• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Fajar Erikha, Multamia R.M.T. Lauder, Frans Asisi Datang

PENGEMBANGAN SOSIO-ONOMASTIKA DI INDONESIA: TINJAUAN KINI DAN POTENSI DI MASA DEPAN

The Development of Socio-onomastics in Indonesian Context:; Present Review and Future Prospects

Fajar Erikha a , Multamia R.M.T. Lauder b, Frans Asisi Datang c

abc Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Pos-el: fajar.erikha81@ui.ac.id

Abstrak

Penelitian berlatar onomastika mulai menggeliat akhir-akhir ini. Hal ini terlihat dalam penerbitan publikasi ilmiah dan ilmiah populer yang dilakukan tidak hanya mereka yang berlatar linguistik, tetapi juga ilmu-ilmu lainnya yang beririsan. Sementara itu, kebutuhan untuk mengkaji aspek sosial pada nama dan penamaan mulai ada karena nama hadir, diproduksi, digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Di Eropa, aspek sosial pada nama dibahas dalam kerangka sosiolinguistik sehingga kemudian disebut juga sebagai sosio-onomastika. Artikel ini mengeksplorasi onomastika, khususnya sosio-onomastika dalam cakupan tiga teoretik dasar dan lanjutan yaitu Onomastika Setempat, Kelekatan Toponimi, dan Lanskap Linguistik serta seperti apa potensi pengembangannya di kemudian hari. Guna mendapatkan gambaran komprehensif, dilakukanlah penelusuran literatur onomastika, khususnya sosio- onomastika baik berupa kajian teoretis maupun studi empiris. Artikel ini menyimpulkan kajian sosio-onomastika dengan latar Indonesia masih terbatas sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut agar terbentuk konstruksi teoretis yang lebih kaya dan tidak Barat-sentris. Diskusi berikutnya juga diperlukan agar studi berbasis sosio-onomastika dapat digunakan oleh praktisi nama-penamaan maupun pembuat kebijakan publik.

Kata-kata kunci: onomastika, sosio-onomastika, nama dan penamaan, sosiolinguistik nama

Abstract

Onomastics is the study of names and naming. In the context of Indonesia, research on onomastics has started to squirm recently through a number of scientific and scientific popular publications conducted not only by those with a linguistics background, but other related disciplines. In the meantime, the need to examine the social aspects of names and naming began to exist because names are present, produced, used by people

Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra

http://kelasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/kelasa

p-ISSN : 1907-7165 e-ISSN: 2721-4672

Naskah Diterima Tanggal 30 September 2021—Direvisi Akhir Tanggal 11 November 2021—Disetujui Tanggal 30 November 2021

doi: 10.26499/kelasa.v16i2.213

(2)

in everyday life. In Europe, the social aspect of the name is discussed in a sociolinguistics and it is also known as socio-onomastics. This article explores onomastics, especially socio-onomastics in the scope of three theories (Folk Onomastics, Toponymic Attachment, and Landscape Linguistics), which emerged in Indonesia recently, and what the potential for its development in the future. In order to get a comprehensive picture, a literature search in onomastics, particularly socio- onomastics, was carried out both theoretical studies and empirical studies. This article concludes that the studies of socio-onomastics in Indonesian cases are still limited and it needs to be further developed and not Western-centric. Further discussion is also needed and provided for names and naming practitioners as well as public policy makers.

Keywords: onomastics, socio-onomastics, names and naming, socioliguistics of names.

PENDAHULUAN

Nama (proper names atau names) menjadi salah satu kelas kata yang dalam ranah linguistik masih belum terlalu banyak dibahas, tetapi dalam dunia sehari-hari merupakan hal yang sangat krusial. Ada banyak fenomena yang menyangkut nama- nama di sekitar kita, dari zaman dulu hingga saat ini. Pada karya sastra William Shakespeare, dikisahkan pasangan Romeo dan Juliet yang berakhir tragis dengan bunuh diri bersama karena kedua orang tua masing-masing tidak setuju atas hubungan mereka sehingga muncul kutipan pernyataan Juliet yang terkenal: “Apalah arti sebuah nama?”

Pernyataan ini mengacu pada nama keluarga masing-masing yang berseteru satu dengan lainnya.

Dalam konteks masa kini dan bersifat lokal, baru-baru ini terdapat rencana

Pemerintah Kota Jakarta hendak mengubah nama Kota Tua menjadi Batavia, yang

merupakan nama klasik Jakarta saat masa kolonial Belanda dulu. Masih dalam konteks

Jakarta, terdapat pula usul mengganti sejumlah nama-nama jalan menjadi nama-nama

tokoh Betawi, yang salah satunya adalah Jalan Cikini Raya menjadi Jalan Ismail

Marzuki; selain itu, di dalam lingkup relasi nasional-internasioal, nama Laut China

Selatan diganti menjadi Laut Natuna Utara oleh Pemerintah Indonesia sebagai bentuk

menjaga kedaulatan wilayah, yang selanjutnya mendapatkan penentangan dari

Pemerintah Tiongkok (Lauder & Lauder, 2018). Sementara itu, dalam konteks

internasional, di antaranya seperti rencana perubahan nama negara Filipina menjadi

Maharlika dengan maksud menanggalkan identitas kolonial dan menggantikannya

dengan identitas masyarakat setempat; hingga nama-nama diri, seperti perhatian publik

(3)

saat pengusaha otomotif Elon Musk mengumumkan nama anak keenamnya dengan nama X Æ A-12.

Onomastika adalah disiplin ilmu yang mengkaji nama dan penamaan. Dalam Kamus Linguistik, onomastika disebut sebagai penyelidikan tentang asal-usul bentuk dan nama diri, terutama nama orang dan nama tempat (Kridalaksana, 2012:167). Aspek linguistik yang membahas nama hadir dalam lingkup teori dan tipologi nama (Van Langendonck, 2007). Van Langendonck telah membahas nama secara mendalam, mulai dari teori nama sebagai perpaduan antara ranah pragmatik, semantik, hingga sintaktik.

Menurut Van Langendonck (2007:6) nama juga didefinisikan sebagai satuan nomina yang unik, berdasarkan konvensi linguistik yang mapan/telah terbangun dengan baik (established linguistic convention). Meskipun tidak selalu dapat diacu melalui makna leksikal, nama dapat ditelusuri melalui makna praanggapannya (makna presuposisi):

kategorikal (tingkat dasar), makna asosiatif (diperkenalkan baik melalui pembawa nama atau melalui bentuk nama), makna emotif dan makna gramatikal (Nyström, 2016).

Van Langendonck (2007) memberikan dua kategori dasar dalam nama:

prototipikal dan nonprototipikal. Kategori prototipikal mengacu pada nama-nama diri (antroponim), nama-nama tempat (toponim), nama-nama badai, nama-nama binatang, nama-nama objek astronomis, nama-nama bangunan, kapal, dan lain sebagainya, hingga nama-nama organisasi; sedangkan kategori nonprototipikal terdiri atas nama-nama yang dapat dihitung (nama judul buku, film, merk dagang) dan yang tidak dapat dihitung (nama bahasa, warna, hingga penyakit). Meskipun pengategorian ini kompleks, dua objek yang kerap dikaji adalah nama tempat dan nama diri (Lauder & Lauder, 2015).

Tent (2015) mengompilasikan tipologi nama-nama tempat yang ada di Australia yang menjadi beberapa bagian seperti: 1) deskriptif: penamaan berdasarkan deskripsi fitur bumi yang tampak; 2) asosiatif: asosiasi terhadap unsur fisik rupabumi dengan objek lain; 3) kejadian/peristiwa yang didasari peristiwa yang pernah terjadi di ruang dan tempat tersebut; 4) evaluatif, berdasarkan aspek emotif ataupun konotasi terhadap rupabumi yang ada; 5) pergeseran tempat, yaitu menamakan kembali tempat menggunakan nama yang sudah ada di tempat yang lain; 6) kearifan lokal, yaitu pemakaian nama-nama ulayat.

Sejumlah studi toponimi di Indonesia telah dilakukan. Beberapa di antaranya

dijalankan melalui lintas disiplin ilmu (linguistik, sejarah, epigrafi, arkeologi, dan

psikologi): 1) penelusuran identitas kemaritiman bangsa Indonesia melalui nama-nama

(4)

pelabuhan kuno di pantai utara Jawa (Jakarta, Banten, Cirebon, Jepara, Tuban, dan Sumenep) oleh Lauder dkk. (2015), dan Muhatta (2019); 2) penelusuran jejak relokasi permukiman di Jakarta, di Kalijodo, Kampung Pulo, Luar Batang, dan Pasar Ikan (Susanti dkk., 2016); 3) penelisikan nama-nama stasiun kereta listrik (KRL/Commuter) di Jabodetabek (Wardany, 2015; 2021); toponimi dan kaitannya dengan wilayah pakai bahasa di Banyumas, Brebes, dan Cilacap yang merupakan wilayah adminsitrasi Jawa Tengah bagian barat (Sobarna dkk., 2018), dan masih banyak penelitian-penelitian toponimi lainnya yang tidak disebutkan di dalam artikel ini.

Bahasan mendasar terkait dengan toponimi berkonteks Indonesia dalam kerangka konseptual hadir dalam buku Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya Bangsa yang Panjang dari Permukiman Manusia dan Tertib Administrasi (Rais, dkk. (2008), yang membahas nama sebagai bagian geografi, ilmu bahasa, hingga kaitannya dengan kedaulatan dan kebijakan bahasa dan nama-penamaan. Sumbangan pemikiran tentang toponimi dan hubungannya dengan nilai-nilai budaya, dilengkapi dengan contoh toponim berlatar Indonesia telah diterbitkan ke dalam buku Toponymy Training Manual oleh United Nations Group of Experts on Geographical Names/UNGEGN (Lauder &

Lauder, tanpa tahun). Hal yang relatif baru, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sebagai salah satu Lembaga Pemerintah pun baru 2021 ini secara khusus menaruh perhatian onomastika, khususnya toponimi sebagai objek kajian yang perlu untuk diteliti, yaitu dengan dirintisnya penelitian toponimi di Kalimantan (Budiono dkk., 2021) menggunakan Buku Petunjuk Teknis Penelitian Toponimi Tahun 2021 (Erikha dkk., 2021).

Sejumlah publikasi buku-buku toponimi (ilmiah, ilmiah populer, dan populer) yang lebih spesifik membahas area geografi tertentu telah terbit, yang di antaranya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1

Daftar publikasi buku toponimi di Indonesia

Judul Publikasi Tahun

Perubahan nama-nama Djalan di Bandung. Gewijzigde Straatnamen van Bandung

1950

Toponimi Bogor 2003

Toponim Kota Yogyakarta 2007

Nama Tempat di Kota Bandung yang berhubungan dengan Air: Tinjauan

2008

(5)

Antropolinguistik

Toponimi Kota Bandung 2008; 2019 (edisi kedua) Toponim Jakarta dan

Kepulauan Seribu: Kearifan Lokal dalam Penamaan Geografi

2010

Asal-usul Nama Tempat di Jakarta

2011 Toponim Kotagede: Asal

Muasal Nama Tempat

2011 Toponim Kota Bandung:

Keragaman Ekologi, Budaya, Sejarah dalam Penamaan Ruang Kota

2012

212 Asal-usul Djakarta Tempo Doeloe

2012 Asal-usul Kota-kota di

Indonesia Tempo Doeloe

2015 Asal-usul Nama Yogyakarta

dan Malioboro

2015

Toponim Kota Magelang 2018

Toponimi Kecamatan Kabupaten Banyuwangi.

Pendekatan Historis

2018

Toponim Kota Yogyakarta 2019

Toponimi. Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat.

2019 Kisah Ciputat dan Serpong

Tempo Doeloe

2020 Toponimi di Jantung Kota

Yogyakarta

Akan terbit

Sumber: dirangkum dari berbagai sumber

(6)

Umumnya, publikasi yang membahas onomastika masih berfokus pada kajian asal-usul nama yang menyinggung aspek kesejarahan, geografi, dan linguistik.

Sementara itu, bahasan yang secara khusus mengkaji nama berdasarkan pendekatan sosio-onomastika masih sangat terbatas, yang salah satunya adalah Toponimi di Jantung Kota Yogyakarta (Erikha & Lauder, akan terbit), meski dua publikasi sebelumnya yang membahas nama-nama tempat di Yogyakarta telah terbit: Toponim Kota Yogyakarta (Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007) dan yang cukup baru, Toponim Kota Yogyakarta (Sulistyowati & Priyatmoko, 2019). Oleh karena itu, penulis terdorong untuk mengkaji lebih lanjut melalui dua pertanyaan berikut: 1) seperti apa perkembangan sosio-onomastika dalam kajian berlatar Indonesia; 2) potensi sosio- onomastika dalam stusi berkonteks Indonesia.

Sosio-onomastika

Sesuai namanya, sosio-onomastika merupakan cabang disiplin di bawah onomastika dan telah berkembang sejak sekitar 1970-an (Ainiala & Östman, 2017) atau sekitar lima dekade yang lalu. Meskipun kajian berbasis sosio-onomastika telah banyak dilakukan sebelumnya (Ainiala & Östman, 2017), peletakannya sebagai sebuah paradigma riset (research paradigm) dan cabang onomastika barangkali baru muncul dalam publikasi Hough (2016) dalam buku yang ia edit dan berjudul The Oxford Handbook of Names and Naming. Di dalam buku ini Carole Hough secara khusus menyajikan sebuah bagian yang berisi tujuh bab kajian/teori yang melingkupi ranah sosio-onomastika. Selain itu, sebuah pengantar yang cukup jelas telah disampaikan oleh Ainiala dan Östman (2017:

1-18) dalam bab buku yang berjudul Socio-onomastics: The Pragmatics of Names, mulai dari fondasi teoretis, onomastika sebagai dasar, metodologi, kemajuan yang sudah ada dalam ranah sosio-onomastika, hingga ragam studi di area toponimi, antroponimi, hingga nama komersial.

Ainiala dan Ostman mendefinisikan sosio-onomastika sebagai sosiolinguistik

tentang nama (Ainiala, 2016b). Dalam perkembangannya, sosio-onomastika telah

dianggap sebagai sebuah perspektif yang sistematis dalam mengkaji dinamika nama dan

penamaan. Jika kita kerap melihat onomastika (yang secara tradisional) memiliki

pembahasan seputar etimologi maupun tipologi nama, sedangkan sosio-onomastika

mencari tahu seperti apa nama-nama digunakan. Isu yang sentral dibahas dalam ranah

(7)

ini adalah isu identitas diri maupun sosial. Oleh karena itu, hal-hal yang berhubungan langsung dengan nama dan penamaan dalam pemakaian sehari-hari yang perlu kita perhatikan, seperti variasi dalam pemakaian nama, mengapa sebuah nama kerap digunakan sementara nama yang lain enggan digunakan, ataupun seperti pengguna nama memandang nama yang mereka gunakan. Sosio-onomastika pun turut memperhitungkan sejumlah hal, seperti latar sosial, budaya, serta situasi saat sebuah nama digunakan.

Sosio-onomastika membahas kehadiran dan interaksi nama di tengah masyarakat. Nama tidak hanya menjadi milik bahasa semata, namun juga pemakainya yang terangkum ke dalam komunitas dan aspek kultural. Dengan memberikan nama pada objek/subjek, ini berarti manusia memiliki kendali atas lingkungannnya, meninggalkan jejak mereka, hingga menjadikan nama sebagai bagian dari budaya mereka (Ainiala, 2016b).

Istilah sosio-onomastika pertama sekali muncul dalam publikasi berbahasa Jerman Sozioonomastik) yang berjudul Namenforschung heute (Walther, 1971, dalam Ainiala & Östman (2017)). Walther menyebut dua arah dalam sosio-onomastika: 1) kajian tentang asal-usul sosial dan penggunaan varian yang berbeda dari nama dalam berbagai situasi dan konteks, (b) menelusuri dinamika di antara sang pemberi nama (name-giver), pembawa nama (name-bearer), dan pengguna nama (name-user). Istilah lain seperti Namensoziologie juga telah dikemukakan oleh sejumlah ahli (Naumann (1989 [1984]); Seibicke, 1982; Witkowski 1975), dalam Ainiala & Östman (2017).

Istilah lain yang juga muncul adalah status sosiolinguistik nama atau the sociolinguistics status of proper names (Van Langendonck, 2007; Allerton, 1987).

De Stefani (2016) membahas nama dan aspek pewacanaan (discourse) melalui analisis kajian wacana. Di dalam artikelnya, De Stefani menyajikan satu subbab berjudul Socio-onomastics and the sociology of names dan menyampaikan terdapat perbedaan di antara kedua paradigma secara prosedur metodologi, meskipun keduanya membahas nama dalam konteks masyarakat. Karena sosio-onomastika menerapkan apa yang dilakukan di dalam sosiolinguistik, maka metode-metode yang digunakan pun relatif sama (seperti FGD [DKT atau diskusi kelompok terfokus], wawancara, kuesioner, dan menganalisisnya berdasarkan kategori sosial: gender, usia, penutur jati).

Sosiologi nama menekankan isu- isu yang muncul saat terjadinya kontak bahasa.

Sebagai contoh, seperti apa konstruksi

(8)

nama individu maupun kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa/dialek minoritas.

Pada abad ke-21, pembahasan sosio-onomastika lain muncul dari Van Langendonck (2007) tentang nama diri/nama panggilan remaja dalam bahasa Flam (Belanda Belgia). Dalam publikasinya, Van Langendonck menyinggung sistematika pemberian nama diri versus realitas penggunaannya di tengah masyarakat. Aspek sosiolinguistik yang dibahas mulai dari parameter gender (tataran sinkronis) parameter kelas sosial. Berdasarkan parameter gender, ditemukan bahwa pola penamaan didominasi oleh (nama-nama) pria daripada wanita. Namun, pada paruh pertama abad ke-20, tren tersebut perlahan menjadi setara di antara kedua gender. Pada parameter status sosial diperlihatkan perbedaan struktur nama berdasarkan trikotomi: profesi kelas atas, tenaga kerja terampil, dan tenaga kerja tidak terampil. Lebih lanjut juga disampaikan bahwa prinsipnya interaksi bahasa dan masyarakat dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya.

Satu objek dapat memuat sejumlah variasi nama bergantung pada situasinya.

Dalam konteks toponim, biasanya terdapat sebuah nama resmi yang diberikan

pemerintah. Kajian sosio-onomastika justru melihat variasi (-variasi) yang muncul dan

kerap digunakan. Nama Jatinegara di Jakarta memiliki varian lain yaitu Mester atau

oleh Tadié dan Permanadeli (2015) disebut Meester Cornelis. Mester merupakan

sebutan bagi seorang guru agama Kristen dan mengacu pada Meester Cornelis van

Senen, seorang penyiar Kristen yang membeli tanah dari kawasan di Jatinegara hingga

Senen (Suratminto, 2017). Meskipun nama resmi saat ini adalah Jatinegara (misalnya

digunakan pada nama Pasar Jatinegara), dalam kesempatan lain juga disebut Mester

(Pasar Mester Jatinegara). Boleh jadi mereka yang menggunakan merupakan anggota

masyarakat dengan usia di atas 50 tahun dan tinggal di sekitar Jatinegara.

(9)

Gambar 1 pemakaian toponim Mester Jatinegara oleh warganet Youtube (Sumber:

https://www.youtube.com/watch?v=KtFGDq LBQ4c&t=11s)

Gambar 2 Mester Jatinegara di Google Maps (Sumber: https://bit.ly/3HfMy4S)

Toponim nonresmi dapat eksis meski di peta tidak ditemukan keberadaannya. Di Jakarta, terdapat area yang pernah menjadi sentra kafe minuman keras, dan kerap dijadikan tempat berjudi maupun prostitusi. Kalijodo sebagai salah satu titik prostitusi di Jakarta juga telah dibahas oleh Tadié dan Permanadeli (2015). Pada 2016, area ini telah diubah oleh Pemerintah Daerah menjadi tempat publik untuk remaja (dengan dibangunnya gelanggang permainan papan seluncur bernama Kalijodo Skatepark dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) & Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kalijodo. Artinya, sebelum dibuatkan menjadi ruang publik, nama Kalijodo eksis sebagai nama nonnresmi banyak digunakan. Sebuah studi menemukan bahwa masyarakat yang pernah tinggal di Kalijodo menganggap nama tempat ini berkonotasi negatif dan dianggap ‘daerah hitam’ (Susanti dkk., 2016).

LANDASAN TEORI

Sosio-onomastika telah mengembangkan diri dan ditandai dengan mulai banyaknya

konsep-konsep yang lahir. Hough (2016) menyajikan konsep dan cakupan dalam sosio-

onomastika, seperti nama-nama (umumnya nama tempat dan nama diri) di tengah

masyarakat (lebih lanjut disebut Onomastika Setempat [folk onomastic]), nama dan

identitas, Lanskap Linguistik, Kelekatan Toponimik, nama samaran (psudonim), bentuk

alamat (form of address), dan nama-nama komersial (commercial names). Dari ketujuh

poin di atas, artikel ini hanya berfokus membahas tiga konsep saja, yaitu Onomastika

Setempat, Kelekatan Toponimik, dan Lanskap Linguistik.

(10)

Onomastika Setempat

Pada awalnya, onomastika setempat berpijak pada konsep yang telah ada sebelumnya yaitu linguistik setempat (folk linguistic) yang pernah dibahas oleh Niedzielski dan Preston (2000). Linguistik setempat adalah apa saja yang dibahas orang-orang saat membahas bahasa, baik bahasa dan elemennya, maupun bahasa dan pemakaiannya.

Begitu juga dalam konteks onomastika: seperti apa nama dan elemen pembentuknya (metabahasa), serta seperti apa penggunaan dan keyakinannya (beliefs) oleh pemakai nama tersebut (Ainiala, 2016a: 166).

Ainiala dan Vuolteenaho (2006) meneliti lanskap onomastik di kota Helsinki berdasarkan sudut pandang toponimi yang digunakan kelompok sosial setempat.

Informasi diperoleh melalui DKT dan wawancara individual yang mendalam kepada penduduk yang tinggal di sekitar kawasan di timur Helsinki, yaitu Vuosaari. Dalam aspek nama dan elemen pembentuknya, studi ini membahas harapan dan sikap masyarakat setempat pada nama-nama jalan yang ada. Mereka mengapresiasi nama- nama jalan yang orisinal (genuine/real) karena mengandung nilai-nilai tradisi yang ada ataupun merujuk pada nama tokoh lokal terkemuka (Gustav Pauligin katu/Gustav Paulig Street). Hal lain yang disinggung seperti nama yang dirasa yang jauh dari kesan perkotaan (raitti/village street). Anggota masyarakat juga menilai tampilan leksikal pada nama jalan. Apakah nama jalan memiliki nilai keindahan maupun nilai-nilai pragmatis berdasarkan kegunaannya. Adapun kaitan nama dengan pemakaiannya, pola tema penamaan juga dinilai positif, meskipun menuai kritik jika digunakan secara berlebihan karena dapat memicu.

Dalam konteks kajian sosio-onomastika berlatar Indonesia, terutama Yogyakarta, Erikha dan Lauder (akan terbit) membahas persepsi masyarakat terhadap nama jalan lama maupun baru di sebuah ruas di depan Keraton Yogyakarta. Nama baru, Jalan Pangurakan, dipersepsi sesuatu yang negatif dan dikaitkan dengan memori masa kecil dengan orang tua. Selain itu, elemen bahasa yang membentuk nama jalan juga dianggap tidak mudah dikenali (lihat Ekstrak di bawah).

Saya personally itu saya gak begitu cocok dengan nama Pangurakan karena dulu

ibu saya itu sering bilang "urakan", urakan itu adalah melabeli untuk anak yang

yang nakal, anak yang nakal. Jadi Pangurakan kan, lantas ia memiliki hubungan

dengan Pangurakan. tapi saya, itu kurang ear catching sekali hehehe (Fajri)

(11)

Membahas makna pangurakan dan urakan bisa saja bermakna berbeda berdasarkan makna leksikalnya. Oleh Zoetmulder (1995), pangurakan pada dasarnya berarti: desakan atau dorongan, sedangkan makna berikutnya adalah lapangan persegi di sebelah utara kraton (pintu gerbang yang menuju kepada raja). Dalam sosio- onomastika, makna yang diatribusi pada sebuah objek/subjek dapat melampaui makna yang ada/dijelaskan di kamus. Anggota masyarakat dapat memberikan makna subjektif, bergantung pada hal apa yang dirasakan.

Kelekatan Toponimik

Kelekatan toponimik (toponymic attachment) pertama sekali dikenalkan oleh Laura Kostanski (2009). Konsep ini diartikan sebagai asosiasi positif ataupun negatif terhadap nama tempat, baik tempat yang real maupun imajiner. Sebelumnya, Kostanski berangkat dari konsep kelekatan terhadap tempat (place attachment) yang tergabung ke dalam konsep psikologi lingkungan. Kelekatan terhadap tempat memiliki filosofi bahwa hubungan manusia dan tempat merupakan dua hal yang tidak dapat dihindarkan karena manusia hidup, tinggal, serta beraktivitas di tempat-tempat yang menjadi kesehariannya.

Demikian halnya dengan nama tempat. Manusia tidak dapat lepas dari nama tempat dan kerap memakainya dalam aktivitas rutin maupun nonrutin. Nama tempat telah dianggap menjadi bagian dari identitas seseorang.

Konsep ini berawal dari penelitian Kostanski mengenai pergantian sejumlah nama-nama tempat di Kawasan Taman Nasional Grampians di Victoria, Australia pada 1989-1990 awal. Pergantian ini bertujuan untuk mengembalikan nama-nama yang telah diberikan oleh suku Aborigin hingga akhirnya diganti oleh pihak koloni yang sampai di Australia pada abad ke-18. Upaya pemerintah setempat memicu kontroversi tetap dijalankan meskipun sebagian masyarakat yang diteliti tidak setuju dengan pergantian yang dilakukan karena sejumlah alasan (Kostanski, 2016a).

Terdapat dua hal dalam Kelekatan Toponimik (Kostanski, 2016b): identitas toponimik (toponymic identity) dan ketergantungan toponimik (toponymic dependence).

Identitas toponimik meliputi sejarah dan memori, komunitas/masyarakat, emosi, dan

peristiwa/kejadian. Keempat aspek ini memungkinkan untuk saling beririsan satu

dengan lainnya, tetapi di antara masing-masingnya masih dapat ditarik garis pembeda.

(12)

Identitas terhadap tempat dapat menghubungkan sebuah populasi dengan sejarah yang melatarinya. Di kota Bandung, kaitan sejarah kolonial Belanda dan toponim setempat memiliki hubungan yang kuat, selain juga dibuktikan dengan lanskap arsitektur yang ada. Bandung memang telah dirancang dengan baik oleh kolonial sebagai kota modern dan bahkan sebagai calon pengganti Ibu kota Hindia Belanda yang sebelumnya ada di Batavia. Keseriusan dalam mengonsepkan kota juga tidak terkecuali pada upaya penamaan jalan-jalan di Bandung. Namun, pada 1950, setelah Hindia Belanda tidak lagi berkuasa, Pemerintah Dewan Kota melakukan pergantian nama-nama jalan yang cukup masif terutama pada penamaan yang sebelumnya berunsur kolonial.

Hal yang menarik adalah terdapat 15 nama-nama tokoh kolonial/keturunan kolonial, yang merupakan individu penting pada masanya, tidak diganti dan tetap digunakan hingga saat ini. Sebagian contoh nama-nama kolonial tersebut adalah Jalan Dr. Curie, Jalan Van Deventer, Jalan Prof Eyckman, Jalan Pasteur, Jalan Boscha, Jalan Multatuli, dan Jalan Homan (Redaksi AyoBandung.com, 2015). Nama-nama ini tetap digunakan karena jasa dan kemashyuran para tokoh dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan budi baik, serta perhatian yang mereka berikan kepada masyarakat nusantara pada masa dulu.

Dalam aspek peristiwa maupun kejadian, seseorang dapat saja memberikan makna penting atas sebuah toponim. Zerubavel (2003, dalam Kostanski, 2016b) mencontohkan Mekah sebagai tempat ibadah haji bagi muslim hingga tempat kencan pertama dapat menjadi media yang menghubungkan memori dan kenangan terhadap masa lalu. Beberapa peristiwa penting dan emosional dapat terhubung dengan nama tempat. Kelekatan Toponimik dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah peristiwa seperti Tragedi Semanggi pada saat Reformasi 1998 bergulir dan penyerangan kelompok teroris hingga di namakan Bom Bali 1 (2002) dan 2 (2005). Dua peristiwa berskala nasional ini diperingati ke dalam bentuk nama halte bus Trans-Jakarta Grogol 12 Mei Reformasi dan nama Tugu Peringatan Bom Bali, di sekitar Kuta.

Sementara itu, dalam aspek komunitas, perkara nama dapat muncul dalam relasi lintas kelompok (antara kelompok sendiri [ingroup] dan kelompok lain [outgroup]).

Dalam perujukan suatu ruang dan tempat, seseorang dapat memakai beberapa toponim

sekaligus bergantung pada siapa maupun konteks apa saat ia gunakan. Bagi mereka

yang tinggal di Jakarta, khususnya Jakarta Selatan (disingkap Jaksel), nama Jaksel

memiliki konotasi yang berbeda dan rujukan yang berbeda pula. Secara sosiolinguistik

(13)

nama, Jaksel sebagai nama tempat berkaitan dengan sejumlah toponim (Pondok Indah, Senayan, Cilandak, Kemang) yang dikategorikan tempat-tempat elit. Meskipun demikian, area Jaksel ini sangatlah luas cakupannya. Namun, mereka yang berasal dari luar Jakarta dan tidak terlalu mengetahui latar sosio-ekonomi masyarakat setempat mungkin menganggap nama Jaksel tidak lebih dari pengategorian semata, seperti halnya nama Jakarta Utara (Jakut), Jakarta Pusat (Jakpus), Jakarta Barat (Jakbar), dan Jakarta Timur (Jaktim).

Dalam aspek toponim dan emosi, penjelasan Kostanski (2009) memberikan cakupan emosi marah maupun senang saat membahas identitas ulayat yang ditampilkan melalui toponim. Responden penelitian Kostanski dengan latar Aborigin merasa sukacita saat mengetahui restorasi toponim dari nama kolonial dikembalikan menjadi nama dengan bahasa suku mereka. Sebaliknya, jika nama-nama lokal yang memuat aspek sosiokultural masyarakat diubah, hal ini dapat memicu pertentangan, seperti halnya yang terjadi di Jakarta saat pemerintah kota hendak mengganti nama Jalan Mampang Prapatan dan Jalan Warung Buncit menjadi Jalan A.H Nasution pada awal 2018. Kelompok budaya Betawi dan sejarawan menolak rencana pemerintah kota karena pergantian tersebut dapat menghilangkan nilai dan sejarah yang diwakilkan melalui nama jalan (Hamdi & Dewi, 2018).

Ketergantungan toponimik oleh Kostanski berkaitan dengan peran dan fungsi toponim dalam aktivitas sehari-hari. Terdapat tiga aspek yang mencakup ketergantungan toponimik: promosi, lokasi, dan identifikasi. Branding atau promosi terhadap tempat melalui nama tempat semakin jamak dilakukan akhir-akhir ini. Di sejumlah tempat di pusat kota ataupun area pariwisata seperti pantai sering dipasang tulisan toponim tiga dimensi berukuran besar dan terlihat mencolok mata sehingga menjadi titik melakukan swafoto sebagai tanda pernah berkunjung ke tempat tersebut.

Di Malioboro, Yogyakarta, plang nama jalan juga menjadi tempat para turis berfoto. Di Malang, beberapa nama jalan utama kota ditambahi nama yang pernah digunakan pada zaman kolonial Belanda sehingga pada plang jalan terdapat nama ganda seperti Kawistraat, Riebeekstraat Van, dan Idjenboulevard (Purnanto & Ardhian, 2020).

Toponim dan identifikasi tempat merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan. Penamaan tempat biasanya merepresentasikan fitur alam atau penanda fisik

yang ada di sekitarnya. Plang nama jalan juga dianggap sebagai pengidentifikasi saat

seseorang hendak menuju ke suatu tempat. Bagi pembuat kebijakan, hal yang terpenting

(14)

dalam nama dan penamaan tempat adalah konsistensi. Dengan adanya pembuatan nama yang konsisten, diharapkan mereka yang memakai dapat menuju lokasi yang dimaksud tanpa adanya hambatan. Apalagi toponim yang digunakan berkaitan dengan situasi darurat, seperti kebakaran, gempa bumi, banjir. Di Yogyakarta, sejak 2017 ruas Jalan Pangeran Mangkubumi telah digeser ke utara (masih di jalur yang sama) menggantikan Jalan A.M. Sangaji. Perpindahan nama jalan ke tempat yang bersebelahan telah ditolak anggota masyarakat yang bekerja di hotel yang ada di Jalan Pangeran Mangkubumi ini (sekarang ruas tersebut bernama Jalan Margo Utomo). Responden penelitian menyayangkan pergantian nama hanya dengan menggeser ke ruas yang bersebelahan sehingga bisa membuat tamu hotel menjadi tersesat (Erikha & Lauder, akan terbit)

Lanskap linguistik

Lanskap linguistik (selanjutnya disebut LL) merupakan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis pemakaian/kehadiran bahasa di ruang publik. Ragam bahasa yang dibahas umumnya bahasa tulis. Hal yang menjadi titik tekan dalam LL adalah isu kemultibahasaan dan seperti apa interaksi antarbahasa. Menurut Landry dan Bourhis (1997:25) objek-objek LL meliputi bukti kebahasaan di ruang publik, tidak terkecuali di dalamnya adalah plang nama jalan, marka jalan maupun penunjuk nama tempat. Oleh Spolsky dan Camper (1991, dalam Spolsky 2009:25), LL dapat disebut sebagai sociolinguistic theory of public signage.

Umumnya, LL meliputi kajian kuantifikasi bahasa-bahasa di ruang publik.

Dalam konteks non-Indonesia misalnya situasi multibahasa di Tokyo (Backhaus, 2006), Swiss (Piller, 2010), Hungaria (Metro-roland, 2011), Irlandia (Kallen, 2009; Moriarty, 2014), pecinan di Washington (Lou, 2016) dan pecinaan di Bangkok, Thailand (Wu dkk., 2020), Tiongkok (Xiao & Lee, 2019), Israel (Waksman & Shohamy, 2020);

sedangkan di Indonesia telah ditelusuri seperti di Jakarta (Da Silva, 2017), Yogyakarta (Erikha, 2018a; Jayanti 2018; Da Silva dkk., 2021), Bandung (Erikha, 2018c; Erikha &

Lauder, 2020), dan Malang (Purnanto & Ardhian, 2020).

Oleh Landry dan Bourhis (1997), LL memiliki dua fungsi, pertama sebagai

fungsi informasional dan kedua sebagai fungsi simbolis. Fungsi informasioal diartikan

sebagai peran bahasa dalam menyampaikan informasi kepada pembaca atau mereka

yang memang ditujukan di sekitar area tulisan tersebut dipajankan. Misal, tulisan

Dilarang Merokok mengindikasikan siapa pun yang ada dan beraktivitas di sekitar

(15)

lanskap tersebut tidak diperkenankan menghisap rokok. Jika teks ditulis dalam dua bahasa, bahasa lokal dan bahasa asing dapat menandakan linguistic boundaries, menandakan bahasa yang hadir ataupun absen dalam sebuah lanskap. Saat sedang berada di Kota Bandung, biasanya plang nama jalan di pusat kota dilengkapi dengan aksara Sunda, sedangkan di sekitar Kota Yogyakarta maka jalan juga dinamai dengan aksara Jawa. Oleh Puzey (2016), fungsi informasional ini mencerminkan situasi sosiolinguistik yang ada.

Sementara itu, fungsi simbolis berarti terdapat interaksi bahasa di dalamnya, termasuk di dalamnya bahasa apa yang dianggap superior/inferior. Situasi LL dipersepsi oleh mereka yang hadiri di suatu lanskap. Informasi yang ditulis tidak lagi semata-mata bertujuan menyampaikan maksud atau menamakan tempat, tetapi juga dibuat- dimaknai berdasarkan cara teks informasi itu ditulis. Simbol-simbol ditampilkan melalui jumlah bahasa yang dipergunakan (satu atau lebih), posisi penulisan, ukuran teks saat dibandingkan di antara satu bahasa dengan bahasa lain teks tersebut ditulis. Dalam konteks kebijakan bahasa di ruang publik di Indonesia, bahasa negara atau bahasa Indonesia mendapatkan prioritas, meskipun bahasa daerah tetap perlu dilestarikan dan bahasa asing penting untuk dikuasai. Di Bandara Soekarno Hatta, penulisan pada plang penunjuk arah dirancang dengan penempatan bahasa Indonesia pada posisi atas dengan ukuran yang lebih besar daripada bahasa Inggris (di bawah) dengan huruf yang lebih kecil (Widiyanto, 2018).

Relasi di antara LL dan onomastika, terutama sosio-onomastik dianggap sebagai hubungan dua arah (Puzey, 2016). LL dalam onomastik dapat dilihat melalui bahasa apa yang dianggap hegemoni, dan sebaliknya. Di kawasan Galilea [Galilee] Israel, toponim yang berbahasa minoritas seperti bahasa Arab seringkali diperlakukan, meskipun kebijakan dwibahasa telah diterapkan. LL yang berbahasa Ibrani kerap ditulis lebih jelas dan akurat, sedangkan yang berbahasa Arab dibuat kurang jelas dan ditindas (Bigon &

Dahamshe, 2014). Dalam konteks ekstrem, plang toponim berbahasa minoritas dicoret oleh vandalis sebagai sikap mengucilkan kelompok penutur jati bahasa tersebut.

METODE PENELITIAN

Guna mendapatkan data/informasi terkait perkembangan sosio-onomastika di Indonesia,

penulis memanfaatkan laman Google Scholar sebagai pangkalan data/database tak

berbayar dan memungkinkan menelusuri karya akademik terkait sosio-onomastika. Kata

(16)

kunci berbahasa Indonesia yang digunakan seperti sosio-onomastik, sosio-onomastika, dan sosio-onomastis, sedangkan dalam Bahasa Inggris digunakan pula socio-onomastics meskipun dalam hasil pencarian juga ditemukan dua variasi lain (socioonomastic dan sosio-onomastik). Walaupun target penulis adalah publikasi atas penelitian yang dilakukan dalam konteks Indonesia, pemakaian istilah berbahasa Inggris (socio- onomastics) tetap digunakan agar meminimalkan terlewatnya objek penelitian ini.

Untuk kategori waktu, penulis menggunakan fitur ‘kapan saja’ dan ‘semua jenis’

agar mendapatkan jangkauan waktu artikel yang lebih luas sehingga tidak melewatkan target yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Umumnya penelitian yang tersaji tidak hanya artikel jurnal, tetapi juga penelitian skripsi, tesis, dan disertasi. Selain itu, penelusuran lanjutan juga dilakukan dengan meneruskan pencarian kepada sarjana yang memang memfokuskan diri dalam studi-studi sosio-onomastika dalam lima tahun terakhir melalui akun profil Google Scholar dan Researchgate milik mereka. Cara ini cukup efektif karena terdapat beberapa publikasi yang sebenarnya kental dengan pendekatan sosio-onomastika namun tidak lantas menggunakan terminologi ini dalam tulisan yang ada. Oleh karena cukup luasnya bahasan di dalam sosio-onomastika, seperti yang telah dijelaskan pada paragraf awal bagian Landasan Teori, penulis akan berfokus kepada tiga teori saja, yaitu Lanskap Linguistik, Onomastika Setempat, dan Kelekatan Toponimik.

PEMBAHASAN

Meskipun disajikan dengan cara dan perincian yang berbeda, baik Onomastika

Setempat, Kelekatan Toponimik, maupun Lanskap Linguistik memiliki persamaan

dalam unsur komponen masing-masingnya. Fungsi primer nama sebagai alat penanda

dan pembeda, merujuk pada subjek ataupun objek, ataupun menjadikannya alat promosi

pariwisata. Oleh Ainiala (2016a), pemakaian nama tempat dinilai dari kepraktisan dan

ketidakpratisannya. Di Kota Bandung, apa yang disampaikan Ainiala bisa kita amati

bentuk pola/tema penamaan jalan yang mungkin dibuat agar lebih praktis saat

digunakan. Di sekitar Jalam R.E. Martadinata (d.h Jalan Riau) terdapat Insulindee Park

(sebelumnya bernama Taman Nusantara, sedangkan sekarang Taman Lalu Lintas) dan

(17)

jalan-jalan di sekitar taman tersebut dinamai dengan nama-nama tempat atau pun pulau yang ada di Nusantara (Jalan Aceh, Jalan Ambon, Jalan Flores).

Politik dalam penamaan juga dapat dikategorikan sebagai jalan pintas penguasa dalam mempraktikkan ideologi melalui kebijakan penamaan. Dalam konteks antroponim di Indonesia, contohnya, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.

Instruksi ini bertujuan untuk membatasi pengaruh masyarakat keturunan Cina kala itu, dan menuntut mereka agar dapat melakukan asimilasi dengan kultur keindonesiaan. Hal ini berdampak pada penamaan diri sehingga umumnya pada nama pertama merupakan nama Barat, sedangkan nama kedua merupakan penggabungan silabis yang berarti nama keluarga dan digabung dengan imbuhan lain sehingga terkesan nama khas orang Indonesia. Menurut Bailey dan Lie (2013) pola penamaan ini memuat makna dualitas, sebagai bagian yang berkultur Cina, dan lainnya merupakan bentuk negosiasi melalui penanda linguistik.

Umumnya, pergantian nama tempat diwarnai dengan pergolakan baik itu

dukungan maupun pertentangan. Di Indonesia, 2017--2019 lalu telah dilakukan

pergantian beberapa nama jalan di Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya dengan maksud

mengakhiri konflik di antara suku Jawa dan Sunda atas Perang Bubat yang pernah

terjadi pada abad ke-14 silam. Upaya rekonsiliasi budaya tersebut justru pada sebagian

aspek tidak berjalan mulus dan justru menimbulkan konflik dan pertentangan dari

masyarakat di Surabaya karena pergantian nama Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari

justru menghilangkan nilai historis dan perjuangan para pahlawan saat mempertahankan

kemerdekaan (lihat Erikha, 2021).

(18)

Gambar 3. Pertentangan masyarakat setempat (Sumber: Detik.com https://bit.ly/3EeSNof)

Pergantian toponim dapat berdampak pada variasi toponim di ruang publik.

Tidak jarang pula pergantian terkesan begitu cepat dan sangat minim sosialisasi kepada masyarakat. Salah satu yang direkomendasikan oleh Kostanski (2016a) guna menyukseskan pergantian toponim diperlukan proses transisi melalui penamaan ganda.

Hal ini diwujudkan melalui adanya toponim baru dan lama di dalam plang yang sama.

Dengan demikian, mereka yang kerap memakai nama tempat dapat menyesuaikan diri, terutama untuk membiasakan nama yang baru di dalam kamus mental (mental lexicon).

Terkait dengan konteks Jalan Dinoyo dan Gunungsari, Pemerintah setempat tidak melakukan penamaan ganda sebagai upaya peralihan. Padahal masih dalam latar yang sama, Di Yogyakarta pergantian berjalan baik yang mungkin karena adanya pemakaian plang toponim ganda.

Seperti halnya dukungan atas pergantian toponim bagi masyarakat Aborigin di Australia (Kostanski, 2016b), pergantian nama di Yogyakarta yang menggunakan bahasa Jawa mendapatkan apresiasi dari masyarakat yang diteliti oleh Erikha (2018b).

Alasan yang muncul adalah nama berbahasa Jawa dapat lestari dan diketahui oleh

generasi muda. Mungkin dengan nama-nama Jawa itu mungkin lebih baik saya kira,

karena apa itu, kan untuk, sekarang kan anak kita itu jarang sekali yang pake Bahasa

Jawa, kadang-kadang pake Bahasa Indonesia aja [Jundi]. Apa yang disampaikan Jundi

ini menggambarkan pergeseran tren bahasa daerah yang sedang didominasi oleh bahasa

nasional.

(19)

LL dan relasi kuasa dapat ditampilkan melalui seperti apa kebijakan bahasa yang dilakukan pihak yang berwenang. Di Indonesia, setelah Reformasi 1998 muncul semangat untuk penguatan identitas kelokalan/kedaerahan yang selama ini ditekan oleh pemerintah Order Baru. Ini dikuatkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 untuk penguatan bahasa dan kebudayaan daerah. Agaknya ini membuat banyak daerah di Indonesia mulai menamakan kembali tempat-tempat yang ada menjadi nama dengan bahasa atau budaya setempat, termasuk dengan memakai transliterasi lokal seperti aksara Sunda, Jawa, Bugis, Bali, ataupun Arab. Selain itu, penguatan identitas lokal mendapatkan dukungan dari Badan Bahasa melalui jargon Tri Gatra Bangun Bahasa, yaitu pentingnya untuk mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.

Di Jakarta, Jalan Medan Merdeka Utara, Selatan, Barat, dan Timur yang mengitari tugu Monumen Nasional merupakan nama peringatan atas kemerdekaan Indonesia (Macdonald, 1995). Sekitar 2012, pemerintah setempat pernah mengusulkan rencana pergantian keempat nama jalan utama tersebut menjadi empat tokoh penting Indonesia, yaitu Ir. Soekarno, Muhamad Hatta, Ali Sadikin, dan Soeharto. Pengusulan ini mendapatkan kritik dari sejarawan karena salah satu tokoh kurang pas disematkan menjadi nama jalan. Meskipun sudah dibuatkan kelompok kerja yang membahas rencana pergantian empat nama jalan ini, belum ada keputusan final yang dikeluarkan Pemerintah Daerah DKI. Dalam kajian toponim, tarik menarik oleh teknokrat maupun pada proses penamaan tempat telah dibahas dalam ranah toponimi kritikal yang juga bagian dari sosio-onomastika.

Dalam perjalanannya, sebuah kebijakan penamaan bisa saja berbeda dari yang telah diharapkan sebelumnya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi, dalam Pasal 3 dan 4 dijelaskan salah satu prinsip penamaan mesti menghindari penyemataan individu yang masih hidup.

Sementara itu, pada 12 April 2021, sebuah ruas Jalan Tol Layang Jakarta Cikampek II

Elevated (36,4 kilometer) resmi berganti nama menjadi Jalan Tol Layang MBZ Sheikh

Mohamed Bin Zayed atau dikenal dengan Jalan Tol MBZ. Terlepas dari latar penamaan

yang bermuatan ekonomi dan kerja sama di antara Indonesia dan Pemerintah Uni

Emirat Arab (UEA), pergantian ini tidak terlalu mendapatkan respons positif karena

penghargaan terhadap UEA tidak mesti melalui pemberian nama jalan (Lauder, 2021),

(20)

tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 bahwa nama berbahasa asing dapat disematkan jika berkaitan dengan sejarah, budaya, dan adat istiadat di Indonesia (Bachtiar, 2021), dan akan lebih baik dinamakan dengan nama-nama pahlawan nasional (Saputro, 2021). Perdana (2021) pun mendorong dilakukannya edukasi toponimi terkait perlunya menghindari penamaan tempat menggunakan nama individu yang masih hidup dan memberikan batasan yang jelas berapa tahun setelah wafat seseorang dapat dijadikan nama tempat.

Terakhir, menurut Puzey (2016), terdapat beberapa objek yang menjadi cakupan LL dalam perspektif sosio-onomastika. Misalnya, nama-nama komersial (telah disampaikan juga dalam Landry & Bourhis, 1997). Misal dalam studi Han dan Wu (2019), lanskap di Guangzhou menampilkan nama-nama pertokoan dan restoran yang memakai bahasa Inggris, karena dianggap sebagai simbol globalisasi, menguntungkan secara ekonomi, serta menggambarkan kalangan muda. Hal serupa juga muncul pada nama-nama toko, restoran dan hotel di Labuan Bajo yang banyak memakai bahasa asing (lihat Datang, Munawarah, Winarti, & Lauder, 2020). Selain nama komersial, LL juga dapat menjangkau isu komodifikasi nama atau kerap disebut hak penamaan (naming rights). Nama-nama produk komersial ataupun nama individu di sebagian negara sudah dapat disematkan secara berkala sebagai nama sejumlah tempat/fasilitas publik seperti stadion dan stasiun. Di Jakarta, fenomena ini sudah muncul pada penawaran kepada pihak swasta/Pemerintah untuk menjadikan nama institusi mereka di beberapa hal moda raya terpadu (MRT). Jika dibandingkan dengan contoh di luar Indonesia (Mercedes- Benz Arena di Jerman maupun Allianz Stadium) nama merk yang dipergunakan bersifat utuh dan tidak menggunakan toponim yang menjadi penanda di sekitar tempat yang dinamai (Stasiun MRT Blok M BCA, sedangkan Blok M sebagai toponim tetap eksis).

Setelah membahas pendekatan sosio-onomastika, khususnya berdasarkan tiga

konsep di atas, kita dapat melihat irisan aspek-aspek yang ditawarkan oleh masing-

masing konsep. Konsep Lanskap Linguistik menyebutkan terdapat dua fungsi yang

dimuat oleh penandaan ruang dan tempat melalui simbol bahasa: fungsi informasional

dan fungsi simbolis (Landry & Bourhis, 1997); pada Konsep Kelekatan Toponimik

memiliki dua kategori, yaitu ikatan nama dengan identitas dan ketergantungan terhadap

nama sebagai “alat” yang difungsikan dalam banyak aktivitas manusia (Kostanski,

2016b); terakhir, yaitu Onomastika Setempat dengan dua kategori: nama dan elemen

bahasanya serta nama dalam pemakaian sehari-hari (Ainiala, 2016a).

(21)

Gambar 4 Irisan tiga konsep di dalam Sosio-onomastika (Sumber: Erikha & Lauder, akan terbit).

Laura Kostanski (2009; 2016b) mengembangkan teori Kelekatan Toponimik berdasarkan studi kasus pergantian nama-nama tempat di Taman Nasional Grampians (Geriwerd) di Australia yang sangat kontroversial. Fenomena ini bahkan telah menjadi isu nasional. Dengan adanya pergantian toponim secara cukup masif, ini menjadi momen yang tepat untuk mengukur seberapa lekat dan dekat masyarakat yang tinggal di sekitar Kawasan, baik mereka yang dikategorikan ‘pendatang’ dari koloni Eropa, maupun masyarakat Aborigin. Sebelum koloni Eropa datang menambang emas pada abad ke-18 dulu, toponim yang diganti telah lama ada dan digunakan oleh masyarakat setempat. Setelah toponim diganti dengan nama-nama kolonial, hingga saat ini 1980 akhir nama-nama tersebut telah dipakai selama ratusan tahun. Ini berarti secara psikolinguistik, masyarakat yang ada telah menanamkan leksikon-leksikon dalam jangka waktu yang sangat lama dan terbiasa memakainya dalam aktivitas sehari-hari.

Perubahan toponim telah mengusik susunan leksem-leksem nama tempat yang

ada di salah satu kompartemen di dalam kognisi. Keterusikan pun berkaitan dengan

emosi negatif yang muncul yang disebabkan aspek memori, kesejarahan, sedangkan

bagi komunitas Aborigin yang telah ditiadakan nama tempatnya akan merasa ada

(22)

pengucilan. Toponim berbahasa Aborigin erat kaitannya dengan identitas kebahasaan dan identitas kelompok. Oleh Ainiala (2016a), temuan ini senada dengan aspek nama dan elemennya dalam Onomastika Setempat. Elemen bahasa memiliki koneksi dengan cara individu meyakini dan mempersepsikan sebuah nama tempat. Sebagai pemerkuat, penjelasan Landry dan Bourhis (1997) bahwa nama telah menjadi simbol dalam lanskap budaya melalui peranti linguistik siapa yang diakui lebih superior dan sebaliknya, mereka yang dipersepsikan lebih inferior.

Kostanski (2016a) melihat pemakaian nama ganda (gabungan nama lama dan baru) menjadi salah satu cara peralihan saat pergantian nama tempat dijalankan. Dalam penerapannya, strategi ini dilakukan dengan mendahulukan nama lama dan menaruh nama baru di dalam kurung setelah nama lama, misal Grampians (Gariwerd). Dalam LL, khususnya bagaimana konsep geosemiotik (Scollon & Scollon, 2003) telah berperan dalam melihat pewacanaan pada toponimi. Tanda menjadi simbol yang sarat akan makna dan memiliki kecenderungan seperti apa praktik kekuasaan oleh pihak yang dominan. Di Indonesia, kebijakan bahasa dan penamaan diejawantahkan melalui perlunya menaruh nama berbahasa Indonesia pada sisi utama daripada nama berbahasa lain, kecuali jika bahasa asing ataupun bahasa daerah memiliki nilai historis pada ruang dan tempat nama disematkan. Sejauh ini belum ada peraturan yang mewajibkan penulisan nama ganda pada plang nama tempat yang diganti, meskipun sudah diterapkan di Yogyakarta pada 2013--2017 lalu (Erikha 2018a; Erikha & Lauder, akan terbit).

Pembahasan metodologi menjadi penting karena berkaitan erat dengan seberapa mungkin ranah kajian ini semakin berkembang di masa kini maupun di masa mendatang. Perhatian utama sosio-onomastika adalah variasi nama (Ainiala, 2016b).

Lebih lanjut Ainiala juga menyebut variabel-variabel yang menjadi kunci penelisikan

yang berdasar pada ranah sosiolinguistik: usia, gender, etnisitas, kelas sosio-ekonomi,

penutur jati suatu bahasa ataupun non-penutur jati. Secara umum, kajian toponim

maupun antroponim masih mendominasi kajian-kajian onomastika, tidak terkecuali

sosio-onomastika. Dalam kajian toponim, bahasan kompetensi toponimik (toponymic

competence) menjadi fokus yang dominan, misalnya mengapa toponim A sering

digunakan, sedangkan toponim B sangat jarang. Dengan kata lain, peneliti di ranah

sosio-onomastika dengan minat toponimi perlu mengetahui perbedaan kompetensi

toponimik seseorang atau bahkan pada level kelompok sekalipun. Contoh klasik seperti

(23)

sekitarnya daripada wanita atau mereka yang sejak lahir hingga dewasa dan tinggal di suatu tempat akan mengetahui nama-nama tempat termasuk nama-nama informal yang tidak diketahui pendatang.

Metode dan teknik dalam Sosio-onomastika: sebuah rekomendasi

Desain penelitian dalam ranah onomastika yang cukup banyak ditemui adalah desain kualitatif (rujukan diperlukan), sedangkan desain kuantitatif juga dilakukan (diperlukan rujukan). Ancangan kualitatif dalam konteks sosio-onomastika, sejauh ini, memungkinkan ragam penelitian dengan latar yang sangat kaya untuk menghasilkan dinamika perkembangan nama di tengah masyarakat. Penelitian sosio-onomastika memang masih didominasi oleh pengkaji dari Barat. Meskipun penelitian kualitatif yang yang mereka lakukan memberikan fondasi yang cukup kuat dalam pendirian kerangka sosio-onomastika, tentu ini masih belum dapat sepenuhnya digenaralisasi ke dalam konteks-konteks di luar Barat. Hal ini tak terkecuali dalam konteks Indonesia yang di dalam masyarakatnya pun sangat beragam latar suku dan bangsa serta budaya.

Tidak ada yang terlalu berbeda dalam teknik pengambilan data saat mengkaji sosio-onomastika, jika dibandingkan dengan apa yang sering dilakukan oleh peneliti di ranah onomastika. Mengacu pada sumber data, data yang digunakan dapat berasal dari sumber tulisan maupun lisan (Taylor, 2016). Pada penelitian bertema Lanskap Linguistik, data tulisan berupa toponim yang tertulis di ruang publik termasuk sumber data yang penting. Tulisan itu dapat dikategorikan sebagai bukti linguistik. Biasanya, data tersebut dipotret menggunakan kamera saku, ataupun kamera ponsel agar lebih praktis saat berada di lapangan.

Bukti tulis juga dapat diperoleh melalui Google Maps, terutama menggunakan

fitur tampilan jalan (street view). Kecanggihan dan juga data yang rutin diperbarui oleh

Google memungkinkan peneliti untuk menelusuri ruang-ruang yang sulit dijangkau,

seperi pada situasi pandemi Covid-19 saat ini (Erikha & Lauder, 2020). Penelitian

sosio-onomastika yang bersifat diakronik, dapat juga mengandalkan penulisan toponim

di masa lalu, melalui contoh penulisan nama jalan (odonim) dalam iklan-iklan produk di

buku pariwisata/majalah/buku direktori (sejenis Yellow Pages) zaman kolonial dulu

(pada gambar di bawah ini, penulisan Braga tidak berubah hingga masa kini). Dalam

konteks antroponim, data nama-nama bisa diperoleh dari Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil (pada tingkat Kabupaten), seperti yang telah dilakukan oleh Aribowo

(24)

dan Herawati (2016a; 2016b) dalam studi tentang pergeseran pola penamaan masyarakat Jawa yang menggunakan nama berbahasa Arab.

Gambar 5 Contoh teks bukti pemakaian toponim dalam data kolonial (Sumber: De Ingenieur in Indonesie, 1948).

Data lisan bisa ditelusuri melalui wawancara bersemuka maupun berkelompok (FGD/diskusi kelompok terpumpun). Data lisan pun bisa diperlukan guna mendokumentasikan seperi apa pelafalan anggota masyarakat pada toponim tertentu, termasuk variasinya (Taylor, 2016). Oleh karenanya, dalam daftar tanyaan peneliti perlu menyiapkan seperti apa sebuah toponim dilafalkan (Erikha dkk., 2021: 25-26). Boleh jadi sebuah toponim tidak hanya terdiri atas atas sejumlah nama yang berbeda, namun juga perbedaan berdasarkan dialek, atau bahkan nama yang hanya digunakan oleh segelintir anggota masyarakat.

Kriteria informan untuk data lisan dapat diperoleh oleh mereka yang menguasai ruang objek tersebut berada. Tokoh masyarakat, budayawan, sejarawan, dapat menjadi narasumber penting dalam pengambilan data. Jika beruntung, bisa saja seorang narasumber memang menaruh minat yang besar pada studi asal usul nama(-nama) tempat yang ada di lingkungannya. Beberapa pakar tersebut bahkan telah menuliskan publikasi ilmiah/ilmiah-populer berkaitan dengan toponim di Jakarta (Ruchiat, 2011;

Suratminto 2017; Wardany, 2021), di Bandung dan Jawa Barat (Bachtiar, Soetisna, Permadi, & Widjaya, 2018; Bachtiar 2020), hidronim di Jawa Barat (Kulsum, Sutini, Harijatiwidjaja, Saptarini, & Mulyanah 2008), Yogyakarta dan Malioboro (Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007; Carey, 2015); Sulistyowati &

Priyatmoko, 2019).

Meskipun sebuah area telah diteliti atau ditulis dalam satu atau beberapa

publikasi, namun biasanya yang disampaikan masih terbatas pada bahasan sejarah dan

latar penamaan (etimologi). Oleh karena itu, sosio-onomastika, dapat mengisi ceruk

(25)

untuk pemaknaan masa kini, oleh pemakai masa kini pada toponim yang ada. Untuk itu, [partisipan] penelusuran kepada masyarakat biasa, yang sehari-hari tinggal ataupun beraktivitas di sekitar objek toponim perlu untuk diwawancarai. Konteks pandemi Covid-19 dapat berdampak pada teknis proses wawancara maupun DKT. Kendati demikian, peneliti dapat mengandalkan aplikasi rapat daring seperti Zoom Meetings ataupun Gmeet/Google Meeting. Umumnya, aplikasi rapat ini sudah dilengkapi dengan fitur rekam, penayangan dokumen bagi kedua belah pihak, dan fitur mengobrol/chat sehingga proses penggalian data menjadi lebih maksimal.

Gambar 6 DKT bersama masyarakat di sekitar toponim (Sumber: Zarmahenia Muhatta 2017)

Pertanyaan yang bisa dipakai cukup sederhana mulai dari makna semantis (termasuk di dalamnya makna asosiatif ataupun emotif (Van Langendonck, 2007;

Nystrom 2016), kesukaan atau ketidaksukaan terhadap nama (lihat Ainiala, 2016a;

Kostanski 2016b), secara linguistik apakah toponim dikategorikan transparan atau tidak

(lihat Ainiala, 2016a; Kostanski 2016b). Atau dalam bentuk yang lebih sederhana

seperti yang dibahas oleh Erikha & Lauder (akan terbit), yaitu bagaimana 1) persepsi; 2)

sikap; dan 3) preferensi seseorang terhadap sebuah toponim (lihat juga Erikha,

Wuryandari, Munawarah, & Lauder, 2021). Baik persepsi, sikap, dan preseferensi

terhadap toponim dapat digunakan sebagai indikator seberapa efektif kebijakan

pergantian nama tempat (misal, nama jalan, nama provinsi) dilakukan oleh pemerintah

(26)

setempat. Secara teknis, wawancara dapat dilakukan dengan cara yang tidak terstruktur sehingga tidak terpaku pada daftar tanyaan yang telah disusun sejak awal.

Metode lain bisa menggunakan survei atau poling baik dilakukan secara kuesioner cetak maupun daring (misal Google Form, Qualtrics, Survey Monkey). Salah satu distrik kecil di Swedia, Pemerintah Kota telah menyebarkan survei kepada masyarakat untuk proses pergantian toponim berdasarkan usulan masyarakat setempat menggunakan bahasa Övdalsk di Älvdalen (Karlander, 2017). Dalam konteks penelitian, Kostanski (2016a) telah menyebarkan kuesioner yang berisi opini anggota masyarakat pada rencana pergantian toponim di Taman Nasional Grampians (Geriwerd) di Australia. Isi pertanyaannya berkisar dukungan, penentangan, serta toponim apa yang cenderung akan digunakan oleh responden.

Tahapan analisis dilakukan bergantung pada metodologi yang telah digunakan.

Pada data kualitatif, setelah data ditranskrip dan dikodifikasi hingga proses inter-rater, peneliti dapat menyajikan temuan berdasarkan tema-tema yang memang telah diprediksi sejak awal penelitian. Sebaliknya, peneliti dapat saja menemukan temuan baru yang bisa menjadi warna yang berbeda dari temuan-temuan yang kerap disajikan penelitian berlatar Barat ataupun non-Indonesia. Sebagai contoh, pergantian nama jalan di Yogyakarta, meskipun mereka yang mendukung maupun tidak hampir seimbang jumlahnya, namun terdapat sikap pada yang tidak mendukung: pada akhirnya mesti mendukung karena pergantian merupakan perintah Sultan yang merupakan figur otoritas yang paling dihormati di lingkungan sekitar Keraton Yogyakarta (Erikha &

Lauder, akan terbit).

Lainnya, hasil survei dapat disajikan ke dalam bentuk data kuantitatif deskriptif.

Data analisis yang disajikan menggambarkan situasi kebahasaan (monolingual, bilingual, multilingual), ragam bahasa (nasional, daerah, asing), persepsi hingga preferensi bahasa (Da Silva, 2021)

PENUTUP

Sosio-onomastika sebagai sebuah wahana kajian onomastika dan disiplin ilmu

yang terhitung baru. Penelitian-penelitian yang dilakukan dan dipublikasikan pun juga

masih berfokus pada latar barat. Jika diperinci, konteks Asia tetap perlu dihitung

meskipun secara kuantitas masih terbatas. Berdasarkan teori yang dijabarkan di atas,

studi di Indonesia yang memakai teori Onomastika Setempat dan Kelekatan Toponimik

(27)

masih sangat terbatas, sedangkan pemakaian Lanskap Linguistik sebagai teori maupun perspektif umumnya sudah semakin banyak. Namun, Lanskap Linguistik yang diteliti dengan unsur sosio-onomastika seperti mengaitkan kontestasi bahasa dan masyarakat bahasa, serta kaitannya dengan kebijakan bahasa/penamaan dapat dikatakan masih minim. Sementara itu, Lanskap Linguistik melalui objek seperti nama-nama komersial sudah mulai banyak, misal dominasi pemakaian bahasa asing pada bilbor komersial di jalan-jalan hingga tren penamaan kompleks perumahan dengan nama-nama berbahasa Asing. Isu sentral yang dibahas adalah kecenderungan para pelaku usaha yang mementingkan prestise produk yang dijual melalui kemasan bahasa asing agar terlihat modern dan menjadi daya tarik kepada konsumen potensial yang didominasi anak muda/dewasa muda. Sementara itu, perihal komodifikasi nama, bisa menjadi potensi pengembangan riset yang menarik melihat kecenderungan penamaan tempat publik berbasis komersialisasi mulai menggeliat, seperti di Jakarta terdepat dua nama halte bus Transjakarta yang mememadukan nama korporat (Halte Salemba Capitol Park Carolus [Capitol Park Residence dan RS Carolus] dan Halte S. Parman Podomoro City [superblok yang terdiri atas beberapa mal, apartemen, hotel, dan kampus]).

Artikel ini bisa dikatakan sebagai pengantar awal pengenalan sosio-onomastika sebagai ranah yang potensial dalam pengembangan aspek sosial dalam kajian nama dan penamaan khususnya dalam konteks Indonesia. Meskipun tren kajian penelusuran asal- muasal nama perlu dilanjutkan yang dekat dengan ranah linguistik historis komparatis, namun ranah sosio-onomastika dapat menjadi pilihan para pengkaji sosiolinguistik, psikololinguistik, ataupun ranah sosial humaniora lainnya. Dengan semakin banyaknya kajian dalam ranah ini, terutama dengan meggulirkan nuansa keindonesiaan, kami berharap pengayaan akan semakin mungkin untuk diwujudkan. Apalagi latar etnisitas dan budaya setempat sangat kaya. Semangat artikulasi identitas kedaerahan pun semakin baik dan biasanya berdampak pada dinamika penamaan dalam ruang sosial yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Ainiala, T. (2016a). Attitudes to Street Names in Helsinki. In L. Kostanski & G. Puzey (Eds.), Names and Naming: People, Places, Perceptions and Power (pp. 166–186).

Multilingual Matters.

Ainiala, T. (2016b). Names in Society. In C. Hough (Ed.), The Oxford Handbook of Names and Naming (pp. 447–459). Oxford University Press.

Ainiala, T., & Östman, J.-O. (2017). Introduction: Socio-onomastics and pragmatics. In

(28)

T. Ainiala & J.-O. Östman (Eds.), Socio-onomastics. The pragmatics of names (pp.

2–18). John Benjamins.

Ainiala, T., & Vuolteenaho, J. (2006). How to study urban onomastic landscape? In Acta onomastica (pp. 58–63). Ustav pro jazyk cesky AV CR.

Alhaug, G., & Saarelma, M. (2017). Naming of children in Finnish and Finnish- Norwegian families in Norway. In T. Ainiala & J.-O. Östman (Eds.), Socio- onomastics. The pragmatics of names (pp. 70–91). John Benjamins.

Allerton, D. J. (1987). The linguistic and sociolinguistic status of proper names What are they, and who do they belong to? Journal of Pragmatics, 11(1), 61–92.

https://doi.org/https://doi.org/10.1016/0378-2166(87)90153-6

Aribowo, E. K., & Herawati, N. (2016a). Trends in Naming System on Javanese Society: A Shift from Javanese to Arabic. Lingua Cultura, 10(2), 117–122.

Aribowo, E. K., & Herawati, N. (2016b). Pemilihan Nama Arab Sebagai Strategi Manajemen Identitas di antara Keluarga Jawa Muslim. Proceedings of the International Seminar Prasasti III, 270–277.

Bachtiar, T. (2019). Toponimi. Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat. Layung.

Bachtiar, T., Soetisna, E. R., & Permadi, T. (2008). Toponimi Kota Bandung. Bandung Art & Culture Council.

Bachtiar, T., Soetisna, E. R., Permadi, T., & Widjaya, A. S. (2017). Toponimi Kota Bandung. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung.

Bachtiar, Titi. (2021). Menyoal Penggantian Nama Jalan Tol Japek. AyoBandung.Com.

https://www.ayobandung.com/netizen/pr-79726125/menyoal-penggantian-nama- jalan-tol-japek#.YMHeYNSTx7B.whatsapp

Backhaus, P. (2006). Multilingualism in Tokyo: A look into the linguistic landscape. In Linguistic landscape: A new approach to multilingualism (pp. 52–66). Multilingual Matters Ltd.

Bailey, B., & Lie, S. (2013). The Politics of Names among Chinese Indonesians in Java.

Journal of Linguistic Anthropology, 23(1), 21–40. http://remote- lib.ui.ac.id:2063/stable/43103106

Bigon, L., & Dahamshe, A. (2014). An Anatomy of Symbolic Power: Israeli Road-Sign Policy and the Palestinian Minority. Environment and Planning D: Society and Space, 32(4), 606–621. https://doi.org/10.1068/d2613

Budiono, S., Ferdiansyah, H., & Saputri, T. D. (2021, June). Minority names and geographical names in a multilingual setting: Sanggau, West Kalimantan, Indonesia. UNGEGN Information Bulletin: Minority Names and Geographical

Names in a Multilingual Setting, 18019.

https://unstats.un.org/unsd/ungegn/pubs/Bulletin/UNGEGN_bulletin_no.61.pdf Carey, P. (2015). Jalan Malioboro ('Jalan Berhiaskan Untaian Bunga’). In P. Carey

(Ed.), Asal Usul Nama Yogyakarta dan Malioboro (pp. 7–40). Komunitas Bambu.

Da Silva, A. M. (2017). Exploring the language choice of the non-commercial signs in Jakarta. Indonesian Journal of Applied Linguistics, 7(2), 467–475.

da Silva, A. M., Tjung, Y. N., Wijayanti, S. H., & Suwartono, C. (2021). Language use and tourism in Yogyakarta; The linguistic landscape of Malioboro. Wacana. Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, 22(2), 295–318.

Datang, F. A., Munawarah, S., Triwinarti, W., & Lauder, M. R. M. T. L. (2020).

Signage in Public Spaces: Impact of Tourism on the Linguistic Landscape of Labuan Bajo.

De Stefani, E. (2016). Names and Discourse. In C. Hough (Ed.), The Oxford Handbook

of Names and Naming (pp. 52–66). Oxford University Press.

Gambar

Gambar 1 pemakaian toponim Mester  Jatinegara oleh warganet Youtube (Sumber:
Gambar 3. Pertentangan masyarakat setempat (Sumber: Detik.com  https://bit.ly/3EeSNof)
Gambar 4 Irisan tiga konsep di dalam Sosio-onomastika (Sumber: Erikha & Lauder,  akan terbit)
Gambar 5 Contoh teks bukti pemakaian toponim dalam data kolonial (Sumber: De  Ingenieur in Indonesie, 1948)
+2

Referensi

Dokumen terkait

kehidupan sebagai manusia. Cinta ideal itu baru mereka peroleh utuh setelah mereka mengalami kematian dan reinkarnasi menjadi sepasang kupu-kupu. Cinta ideal itu

Bagi peneliti merupakan satu tugas yang sangat istimewa dalam hal mengetahui bagaimana pendekatan balance scorecard dalam mengukur kinerja perusahaan dan dapat

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kritik sosial yang muncul pada kumpulan puisi Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo dengan menggunakan pendekatan

Maka dari alat pengering pada penelitian ini akan menggunakan sistem sirkulasi udara tertutup dengan sensor suhu dan kelembaban sebagai masukan kontrol logika fuzzy dan

Awalnya kaba disampaikan dalam bentuk lisan oleh seorang tukang kaba kepada pendengarnya, proses penyampaiannya adalah dengan cara berdendang diiringi dengan musik

Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa nilai cronbach alpha pada variabel excitement , brand image, brand love, dan word of mouth lebih dari 0,6, maka seluruh variabel

Hasil Algoritma Fuzzy C-Means yang menggunakan Complete Linkage sebagai algoritma yang menentukan titik pusat cluster akan menghasilkan nilai fungsi objektif objektif yang berbeda

Institusi zakat menjadi unsur penting dalam kebijakan sosio-ekonomi baik di Indonesia melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) maupun di Brunei