• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa digunakan oleh masyarakat sebagai alat komunikasi. Bloomfield berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Karena merupakan suatu sistem, bahasa itu sendiri mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung, dan mengandung sruktur unsur- unsur yang bisa dianalisis secara terpisah (Bloomfield dalam Sumarsono, 2013:18).

Tanpa bahasa masyarakat akan lebih sulit untuk berinteraksi antarindividu maupun antarkelompok dan masyarakat akan lebih sulit untuk menyampaikan tujuan yang akan disampaikannya.

Bahasa akan selalu menjadi penanda bagi kehadiran budaya dan masyarakat yang menjadi wadahnya. Bahasa, budaya, dan masyarakat, selalu saling berkaitan, dan selalu harus hadir bersamaan. Bahasa juga dapat menjadi penanda keadaan perkembangan dari budaya dan masyarakatnya, (Rahardi dan Kunjana dalam Iqbal N.A, 2011:4). Wardhaugh berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia, baik tertulis maupun lisan, dalam Chaer dan Agustina (2004:14-15).

Selain itu, bagi sosiolinguistik bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran yang dianggap terlalu sempit, sebab seperti yang dikemukakan Fishman bahwa yang menjadi persoalan linguistik adalah “who speak what language to whom, when, and to what end”. Oleh karena itu, fungsi bahasa dapat dilihat dari penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicara (dalam Chaer dan Agustina (2004:14-15).

Bahasa memang tidak dapat lepas dari hubungan dengan masyarakat, dalam kehidupan bermasyarakat bahasa selalu digunakan untuk alat komunikasi dalam melakukan suatu kegiatan. Hubungan bahasa dan penggunanya dalam masyarakat dipelajari displin ilmu sosiolinguistik, sosiolinguistik mengkaji tentang pemakaian bahasa dalam masyarakat. Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungan dengan pemakaianya di dalam masyarakat (Suwito, 1983:2). Oleh karena itu, sosiolinguistik memandang bahasa pertama sebagai komunikasi yang merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan.

commit to user

(2)

2

banyak ragam bahasa, salah satunya yaitu etnik Melayu. Ragam bahasa itu sendiri adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian banyak variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa (Suwito, 1983:148).

Perbedaan etnik tidak menjadi halangan bagi masyarakat Indonesia untuk berkomunikasi satu sama lain. Etnik Melayu merupakan keturunan paling tua di dunia, etnik Melayu disebut juga Proto Melayu dan Deutro Melayu yang berada di Asia dan Indonesia. Masyarakat etnik Melayu selalu memegang prinsip yaitu menghargai, menghormati (Aminulah, Puji Lestari, dan Sigit Tripambudi dalam Jurnal Komunikasi ASPIKOM, 2015:272-281). Walaupun etnik Melayu bukan keturunan asli pribumi, tetapi masyarakat etnik Melayu dapat menguasai bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan juga mahir dalam menggunakan bahasanya sendiri.

Faktor lingual dan faktor nonlingual, dalam pemakaiannya faktor lingual terdapat dalam bahasa itu sendiri, misalnya sintaksis, morfologi, dan fonologi.

Sedangkan faktor nonlingual dalam pemakaian bahasa dapat menimbulkan variasi bahasa. Variasi bahasa atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasi berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial. Wujud variasi bahasa berupa idiolek, dialek register, dan undha-usuk ‘tingkat tutur’.

Idiolek yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan, dialek yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada wilayah tertentu, register yaitu variasi bahasa berdasarkan fungsi penggunaannya, sedangkan undha- usuk merupakan aturan sopan-santun berbahasa Jawa yang membutuhkan perhatian khusus dalam pemakaiannya (Chaer dan Agustina, 2004:62-68).

Masyarakat Indonesia menggunakan bahasa lebih dari satu bahasa yaitu bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sebagai bahasa ibu, bahasa Jawa dan bahasa Melayu merupakan bahasa daerah. Oleh karena itu, dalam penggunaan tidak terlepas dari peristiwa kontak bahasa. Kontak bahasa merupakan pengaruh antar bahasa satu dengan bahasa lainnya, dalam kontak bahasa tersebut akan dihadapkan dengan pilihan kode sehingga muncul pergantian kode atau percampuran kode yang disebut dengan alih kode dan campur kode. Alih kode merupakan peralihan suatu bahasa ke bahasa lain, sedangkan campur kode merupakan penyisipan bahasa di dalam suatu tuturan

commit to user

(3)

3

Di Universitas Sebelas Maret keberadaan bahasa Melayu termasuk bahasa yang minoritas, selain itu bahasa Jawa sangat mayoritas. Hal tersebut dapat dilihat dari sebuah kelompok yang percakapannya lebih banyak menggunakan bahasa Jawa.

Mahasiswa etnik Melayu di Universitas Sebelas Maret menggunakan tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia, bahasa Melayu dan bahasa Jawa, tetapi pada saat berinteraksi menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa sebagai bahasa pertama, sedangkan bahasa Indonesia bahasa kedua. Ketika berinteraksi mahasiswa etnik Melayu menggunakan bahasa Jawa ngoko, biasanya digunakan dalam situasi informal. Maka dari itu, penguasaan bahasa lebih dari satu menyebabkan terjadinya alih kode, campur kode. Alih kode dan campur kode merupakan salah satu fenomena sosiolinguistik yang terjadi dalam masyarakat, fenomena tersebut ditemukan pada komunikasi bahasa Jawa mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu. Dalam penelitian ini akan membahas mengenai ali kode dan campur kode dalam komunikasi mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu. Berikut adalah contoh penggunaan alih kode dalam komunikasi mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu.

Dengan demikian, penelitian ini akan membahas mengenai alih kode dan campur kode dalam komunikasi mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu.

Berikut adalah contoh penggunaan alih kode dan campur kode dalam komunikasi mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu yang ditemukan dalam observasi.

(Data 1)

Jundi MEJ : “Kamu besuk kemana?”

Afif MEM : “Ingin ke perpustakaan.”

Jundi MEJ : “ mencari apa?”

Afif MEM : “Kuwi lho, nggoleki majalah kebudayaan Indonesia.”

‘Itu lho, cari majalah kebudayaan Indonesia.’

Jundi MEJ : “Aku uwis entuk ki, majalahne ning jok pit.”

‘Aku sudah dapat, majalahnya di jok motor.’

Afif MEM : “Ya uwis, tak jipuk ya?”

‘Ya sudah, saya ambil ya?’

Jundi MEJ : “Ya.”

‘Ya.’

commit to user

(4)

4

Data (1) merupakan peristiwa tutur alih kode yang terjadi di UNS Surakarta. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung pada siang hari. Tuturan di atas dilakukan oleh mahasiswa etnik Jawa (MEJ) dan mahasiswa etnik Melayu (MEM). Situasi yang terjadi kondusif, sangat bisa dipahami, dan sudah saling mengenal. Topik tuturan adalah MEJ menanyakan kepada MEM besuk ingin kemana dan memberitahu bahwa majalah yang MEM cari sudah ada.

Data tersebut terjadi peristiwa alih kode yang merupakan kesatuan lingual (kebahasaan) yaitu kalimat. Alih kode dilakukan oleh O2 sebagai mahasiswa etnik Melayu di UNS. Pada awalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia yaitu “Ingin ke perpustakaan” kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ngoko yaitu “Kuwi lho, nggoleki majalah kebudayaan Indonesia” ‘Itu lho, cari majalah kebudayaan Indonesia’ dan “Ya uwis, tak jipuk ya?” ‘Ya sudah, aku ambil ya?’. Alih kode ini disebut alih kode intern.

Tujuan atau fungsi peralihan kode tersebut adalah menyatakan pertanyaan dan pertanyaan O1 kepada O2. O1 menyatakan pertanyaan yaitu O2 besuk memliki jadwal kemana keperpus dan keperpustakaan untuk mencari apa. Sedangkan pernyataan O1 kepada O2 bahwa majalah yang O2 cari sudah ada dalam jok motor. Alih kode di atas saling mempertahankan fungsinya.

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode adalah O1 mahasiswa etnik Jawa menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dengan O2 mahasiswa etnik Melayu.

Kemudian O2 yang dengan sadar beralih kode dari kalimat bahasa Indonesia ke dalam kalimat bahasa Jawa agar situasi menjadi lebih santai. Latar belakang alih kode tersebut merupakan faktor situasional, karena penutur berusaha mengubah situasi tutur.

Campur kode dan alih kode digunakan dua bahasa atau lebih variasi dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur (Chaer dan Agustina, 2004:114). Data selanjutnya yaitu contoh penggunaan campur kode dalam komunikasi bahasa Jawa mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu, sebagai berikut.

(Data 2)

Daniel MEJ : “Uwis numpuk tugas durung?”

‘Sudah mengumpulkan tugas belum?’

Afif MEM : “Belum.”

Daniel MEJ : “Who, kowe. Prof uwis lunga mau.”

‘Wah, kamu. Prof sudah pergi tadi.’

Afif MEM : “Kama? Ondeh.”

commit to user

(5)

5

“Kemana? Waduh.

Daniel MEJ : “Mboh, ora ngerti aku.”

‘Tidak tahu, tidak mengerti saya.’

Afif MEM : “Pie iki. Ora mudeng aku nek Prof wes lunga”

‘Bagaimana ini. Saya tidak mengerti kalau Prof sudah pergi.’

Data (2) peristiwa tutur tersebut terjadi di fakultas teknik UNS. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung pada pagi hari tepatnya pukul 10.00 WIB. Komunikasi tersebut dilakukan oleh MEJ dan MEM yang sedang berbincang setelah berakhirnya kelas. Situasi komunikasi tersebut sangat santai dan ringan. Topik komunikasi tersebut membahas tugas yang sudah dikumpulkan atau belum.

Tuturan di atas terdapat peristiwa campur kode yang berupa penyisipan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh mahasiswa etnik Melayu. Dalam tuturan di atas terjadinya campur kode yang terdapat pada kata BI “Belum”, sedangkan penutur beralih ke kalimat bahasa Melayu (BM) yaitu “Kama? Ondeh.” ‘Kemana? Waduh.’, selain itu penutur juga beralih kode ke kalimat dalam bahasa Jawa (BJ) yaitu “Pie ik. Ora mudeng aku nek Prof wes lunga.” ‘Bagaimana ini. Saya tidak mengerti kalau Prof sudah pergi’. Campur kode di atas merupakan campur kode intern.

Tujuan atau fungsi campur kode pada data di atas adalah lebih mudah dipahami dalam menyatakan pertanyaan O1 kepada O2 dapat tersampaikan dengan jelas. Hal tersebut menyebabkan O2 dapat memahami tuturan O1 sehingga komunikasi berjalan dengan baik. Campur kode di atas tidak mempertahankan fungsinya.

Faktor-faktor yang melatarbelakangi campur kode yaitu adanya tuturan yang memperlihatkan sedang berlangsungnya komunikasi antara O1 dan O2. Pada tuturan diatas O2 menekankan unsur lingual yang terdapat sisipan kalimat BM “Kama? Ondeh” bahwa menekankan kata penyesalan. Tuturan di atas memperlihatkan komunikasi yang sedang berlangsung ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa ngoko. Latar belakang campur kode pada data tersebut yaitu untuk menegaskan maksud tuturan.

Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan topik penelitian ini sebagai berikut.

Penggunaan Bahasa Jawa Etnis Cina di Pasar Gede Surakarta dalam Ranah Jual Beli (Suatu Kajian Sosiologi) Oleh Ayu Margawati Pamungkas (2009 Hasil dalam penelitian yang telah dilaksanakan ini, yaitu terdapat bentuk alih kode, campur kode,

commit to user

(6)

6

dan interferensi dalam penggunaan bahasa Jawa etnis Cina di Pasar Gede Surakarta.

Kedua, terjadinya alih kode, campur kode, dan interferensi dan fungsi tertentu dalam penggunaan bahasa Jawa etnis Cina di Pasar Gede Surakarta (2009:7).

Alih kode dan Campur kode dalam Komunikasi Penjual dengan Pembeli dan Pembeli dengan Pembeli di Warung HIK Kecamatan Jebres Kota Surakarta (Kajian Sosiolinguistik) Oles Nastiti Puji Rahayu. Hasil analisis penelitian ini, yaitu (1) bentuk AK meliputi: (a) AK dari BJ ke dalam BI, (b) AK dari BI ke dalam BJ, (c) AK dari BJRNg ke dalam BJRK, (d) AK dari BJRK ke dalam BJRNg, (e) AK dari BJRNg ke dalam BJRNgA, dan (f) AK dari BJRNgA ke dalam BJRNg. Bentuk CK meliputi: (a) CK berwujud kata, (b) CK berwujud perulangan kata, (c) CK berwujud frasa, dan (d) CK berwujud ungkapan;

(2) fungsi AK meliputi: (a) lebih argumentatif meyakinkan mitra tutur, (b) lebih prestise, (c) lebih komunikatif, (d) memberikan penghormatan, (e) mempertegas pembicaraan, dan (f) pernyataan untuk diri sendiri (ngudarasa). Fungsi CK meliputi: (a) bahasa yang digunakan lebih bervariasi, (b) lebih mudah dipahami, (c) memberi penekanan maksud, (d) menunjukkan identitas diri, dan (e) lebih singkat untuk digunakan; (3) faktor yang melatarbelakangi penggunaan AK dan CK secara umum meliputi : (a) faktor sosial, (b) faktor situasional, (c) faktor lingual, dan (d) faktor praktikal (2015:4-10).

Pemakaian Bahasa Jawa oleh Masyarakat Petani di Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora Oleh Suwarsi (2008). Hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini, yaitu bentuk Tingkat Tutur (Tingkat Tutur Krama, Tingkat Tutur Madya, Tingkat Tutur interferensi) pemakaian bahasa Jawa masyarakat petani di Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora. Campur kode yang ditemukan di dalam penelitian ini, yaitu campur kode kata dan campur kode perulangan kata. Interferensi yang ditemukan di dalam penelitian ini, yaitu interferensi fonologi, interferensi leksikal, dan interferensi morfologi. Bentuk ragam bahasa antara lain ragam suasana (ragam informal) dan ragam komunikasi (ragam ringkas) (2008: 8).

Pemakaian Bahasa Jawa dalam Adegan Gara-gara Wayang Orang Sriwedari di Kota Surakarta Oleh Wyakta Purwardi Widitaatmaja (2011). Hasil analisis penelitian ini, yaitu wujud alih kode ditemukannya dua variasi (alih kode dari Bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan alih kode dari Bahasa Jawa Ngoko ke dalam Bahasa Jawa Krama. Wujud campur kode yang ditemukannya tiga variasi (campur kode kata,

commit to user

(7)

7

campur kode perulangan kata, dan campur kode ungkapan atau idiom). Faktor yang melatarbelakangi, ditemukan delapan komponen tutur, yaitu (1) Setting and scene, (2) Participants, (3) Ends, (4) Act sequences, (5) Key, (6) Instrumentalities, (7) Norm, dan (8) Genre (2011:8).

Alih Kode dan Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Jawa Tukang Ojek di Terminal Bus Simo Boyilali (Suatu Tinjauan Sosiolingusitik) Oleh Erry Prastya Jati (2015). Hasi penelitian disimpulkan dalam beberapa hal yaitu, (1) bentuk alih kode yang ditemukan alih kode tingkat tutur madya ke ngoko, alih kode dari tingkat tutur madya ke krama, dan juga terdapat alih kode dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia mengenai bentuk campur kode dalam penggunaan bahasa Jawa tukang ojek di Terminal Bus Simo Boyolali hanya menemukan campur kde frasa, kata, dan klausa, (2) fungsi alih kode dalam tukang ojek di Terminal Bus Simo Boyolali adalah mempertegas maksud serta mempermudah tuturan yang diucapkan oleh penutur selain itu juga untk menunjukan rasa emosi, (3) penggunaan bahasa Jawa tukang ojek di Terminal Bus Simo Boyolali dilatarbelakangi oleh beberapa faktor (2015:6).

Pemakaian Bahasa Jawa Oleh Santri Pondok Pesantren Darusy Syahadah Kabupaten Boyolali Suatu Kajian Sosiolingustik Skripsi Wiratno (2011). Hasil analisis yang ditemukan dalam penelitian ini, (1) bentuk pemakaian bahasa Jawa berupa alih kode (external) dari bahasa Jawa ke bahasa Arab d an sebaliknya, alih kode (internal) berupa bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia dan sebaliknya. (2) campur kode bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa “lima waktu”, campur kode bahasa Inggris dalam bahasa Jawa “global warming”. (3) interferensi dari bahasa Indonesia “dithuthoklah”, interferensi dari bahasa Arab “syariat”, dan interferensi dari bahasa Inggris “modern”

(2011:9).

Variasi Bahasa Jawa Pada Percakapan Warga Durenombo Kecamatan Subah Kabupaten Batang Jawa Tengah (Jurnal Septi Pinta Wahyuniati, 2012). Hasil penelitian ini ada tiga, (1) tingkat tutur warga desa Durenombo diklasifikasikan berdasarkan tingkat tutur ngoko, krama, madya. (2) faktor penentu penggunaan bahasa Jawa yang digunakan oleh warga desa Durenombo. (3) kekhasan leksikon bahasa Jawa (2012:9).

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka, penulis akan meneliti tentang Alih Kode dan Campur Kode dalam Komunikasi Mahasiswa Universitas

commit to user

(8)

8

Sebelas Maret Surakarta Etnik Melayu (Kajian Sosiolinguistik). Penelitian tersebut akan meneliti tentang bentuk campur kode, alih kode, fungsi alih kode dan campur kode, dan faktor-faktor yang melatarbelakangi alih kode dan campur kode dalam komunikasi mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Adapun alasan penulis meneliti tentang penggunaan bahasa Jawa mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta Etnik Melayu adalah (1) penelitian penggunaan bahasa Jawa Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta Etnik Melayu belum pernah dilakukan sebelumnya (2) penguasaan bahasa lebih dari satu (bilingualisme) menyebabkan terjadinya campur kode, alih kode, dalam komunikasi bahasa Jawa Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta Etnik Melayu (3) penggunaan bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari, walaupun mahasiswa etnik Melayu memahami bahasa Jawa tetapi masih menggunakan leksikon Melayu. Mahasiswa Melayu juga menggunakan bahasa Jawa dalam bertuturan sesama etnik Jawa di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

B. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi agar masalah tidak terlalu meluas, dalam penelitian ini dibatasi pada bentuk alih kode, campur kode, fungsi alih kode dan campur kode, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya komunikasi mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu, khususnya bahasa Jawa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk campur kode, alih kode, dalam komunikasi yang digunakan oleh mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu?

2. Bagaimanakah fungsi alih kode dan campur kode dalam komunikasi yang digunakan oleh Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu?

3. Bagaimanakah faktor yang melatarbelakangi alih kode dan campur kode dalam komunikasi yang digunakan oleh Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu?

commit to user

(9)

9

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tentang pemakaian bahasa Jawa mahasiswa Universitas Sebelas Maret etnik Melayu sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk campur kode, alih kode dalam komunikasi yang digunakan oleh Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta Etnik Melayu.

2. Mendeskripsikan fungsi alih kode dan campur kode dalam komunikasi yang digunakan oleh Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta Etnik Melayu.

3. Mendeskripsikan faktor yang melatarbelakangi dalam komunikasi yang digunakan oleh Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta Etnik Melayu.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini dapat diharapkan untuk menambah wawasan dalam penerapan teori linguistik, khususnya dalam bidang sosiolinguistik.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat :

1) Memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada pembaca tentang alih kode dan campur kode dalam komunikasi yang digunakan oleh mahasiswa Universitas Sebelas Maret etnik Melayu.

2) Penelitian ini diharapkan menjadi manfaat bagi penulis atau peneliti selanjutnya.

3) Penelitian ini dapat membantu memberikan informasi alih kode dan campur kode dalam komunikasi mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta dan kebahasaan kepada masyarakat.

commit to user

(10)

10

F. Landasan Teori

1. Pengertian Sosiolinguistik

Fishman berpendapat, Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu , segala sesuatu yang akan dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya, Fishman dalam Putu Wijaya dan Rohmadi (2006:7).

Sosiolinguistik menempatkan kedudukan Bahasa dalam hubungan-hubungannya dengan pemakaiannya di dalam masyarakat. Ini berarti sosilinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagaian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian bahasa (language use) adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi kongkret, Appel dalam Sawito (1976:2).

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian,, sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 2004:2).

Dari beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang kaitannya dengan masyarakat dan pemakain bahasa merupakan interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

2. Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu

commit to user

(11)

11

(Chaer dan Agustina, 2004:47). Peristiwa dalam interaksi verbal terdapat beberapa faktor (unsur) antara lain: penutur (speaker), lawan bicara (hearer, receiver), pokok pembicaraan (topic), tempat bicara (setting), suasana bicara (situation scene). Menurut Dell Hymes (1986) adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya peristiwa tutur dengan singkatan SPEAKING, yang masing-masing bunyi merupakan fonem awal, (dalam Suwito, 1993:32) ialah:

S : Setting, tempat bicara dan suasana bicara (misal ruang diskusi).

P : Partisipan, pembicara, lawan bicara, dan pendengar. Dalam diskusi adalah peserta diskusi.

E : End atau tujuan , tujuan akhir diskusi.

A : Act, suatu peristiwa dimana seorang pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicaranya.

K : Key, nada suara dan ragam bahasa yang dipergunakan dalam menyampaikan pendapatnya.

I : Instrumen, alat untuk menyampaikan pendapat. Misalnya secara lisan, tertulis, lewat telepon, dan sebagainya.

N : Norma, aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta diskusi.

G : Genre, jenis kegiatan diskusi yang mempunyai sifat-sifat lain dari kegiatan yang lain.

Dari beberapa pendapat di atas bahwa peristiwa tutur merupakan keseluruhan peristiwa pembicaraan dengan segala faktor serta peranan faktor-faktor itu di dalam peristiwa dan adanya komponen tutur yang dilatarbelakangi oleh SPEAKING.

Maka dari itu, penulis menggunakan SPEAKING sebagai acuan dalam penelitian ini.

3. Masyarakat Tutur

Masyarakat tutur adalah suatu kelompok orang atau masyarakat yang mempunyai verbal repertoire relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam suatu masyarakat. Dilihat dari sempit dan luasnya verbal repertoire, dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur, yaitu (1) masyarakat tutur yang repetoir pemakaiannya lebih luas, dan menunjukan verbal repertoire setiap penutur lebih luas pula, dan (2)

commit to user

(12)

12

masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukan wilayah linguistic yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya (Chaer dan Agustina, 2004:36).

Fishman berpendapat, bahwa masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang sang luas dan dapat pula menyangkut sekelompok kecil orang (dalam Chaer dan Agustina, 2004:36).

Dari beberapa pendapat di atas masyarakat tutur dapat digunakan untuk menyebut luas atau sempit yang mempergunakan bentuk bahasa relatif sama dan mempunyai nilai yang sama dalam pemakaian bahasanya.

4. Diglosia

Diglosia adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menyebut suatu masyarakat yang mengenal dua bahasa atau lebih untuk berkomunikasi antar anggotanya (Fishman dalam Suwito, 1983:45). Selain itu, menurut Ferguson (1971), diglosia adalah situasi pemakaian bahasa yang stabil karena setiap bahasa diberi keleluasaan untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya secara proposional. Ferguson juga menjelaskan bahwa diglosia dari delapan segi, yaitu (1) fungsi, (2) prestise, (3) warisan tradisi tulis-menulis, (4) pemerolehan, (5) pembakuan, (6) tatabahasa, (7) leksikon, dan (8) fonologi (dalam Sumarsono, 2002:191).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa diaglosa ialah keadaan dua bahasa yang dipergunakan dalam masyarakat yang sama, tetapi mempunyai fungsi dan perannya masing-masing.

5. Bilingualisme

Bilingualisme adalah kebiasaan yang menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa yang sering disebut sebagai bilingualitas. Jadi, orang yang “berdwibahasa”

mencakup pengertian kebiasaan yang memakai dua bahasa, dapat dibedakan

“kedwibahasaan” (untuk kebiasaan) dan “kedwibahasawanan” (untuk kemampuan) dengan istilah bilingalisme dan bilingualistas (Nababan, 1993:27).

commit to user

(13)

13

Secara umum, bilingualism diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Mackey (1968) berpendapat bahwa kedwibahasaan (bilingualisme) bukanlah gejala bahasa sebagai sistem, melainkan gejala penutur; bukan ciri kode, melainkan pengungkapan; bukan bersifat sosial melainkan individual dan merupakan bahasa.

Selain itu Bloomfield (1957) juga berpendapat bahwa kedwibahasaan adalah gejala penguasaan bahasa kedua dengan derajat kemampuan yang sama seperti penutur aslinya, berarti seorang dwibahasawan (bilingual) adalah orang yang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya, tetapi Batasan tersebut tidak bis a digunakan lagi karena sangat sulit untuk menemukan orang yang benar-benar menguasai bahasa kedua sebagaimana orang tersebut menguasai bahasa ibunya (dalam Saddhono, 2014:60).

Dari beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa peristiwa pemakaian dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dan mitra tutur.

6. Ragam Bahasa

Ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Sedangkan, variasi timbul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan konteks sosialnya (Suwito, 1983:148).

Terdapat dua pandangan dalam hal variasi atau ragam bahasa. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa. Variasi atau ragam bahasa terjadi akibat adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Dari dua pandangan tersebut variasi atau ragam bahasa dapat diklasifikasi berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial. Variasi bahasa berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang disebut idiolek, yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Variasi idiolek berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Variasi bahasa yang lain adalah dialek,

commit to user

(14)

14

yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relative, yang berada disuatu tempat, wilayah, atau area tertentu (Saddhono, 2014:32).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulakan ragam bahasa atau variasi bahasa adalah pemakaian bahasa yang dipahami oleh semua penutur dan digunakan sesuai situasi saat berkomunikasi.

7. Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Penggunaan bahasa Jawa saat bertuturan sangat dipengaruhi oleh kesopanan, kerakraban, dan usia. Selain itu, perbedaan tuturan yang mempunyai maksud sama saat menunjukan adanya perbedaan tingkat tutur dalam bahasa Jawa yaitu tingkat tutur krama yang memiliki rasa kesopnan yang sangat tinggi atau disebut juga tingkat tutur halus, tingkat tutur madya atau tingkat tutur menengah mempunyai rasa kesopanan yang sedang, serta tingkat tutur ngoko atau disebut juga tingkat tutur biasa yang mempunyai rasa kesopanan yang rendah (Poedjasoedarma, 1979: 8).

Dalam pengamatan Cliffor (1976) membagi tingkat tutur menjadi dua bagian pokok, yaitu krama dan ngoko. Lalu, krama diperinci lagi menjadi krama inggil, krama biasa, dan krama madya, sedangkan ngoko menjadi ngoko madya, ngoko biasa, ngoko sae (yang pemakaiannya agak khusus), (dalam Chaer dan Agustina, 2004:40).

Sasangka (2004:14) menjelaskan bahwa dalam tingkat tutur bahasa Jawa (unggah- ungguhing basa) terdiri atas tingkat tutur BJ ngoko, tingkat tutur BJ madya, tingkat tutur BJ krama. Namun, pada buku lain Sasangka berpendapat bahwa bentuk ungah- ungguh bahasa Jawa hanya terdiri atas BJ ngoko, dan BJ krama. Kedua ragam bahasa tersebut memilki beberapa variasi, yaitu ngoko lugu, ngoko alus, serta krama lugu, dan krama alus. Selain itu, bentuk madya atau yang lazim disebut krama madya termasuk kedalam ragam bahasa Jawa krama lugu (Sasangka 2004:xvii).

1. Tingkat Tutur Ragam Ngoko

Tingkat tutur ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang memiliki leksikon ngoko. Afiks yang terdapat dalam ragam ini berbentuk ngoko (misal, afiks di, -e, dan -ake). Ragam ngoko digunakan oleh mereka yang sudah akrab atau mereka yang menganggap dirinya seumuran, dan mereka yang menganggap dirinya lebih tinggi dalam status sosial dari pada mitra tuturnya.

commit to user

(15)

15

Ragam ngoko juga memilki dua varian, yaitu ragam ngoko lugu, dan ragam ngoko alus (Sasangka, 2004:95).

a. Ngoko Lugu

Ngoko lugu adalah sebuah unggah-ungguh bahasa Jawa yang memiliki kosakata berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral), tanpa terdapat leksikal krama, krama inggil, dan krama andhap dalam kalimat ngoko. Adapun kosakata ngoko misalnya kata aku, kowe, dan ater-ater:

dak, di-, ko-, juga panambang -ku,-mu,-e,-ake, tidak berubah. Ngoko lugu dipakai oleh orang tua kepada anaknya, percakapan yang dilakukan oleh orang-orang sederajat yang tidak memperhatikan usia, percakapan atasan kepada bawahannya (Setiyanto, 2007:29).

b. Ngoko Alus

Ngoko alus adalah sebuah unggah-ungguh yang didalamnya tidak hanya leksikal ngoko tetapi juga terdapat leksikal krama inggil dan krama andhap. Leksikon krama inggil dan andhap dipakai untuk menghormati mitra tutur. Krama inggil muncul pada kata kerja, benda, dan pronomina. Sedangkan krama andhap muncul bentuk kata kerja. Ngoko alus digunakan oleh informan yang memiliki hubungan akrab, tetapi diantar mereka juga saling menghormati (Hardyanto dan Utami, 2001:47).

2. Tingkat Tutur Ragam Krama

Tingkat tutur krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang memiliki leksikon krama. Unsur yang terdapat dalam ragam krama adalah tingkat tutur bahasa Jawa ragam krama, terdapat juga afiks dalam ragam krama (misal, afiks dipun-, -pun, dan -aken). Tingkat tutur bahasa Jawa krama yang digunakan oleh mereka yang belum akrab, dan merasa dirinya lebih rendah status sosialdari pada lawan bicaranya. Ragam krama juga memiliki dua varian, yaitu krama lugu, dan krama alus (Sasangka, 2004:104).

a. Krama Lugu

Krama lugu tidak diartikan sebagai ragam yang kosakatanya krama, tetapi krama lugu ditandai sebagai ragam yang kosakatanya terdiri atas krama,

commit to user

(16)

16

madya, netral, dan dapat ditambahi dengan kosakata krama inggil atau krama andhap. Leksikon yang terdapat dalam krama lugu berupa ngoko, sedangkan leksikon intinya yaitu krama, dan madya. Krama lugu dapat didefinisikan sebagai bentuk ragam krama yang memiliki kadar kehalusnya sangat rendah. (Sasangka, 2004:105).

b. Krama Alus

Krama alus adalah sebuah ragam bahasa Jawa yang dasarnya krama lugu, tetapi menggunakan leksikon krama inggil. Krama alus merupakan krama yang memiliki tingkat kehalusan yang sangat tinggi. Krama alus digunakan oleh informan yang hubungannya kurang akrab dan memiliki usaha untuk saling menghormati (Hardyanto dan Utami, 2001:51).

Teori tingkat tutur yang baru telah di ungkapkan oleh beberapa ahli salah satunya ialah Sudaryanto (1989:103). Menurutmya, pembagian tingkat tutur bahasa Jawa secara sesungguhnya hanyalah empat macam yaitu ngoko, ngoko alus, krama, dan krama alus. Pembagian ke empat tingkat tutur dengan penyebutan itu menyarankan agar adanya konsep unsur lingual halus yang harus hadir dalam bentuk ngoko dan krama. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat tutur bahasa Jawa secara tradisonal tidak sesuai digunakan pada era sekarang ini, sehingga saat ini menggunakan teori tingkat tutur yang baru. Teori tingkat tutur bahasa Jawa baru tersebut memiliki empat macam bentuk yaitu ngoko, ngoko alus, krama, krama alus.

8. Kontak Bahasa

Kontak bahasa sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada yang lain baik langsung maupun tidak langsung sehingga menimbulkan perubahan bahasa yang dimiliki ekabahasawan (Mackey dalam Suwito, 1997:47). Sedangkan Weinreich (1968) berpendapat bahwa kontak bahasa terjadi dalam penutur secara individual.

Individu terjadinya kontak bahasa disebt dwibahasawan, selain itu pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian disebut kedwibahasawan (dalam Suwito, 1997:39).

1. Kode

Kode merupakan bagian dari bahasa, istilah kode untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarkhi kebahasaan seperti halnya ragam, carian resional, varian klas sosial, varian kegunaan, gaya, dan sebagainya (Suwito, 1983:67).

commit to user

(17)

17

Selain itu menurut Soepomo Poedjosoedarmo, kode adalah salah satu sistem tutur yang penerapan dan unsur kebahasaannya memiliki ciri khas dengan latar

belakang penutur, relasi penutur dengan lawan tuturnya dalam situasi yang sedang terjadi (1986:30).

Dari beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan unsur kebahasaan berupa variasi bahasa atau ragam bahasa, gaya, dialek sehingga kode berbeda dengan satuan lingual.

2. Alih Kode

Appel (1976:79) berpendapat alih kode sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Alih kode dapat dikatakan mempunyai fungsi sosial, (Appel dalam Chaer dan Agustina, 2004:106).

Berbeda dengan Appel, menurut Hymes alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa , tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat di dalam satu bahasa (Hymes dalam Chaer dan Agustina, 2004:106).

Dari dua pendapat di atas bahwa pengalihan kode itu dilakukan dengan sadar dan bersebab.

(Data 3)

Afif MEM : “Kamu ingin membeli dawet selasih tidak?”

Daniel MEJ : “Beli dimana?”

Afif MEM : “Ning Pasar Gede kuwi lho.”

‘Di Pasar Gede itu lho.’

Daneil MEJ : “Ya uwis, tak jipuk dhuwit sek ya?”

‘Ya sudah, saya mengambil uang dulu ya?’

Afif MEM : “Ya tak enteni.”

“Ya saya tunggu.”

Data (3) merupakan peristiwa tutur alih kode yang terjadi di UNS. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung pada siang hari tepatnya pukul 11.00 WIB, komunikasi dilakukan oleh O1 mahasiswa etnik Melayu kepada O2 mahasiswa etnik Jawa. Keduanya merupakan teman dekat atau saling mengenal satu sama lain, situasi komunikasi tersebut sangat santai. Topik tuturan di atas ialah dawet selasih yang berada di Pasar Gede Solo.

Tuturan tersebut terdapat alih kode yang merupakan kesatuan lingual (kebahasaan) yaitu sebuah kalimat. Alih kode di atas terjadi dari bahasa Indonesia

commit to user

(18)

18

ke bahasa Jawa ngoko, yang dilakukan oleh mahasiswa etnik Melayu dan mahasiswa etnik Jawa. Pada data di atas awalnya O1 menggunakan kalimat bahasa Indonesia dalam menanyakan pertanyaan kepada O2 , yaitu “Kamu ingin membeli dawet selasih tidak?”, kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa yaitu “Ning Pasar Gede kuwi lho.” ‘Di Pasar Gede itu lho.’ kalimat berikutnya “Ya tak enteni.” ‘Ya saya tunggu’. Alih kode di atas merupakan alih kode intern.

Fungsi alih kode tersebut menanyakan pertanyaan kepada O2, bahwa ingin membeli dawet selasih di Pasar Gede. Bentuk alih kode ke kode lain menggunakan BI ke BJ masih mempertahankan fungsinya.

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode yaitu berlangsungnya komunikasi yang dilakukan oleh O1 dan O2. O1 mahasiswa etnik Melayu dengan sadar melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Tututran di atas menunjukan bahwa O1 dan O2 bebicara bergantian sampai selesai, dan di dalam percakapan tersebut penutur dapat menginterprestasikan jawaban terlihat dalam ungkapan mitratutur. Latar belakang alih kode tersebut penutur berusaha merubah situasi menjadi lebih santai.

a. Bentuk Alih Kode

Alih kode berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya atau alig register. Alih kode memiliki ciri yaitu penggunaan dua bahasa (atau lebih) ditandai dengan (a) masing- masing bahasa masih mendukung fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) masing-masing fungsi bahasa disesuaikan dengan relevan perubahan konteks (Suwito, 1983:68-69). Alih kode saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi relevansial di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

Dapat disimpulkan bahwa bentuk alih kode merupakan alih varian, alih ragam, alih gaya atau alih register. Alih kode dapat dilihat dari alih bahasa dan alih ragam dalam konteks berbeda, alih kode ditandai dengan satu bahasa yang dialihkan ke bahasa lain dalam situasi berbeda.

b. Fungsi Alih Kode

Alih kode masing-masing bahasa mendukung fungsi tersendiri secara langsung dan terjadinya peralihan kode yang apabila penutur merasa bahwa situasi relevan dengan peralihan kodenya. Demikian alih kode menunjukan suatu gejala yang saling

commit to user

(19)

19

ketergantungan antar fungsi kontekstual dan relevansial dalam pemakaian suatu bahasa atau lebih (Suwito, 1983:69).

c. Faktor yang melatarbelakangi Alih Kode

Alih kode merupakan peristiwa bahasa yang disebabkan oleh faktor di luar bahasa, terutama faktor-faktor yang melatarbelakangi campur kode sifatnya sosio-situasional.

Berikut beberapa faktor tersebut.

1) Penutur (O1)

Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode pada lawan tuturnya karena maksud tertentu. Biasanya usaha tersebut dilakukan untuk mengubah situasi, misal situasi tidak resmi menjadi resmi atau sebaliknya.

2) Lawan Tutur (O2)

Setiap penutur ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tuturnya. Di dalam masyarakat multilingual bahwa seornag pnutur mungkin saja harus beralih kode sebanyak lawan tutur yang dihadapinya.

3) Hadirnya Penutur Ketiga (O3)

Dua orang berasal dari etnik yang sama saling berinteraksi menggunakan bahasa kelompok etniknya. Tetapi apabila kemudian hadir orang ketiga dalam komunikasi dan orang tersebut berbeda latar kebahasaannya, biasanya dua orang pertama beralih kode ke bahasa yang dikuasi oleh ketiganya.

4) Pokok Pembahasan (Topik)

Pokok pembicaraan merupakan faktor yang termasuk dominan dalam menentukan alih kode. Pokok pembicaraan dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu pokok pembicaraan yang bersifat formal (baku), dan pokok pembicaraan yang bersifat informal (santai). Ketika seorang penutur mula-mula berbicara tentang hal yang bersifat formal kemudian beralih ke hal-hal informal, maka akan terjadi peralihan kode dari bahasa formal (baku) ke bahasa informal (santai).

5) Untuk membangkitkan rasa humor

Alih kode sering dimanfaatkan oleh pemimpin rapat, guru, atau pelawak untuk membangkitkan rasa humor.

6) Untuk sekedar bergengsi

commit to user

(20)

20

Beberapa penutur beralih kode hanya sekedar untuk bergensi. Hal tersebut terjadi apabila faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor sosio-situasional yang lain tidak mengharuskan untuk beralih kode. Dengan kata lain, baik fungsi kontekstual maupun situasi relevansi tidak mendukung peralihan kodenya (Suwito, 1983: 72-74).

Menurut Fishman (1976:15) dalam menelusuri penyebab terjadinya alih kode, yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Secara umum, peenyebab alih kode, (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar dan lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan formal ke informasi atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan, dalam Chaer dan Agustina (2004:108). Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya. Alih kode untuk memperoleh “keuntungan” biasanya dilakukan penutur yang di dalam peristiwa tutur mengharapkan bantuan lawan tutur, lawan bicara atau lawan tutur menyebabkan terjadinya alih kode, sama halnya dengan kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatarbelakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode , orang ketiga dalam alih kode juga menentukan bahasa atau variasi yang harus digunakan.

Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode, berubahnya topik pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode (Chaer dan Agustina, 2004:108-109).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode satu ke kode lainnya yang dapat dilihat dalam kalimat yang dituturkan. Faktor sosio-situasional, yaitu penutur (O1), lawan tutur (O2), hadirnya penutur ketiga (O3), topik yang dibicarakan, untuk membangkitkan rasa humor, dan untuk sekedar bergengsi.

3. Campur Kode

Campur kode adalah interferensi, dan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.

Sedangkan Poedjosoedarmo (1996) berpendapat bahwa campur kode istilah

commit to user

(21)

21

pinjam leksikon, yaitu pemakaian kata-kata dari lain kode. Pinjam leksikon menjelaskan bahwa campur kode merupakan pecampuran dengan meminjam kosa kata atau leksikon dari bahasa lain. Dengan demikian pinjam leksikon disejajarkan dengan campur kode (dalam Saddhono, 2011:74).

Campur kode merupakan aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language dependency) yang terdapat di dalam masyarakat multilingual terjadi gejala campur kode. Dalam campur kode ciri tergantungannya ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksunya siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Ciri lain dari campur kode ialah bahwa unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersedniri. Unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Unsur campur kode dibedakan menjadi dua, yaitu campur kode ke dalam (inner code-mixing) adalah campur kode yang bersumber dari bahasa asli dan campur kode ke luar (outer code-mixing) adalah campur kode yang berasal dari bahasa asing. Latar belakang terjadinya campur kode dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe yang berlatar belakang sikap (attitudinal type) dan tipe yang latar belakang kebahasaan (language type).

Campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa (Suwito, 1983:75-78).

Menurut Thelander (1976:103) perbedaan campur kode dan alih kode dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Sedangkan dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran dan masing-masing klausa dan frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, dalam Chaer dan Agustina (2004:115). Kesamaan antara campur kode dan alih kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur (Chaer dan Agustina, 2004:114).

commit to user

(22)

22 (Data 4)

Afif MEM : “Dina iki, kowe melu rapat KKN ora?”

‘Hari ini, kamu ikut rapat KKN tidak?’

Jundi MEJ : “Ora kayae, aku kudu garap proposal skripsi.”

‘Tidak kayanya, saya harus mengerjakan proposal skripsi.’

Afif MEM : “Ondeh, yo sudah. Sumangaik yo.”

‘Waduh, ya sudah. Semangat ya.’

Data (4) merupakan peristiwa tutur yang terjadi di UNS. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung pada sore hari tepatnya pukul 16.00 WIB. Komunikasi tersebut dilakukan oleh O1 mahasiswa etnik Melayu (MEM) dengan O2 mahasiswa etnik Jawa (MEJ), situasi komunikasi yang terjadi santai. Topik tuturan di atas membicarakan tentang rapat KKN.

Tuturan di atas terdapat peristiwa tutur campur kode merupakan penggunaan frasa dari bahasa lain yang di lakukan oleh mahasiswa etnik Melayu.

Tuturan tersebut tedapat pada kalimat berbahasa Jawa ngoko yaitu “Dina iki, kowe melu rapat KKN ora?” yang merupakan unsur data, memiliki frasa dari bahasa Indonesia yaitu rapat KKN. Sedangkan tuturan lainnya terdapat campur kode bahasa Melayu pada kalimat “Ondeh, yo sudah. Sumangaik yo.” ‘Waduh, ya sudah. Semangat ya.’. Campur kode tersebut merupakan campur kode intern.

Fungsi penggunaan campur kode di atas yaitu unsur lingual yang di sisipkan tidak mempunyai fungsi sehingga fungsinya tidak dapat dipertahankan.

Komunikasi tersebut dipahami oleh O1 dan O2, terlihat pada O1 memahami maksud jawaban dari O2 sehingga komunikasi berjalan dengan lancar.

Faktor-faktor yang melatarbelakangi campur kode yaitu terjadinya komunikasi yang berlangsung dilakukan oleh O1 kepada O2. O1 menanyakan kepastian kepada O2 tentang menghadiri rapat KKN atau tidak. Tuturan di atas memperlihatkan komunikasi yang sedang berlangsung ditandai dengan adanya frasa bahasa Indonesia karena ingin menjelaskan kepada temannya tentang kegiatan. Latar belakang campur kode data (4) ini mudah memahami maksud serta mudah menegaskan maksud.

commit to user

(23)

23 a. Bentuk Campur Kode

Suwito berpendapat bahwa unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalam campur kode dapat dibedakan menjadi:

1) Penyisipan unsur berwujud kata 2) Penyisipan yang berwujud frasa.

3) Penyisipan unsur yang berwujud baster (gabungan pembentukan kata asli).

4) Penyisipan unsur berwujud perulangan kata.

5) Penyisipan unsur berwujud uangkapan atau idiom.

6) Penyisipan unsur-unsur berwujud klausa (1983:78-80).

Dari pendapat tersebut bentuk campur kode yang digunakan dalam penelitian ini ialah campur kode penggunaan unsur bahasa yang berwujud kata, perulangan kata, dan idiom.

b. Fungsi Campur Kode

Dwi Sutana dalam Hario W (2011, 18-19) membagi campur kode kedalam beberapa fungsi, yaitu:

1) Penghormatan,

2) Menegaskan suatu maksud tertentu, 3) Menunjukan identitas diri,

4) Pengaruh dalam materi pembicaraan, 5) Faktor yang melatarbelakangi campur kode.

Selain itu, menurut I Nengah bahwa tujuan penutur melakukan campur kode pada kegiatan keagamaan untuk (1) bergengsi, (2) bertindak sopan, (3) melucu, dan (4) menjelaskan. Kemudian berlanjut dijelaskannya faktor eksternal yang ditentukan oleh ketepatan rasa (makna) dan kurangnya kosakata (2008:136).

Dari pendapat di atas, fungsi campur kode yang digunakan dalam penelitian ini ialah, (1) menggunakan bahasa yang lebih bervariasi, (2) lebih mudah dipahami, (3) dapat memberikan penekanan pada maksud, (4) menunjukan indentitas diri.

c. Faktor yang melatarbelakangi Campur Kode

commit to user

(24)

24

Campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara penutur dan mitra tutur, bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang memiliki latar belakang sosial tertentu cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsinya. Pemilihan bentuk campur kode untuk menunjukan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat (Suwoto, 1983:78).

Selanjutnya dijelaskan mengenai latar belakang terjadinya campur kode, campur kode dibagi menjadi dua tipe yaitu, tipe pertama pada sikap (attitudinal type) dan tipe kedua yang memiliki latar belakang kebahasaan (linguistic type).

Kedua tipe tersebut saling bergnatungan dan tidak tumpang tindih. Atas dasar tersebut penyebab terjadinya campur kode dapat diidentifikasikan mejadi beberapa alasan yaitu sebagai berikut.

1) Identifikasi peranan (sosial, registrasi edukasional).

2) Identifikasi ragam (yang ditemukan oleh bahasa penutur melakukan campur kode yang menempatkan pada status sosialnya).

3) Keinginan untuk menjelaskan (campur kode menandai sikap dan hubungan terhadap orang lain atau sebaliknya) (Suwito, 1983:77).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan peralihan pemakaian bahasa atau ragam bahasa ke bahasa lain dalam suatu tulisan maupun percakapan yang dapat dianalisis pada kata sisipan dalam sebuah tuturan, bentuk, bukti campur kode dalam tuturan terebut. Unsur lingual yang disisipkan dalam campur kode tidak dapat mempertahankan fungsinya.

G. Data dan Sumber Data

Data merupakan informasi atau bahan yang disediakan oleh alam (dalam arti luas) yang harus dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti (Subroto, 2007:38). Maka dari itu, data yang diambil dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa atau peristiwa bahasa yang berlangsung pada tuturan sehari-hari secara lisan. Misalkan, percakapan antara O1 dan O2 atau percakapan dalam suatu kegiatan. Sumber data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini diperoleh dari

commit to user

(25)

25

tuturan bahasa Jawa yang digunakan oleh mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu, dalam situasi nonformal yang memiliki ragam bahasa.

1. Informan

Informan adalah pemberi informasi yang digunakan dalam memperoleh data untuk dianalisis. Informan yang membatu peneliti untuk memperoleh data adalah berstatus mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu yang melakukan tuturan dengan mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Jawa.

H. Metode dan Teknik Penelitian

Metode penelitian merupakan cara, alat prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan sempel data, teknik pengumpulan data dan analisis data. Sedangkan teknik adalah sebagai langkah dan kegiatan yang dilakukan terdapat dalam kerangka strategi kerja tertentu (Subroto, 2007:36).

1. Jenis Penelitian dan Taraf Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian dasar. Penelitian dasar (Basic Research) adalah penelitian yang hanya bertujuan untuk pemahaman mengenai suatu masalah (Sutopo, 2002-109). Penelitian dasar banyak dilakukan secara individual, terutama di lingkungan akademis, penelitian ini juga harus dikuasai oleh penulis (Sutopo, 2006:136). Taraf penelitian termasuk dalam deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang studi kasusnya mengarah pada deskripsi secara rinci, mendalam, dan benar-benar kondisi yang sebenarnya terjadi manurut apa adanya di lapangan. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang penentuan sampelnya dengan cara cuplikan (nukilan) yang dapat disebut juga purposive sampling yaitu sampel ditentukan secara selektif. Sumber datanya juga diarahkan kepada sumber data yang menghasilkan data secara banyak (produktif) yang relevan dengan rumusan masala, tujuan penelitian, dan teori penelitian (Sutopo, 2002-110).Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, karena data yang bersifat deskriptif itu mudah melakukan analisis data

commit to user

(26)

26

untuk membuat kesimpulan. Penelitian kualitatif lebih mengutamakan proses dari pada hasil (Subroto, 2007:4).

Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan alih kode dan campur kode dalam komunikasi mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu yang berupa satuan lingual dan tidak menggunakan statistik.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat objek penelitian. Lokasi penelitian ini berada di Universitas Sebelas Maret Surakarta merupakan tempat mahasiswa etnik Melayu yang berada di Surakarta. Pemilihan lokasi yang tepat sangat mendukung dalam proses pencarian data.

Gambar 1. Peta Universitas Sebelas Maret

I. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak (pengamatan atau observasi). Metode simak merupakan metode yang dilakukan dengan penyimakan, yang disejajarkan dengan metode observasi (Sudaryanto, 1993:133). Teknik dasar yang digunakan, yaitu (1) Teknik Simak Libat Cakap (TSLC), pada saat pengambilan

commit to user

(27)

27

data peneliti terlibat langsung dengan mitra tutur. (2) Teknik Bebas Libat Cakap (TBLC), teknik yang digunakan untuk pengambil data dengan berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa, peneliti tidak terlibat langsung atau sebagai pendengar.

(3) Teknik Rekam (TR), dilakukan dengan cara merekam data tanpa sepengetahuan penutur untuk memperoleh data kebahasaan. Menurt Subroto (2007:40). Teknik rekam adalah pemeroleh data dengan cara merekam pemakaian bahasa lisan yang bersifat spontan. Alat rekam yang dipakai (tipe recorder). (4) Teknik Simak dan Catat (TSC), untuk menyimak dan mencatat hal-hal penting untuk memperkuat data. Subroto (2007:47) berpendapat bahwa melakukan penyimakan terhadap mitra tutur dalam pemakaian bahasa lisan secara spontan dan mengadakan pencatatan terhadap data yang relevan.

J. Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam analisis data penelitian ini tedapat dua metode, antara lain:

(1) Metode Distibusional

Metode distribusional adalah metode analisis data yang alat penentunya dari unsur bahasa yang bersangkutan. Metode distribusional digunakan untuk menganalisi bentuk antonimi, tipe antonimi, dan kelas kata antonimi dalam bahasa Jawa (Sudaryanto, 1993:15). Teknik dasarnya adalah teknik bagi unsur langsung (BUL) digunakan untuk membagi satuan data menjadi beberapa unsur dalam campur kode (Sudaryanto, 1993:31).

Metode distribusional hanya untuk mengkaji campur kode yang sistem bahasanya berdasarkan perilaku atau ciri-ciri khas kebahasaan memiliki satuan lingual tertentu. Metode disribusional dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis bentuk penggunaan bahasa Jawa mahasiswa Universitas Sebelas Maret etnik Melayu.

(2) Metode Padan

Metode padan adalah metode analisis yang alat penentunya diluar, terlepas, dan tidak menjadi bagian suatu bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13).

Sedangkan menurut Djajasudarma (2010:66), alat penentu metode padan adalah

commit to user

(28)

28

unsur luar bahasa, metode padan dapat dibedakan, (1) metode padan referensional dengan alat penentunya kenyataan yang ditunjuk bahasa (memiliki acuan), (2) metode padan fonetik artikuler dengan alat penentu orang bicara, (3) metode padan translasional dengan penentu bahasa atau langue lain, (4) metode padan pragmatis dengan penentu kawan bicara, (5) metode padan ortografi dengan penentu tulisan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Pilah Unsur Tertentu (PUP), teknik tersebut digunakan untuk memilah atau memilih data yang berkaitkan dengan unsur-unsur sosiolinguisitik dalam peristiwa tutur yang disingkat dengan SPEAKING.

Dari tuturan diatas dapat disimpulkan bahwa metode pandan adalah alat penentu bersifat luar bahasa atau yang tidak berhubungan dengan bahasa. Metode padan digunakan untuk menganalisis fakotr-fakor yang melatarbelakangi alih kode dan campur kode dalam komunikasi mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta Etnik Melayu.

K. Metode dan Teknik Penyajian Data

Penyajian hasil analisis data yang digunakan bersifat informal dan bersifat formal.

Motode penyajian penelitian ini menggunakan metode penyajian informal, yaitu perumusan dengan kata-kata berbentuk uraian kalimat biasa. Teknik informal tersebut mendeskrisikan ragam bahasa dan bentuknya. Sedangkan teknik penyajian data yang formal bisa disebut juga sebagai teknik dasar, yaitu penyajian beberapa kaidah tunggal (simple rules) secara berjalin sehingga menjadi satu gabungan kaidah (Sudaryanto, 1993:145).

commit to user

(29)

29

L. Sistematika Penyajian Data

Sistematika penulisan dalam penelitian ini sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, data dan sumber data, medote dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, metode dan teknik penyajian data, dan sistematika penyajian data.

Bab II Pembahasan, berisi tentang bentuk alih kode, campur kode, dan fungsi alih kode dan campur kode, dan faktor yang melatarbelakangi alih kode dan campur kode dalam komunikasi Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta etnik Melayu.

Bab III Penutup, berisi tentang simpulan dan saran.

Bagian akhir berisi jadwal penelitian, daftar pustaka, dan lampiran.

commit to user

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Menulis syair tembang macapat paling sderhana (pocung) Tugas individu Tes tertulis Tes lisan perbuatan • Pilihan ganda • Isian • Uraian Kurikulum Bahasa Jawa SMA/SMK 2011

Hasil simulasi yang didapat yaitu mekanisme spectrum sharing rule C menghasilkan alokasi kanal bagi secondary user yang bebas konflik satu sama lain dengan jumlah kanal

Pada percobaan penanaman dengan menggunakan rak terapung pada kedalaman yang berbeda tampak bahwa yang lebih dekat dengan permukaan (30 cm) tumbuh lebih baik dari

Berdasarkan hasil pengambilan data awal yang dilakukan oleh peneliti baik berupa survey, observasi maupun wawancara (09-12/Okt/2017), peneliti berasumsi bahwa faktor Sense

Secara umum blok diagram perangkat keras dari sistem kendali kecepatan motor induksi satu fasa dengan inverter PWM pulsa tunggal berbasis mikrokontroler AT89S51 yang telah

Pendekatan Coordinated Management of Meaning (CMM) yang digunakan dalam penelitian ini membantu untuk menganalisa mengenai fenomena Proses Konstruksi Ilmu Sejati Orangtua

berkualitas, konsep kualitas pembelajaran mengandung lima rujukan, yaitu:. Kesesuaian meliputi indikator sebagai berikut: sepadan dengan karakteristik peserta didik, serasi

berasal dari Jawa Tengah yang dapat memahami informasi tentang batik klasik dengan menjawab “Ya” adalah sebanyak 33 orang (66%), sedangkan dari luar Jawa. Tengah sebanyak