commit to user 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa Jawa dipakai dalam ragam lisan maupun tulis. Bahasa Jawa pada ragam tulis biasanya digunakan dalam media cetak seperti majalah, surat kabar maupun tabloid. Salah satu majalah yang menggunakan bahasa Jawa adalah Jaya Baya. Jaya Baya merupakan majalah berbahasa Jawa yang cukup dikenal masyarakat khususnya Surabaya. Majalah ini terbit satu minggu sekali atau disebut majalah mingguan, memuat informasi/berita yang dikemas dalam bahasa Jawa serta mengulas beragam topik mengenai budaya Jawa baik bahasa maupun sastra. Seperti majalah pada umumnya, banyak rubrik yang tersaji pada majalah ini, salah satu rubrik yang menarik yaitu Sangu Leladi.
Rubrik menurut KBBI yang disusun oleh Poerwadarminta (1996:83) ialah kepala karangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah, dsb. Rubrik Sangu Leladi dalam setiap penerbitannya terletak pada halaman 38 pojok kanan atas. Rubrik ini memiliki kesamaan dengan rubrik Sumber Semangat yang terdapat dalam majalah Panjebar Semangat. Keduanya berisi petuah atau nasihat yang ditujukan kepada pembaca. Rubrik Sumber Semangat pernah diteliti oleh Dyah Kartika Sari tahun 2013 dalam skripsinya yang berjudul “Wacana Hortatorik Rubrik Sumber Semangat pada Majalah Panjebar Semangat (Kajian Kohesi dan Koherensi)”.
Sangu Leladi merupakan rubrik berisi nasihat atau petuah, masyarakat Jawa sering menyebutnya pitutur luhur. Nasihat ditujukan kepada pembaca sebagai bahan
commit to user
renungan baik dalam bentuk ajakan, saran, perintah maupun larangan. Nasihat disampaikan dengan bahasa yang indah dan komunikatif. Berdasarkan penjabaran di atas rubrik ini dapat digolongkan ke dalam wacana persuasi. Dengan demikian, penelitian ini menekankan wacana persuasi pada ragam tulis.
Pesan dalam wacana persuasi agar dapat tersampaikan maka harus komunikatif, kohesif juga koheren. Berikut contoh rubrik Sangu Leladi yang kohesif dan koheren.
(1) Pitakonan: “Apa sembahyang iku nduweni kekuwatan?” Jawaban: “Duwe!
Yen ati sarta pangucape bisa manunggal, sembahyangane mesthi kamireng dening Pangeran.(JB/I/05/2014)
„Pertanyaan: “Apa sembahyang itu mempunyai kekuatan?” Jawaban: “Punya!
Jika hati serta ucapannya bisa menyatu, sembahyangnya pasti didengarkan oleh Tuhan‟
Data (1) mengandung unsur kohesi ditandai penggunaan kata iku „itu‟ (pronomina demonstratif tempat agak jauh dari penutur), yen „jika‟ (konjungsi syarat) dan sarta
„serta‟ (konjungsi penambahan). Koherensi ditandai dengan pemakaian kata mesthi yang merupakan koherensi penekanan. Satuan lingual tersebut digunakan untuk memberi penekanan pada kalimat sebelumnya yakni jika hati dengan ucapan bisa menyatu, Tuhan pasti mendengar doa hambaNya.
Wacana persuasi umumnya berisi ajakan, namun dapat pula berupa nasihat, petuah, atau larangan. Wacana disampaikan dengan tuturan ekspresif untuk memperkuat pendapat yang disampaikan sehingga lebih meyakinkan. Wacana persuasi dalam penyampaiannya berorientasi pada hasil yang ingin dicapai tetapi tidak bersifat paksaan.
Artinya, berupaya agar orang yang membaca setuju dengan pendapat yang dikemukakan, kemudian termotivasi untuk melakukan. Pembaca yang menyetujui atau mengikuti ide yang ada pada wacana tersebut melakukan dengan kesadaran diri sendiri.
commit to user
Wacana persuasi rubrik Sangu Leladi memuat pitutur luhur yang berguna bagi generasi sekarang serta dapat dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat khususnya generasi muda. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti wacana persuasi rubrik Sangu Leladi. Adapun alasannya akan dikemukakan sebagai berikut.
Pertama, keberadaan rubrik Sangu Leladi dalam majalah Jaya Baya bermanfaat dari segi pengetahuan maupun pendidikan. Berikut contoh data yang mengandung unsur pendidikan:
(2) Akeh wong duwe panyana manawa wong liya iku padha ketriman uripe lan rumangsane awake dhewe tansah nandhang paling sangsara ing jroning uripe katimbang wong liya mau. Iku kang kinaran wong urip mono sawang sinawang. Lan sejatine kang sinawang mau durung meshi kaya kang digambarake. (JB/III/07/2014)
„Banyak orang yang mempunyai prasangka bahwa orang lain itu hidupnya bahagia dan selalu merasa dirinya sendiri paling sengsara dalam hidup daripada orang lain. Itu yang disebut orang hidup itu sawang sinawang (pandang-memandang). Dan sejatinya yang disebut memandang tadi belum tentu sama dengan apa yang tergambar‟.
Data tersebut mengandung unsur pendidikan yang sifatnya ajaran moral, mengajarkan manusia untuk sawang sinawang (pandang-memandang), jangan sampai merasa dirinya sengsara atau hina padahal sebenarnya masih banyak yang kekurangan.
Hal tersebut karena yang terlihat oleh mata belum tentu sesuai dengan kenyataan.
Perubahan budaya yang terjadi saat ini membuat masyarakat lebih fokus pada kehidupan masa sekarang. Hal tersebut membuat pelestarian terhadap nilai-nilai budaya menjadi berkurang. Padahal dari contoh data yang dipaparkan terdapat nilai-nilai budaya yang sangat bermanfaat. Oleh sebab itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan ketertarikan generasi muda untuk melestarikan nilai- nilai budaya serta dapat mengambil nilai-nilai moral yang ada di dalamnya.
commit to user
Kedua, melestarikan budaya Jawa. Hal ini karena rubrik Sangu Leladi terdapat penggunaan wangsalan, tembang, peribahasa dan pepindan yang diambil dari falsafah Jawa pada naskah-naskah jaman dahulu. Berikut contoh data yang mengandung unsur pendidikan:
(3) Awit, yen olehe maoni waton, bisa njalari timbuling adu waton, temahan nglairake panemu kang maton. Saka kono tuwuhing sabda tama “ menang tanpa ngasorake. Iku kang mbokmenawa disebut: opbouwende kritik”...
kritik kang ambangun. Menang tanpa ngasorake! (JB/I/07/2014)
„Sebab, jika asal menghina, bisa menyebabkan saling hina, sehingga melahirkan pendapat yang asal. Dari situ tumbuh perkataan “menang tanpa merendahkan”. Itu yang barang kali disebut : “opbouwende kritik... kritik yang membangun. Menang tanpa merendahkan.‟
Data (3) terdapat satuan lingual menang tanpa ngasorake „menang tanpa merendahkan‟. Satuan lingual tersebut merupakan peribahasa yang mengajarkan manusia untuk menjaga sopan santun serta tidak merendahkan orang lain.
Ketiga, pengemasan serta pemamparan dalam bahasa yang komunikatif dan akrab, sehingga mengena di hati pembaca. Keempat, menggunakan bahasa Jawa dengan kosa kata yang sederhana dan mudah dipahami serta rubrik ini belum pernah diteliti. Kelima, wacana persuasi rubrik Sangu Leladi majalah Jaya Baya banyak dijumpai variasi serta kekhasan kohesi dan koherensi yang sesuai dengan masalah penelitian.
Penelitian mengenai wacana telah banyak dilakukan, khususnya terkait kohesi dan koherensi. Berikut penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan.
Skripsi dengan judul “Kajian Kohesi dan Koherensi pada Wacana Gelanggang Remaja Tekno dalam Majalah Panjebar Semangat” oleh Siti Marfuah Nur Khasanah
Ariyani (2006). Hasil penelitian menemukan penanda kohesi aspek gramatikal berupa pengacuan, penyulihan, pelesapan, dan perangkaian, sedangkan apek leksikal berupa repetisi, sinonimi, antonimi, kolokasi, hiponim, dan ekuivalensi. Jenis koherensi yang
commit to user
ditemukan berupa penekanan, simpulan, dan contoh. Untuk karakteristik wacana gelanggang remaja tekno ini tentunya banyak ditemukan istilah teknologi baik teknologi informasi, komunikasi, maupun elektronik.
Skripsi dengan judul “Wacana Obrolan Rujak Cingur dan Warung Tegal dalam Majalah Panjebar Semangat (Kajian Kohesi)” oleh Marningsih (2009). Hasil
penelitian menemukan ciri khusus penanda kohesi aspek gramatikal yang berupa pengacuan persona, penyulihan, pelesapan, dan perangkaian, sedangkan apek leksikal berupa repetisi, sinonimi, antonim, kolokasi, hiponim, dan ekuivalensi. Perbedaan aspek gramatikal pada Rujak Cingur dan Warung Tegal antara lain pada pengacuan persona dan perangkaian, tidak ditemukan perbedaan pada subtitusi maupun pelesapan pada keduanya, sedang perbedaan pada aspek leksikal berupa sinonimi dan antonim.
Skripsi Kajian Kohesi dan Koherensi pada “Rubrik Hukum dalam Majalah Berbahasa Jawa” oleh Astri Wulansari (2011). Hasil penelitian mendeskripsikan
penanda kohesi dan koherensi serta karaktersitik wacana konsultasi hukum pada majalah tersebut.
Skripsi dengan judul “Wacana Hortatorik Rubrik Sumber Semangat pada Majalah Panjebar Semangat (Kajian Kohesi dan Koherensi)” oleh Dyah Kartika
Sari (2013). Hasil penelitian menemukan penanda kohesi gramatikal berupa pengacuan, penyulihan, pelesapan, dan perangkaian, sedangkan apek leksikal berupa repetisi, sinonimi, antonimi, kolokasi, hiponim, dan ekuivalensi. Koherensi yang ditemukan berupa penekanan, simpulan/hasil, dan contoh. Untuk karakteristik wacana hortatorik rubrik Sumber Semangat majalah Panjebar Semangat adalah dominanya kohesi gramatikal konjungsi 59,11%, dan kohesi leksikal repetisi 26,85%, sedang penanda
commit to user
koherensi yang dominan berupa penekanan 71,43%. Serta kekhasan dari isi wacana yang berupa nasihat, yang isinya memberitahu, memerintah, melarang, mengajak atau menyarankan dan tema yang disajikan berupa tema keagamaan, sosial kemasyarakatan, kehidupan, keilmuan dan moral.
Sama seperti penelitian-penelitian di atas, penelitian ini juga mengenai kohesi dan koherensi, yang menjadi pembeda adalah objek kajian. Penelitian ini sifatnya melengkapi penelitian yang sudah ada serta dalam fokus yang berbeda dari penelitian sebelumnya.
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat bermanfaat dari segi teoretis maupun praktis. Manfaat teoretis yang diharapkan yaitu dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu bahasa serta memperkaya khazanah penelitian wacana, khususnya wacana persuasi bahasa Jawa. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai materi ajar di sekolah-sekolah, serta dijadikan bahan inspirasi atau referensi bagi penelitian selanjutnya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan dalam penelitian ini antara lain.
1. Bagaimanakah penanda kohesi yang mendukung keutuhan wacana persuasi rubrik Sangu Leladi pada majalah Jaya Baya edisi 2014? (Masalah ini dikaji untuk mengetahui bentuk penanda kohesi leksikal dan gramatikal yang terdapat dalam wacana persuasi rubrik Sangu Leladi pada majalah Jaya Baya edisi 2014)
commit to user
2. Bagaimanakah koherensi yang mendukung keutuhan wacana persuasi rubrik Sangu Leladi pada majalah Jaya Baya edisi 2014? (Masalah ini dikaji untuk mengetahui koherensi yang terdapat dalam wacana persuasi rubrik Sangu Leladi pada majalah Jaya Baya edisi 2014)
3. Bagaimanakah karakteristik wacana persuasi rubrik Sangu Leladi pada majalah Jaya Baya edisi 2014? (Masalah ini dikaji untuk menjelaskan karakteristik wacana persuasi dilihat dari dominasi penanda kohesi dan koherensi, serta bentuk dan tujuan penyampaian rubrik Sangu Leladi majalah Jaya Baya edisi 2014)
C. Tujuan Pembahasan
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penelitian ini adalah.
1. Mendeskripsikan penanda kohesi yang mendukung keutuhan wacana persuasi rubrik Sangu Leladi pada majalah Jaya Baya edisi 2014;
2. Mendeskripsikan koherensi yang mendukung keutuhan wacana persuasi rubrik Sangu Leladi pada majalah Jaya Baya edisi 2014; dan
3. Mendeskripsikan karakteristik wacana persuasi rubrik Sangu Leladi pada majalah Jaya Baya edisi 2014.
D. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dilakukan agar masalah yang dikaji lebih terfokus serta menghindari meluasnya masalah sampai pada aspek diluar penelitian. Pembatasan masalah membuat peneliti terfokus pada apa yang akan dikajinya. Penelitian ini
commit to user
menekankan pada wacana persuasi rubrik Sangu Leladi di majalah Jaya Baya edisi 2014 yang akan dianalisis atau dikaji dari segi kohesi dan koherensi.
E. Teori
Konsep-konsep yang digunakan untuk melandasi penelitian ini adalah pengertian wacana, jenis-jenis wacana, sarana keutuhan wacana, rubrik Sangu Leladi majalah Jaya Baya serta wacana persuasi.
1. Pengertian Wacana
Para ahli bahasa telah banyak memberikan definisi mengenai wacana. Beberapa pendapat tersebut sebenarnya sama, hanya saja dalam sudut pandang yang berbeda.
Secara etimologi wacana berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak;vak (berkata/berucap) bentuk “ana” yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna
„membendakan‟ (nominalisasi) sehingga wacana dapat diartikan sebagai „perkataan‟
atau „tuturan‟ (Douglas dalam Mulyana, 2005:3). Wacana yang dalam bahasa Inggris disebut dengan discourse berasal dari bahasa Latin discursus, dis (dari/dalam arah yang berbeda dan currere (lari). Jadi, discursus berarti „lari dari arah yang berbeda‟(Achmad HP dkk, 2012:127).
Wacana merupakan tataran tertinggi dalam hierarki kebahasaan. Meskipun begitu, bukan berarti wacana merupakan tumpukan kalimat acak, melainkan merupakan satuan bahasa, baik lisan maupun tulisan, yang tersusun secara berkesinambungan dan membentuk suatu keterpaduan (Indiyastini, 2009:4). Pendapat ini menjelaskan wacana merupakan satuan bahasa baik lisan, atau tulis yang berkesinambungan dan padu.
Kridalaksana menambahkan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam
commit to user
hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia,dsb), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap (2008:159).
Pengertian memaparkan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan.
Mulyana (2005:1) menjelaskan wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif kompleks dan paling kompleks. Satuan pendukung kebahasaan meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Secara singkat wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dibentuk dari rentetan kalimat yang kontiunitas, kohesif, dan koheren sesuai dengan konteks situasi. Dengan kata lain wacana adalah satuan-satuan tuturan yang merupakan realisasi bahasa dapat diwujudkan sekurang-kurangnya satu paragraf, paragaraf dapat diwujudkan dalam satu kata atau lebih. Realisasi wacana dapat berupa karangan yang utuh yakni novel, buku, seri ensikopedia, dan realisasi wacana lisan adalah tuturan.
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu (Sumarlam, 2010: 30).
Berdasarkan pendapat beberapa ahli yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap direalisasikan dalam bentuk karangan baik lisan atau tulis yang saling padu antarunsur di dalamnya dari segi bentuk (kohesi) atau makna (koherensi).
commit to user 2. Jenis-jenis Wacana
Wacana diklasifikasikan dalam beberapa klasifikasi, Sumarlam (2010:30) mengklasifikasikan wacana menurut bahasa yang digunakan, media yang dipakai untuk mengungkapkan, jenis pemakaian, bentuk, serta cara dan tujuan pemaparannya.
a. Wacana berdasarkan bahasa yang dipakai sebagai sarana untuk mengungkapkannya.
1) Wacana bahasa nasional (Indonesia) ialah wacana yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarananya.
2) Wacana bahasa lokal atau daerah ialah wacana yang yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dsb.
3) Wacana bahasa internasional wacana yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai sarananya.
4) Wacana bahasa lainnya, seperti bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dsb.
b. Wacana berdasarkan media yang dipakai untuk mengungkapkan;
1) Wacana tulis ialah wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau melalui media tulis.
2) Wacana lisan ialah wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau melalui media lisan.
c. Wacana berdasarkan jenis pemakaian dibagi menjadi dua yakni;
1) Wacana monolog artinya wacana yang disampaikan oleh seorang diri tanpa melibatkan orang lain untuk berpartisipasi secara langsung.
2) Wacana dialog yaitu wacana atau percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung.
commit to user d. Wacana berdasarkan bentuk dibagi menjadi tiga yakni;
1) Wacana prosa yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa (Jawa:
gancaran).
2) Wacana puisi yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi (Jawa:
geguritan).
3) Wacana drama yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk dialog, baik berupa wacana tulis maupun wacana lisan.
e. Wacana berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya dibagi menjadi lima yakni;
1) Wacana narasi atau wacana penceritaan, disebut juga wacana penuturan yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu.
2) Wacana deskripsi yaitu wacana yang bertujuan melukiskan, menggambarkan atau memerikan sesuatu menurut apa adanya.
3) Wacana eksposisi atau wacana pembenaran yaitu wacana yang tidak mementingkan waktu dan pelaku.
4) Wacana argumentasi yaitu wacana yang berisi ide atau gagasan yang dilengkapi dengan data-data sebagai bukti, dan bertujuan meyakinkan pembaca akan kebenaran ide atau gagasannya.
5) Wacana persuasi yaitu wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat, biasanya ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk mempengaruhi secara kuat pada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan tersebut.
Berdasarkan klasifikasi jenis wacana di atas, Sangu Leladi termasuk jenis wacana berdasarkan segi tujuan pemaparannya yaitu wacana persuasi.
commit to user 3. Sarana Keutuhan Wacana
Wacana yang baik harus memperlihatkan kepaduan agar pesan atau ide di dalamnya dapat tersampaikan dan dapat dipahami pembaca. Untuk mencapai kepaduan wacana harus utuh dan lengkap. Dua aspek yang menjadi sarana keutuhan wacana yaitu kohesi dan koherensi. Kohesi merujuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi pertautan makna. Wacana yang baik hakikatnya mempunyai kedua unsur tersebut.
a. Kohesi
Kohesi merupakan aspek pendukung keutuhan wacana dilihat dari segi bentuk.
Halliday dan Hasan (1976:5) menyatakan kohesi sebagai perangkat sumber-sumber kebahasaan yang dimiliki setiap bahasa sebagai bagian dari metafungsi tekstual untuk mengaitkan satu bagian teks dengan bagian lainnya. Pengertian ini menekankan kohesi pada perangkat kebahasaan yang berfungsi sebagai alat pengait antar bagian teks satu dengan lainnya. Hal tersebut sejalan dengan Moeliono (1988:34) yang menyatakan kohesi adalah keserasian hubungan antarunsur yang satu dengan yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik dan koheren.
Nunan (1993:21) menyatakan kohesi–yang disebutnya sebagai peranti pembentuk teks (text-forming devides) sebagai these are words and phrases which enable the writer or speaker to estabilsh relationships across sentence or utterance boundaries, and which help to tie the sentences in text together. Artinya, kata dan frasa yang memungkinkan penulis atau pembicara menyusun hubungan antarkalimat atau antarujaran dan membantu mempertautkan kalimat-kalimat dalam sebuah teks.
Pengertian ini kohesi dinyatakan sebagai kata/frasa penyusun kalimat sebuah teks.
commit to user
Setyanto (2007:20) secara sederhana mendefinisikan kohesi sebagai hubungan antarunsur wacana dilihat dari segi bentuk.
Berdasarkan definisi yang dipaparkan disimpulkan kohesi adalah perangkat kebahasaan baik kata/frasa yang berfungsi sebagai alat penyusun kalimat sehingga dalam kalimat tercipta pengertian yang padu dan koheren.
Halliday dan Hasan (1976:6) membagi kohesi menjadi dua jenis yaitu, kohesi gramatikal (gramatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion).
1) Kohesi Gramatikal
Menurut Indiyastini (2009:20) kohesi gramatikal adalah perpaduan bentuk antara kalimat-kalimat yang diwujudkan dalam sistem gramatikal. Kohesi gramatikal dibagi menjadi (1) pengacuan (referensi), (2) penyulihan, (3) elipsis atau pelesapan, (4) konjungsi atau perangkaian. Berikut ini penjelasan keempat aspek tersebut;
a) Pengacuan (referensi)
Sumarlam (2010:41) mendefinisikan pengacuan atau referensi sebagai salah satu jenis kohesi gramatikal berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual yang lain (atau suatu acuan) yang mendahului dan mengikutinya. Kridalaksana (2008:208) menyatakan referensi sebagai hubungan antara referen dengan lambang yang dipakai untuk mewakilinya. Sependapat dengan kedua pakar tersebut secara tradisional Lubis (2011:31) menyatakan referensi adalah hubungan antara kata dan benda.
Indiyastini (2009:22) berpendapat: referensi atau pengacuan terjadi sebagai akibat penyampaian konstituen bahasa yang harus disusun secara linier. Susunan itu pada
commit to user
tahap tertentu mengharuskan terjadinya penyebutan ulang atas apa yang pernah disebutkan sebelumnya, baik dengan atau tanpa disertai pronominal.
Berdasarkan pemaparan di atas disimpulkan pengacuan (referensi) adalah hubungan unsur yang telah disebutkan sebelumnya dengan unsur yang diacunya.
Berdasarkan tempatnya, referensi dibagi menjadi dua yaitu pengacuan endofora apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana, dan pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks wacana.
Referensi
Bagan 1 : Jenis-jenis referensi
Pengacuan endofora terdiri dua jenis yaitu pengacuan anaforis dan kataforis.
Referensi endoforis yang berposisi sesudah antesedennya, atau berada di sebelah kiri anteseden yang telah disebutkan disebut referensi anaforis, sedangkan yang berposisi di sebelah kanan anteseden yang akan disebutkan disebut referensi kataforis. Anteseden adalah unsur-unsur yang diacu.
Pengacuan dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti penunjuk), dan komparatif. Berikut penjelasannya.
i. Pengacuan persona (kata ganti orang). Halliday dan Hasan (1976:37) menyatakan
“Personal reference is reference by means of function in the speech situation, through the category of person. Artinya, pengacuan persona adalah pengacuan
referensi endofora (tekstual) Referensi eksofora
(situasional/kontekstual)
Katafora (kanan antesenden) Anafora (kiri anteseden)
commit to user
yang menunjuk pada orang. Pengacuan ini meliputi kata ganti orang I, II, dan III, yang masing-masing pengacuan tersebut dalam bentuk tunggal atau jamak, dan dalam bentuk morfem bebas atau terikat. Klasifikasi bentuk kata ganti orang I, II, dan III baik tunggal maupun jamak akan diterangkan pada bagan di bawah ini.
Tg : aku, kula, ingsun
I Terikat lekat kiri : dak-, tak Lekat kanan :-ku
Jm : kita, awake dhewe, kita sedaya
PERSONA II Tg : kowe, sampeyan, sliramu, panjenengan Terikat lekat kiri : kok-, ko-
Lekat kanan :-mu
Jm :kowe kabeh, panjenengan sedaya
III Tg : dheweke, piyambakipun, panjenenganipun Terikat lekat kiri : di-, dipun-
Lekat kanan :-e/ne, -ipun,
Jm : dheweke/dheweke kabeh, piyambakipun sedaya Bagan 2: Klasifikasi pengacuan persona
Berikut ini contoh pengacuan persona ketiga tunggal lekat kanan.
(4) Lan manungsa ora bakal kongang nyipati Pangeran Kang Maha Agung marga saka banget Agunging cahyaNe lan bisa disumurupi nganggo netra kewala. (JB/V/03/2014)
„Dan manusia tidak akan sanggup mensifati Pangeran Yang Maha Agung karena dari sangat Agung CahyaNya dan bisa dilihat dengan hanya menggunakan mata saja.‟
Data (4) terdapat penggunaan pengacuan persona –Ne melekat pada cahyaNe, merujuk pada Pangeran Kang Maha Agung yang disebutkan sebelumnya. Penambahan –Ne menjelaskan kepunyaan Tuhan yaitu cahayaNya, N ditulis besar karena merujuk pada Tuhan.
ii. Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dibedakan menjadi dua, yaitu pengacuan demonstratif tempat dan demonstratif waktu. Pembagian pengacuan demonstratif tempat maupun waktu dijelaskan melalui bagan di bawah ini.
commit to user
kini : saiki, sapunika, samenika Waktu lampau : wingi, biyen,kepungkur
yang akan datang : sesuk, ngarep, sukmben DEMONSTRATIF netral : enjing, siyang, sonten, dalu
Tempat dekat penutur : kene, iki agak jauh dengan penutur : kono, iku, kuwi jauh dengan penutur : kana, kae menunjuk secara eksplisit : Solo, Jogja Bagan 3: Klasifikasi pengacuan demonstratif
Berikut contoh penggunaan pengacuan demostratif tempat ditandai ing donya.
(5) Wanodya lan bandha, iku dadi sawijining pepalang kang luwih gedhe ing donya. (JB/III/05/2014)
„Wanita dan harta, itu menjadi salah satu penghalang yang lebih besar di dunia.‟
iii. Pengacuan komparatif ialah membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasanya digunakan untuk membandingkan misalnya seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan (Sumarlam, 2010:46).
Nunan (1993:24) menjelaskan comparative reference is expressed through and adverbs and serves to compare items within a text in terms of identity or similarity, artinya pengacuan komparatif diungkapkan melalui ekspresi dan kata keterangan dan berfungsi untuk membandingkan unsur-unsur di dalam teks dalam hal identitas atau kesamaan.
b) Subtitusi
Subtitusi atau penyulihan diartikan Suwandi (2008:132) sebagai penggantian unsur wacana dengan unsur yang lain yang acuannya tetap sama dalam hubungan antarbentuk kata atau bentuk lain yang lebih besar daripada kata, seperti frasa, dan
commit to user
klausa. Kridalaksana (2008:229) menyatakan subtitusi adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu. Halliday dan Hasan (1976:89) mengartikan subtitusi sebagai berikut:
Subtitution is a relation between lingusitic items, such as words or phrases, where as reference is a relation between meaning. In term on the linguistic system, reference is the relation on the semantic level, whereas subtitution is relation on the lexicogrammatical level, the level of grammar and vocabulary, or lingusitic
„form‟.
Pengertian tersebut menyatakan subtitusi bukan hubungan tentang makna, tetapi hubungan antara tata bahasa dan kosa kata.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas disimpulkan subtitusi adalah penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain untuk menjelaskan struktur tertentu.
Subtitusi ada empat yaitu subtitusi nominal, subtitusi verbal, subtitusi frasal, dan subtitusi klausal. Subtitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina. Subtitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lain berkategori verba. Subtitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lain yang berupa frasa.
Subtitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa (Sumarlam, 2010:47).
Subtitusi yang ditemukan pada penelitian ini hanya subtitusi klausal.
c) Elipsis
Nunan (1993:24) menyatakan bahwa ellipsis is described as a form of subtitution in which the original item is replaced by zero, artinya elipsis adalah bentuk penyulihan
commit to user
dengan cara menyubtitusi butir pokok dengan sesuatu yang kosong atau sesuatu yang tidak ada (zero). Selain itu elipsis merupakan penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat pada kalimat yang lain. Dengan elipsis, karena tidak diulangnya bagian yang sama, wacana tampak lebih efektif, dan penghilangan itu sendiri menjadi alat penghubung kalimat di dalam wacana itu (Chaer, 2007:270).
Halliday dan Hasan berpendapat elipsis dan subtitusi sangatlah mirip, sama-sama berfungsi menghindari pengulangan (1976:142). Adanya elipsis kalimat menjadi efektif dan praktis, sehingga bahasa yang digunakan singkat, padat, dan mudah dimengerti.
Berdasarkan pengertian yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa elipsis adalah penghilangan unsur yang sama agar kalimat menjadi efektif. Berikut ini contoh data yang terdapat pelesapan.
(5) Wong tuwa sugih pitutur marang wong enom, merga Ø rumangsa wis tau ngalami. Ananging Ø apa wis bisa mareni kalakuwane dhewe kang mblasar, urung karuwan. Terkadhang Ø mung lagi bisa nuturi bae, yen duwe kareman durung bisa mbuwang, tembunge: “...ngemungna awakku dhewe kang nyeret, anak putuku tak supatani ora slamet, yen ngantiya nyeret kaya aku.
(JB/V/08/2014)
„Orang tua kaya nasihat kepada anak muda, karena Ø merasa sudah pernah mengalami. Akan tetapi Ø apakah sudah bisa meredam perilakunya sendiri yang tidak karuan, belum tentu. Terkadang Ø hanya bisa menasihati saja, jika punya keinginan belum bisa mengendalikan, kalimatnya: “...lihatlah dirimu sendiri yang membuat susah, anak cucuku saya sumpahi tidak selamat, jika nantinya membuat susah seperti aku‟.
Wacana di atas terdapat pemakaian wong tuwa „orang tua‟ yang dilesapkan beberapa kali pada kalimat setelahnya agar kalimat menjadi lebih efektif dan menghindari kemubaziran.
d) Konjungsi
Konjungsi menurut Suwandi (2008:136) adalah kata tugas yang menghubungkan dua klausa atau lebih. Pendapat tersebut didukung oleh Chaer (2007:269) yang
commit to user
berpendapat wacana sebagai alat untuk menghubungkan bagian-bagian kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Dengan adanya konjungsi, hubungan menjadi eksplisit dan menjadi jelas dibanding tanpa konjungsi.
Halliday dan Hasan (1976:226) menyatakan konjungsi sedikit berbeda dengan jenis kohesi lainnya, baik referensi, subtitusi maupun elipsis, konjungsi adalah hubungan dua unsur bahasa, baik antarklausa, antarkalimat, maupun antarparagraf dengan menggunakan perangkat atau piranti penghubung. Konjungsi tidak hanya sebuah hubungan anafora. Konjungsi bersifat kohesif bukan karena dirinya sendiri, melainkan secara tidak langsung.
Konjungsi banyak jenisnya, berikut penjelasan mengenai macam-macam konjungsi dan penandanya:
1. Sebab-akibat : jalaran „dikarenakan‟, mula „maka‟, marga „karena 2. Pertentangan : nanging„tetapi‟,
3. Kelebihan : malah „malah‟
4. Perkecualian : kajaba „kecuali‟
5. Konsesif : nadyan „walau‟, sanadyan „walaupun‟
6. Tujuan : supaya „supaya‟
7. Penambahan : lan „dan‟, sarta‟serta‟
8. Pilihan : utawa „atau‟
9. Harapan : muga-muga „moga-moga‟
10. Urutan : banjur „lalu‟
11. Perlawanan : kosokbaline „kebalikannya‟
12. Waktu (temporal) : sawise „setelah‟
commit to user 13. Syarat : yen „jika‟
14. Cara : kanthi „dengan‟, sarana „dengan cara‟
Berikut ini contoh pemakaian konjungsi syarat.
(6) Sanadyan wong asor sarta wong ora duwe iya bisa kajen keringan, terkadhang ngungkuli kajen keringane sing luhur lan sing sugih mau, iku yen bisa ngempakake unggah-ungguh, sumurup ajining dhiri.(JB/III/09/2014)
„Meskipun orang yang rendah serta miskin juga bisa dihormati, terkadang penghormatannya melebihi terhormatnya orang yang luhur dan kaya, itu jika bisa menerapkan unggah-ungguh, menyala harga dirinya.‟
(2) Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal adalah alat pemandu kalimat berupa sistem leksikal. Dengan kata lain, untuk menghasilkan wacana yang kohesif, dapat ditempuh dengan cara memilih kata-kata yang sesuai dengan isi wacana yang dimaksud (Indiyastuti, 2009:70). Halliday dan Hasan (1976:274) mengatakan bahwa “This is (lexical cohesion) is the cohesive effect achived by the selection of vocabulary”. Artinya, kohesi leksikal adalah ikatan kohesi yang muncul karena pilihan kata.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas disimpulkan bahwa kohesi leksikal adalah ikatan kohesi dengan memilih kata-kata sesuai dengan maksud yang ingin di sampaikan sehingga kalimat dapat menjadi padu. Sumarlam (2010:55) membagi kohesi leksikal menjadi enam jenis yaitu repetisi atau pengulangan, sinonimi, kolokasi, hiponim, antonim, dan ekuivalensi.
a) Repetisi
Repetisi merupakan pengulangan unsur yang telah disebutkan sebelumnya.
Sumarlam (2010:56) membedakan repetisis menjadi sembilan, berikut penjelasannya;
1) Repetisi epizekuis ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.
commit to user
2) Repetisi tautotes ialah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi.
3) Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata/ frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya.
4) Repetisi epistrofa ialah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut.
5) Repetisi simploke ialah pengulangan satuan lingual pada awal atau akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut.
6) Repetisi mesodiplosis ialah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah atau kalimat secara berturut-turut.
7) Repetisi epanalepsis ialah pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa pertama dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama.
8) Repetisi anadiplosis ialah pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya.
9) Repetisi utuh/penuh ialah pengulangan satuan lingual secara utuh atau secara penuh.
Repetisi yang ditemukan pada penelitian ini berupa repetisi epizekuis, tautotes, epistrofa, dan mesodiplosis. Berikut ini contoh penggunaan repetisi anafora berupa penggunaan pucuk gagang suket „pucuk gagang rumput‟ yang terletak di kalimat pertama kemudian diulang pada awal kalimat kedua.
(7) Pucuk gagang suket angka loro mau tumancep ana ing bongkoting gagang suket angka sepisan. Pucuk gagang suket kang keri, temtu tumancep ana ing suket kang andhisiki.(JB/I/12/2014)
‘Pucuk gagang rumput kedua tertancap pada ujung gagang rumput pertama.
Pucuk gagang rumput yang terakhir, tentu tertancap pada gagang rumput yang mendahului.‟
commit to user b) Sinonimi
Sinonimi terjadi jika wacana menggunakan kata/frasa yang memiliki kemiripan makna. Kridalaksana (2008:222) menjelaskan sinonimi adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonimi hanyalah kata-kata saja. Chaer menjelaskan sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran lainnya (2009:297).
Zaimar dan Harahap (2011:150) mengungkapkan penggunaan sinonimi cukup menopang kohesi wacana. Pengulangan yang bervarisi ini mengikat teks, menjadikannya wacana yang padu. Sumarlam (2010:61) membagi sinonimi berdasarkan satuan lingualnya menjadi lima yaitu sinonimi morfem (bebas) dengan morfem (terikat), kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa dengan frasa, klausa/kalimat dengan klausa/kalimat. Sinonimi yang ditemukan pada penelitian ada empat. Berikut ini contoh data ditandai satuan lingual „anak putuku‟ (morfem terikat ) dengan „aku‟
(morfem bebas).
(8) Terkadhang mung lagi bisa nuturi bae, yen duwe kareman durung bisa mbuwang, tembunge: “...ngemungna awakku dhewe kang nyeret, anak putuku tak supatani ora slamet, yen ngantiya nyeret kaya aku.
(JB/V/08/2014)
„Terkadang hanya bisa menasihati saja, jika punya keinginan belum bisa mengendalikan, kalimatnya “... lihatlah diriku sendiri yang membuat susah, anak cucuku saya sumpahi tidak selamat, jika sampai membuat susah sepertiku.‟
c) Kolokasi (sanding kata)
Kolokasi menurut Baryadi (2002:28) adalah kata-kata yang lazim muncul berdampingan karena kespesifikan topik. Halliday dan Hasan (1976:184)
commit to user
mendefinisikan kolokasi sebagai penggunaan kosakata-kosakata yang saling memiliki keterkaitan dalam ruang lingkup tertentu, keterkaitan antar kosakata tersebut bisa jadi bersifat antonimi atau bahkan berbeda kelas katanya.
Berdasarkan pengertian di atas kolokasi didefinisikan sebagai pemaduan unsur- unsur wacana diwujudkan dengan penggunaan bentuk-bentuk yang lazim berdampingan. Berikut contoh kolokasi ditandai penggunaan tanduran „tanaman‟, kewan „hewan‟, dan manungsa „manusia‟ yang merupakan satu domain yaitu makhluk hidup.
(9) Dadi: selagine bangsa tanduran lan kewan bae, yen kita kepengin ngundhuh wohe kang prayoga, utawa kepengin oleh turunane kang prayoga: kudu nggango kawruh, apa maneh tumrap kita manungsa. (JB/III/02/2014)
„Jadi: selagi bangsa tumbuhan dan hewan saja, jika berkeinginan memetik buah yang baik, atau berkeinginan memunyai keturunan yang baik: harus menggunakan pengetahuan, tidak cukup asal-asalan saja, apa lagi untuk kita manusia.‟
d) Hiponim (hubungan atas-bawah)
Hiponim (hyphonimy) berasal dari bahasa Yunani Kuno unoma (nama) dan kata hipo (di bawah). Bila diartikan dalam bahasa Indonesia artinya nama (yang termasuk) di bawah nama lain. Hiponim adalah ungkapan (kata, biasanya, tetapi dapat juga frasa atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dan makna suatu ungkapan lain (Verhaar 1978:137 dalam Lubis 2011:456).
Chaer (2007:305) menyatakan hiponim adalah hubungan semantik antar sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah disebutkan dapat disimpulkan hiponim adalah nama yang membawahi nama-nama lain atau ungkapan lain.
commit to user e) Antonimi (oposisi makna)
Antonimi merupakan lawan kata. Setyanto (2007:94) menegaskan antonimi sebagai relasi makna yang menggambarkan pertentangan atau kebalikan diantara unsur- unsurnya. Candrawati (2008:18) menyatakan bahwa antonimi maksudnya menggunakan kata-kata atau frasa yang bermakna berlawanan.
Antonim berdasar sifatnya dibagi menjadi lima yakni, antonim mutlak (pertentangan secara mutlak), antonim kutub (tidak bersifat mutlak, tetapi gradasi), antonim hubungan (bersifat melengkapi), antonim hierarkial (menyatakan jenjang), dan antonim majemuk (terjadi pada beberapa kata). Dari beberapa jenis antonimi yang telah dikemukakan hanya antonimi majemuk yang tidak ditemukan pada penelitian. Berikut ini contoh data penggunaan antonimi.
(10) Bisa ngayomi wong kang kepanasan, lan wong kang kodanan.
(JB/I/04/2014)
„Bisa mengayomi orang yang kepanasan, dan orang yang kehujanan.‟
f) Ekuivalensi
Kridalaksana (2008:56) secara singkat memaparkan ekuivalensi sebagai makna yang sangat berdekatan. Sumarlam (2010:69) menegaskan ekuivalensi sebagai hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma.
Dapat penulis simpulkan ekuivalensi adalah hubungan yang sepadan antara satuan lingual satu dengan lainnya. Berikut contoh penggunaan ekuivalensi dengan kata dasar korban pemakaiannya divariasikan pada kurbaning „korban‟ dan pangurbanan
‟pengorbanan‟
(11) Aja nganti kita dadi “kurbaning” wektu, balik wektu kang sejatine kudu asung pangurbanan marang kita.(JB/I/06/2014)
commit to user
„Jangan sampai kita menjadi ‟korban‟ waktu, sebaliknya waktu yang sejatinya harus memberi pengorbanan kepada kita.‟
b. Koherensi
Wacana dikatakan utuh jika koheren. Koherensi adalah kepaduan semantis antara proposisi yang satu dengan yang lain (Indiyastini, 2009:93). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kekoherensian diperlukan karena untuk menciptakan pertalian makna antarunsur yang satu dengan yang lain sehingga wacana bisa utuh. Pendapat ini didukung Baryadi (2002:29) yang secara singkat berpendapat bahwa koherensi merupakan keterkaitan semantik antara bagian-bagian wacana.
Mulyana (2005:31) mengungkapkan koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan makna yang memerlukan interpretasi. Lebih lanjut dijelaskan adanya koherensi wacana menjadi serasi, runtut dan logis. Serasi artinya sesuai, cocok, dan harmoni. Runtut artinya urut, sistematis, tidak terputus-putus, tetapi bertautan satu sama lain. Sedangkan logis artinya masuk akal, wajar, jelas dan mudah dimengerti (2005:35).
Halliday dan Hasan (1976:2) menegaskan struktur wacana pada dasarnya bukanlah struktur bentuk (sintaksis) tetapi struktur arti (semantik), yakni semantik kalimat yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Sebab beberapa kalimat hanya akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti) di antara kalimat- kalimat itu sendiri. Hanya atas dasar hubungan koherensi itulah, seperangkat kalimat tersebut dapat diterima sebagai suatu keseluruhan relatif lengkap. Berdasarkan uraian tersebut terlihat koherensi berkaitan dengan makna yang kedudukannya sangat penting dalam sebuah wacana.
commit to user
Frank J.D‟Angelo seperti yang dikutip oleh Tarigan (1987:105) memaparkan beberapa sarana koherensi seperti 1) bersifat aditif /penambahan (dan, juga, lagi, pula);
2) bersifat rentetan atau seri (pertama, kedua, kemudian, akhirnya); 3) pronomina (ini, saya, dia), 4) repetisi/ pengulangan kata, 5) sinonimi; 6) keseluruhan menuju ke bagian;
7) dari kelas ke anggota; 8) penekanan (pasti, sudah pasti, semakin), 9) perbandingan (tidak beda, seperti); 10) pertentangan (tetapi, sebaliknya); 11) kesimpulan/ hasil (jadi, itu tadi, maka), 12) contoh (umpamanya, seperti, di antaranya); 13) kesejajaran/
paralelisme; 14) lokasi (ada di sana, ada di sini); 15) kala/waktu (sementara itu, awal mulanya).
Sarana koherensi yang dipaparkan mempunyai kesamaan dengan penanda kohesi.
Oleh karena itu, koherensi yang dikaji pada penelitian ini hanya berupa penekanan, contoh dan simpulan.
a) Koherensi penekanan
Koherensi ini digunakan untuk memberikan penekanan pada maksud yang ingin disampaikan, umumnya dinyatakan dengan mesthi ‟pasti‟, samsaya ‟semakin‟, saya „makin‟ .
b) Koherensi contoh.
Koherensi contoh digunakan untuk memberikan keterangan atau penjelasan agar maksud dalam kalimat tersampaikan dengan jelas. Umumnya dinyatakan dengan satuan lingual berupa kaya „seperti‟, umpama „misal‟, umpamane „misalnya‟.
c) Koherensi simpulan
Koherensi ini dipakai untuk menyimpulkan keterangan sebuah penelitian, umumnya dinyatakan dengan kata dadi „jadi‟, atau asil „hasil‟.
commit to user
Sebagai sarana keutuhan wacana kohesi dan koherensi sebenarnya hampir sama, beberapa aspek penanda kohesi juga dipakai dalam koherensi, dan sebaliknya. Berikut tabel perbedaan kohesi dan koherensi:
Kohesi Koherensi
Kepaduan Keutuhan Kepaduan Keutuhan Aspek bentuk (form) Aspek makna (meaning)
Aspek lahiriah Aspek batiniah Aspek formal Aspek ujaran Organisasi sintaksis Organisasi semantik
Unsur internal Unsur eksternal
Jadi, perbedaan kedua aspek tersebut ialah pada sisi pendukung terhadap struktur wacana. Artinya dari arah mana aspek itu mendukung keutuhan wacana. Bila dari dalam (internal), maka disebut sebagai aspek kohesi. Sebaliknya, bila aspek itu berasal dari luar, maka disebut sebagai koherensi (Mulyana, 2005:36)
4. Rubrik “Sangu Leladi“ Majalah Jaya Baya
Jaya Baya merupakan salah satu majalah berbahasa Jawa berasal dari Surabaya.
Majalah ini pertama kali terbit di kota Kediri pada tahun 1 Desember 1945 oleh PT.
Jayabaya Prabu Gendrayana, sebelum pindah ke Surabaya. Meski terbit di kota Surabaya dialek yang dipakai bukan dialek Suroboyonan akan tetapi dialek bahasa Jawa Tengah-an ngoko halus. Majalah ini terdiri dari berbagai rubrik misalnya cerkak (cerita pendek), cerbung (cerita bersambung), berita politik, olahraga, IPTEK, kasusastran dll.
Salah satu rubrik yang menarik adalah rubrik “Sangu Leladi”.
Rubrik berasal dari istilah bahasa Belanda „rubriek‟, yang berarti ruangan.
Menurut Effendy rubrik adalah ruangan pada halaman atau surat kabar, majalah, atau
commit to user
media cetak lainnya, mengenai suatu aspek atau kegiatan dalam kehidupan masyarakat.
Misalnya rubrik wanita, rubrik olah raga, rubrik pendapat pembaca dan lain sebagainya (1989:316). Komaruddin (1974:74) mendefiniksan rubrik sebagai kepala karangan, bab, atau pasal di dalam surat kabar atau majalah, sering diartikan sebagai “ruangan”
misalnya rubrik tinjauan luar negeri, rubrik kewanitaan, rubrik ekonomi.
Berdasarkan pengertian tersebut disimpulkan bahwa rubrik adalah ruangan dalam surat kabar atau majalah yang membahas mengenai aspek tertentu dalam kehidupan masyarakat yang sifatnya lebih mendalam.
Sangu Leladi merupakan rubrik berisi nasihat atau petuah yang ditujukan kepada pembaca. Dilihat dari etimologinya sangu bemakna „bekal‟, sedangkan leladi berasal dari kata ladi yang bermakna „menyiapkan dan memberikan kepada‟. Dapat disimpulkan bahwa rubrik ini berusaha memberikan sajian kepada pembaca dengan ulasan yang bermanfaat serta dapat dijadikan bekal kehidupan. Rubrik Sangu Leladi terletak di halaman 38 kanan atas, bersebelahan dengan rubrik layang saka warga dan dibawahnya ada kolom menarik yang diberi judul nyekakak sik, aaaah...
5. Wacana Persuasi
Wacana persuasi adalah wacana berisi paparan berdaya bujuk, ajak ataupun berdaya himbauan yang dapat membangkitkan ketergiuran pembacanya untuk menurut himbauan implisit maupun eksplisit yang dilontarkan oleh penulis ataupun pembuatnya (Marwoto, dkk,1987:176). Tarigan (2008:113) memaparkan tulisan persuasif adalah tulisan yang dapat merebut perhatian pembaca, yang dapat menarik minat, dan yang dapat meyakinkan mereka bahwa pengalaman membaca merupakan suatu hal yang amat
commit to user
penting. Keraf menambahkan (1995:14) persuasi adalah bentuk wacana yang merupakan penyimpangan dari argumentasi. Persuasi khusus berusaha mempengaruhi orang lain atau pembaca agar pendengar atau pembaca melakukan sesuatu bagi yang mengadakan persuasi, walaupun yang dipersuasi sebenarnya tidak terlalu percaya akan yang dikatakan.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan wacana persuasi adalah wacana yang berisi paparan, berusaha menarik atau merebut perhatian pembaca sehingga pembaca tergerak melakukan sesuatu yang dipersuasikan. Wacana persuasi dalam penelitian ini difokuskan pada rubrik Sangu Leladi majalah Jaya Baya. Rubrik tersebut digolongkan wacana persuasi karena bersifat menasihati. Selain itu memaparkan pitutur luhur yang berisi daya bujuk sehingga seseorang tersentuh hatinya untuk setuju dan melakukan yang dipersuasikan.
Wacana persuasi digunakan untuk mempengaruhi orang lain, sehingga umumnya menggunakan pendekatan emotif. Pendekatan emotif ialah pendekatan dengan merangsang serta membangkitkan emosi pembaca agar mengikuti keinginan wacana tetapi tidak bersifat paksaan ataupun kekerasan. Tarigan (2008: 113-114) memaparkan ada 4 ciri-ciri tulisan persuasif, yaitu 1) jelas dan tertib; maksud dan tujuan penulis dinyatakan secara terbuka atau dikemukakan dengan jelas, 2) haruslah hidup dan bersemangat, 3) beralasan kuat berdasar pada fakta-fakta dan penalaran-penalaran, serta 4) bersifat dramatik.
Wacana persuasi penyampaiannya menggunakan bahasa yang halus, komunikatif, serta tidak memicu amarah. Bahasa yang digunakan menyentuh perasaaan sehingga pembaca tergerak melakukan sesuatu. Penggunaan bahasa atau leksikon itu menjadi
commit to user
karakteristik wacana persuasi. Karakteristik merupakan ciri khusus yang dimiliki suatu unsur yang membedakannya dengan yang lain, sehingga menjadikan unsur tersebut istimewa. Karakteristik rubrik Sangu Leladi dilihat dari segi bentuk (berupa wangsalan, tembang, pepindan dan peribahasa) serta dari segi isi berupa larangan, saran dan perintah. Berikut ini contoh wacana persuasi yang memuat saran.
(12) Kadidene manungsa lumrah, kita, ora bakal bisa luput saka kekurangan, nggendhong cacad sarta kesalahan. Mung bae, betheke marga saka gedhening katresnane marang awake dhewe, kabeh mau adate ora disumurupi. Mula, prayogane menawa wong kang kadunungan cacad lankekurangan ing nalikane srawung karo kita, di bisa tepa salira.(JB/V/06/2014)
„Sama dengan manusia umumnya, kita, tidak akan bisa terhindar dari kekurangan, memikul cacat serta kesalahan. Hanya saja, karena besarnya kecintaan kepada diri sendiri, semua tadi biasanya tidak diketahui. Maka, lebih baik jika orang yang mempunyai cacat dan kekurangan ketika berkumpul dengan kita, bisa saling menghormati‟.
Kata prayogane „lebih baik‟, menunjukkan saran agar saat berkumpul dapat menerima dan saling menghormati kekurangan orang lain.
F. Data dan Sumber Data
Data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan alam (dalam arti luas), yang harus dicari/dikumpulkan dan dipilih peneliti (Subroto, 2007:38). Data penelitian ini adalah teks (kalimat-kalimat) mengandung kohesi dan koherensi yang membentuk wacana persuasi rubrik Sangu Leladi majalah Jaya Baya edisi 2014.
Sumber data merupakan asal/tempat diperolehnya semua bahan atau informasi yang dipakai sebagai data penelitian. Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong 2007:157) menyatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata- kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
commit to user
Sumber data pada penelitian ini adalah wacana persuasi pada rubrik Sangu Leladi di majalah Jaya Baya edisi 2014. Adapun sumber data yang dimaksud sebagai berikut.
1. Jaya Baya edisi Minggu I Januari 2014 2. Jaya Baya edisi Minggu II Januari 2014 3. Jaya Baya edisi Minggu III Januari 2014 4. Jaya Baya edisi Minggu IV Januari 2014 5. Jaya Baya edisi Minggu I Febuari 2014 6. Jaya Baya edisi Minggu II Febuari 2014 7. Jaya Baya edisi Minggu III Febuari 2014 8. Jaya Baya edisi Minggu IV Febuari 2014 9. Jaya Baya edisi Minggu I Maret 2014 10. Jaya Baya edisi Minggu II Maret 2014 11. Jaya Baya edisi Minggu III Maret 2014 12. Jaya Baya edisi Minggu V Maret 2014 13. Jaya Baya edisi Minggu I April 2014 14. Jaya Baya edisi Minggu II April 2014 15. Jaya Baya edisi Minggu IV April 2014 16. Jaya Baya edisi Minggu II Mei 2014 17. Jaya Baya edisi Minggu III Mei 2014 18. Jaya Baya edisi Minggu IV Mei 2014 19. Jaya Baya edisi Minggu I Juni 2014 20. Jaya Baya edisi Minggu II Juni 2014 21. Jaya Baya edisi Minggu III Juni 2014
commit to user 22. Jaya Baya edisi Minggu IV Juni 2014
23. Jaya Baya edisi Minggu V Juni 2014 24. Jaya Baya edisi Minggu I Juli 2014 25. Jaya Baya edisi Minggu III Juli 2014 26. Jaya Baya edisi Minggu IV Juli 2014 27. Jaya Baya edisi Minggu V Juli 2014 28. Jaya Baya edisi Minggu I Agustus 2014 29. Jaya Baya edisi Minggu II Agustus 2014 30. Jaya Baya edisi Minggu III Agustus 2014 31. Jaya Baya edisi Minggu IV Agustus 2014 32. Jaya Baya edisi Minggu V Agustus 2014 33. Jaya Baya edisi Minggu I September 2014 34. Jaya Baya edisi Minggu II September 2014 35. Jaya Baya edisi Minggu III September 2014 36. Jaya Baya edisi Minggu IV September 2014 37. Jaya Baya edisi Minggu I Oktober 2014 38. Jaya Baya edisi Minggu II Oktober 2014 39. Jaya Baya edisi Minggu IV Oktober 2014 40. Jaya Baya edisi Minggu II November 2014 41. Jaya Baya edisi Minggu III November 2014 42. Jaya Baya edisi Minggu IV November 2014 43. Jaya Baya edisi Minggu I Desember 2014 44. Jaya Baya edisi Minggu II Desember 2014
commit to user 45. Jaya Baya edisi Minggu III Desember 2014 46. Jaya Baya edisi Minggu IV Desember 2014
G. Metode Dan Teknik Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang mendeskripsikan objek sesuai fakta. Penelitian ini mendeskripsikan mengenai wacana persuasi rubrik Sangu Leladi majalah Jaya Baya dilihat dari aspek kohesi dan koherensi yang mendukung keutuhan wacana. Metode kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2007:4) ialah prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Subroto menegaskan penelitian kualitatif itu bersifat deskriptif. Peneliti mencatat dengan teliti dan cermat data yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar-gambar/foto, catatan harian, memorandum, video-tape (1992:7). Penelitian ini termasuk deskriptif kualitatif karena data yang digunakan berupa data tulis, khususnya teks, dan bukan berwujud angka-angka.
2. Alat Penelitian
Alat penelitian dibagi menjadi dua yaitu alat utama dan alat bantu. Alat utama penelitian adalah peneliti sendiri, karena peneliti sangat berperan dalam penelitian dan perannya paling dominan. Alat bantu bersifat pendukung proses penelitian. Alat bantu tersebut berupa bolpoint, kartu data, buku catatan, komputer, dan kertas HVS.
commit to user 3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan metode simak dan catat. Metode simak dipakai karena data berupa bahasa yang sifatnya teks. Metode simak dapat diartikan menyimak/mengamati penggunaan bahasa yang dipakai pada wacana. Metode simak selanjutnya didukung dengan metode catat, peneliti mencatat data yang sesuai dengan objek penelitian pada sebuah kartu data. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut.
1. Menyimak
Menyimak merupakan langkah awal dari proses mengumpulkan data. Menyimak dilakukan dengan memeriksa dan mempelajari objek yang diteliti yaitu wacana persuasi rubrik Sangu Leladi pada majalah Jaya Baya. Kemudian dipilih wacana-wacana yang sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti.
2. Mencatat
Pencatatan dilakukan jika wacana yang didapat dirasa cukup sebagai data penelitian. Data yang ditemukan dicatat pada kartu data untuk diidentifikasi sesuai masalah yaitu mengenai kohesi dan koherensi. Pencatatan data ditunjang dengan menggaris bawahi, cetak miring atau kurung kurawal pada wacana yang sesuai dengan objek penelitian. Data yang telah diidentifikasi kemudian dipilah berdasar kategorinya.
Contoh kartu data beserta penulisan data:
Potongan Wacana:
Olehe mbangun angger dadi, tanpa perduli karo kualitase, nek cepet rusak,batine malah ngguyu, jalaran bisa enggal oleh….borongan maneh.
Analisis :
jalaran → konjungsi sebab-akibat
No. Data: JB/II/07/2014
commit to user 4. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang dipakai ialah metode agih dan padan. Metode agih alat penentunya bahasa itu sendiri dapat berupa bagian atau unsur dari bahasa objek sasaran itu sendiri, seperti kata (kata ingkar, preposisi, adverbia, dsb), fungsi sintaksis (subjek, objek, predikat, dsb), klausa, silabe kata, titinda, dan yang lain (Sudaryanto, 1993:16).
Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di luar kebahasaan, sehingga metode ini berkaitan dengan penanda koherensi.
Metode agih digunakan untuk menganalisis penanda kohesi. Pelaksanaan dasar dari metode agih menggunakan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL), yaitu membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur, dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:31). Jadi wacana yang dianalisis berupa penggalan- penggalan wacana yang terdiri dari klausa atau kalimat.
Teknik lanjut yang digunakan adalah teknik lesap dan teknik ganti. Teknik lesap adalah teknik melesapkan (melepaskan, menghilangkan, menghapus, mengurangi) unsur tertentu satuan lingual yang bersangkutan. Kegunaan teknik ini untuk mengetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan (Sudaryanto, 1993:42). Unsur yang dilesapkan dapat berupa kata, frasa dan klausa sebagai penanda kohesi. Teknik ganti adalah penggantian unsur satuan lingual yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:37).
Penggantian unsur yang diganti dan penggantinya dapat berupa kata, frasa dan klausa.
Teknik ganti digunakan untuk mengetahui kadar kesamaan kelas kata/ kategori unsur terganti atau unsur ginanti dengan unsur pengganti. Berikut ini merupakan contoh penerapan metode agih;
commit to user
(13) Para leluhur kita wis paring pepakem, kasusahan iku nguwohake kaluhuran. Lire: sapa kang wis isa methik sari pathining kasusahan, bakal melu ngrasa rinujit-rujit nyipati panandhange para kang nadhang papa.
(JB/III/06/2014)
„Para leluhur kita sudah memberi pedoman, kasusahan itu menumbuhkan keluhuran. Seperti: siapa yang sudah bisa mengambil sari pati kesusahan, pasti ikut merasa terkoyak melihat orang yang sedang mengalami kesusahan.‟
Kata kita „kita‟ pada data termasuk kohesi gramatikal berupa pengacuan persona II jamak. Data kemudian di bagi atas unsur langsungnya menggunakan teknik bagi unsur langsung (BUL).
(13a) Para leluhur kita wis paring pepakem, kasusahan iku nguwohake kaluhuran.
„Para leluhur kita sudah memberi pedoman, kasusahan itu menumbuhkan keluhuran.‟
(13b) Lire: sapa kang wis isa methik sari pathining kasusahan, bakal melu ngrasa rinujit-rujit nyipati panandhange para kang nadhang papa.
„Seperti: siapa yang sudah bisa mengambil sari pati kesusahan, pasti ikut merasa terkoyak melihat orang yang sedang mengalami kesusahan.‟
Data selanjutnya diuji dengan teknik lesap, dan diperoleh hasil sebagai berikut:
(13c) Para leluhur Ø wis paring pepakem, kasusahan iku nguwohake kaluhuran.
„Para leluhur Ø sudah memberi pedoman, kasusahan itu menumbuhkan keluhuran.‟
Hasil pengujian menunjukkan penanda persona II berupa satuan lingual kita „kita‟
meskipun dilesapkan wacana tetap gramatikal dan berterima. Akan tetapi wacana lebih padu jika satuan lingual kita dihadirkan. Selanjutnya data diuji dengan teknik ganti.
Berikut pengujian data dengan teknik ganti.
(13d) Para leluhur
awakedhewe
kita wis paring pepakem, kasusahan iku
nguwohake kaluhuran.
„Para leluhur
kita
kita sudah memberi pedoman, kasusahan itu menumbuhkan keluhuran.‟
commit to user
Hasil analisis menunjukkan kita „kita‟ sebagai penanda kohesi terganti dapat digantikan dengan awake dhewe „kita‟.
Metode padan digunakan untuk menganalisis wacana yang bersifat situasional (eksternal), sehingga metode ini dipakai untuk menganalisis penanda koherensi. Metode padan alat penentunya di luar bahasa. Alat penentu tersebut dibagi menjadi 5 yaitu:
1. Metode padan referensial dengan alat penentunya organ bicara atau bahasa atau referen bahasa.
2. Metode padan fonetis artikulatoris dengan alat penentunya organ bicara atau oragan pembentukn bahasa,
3. Metode padan translational dengan alat penentunya bahasa lain, 4. Metode padan ortografis dengan alat penentunya tulisan,
5. Metode padan pragmatis dengan alat penentunya mitra tutur.
Penelitian ini menggunakan metode padan referensial yaitu bahasa atau referen bahasa untuk mengetahui makna yang ditunjukkan oleh sarana koherensi. Berikut ini contoh penerapan metode padan dalam data.
(13b) Lire: sapa kang wis isa methik sari pathining kasusahan, bakal melu ngrasa rinujit-rujit nyipati panandhange para kang nadhang papa.
Seperti: siapa yang sudah bisa mengambil sari pati kesusahan, pasti ikut merasa terkoyak melihat orang yang sedang mengalami kesusahan.‟
Kata lire „seperti‟ merupakan koherensi contoh yang memberikan contoh atau keterangan kalimat sebelumnya yaitu apa yang dimaksudkan dengan kesulitan itu menumbuhkan keluhuran.
commit to user 5. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Data yang telah dianalisis kemudian hasilnya disajikan menggunakan metode penyajian data. Metode penyajian data ada dua yaitu informal dan formal. Metode informal artinya perumusan dengan kata-kata biasa sedangkan metode formal adalah metode perumusan dengan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:145).
Penyajian laporan penelitian menggunakan metode informal dan formal. Metode informal menyajikan data menggunakan kata-kata biasa sehingga dengan serta merta ketika dibaca bisa langsung dipahami. Selanjutnya didukung metode formal, menggunakan tanda seperti tanda kurung biasa ((...)); tanda garis miring (/); tanda pelesapan (Ø); tanda kurung kurawal ({...}), tanda petik („...‟) untuk menampilkan hasil terjemahan data yang berupa bahasa Jawa ke bahasa Indonesia atau bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari tiga bab, berikut ini uraian ringkasnya:
Bab I Pendahuluan. Pendahuluan terdiri atas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan pembahasan, pembatasan masalah, teori, data dan sumber data, metode dan teknik penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II Analisis Data berisi data yang terkumpul beserta analisisnya secara kohesi, koherensi dan karakteristik wacana persuasi rubrik “Sangu Leladi” pada majalah Jaya Baya.
Bab III Penutup berisi kesimpulan dan saran atas penelitian yang telah dilakukan.