersistem fullday school, sehingga dapat menciptakan bukan hanya

karakter peserta didik melainkan karakter para guru yang menjadi pendidik dalam

menyampaikan pendidikan karakter itu sendiri. Dengan demikian, hasil penelitian

ini dapat memperkaya khasanah teoretik pendidikan karakter yang terfokus pada

pendidikan karakter di persekolahan formal. Selain itu, bagi Jurusan Pendidikan

Umum yang bergerak di bidang pengembangan nilai, hasil penelitian ini akan

semakin memperkaya literature kajian pendidikan karakter dan nilai-nilai budaya

(27)

2. Manfaat Praktis

Hasil-hasil penelitian ini dapat berguna:

a. Bagi peneliti, penelitian ini berguna sebagai bahan untuk menembangkan

pendidikan karakter dalam sekolah yang menggunakan sistem fullday school,

sehingga tercipta sekolah yang mampu mengembangkan pendidikan karakter

yang sesuai dengan lingkungan budaya sekolah tersebut.

b. Bagi sekolah-sekolah, hasil penelitian ini berguna terutama dalam upaya

menciptakan kebijakan sekolah sebagai sarana interventif dalam mengarahkan

kegiatan persekolahan agar terus mengandung nilai-nilai karakter.

c. Khususnya bagi Labschool Unsyiah, berbadasarkan temuan penelitian dan

diperkaya dengan tinjauan teoritis, telah disusun pokok-pokok pikiran sebagai

rekomendasi untuk pengembangan pendidikan di masa yang akan datang.

Butir-butir rekomendasi itu terdapat dalam Lampiran 1.

d. Bagi siswa, hasil penelitan ini berguna agar setiap program yang

dikembangkan sekolah senantiasa diikuti dan ditaati dalam rangka

pengembangan karakter yang terdapat pada siswa itu sendiri.

e. Bagi peneliti lain, penelitian ini berguna sebagai bahan kajian lebih lanjut

dengan jenis sekolah yang berbeda agar dapat dipersamakan dan

diperbandingkan agar memperkaya khasanah keilmuan khususnya mengenai

karakter-karakter dengan jenis sekolah yang berbeda.

f. Bagi pengambil keputusan/kebijakan pendidikan. Hasil penelitian ini dapat

menjadi masukan bagi pengambil kebijakan pendidikan dalam lingkup

(28)

tingkat satuan pendidikan untuk umpan balik (feedback) pengembangan

pendidikan karakter. Praktik-praktik terbaik (good practice) pendidikan

karakter di Labschool Unsyiah diharapkan menjadi bahan rujukan untuk

pengembangan model pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Sedangkan

hal-hal yang masih lemah diharapkan ada upaya perbaikan dari jajaran

Kemendiknas.

E. Struktur Organisasi Disertasi

Naskah Disertasi terdiri dari lima (5) Bab I Pendahuluan, menyajikan latar

belakang masalah, fokus dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian dan struktur organisasi penulisan.

Bab II merupakan kajian kepustakaan tentang urgensi pendidikan karakter.

Membahas tentang, pengertian karakter dan pendidikan karakter, karakteristik

sistem fullday, grand disain pendidikan karakter, strategi pendidikan karakter di

sekolah, pendidikan karakter dalam konteks pendidikan umum dan kajian studi

terdahulu.

Bab III merupakan penjelasan metodologis. Membahas tentang

pendekatan penelitian, lokasi dan subyek penelitian, teknik pengumpulan data,

teknik penafsiran data, prosedur validasi dan etika penelitian.

Bab IV merupakan sajian hasil-hasil penelitian dan pembahasan.

Sedangkan Bab V merupakan bab penutup, yang terdiri atas kesimpulan umum,

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, di mana masalah yang

diteliti berupa kajian deskriptif analitik yang bersifat fenomenologis-interpretatif.

Pada prinsipnya kajian fenomenologis-interpretatif dalam penelitian kualitatif

merupakan ukuran-ukuran untuk memilih masalah-masalah dan data-data yang

berkaitan satu sama lainnya.

Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini berimplikasi

pada penggunaan fenomena kualitatif yang mekanismenya secara konsisten

dilakukan dari mulai pengolahan data sampai dengan membuat kesimpulan tidak

menggunakan perhitungan ataupun pengolahan secara matematis dan statistik,

melainkan lebih menekankan pada kajian interpretative atau analisis deskriptif.

Lebih tegas Creswell (1998:15) mendefinisikan penelitian kualitatif

sebagai berikut:

Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.

Kutipan di atas memberikan pemahaman bahwa penelitian kualitatif

adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi

penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti

(30)

melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan

penelitian dalam situasi alamiah. Karakteristik pokok yang menjadi perhatian

dalam penelitian kualitatif adalah kepedulian terhadap ”makna”. Dalam hal ini

penelitian naturalistik tidak peduli terhadap persamaan dari objek penelitian

melainkan sebaliknya mengungkap tentang pandangan tentang kehidupan dari

orang yang berbeda-beda. Pemikiran ini didasari pula oleh kenyataan bahwa

makna yang ada dalam setiap orang berbeda-beda. Untuk mengungkapkan

keunikan seseorang digunakan pendekatan lain, maka yang utama adalah dengan

menggunakan manusia sebagai instrument utamanya.

Penelitian kualitatif dengan metode fenomenologis didasarkan pada

falsafah fenomenologi, di mana peneliti berupaya merumuskan suatu pertanyaan

yang kemudian dianalisis berdasarkan pada pertanyaan “persepsi” partisipan

mengenai fenomena yang sedang diteliti. Hal ini dapat dilakukan dengan cara

meminta partisipan untuk mengungkapkan persepsi mereka tentang fenomena

(Dempsey, 2002).

Pada penelitian ini peneliti menggali dimensi pendidikan moral karakter

dalam program dan aktivitas di sekolah melalui sistem “fullday school” sebagai

upaya membina siswa yang berkepribadian utuh di SMA Labschool Universitas

Syiah Kuala Banda Aceh. Dengan pendekatan fenomenologi ini, peneliti meneliti

gejala dan kebiasaan serta pengalaman-pengalaman di lapangan berkaitan dengan

kegiatan di SMA Lab School dengan system fullday school ini.

Hakikatnya prinsip fenomenologi berkenaan dengan pemahaman tentang

(31)

Lebenswelt terbentuk. Fenomenologi bertujuan mengetahui bagaimana kita

menginterpretasikan tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sebuah yang

bermakna (dimaknai) dan untuk merekonstruksi kembali turunan makna (makna

yang digunakan saat berikutnya) dari tindakan yang bermakna pada komunikasi

intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial.

Dalam fenomenologi, setiap individu secara sadar mengalami sesuatu yang

ada. Sesuatu yang ada yang pada kemudian menjadi pengalaman yang senantiasa

akan dikonstruksi menjadi bahan untuk sebuah tindakan yang beramakna dalam

kehidupan sosialnya.

Manakala berbicara sesuatu yang dikonstruksi, tidak terlepas dari

interpretasi pengalaman di dalam waktu sebelumnya. Interpretasi itu sendiri

berjalan dengan ketersediaa dari pengetahuan yang dimiliki. Namun demikian,

sebagai mana proses interpretasi, harus diperhatikan kemampuan menangkap

lebih jauh atau melihat sesuatu lebih jauh (seeing beyond) dalam fenomena yang

sedang dikonstruksi itu.

Jika dilanjutkan dengan fenomenologi sebagai sebuah metodologi

penelitian, walaupun ada juga yang lebih senang menyebut sebagi tradisi

penelitian, maka kita dapat menelusuri beberapa pengertian yang sederhana.

Menurut Husserl (Creswell, 1998: 52) dalam penelitian fenomenologis peneliti

berusaha mencari tentang:

(32)

Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami

dalam kesadaran, dalam kognitif dan dalam tindakan-tindakan perseptual.

Fenomenologi mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan

konsep kunci yang intersubyektif. Studi fenomenologi dalam pelaksanaannya

memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapi peneliti. Creswell (1998: 55)

menjelaskan tantangan tersebut yaitu:

1. the researcher requires a solid grounding in the philosophical precepts of phenomenology;

2. the participants in the study need to be carefully chosen to be individuals who have experienced the phenomenon;

3. bracketing personal experiences by the researcher may be difficult; 4. the researcher needs to decide how and in what way his or her

personal experiences will introduced into the study.

Hakikatnya tantangan itu harus mampu dihadapi oleh seorang

fenomenolog, penguasaan pada landasan filosofis dalam cara fikir fenomenologi,

kemampuan memilih individu sebagai subjek yang mengalami yang akan

dieksplorasi, kemampuan memelihara dan meningkatkan kemampuan logos

fenomenologi, dan memilih serta memilah pengalaman bermakna yang

dikonstruksi oleh subjek penelitian.

B. Sumber Data

Sumber data adalah subjek yang bisa memberikan data penelitian, subjek

dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam dua kelompok.

Pertama, sumber informan (human resources) sebagai sumber primer

yang dipilih berdasarkan kedekatan dan pengetahuan informan dengan peristiwa

(33)

fenomenologi, kriteria informan yang baik adalah “all individuals studied

represent people who have experienced the phenomenon” (Creswell, 1998:118).

Sumber data pada bagian ini antara lain: siswa-siswi SMA Labschool Unsyiah

Banda Aceh, Para Guru, Komponen Sekolah lainnya seperti penjaga, Tenaga

Kependidikan dan Kepala Sekolah serta masyarakat di lingkungan sekolah.

Kedua, sumber pendukung, yaitu berupa data-data kepustakaan sebagai

sumber sekunder yang digunakan untuk melengkapi sumber informan atau

mengenail hal-hal yang tidak diperoleh dari informan. Data sekunder diperlukan

untuk memperkuat, melengkapi atau menguji kebenaran data yang diperoleh dari

informan.

Sumber pendukung ini bisa berupa transkripsi atau catatan hasil

wawancara dengan para informan, dokumen tertulis seperti dokumen resmi

negara, berupa surat keputusan, laporan-laporan, notulen rapat, transkripsi

workshop, seminar, symposium, buku, makalah, artikel, yang diperoleh dari surat

kabar, majalah, jurnal, situs internet, baik yang terkoleksi di berbagai

perpustakaan, terjual di toko buku maupun yang tersimpan di arsip kantor.

C. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Untuk menguji hasil penelitian ini, penulis memerlukan instrumen yang

tepat, instrumen yang digunakan dalam dalam penelitian adalah penulis sendiri

(sole instrument) yang terjun langsung ke lapangan untuk mencari informasi

(34)

memungkinkan peneliti banyak mengadakan kontak dengan manusia artinya

selama proses penelitian penulis lebih banyak mengadakan kontak dengan

orang-orang baik siswa, guru maupun masyarakat sekitarnya. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Creswell (2010; 264) dan Bogdan dan Biklen (1982: 33-36) tentang

ciri-ciri kualitatif khususnya dalam instrumen penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah teknik

pengumpulan data kualitatif, yang meliputi studi wawancara mendalam, studi

dokumentasi, studi literatur dan observasi. Pengambilan data dilakukan dengan

metode snowball sampling dengan proses jumlah kecil informan kemudian

melibatkan pihak yang terkait dengan informan awal untuk dijadikan informan

dan seterusnya sehingga menjadi besar seperti bola salju (snowball).

Agar memperoleh data akurat dan efektif maka untuk menggali informasi

yang terkait dengan permasalahan penelitian penulis menggunakan sejumlah

teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara mendalam dan studi

dokumentasi. Untuk lebih jelasnya teknik pengumpulan data secara operasional

adalah sebagai berikut:

a. Observasi atau pengamatan dilakukan dengan kegiatan pengumpulan data

langsung yang biasanya mencakup realitas sosial, fakta sosial, atau peristiwa

sosial sesuai objek penelitian. Pengamatan ini dilakukan di sekitar lingkungan

(35)

b. Wawancara dengan wawancara mendalam (indepth inverview) hal ini

dilakukan dengan para informan baik secara formal maupun informal,

dilakukan secara interaktif melalui pertanyaan dan jawaban yang terbuka.

Walaupun pada awalnya peneliti sudah mempersiapkan daftar pertanyaan,

pada pelaksanaannya, tidak kaku mengikuti daftar pertanyaan yang telah

dibuat. Wawancara mengalir sesuai dengan respon atau jawaban informan.

Hal terpenting dari kegiatan wawancara adalah dapat menggali semua data

yang dicari.Seperti pada tradisi fenomenologi sebagaimana dikemukakan

Creswell (1998:122) “for a phenomenological lstudy, the process of

collecting information involves primarily in-depthinterviewrs”, maka dalam

penelitian ini wawancara mendalam merupakan teknik pengumpulan data

yang diutamakan. Hasil-hasil wawancara terdokumentasi dalam perekam

audio (tape recorder) dan perekam gambar hidup (handycam) dan foto.

c. Studi Dokumentasi adalah studi yang difokuskan pada upaya mempelajari

sumber-sumber tertulis baik berupa laporan penelitian, dokumen resmi

negara, buku teks, surat edaran, pamplet, selebaran, artikel di media massa,

dan catatan-catatan pribadi, makalah dan artikel di jurnal.

D. Subjek dan Lokasi Penelitian

1. Subjek Penelitian

Pemilihan subjek penelitian dilakukan untuk mencari informasi secara

rinci yang sifatnya spesifik yang memberikan kekhasan yang unik. Untuk

(36)

latar atau situasi dan tempat berlangsungnya proses pengumpulan data, yakni di

dalam dan di luar sekolah, misalnya melakukan wawancara di rumah, di kantor,

wawancara formal dan informal, berkomunikasi secara resmi atau tidak resmi.

Kriteria kedua, adalah subjek penelitian utama yaitu siswa. Kriteria ketiga

adalah peristiwa, yang dimaksud adalah pandangan, pendapat dan penilaian dari

para pengamat atau para pakar dalam penelitian kualitatif sering disebut check

and balance, artinya untuk mengecek kembali kesahihan hasil penelitian tersebut.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Labschool Universitas Syiah Kuala

Banda Aceh dengan rentang waktu yang cukup panjang.

a. Alat Bantu Penelitian

Untuk mempermudah peneliti dalam mendapatkan data penelitian peneliti

menggunakan alat bantu penelitian berupa:

1) lembar Pedoman wawancara dan serta lembar catatan wawancara atau fields

notes; dan

2) media perekam: seperti kamera, rekaman, alat tulis dan buku catatan.

b. Dokumentasi

Langkah berikutnya adalah melakukan dokumentasi sebagai data primer

berupa transkrip dan catatan lapangan, handphone perekam dan catatan lapangan,

handphone dan catatan lapangan hasil wawancara mendalam terdapat pada

(37)

percakapan yang direkam, namun hanya pembicaraan yang berhubungan dengan

penelitian saja.

E. Pengolahan Data

Setelah data diperoleh, kemudian peneliti melakukan langkah pengolahan

data. Pengolahan data kualitatif dengan tahapan sebagai berikut.

1. Membandingkan (Comparehending)

Data yang sudah dikumpulkan diberik kode atau label kemudian

menggunakan teori sebagai pembandingnya. Jadi pada tahap ini peneliti

membuat data yang baru dan menarik yang masuk atau data yang sebelumnya

sudah ada. Tahap comparehending ini dimulai dari:

a. Hasil perekaman maupun hasil catatan wawancara dan observasi

b. Kegiatan selanjutnya peneliti melakukan pengkajian dan penelaahan

sambil mencermati hasil rekaman

c. Untuk mempermudah, peneliti juga memberikan pengkodean untuk

mendapatkan kata kunci, kategori dan tema.

2. Sintesa (synthesizing)

Synthesizing merupakan bagian dari data yang dikumpulkan melalui

analisis informasi atau perbandingan transkrip yang berasal dari beberapa

informasi, kemudian dengan analisa kategori dipilih dari kata yang sering muncul,

yang terdiri dari bagian transkrip atau catatan yang dikombinasikan dengan

(38)

3. Teori (theorizing)

Pada tahapan ini, peneliti melakukan fase pemisahan untuk melakukan

pencocokan data secara sistematik dari model-model yang sudah terpilih kedalam

data.

4. Analisa

Alasan pemilihan metode analisa ini didasarkan pada kesesuaian dengan

filosofi Hussserl, yaitu suatu penampakan fenomena hanya akan ada bila ada

subjek yang mengalami fenomena (informan), sehingga sangat cocok untuk

memahami arti dan makna suatu fenomena pengalaman stigma pada keluarga

dengan gangguan jiwa di rumah.

Adapun langkah-langkah analisa sebagai berikut:

a. Membuat deskripsi informasi tentang fenomena dari informan dalam bentuk

narasi yang bersumber dari hasil wawancara dan field note.

b. Membaca kembali secara keseluruhan deskripsi informasi dari informan

untuk memperoleh perasaan yang sama seperti pengalaman informan. Peneliti

melakukan 3 – 4 kali membaca transkrip untuk merasa hal yang sama seperti

informan.

c. Mengidentifikasi kata kunci melalui penyaringan pernyataan informan yang

signifikan dengan fenomena yang diteliti. Pernyataan-pernyataan yang

merupakan pengulangan dan mengandung makna yang sama atau mirip maka

pernyataan ini diabaikan.

d. Memformulasikan arti dari kata kunci dengan cara mengelompokkan kata

(39)

kata kunci yang sejenis. Peneliti sangat berhatihati agar tidak membuat

penyimpangan arti dari pernyataan informan dengan merujuk kembali pada

pernyataan informan yang signifikan. Cara yang perlu dilakukan adalah

menelaah kalimat satu dengan yang lainnya dan mencocokkan dengan field

note.

e. Mengorganisasikan arti-arti yang telah teridentifikasi dalam beberapa

kelompok tema. Setelah tema-tema terorganisir, peneliti memvalidasi kembali

kelompok tema tersebut.

f. Mengintegrasikan semua hasil penelitian ke dalam suatu narasi yang menarik

dan mendalam sesuai dengan topik penelitian.

g. Mengembalikan semua hasil penelitian pada masing-masing informan untuk

divalidasi kembali oleh mereka setelah traskrib dibuat. Setiap ada informasi

baru dari informan lalu diikutsertakan pada deskripsi hasil akhir penelitian.

F. Validitas Data

Untuk memeriksa keabsahan data dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan teknik triangulasi yaitu pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau

sebagai perbandingan terhadap data yang telah diperoleh dari responden

(Moleong, 2006).

Triangulasi dengan sumber dalam penelitian ini dicapai dengan

membandingkan data dengan teknik melakukan wawancara di tempat dan waktu

(40)

ulang dengan pertanyaan yang sama untuk validasi data. Peneliti kemudian

membuat transkrip baru berdasarkan data yang didapatkan dari wawancara ulang

untuk dibandingkan dengan transkrip awal yang telah peneliti dapatkan

sebelumnya. Hasil validasi tersebut di dapatkan data yang sama dengan data

sebelumnya.

G. Etika penelitian

Etika dalam penelitian kualitatif diantaranya ada yang disebut dengan

informed consent, anonimity, dan confidentiallity. Informed consent, maksudnya

memberikan penjelasan kepada informan mengenai maksud dan tujuan penelitian

serta memberikan lembar persetujuan menjadi informan dengan tujuan agar

informan mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya.

Bila informan bersedia, maka informan harus menandatangani lembar persetujuan

dan jika informan menolak, maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati

haknya. Anonymity adalah berusaha untuk menjaga kerahasiaan, artinya identitas

responden tetap dijaga. Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan juga

dijamin oleh peneliti dengan menyimpan hasil rekaman tersebut secara baik dan

(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan Umum

Hasil pengkajian lapangan menunjukkan bahwa pengembangan

pendidikan karakter telah menjadi bagian penting dari visi dan misi SMA

Labschool Unsyiah, Banda Aceh. Pendidikan karakter telah menjadi “ruh” dari

sekolah ini, dan telah dikembangkan secara terprogram serta alamiah dalam

lingkup sekolah. Meskipun pihak pimpinan sekolah dan guru-guru masih relatif

kurang memperoleh informasi dan pemahaman tentang kebijakan terbaru

pendidikan nasional tentang pendidikan karakter, tetapi dimensi-dimensi

substansial pendidikan karakter telah dikembangkan sejak sekolah mulai

difungsikan. Adanya penekanan pendidikan pada sisi moral karakter, dapat dilihat

pada suasana budaya sekolah yang tercermin dari kegiatan-kegiatan keseharian di

sekolah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan pendidikan karakter

di sekolah ini, disamping dilakukan melalui pengajaran mata pelajaran di dalam

kelas, juga diperkaya dengan kegiatan-kegiatan di luar kelas, atau apa yang di

sekolah ini disebut dengan “outdoor learning”. Sistem belajar sehari penuh, sejak

pukul 07.45 sampai pukul 18.00 telah memberi kesempatan kepada siswa untuk

mengembangkan karakter dalam budaya sekolah ini. Kegiatan-kegiatan tipikal di

sekolah ini, seperti “active learning”, “system moving class”, ”ICT minded”, “

(42)

luar kelas, diasumsikan sebagai kegiatan yang kondusif untuk pendidikan

karakter.

Pendidikan karakter di SMA Labschool Unsyiah dilaksanakan secara

komprehensif, terintegrasi, sistemik dan dengan dukungan dari semua warga serta

komunitas sekolah. Hasil penelitian menemukan adanya “best practice

pendidikan karakter di Labschool Unsyiah, yaitu lingkungan sekolah yang

kondusif, kultur sekolah yang mendidik, pendekatan belajar yang aktif dan

menyenangkan, kegiatan ekstrakurikuler yang terarah, dukungan komunitas

sekolah yang partisipatif, dan last but not least pemantapan karakter IMTAQ dan

akhlak mulia melalui pendidikan agama yang diperkaya dengan habituasi aktivitas

keagaamaan di sekolah dan di luar sekolah.

Selain nilaikarakter yang secara holistik dan terintegrasi diajarkan dan

dikembangkan di Labschool Unsyiah, terdapat juga nilai-nilai inti yang mendapat

perhatian khusus untuk pendidikan karakter. Nilai-nilai karakter itu antara lain;

religius, disiplin, kejujuran, rasa hormat, kesantutan, persahabatan, kerjasama,

rajin belajar, kreatif, inovatif, mandiri, visioner, peduli lingkungan dan

bertanggung jawab. Nilai-nilai ini diajarkan dan dibudayakan di sekolah sehingga

diharapkan menjadi tipikal sekolah yang muncul pada karakter siswa.

Dimensi pendidikan moral karakter di Labschool Unsyiah secara prinsip

memiliki keserasian karakteristik dengan konsepsi pendidikan karakter yang

dikembangkan dalam grand disain pendidikan karakter secara nasional.

Keserasian karakteristik itu antara lain tercermin dari visi, misi, tujuan, substansi

(43)

pendidikan karakter di labschool dilaksanakan secara holistik dan terintegrasi

dalam keseluruhan program dan kegiatan di sekolah, yaitu melalui proses belajar

mengajar di kelas, estrakurikuler, pembiasaan, penguatan dan pembudayaan di

sekolah. Dengan kata lain, praktik pendidikan moral karakter telah menyentuh

tiga ranah yaitu: moral knowing, moral feeling and moral acting. Pendidikan

karakter yang dikembangkan di labschool ini memiliki empat dimensi proses

psikososial seperti yang dikembangkan dalam grand disain pendidikan karakter,

yaitu: olah pikir, olah hati, atau olah rasa dan karsa serta olah raga. Tentu saja

bobot ketercapaian dari dimensi-dimensi itu adalah bersifat kualitatif dan masih

sulit untuk diukur secara kuantitatif.

Meskipun belum saatnya untuk menilai keberhasilan pendidikan karakter

di Labschool Unsyiah, tetapi terdapat indikator-indikator yang dapat diasumsikan

sebagai hasil atau efek positif dari pendidikan karakter. Indikator itu antara lain,

adanya pencapaian akademik yang membanggakan yang dapat dilihat dari

tingginya hasil ujian nasional, tingkat kelulusan memasuki perguruan tinggi, dan

daftar prestasi sekolah dalam berbagai bidang studi, olah raga, seni dan

penguasaaan IT. Dari sisi moral-karakter, belum ada siswa sekolah labschool yang

terlibat dalam kasus-kasus yang meresahkan.

Selain beberapa ”best practice” pendidikan karakter yang telah sukses

dikembangkan di sekolah, masih ada juga sisi kekurangan dan tantangan yang

berkaitan dengan pendidikan karakter di Labschool Unsyiah. Salah satu

kekurangannya adalah belum adanya ”dokumen sekolah” yang komprehensif

(44)

sekolah menunjukkan bahwa banyak praktik ”best practice” yang telah berjalan di

sekolah justru tidak memiliki dasar konseptual yang terbukukan. Pada sisi lain,

faktor kompetensi guru merupakan salah satu hal yang patut mendapat perhatian

untuk perbaikan dan peningkatan.

B. Kesimpulan Khusus.

Dari kesimpulan umum yang telah diuraikan di atas, dirumuskan

kesimpulan khusus sebagai tesis dari penelitian sebagai berikut:

1. Penerapan sistem fullday school memiliki landasan filosofis, sosiologis,

psikologis dan akademis.

2. Sistem fullday meru[akan jawaban strategis sekolah terhadap dilema beban

kurikulum versus keterbatasan waktu di sekolah, sehingga memungkinkan

bobot kurikulum nasional dapat dicapai dengan baik dan memungkinkan pula

kurikulum diperkaya dengan kurikulum plus.

3. Oleh karena fullday memperpanjang “visa anak tinggal di sekolah”, maka ia

memberikan kesempatan yang lebih luas bagi sekolah di satu pihak, dan bagi

siswa dan orang tua di pihak yang lain, untuk mengembangkan pilihan-pilhan

sekolah yang memungkinkan dicapainya mutu akademik yang lebih baik, dan

pengembangan aspek nilai karakter yang lebih baik pula.

4. Penerapan sistem fullday adalah “match” dengan kondisi psiko-sosio anak

dan kebutuhan/tuntutan orang tua maupun juga sebagai respon inovatif

(45)

C. Rekomendasi

Beberapa hal yang perlu di rekomendasikan berdasarkan hasil temuan

penelitian ini yaitu:

1. Pengejawantahan pendidikan karakter pada Labschool Unsyiah Banda Aceh

telah banyak yang memiki dimensi-dimensi positif dan selaras dengan harapan

tujuan pendidikan nasional. Sementara itu, di sisi lain, masih banyak pula

dimensi pendidikan karakter yang masih perlu dibenahi di sekolah ini. Salah

satu yang paling penting dilakukan adalah pemantapan pemahaman dan

kompetensi guru tentang pendidikan karakter, baik konseptual maupun

metodologis. Oleh karena itu, kepada manajemen sekolah maupun jajaran

Dinas Pendidikan terkait perlu merespon dengan baik masalah kompetensi

guru ini.

2. Menurut pengamatan penulis di Labschool Unsyiah, deseminasi kebijakan

nasional tentang gerakan pendidikan karakter dengan segala gagasan dan

acuan operasionalnya dirasakan relatif masih kurang geliatnya. Mengingat

sifat pentingnya dari kebijakan nasional itu, seyogyanya lebih banyak lagi

upaya-upaya yang dilakukan oleh instansi terkait sebagaimana di atur dalam

grand disain pendidikan karakter, khususnya tentang pedoman implementasi

pendidikan karakter pada tataran sekolah.

3. Berdasarkan “best practice” pendidikan karakter yang telah ditunjukkan oleh

Labschool Unsyiah, patut kiranya sekolah ini dijadikan sebagai salah satu

“sekolah percontohan pendidikan karakter” di Aceh. Hal ini sejalan dengan

(46)

sekolah percontohan atau laboratorium pendidikan karakter maknanya

bukanlah labschool ini sebagai sekolah yang telah “siap pakai” dengan

keberhasilan pendidikan karakternya. Akan tetapi hendaknya sekolah ini dapat

dijadikan sebagai “center of excellent” untuk merancang, mengujicoba dan

mengembangkan konsep, model atau pendekatan pendidikan karakter yang

inovati, efektif serta menjadi rujukan bagi sekolah lainnya. Selain itu, sebagai

sebuah pusat pendidikan, sekolah ini juga menjadi tempat untuk deseminasi,

sosialisasi, internalisasi maupun juga institusionalisasi pendidikan karakter

dalam arti yang luas.

4. Kepada stakeholder Labschool Unsyiah disarankan agar lebih

memberdayakan labschool dari dimensi pengembangan karakter. Misalnya,

usulan program pendidikan karakter yang digagas oleh sekolah, guru-guru

maupun oleh siswa seyogyanya perlu didukung secara moral maupun secara

financial sehingga dapat dilaksanakan dengan baik bersamaan dengan sukses

akademik yang telah dicapai oleh sekolah selama ini. Adapun stakeholder

Labschool Unsyiah adalah rektorat, yayasan, komite sekolah, orang tua,

donator dan pendiri labschool.

5. Kepada jajaran Kemendiknas di Aceh, khususnya Dinas Pendidikan Provinsi

Aceh dan Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh, disarankan agar lebih banyak

lagi memberi perhatian, dukungan manajerial dan financial untuk kemajuan

Labschool Unsyiah di masa mendatang. Selain memberikan dukungan

(47)

terhadap pengembangan pendidikan karakter di Labschool Unsyiah hendaknya

menjadi prioritas, apalagi mengingat status sekolah ini sebagai sekolah swasta.

6. Kepada pimpinan yayasan, pimpinan sekolah dan juga guru-guru disarankan

agar lebih banyak mengadakan rapat-rapat sekolah untuk membahas dan

mengevaluasi pendidikan karakter. Dengan demikian, diharapkan proses dan

mutu pendidikan karakter di labschool ini semakin membaik dari waktu ke

waktu. Salah satu kekurangan yang harus diperbaiki adalah belum adanya

dokumen sekolah yang memadai tentang pendidikan karakter.

7. Kepada orang tua, masyarakat sekitar, maupun kepada semua siswa perlu

dihimbau dan disosialisasikan pentingnya pendidikan karakter. Dengan

demikian mereka lebih sadar akan upaya pendidikan karakter bagi anak

mereka, baik di sekolah, di rumah, maupun dalam masyarakat luas.

8. Karakter dan pendidikan karakter memiliki spectrum makna yang luas

sehingga sukar untuk dibatasi. Begitu pula halnya dengan pendidikan karakter

di sekolah yang tidak mungkin dapat dikaji secara sempurna dalam waktu

singkat oleh sebuah penelitian. Penelitian ini, dengan segala keterbatasannya,

hanya mengkaji dimensi-dimensi pendidikan karakter secara

deskriptif-fenomenologis dengan maksud untuk diperoleh suatu “profil” pendidikan

karakter di satu sekolah di Aceh, yaitu di SMA Labschool Universitas Syiah

Kuala. Tentu saja masih banyak dimensi yang belum terjamah oleh penelitian

ini. Oleh karena itu, dihimbau adanya studi-studi lain yang mengkaji dimensi

pendidikan karakter di sekolah. Misalnya, penting dikaji pendidikan karakter

(48)

Gambar

Tabel 4.3. Sinopsis Pola-Pola Pengembangan  Pendidikan Karakter Bersih,
Gambar 2.3. Konfigurasi Karakter dalam Konteks Totalitas Proses

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh kebijakan open door policy Jerman terhadap perlindungan pengungsi Suriah membawa dampak positif dan telah sesuai dengan standar hukum Pengungsi

Hal ini disebabkan karena airtanah di daerah ini diperoleh dengan penggalian sedalam lebih dari 20 meter.Selain Mataair Umbulwadon, kedua desa tersebut juga memiliki

Bapak/Ibu dan hadirin yang saya banggakan, Dalam kesempatan ini pula, BKKBN akan melakukan Peresmian Sertifikasi Penyuluh Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan

1 10199362 NADIATUL IKHSANIYAH 11170140000029 Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Masalah Administrasi. Belum Buka Rekening Bank

Jika diketahui suatu matriks A=a ij berukuran mxn maka transpose dari A adalah matriks A T berukuran nxm yang didapat dari A dengan menuliskan baris ke-i dari A sebagai kolom ke-i

Hasil dari penelitian tersebut Terdapat perbedaan yang signifikan pada faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan profesi Akuntan Publik dan Non Akuntan Publik, Terdapat

Faktor yang memengaruhi tingkat kepuasan konsumen civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap kantin unit usaha Dharma Wanita UIN Syarif Hidayatullah

Berdasarkan angket yang telah disebarkan kepada responden tentang persoalan agunan, yaitu: Ketika melakukan pinjaman kebank syariah agunan bukan menjadi