• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Wacana

Banyak ahli bahasa yang telah berpendapat mengenai pengertian wacana.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:1122), wacana diartikan sebagai: 1) ucapan; perkataan; tutur, 2) keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan, 3) satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya.

Hal yang sama diungkapkan oleh Harimurti Kridalaksana (2008:259) mengenai pengertian wacana (discourse) yaitu satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap; teks dalam wacana.

Menurut Abdul Chaer (2003:267) wacana merupakan satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apa pun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya.

(2)

Fatimah Djajasudarma mengungkapkan dalam bukunya Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur (1994:2) bahwa para ahli bahasa umumnya berpendapat sama tentang wacana dalam hal satuan bahasa yang terlengkap (utuh), tetapi dalam hal lain ada perbedaannya. Perbedaannya terletak pada wacana sebagai unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh dengan amanat lengkap dan dengan koherensi serta kohesi tinggi. Sebenarnya, wacana utuh harus dipertimbangkan dari segi isi (informasi) yang koheren, sedangkan kohesif dipertimbangkan dari keruntutan unsur pendukung (bentuk).

David Nunan (1993:5) mengungkapkan tentang wacana yaitu “discourse can be defined as a stretch of language consisting of several sentences which are perceived as being related in some way” ‘wacana bisa didefinisikan sebagai sebuah perluasan dari bahasa yang terdiri dari beberapa kalimat yang mana dilihat sebagaimana dihubungkan dalam suatu cara.’

Menurut Sumarlam (2010:30) wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu.

Henry Guntur Tarigan (1987:27) berpendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis.

(3)

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan wacana adalah suatu kesatuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh baik secara lisan seperti pada pidato, khotbah, dan ceramah maupun secara tertulis seperti pada cerpen, novel, buku, dan sebagainya yang saling terkait atau bersifat kohesif apabila dilihat dari segi bentuknya dan terpadu atau bersifat koheren apabila dilihat dari segi maknanya.

B. Jenis-Jenis Wacana

Menurut dasar pengklasifikasiannya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Pengklasifikasian itu berdasarkan dari bahasa yang dipakai sebagai sarana untuk mengungkapkannya, media yang dipakai untuk mengungkapkan, jenis pemakaian, bentuk, serta cara dan tujuan pemaparannya.

1. Berdasarkan bahasa yang dipakai sebagai sarana untuk mengungkapkannya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Wacana bahasa nasional (Indonesia),

b. Wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dan sebagainya),

c. Wacana bahasa internasional (Inggris),

d. Wacana bahasa lainnya, seperti bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan sebagainya (Sumarlam, 2010:30).

Wacana bahasa Indonesia ialah wacana yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarananya; wacana bahasa Jawa adalah

(4)

wacana yang diungkapkan dengan menggunakan sarana bahasa Jawa; wacana bahasa Inggris merupakan wacana yang dinyatakan dengan menggunakan bahasa Inggris, dan seterusnya. Apabila dilihat dari ragam bahasa yang digunakannya, maka wacana tersebut dapat berupa wacana bahasa Indonesia ragam baku dan wacana bahasa Indonesia ragam tak baku; wacana bahasa Jawa ragam ngoko (ragam bahasa Jawa yang kurang halus, ragam rendah), krama (ragam bahasa Jawa halus, ragam tinggi, dan campuran antara kedua ragam tersebut).

2. Berdasarkan media yang digunakannya maka wacana dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Wacana tulis, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau melalui media tulis,

b. Wacana lisan, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau media lisan.

3. Berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya, wacana dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Wacana monolog (monologue discourse) artinya wacana yang disampaikan oleh seorang diri tanpa melibatkan orang lain untuk ikut berpartisipasi secara langsung. Contohnya yaitu orasi ilmiah, penyampaian visi dan misi, khotbah, dan sebagainya.

b. Wacana dialog (dialogue discourse) artinya wacana atau percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung. Contohnya yaitu diskusi, seminar, musyawarah, dan kampanye dialogis.

(5)

4. Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, yaitu:

a. Wacana prosa ialah wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa (Jawa:

gancaran). Dapat berupa wacana tulis atau lisan. Contoh wacana tulis yaitu cerpen, cerbung, novel, artikel dan undang-undang; sedangkan contoh wacana lisan misalnya pidato, khotbah dan lain sebagainya.

b. Wacana puisi ialah wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi (Jawa:

geguritan). Dapat berupa wacana tulis atau lisan. Contoh jenis wacana puisi lisan yaitu puisi dan syair; sedangkan puitisasi atau puisi yang dideklamasikan dan lagu-lagu merupakan contoh jenis wacana puisi lisan.

c. Wacana drama ialah wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk dialog, baik berupa wacana tulis maupun wacana lisan.

Contohnya yaitu naskah drama atau naskah sandiwara dan pemakaian bahasa dalam peristiwa pementasan drama, yakni percakapan antarpelaku dalam drama tersebut.

5. Berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya, wacana diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu:

a. Wacana narasi atau wacana penceritaan, disebut juga wacana penuturan yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu.

b. Wacana deskripsi yaitu wacana yang bertujuan melukiskan, menggambarkan atau memerikan sesuatu menurut apa adanya.

(6)

c. Wacana eksposisi atau wacana pembeberan yaitu wacana yang tidak mementingkan waktu dan pelaku.

d. Wacana argumentasi yaitu wacana yang berisi ide atau gagasan yang dilengkapi dengan data-data sebagai bukti dan bertujuan meyakinkan pembaca akan kebenaran ide atau gagasannya.

e. Wacana persuasi yaitu wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat, biasanya ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk mempengaruhi secara kuat pada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan tersebut (Sumarlam, 2010:31-36).

Di samping jenis wacana di atas, ada pula ahli yang mengklasifikasikan wacana menurut cara penyusunan, isi dan sifatnya. Misalnya Llamzon dalam Sumarlam (2010:37-38) menyebutkan wacana ada yang bersifat naratif, prosedural, hortatorik, ekspositorik dan deskriptif.

a. Wacana naratif adalah rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan suatu hal atau kejadian melalui penonjolan tokoh atau pelaku (orang pertama atau ketiga) dengan maksud memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca.

b. Wacana prosedural adalah rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan yang tidak boleh dibolak-balik unsur-unsurnya karena urgensi unsur terdahulu menjadi landasan unsur yang berikutnya.

c. Wacana hortatorik adalah tuturan yang isinya bersifat ajakan atau nasihat, kadang-kadang tuturan itu bersifat memperkuat keputusan agar lebih meyakinkan.

(7)

d. Wacana ekspositorik adalah rangkaian tuturan yang bersifat memaparkan suatu pokok pikiran.

e. Wacana deskriptif adalah rangkaian tuturan yang memaparkan atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya.

Fatimah Djajasudarma (1994:12-13) menambahkan tiga jenis wacana yang lain yaitu wacana dramatik, epistolari dan seremonial.

a. Wacana dramatik menyangkut beberapa orang penutur (persona) dan sedikit bagian naratif. Pentas drama merupakan wacana dramatik.

b. Wacana epistolari digunakan di dalam surat-surat, dengan sistem dan bentuk tertentu. Wacana ini dimulai dengan alinea pembuka, isi dan alinea penutup.

c. Wacana seremonial berhubungan dengan upacara adat yang berlaku di masyarakat bahasa. Wacana seremonial dapat berupa nasihat (pidato) pada upacara perkawinan, upacara kematian, upacara syukuran dan lain sebagainya.

Dengan melihat jenis-jenis wacana di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa crita cekak merupakan jenis wacana tulis yang menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Jawa sebagai sarana pengungkapannya. Crita cekak berbentuk prosa dengan kategori wacana prosa tulis dan merupakan wacana narasi atau wacana penceritaan karena crita cekak adalah wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu.

(8)

C. Sarana Keutuhan Wacana

Wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan bukan merupakan kumpulan kalimat yang berdiri sendiri atau terlepas. Kalimat-kalimat dalam wacana merupakan gabungan antara pertautan bentuk (kohesi) dan perpaduan makna (koherensi). Dengan demikian, wacana yang padu adalah wacana yang apabila dilihat dari segi hubungan bentuk atau struktur lahir bersifat kohesif, dan dilihat dari segi hubungan makna atau struktur batinnya bersifat koheren (Sumarlam, 2010:40).

1. Kohesi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:475), kohesi diartikan sebagai perpaduan yang erat. Menurut Mulyana (2005:26) kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan sintaktikal. Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk.

Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi termasuk dalam aspek internal struktur wacana.

Fatimah Djajasudarma (1994:46) mengungkapkan bahwa kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren. Kohesi merujuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi pada pertautan makna.

Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kohesi merupakan perpaduan bentuk yang erat antara unsur yang satu dengan unsur yang

(9)

lain dalam sebuah wacana sehingga menciptakan suatu wacana yang enak didengar ataupun dibaca.

a. Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal merupakan segi bentuk atau struktur lahir wacana.

Unsur kohesi gramatikal terdiri dari: (1) pengacuan (reference), (2) penyulihan (substitution), (3) pelesapan (ellipsis), (4) perangkaian (conjunction).

(Sumarlam, 2010:40).

1) Pengacuan (referensi)

Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain itu dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti penunjuk), dan komparatif (satuan lingual yang berfungsi membandingkan antara unsur yang satu dengan unsur lainnya).

a) Pengacuan Persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang), yang meliputi persona pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga (persona III), baik tunggal maupun jamak. Pronomina persona I tunggal, II tunggal, dan III tunggal ada yang berupa bentuk bebas (morfem bebas) dan ada pula yang terikat (morfem terikat).

Selanjutnya yang berupa bentuk terikat ada yang melekat di sebelah kiri (lekat kiri) dan ada yang melekat di sebelah kanan (lekat kanan).

(10)

Dengan demikian, satuan lingual aku, kamu, dan dia, misalnya, masing- masing merupakan pronomina persona I, II, dan III tunggal bentuk bebas. Adapun bentuk terikatnya adalah ku- (misalnya pada kutulis)¸

kau- (pada kautulis), dan di- (pada ditulis) masing-masing adalah bentuk terikat lekat kiri; atau –ku (misalnya pada istriku), -mu (pada istrimu), dan –nya (pada istrinya) yang masing-masing merupakan bentuk terikat lekat kanan.

a. Kata ganti orang I di antaranya aku ‘aku’, kula ‘saya’, hamba

‘saya’

b. Kata ganti orang II di antaranya kowe ‘kamu’, panjenengan ‘anda’

c. Kata ganti orang III di antaranya dheweke ‘ia’, dheweke ‘dia’, piyambakipun ‘beliau’

Salah satu contoh pengacuan persona adalah sebagai berikut.

(1) Krungu tembung-tembung kang asipat ndhesek mau aku dadi kaya wong bingung [...] (CWS/01/11/2012/VIII).

‘Mendengar kata-kata yang bersifat mendesak itu membuat saya jadi seperti orang bingung [...]’

Data di atas terdapat pengacuan persona yaitu pada kata aku ‘saya’ yang merupakan persona I tunggal bentuk bebas yang mengacu kepada si pengarang crita cekak.

b) Pengacuan Demonstratif

Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional).

(11)

a. Pengacuan demonstratif waktu : saiki ‘kini’, dekwingi ‘kemarin’, sesuk ‘besok’, esuk ‘pagi’, awan ‘siang’, sore ‘sore’.

b. Pengacuan demonstratif tempat : kene ‘sini’, iki ‘ini’, kono ‘situ’, kuwi ‘itu’, kana ‘sana’.

Salah satu contoh pengacuan demonstratif adalah sebagai berikut.

(2) Wah jan nggemeske tenan priyayi siji iki [...] (CWS/ 01/ 11/ 2012/

VIII).

‘Wah memang menggemaskan sekali orang satu ini [...]’

Data di atas terdapat pengacuan demontratif tempat (lokasional) yaitu pada kata iki ‘ini’.

c) Pengacuan Komparatif (Perbandingan)

Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku dan sebagainya.

Salah satu contoh pengacuan komparatif adalah sebagai berikut.

(3) [...] Nganti dheweke mbengok-mbengok kaya bocah cilik dijamoni (KM/ 08/11/2012/VIII).

‘[...] Sampai dia berteriak seperti anak kecil diobati’

Pada data di atas mengacu pada perbandingan persamaan antara sikap atau perilaku mbengok-mbengok ‘orang yang teriak-teriak’ dengan sikap atau perilaku bocah cilik dijamoni ‘anak kecil diobati’.

2) Penyulihan (Substitusi)

Penyulihan atau substitusi ialah satu satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan

(12)

satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda.

Dilihat dari satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal, frasal dan klausal.

a) Substitusi Nominal

Substitusi Nominal ialah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina.

b) Substitusi Verbal

Substitusi Verbal ialah penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba.

c) Substitusi Frasal

Substitusi Frasal ialah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa.

d) Substitusi Klausal

Substitusi Klausal ialah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa.

Substitusi yang ditemukan adalah substitusi nominal, frasal, dan klausal.

3) Pelesapan (Elipsis)

Pelesapan (elipsis) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan

(13)

commit to user

sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan itu dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat (Sumarlam, 2010:41-50), sedangkan elipsasi yaitu proses penghilangan atau tidak diucapkannya bagian tertentu karena dipandang berlebihan (Sudaryanto, 1985:299).

Salah satu contoh pelesapan (elipsis) adalah sebagai berikut.

(4) Aku ora mangsuli, mlebu kolah sakprelu wudu. Bubar wudu terus njupuk rukuh lan salat [...] (N/ 20/ 12/ 2012/ VIII).

‘Aku tidak menjawab, masuk kamar mandi hendak berwudhu. Setelah berwudhu kemudian mengambil mukena dan sholat [...]’

Data di atas terdapat pelesapan (elipsis) satuan lingual yang berupa kata, yaitu kata aku yang berfungsi sebagai subjek atau pelaku tindakan pada tuturan tersebut. Subjek yang sama itu dilesapkan sebanyak dua kali, yaitu sebelum kata mlebu kolah „masuk kamar mandi’ pada klausa kedua dan sebelum kata terus „terus’ pada klausa ketiga.

4) Perangkaian (Konjungsi)

Menurut Mulyana (2005:29) konjungsi disebut juga sarana perangkaian unsur-unsur kewacanaan. Konjungsi mudah dikenali karena keberadaannya terlihat sebagai pemarkah formal. Beberapa jenis konjungsi antara lain: a) konjungsi adversatif (namun, tetapi), b) konjungsi kausal (sebab, karena), c) konjungsi korelatif (apalagi, demikian juga), d) konjungsi subordinatif (meskipun, kalau), dan e) konjungsi temporal (sebelumnya, sesudahnya, lalu, kemudian).

Menurut Sumarlam (2010:52), konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu

(14)

perangkaian unsur dalam wacana mempunyai bermacam-macam makna.

Makna perangkaian beserta konjungsi yang dapat dikemukakan di sini antara lain sebagai berikut.

a) Sebab-akibat (kausalitas) : sabab ‘sebab’, amarga ‘karena’, pramila

‘maka’

b) Pertentangan : ananging ‘tetapi’, ‘namun’

c) Kelebihan (eksesif) : malah ‘malah’

d) Perkecualian (ekseptif) : kajaba ‘kecuali’

e) Konsesif : ewadene ‘walaupun’

f) Tujuan : supaya ‘supaya’

g) Penambahan (aditif) : lan ‘dan’, uga ‘juga’, sarta ‘serta’

h) Pilihan (alternatif) : utawa ‘atau’, apa ‘apa’

i) Harapan (optatif) : muga-muga ‘moga-moga’

j) Urutan (sekuensial) : sabanjure ‘lalu’, terus ‘terus’

k) Perlawanan : sewalike ‘sebaliknya’

l) Waktu (temporal) : sawise ‘sesudah’

m) Syarat : menawa ‘apabila’

n) Cara : kanthi (cara) mangkono ‘dengan (cara) begitu’ (Sumarlam, 2010:53)

Salah satu contoh perangkaian (konjungsi) adalah sebagai berikut.

(5) Lik Bari bungah nanging uga susah [...](AM/ 22/ 11/ 2012/ VIII).

‘Lik Bari senang namun juga susah [...]’

(15)

commit to user

Pada data di atas terdapat konjungsi pertentangan yang menyatakan pertentangan antara kata bungah „senang’ dengan kata uga susah „juga susah’.

b. Kohesi Leksikal

Mulyana (2005:29) menyatakan bahwa kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif.

Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu 1) repetisi (pengulangan), 2) sinonimi (padan kata), 3) kolokasi (sanding kata), 4) hiponimi (hubungan atas-bawah), 5) antonimi (lawan kata), dan 6) ekuivalensi (kesepadanan).

1) Repetisi (Pengulangan)

Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi sembilan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis, dan repetisi utuh atau penuh.

Berikut merupakan salah satu contoh repetisi yaitu sebagai berikut.

(6) Kanca nyambut gawe, kanca sekolah, sedulur waris lan kabeh warga desa diundang supaya ngrawuhi pahargyan mentenan [...]

(AM/ 22/ 11/ 2012/ VIII)

‘Teman kerja, teman sekolah, saudara dan seluruh warga desa diundang supaya datang pada pesta pernikahan [...]’.

(16)

commit to user

Pada data di atas terdapat repetisi (pengulangan) epizeuksis yaitu kata kanca ‘teman’ yang diulang sebanyak dua kali pada kalimat pertama dan kalimat kedua yang berfungsi untuk menegaskan pentingnya makna satuan lingual yang diulang.

2) Sinonimi (Padan Kata)

Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Abdul Chaer, 2003:85). Sinonim merupakan kohesi leksikal yang terjadi karena diksi yang secara semantis hampir sama atau bersamaan dengan maknanya dengan kata yang telah digunakan sebelumnya (Fatimah Djajasudarma, 1994:73). Menurut Kridalaksana (2001:198) sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain, kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja. Chaedar Alwasilah (1987:149) berpendapat bahwa sinonimi adalah beberapa kata yang berbeda mempunyai arti sama. Dengan kata lain beberapa leksim mengacu pada satu unit semantik yang sama.

Salah satu contoh sinonim adalah sebagai berikut.

(7) Aku nuju kamar paturonku [...](TS/ 29/ 11/ 2012/ VIII) ‘Saya menuju kamar tidurku [...]’

Pada data di atas morfem (bebas) aku ‘saya’ bersinonim dengan morfem (terikat) –ku.

(17)

3) Antonimi (Oposisi Makna)

Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Menurut Harimurti Kridalaksana (2001:15) antonim merupakan oposisi makna dalam pasangan leksikal yang dapat dijenjangkan. Chaedar Alwasilah (1987:150) mengungkapkan bahwa antonimi adalah beberapa pasangan kata mempunyai arti yang berlawanan.

Salah satu contoh antonimi (oposisi makna) adalah sebagai berikut.

(8) Lapangan sing biyasane sepi kuwi dumadakan rame dening

mahasiswa anyar kang dijejer kaya gereh ing besek [...] (KK/ 06/

12/ 2012/ VIII)

‘Lapangan yang biasanya sepi itu tiba-tiba ramai oleh mahasiswa baru yang ditata seperti ikan di wadah [...]’

Data di atas terdapat antonimi (oposisi makna) jenis oposisi kutub yaitu pada kata sepi ‘sepi’ yang berantonim dengan kata rame ‘ramai’.

4) Kolokasi (Sanding Makna)

Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan.

Salah satu contoh kolokasi (sanding makna) adalah sebagai berikut.

(9) Anggonku kuliyah sansaya mempeng, sanajan dadi mahasiswa sastra Jawa ora ana pangarep-arep kang muluk-muluk, [...] (CWS/

01/ 11/ 2012/ VIII)

‘Saya semakin rajin di dalam kuliah, meskipun menjadi mahasiswa sastra Jawa tidak ada harapan yang muluk-muluk, [...]’

(18)

Data di atas terdapat kolokasi (sanding kata) yaitu pada kata kuliyah

„kuliah’ dan kata mahasiswa ‘mahasiswa’ yang mendukung kepaduan kalimat tersebut.

5) Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)

Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut ‘hipernim’ atau ‘superordinat’.

Salah satu contoh hiponimi (hubungan atas-bawah) adalah sebagai berikut.

(10) Katon kembang kertas kang wernane rada aeng. Lagi pisan iki aku meruhi kembang kertas kanthi werna putih, oranye lan ungu mekrok tunggal uwit [...](KK/ 06/ 12/ 2012/ VIII)

‘Kelihatan bunga kertas yang warnanya agak aneh. Baru sekali ini saya melihat bunga kertas dengan warna putih, oranye dan ungu mekar dalam satu pohon [...]’

Pada data di atas yang merupakan hipernim atau superordinatnya adalah kata wernane „warnanya’, sedangkan warna-warna yang merupakan hiponim adalah warna putih, oranye dan ungu.

6) Ekuivalensi (Kesepadanan)

Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. (Sumarlam, 2010:55-70).

Salah satu contoh ekuivalensi (kesepadanan) adalah sebagai berikut.

(11) Yen dietung kanthi petungan kang njlimet iya lumayan entuk- entukane dhuwit [...](SB/13/12/2012/VIII).

(19)

commit to user

‘Bila dihitung dengan hitungan yang rumit iya lumayan pendapatan uangnya [...]’.

Data di atas terdapat kata dietung ‘dihitung’ dan kata petungan ‘hitungan’

yang merupakan kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yaitu kata etung ‘hitung’ yang menunjukkan adanya hubungan kesepadanan.

2. Koherensi

Sumbangan yang penting terhadap koherensi berasal dari kohesi, yaitu perangkat sumber-sumber kebahasaan yang dimiliki setiap bahasa (sebagai bagian dari metafungsi tekstual untuk mengaitkan satu bagian teks dengan bagian lainnya) (Halliday dan Hasan, 1992:65).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:475) koherensi diartikan sebagai hubungan logis antara bagian-bagian karangan atau antara kalimat- kalimat dalam satu paragraf.

Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Di samping itu, pemahaman ihwal hubungan koherensi dapat ditempuh dengan cara menyimpulkan hubungan antarproposisi dalam tubuh wacana itu (Mulyana, 2005:31).

M. Ramlan (Mulyana, 2005:32) merinci hubungan antarbagian dalam wacana yang bersifat koheren, yakni sebagai berikut. a. hubungan penjumlahan; b.

hubungan perturutan; c. hubungan perlawanan; d. hubungan lebih; e. hubungan sebab-akibat; f. hubungan waktu; g. hubungan syarat; h. hubungan cara; i.

(20)

Menurut F.J. D’ Angelo (Tarigan:1987) aneka sarana koherensi paragraf meliputi: a. penambahan, adisi; b. seri, rentetan; c. pronomina; d. pengulangan, repetisi; e. padan kata, sinonim; f. keseluruhan bagian; g. kelas anggota; h.

penekanan; i. komparasi, perbandingan; j. kontras, pertentangan; k. simpulan, hasil; l. contoh, misal; m. kesejajaran, paralel; n. lokasi, tempat; o. kala, waktu.

Salah satu contoh koherensi adalah sebagai berikut.

(12) [...] Sanadyan Ibu lan Bapak Ngadiman diparingi putra telu, nanging namung Mas Rochman sing saged diemong (TS/ 29/ 11/

2012/ VIII)

‘[...] Meskipun Ibu dan Bapak Ngadiman dikaruniai tiga orang putra, namun hanya Mas Rochman yang panjang umur’

Data di atas terdapat hubungan perlawanan antara klausa pertama dan klausa kedua dengan konjungsi nanging ‘tetapi’ yang membuat kalimat tersebut menjadi koheren.

D. Pengertian Cerpen/Crita Cekak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:186-187), cerpen diartikan sebagai kisahan pendek atau kurang dari 10.000 kata yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi (pada suatu ketika).

Si Bapak Cerpen, Edgar Allan Poe (Afifah Afra, 2007:112) mengatakan bahwa prose tale (cerpen dalam sebutan Poe), adalah narasi yang bisa dibaca dalam sekali duduk, dengan lama waktu setengah hingga dua jam.

Menurut Jacob Sumardjo (2001:184) cerpen adalah fiksi pendek yang selesai dibaca dalam ‘sekali duduk’. Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu

(21)

krisis dan satu efek untuk pembacanya. Pengarang cerpen hanya ingin mengemukakan suatu hal secara tajam.

Cerpen yang baik adalah cerpen yang merupakan suatu kesatuan bentuk, utuh, manunggal, tak ada bagian-bagian yang tak perlu, tetapi juga tak ada sesuatu yang terlalu banyak, semuanya pas, integral dan mengandung suatu arti (Jacob Sumardjo, 2001:91).

Menurut The Liang Gie dan A. Widyamartaya (Korrie Layun Rampan, 1995:10) cerpen adalah cerita khayali berbentuk prosa yang pendek, biasanya di bawah 10.000 kata, bertujuan menghasilkan kesan kuat dan mengandung unsur- unsur drama; oleh sebab itu alurnya pun disebut konflik dramatik.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen/crita cekak adalah kisahan pendek yang selesai dibaca ‘sekali duduk’ dan mengandung satu arti serta bertujuan menghasilkan kesan kuat yang di dalamnya terdapat dialog antarpelaku.

(22)

E. Kerangka Pikir

Bagan 1. Kerangka Pikir

Wacana Crita Cekak dalam Rubrik Jagad Sastra Solopos WACANA CRITA CEKAK DALAM RUBRIK JAGAD SASTRA SOLOPOS

SARANA KEUTUHAN WACANA

KOHERENSI KOHESI

1.seri, rentetan 2.keseluruhan ->bagian 3.penekanan 4.simpulan/

hasil

5.contoh/misal 6. kesejajaran

Gramatikal Leksikal

repetisi/pengulangan sinonim/padan kata antonim/lawan kata kolokasi/sanding kata hiponim/hubungan atas- bawah

ekuivalensi/kesepadanan pengacuan/referensi

penyulihan/substitusi pelesapan/elipsis perangkaian/konjungsi

KARAKTERISTIK WACANA CRITA CEKAK DALAM RUBRIK JAGAD SASTRA SOLOPOS

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pelatihan dan pendampingan dilakukan melalui 3 tiga tahap, yaitu (1) tahap persiapan pembinaan, untuk memberikan pemahaman tentang manajemen keuangan, (2)

Penelitian ini menekankan pada pengaruh penggunaan belimbing wuluh terhadap kualitas ekternal telur ayam (berat telur, berat kerabang telur, tebal kerabang telur

bahwa sehubungan dengan terjadinya perubahan perangkat daerah Kabupaten Bireuen yang ditetapkan dengan Qanun Kabupaten Bireuen Nomor 3 Tahun 2016 tentang

Penyusunan Rencana Kerja Organisasi Perangkat Daerah berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008

Selanjutnya cawan Petri diinkubasi pada suhu ruang dan pengamatan dilakukan terhadap luas koloni jamur patogen, dengan mencatat luas koloni patogen setiap hari untuk

Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”.. Dengan demikian, prinsip kebebasan berkeyakinan sebagaimana disebut

i) untuk pair EURUSD, GBPUSD akan berlaku sell trend. Kita boleh entry sell. Tetapi confirm dulu dengan indicator... ii) Untuk pair seperti USDCAD, USDCHF, akan berlaku buy

Hasil analisis menunjukkan bahwa adanya pengaruh signifikan antara pengetahuan sistem administrasi perpajakan dengan kepatuhan wajib pajak yaitu dengan semakin tingginya