• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Anak pada Ibu Dewasa Madya Etnis Jawa Ditinjau dari Tingkat Pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Nilai Anak pada Ibu Dewasa Madya Etnis Jawa Ditinjau dari Tingkat Pendidikan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Nilai Anak pada Ibu Dewasa Madya Etnis Jawa Ditinjau dari Tingkat Pendidikan

Windy Chintya Dewi windy_chintya@ymail.com

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Abstract : There are many factors that affected to the value of children . They are consists of the level of education and culture background. The goal of this research are describe how the value of children with middleage-mother in Javanesse culture with different level of education. The subjects of this research is middle age mother in Javanesse culture who live in Jombang. The everage age is 35 -60 years old and have 18- 25 years old kids. Based on this research, the conclusion is it created combination value of children which is psychology-economy-social and psychology-social. Even she has the same combination type of the value of children, however, there are special characteristics mother who has low, middle or high level of education.

Keywords : Javanesse culture, level of education and Value of Children

PENDAHULUAN

Ayah, Ibu dan anak merupakan bagian dari sebuah keluarga. Keluarga adalah sebuah unit alami yang bersifat timbal balik. Hubungan timbal balik akan terjadi melalui interaksi antar anggota keluarga yaitu ayah, ibu dan anak. Peran- peran yang dimiliki ayah, ibu dan anak dalam sebuah keluarga juga memunculkan interaksi antar anggota keluarga (Goldenberg, I &

Goldenberg, H, 2000). Adanya interaksi ini memungkinkan munculnya nilai-nilai dari orangtua yang ditujukan kepada anak.

Nilai anak (value of children) merupakan pemaknaan potensi anak untuk pemenuhan kebutuhan orangtua (Kohlmann, 2001). Nilai anak terbagi atas tiga macam yaitu nilai psikologis, nilai ekonomi dan nilai sosial. Nilai psikologis menekankan pada kekuatan emosional antara orangtua dan anak. Anak dimaknai dapat memenuhi kebutuhan afeksi orangtua (Hoffman, Thornton & Manis, 1978).

Nilai ekonomi menekankan pada keterlibatan anak dalam ekonomi keluarga. Anak dinilai memiliki kemampuan untuk menyediakan kenyamanan ekonomi bagi orangtua. Anak digunakan sebagai “aset” dan “alat” untuk dapat memberikan kenyamanan hidup dalam hal ekonomi (Hoffman, Thornton & Manis, 1978).

Nilai terakhir adalah nilai sosial, pada nilai ini orangtua menilai anak dapat menjadi penerus keluarga dan meningkatkan nama baik orangtua.

Nilai sosial juga memandang anak dapat meningkatkan status sosial keluarga serta harga diri orangtua (Kolhmann, 2001).

Kolhmann (2001) menyebutkan terdapat beberapa faktor yang menentukan nilai anak, salah satunya adalah tingkat pendidikan.

Pendidikan yang lebih rendah, pada umumnya berhubungan dengan lebih rendahnya pekerjaan dan karir yang dimiliki orangtua. Hal tersebut memungkinkan munculnya nilai anak ekonomi karena keinginan orangtua agar kebutuhan ekonomi keluarga dapat terpenuhi.

(2)

Bukhori (2009) mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin luas pengetahuan yang didapatkan. Selain itu, tingginya tingkat pendidikan membuat orangtua bersikap lebih terbuka (Sulistyaningsih, 2005).

Oleh karena itu, orangtua memiliki pandangan yang lebih luas termasuk dalam melihat nilai anak. Meluasnya pengetahuan orangtua yang didapat dari pendidikan tinggi memungkinkan memiliki pandangan terhadap nilai anak yang tidak hanya berfokus pada materi dan tuntutan saja.

Hoffman, Thornton, dan Manis (1978) juga mengungkapkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tinggi keinginan individu mendapatkan manfaat dari potensi-potensi yang ada pada anak. Orangtua tidak terlalu menghiraukan hubungan emosional diantara orangtua dan anak serta penerimaan anak apa adanya.

Perbedaan budaya memengaruhi perbedaan nilai anak yang diberikan oleh orangtua (Trommsdorff, 2003). Nilai-nilai budaya tersebut dapat memengaruhi bagaimana orangtua dalam menilai anak. Budaya sendiri adalah keseluruhan produk baik pola perilaku dan keyakinan dari sekelompok orang yang akan diturunkan pada generasi selanjutnya (Santrock, 2002).

Budaya Jawa merupakan salah satu budaya di Indonesia. Budaya Jawa pada umumnya memandang anak sebagai nilai psikologis ketika anak masih dalam masa kanak- kanak. Hal ini dapat dilihat dari perlakuan ibu Jawa yang selalu berusaha melindungi anak dari apapun, memberikan kasih sayang dan cinta yang tulus. Memberikan apapun yang menjadi

keinginan dan keperluan anak tanpa perhitungan (Geertz, 1983).

Beranjak dewasa usia anak, orang-orang berkebudayaan Jawa pada umumnya memandang anak sebagai nilai sosial. Ketika anak bertambah usia menuju kedewasaan maka anak akan dianggap “sudah jawa” atau sudah dapat bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat Jawa.

Oleh karena itu, terdapat tuntutan bagi anak Jawa yang mulai dewasa untuk berlaku baik di lingkungannya (Geertz, 1983).

Usia 18-25 tahun, anak sudah pasti dianggap sebagai individu yang “sudah jawa”.

Anak dengan usia 18-25 tahun berdasarkan tahapan perkembangannnya masuk dalam emerging adulthood yaitu tahapan usia anak dianggap sudah beranjak dewasa. Tahap ini individu mulai lepas dari tanggungjawab keluarga (Arnett, 2000) namun yang terjadi pada etnis Jawa tidak demikian. Segala kebutuhan individu emerging adulthood pada etnis Jawa yang menjalani pendidikan masih menjadi tanggungjawab orangtua. Emerging adulthood etnis Jawa tetap bergantung pada orangtua hingga menikah. Bahkan, ketika menikahpun tidak sedikit dari emerging adulthood yang masih tidak lepas dari orangtua karena dianggap belum mandiri (Geertz, 1983). Berdasarkan hal tersebut maka ibu Jawa dengan anak emerging adulthood memungkinkan bila memiliki nilai-nilai anak seperti psikologis, ekonomi dan sosial.

Budaya Jawa terdapat nilai-nilai yang tertanam pada masyarakatnya. Salah satu nilai tersebut adalah wedi, isin dan sungkan. Selain itu, juga memiliki sikap batin yaitu sepi ing pamrih, rame ing gawe (Geertz, 1983). Sikap nrimo juga menjadi sikap batin bagi masyarakat Jawa

(3)

(Suseno, 1996). Sikap-sikap tersebut melekat bagi sebagian besar masyarakat etnis Jawa. Selain sikap, pada budaya Jawa juga terdapat mitos- mitos yang menjadi kepercayaannya. Mitos tersebut salah satunya adalah banyak anak banyak rezeki. Mitos ini berarti semakin banyak memiliki anak maka memiliki kesempatan untuk mendapatkan banyak rezeki.

Pengembangan dan penerapan nilai-nilai serta sikap batin tersebut dapat terjadi dalam keluarga. Orangtua dapat menerapkan serta mendidik anak dengan menggunakan nilai-nilai dan sikap batin tersebut melalui interaksi dengan anak di dalam keluarga. Interaksi dengan anak dalam budaya Jawa banyak terjadi pada ibu. Hal ini karena dalam struktur keluarga pada budaya Jawa, ibu digunakan sebagai pusat keluarga (Geertz, 1983). Peran ibu pada etnis Jawa tidak hanya mendidik dan mengasuh anak, namun juga sumber afeksi, pengelola keuangan dan cukup terlibat dalam keputusan penting dalam keluarga (Suseno, 1996). Terlebih jika ibu semakin memiliki pendidikan tinggi maka semakin ibu banyak berperan mendidik anak.

Sikap batin yang dimiliki dan diterapkan pada ibu etnis Jawa dapat mewarnai cara ibu dalam mendidik anak. Sikap batin sepi ing pamrih, rame ing gawe mengusahakan ibu untuk tidak mengharapkan pamrih atas segala yang diperbuatnya. Selain itu, terdapat pula sikap nrimo yang berarti menerima segala sesuatu dengan apa adanya (Suseno, 1996). Apabila dikatikan dengan nilai anak, kedua sikap batin ini dapat digolongkan pada nilai anak psikologis.

Nilai-nilai dalam budaya Jawa seperti wedi, isin dan sungkan turut pula memengaruhi ibu. Anak dididik untuk tidak menjelekkan nama

baik keluarga dan tidak menurunkan harga diri orangtua. Oleh sebab itulah nilai-nilai Jawa tersebut dapat membentuk nilai anak sosial dari ibu kepada anak. Selanjutnya, nilai anak ekonomi dapat tercermin dalam mitos Jawa yaitu banyak anak banyak rejeki. Anak dalam hal ini dianggap sebagai sumber rejeki orangtua. Menurut Kohlmann (2001) hal tersebut masuk dalam nilai anak ekonomi karena memandang anak sebagai

“aset” dan “alat” untuk kenyamanan.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana nilai anak pada ibu dewasa madya yang diasumsikan telah memiliki anak emerging adulthood. Anak pada usia demikian sudah muncul banyak peran dan tuntutan sehingga nilai anak dapat mewarnai pandangan ibu terhadap anak. Penelitian ini juga melihat bagaimana peranan tingkat pendidikan dan budaya dapat turut serta memengaruhi ibu dalam menilai anak.

METODE PENELITIAN

Subjek penelitian sejumlah 165 ibu etnis Jawa yang memasuki dewasa madya. Rentang usia subjek yang dipilih oleh peneliti yaitu usia 35-60 tahun. Diasumsikan subjek dengan usia tersebut telah memiliki anak pada tahapan emerging adulthood (18-25 tahun). Kota Jombang menjadi setting dalam penelitian ini karena budaya Jawa pada kota tersebut masih kental. Teknik diambil dengan teknik purposive sampling.

Instrumen untuk mengungkap nilai anak psikologis, ekonomi dan sosial diadaptasi dari angket Matios (2005). Analisa data pada penelitian ini menggunakan distribusi frekuensi dan crosstab dengan bantuan program SPSS 16.

(4)

Angket tersebut telah diuji kembali dengan hasil faktor loading sebesar 0,715 (psikologis), 0,810 (ekonomi) dan 0,675 (sosial). serta dengan nilai

alpha cronbach sebesar 0,821 (psikologis), 0,761 (ekonomi), dan 0,796 (sosial).

HASIL PENELITIAN

Berikut ini akan dipaparkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan :

Tabel 1. Daerah Tempat Tinggal dan Tingkat Pendidikan Responden

Daerah TP Rendah TP Menengah TP Tinggi F % frek % frek % Kecamatan Jombang

Kecamatan Perak Kecamatan Diwek Kecamatan Jogoroto Kecamatan Peterongan Kecamatan Bandar Kedungmulyo

Kecamatan Kesamben Kecamatan Sumobito Kecamatan Mojoagung Kecamatan Gudo Kecamatan Ploso Kecamatan Tembelang Kecamatan Ngoro Tidak menjawab

24 2 4 1 1 0

0 4 0 4 1 1 1 3

52.2%

4.3%

8.7%

2.2%

2.2%

0%

0%

8.7%

0%

8.7%

2.2%

2.2%

2.2%

6.5%

37 1 3 2 4 0

0 4 1 0 1 0 0 0

69.8%

1.9%

5.7%

3.8%

7.5%

0%

0%

7.5%

1.9%

0%

1.9%

0%

0%

0%

44 2 8 0 6 2

1 2 1 0 0 0 0 0

66.7%

3%

12.1%

0%

9.1%

3%

1.5%

3%

1.5%

0%

0%

0%

0%

0%

Total 46 100% 53 100% 66 100%

*TP = Tingkat Pendidikan

Hasil penelitian membagi subjek dalam tiga kategori, yaitu ibu tingkat pendidikan rendah, menengah dan tinggi. Tabel 1 memaparkan data daerah tempat tinggal dan tingkat pendidikan responden. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar (52.2%) subjek kategori

tingkat pendidikan rendah bertempat tinggal di kecamatan Jombang. Subjek tingkat pendidikan menengah paling banyak tinggal di kecamatan Jombang (69,8%) dan subjek tingkat pendidikan rendah juga sebagian besar di kecamatan Jombang (66.7%)

Tabel 2. Jenis Pekerjaan Ibu

(5)

Jenis Pekerjaan TP Rendah TP Menengah TP Tinggi

frek % frek % Frek %

Ibu rumah tangga Pembantu rumah tangga Wiraswasta

Jasa pijat Pedagang Guru PNS Staf TU Dosen

Karyawan swasta Petani

Tidak menjawab

25 6 3 2 5 0 0 0 0 1 1 3

54.3%

13.0%

6.5%

4.3%

20.9%

0%

0%

0%

0%

2.2%

2.2%

6.5%

32 0 5 0 1 2 2 0 0 3 0 8

60.4%

0%

9.4%

0%

1.9%

3.8%

3.8%

0%

0%

5.7%

0%

15.1%

2 0 4 0 0 30 21 1 4 3 0 1

3.0%

0%

6.1%

0%

0%

45.5%

31.8%

1.5%

6.1%

4.5%

0%

1.5%

Total 46 100% 53 100% 66 100%

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa subjek kategori ibu tingkat pendidikan rendah paling banyak berprofesi sebagai ibu rumah tangga (54.3%). Begitu pula dengan ibu tingkat

pendidikan menengah yaitu sebanyak 60.4%.

Sebaliknya, ibu tingkat pendidikan tinggi sebagian besar berprofesi sebagai guru (45.5%).

Tabel 3. Nilai Anak pada Ibu Tingkat Pendidikan Rendah, Menengah dan Tinggi

Penerapan

TP Rendah TP Menengah TP Tinggi

Frek % Frek % Frek %

Psikologis 3 6.5 2 3.8 6 9.1

Sosial 0 0 0 0 1 1.5

Psikologis-sosial 14 30.4 25 47.2 46 69.7

Psikologis-ekonomi 0 0 3 5.7 1 1.5

Psikologis-ekonomi-sosial 29 63.0 23 43.3 12 18.2

Total 46 100 53 100 66 100

(6)

Tabel 3 menjelaskan data tentang nilai anak pada ibu tingkat pendidikan rendah, menengah dan tinggi. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa ibu tingkat pendidikan rendah memiliki nilai anak tipe psikologis-ekonomi-sosial (63.0%) dan psikologis-sosial (30.4%). Nilai anak yang muncul pada ibu tingkat pendidikan menengah adalah psikologis-sosial (47.2%) dan psikologis- ekonomi-sosial (43.3%). Terakhir, nilai anak yang muncul pada ibu tingkat pendidikan tinggi adalah tipe psikologis-sosial (69.7%).

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian, ibu etnis Jawa tingkat pendidikan tinggi sebagian besar memiliki nilai anak dengan tipe psikologis-sosial.

Ibu tingkat etnis Jawa tingkat pendidikan menengah sebagian memiliki nilai anak tipe psikologis-sosial namun terdapat pula nilai anak tipe psikologis-ekonomi-sosial yang persentasenya tidak berbeda jauh. Ibu etnis Jawa tingkat pendidikan rendah sebagian besar memiliki nilai anak tipe psikologis-ekonomi- sosial, namun terdapat nilai anak tipe psikologis- sosial yang persentasenya juga tidak berbeda jauh.

Baik budaya Jawa maupun tingkat pendidikan sama-sama mewarnai nilai anak pada ibu dewasa madya etnis Jawa. Nilai-nilai seperti nrimo, sepi ing pamrih rame ing gawe dan wedi, isin, sungkan memunculkan beliefs tersendiri pada ibu etnis Jawa. Beliefs tersebut menunjukkan nilai anak yang ada pada ibu dewasa madya etnis Jawa.

Tingkat pendidikan yang berbeda memberikan pengetahuan dan memunculkan sikap yang berbeda. Perbedaan pengetahuan dan

sikap tersebut memunculkan beliefs yang berbeda dari masing-masing tingkat pendidikan. Beliefs tersebut yang akan memperlihatkan nilai anak yang dimiliki ibu dengan tingkat pendidikan berbeda.

Ibu dewasa madya etnis Jawa tingkat pendidikan tinggi, menengah dan rendah sama- sama memiliki nilai anak tipe psikologis-sosial.

Kekhasan nilai anak tipe psikologis-sosial pada tingkat pendidikan rendah adalah ibu hanya menerima keadaan anak apa adanya tanpa usaha agar anak mendapatkan lebih baik. Tidak adanya usaha ini dipengaruhi oleh keterbatasan pengetahuan ibu tingkat pendidikan rendah.

Munculnya ketidakberdayaan yang dipelajari (learninghelplessness) semakin membuat ibu merasa tidak mampu untuk merubah anak menjadi lebih baik. Ibu merasa tidak berpengetahuan luas dan tidak mengetahui banyak informasi. Hal tersebut terinternalisasi sehingga membuat ibu tidak berdaya untuk merubah anak.

Nilai anak tipe psikologis-sosial tingkat pendidikan menengah ada usaha namun terhalang pengetahuan yang terbatas. Hampir sama dengan ibu tingkat pendidikan menengah, pada ibu tingkat pendidikan tinggi ada usaha maksimal agar anak mendapatkan yang terbaik. Usaha maksimal ini dipengaruhi banyak pengetahuan dan infomasi yang dimiliki. Hal tersebut sejalan dengan Bukhori (2009) yang mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin luas pengetahuan yang didapatkannya.

Ibu tingkat pendidikan rendah dan menengah sama-sama memiliki nilai anak psikologis-ekonomi-sosial. Kekhasan nilai anak tipe psikologis-ekonomi-sosial pada ibu tingkat

(7)

pendidikan rendah adalah munculnya harapan ibu pada anak untuk dapat membantu finansial keluarga serta muncul harapan agar anak dapat merawat ketika tua. Tipe psikologis-ekonomi- sosial pada ibu tingkat pendidikan menengah hanya berharap anak dapat merawat ibu ketika tua. Hal tersebut dapat terjadi karena semakin rendahnya tingkat pendidikan membuat individu berkeinginan mendapatkan manfaat dari potensi- potensi yang ada pada anak. Pendidikan yang tinggi membuat orang tua merasa tercukupi sehingga tidak lagi menginginkan apapun dari anak selain pemenuhan kebutuhan kasih sayang (Hoffman, Thornton dan Manis, 1978).

SIMPULAN

Penelitian ini mendapatkan kesimpulan bahwa nilai anak pada ibu dapat muncul secara kombinasi. Artinya bahwa seorang ibu memandang anak tidak hanya murni secara psikologis saja, ekonomis saja atau sosial.

Berdasarkan penelitian ini memunculkan kombinasi dari ketiga nilai anak tersebut.

Ibu dewasa madya dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki nilai anak psikologis- sosial. Ibu dewasa madya tingkat pendidikan menengah memiliki nilai anak psikologis- ekonomi-sosial serta psikologis-sosial.

sedangkan pada ibu tingkat pendidikan rendah, memiliki nilai anak psikologis-ekonomi-sosial dan psikologis-sosial.

Melalui penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa meskipun memiliki nilai anak dengan tipe yang sama, namun pada subjek tingkat pendidikan tinggi, menengah dan rendah memiliki kekhasan masing-masing. Hal ini berarti

tingkat pendidikan dapat memengaruhi nilai anak yang ada pada ibu.

PUSTAKA ACUAN :

Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: a theory of development from the late teens through the twenties. APA, 55(5), 469-480.

Bukhori, I. (2009). Hubungan tingkat pendidikan dan masa kerja terhadap prestasi kerja karyawan PT. PLN area pelayanan dan jaringan malang. Jurnal Manajemen Gajayana, 6(2), 163-172.

Egan, G. (2001). The skilled helper: a problem- management and opportunity development approach to helping. USA: Thomson Learning.

Geertz, H. (1983). Keluarga jawa. (Hersri, Pengalih bhs.). Jakarta: Grafiti Pres.

Goldenberg. I & Goldenberg H. (2000). Family therapy: an overview. California:

Brooks/Cole Publishing Company.

Hoffman, L.W. Thornton, A. & Manis, J. D.

(1978). The value of children to parents in the united states. Journal of Population, 1(2), 91-131.

Kohlmann, A. (2001). Fertility intentions in a cross-culture view: the value of children reconsidered. Retrieved, October 1, 2011 from

http://www.springerlink.com/content/h084 35r5p32857k5/

Matios, J. G. (2005). Perbedaan nilai anak bagi orangtua etnis cina kota dan desa. Skripsi (tidak diterbitkan), Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, Surabaya.

Santrock, J. W. (2002). Life-span development:

perkembangan masa hidup 5th ed. (A.

Chusairi & J. Damanik, Pengalih bhs.).

Dalam H. Sinaga & Y. Sumiharti (Eds.).

Jakarta: Erlangga.

Sulistyaningsih, W. (2005). Kesiapan bersekolah ditinjau dari jenis pendidikan pra sekolah anak dan tingkat pendidikan orangtua.

Jurnal psikologia 1(1), 1-8.

(8)

Sutanto, F. L. (2011). Parental awareness dan value of children. Skripsi (tidak diterbitkan), Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, Surabaya.

Suseno, F. M. (1996). Etika jawa: sebuah analisisfalsafi tentang kebijakanhidup jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Trommsdorff, G. (2003). Parent-child relations over the life span: a cross-cultural perspective. Journal of KACS International Confe rence, 9-66.

Referensi

Dokumen terkait

Lakukan gerakan melangkah ke depan, mencondongkan tubuh, mendaratkan tangan ke lantai, dan mengangkat kaki dengan semulus mungkin sehingga Anda dapat melakukan handstand

Adam Malik Medan adalah koping yang berfokus pada emosi sebanyak 25 orang (59,5%).Dari hasil penelitian ini diharapkan pihak pelayanan keperawatan dapat meningkatkan

Dengan menggunakan metode sistem pakar, diharapkan kemampuan seorang pakar yang ahli dalam masalah kesehatan, khususnya mengenai penyakit pada tulang (dalam hal ini adalah

The learning and growth perspective of the balanced scorecard focuses on using an organization’s intellectual capital to adapt to or influence customer needs and expectations.. ANS: T

Namun, metrologi legal hanya merambah dari segi keabsahan dan kebenaran alat-alat ukur, takar dan timbangan yang dipakai para pedagang, tidak merambah pada prilaku dan cara

Tabel 3. Selain itu hasil observasi juga menunjukkan bahwa respon siswa meningkat setiap siklusnya. Perolehan persentase respon siswa pada siklus II mengalami

Studi Penggunaan Obat Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Nefropati... ADLN Perpustakaan

Bakteri Lactobacillus sp yang secara alami terdapat pada sayuran sangat berperan dalam pembuatan sayur asin melalui proses fermentasi. Sayur asin yang dihasilkan