• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESENJANGAN FAKTOR BAHASA DAN FAKTOR BUDAYA DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA ASING:Kajian Analisis Banding dan Analisis Kesalahan dalam Pengajaran Bahasa Indonesia pada Siswa Asing yang Berbahasa Ibu Bahasa Inggris.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KESENJANGAN FAKTOR BAHASA DAN FAKTOR BUDAYA DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA ASING:Kajian Analisis Banding dan Analisis Kesalahan dalam Pengajaran Bahasa Indonesia pada Siswa Asing yang Berbahasa Ibu Bahasa Inggris."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

v

DAFTAR ISI

PERNYATAAN i

ABSTRAK ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiv

BAB I. PENDAHULUAN……….……….…1

1.1 Latar Belakang Masalah……….…… 1

1.2 Perumusan Masalah ……….. 8

1.3 Tujuan Penelitian……… 10

1.4 Kegunaan Penelitian ………..11

1.5 Pembatasan Studi………13

1.6 Landasan Pemikiran………14

1.7 Metode Penelitian………18

1.8 Tempat dan Waktu Penelitian ………...……… 19

1.9 Sumber Data………20

BAB II. KAJIAN BAHASA DAN BUDAYA DALAM PROSES BELAJAR DAN MENGAJAR BAHASA………... 22

2.1 Hakikat Bahasa………. 22

(2)

vi

2.3 Hubungan Bahasa dan Budaya………. 29

2.4 Belajar dan Mengajara Bahasa………. 32

2.4.1 Belajara Bahasa………. 32

2.4.2 Pendekatan Psikologi Belajar..……….. 32

2.4.2.1 Pendekatan Behavioristik………... 33

2.4.2.2 Pendekatan Mentalistik………. . 34

2.4.2.3 Pendekatan Prosedural……… 35

2.4.2.4 Teori Belajar Kognitif Ausubel……….. 36

2.4.2.5 Teori Psikologi Humanistik Rogers……… 38

2.5 Belajar dan Mengajar Bahasa Asing………. 40

2.5.1 Analisis Banding ………... 41

2.5.2 Analisis Kesalahan………. 45

2.5.3 Analisis Penampilan………... 51

2.5.3.1 Perkembangan Sintaksis……….. 51

2.5.3.2 Perkembangan Morfologi……… 52

2.5.3.3 Perkembangan Leksikal………... 55

2.5.3.4 Perkembangan Fonologi……….. 56

BAB III. METODE PENELITIAN ………..58

3.1 Fokus..……….58

3.2 Kesesuaian Paradigma dengan Fokus ……… ……….60

3.3 Kesesuaian Paradigma denganTeori Substantive ………… .………61

(3)

vii

3..5 Tahapan Penelitian………64

3.5.1 Tahap Orientasi………64

3.5.2 Tahap Penelitian Utama………...65

3.6 Alat Pengumpul Data………..65

3.7 Teknik Pengumpulan dan Pencatatan Data………66

3.7.1 Wawancara………...66

3.7.2 Pengamatan………..69

3.7.3 Pengumpulan Dokumen………...69

3.8 Analisis Data………...71

3.8.1 Pembuatan satuan-satuan dan Pengkodean ……….…71

3.8.2 Pengkategorian ………73

3.8.3 Penafsiran data……….73

3.8.4 Pembanguan Teori………...75

3.9 Persiapan Logistik………..75

3.10 Membangun Tingkat Kepercayaan ………..76

BAB IV. ANALISIS BANDING DAN ANALISIS KESALAHAN FAKTOR BAHASA DAN FAKTOR BUDAYA INDONESIA DENGAN FAKTOR BAHASA DAN FAKTOR BUDAYA BAHASA INGGRIS……….78

4.1 Analisis Banding dan Analisis Kesalahan Faktor Bahasa antara Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris………..79

4.1.1 Analisis Banding dan Analisis Kesalahan Faktor Fonologi Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris………..……… 80

(4)

viii

4.1.1.2 Perbandingan Konsonan Bahasa Indonesian dengan Konsonan

Bahasa Inggris………... 105

4.1.2 Analisis Banding dan Analisis Kesalahan Faktor Morfologi Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris……… 127

4.1.2.1 Perbandingan Morfologis Afiksasi Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris……… 128

4.1.2.2 Kesalahan Penggunaan Afiks Bahasa Indonesia………... 138

4.1.2.3 Perbandingan Proses Morfologis Perubahan Internal Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris…………..………..………142

4.1.2.4 Perbandingan Morfologis Pengulangan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris… ………..………... .144

4.1.2.5 Perbandingan Proses Morfologis Nol Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris……….……….. 148

4.1.2.6 Perbandingan Morfologis Penggantian Menyeluruh Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris………...………... 149

4.1.2.7 Perbandingan Proses Morfologis Suprasegmental Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris ……….………..149

4.1.3 Analisis Banding dan Analisis Kesalahan Sintaksis Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris……….……… .153

4.1.3.1 Perbandingan Pola Kalimat Dasar Bahasa Indonesia dengan Pola kalimat Dasar Bahasa Inggris ………153

4.1.3.2 Infleksi……… 155

4.1.3.3 Korelasi Bentuk-Bentuk………. 156

4.1.3.4 Intonasi dan Tekanan Suara ………...158

4.1.3.5 Kesalahan Sintaksis……… 161

4.1.3.6 Kesalahan Tekanan Suara……….. 164

(5)

ix

Indonesia dengan Leksikal Bahasa Inggris...……….... 167 4.1.4.1 Analisis Banding Leksikal Bahasa Indonesia dengan Leksikal

Bahasa Inggris……… 167 4.1.4.2 Kesalahan Penggunaan Leksikal Bahasa Indonesia………... 171 4.2 Analisis Banding dan Analisis Kesalahan Faktor Budaya Indonesia

dengan Budaya Inggris…….……….. 176 4.2.1 Analsis Banding Faktor Budaya Indonesia dengan Budaya Inggris....…. 176 4.2.2 Kesalahan Faktor Budaya Indonesia………. 180 4.2.2.1 Kesalahan Budaya yang Terkandung dalam Penggunaan Kata………..180 4.2.2.2 Kesalahan Budaya yang Terkandung dalam Satuan Kalimat …….. … 183 4.2.2.3 Kesalahan Budaya yang Terkandung dalan Wacana………….……….184 4.2.2.4 Kesalahan Budaya yang Terkandung dalam Kesalahan Non-verbal … 187 4.3 Kendala Utama Faktor Bahasa dan Faktor Budaya Indonesia bagi

Siswa Asing yang Berbahasa Ibu Bahasa Inggris……… 189 4.3.1 Kendala Utama Faktor Bahasa ………. 189 4.3.2 Kendala Utama Faktor Budaya ……… 191

BAB V. PENGAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI SISWA ASING YANG BERBAHASA IBU BAHASA INGGRIS DAN MODEL

MATERI PELAJARANNYA……..……….…………..192 5.1 Pengajaran Bahasa Indonesia pada Siswa yang Berbahasa Ibu Bahasa

Inggris……….………..…...192 5.1 1. Pengajaran Sistem Bunyi Bahasa Indonesia……….…193 5.1.2 Pengajaran Faktor Morfologi yang Menjadi Kendala ……….…….200 5.1.3 Pengajaran Faktor Budaya Indonesia kepada Siswa Peturur Asli Bahasa

(6)

x

sebagai Bahasa Asing bagi Para Siswa yang Berbahasa Ibu Bahasa

Inggris ……… ……212

5.3 Model Materi Pelajaran Bahasa Indonesia bagi Siswa Asing yang Berbahasa Ibu Bahasa Inggris………..213

5.3.1 Model Materi Pelajaran untuk Tingkat Dasar………....214

5.3.2 Model materi Pelajaran untuk Tingkat lanjutan ………....218

5.3.3 Model materi Pelajaran untuk Tingkat Atas………..…222

BAB VI. SIMPULAN DAN REKOMENDASI………227

DAFTAR PUSTAKA ……….233

LAMPIRAN-LAMPIRAN: A. DATA PERBANDINGAN 1922 LEKSIKAL BAHASA INDONESIA ……….…236

B. DATA TRANSKRIP REKAMAN WAWANCARA SUMBER DATA 1 SAMPAI DENGAN SUMBER DATA 7………..253

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

(8)

Indonesia sebagai bahasa asing dipelajari di luar negeri (di luar Indonesia) seperti di Australia dan di Amerika serikat, yang diajarkan secara khusus untuk keperluan yang khusus pula. Kedua, bahasa Indonesia diajarkan di dalam negeri. Pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing di dalam negeri biasanya ditujukan agar siswa mempunyai kemampuan berbahasa Indonesia untuk berkomunikasi langsung dengan orang-orang Indonesia , baik secara lisan ataupun tertulis, seperti halnya pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing yang diberikan kepada sekelompok orang Amerika dan orang Australia yang bertugas sebagai dosen dan mahasiswa di Sekolah Tinggi Teologia Injili Indonesia (STTII) di Yogyakarta. Mereka diwajibkan untuk memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia dalam menyampaikan dan menerima pelajaran di kelas.

(9)

dalam faktor bahasa ataupun dalam faktor budaya disebabkan oleh terjadinya proses perpindahan (transfer) faktor bahasa dan faktor budaya siswa asing ke dalam faktor bahasa dan faktor budaya bahasa Indonesia yang mereka gunakan.

(10)

Pada minggu pertama dan minggu kedua kelompok siswa yang berasal dari Amerika Serikat masih berada dalam tahapan pelajaran prakomunikasi. Mereka masih berkonsentrasi pada penghafalan pola kalimat dasar dan kosakata. Komunikasi dalam bahasa Indonesia mereka masih”belum jalan”. Hal ini terjadi karena sebelumnya mereka sama sekali belum pernah belajar bahasa Indonesia. Sementara kelompok siswa yang berasal dari Australia sudah “dapat berkomunikasi”. Hal ini dapat dipahami karena sebelum mereka datang ke Indonesia , mereka telah mempelajari bahasa Indonesia di negara mereka.

Pada minggu kedelapan, kelompok siswa yang berasal dari Amerika Serikat sudah “mampu” berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Mereka sudah dapat menggunakan bahasa Indonesia untuk kepentingan sehari-hari baik di dalam kelas mauaupun di luar kelas. Setelah berjalan selama delapan minggu kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia untuk keperluan sehari-hari, khususnya berkomunkasi secara lisan, kelompok siswa yang berasal dari Amerika Serikat sudah dapat menyamai kemampuan kelompok siswa yang berasal dari Australia. Berikut ini adalah contoh latihan percakapan yang dilakukan oleh dua orang siswa yang berasal dari Australia. Mereka bercakap-cakap seolah-olah mereka teman lama yang baru bertemu lagi setelah mereka berpisah cukup lama. Siswa 1 : Apa kabar?

Siswa 2 : Baik-baik saja.dan apa kabar kamu? Siswa 1 : Oh, baik-baik. Lama tidak ber…..jumpa. Siswa 2 : Ya, lama sekali .

(11)

Siswa 2 : Hm…….ya, punya pacar.

Siswa 1 : Apa kamu nama pacar ? E…..Apa kamu pacar nama? Siswa 2 : Hm….Tom, nama Tom. Kamu sudah?

Siswa 1 : Pacar? Siswa 2 : Ya.

Siswa 1 : Ha…..ha…..ha…..tidak, tidak ada orang mau.

Dalam percakapan yang spontan ini dapat dijumpai beberapa kejanggalan yang disebabkan oleh adanya perpindahan faktor bahasa dan faktor budaya siswa ke dalam bahasa dan budaya Indonesia. Perpindahan faktor bahasa yang amat menonjol terjadi pada faktor-faktor berikut ini: pertama, dalam faktor fonologi terjadi kejanggalan dalam pengucapan fonem /k/, /p/, /t/, /r/, dan /a/. Fonem /k/, /p/, dan /t/ diucapkan dengan hembusan udara yang agak berlebihan (aspirated) seperti umumnya pengucapan dalam bahasa Inggris. Sedangkan fonem /r/ diucapkan dengan cara melipat ujung lidah ke arah langit-langit sehingga ujung lidah tidak bergetar (trill) dan menghasilkan bunyi /ř/ (rolling r). Fonem /a/ yang terletak setelah fonem /p/ cenderung diucapkan dengan bunyi /ph/, yang juga merupakan kebiasaan umum dalam bahasa Inggris bahwa fonem /a/ cenderung diucapkan dengan bunyi /ə/ atau /e/.

(12)

Ketiga, pada faktor leksikal terdapat kejanggalan penggunaan kata “apa” ketika menanyakan nama seseorang. Hal ini jelas merupakan perpindahan dari kata what yang biasa digunakan untuk menanyakan sesuatu benda , dan dalam bahasa Inggris nama seseorang dianggap sebagai suatu benda seperti umumnya kata benda lainnya sehingga pertanyaan yang seharusnya “Siapa nama pacar kamu?” menjadi “Apa kamu pacar nama?”. Di samping kejanggalan-kejanggalan faktor fonologi, sintaksis dan leksikal, ada pula kejanggalan yang amat menonjol lainnya, yakni kejanggalan dalam intonasi (lagu kalimat). Intonasi yang mereka gunakan merupakan intonasi bahasa Inggris Kejanggalan pada intonasi ini menambah lebih terasanya keasingan bahasa Indonesia yang mereka gunakan. Sementara kejanggalan dalam faktor budaya tidak begitu nampak karena percakapannya terlalu pendek dan tidak alami.

Dalam latihan percakapan ini tidak terjadi kesalahpahaman atau ketidaktuntasan komunikasi karena kedua orang yang terlibat dalam percakapan ini sama-sama berasal dari latar belakang bahasa dan budaya yang sama sehingga walaupun dalam bahasa Indonesia yang mereka gunakan terdapat banyak kesalahan, mereka tetap dapat memahami maksud yang ingin disampaikan oleh masing-masing pembicara. Hal ini terjadi karena kesalahan-kesalan yang mereka buat dalam menggunakan suatu bahasa asing, dalam hal ini bahasa Indonesia, merupakan kebenaran-kebenaran yang mereka yakini menurut sistem bahasa dan budaya mereka.

(13)

dengan salah seorang instrukturnya yang secara tidak sengaja terekam oleh alat perekam yang peneliti simpan di depan kelas. Dialog ini terjadi sesaat setelah usainya pelajaran pada hari itu. Isi dialognya sebagai berikut:

Siswa : Saya akan bertemu di rumah anda. Instruktur : Hari ini kita kan sudah bertemu di sini. Siswa : E……bertemu ke rumah.

Instruktur : Mm……apa ya?

Siswa : E…. datang di rumah…….? Instruktur : Oh….. bertamu !

Siswa : Ya….. bertamu ke rumah. Instruktur : Oh ……boleh, boleh. Kapan? Siswa : E……Kapan?

Instruktur : When

Siswa : Ini sore? Kami datang pukul empat? Is it okay? Instruktur : Okay.

(14)

kesalahan faktor bahasa, dalam dialog ini dijumpai pula kesalahan dalam faktor budaya seperti halnya ketika siswa meminta semacam persetujuan waktu berkunjung ke rumah instrukturnya. Hal ini terungkap dari kalimat : “Kami datang pukul empat? Is it okay?”. Tawar-menawar mengenai waktu kunjungan merupakan budaya Barat. Di samping terdapatnya proses perpindahan faktor bahasa dan faktor budaya dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, dijumpai pula proses pergantian (switching) dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Hal ini nampak jelas dari kalimat “Is it okay?” yang dikatakan oleh siswa untuk meminta pesetujuan tentang waktu kunjungan.

Atas dasar latar belakang masalah ini, maka peneliti memilih judul disertasi Kesenjangan Faktor Bahasa dan Faktor Budaya dalam Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing dengan rumusan definisi operasional sebagai berikut: Kesenjangan faktor bahasa adalah keseluruhan perbedaan sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal dua bahasa yang dibandingkan, sedangkan kesenjangan faktor budaya adalah keseluruhan perbedaan bentuk, arti, dan distribusi dua budaya yang dibandingkan.

1.2 Rumusan Masalah

(15)

pada gilirannya kejanggalan-kejanggalan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman di antara kedua pembicara.

Masalah utama yang menjadi pokok persoalan dalam penulisan disertasi ini bukan ada atau tidak adanya kesejangan di antara kedua bahasa dan kedua budaya, melainkan faktor kesenjangan bahasa dan faktor kesenjangan budaya mana yang paling dominan muncul salah dan mengapa faktor bahasa dan faktor budaya tertentu dominan kemunculan kesalahannya sedangkan yang lainnya tidak, yang kemudian diupayakan bagaimana cara mengatasi semua hal tersebut dalam proses pengajarannya. Dan atas dasar temuan-temuan berbagai faktor kesalahan ini, maka dapat dirumuskan suatu rambu-rambu yang dapat digunakan sebagai acuan dalam merencanakan dan mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing kepada para siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris serta dapat dibuatnya sebuah model materi pelajaran faktor bahasa dan faktor budaya yang dominan kemunculan kesalahannya.

Untuk lebih rincinya fokus penelitian ini, maka penulis merumuskannya dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Sebesar apakah kesenjangan faktor bahasa dan faktor budaya antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris?

(16)

3. Mengapa faktor bahasa dan faktor budaya Indonesia tertentu dominan kesalahannya pada saat para siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris berkomunikasi dalam bahasa Indonesia?

4. Bentuk rambu-rambu yang bagaimana yang dapat digunakan sebagai acuan dalam merencanakan pengajaran bahasa bahasa Indonesia sebagai bahasa

asing?

5. Langkah-langkah pengajaran (technique) apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau memperkecil terjadinya kesalahan dominan faktor bahasa dan faktor budaya dalam mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing ? 6. Bagaimana bentuk model materi pelajaran bahasa Indonesia sebagai bahahasa

asing bagi para siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris?

1.3 Tujuan Penelitian

Atas dasar perumusan masalah pada 1.2, maka penelitian ditujukan untuk:

1. Menemukan tingkat kesenjangan faktor bahasa dan faktor budaya antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris,

2. Menemukan faktor bahasa dan faktor budaya yang paling dominan salahnya dalam penggunaan bahasa Indonesia oleh para siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris,

3. Menemukan alasan mengapa faktor bahasa dan faktor budaya Indonesia

(17)

4. Menemukan rumusan rambu-rambu dalam merencanakan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing kepada para siswa yang berbahasa ibu bahasa Inggris,

5. Menemukan langkah-langkah pengajaran untuk dapat mengatasi terjadinya kesalahan-kesalahan faktor bahasa dan faktor budaya dalam proses komunikasi

para siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris dalam menggunakan bahasa Indonesia,

6. Menyusun bentuk model materi pelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing bagi para siswa yang berbahasa ibu bahasa Inggris.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini akan sangat berguna untuk hal-hal sebagai berikut:

1. Perencanaan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing, khususnya perencanaan pengajaran bahasa Indonesia bagi siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris.

(18)

merencanakan pengajaran suatu bahasa asing.

2. Penyusunan dan pengembangan materi pelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing.

Materi pelajaran harus disusun dan dikembangkan sesuai dengan tujuan pengajaran dan tantangan yang dihadapi para siswanya, yakni bahwa

penentuan tujuan pengajaran harus terlebih dahulu ditentukan; untuk keperluan apa para siswa asing tersebut mempelajari bahasa Indonesia, demikian juga dengan penyusunan materi pelajaran dan pengembangannya, hal ini harus dititik beratkan pada materi-materi yang relatif sulit dipelajari siswa karena adanya kesenjangan yang cukup besar di antara kedua bahasa.

3. Penentuan langkah-langkah pengajaran (metode) yang harus digunakan

Setiap tujuan pengajaran bahasa dan jenis materi pelajaran bahasa menuntut penggunaan metoda pengajarannya sendiri-sendiri sesuai dengan jenis tujuan pengajaran dan sifat-sifat materi pelajarannya. Atas dasar analisis banding dan analisis kesalahan kedua bahasa, maka dapat kita temukan sifat-sifat materi pelajaran yang harus/akan kita ajarkan, yang pada gilirannya akan menentukan jenis metode pengajaran apa atau yang mana untuk tujuan pengajaran tertentu yang kita pilih atau materi pelajaran tertentu yang kita pilih.

4. Pemilihan sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan.

(19)

yang memadai sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Untuk proses belajar-mengajar bahasa, yang di dalamnya ada pelajaran tata bunyi dan tata prilaku berbahasa, maka diperlukan alat yang dapat membantu mengajarkan tata bunyi dan tata prilaku berbahasa.

5. Program pendidikan guru atau instruktur bahasa Indonesia sebagai bahasa asing.

Mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang Indonesia sangat berbeda dari mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang asing. Oleh karenanya, maka untuk mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing diperlukan guru yang secara khusus dididik untuk dapat mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing.

1.5 Pembatasan Studi

Untuk membatasi cakupan masalah penelitian, penulis membatasi penelitian ini pada hal-hal sebagai berikut: pertama, kesenjangan faktor bahasa yang diteliti terbatas pada faktor fonologi, faktor morfologi, faktor sintaksis, dan faktor leksikal dari kedua bahasa. Setiap faktor dari kedua bahasa ini dibandingkan sehingga nampak jelas perbedaan dan persamaannya, kemudian dari setiap faktor yang dibandingkan ini dicari bagian-bagian yang paling sering mengakibatkan terjadinya kesalahan atau kekeliruan.

(20)

bentuk, arti, dan distribusinya. Ketiga pembagian faktor budaya ini (bentuk, arti dan distribusi ) didasarkan pada pembagian yang dikemukakan oleh Robert Lado (1957:111, 112) yang menyatakan bahwa “…cultures are structured system of patterned behavior… such units of patterned behavior, which constitute the designs that are each culture, have form, meaning , and distribution.”

Ketiga, siswa asing yang diteliti adalah siswa asing dewasa, baik yang berasal dari Australia ataupun dari Amerika Serikat. Mereka terdiri dari empat orang dosen, satu orang mahasiswa, dan dua orang ibu rumah tangga. Batasan umur ini penting dikemukakan karena adanya perbedaan antara teori belajar bahasa asing yang dilakukan oleh anak-anak dengan yang dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini dikemukakan oleh Hatch (1983: 188) sebagai berikut:

…we noted the ways language addressed to children and adults who are learning language differs. Age is a factor to consider in many areas of learning. In fact, it is the most commonly cited determiner of success or failure in second language learning.

1.6 Landasan Pemikiran

(21)

Salah satu di antaranya adalah definisi bahasa yang dikemukakan oleh Finochiaro (1974:3) yang menyatakan bahwa bahasa adalah “A system of arbitrary vocal symbols which permits all people who have learned the system of that culture, to communicate or to interact”.

Setiap bahasa bersifat unik, berbeda dari satu bahasa dengan bahasa lainnya. Perbedaan-perbedaan yang ada di antara dua bahasa diformulasikan sebagai jarak bahasa (language distance ) di antara kedua bahasa tersebut. Jarak dua buah bahasa terdiri dari jarak faktor bahasanya yang meliputi faktor fonologi, faktor morfologi, faktor sintaksis, dan faktor leksikal. Dan jarak faktor budayanya yang meliputi faktor bentuknya, faktor artinya, dan faktor distribusinya. Mengenai jarak budaya ini Brown (1987: 132) mengemukakan bahwa “Distance is obviously used in abstract sense, to denote dissimilarity between two cultures”.

Budaya, menurut Lado (1957:111), adalah “structured system of patterned behavior”. Definisi lain mengenai budaya ini dikemukakan oleh Richards, Platt, dan Weber (1985: 70) yang mengatakan bahwa budaya adalah “the total set of beliefs, customs, behavior, social habits etc. of the members of a particular society”. Lebih lanjut Gudykunst dan Kim (1984: 11) menyatakan sebagai berikut: “Culture refers to that relatively unified set of shared symbolic ideas associated with societal patterns of cultural ordering”.

Teori utama ketiga yang menjadi rujukan adalah teori komunikasi antar budaya. Mengenai teori ini Collier dan Thomas (1988: 100) menyatakan bahwa We characterize intercultural communication as contact between persons

(22)

are concerned most with direct, person to person, contact in which the operative cultural identities of interlocutors may explicitly reveal cultural frames or may refer to, for example, homelands, backgrounds, or communities.

Lebih lanjut Gudykunst dan Kim (1988: 12) menyatakan sebagai berikut: “The term, intercultural communication, as it is conceived in the present theories as primarily as direct, face to face communication encounters between individuals with differing cultural backgrounds”. Kedua definisi ini menunjukan bahwa komunikasi antarbudaya adalah suatu komunikasi langsung atau pertemuan langsung antara dua orang atau lebih yang mempunyai kesadaran bahwa mereka berasal dari latar belakang budaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Belajar, sebagai mana yang dikemukakan Kimble dan Garmezy (1963:133) adalah “a relatively permanent change in a behavioral tendency and is the result of reinforced practice”. Definisi lain mengenai belajar ini dikemukakan pula oleh Stern (1983: 18) yang menyatakan bahwa :

It includes not only the learning of skills (for example, swimming or sewing) or the acquisition of knowledge. It refers also to learning to learn and learning to think; the modification of attitudes; the acquisition of interests, social values, or social roles; and even changes in personality”. Perihal mengajar, Brown (1987: 21) mengemukakan sebagai berikut:

(23)

dengan definisi Stern ini maka pengajaran suatu bahasa asing berarti suatu kegiatan yang ditujukan bagi terjadinya proses belajar bahasa asing, yakni proses yang membuat para siswa mendapatkan atau mencapai perolehan pengetahuan dan dan keterampilan suatu bahasa, bersikap dan berperilaku sesuai dengan latar budaya bahasa asing tesebut.

Pengajaran suatu bahasa asing kepada orang dewasa memerlukan adanya pemahaman para pengajar bahasa asing atas keseluruhan perbedaan dan kesamaan yang terdapat di antara bahasa ibu para siswa dengan bahasa asing yang diajarkannya. Pengetahuan dan pemahaman atas keseluruhan persamaan dan perbedaan ini amat penting bagi pengajar untuk dapat mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para siswanya. Samsuri (1978: 47) mengemukakan sebagi berikut:

Pertanyaan kita kemudian, bagaimana guru dapat mengetahui persoalan- persoalan belajar murid-muridnya? Jawab atas pertanyaan ini ialah bahwa hendaknya diadakan analisa paralel tentang kedua bahasa itu. Kemudian diadakan perbandingan antara hasil analisa itu dan diperoleh pengetahuan tentang persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara bahasa ibu si murid dan bahasa yang akan diajarkan itu. Perbedaan-perbedaan inilah merupakan soal belajar bagi murid-murid itu kelak, dan segala hal mengenai pelajaran bahasa kedua itu didasarkan pada hasil perbandingan itu.

(24)

structure of an earlier aquired language”. Pengaruh bahasa ibu para siswa terhadap perolehan bahasa asing yang mereka pelajari tercermin dari adanya proses perpindahan (transfer) bahasa ibu para siswa terhadap bahasa asing yang sedang mereka pelajari. Dan mengenai proses perpindahan ini Lado (1957:2) mengemukakan bahwa “That individual tends to transfer the forms and the meanings, and the distribution of form and meaning of their natural language and culture into the foreign language and culture”.

1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif-deduktif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan pengumpulan dokumen. Protokol wawancara dibuat atas dasar temuan-temuan awal yang didapat dari pra-penelitian atau penelitian awal yang dilakukan di Pusat Bahasa IKIP Bandung.

Ada beberapa alasan mendasar yang mendorong dipilihnya metode penelitian kualitatif dalam penulisan disertasi ini. Pertama, makna merupakan kepedulian utama peneliti, dalam artian bahwa peneliti ingin mengetahui pandangan para partisipan mengenai makna-makna yang ada dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Dalam hal ini Bogdan dan Biklen (1992: 32) mengemukakan bahwa “researchers who use this approach are interested in the ways different people make sense out of their lives”.

(25)

ketertentuan-ketertentuan yang terdapat dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing bagi para siswa petutur asli bahasa Inggris. Ketertentuan-ketertentuan tersebut kemudian dikumpulkan untuk dikelompok-kelompokkan yang pada akhirnya diformulasikan ke dalam bentuk teori. Sehubungan dengan hal ini Bogdan dan Biklen (1992: 31) menyatakan sebagai berikut:

Qualitative researchers tend to analyze their data inductively. They do not research out data or evidence to prove or to disprove hypotheses they hold before entering the study; rather the abstractions are built as the particulars that have been gathered are grouped together.

Ketiga, Peneliti tidak hanya sekedar ingin mengetahui hasil akhir dari penelitiannya saja, melainkan ia lebih menekankan pada proses keseluruhan interaksi hingga ditemukan suatu “aturan” sebagai produk akhir dari penelitiannya. Sehubungan hal ini Bogdan dan Biklen (1992: 31) menyatakan bahwa “Qualitative researchers are concerned with process rather than simply with outcomes or products”.

Keempat, data-data yang dikumpulkan peneliti dalam bentuk kata-kata, rekaman, serta penggambaran keadaan proses belajar-mengajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing, dan bukan dalam bentuk angka-angka. Data-data sperti ini memang merupakan data-data yang diperlukan dalam jenis penelitian yang bersifat kualitatif

1.8. Tempat dan Waktu Penelitian

(26)

sebagai bahasa asing bagi para siswa dewasa yang berbahasa ibu bahasa Inggris. Sebagaimana dikatakan Lincoln dan Guba (1985: 189) “…..we suggest that inquiry must be carried out in a natural setting because phenomena of study, whatever they may be, take their meaning as much from their contexts as they do from themselves”.

Tempat pertama adalah Balai Bahasa IKIP Bandung. Di tempat ini peneliti melakukan penelitian awal (pre-observation). Penelitian awal dilakukan pada dua kelompok siswa dewasa yang berbahasa ibu bahasa Inggris yang berasal dari Australia dan Amerika Serikat. Mereka belajar bahasa Indonesia selama enam minggu pada pertengahan tahun 1994.

Tempat kedua yang dipilih sebagai latar penelitian utama adalah Sekolah Tinggi Teologia Injili Indonesia (STTII) di Yogyakarta. Di tempat ini penelitian dilakukan terhadap sekelompok orang asing dewasa yang berbahasa ibu bahasa Inggris yang sedang dan telah belajar bahasa Indonesia. Mereka berasal dari Australia dan dari Amerika Serikat. Penelitian di tempat ini dilakukan selama tujuh bulan, mulai dari bulan Februari 1995 sampai dengan bulan September 1995.

1.9 Sumber Data

(27)
(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan keteraturan dan konsistensi fenomena yang berasal dari data yang akan melahirkan berbagai pola (patterns) tentang kesenjangan faktor bahasa dan faktort budaya Indonesia dengan faktor bahasa dan faktor budaya Inggris/Barat. Pola-pola kesenjangan faktor bahasa dan faktor budaya ini akan sangat berguna bagi pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing pada siswa yang berbahasa ibu bahasa Inggris. Untuk maksud ini, maka peneliti menggunakan metode kualitatif dengan berpedoman kepada sepuluh langkah penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985). Kesepuluh langkah tersebut adalah sebagai berikut: 1) menentukan fokus penelitian, 2) menentukan kesesuaian paradigma dengan fokus, 3) mentukan kesesuaian paradigma dengan teori substantif, 4) menentukan di mana dan dari siapa data dikumpulkan, 5) menentukan fase-fase penelitian secara berurutan, 6) menggunakan manusia sebagai instrumen penelitian 7) mengumpulkan data, 8) menganalisis data, 9) menyiapkan logistik, dan 10) memeriksa tingkat kepercayaan (Lincoln & Guba 1985: 259 – 67).

3.1 Fokus Penelitian

(29)

dilakukan oleh petutur asli bahasa Inggris dan sering mengakibatkan terganggunya proses komunikasi yang berakibat fatal bagi hubungan kedua pembicara. Munculnya kesalahapahaman merupakan akibat dari adanya perpindahan negatif (negative transfer) faktor bahasa dan faktor budaya ibu petutur asli bahasa Inggris ke dalam faktor bahasa dan faktor budaya bahasa Indonesia yang mereka gunakan. Dan terjadinya perpindahan negatif faktor bahasa dan faktor budaya ini merupakan refleksi dari adanya kesenjangan kedua faktor tersebut dalam kedua bahasa. Hal ini semua memenuhi kriteria sebagai fokus penelitian sesuai dengan pernyataan Lincoln dan Guba (1985: 226) yang menyatakan sebagai berikut:

A state of affairs ‘resulting from the interaction of two or more factors …that yields (1) perflexing or enigmatic state (conceptual problem); (2) a conflic that renders the choice from among alternative courses of action moot (an action problem); or (3) an undesirable consequence (a value problem)’. The interacting factors may be concepts, empirical data, experinces or any othert elements that, when placed along side one another, signal some basic difficulty, something that is not understood or explained at that time.

Untuk mengetahui bagaimana mengajarkan dan materi pelajaran apa dari faktor bahasa dan faktor budaya yang harus diajarkan, peneliti kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Seperti apa tingkat kesenjangan faktor bahasa dan faktor budaya Indonesia dengan faktor bahasa dan faktor budaya Inggris?

2. Faktor bahasa dan faktor budaya Indonesia mana yang paling dominam salahannya dalam proses komunikasi bahasa Indonesia para siswa asing yang

berbahasa ibu bahasa Inggris?

(30)

dalam proses komunkasi para siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris?

4. Apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengatasi/mengajarkan faktor bahasa dan faktor budaya Indonesia yang dominan salahannya kepada para siswa yang berbahasa ibu bahasa Inggris?

5. Apa saja bentuk rambu-rambu yang dapat digunakan sebagai acuan dalam merencanakan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahas asing bagi para siswa yang berbahasa ibu bahasa Inggris?

6. Seperti apa model materi pelajaran faktor bahasa dan faktor budaya Indonesia yang dominan salahnya bagi para siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris?

3.2 Kesesuaian Paradigma dengan Fokus

(31)

3.3 Kesesuaian Paradigma dengan Teori Substantif

Penelitian ini dilakukan untuk menemukan keteraturan-keteraturan, pola-pola atau teori-teori atas dasar data empiris yang didapat. Data empiris yang didapat ini diarahkan untuk menemukan keteraturan, pola, atau teori kesenjangan faktor bahasa dan faktor budaya Indonesia dengan faktor bahasa dan faktor budaya Inggris yang meliputi: (1) pola kesenjangan faktor fonologinya, (2) pola kesenjangan faktor morfologinya, (3) pola kesenjangan faktor sintaksisnya, (4) pola kesenjangan faktor leksikalnya, dan (5) pola kesenjangan faktor budayanya sesuai dengan: (5a) bentuknya, (5b) artinya, dan (5c) distribusinya. Data empiris yang didapat dijaring melalui kriteria Analisis Banding (Contrastive Analysis) dan Analisis Kesalahan (Error Analysis).

Pola, keteraturan, atau teori yang didapat mengenai kesenjangan faktor bahasa dan faktor budaya kedua bahasa ini disusun atas dasar data empiris dan disebut sebagai teori substantif. Mengenai teori substantif ini Moleong (1993) menyatakan bahwa “Teori substantif adalah teori yang dikembangkan untuk keperluan substantif atau empiris dalam suatu inkuiri suatu ilmu pengetahuan”. Atas dasar pernyataan ini , maka penelitian ini dengan jelas mengarah pada pembentukan teori-teori atas dasar data empiris yang dikumpulkan. Dengan demikian, maka paradigma penelitian kualitatif yang digunakan sudah sangat sesuai.

3.4 Tempat dan Sumber Data

(32)

pertama adalah Pusat Bahasa IKIP Bandung sebagai tempat pra-penelitian dengan pertimbangan bahwa di Pusat Bahasa IKIP Bandung ini terdapat kegiatan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing kepada sejumlah siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris, baik yang berasal dari Australia ataupun yang berasal dari Amerika Serikat. Tempat kedua, sebagai tempat penelitian utama, adalah Sekolah Tinggi Teologia Injili Indonesia (STTII) yang berada di Yogyakarta. Alasan utama dipilihnya STTII sebagai latar penelitian utama karena di tempat tersebut terdapat tujuh orang asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris yang sedang belajar bahasa Indonesia. Mereka adalah sumber data utama (primary data source) yang terdiri dari tiga orang dosen, satu orang mahasiswa, dan dua orang ibu rumah tangga dengan data-data pribadi sebagai berikut:

1. Sumber data 1

Nama Kode : 1

Kebangsaan : Amerika Serikat Pekerjaan : Ibu rumah tangga Lama belajar bahasa.Indonesia : dua bulan

2. Sumber data 2

Nama Kode : 2

Kebangsaan : Amerika Serikat Pekerjaan : Dosen

Lama belajar bahasa Indonesia : dua bulan 3. Sumber data 3

(33)

Kebangsaan : Australia

Pekerjaan : Ibu rumah tangga Lama belajar bahasa Indonesia : empat bulan 4. Sumber data 4

Nama Kode : 4

Kebangsaan : Australia Pekerjaan : Mahasiswa Lama belajar bahasa Indonesia : empat bulan 5. Sumber data 5

Nama Kode : 5

Kebangsaan : Amerika Serikat Pekerjaan : Dosen

Lama belajar bahasa Indonesia : dua tahun 6. Sumber data 6

Nama Kode : 6

Kebangsaan : Amerika Serikat Pekerjaan : Dosen

Lama belajar bahasa Indonesia : empat tahun 7. Sumber data 7

Nama Kode : 7

Kebangsaan : Amerika Serikat Pekerjaan : Dosen

(34)

Sumber data tambahannya (secondary data source) terdiri dari: (1) instruktur bahasa Indonesia, (2) penanggung jawab pelaksana pelatihan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing, (3) ketua Pusat Bahasa IKIP Bandung, (4) ketua penanggung jawab kursus bahasa Indonesia bagi orang asing di STTII Yogyakarta, serta (5) sumber-sumber tertulis berupa kurikulum, silabus dan materi pelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing yang ada di tiap institusi.

3.5 Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yakni, tahap orientasi (focus orientation phase) dan tahapan eksplorasi fokus (focus exploration phase) yang dilakukan di tempat penelitian (STTII Yogyakarta).

3.5.1 Tahap orientasi

(35)

Informasi yang didapat pada tahap ini kemudian dijadikan pertimbangan dalam mempersiapkan tahap eksplorasi fokus.

3.5.2 Tahap Penelitian Utama

Pada tahap penelitian utama ini, peneliti mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan secara mendalam. Pengumpulan data dan informasi ini dilakukan berdasarkan tuntunan alat pengumpul data (protocols) yang telah disusun sebelumnya atas dasar hasil penelitian pada tahap orientasi. Lincoln dan Guba (1993: 235) mengemukakan sebagi berikut:

Phase 2 may be termed the phase of focused exploration. Sufficient time must be allowed between phase 1 and phase2 for phase 1 data to be analyzed and for more structured protocols (interview, observation) to be built accordingly. Then during phase 2, these protocols are used to obtain information in depth about those elements determined to be salient.

3.6 Alat Pengumpul Data

(36)

3.7 Teknik Pengumpulan dan Pencatatan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menjaring data yang diperlukan terdiri dari tiga macam teknik. Teknik pertama dan teknik kedua, wawancara dan observasi, digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber data utama (para siswa) dan dari sumber data kedua (instruktur dan penanggung jawab pelaksanaan pengajaran). Sedangkan teknik ketiga, pengumpulan dokumen, digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber data sekunder saja. Untuk hal ini Lincoln dan Guba (1984: 267-268) mengemukakan sebagai berikut:

While it is the case that the major and sometimes only data collection instrument utilized in the naturalistic inquiry is the inquirer him- or herself, the sources that instrument utilizes may be both human and nonhuman. Human sources are tapped by the interviews and observation, and by noting nonverbal cues that are transmitted while those interviews or observations are under way. Nonhuman sources include document and records, as well as the unobtrusive informational residue (conventionally called unobtrusive ‘measure’) left behind by humans in their everyday activities that provide useful insight about them.

3.7.1 Wawancara

(37)

keseluruhan pelaksanaan program pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing di tempat tersebut. Adapun pihak-pihak yang diwawancarai adalah para siswa asing yang belajar bahasa Indonesia, baik yang berasal dari Australia ataupun yang berasal dari Amerika Serikat, para pengajar/instruktur bahasa Indonesia, dan para penanggung jawab pelaksanaan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dengan protokol wawancara sebagai berikut:

3.7.1.1 Protokol Wawancara untuk Para Siswa

Protokol wawancara untuk para siswa terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Sudah berapa lama ibu/bapak tinggal di Indonesia?

2. Sudah berapa lama ibu/bapak belajar/kursus bahasa Indonesia?

3. Mengapa ibu/bapak belajar/kursus bahasa Indonesia sedemikian intensif ? 4. Apakah ibu/bapak sudah terbiasa berbicara bahasa Indonesia dengan orang Indonesia yang ibu/bapak jumpai?

5. Kesulitan apa yang ibu/bapak jumpai selama ini dalam mempelajari bahasa Indonesia, misalnya kosakata, struktur kalimat, atau apa saja?

6. Kebiasaan-kebiasaan orang Indonesia seperti apa yang membuat ibu/bapak sering tidak mengerti ketika ibu/bapak berbicara dengan mereka?

7. Adakah pengalaman menyenangkan, mengesalkan, menyedihkan, atau lucu yang pernah ibu/bapak alami ketika berbicara dengan orang Indonesia?

(38)

Protokol wawancara untuk instruktur/guru bahasa Indonesia terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa tujuan pengajaran bahasa Indonesia kepada para siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris ini?

2. Metode apa yang bapak gunakan dalam mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing ini?

3. Keterampilan berbahasa yang mana yang lebih bapak tekankan untuk dikuasai para siswa?

4. Materi pelajar apa yang bapak ajarkan kepada para siswa?

5. Kesulitan apa yang bapak jumpai dalam mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing ini?

6. Kesulitan utama apa yang nampaknya dihadapi para siswa selama belajar bahasa Indonesia ini?

7. Bagaimana menurut bapak tingkat keberhasilan yang dicapai oleh para siswa?

3.7.1.3 Protokol Wawancara untuk Penanggung Jawab Program

Protokol wawancara untuk penanggung jawab program terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa tujuan utama diadakannya program pengajaran bahasa Indonesia bagi para siswa asing ini?

2. Untuk berapa lama program pengajaran ini dilaksanakan?

(39)

3.7.2 Pengamatan

Teknik pengamatan digunakan peneliti untuk mendapatkan data dan informasi mengenai keseluruhan kegiatan belajar-mengajar dengan cara melihat dan mengamati sendiri apa yang terjadi di lapangan. Peneliti membuat catatan-catatan mengenai perilaku para siswa, perkataan para siswa, situasi dan kejadian-kejadian lainnya sebagaimana adanya. Catatan-catatan yang peneliti buat di lapangan kemudian disusun ke dalam catatan lapangan (field note).

3.7.3 Pengumpulan Dokumen

Pengumpulan dokumen yang dilakukan oleh peneliti dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi tertulis mengenai segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan program pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Data dan informasi tertulis ini meliputi data dan informasi mengenai: pertama, individu yang terdiri dari; (1) data dan informasi tertulis mengenai para siswa, (2) data dan informasi tertulis mengenai para instruktur, dan (3) data dan informasi tertulis mengenai para penanggung jawab program. Kedua, data dan informasi tertulis mengenai organisasi pelaksana program yang terdiri dari; (1) data dan informasi tertulis mengenai Pusat Pembinaan Bahasa IKIP-Bandung, (2) Data dan informasi tertulis mengenai Sekolah Tinggi Teologia Injili Indonesia (STTII) Yogyakarta. Ketiga, data dan informasi tertulis lainnya seperti kurikulum dan silabus sampai dengan satuan-satuan materi pengajaran.

(40)

kaitannya dengan masalah yang diteliti. Data yang dikumpulkan dari para siswa (data primer) didapat melalui observasi dan wawancara yang pencatatannya dilakukan dengan menggunakan catatan lapangan dan rekaman kaset, sedangkan data yang berasal dari sumber data kedua (instruktur bahasa Indonesia dan penanggung jawab pengajaran bahasa Indonesia) dikumpulkna melalui wawancara dan hanya dicatat dalam catatan lapangan. Selain dengan menggunakan alat perekam, peneliti juga membuat catatan-catatan lainnya yang tidak terekam alat perekam. Catatan-catatan yang dibuat peneliti selama wawancara meliputi hal-hal seperti keadaan fisik (physical appearance), gerakan-gerakan anggota badan (gestures), ekspresi wajah (mimic), dan situasi tempat. Data yang dikumpulkan melalui pengamatan ditulis ke dalam catatan di lapangan, yang setelah melalui proses penyaringan/seleksi, kemudian catatan tersebut dipindahkan ke dalam catatan lapangan (field note). Data yang didapat dicatat secara berurutan mulai dari data yang bersifat umum sampai pada data yang bersifat khusus. Pengumpulan data seperti ini sesuai dengan yang dikemukakan Lincoln dan Guba (1985: 267) bahwa “Human sources are tapped by interviews and observations, and by noting non-verbal cues that are transmitted while those interviews or observation are under way.

(41)

include documents and records, as well as the unobstrusive information residue…left behind by humans in their everyday activities that provides useful insights about them”.

3.8 Analisis Data

Proses analisis data dalam penelitian ini dimulai sejak peneliti berada di lapangan, yakni sejak data mulai dikumpulkan dari berbagai sumber. Data yang didapat berupa catatan lapangan rekaman kaset, dan catatan-catatan penting lainnya. Untuk hal ini Lincoln dan Guba (1985:242) menyatakan bahwa analisis data harus dimulai bersamaan dengan pengumpulan data yang paling awal agar dapat memfasilitasi munculnya desain, teori yang berasal dari data, dan munculnya struktur tahapan-tahapan pengumpulan data berikutnya. Hal yang sama dikemukakan Alwasilah (2002:158) yang menyatakan sebagai berikut: “Dalam penelitian kualitatif peneliti tidak boleh menunggu dan membiarkan data menumpuk, …Usai observasi atau interviu pertama, segeralah Anda menganalisis data lapangan …”. Data yang didapat kemudian dibersihkan (direduksi) dari data yang tidak relevan sehingga data yang tinggal merupakan rangkuman data-data yang inti-intinya saja.

3.8.1 Pembuatan Satuan-Satuan dan Pengkodean

(42)

kesalahan (error analysis) ini meliputi satuan kesalahan faktor fonologi, faktor morfologi, faktor sintaksis, faktor leksikal dan faktor budaya yang masing-masing diberi istilah f, m, s (st untuk tekanan suara/stres dan in untuk intonasi), lk dan b (bv untuk budaya verbal dan bnv untuk budaya non-verbal). Kedua, satuan-satuan data ini kemudian diberi kode-kode yang memuat informasi yang meliputi: (1) kode cara pengumpulan data, (2) kode jenis responden, (3) kode jenis satuan dan (4) kode asal satuan. Kode cara pengumpulan data yang dipilih adalah k untuk wawancara yang direkam (kaset), w untuk wawancara yang tidak direkam, ob untuk observasi, peng untuk pengamatan dan pd untuk pengumpulan dokumen. Kode jenis responden yang dipilih adalah nomor1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 sesuai dengan urutan dan jumlah responden. Kode jenis satuan data yang dipilih sesuai dengan istilah/kode satuan informasi yakni f untuk fonologi, m untuk morfologi, s untuk sintaksis, lk untuk leksikal dan b untuk budaya. Kode asal satuan yang dipilih adalah j; (nomor) untuk jawaban nomor ke…, seperti j:11 yang berarti bahwa satuan data berasal dari jawaban kesebelas. Dengan demikian, maka pengkodean yang utuh untuk suatu unit data tertentu berbentuk seperti berikut ini: (k.1.-f. j:8) yang berarti bahwa unit data tersebut didapat melalui wawancara yang direkam dari sumber data satu untuk kesalahan faktor fonologi dari jawaban urutan kedelapan. Untuk pengkodean ini Alwasilah (2002: 159) menyatakan sebagai berikut:

(43)

3.8.2 Pengkategorian

Dalam pengkategorian ini peneliti menyusun satuan-satuan data ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kesamaan bentuk kesalahan yang berkaitan satu sama lainnya. Peneliti juga memformulasikan aturan yang menjelaskan ruang lingkup kategori agar dapat menentukan kesimpulan tiap satuan untuk dapat dikelompokan pada satu kategori tertentu, dengan tetap memperhatikan aturan-aturan yang telah disusun. Untuk hal ini satuan kesalahan penggunaan faktor prefiks, afiks, sufiks dan konfiks bahasa Indonesia disusun ke dalam kelompok afiksasi sebagai bagian dari kategori morfologi. Pengkategorian ini telah sesuai dengan pernyataan Lincoln dan Guba (1985: 347) yang menyatakan bahwa tugas yang mendasar dari pengkategorian adalah menyatukan kartu-kartu, dalam hal ini adalah kartu-kartu data satuan-satuan kesalahan, ke dalam kategori-kategori yang bersifat sementara yang nampak merujuk pada isi yang sama.

3.8.3 Penafsiran Data

(44)

kategori-kategori dan sifat-sifatnya, (3) membatasi teori, dan (4) menulis teori (Lincoln & Guba 1985: 105).

Pengelompokan data-data ke dalam kategori-kategori ini berpedoman pada kategori semantiknya Spradly (1979) bahwa data x adalah salah satu bagian dari kategori y dan x adalah suatu sebab dari y (Lincoln & Guba 185: 340). Dalam penelitian ini, salah satu contoh misalnya data 15 “kata” yang diucapkan /katə/ dikategorikan pada (k.6-f j:12) yang berarti bahwa sumber datanya adalah sumber data keenam, kesalahan yang terjadi adalah salah satu bagian dari kategori fonologi, kesalahan fonologi ini ditemukan pada wawancara jawaban kedua belas. Kesalahan ucapan ini terjadi karena bahasa Inggris mempunyai dua jenis: vokal bertekana suara dan vokal tidak bertekanan suara pada posisi suku kata kedua, ketiga, atau terakhir.

(45)

3.8.4 Pembangunan Teori

Pembangunan teori dilakukan dengan cara menghubungkan kategori-kategori atau konsep-konsep yang telah ada antara satu kategori dengan yang lainnya secara logis dan sistematis. Contoh dalam penelitian ini ialah ditemukannya kategori transfer negatif vokal dan konsonan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu contohnya adalah fonem /a/ yang menjadi fonem /ə/ pada setiap posisi akhir kata bahasa Indonesia yang diucapkan oleh orang asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris. Proses tranfer negatif ini terjadi pada beberapa jenis vokal dan konsonan lainnya sesuai dengan perbedaan sifat-sifat cara memproduksinya (property) dan tempat diproduksinya (site). Dengan mengetahui sifat-sifat cara memproduksinya ini, maka kita dapat memprediksi kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi orang asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris ketika mereka belajar bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Alwasilah (2002:241) “Teori menghubungkan konstruk, konsep, definisi, dan proposisi secara logis dan sistematis. ……..Teori berfungsi mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi.”

3.9 Persiapan Logistik

Dalam mempersiapkan logistik ini peneliti mengikuti langkah-langkah penyiapan logistik yang diungkapkan oleh Lincoln dan Guba (1985: 242) sebagai berikut:

(46)

logistics of field excursions while in the field, the logistics of activities following on the field excursions, and the logistics of closure and termination.

Kelima pengelompokan pertimbangan untuk logistik ini pada dasarnya meliputi kegiatan pengadaan/penyediaan dan pembuatan yang pada akhirnya dikonpensasikan pada bentuk jumlah pendanaan. Kegiatan pengadaan di antaranya adalah pengadaan alat-alat yang diperlukan selama penelitian berlangsung seperti alat perekam, alat-alat tulis, transportasi dan akomodasi. Adapun kegiatan pembuatan di antaranya pembuatan jadwal penelitian, pengerjaan debriefing, dan pembuatan draft laporan penelitian.

3.10 MembangunTingkat Kepercayaan (Kredibilitas)

(47)

bahwa data kesalahan faktor bahasa dan faktor budaya yang dominan memang sama (cocok).

Kedua, mengadakan pertemuan pengarahan dengan sejawat (peer debriefing). Kegiatan ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari berbagai ketidakjelasan yang dapat mengakibatkan terjadinya penyimpangan dalam penelitian (bias) . Dalam penelitian ini peer debriefing dilakukan dengan instruktur bahasa Indonesia yang dari awal terlibat dalam kegiatan penelitian ini.

Ketiga, melakukan analisis terhadap kasus-kasus negatif yang muncul dalam penelitian ini. Kasus-kasus negatif ini kemudian dijadikan bahan untuk kemungkinan adanya revisi terhadap hipotesis yang telah terbagung sebelumnya. Dari hasil analisis kasus-kasus negatif tidak terjadi adanya revisi hipotesis.

Keempat, menguji kembali data yang didapat selama penelitian berlangsung. Dalam hal ini peneliti menguji kembali data hasil rekaman audio-casette hasil wawancara dan observasi dengan para sumber data dan didapatkan ketepatan data sesuai dengan pengakuan mereka.

(48)

BAB V

PENGAJARAN, RAMBU-RAMBU, DAN MODEL MATERI PELAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI SISWA YANG

BERBAHASA IBU BAHASA INGGRIS

Dalam bab V ini dibahas tiga topik yang merupakan tindak lanjut dari hasil penelitian yang telah ditemukan sebelumnya. Ketiga topik meliputi: pertama, topik mengenai langkah-langkah pengajaran faktor bahasa dan faktor budaya Indonesia kepada siswa yang berbahasa ibu bahasa Inggris. Kedua, rambu-rambu dalam merencanakan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing bagi petutur asli bahasa Inggris, dan ketiga model materi pelajaran bahasa Indonesia bagi para siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris sesuai dengan hasil temuan proses analisis banding dan analisis kesalahan antara bahasa dan budaya Indonesia dengan bahasa dan budaya Inggris (Barat).

5.1 Pengajaran Bahasa Indonesia pada Siswa yang Berbahasa Ibu Bahasa Inggris

(49)

bahasa, (2) tahap penjelasan / penyajian materi pelajaran, (3) tahap pelatihan/ internalisasi materi pelajaran, dan (4) tahap evaluasi hasil belajar. Kempat tahapan ini merupakan langkah-langkah utama (basic steps) dalam pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Keempat tahapan ini diterapkan pada semua pengajaran faktor bahasa yang meliputi pengajaran sistem bunyinya, sistem bentukan-bentukan katanya, sistem kalimatnya, dan kosakatanya serta pengajaran faktor budaya. Pengajaran faktor budaya ini berdasarkan perbedaan postulat, alat dan tujuan, serta bentuk, arti, dan distribusi dari kedua budaya.

5.1.1 Pengajaran Sistem Bunyi Bahasa Indonesia

Pengajaran fonem-fonem bahasa Indonesia yang menjadi kendala utama bagi siswa asing yang berbahasa ibu bahasa Inggris meliputi: (1) monoftong /a/ yang diucapkan menjadi /ə / pada posisi suku kata awal, tengah dan akhir, (2) /ə/ yang menjadi hilang pada posisi yang diapit oleh gugus konsonan yang ada dalam bahasa Inggris, (3) diftong (/ia/, /ua, /au/), dan (4) konsonan /k/, /p/, /t/, /j/, /c/, dan /r/.

5.1.1.1 Pengajaran Bunyi /a/ Awal, Tengah dan Akhir Kata

(50)

diasumsikan sama. Oleh karenanya, maka untuk mengajarkan bunyi /a/ yang ada dalam bahasa Indonesia dapat ditempuh langkah-langkah pengajaran sebagai berikut: pertama, berikan penjelasan bahwa dalam bahasa Indonesia tidak terdapat tekanan suara pada tingkat suku kata sehingga ketika dijumpai adanya bunyi /a/ pada suku kata kedua, ketiga, dan seterusnya, maka ucapannya harus dipertahankan berbunyi /a/.

Kedua, berikan latihan pengucapan bunyi /a/ yang terdapat dalam kata-kata bahasa Indonesia yang tersebar pada suku kata-kata kedua, ketiga, dan seterusnya. Penyajian latihan pengucapan bunyi /a/ ini sebaiknya dimulai dari: 1) pengucapan kata-kata yang terdiri dari dua suku kata yang seterusnya dilanjutkan pada pengucapan kata-kata yang lebih dari dua suku kata. 2) pengucapan bunyi /a/ pada kata-kata yang terdapat dalam kalimat-kalimat yang utuh. Dan 3) pengucapan bunyi /a/ yang terdapat dalam kata-kata yang digunakan dalam wacana-wacana yang terbatas.

Ketiga, berikan latihan-latihan lanjutan yang harus para siswa lakukan di rumah sebagai sebagai pekerjaan rumah. Pemberian pekerjaan rumah ini amat penting untuk para siswa agar mereka dapat betul-betul menguasai keterampilan mengucapkan bunyi /a/ baik yang posisinya di awal kata, di tengah kata, ataupun di akhir kata.

(51)

5.1.1.2 Pengajaran Bunyi /ə/ di antara Gugus Konsonan

Tidak diucapkannya bunyi pada suku kata pertama di antara gugus konsonan merupakan pengaruh dari adanya consonant clusters yang ada dalam bahasa Inggris, seperti /bl/, /br/, /cl/, /cr/, /pl/ dan /pr/. Langkah-langkah pengajaran bunyi /ə / yang terletak pada gugus konsonan adalah sebagai berikut: pertama, jelaskan bahwa memang ada beberapa gugus konsonan bahasa Inggris yang dapat mengakibatkan bunyi /ə/ yang ada di antara kedua konsonan pembentuk gugus konsonan tersebut dalam bahasa Indonesia menjadi tidak diucapkan. Jelaskan bahwa bunyi /ə/ itu tidak boleh dihilangkan atau tidak diucapkan.

Kedua, berikan latihan pengucapan bunyi /ə/ pada kata-kata bahasa Indonesia yang terletak di antara kedua konsonan unsur pembentuk gugus konsonan bahasa Inggris. Pemberian latihan pengucapan ini harus bertahap mulai dari tingkat kata yang terlepas dari konteks kalimat, kata yang ada dalam kalimat-kalimat utuh, sampai pada kata dalam wacana.

Ketiga, berikan latihan lanjutan yang harus para siswa kerjakan di rumah sebagai pekerjaan rumah dengan maksud agar para siswa lebih dapat menguasai pengucapan bunyi /ə/yang terletak pada gugus konsonan.

(52)

5.1.1.3 Pengajaran Bunyi Diftong /ia/, /ua/ dan /au/

Kesalahan pengucapan diftong bahasa Indonesia /ai/ menjadi /aə/, /ua/

menjadi /uə / dan /au/ menjadi /ao/ terletak pada kesalahan gerakan posisi lidah yang tidak tuntas. Gerakan lidah yang tidak tuntas ini dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Depan Tengah Belakang Atas i u

Medium /ə/ o

Bawah a

[image:52.595.117.508.246.573.2]
(53)

Kedua, berikan latihan pengucapan masing-masing diftong dengan cara memberikan contoh ucapannya dengan sebaik-baiknya. Pemberian latihan pengucapan diftong-diftong ini dapat dimulai dari satuan-satuan kata yang terlepas dari kalimat, satuan-satuan kata yang ada dalam kalimat-kalimat utuh, dan satuan-satuan kalimat yang ada dalam wacana-wacana pendek.

Ketiga, Berikan tugas latihan tambahan sebagai pekerjaan rumah agar para siswa dapat menguasai materi pelajaran ini dengan lebih baik.

Keempat, Adakan evaluasi hasil belajar untuk mengetahui sejauh mana para siswa telah menguasai materi pelajaran yang telah disampaikan kepada mereka dan sekaligus untuk mengetahui sejauh mana efektifitas proses pengajarannya itu sendiri.

5.1.1.4 Pengajaran bunyi Konsonan /k/, /p/ dan /t/

(54)

Kedua, Berikan contoh-contoh ucapan bunyi /k/, /p/, dan /t/ yang sebaik-baiknya baik dalam kata-kata ataupun dalam kalimat-kalimat, lalu berikan latihan pengucapan bunyi-bunyi ini sampai para siswa dapat mengucapkannya dengan baik. Latihan pengucapan bunyi-bunyi ini harus disajikan secara bertahap mulai dari bunyi-bunyi yang terkandung dalan kata-kata lepas hingga bunyi-bunyi dalam kata yang berada dalam wacana.

Ketiga, berikan tugas latihan tambahan yang harus para siswa kerjakan di rumah agar mereka dapat menguasai pengucapan bunyi-buyi /k/, /p/, dan /t/ ini dengan baik.

Keempat, lakukan suatu evaluasi atas keterampilan para siswa dalam mengucapkan bunyi-bunyi /k/, /p/, dan /t/ ini untuk mengetahui sejauh mana keterampilan pengucapan bunyi-bunyi tersebut dapat para siswa kuasai dan untuk mengetahui tingkat efektifitas proses pengajaran yang telah dilakukan.

5.1.1.5 Pengajaran Bunyi Konsonan /j/ dan /c/

(55)

dengan contoh-contoh bunyi yang ada dalam kata-kata, dalam konteks kalimat-kalimat utuh, dan dalam konteks wacana-wacana pendek.

Kedua, berikan latihan cara mengucapkan bunyi /j/ dan /c/ dengan sebaik-baiknya. Latihan pengucapan bunyi /j/ dan /c/ ini harus diberikan secara bertahap mulai dari pengucapan bunyi /j/ dan /c/ yang terkandung dalam satuan-satuan kata hingga pengucapan bunyi /j/ dan /c/ yang terdapat dalan satuan-satuan kata dalam konteks kalimat dan satuan-satuan wacana terbatas.

Ketiga, Berikan latihan tambahan yang harus para siswa kerjakan di rumah sebagai pekerjaan rumah agar mereka dapat menguasai keterampilan pengucapana bunyi /j/ dan /c/ ini dengan lebih baik.

Keempat, lakukan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana para siswa telah menguasai keterampilan pengucapan bunyi /j/ dan /c/

5.1.1.6 Pengajaran Bunyi /r/

(56)

Langkah-langkah pengajaran untuk dapat mengucapkan bunyi /r/-trill adalah sebagai berikut: pertama, jelaskan bahwa untuk dapat mengucapkan bunyi /r/-trill ujung lidah tidak ditekuk kebelakang. Biarkan ujung lidah menempel pada langit-langit dan biarkan hembusan udara dari rongga dada keluar dan mendorong ujung lidah sehingga ujung lidah bergetar dan menghasilkan bunyi /r/-trill.

Kedua, berikan contoh ucapan bunyi /r/-trill yang sebaik-baiknya dan suruh para siswa untuk menirukan pengucapan bunyi /r/-trill. Pemberian contoh pengucapan bunyi /r/-trill ini kemudian diberikan dalam konteks kata, kalimat, dan wacana.

Ketiga, berikan latihan-latihan pengucapan bunyi /r/-trill dalam konteks kata, kalimat, dan bacaan-bacaan pendek hingga para siswa dapat mengucapkannnya dengan baik.

Keempat, berikan latihan-latihan tambahan untuk para siswa lakukan di rumah sehingga mereka dapat lebih menguasai ucapan bunyi /r/-trill tersebut..

Kelima, Berikan tes pengucapan bunyi /r/-trill untuk memastikan bahwa para siswa telah menguasai cara mengucapkan bunyi /r/-trill dengan baik.

5.1.2 Pengajaran Faktor Morfologi yang Menjadi Kendala

(57)

proses afiksasi dan (2) proses pengulangan. Oleh karenanya, maka fokus pengajaran diarahkan pada kedua proses morfologis ini.

5.1.2.1 Pengajaran Afiks Bahasa Indonesia

Dalam mengajarkan afiks bahasa Indonesia ini dapat dilakukan langkah-langkah pengajaran sebagai berikut: pertama, bertanya kepada para siswa apakah dalam bahasa ibu mereka ada proses afiksasi (proses penambahan awalan, akhiran, dan sisipan) beserta fungsi dan maknanya masing-masing. Pertanyaan ini diajukan agar para siswa asing mempunyai pemahaman awal mengenai afiksasi, dan mempunyai pegangan awal untuk memulai mempelajarai afiksasi yang ada dalam bahasa Indonesia.

(58)

dikemukakan agar para siswa mempunyai rujukan awal mengenai proses afiksasi yang ada dalam bahasa Indonesia.

Ketiga, Memberikan contoh kata-kata yang memiliki semua afiks yang ada dalam bahasa Indonesia yang disertai dengan berbagai fungsi dan maknanya. Pemberian contoh-contoh afiks bahasa Indonesia ini disampaikan melalui konteks kalimat dan wacana sehingga para siswa tidak hanya mengetahui berbagai afiks beserta fungsi dan maknanya, melainkan mereka juga dapat memakainya dalam proses komunikasi.

Keempat, memberikan latihan menggunakan berbagai bentuk afiks beserta fungsi dan maknanya dalam satuan-satuan kalimat-kalimat yang telah disediakan. Pemberian latihan ini dimaksudkan agar para siswa dapat menginternalisasikan bentuk, fungsi dan makna masing-masing afiks yang ada dalam bahasa Indonesia untuk kemudian dapat mereka gunakan dalam komunikasi bahasa Indonesia.

Kelima, memberikan latihan penggunaan afiks yang salah satu latihannnya diberikan dalam bentuk close-test dengan cara menghilangkan semua afiks yang ada dalam teks yang telah disiapkan untuk maksud tersebut. Pemberian latihan melalui close-test ini dimaksudkan agar para siswa dapat memahami bentuk, fungsi, serta makna afiks bahasa Indonesia secara lebih mendalam dalam konteks wacana terbatas.

(59)

dimaksudkan agar para siswa dapat mengetahui dan dapat menggunakan berbagai fungsi dan makna satuan afiks dalam berkomunikasi.

Ketujuh, memberikan test dengan cara menyuruh para siswa untuk menentukan fungsi dan makna afiks yang terdapat dalam suatu wacana pendek yang disediakan untuk maksud tersebut. Pemberian tes ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan para siswa dalam mempelajari materi pelajaran afiksasi bahasa Indonesia, dan sekaligus untuk mengetahui tingkat efektifitas proses belajar-mengajarnya.

5.1.2.2 Pengajaran Kata Ulang Bahasa Indonesia

(60)

konfiks ke-an dengan makna memiliki sifat seperti (Prilaku pak Ubed nampak kewanita-wanitaan.), 6) penambah makna pada kata sifat /warna dengan makna agak (Pipi anak itu nampak kemerah-merahan.), 7) penambahan makna pada kata kerja dengan mendapat tambahan prefiks ber- atau me- dengan makna dilakukan berulang-ulang (Dia berteria-teriak minta tolong.), 8) penambah makna pada kata kerja dengan makna melakukan dengan santai (Setiap sore ia duduk-duduk di depan rumahnya.), 9 penambah makna pada kata kerja dengan mendapat prefiks me- pada kata kedua atau mendapat konfiks ber-an dengan makna saling (Mereka pukul-memukul hingga babak belur.), 10) penambah makna pada kata kerja dengan mendapat prefiks me- pada kata kedua denga makna yang berhubungan dengan (Jahit-menjahit adalah pekerjaan tetapnya.), 11) penambah nakna pada kata sifat dengan mendapat confiks se- nya dengan makna peling (Ia berlari secepat-cepatnya.). Pemberian penjelasan sangat diperlukan karena para siswa adalah orang dewasa yang selalu mempelajari hal/pelajaran baru dengan melalui pengalaman atau rujukan pada apa yang mereka ketahui sebelumnya atau pada penjelasan-penjelasan yang mereka dapatkan.

(61)

Ketiga, memberikan berbagai latihan penggunaan bentuk, fungsi, dan makna kata ulang secara lisan dan tertulis yang harus selalu disajikan dalam konteks komunikasi. Pemberian berbagai bentuk latihan ini dimaksudkan agar para siswa memiliki pemahaman dan keterampilan yang mendalam (internalisasi) satuan-satuan materi yang diajarkan dan mempunyai kemampuan untuk menggunakan materi pelajaran kata ulang ini dalam komunikasi sehari-hari.

Keempat, memberikan tes dengan cara menyuruh para siswa untuk mengenali fungsi dan makna kata ulang yang terdapat dalam suatu teks bacaan yang telah disediakan atau dalam kalimat-kalimat yang diungkapkan secara lisan oleh pengajar. Tes ini diberikan untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses belajar dan mengajar kata ulang bahasa Indonesia.

5.1.2.3 Pengajaran Sintaksis bahasa Indonesia

Kesulitan para siswa dalam mempelajarai sintaksis bahasa Indonesia terletak pada satuan materi: 1) aspek (aspect), 2) susunan kata (word order), 3) kata ganti pemilikan (klitika), 4) kata bantu kata kerja (auxiliary verb), 5) frasa preposisi (prepositional phrase), 6) keterangan cara (adverb of manner), dan 7) lagu kalimat (intonation).

5.1.2.3.1 Pengajaran Penempatan Kata Sifat Bahasa Indonesia

(62)

siswa mengenai penempatan kata sifat dalam bahasa Inggris dan perbedaannnya dengan penempatan kata sifat yang ada dalam bahasa Indonesia. Pertanyaan ini perlu dikemukakan agar para siswa dapat mulai mempelajarai penempatan kata sifat dari pengalaman mereka sendiri dalam bahasa ibu mereka, yang kemudian secara sadar mereka bandingkan dengan penempatan kata sifat dalam bahasa Indonesia yang distribusinya berbeda.

Kedua, menjelaskan kedudukan kata sifat bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan kata benda yang diterangkannya. Dalam bahasa Indonesia kata sifat diungkapkan/ditempatkan setelah kata benda yang diterangkannya, mengikuti hukum DM (Diterangkan – Menerangkan) seperti pada ungkapan “rumah besar”, “anak kecil”, dan “mobil merah”, sementara dalam bahasa Inggris penempatanya terbalik (MD). Penjelasan ini perlu diberikan agar para siswa memahami penempatan kata sifat ini dalam bahasa Indonesia yang terbalik dari bahasa ibu mereka/bahasa Inggris.

Ketiga, Memberikan contoh-contoh penggunaan/penempatan kata sifat dalam bahasa Indonesia yang disajikan dalam konteks kalimat yang ada dalam bacaan-bacaan pendek atau dialog-dialog pendek. Pemberian contoh dala

Gambar

gambar penampang lidah.  Kemudian jelaskan pergerakan lidah yang harus

Referensi

Dokumen terkait

Morada Tetty : Analisis Kesalahan Penggunaan Leksikal Di Dalam Karangan Pembelajar Bahasa Inggris…, 2002 USU Repository © 2008... Morada Tetty : Analisis Kesalahan Penggunaan

kesalahan diksi (pilihan kata). kesalahan penggunaan tanda baca. Keterapahaman pembaca terhadap penggunaan bahasa Indonesia tulis dalam berita utama harian umum Radar Bandung

Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah hanya pada pelafalan nada ketiga dalam pengucapan satu suku kata dan dua suku kata dalam bahasa Mandarin oleh mahasiswa Program

Menurut Setyawati (dalam Mutiadi, 2015), ada beberapa kesalahan pengucapan kata secara morfologi yaitu : pemakaian afiks yang tidak sesuai, bunyi huruf yang seharusnya

Kedua, kesalahan diksi (pemilihan kata) dalam diskusi kelompok siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia kelas VII MTs DDI Walimpong Kabupaten Soppeng terdapat 13 kesalahan

Kesalahan dalam penerjemahan unsur leksikal ini tentu saja berdampak pada penerjemahan kalimat secara keseluruhan.Dari hasil 20 terjemahan tidak satupun mahasiswa

Kesalahan penggunaan kata ganti milik dalam kalimat bahasa Prancis terjadi pada penggunaan kata ganti yang tidak sesuai dengan benda yang digantikan- nya, misalnya mahasiswa

ANALISIS KESILAPAN TERJEMAHAN BAHASA INGGRIS KE DALAM BAHASA INDONESIA Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua jenis kesilapan penerjemahan mahasiswa, yaitu kesilapan isi pesan