• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Riki Fernando

Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra

http://kelasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/kelasa

p-ISSN : 1907-7165 e-ISSN: 2721-4672

SIMBOL KUPU-KUPU DALAM CERPEN “SETO MENJADI KUPU-KUPU”

KARYA A.S. LAKSANA

Butterfly Symbol in A.S. Laksana’s Short Story “Seto Menjadi Kupu-Kupu”

Riki Fernando Balai Bahasa Provinsi Aceh Pos-el: [email protected]

Abstrak

Artikel ini adalah analisis sastra terhadap cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu” karya A.S.

Laksana dengan menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce. Penelitian ini berfokus pada pembahasan simbol kupu-kupu yang diceritakan sebagai hasil perubahan wujud tokoh utama di akhir cerita. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik baca dan catat. Metode analisis data menggunakan studi pustaka dengan teknik deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cerpen ini memiliki aspek intertekstual dalam kaitannya dengan kebudayaan Cina. Dalam kaitannya dengan kebudayaan Cina, simbol kupu-kupu yang terdapat di dalam cerpen ini dapat dimaknai sebagai idealisasi cinta suci Seto terhadap gadis pujaan hatinya. Seto yang hingga akhir hayatnya tidak bisa hidup bersama dengan gadis pujaan hatinya senantiasa menjaga cinta sucinya dalam keabadian, dan itu disimbolkan oleh kemunculan kupu-kupu yang menciumi bunga mawar di kamar Seto.

Kata-kata kunci: semiotika Peirce, simbol kupu-kupu, A.S. Laksana

Abstract

This article is a literary analysis of the short story Seto Menjadi Kupu-Kupu by A.S.

Laksana by using semiotic theories of Charles Sanders Peirce. This research focuses on discussion about the symbol of butterfly that is told as a transformation result of the main character in the ending of story. Data collection in this research uses reading and note-taking techniques. The method of data analysis uses literature review with qualitative descriptive techniques. The results show that this short story has an intertextual aspect in relation to Chinese culture. In relation to Chinese culture, the butterfly symbol within this story can be interpreted as the idealization of Seto’s sacred love for the girl he loves. Seto who never lived together with the girl he loves always keep his sacred love in the eternity, and it was symbolized by the emergence of a butterfly kissed a rose in Seto’s bedroom.

Keywords: Peircean semiotic, butterfly symbol, A.S. Laksana

Naskah Diterima Tanggal 18 Februari 2021—Direvisi Akhir Tanggal 3 Mei 2021—Disetujui Tanggal 6 Mei 2021 doi: https://doi.org/10.26499/kelasa.v6i1.164

(2)

Riki Fernando

PENDAHULUAN

Salah satu ciri khas sastra yaitu penggunaan ekspresi tidak langsung yang dalam teks dapat mengejawantah menjadi simbol (Wellek & Warren, 2016, hlm. 215–216).

Dari sekian banyak simbol yang terdapat dalam karya sastra, terdapat simbol-simbol yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, salah satunya simbol binatang. Jika simbol dipahami sebagai objek yang mengacu pada objek lain (Wellek & Warren, 2016, hlm. 220) dan merupakan kiasan, dalam pengertian yang sederhana simbol binatang merupakan tanda yang merujuk pada binatang, dan mengacu pada makna-makna selain makna denotatifnya.

Karena simbol umumnya bersifat arbitrer dan konvensional, makna simbol binatang bisa relatif sama pada masyarakat-masyarakat tertentu, dan bisa pula relatif berbeda pada masyarakat lainnya. Bagi masyarakat Indonesia dan Jepang, makna simbol gagak sama-sama berkaitan dengan kematian. Pada kedua masyarakat tersebut suara gagak dipandang sebagai pembawa berita kematian (Saragih & Riyadi, 2019). Dalam masyarakat Cina, simbol gagak juga berkaitan dengan kematian. Namun, selain berkaitan dengan kematian, gagak juga menjadi simbol yang berkaitan dengan matahari (Eberhard, 1986, hlm. 304).

Pemahaman mengenai simbol-simbol binatang yang terdapat dalam teks sastra sangat penting untuk memaknai teks tersebut secara lebih utuh. Selain sebagai perangkat estetik, simbol binatang juga memiliki fungsi lain dalam karya sastra. Misalnya, simbol binatang dalam drama “Mastodon dan Burung Kondor” karya Rendra. Dalam artikel Mastodon dan Burung Kondor Karya W.S. Rendra: Kritik Terhadap Penguasa Orde Baru, Juliantini (2012) menjelaskan bahwa mastodon (gajah purba) merupakan simbol bagi penguasa yang perkasa dan mengancam kehidupan berjuta-juta rakyat kecil yang disimbolkan sebagai burung kondor. Dengan penggunaan simbol-simbol binatang tersebut Rendra menyembunyikan makna yang ingin ia sampaikan, yaitu kritik terhadap penguasa orde baru.

Selain itu, dalam skripsi Makna dari Simbol Kunang-Kunang dalam Cerpen- Cerpen Karya Agus Noor: Tinjauan Semiotika Tiara (2015) menjelaskan bagaimana penggunaan simbol kunang-kunang dalam tiga cerpen karya Agus Noor: “Serenade Kunang-Kunang”, “Kunang-Kunang di Langit Jakarta”, dan “Requiem Kunang- Kunang”. Di Indonesia, kunang-kunang dimitoskan sebagai jelmaan orang-orang yang

(3)

Riki Fernando

telah meninggal. Berdasarkan mitos tersebut, kehadiran simbol kunang-kunang dalam tiga cerpen Agus Noor berfungsi sebagai pendukung pembentukan suasana mistis mengenai kematian dan kerusuhan yang terjadi di sejumlah kota dalam cerita.

Dalam skripsi Simbol Binatang dalam Cerpen-Cerpen Karya Djenar Maesa Ayu dan A.S. Laksana, Hanandira (2016) menjelaskan bagaimana penggunaan simbol-simbol binatang dalam cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet!”, “Lintah”, dan “Wong Asu”

karya Djenar Maesa Ayu serta cerpen “Dongeng Cinta yang Dungu” dan “Ular di Dalam Kepala” karya A.S. Laksana. Pada kelima cerpen tersebut, simbol binatang digunakan dalam penokohan terhadap tokoh-tokoh manusia. Dengan penggunaan seperti itu, simbol binatang memiliki fungsi sebagai penggambaran sifat-sifat buruk manusia yang dipandang mirip dengan sifat-sifat binatang.

Sejak awal abad ke-21 dalam sastra Indonesia sering ditemukan karya-karya sastra prosa yang menggunakan simbol binatang dalam cerita. Sebagian karya-karya tersebut bahkan menunjukkan penggunaan simbol binatang sejak dari judulnya, seperti novel

“Kambing dan Hujan” (2015) karya Mahfud Ikhwan, “Kura-Kura Berjanggut” (2018) karya Azhari Aiyub, “Semua Ikan di Langit” (2017) karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, “Lengking Burung Kasuari” (2017) karya Nunuk Y.

Kusmiana, “Burung Kayu” (2020) karya Niduparas Erlang, “Burung Terbang di Kelam Malam” (2014), “Lolong Anjing di Bulan” (2018), “Kawi Matin di Negeri Anjing”

(2020) karya Arafat Nur, “Lelaki Harimau” (2004) karya Eka Kurniawan, “Kuda Terbang Mario Pinto” (2004) karya Linda Christanty, dan banyak lainnya.

Pada khazanah cerpen Indonesia penggunaan simbol binatang juga ramai ditemukan, misalnya empat cerpen Eka Kurniawan dalam kumcer “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi” (2015): “Pelajaran Memelihara Burung Beo”, “Setiap Anjing Boleh Berbahagia”, “Kapten Bebek Hijau”, dan

“Membuat Senang Seekor Gajah”, dua cerpen Yusi Avianto Pareanom dalam kumcer

“Muslihat Musang Emas” (2017): “Muslihat Musang Emas dan Elena” dan “Ular-Ular Temanten”, tiga cerpen Triyanto Triwikromo dalam kumcer “Sesat Pikir Para Binatang”

(2016): “Serigala di Kelas Almira”, “Jalan Bahagia Para Pembunuh Buaya”, dan “Sesat Pikir Para Binatang”, dua cerpen Triyanto Triwikromo dalam kumcer “Celeng Satu Celeng Semua” (2013): “Burung Api Siti” dan “Ikan Terbang Kufah”, lima cerpen A.S.

Laksana dalam kumcer “Bidadari yang Mengembara” (2004): “Burung di Langit dan

(4)

Riki Fernando

Sekaleng Lem”, “Seekor Ular di Dalam Kepala”, “Seto Menjadi Kupu-Kupu”, “Bangkai Anjing”, dan “Rumah Unggas”, dan banyak lainnya.

Kajian mengenai simbol binatang pada sastra Indonesia masih belum banyak dilakukan sejauh ini, sehingga fenomena maraknya kehadiran simbol binatang pada wajah sastra Indonesia belum dapat dipahami secara jelas. Hal ini tentu membuat kajian- kajian untuk memahami penggunaan simbol binatang pada sastra Indonesia menjadi penting dilakukan. Karena sangat banyak, simbol binatang dapat dikaji berdasarkan jenis-jenisnya yang lebih spesifik.

Salah satu jenis binatang yang sering dijadikan simbol dalam karya sastra prosa di Indonesia yaitu kupu-kupu. Pada khazanah novel Indonesia penggunaan simbol kupu- kupu dapat ditemukan pada novel “Kupu-Kupu Fort de Kock” (2013) karya Maya Lestari Gf. Adapun cerpen-cerpen Indonesia yang menggunakan simbol kupu-kupu yaitu “Kupu-Kupu Bersayap Gelap” dalam kumcer “Kupu-Kupu Bersayap Gelap”

(2006) karya Puthut EA, “Cinta Sepasang Kupu-Kupu” dalam kumcer “Sayap Anjing”

(2003) dan “Lorong Kupu-Kupu” dalam kumcer “Malam Sepasang Lampion” (2004) karya Triyanto Triwikromo, “Seto Menjadi Kupu-Kupu” dalam kumcer “Bidadari yang Mengembara” (2004) dan “Efek Sayap Kupu-Kupu” dalam kumcer “Murjangkung”

(2013) karya A.S. Laksana, “Kupu-Kupu Bermata Ibu” dalam kumcer “Perempuan Pala” (2004) karya Azhari Aiyub, dan banyak lainnya.

Dari sekian banyak karya sastra prosa Indonesia yang menggunakan simbol kupu- kupu dalam ceritanya, artikel ini berfokus pada kajian terhadap simbol kupu-kupu dalam cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu” karya A.S. Laksana. Cerpen ini berkisah tentang seorang pemuda bernama Seto yang menanggung kegalauan hebat akibat mengalami cinta sepihak dan akhirnya berubah menjadi seekor kupu-kupu. Cerpen ini jelas merupakan cerita fantastik. Masalahnya, mengapa Seto akhirnya berubah menjadi kupu- kupu. Pemahaman mengenai simbol kupu-kupu dalam konteks cerpen ini merupakan kunci untuk memahami cerita secara lebih utuh. Tanpa itu, perubahan Seto menjadi kupu-kupu pada akhir cerita hanya akan terhenti sebagai peristiwa yang fantastik dan menyisakan kebingungan yang tanpa makna.

Untuk menjelaskan makna simbol kupu-kupu dalam cerpen ini, teori semiotika Charles Sanders Peirce digunakan sebagai pisau analisis. Peirce merupakan peletak dasar-dasar semiotika, dan berbagi peran dengan Ferdinand de Saussure, meski tidak

(5)

Riki Fernando

berkolaborasi secara langsung. Peirce (1955) menyatakan bahwa manusia hanya berpikir menggunakan tanda-tanda (hlm. 115). Artinya, tanda-tanda memiliki peran sangat penting bagi manusia untuk memahami dunia di sekitarnya. Peirce (1955) pun pada dasarnya memahami bahwa semiotika hanyalah nama lain dari logika (hlm. 98).

LANDASAN TEORI

Bagi Peirce (1955) tanda merupakan sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas (hlm. 99). Sesuatu yang mewakili itu disebut representamen, sementara sesuatu yang diwakili representamen disebut objek. Ketika representamen mewakili objek, dalam pikiran seseorang tercipta tanda yang setara, atau bisa pula tanda yang lebih berkembang. Tanda yang tercipta dalam pikiran seseorang ini merupakan ide yang disebut interpretan.

Sumbangan penting Peirce dalam semiotika yaitu pembagian jenis-jenis tanda berdasarkan hubungan antara representamen dan objek–atau antara penanda dan petanda dalam istilah Ferdinand de Saussure. Menurut Peirce (1955), berdasarkan hubungan itu tanda dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu ikon, indeks, dan simbol (hlm. 102).

Ikon

Ikon merupakan tanda yang hubungan antara representamen dan objeknya bersifat alamiah berdasarkan kemiripan (Peirce, 1955, hlm. 102). Bagi Peirce (1955) ikon ini dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu ikon gambar, ikon diagram, dan ikon metafora (hlm.

105). Ikon gambar merupakan representamen yang mengambil kualitas sederhana dari objek. Contohnya, foto Ka’bah merupakan representamen bagi Ka’bah dalam realitas.

Ikon diagram merupakan representamen yang mewakili relasi dari bagian-bagian objek melalui relasi-relasi analogi. Adapun ikon metafora yaitu representamen yang mengacu kepada objek berdasarkan kemiripan ciri-ciri di antara kedua tanda. Contohnya, metafora “mulut gua” dibentuk berdasarkan kemiripan ciri tempat masuk gua dengan ciri mulut manusia.

Indeks

Indeks merupakan tanda yang hubungan antara representamen dan objeknya bersifat alamiah berdasarkan hubungan eksistensial atau kausalitas (Peirce, 1955, hlm.

(6)

Riki Fernando

108). Artinya, suatu tanda dipahami sebagai akibat dari adanya tanda lain yang berasosiasi dengannya. Misalnya, asap merupakan tanda bagi adanya api.

Dalam penelitian sastra, Pradopo (2015b) menegaskan bahwa tanda-tanda berjenis indeks merupakan tanda-tanda yang paling penting dalam proses pemaknaan karya sastra dengan pendekatan semiotika (hlm. 91). Dengan memperhatikan hubungan sebab- akibat antara suatu tanda dan tanda(-tanda) lain yang berasosiasi dengannya pemahaman mengenai karya sastra dapat diperoleh secara lebih utuh melalui konstruksi makna yang lebih kaya. Contoh sederhananya pada unsur tokoh dan penokohan yaitu tanda salib di kalung seorang tokoh merupakan indeks bahwa ia seorang nasrani. Begitu juga pada unsur latar tempat. Tanda yang menunjukkan keberadaan tokoh di Masjidil Haram merupakan indeks bahwa si tokoh merupakan seorang muslim (yang religius).

Simbol

Simbol merupakan tanda yang hubungan antara representamen dan objeknya bersifat arbitrer berdasarkan konvensi (Peirce, 1955, hlm. 112). Pada titik ini, konsep simbol Peirce menunjukkan kesamaan dengan konsep tanda bahasa Ferdinand de Saussure. Dengan kata lain, umumnya bahasa merupakan tanda yang simbolis.

Berdasarkan pengertian ini dapat dipahami pula bahwa sebenarnya simbol bisa berasal dari ikon atau indeks. Misalnya, bau kemenyan merupakan indeks bagi kemenyan, sementara di sisi lain ia merupakan simbol bagi kehadiran hantu.

Penting ditegaskan di sini bahwa simbol berkaitan dengan konsep sosial dan budaya (Hoed, 2014, hlm. 11). Artinya, pemahaman mengenai suatu simbol sangat bergantung pada konteks kebudayaan komunitas pemakainya. Pada contoh bau kemenyan, ia hanya bisa menjadi simbol bagi kehadiran hantu di komunitas tertentu saja, misalnya masyarakat Indonesia. Sementara di komunitas lain, misalnya masyarakat Kuba, kemenyan bukanlah simbol kehadiran hantu.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Sumber data primer penelitian ini yaitu teks cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu” yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen “Bidadari yang Mengembara” karya A.S. Laksana (2014).

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik baca dan catat. Pada tahap analisis data, teks dibaca seraya dimaknai secara abstraktif sehubungan dengan tujuan

(7)

Riki Fernando

untuk menjelaskan simbol kupu-kupu dalam teks. Pada tahap ini kajian pustaka juga dilakukan untuk menunjang analisis data. Tulisan-tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini merupakan sumber data sekunder. Karena perannya sangat penting, referensi yang banyak sangat berguna untuk menjelaskan permasalahan yang diteliti serta merumuskan jawaban yang tepat selama proses penelitian (Santana, 2010, hlm. 10–

11).

PEMBAHASAN

Tanda-Tanda Penting dalam Cerita

Dalam sastra, simbol berhubungan dengan kemunculan yang konsisten (Wellek &

Warren, 2016, hlm. 220). Pada cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu”, simbol kupu-kupu tidak muncul berkali-kali dalam cerita. Meski demikian, secara tersirat (dan tersurat) ada kemunculan lain yang konsisten di dalam teks, dan secara prinsip berkaitan erat dengan simbol kupu-kupu. Kemunculan yang konsisten tersebut yaitu tanda-tanda yang berhubungan dengan (kebudayaan) Cina.

Setidaknya ada tiga tanda yang perlu menjadi perhatian guna memahami simbol kupu-kupu yang hadir di akhir cerita. Ketiga tanda tersebut yaitu fengsui, martabak, dan juragan Cina. Semuanya berkaitan dengan Cina. Inilah kunci pemaknaan simbol kupu- kupu untuk memahami cerpen ini secara lebih utuh.

Meski tak disebutkan secara eksplisit dalam teks, tanda yang merujuk kepada fengsui dapat dilihat pada sikap Seto yang penuh pertimbangan dalam menata isi kamarnya sesuai dengan pengetahuan tentang tata letak terbaik benda-benda. Misalnya, ia menempatkan “bunga mawar di sudut yang hanya boleh untuk bunga mawar”. Selain itu, ia juga mengamini kepercayaan tentang arah-arah terbaik dalam beraktivitas, misalnya makan “menghadap ke selatan”, tidur “membujur ke timur”, dan belajar

“menghadap ke timur laut” (Laksana, 2014, hlm. 78). Semua itu dilakukan Seto karena ia percaya bahwa itu akan senantiasa mendatangkan kebahagiaan dalam hidupnya, serta

“demi rasa kasihnya yang ruwet kepada anak penjual martabak”. Prinsip-prinsip tersebut merupakan anjuran dari “kitab langit dan bumi”, dan secara asosiatif merujuk kepada fengsui yang secara etimologi berasal dari gabungan kata feng yang berarti ‘angin’ dan shui yang berarti ‘air’ (Bruun & Feuchtwang, 2011, hlm. xiii). Secara paralel, ‘langit’

dapat dipandang sebagai tanda yang setara dengan ‘angin’ dan ‘bumi’ setara dengan

(8)

Riki Fernando

‘air’. Dalam buku Fengshui in China Bruun & Feuchtwang (2011) menjelaskan esensi fengsui sebagai berikut.

… the essence of fengshui is that configurations of land forms and bodies of water are seen to direct the flow of the universal qi, or ‘cosmic current’, which with the help of a specialist can be brought to optimum advantage for a person’s wealth, happiness, longevity and procreation; similarly, a malicious flow of qi may bring disaster. The flow of qi is influenced by all natural bodies and human constructions, which may either repulse, redirect or catch the qi. (hlm. 3)

Tanda berikutnya yang penting diperhatikan dalam cerpen ini yaitu martabak.

Dalam cerita, Seto disebutkan jatuh cinta pada anak penjual martabak. Gadis itulah yang membuatnya mengalami perubahan hidup secara ekstrem, baik secara psike maupun kemudian secara fisik. Gadis itu di mata Seto begitu jelita, sampai-sampai wajahnya seolah-olah bercahaya dan menjadi matahari bagi hidup Seto. Meski ada beberapa jenis martabak yang eksis di jagat kuliner Indonesia, salah satunya yang terkenal luas yaitu martabak manis. Di Indonesia, martabak manis juga akrab dengan sebutan martabak bangka. Penamaan ini berkaitan dengan asal usul makanan tersebut di Indonesia, yaitu dari Bangka. Meski di Indonesia martabak manis diketahui berasal dari Bangka, secara historis ia sebenarnya merupakan kuliner yang lahir dari tangan orang Cina, terutama etnis Hakka di Bangka. Bagi orang Hakka selaku pembuat awal martabak manis di Indonesia makanan itu dikenal dengan nama hok lok pan. Secara harfiah hok lok pan berarti kue yang dibuat oleh orang Hok Lo, yaitu sebutan untuk orang Hakka di Bangka (Setyanti, 2017).

Tanda selanjutnya yang penting diperhatikan yaitu juragan Cina. Tanda ini secara gamblang menyebutkan Cina sebagai tanda kunci untuk memahami simbol kupu-kupu dalam cerpen ini. Dalam cerita, si juragan Cina disebutkan sebagai suami gadis pujaan hati Seto bertahun-tahun kemudian. Artinya, si gadis akhirnya menjadi milik orang Cina.

Orang Cinalah yang mendapatkan nasib dan posisi yang sangat diidam-idamkan oleh Seto dalam hidupnya.

Keterangan ini bisa menjadi indeks yang berhubungan dengan tafsir mengenai identitas gadis pujaan hati Seto. Sepanjang cerita, tidak ada penjelasan mengenai identitas gadis pujaan hati Seto yang dapat dibaca secara eksplisit, seperti nama atau ciri-ciri fisiknya secara spesifik. Apa yang bisa dibaca hanyalah penjelasan bahwa ia

(9)

Riki Fernando

seorang anak penjual martabak dan memiliki paras yang sangat cantik. Pengertian cantik dalam teks pun diungkapkan secara metaforis, yaitu dengan mengatakan bahwa wajah si gadis “bercahaya”. Cahaya itu menimbulkan daya tarik bagi hati Seto yang ditamsilkan seolah-olah mengandung laron-laron di dalamnya. Selain itu, keterangan mengenai identitas si gadis hanyalah tentang statusnya sebagai istri seorang juragan Cina bertahun- tahun kemudian, setelah Seto menjadi kupu-kupu.

Kau tahu, sesungguhnya anak penjual martabak itu melangkah biasa-biasa saja sebagaimana anak tukang patri atau anak tukang sol sepatu melangkah.

Aku melihatnya bertahun-tahun kemudian ketika ia sudah memiliki lima orang anak dari perkawinannya dengan juragan Cina pemilik toko sepatu tempat ia bekerja. (Laksana, 2014, hlm. 79)

Etnis Cina dikenal sebagai masyarakat yang cenderung mendukung pernikahan antarsesama etnis Cina di Indonesia (Tracy, 2020). Umumnya etnis mana pun di Indonesia juga punya kencenderungan yang relatif sama sebenarnya. Namun, sejumlah perlakuan diskriminatif dari masyarakat pribumi terhadap etnis Cina dalam sejarah Indonesia membuat kecenderungan etnis Cina untuk mendukung pernikahan antarsesama etnis Cina menjadi semakin beralasan. Meski ada sejumlah pernikahan antara orang (keturunan) Cina dan orang-orang dari etnis lain di Indonesia, pernikahan antarsesama etnis Cina tetap menjadi prioritas, sehingga hal demikian lebih banyak terjadi di kalangan etnis Cina.

Dalam kaitannya dengan cerpen ini, pernikahan antara gadis pujaan Seto dan si juragan Cina bisa menjadi indeks bagi identitas si gadis sebagai orang Cina pula. Hal ini bisa diperkuat oleh keterangan bahwa orang tua si gadis bekerja sebagai penjual martabak yang merupakan kue yang banyak dijual oleh orang (keturunan) Cina. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa kisah dalam cerpen ini merupakan kisah cinta (sepihak) antara Seto dan seorang gadis (keturunan) Cina.

Berdasarkan analisis terhadap tanda-tanda penting (fengsui, martabak, dan juragan Cina) yang muncul dalam teks, dapat dilihat bahwa cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu”

memiliki keterkaitan tanda yang kuat dengan kebudayaan Cina. Sebagai tanda, fengsui merupakan pandangan hidup asal Cina; martabak (manis) merupakan makanan yang berasal dari orang Cina; dan (menjadi) juragan (baca: berdagang) merupakan mata pencaharian umum orang Cina. Kebudayaan Cina merupakan benang merah bagi ketiga

(10)

Riki Fernando

tanda penting tersebut. Karena menjadi tanda kunci, simbol kupu-kupu dalam cerpen ini perlu dipahami menggunakan kacamata kebudayaan Cina.

Sekilas Jejak Simbol Kupu-Kupu dalam Khazanah Literatur Cina

Kupu-kupu dalam sejarah kebudayaan Cina memiliki peran yang istimewa. Dalam banyak karya seni dan budaya, kupu-kupu sering digunakan sebagai simbol yang penuh makna. Salah satu karya fenomenal yang menggunakan simbol kupu-kupu dalam sejarah kebudayaan Cina yaitu kisah Mimpi Kupu-Kupu karya Chuang Tzu, filsuf agung Cina yang punya peran besar dalam perkembangan Taoisme. Kisah ini dapat disebut sebagai karya yang sangat penting karena ia kadang dianggap sebagai representasi atas semua filsafat Taoisme, bahkan semua filsafat Cina di Barat (Budriūnaitė, 2014). Berikut kutipannya dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Kuang-Ming Wu.

In what were earlier times, Chuang Chou dreamed, making a butterfly. So flitted, flitted, he was a butterfly. Indeed, he showed what he himself was, going as he pleasantly intended! He did not understand Chou. So suddenly, he awoke. Then so thoroughly, thoroughly, it was Chou. (But then he did) not undestand did the dream of Chou make the butterfly? Did the dream of the butterfly make Chou? Chou with the butterfly there must-be, then, a division. This it is which men call ‘things changing’.

Versi terjemahan dalam bahasa Inggris kisah Mimpi Kupu-Kupu ini jumlahnya cukup banyak, dan hal itu memunculkan pula beragam interpretasi yang tak jarang menimbulkan pertentangan antara satu dan lainnya. Terjemahan Kuang-Ming Wu di atas dikutip pada pembahasan ini karena Christine Abigail L. Tan dalam artikelnya yang berjudul The Butterfly Dream and Zhuangzi’s Perspectivism: An Exploration of the Differing Interpretations of the Butterfly Dream against the Backdrop of Dao as Pluralistic Monism menilainya sebagai terjemahan yang paling akurat terhadap teks aslinya dalam bahasa Cina kuno. Meski ada beragam versi terjemahan, dengan beragam interpretasi pula yang menyertainya, pada intinya alur kisah tersebut tetap sama: Chuang Chou bermimpi menjadi kupu-kupu, lalu terjaga, dan muncul pertanyaan, apakah Chou tadi bermimpi menjadi kupu-kupu, atau kupu-kupu kini sedang bermimpi menjadi Chou.

Dalam analisis Tan terhadap beragam interpretasi mengenai kisah Mimpi Kupu- Kupu karya Chuang Tzu, ada sebuah penjelasan menarik mengenai kenapa kupu-kupu yang digunakan sebagai tokoh (selain Chuang Chou) dalam karya filsafat yang terkenal

(11)

Riki Fernando

tersebut. Berdasarkan analisis Zhihua Yao yang menggunakan teori ketidaksadaran kolektif Jung dalam menginterpretasi kisah Mimpi Kupu-Kupu dalam artikelnya yang berjudul ‘I Have Lost Me’: Zhuangzi’s Butterfly Dream, dapat dipahami bahwa simbol kupu-kupu merupakan pandangan yang terbentuk secara budaya, sebagaimana mitologi dan legenda, dan menjadi ketidaksadaran kolektif dalam kehidupan masyarakat Cina sejak lama (Tan, 2016).

Selain kisah Mimpi Kupu-Kupu yang menjadi bagian sangat penting dalam filsafat Cina, perlu juga dibahas pada pembahasan ini cerita rakyat yang sangat terkenal dari Cina, yaitu kisah cinta Liang-Zhu, atau pada abad kedua puluh terkenal sebagai kisah Butterfly Lovers. Dianggap sebagai salah satu dari empat legenda besar asal Cina, Liang- Zhu kadang juga dijuluki sebagai Romeo-Juliet asal Cina (Cho, 2018, hlm. 2).

Sinopsisnya begini: Zhu Yingtai adalah seorang gadis yang menyamar menjadi laki-laki supaya bisa melanjutkan sekolah di akademi. Di akademi ia jatuh cinta pada seorang murid bernama Liang Shanbo. Ketika akhirnya tahu bahwa Zhu adalah perempuan, Liang juga jatuh cinta kepada Zhu. Namun, kebersamaan Liang dan Zhu tak bisa berlanjut lebih lama sebab Zhu ternyata sudah dijodohkan orang tuanya dengan pemuda lain. Zhu yang tak menerima perjodohan itu kemudian bunuh diri di kuburan Liang yang telah lebih dulu mati karena jatuh sakit. Setelah kematian itu, Liang dan Zhu bertransformasi menjadi sepasang kupu-kupu yang terbang bebas di langit tinggi, melewati jembatan pelangi, menuju taman bunga di alam surga (Cho, 2018, hlm. 2;

Yang, 2013, hlm. 6–67).

Kisah Liang-Zhu ini memiliki sejarah yang sangat panjang dan tersebar luas sejak lama di daerah sekitar Cina, termasuk daerah-daerah di Asia Tenggara. Bahkan, di Korea kisah Liang-Zhu punya pengaruh yang sangat besar dan sudah menjadi bagian penting bagi kebudayaannya sendiri (Cho, 2018, hlm. 3–4). Di Indonesia Liang-Zhu lebih dikenal dengan nama Sam Pek-Eng Tay. Setidaknya kisah ini sudah dikenal publik Nusantara sejak 1885 melalui buku Tjerita Dahoeloe Kala di Negeri Tjina Terpoengoet dari Boekoe mendjadikan Tjina San Pik Ing Taij. Pada tahun 1931 kisah Sam Pek-Eng Tay dialihwahanakan menjadi film oleh The Teng Chun dan tayang di bioskop dengan sambutan hangat dari masyarakat lokal. Dari waktu ke waktu kisah Sam Pek-Eng Tay semakin akrab dengan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adaptasi kisah tersebut menjadi pertunjukan teater rakyat di banyak daerah di Indonesia, terutama

(12)

Riki Fernando

Jakarta, Jawa, Madura, dan Bali (Arcana & Sartono, 2013). Bahkan, pada 2004 kelompok teater ternama tanah air, Teater Koma mendapat penghargaan MURI untuk pementasan drama Sam Pek-Eng Tay (naskah gubahan N. Riantiarno) yang kedelapan puluhnya sejak pertama kali ditampilkan pada 1988 (Anonim, 2013b).

Jika di Korea kisah Liang-Zhu sudah lama diadaptasi menjadi sastra rakyat setempat dan memiliki pengaruh yang besar, di Jepang elemen-elemen dalam kisah Liang-Zhu, terutama gagasan tentang kupu-kupu sebagai jelmaan jiwa manusia, banyak ditemukan dalam khazanah sastra Jepang. Misalnya, kisah-kisah dalam buku Kwaidan yang ditulis oleh Lafcadio Hearn. Pada bagian studi tentang kupu-kupu, Hearn (2020) memiliki hipotesis sebagai berikut.

Sebagian besar literatur Jepang tentang kupu-kupu, kecuali beberapa puisi, tampaknya berasal dari Cina; dan bahkan kesan estetik nasional kuno akan kupu-kupu, yang telah menjelma dalam seni, lagu-lagu, dan kebiasaan Jepang, kelihatannya berawal dari ajaran Cina …. Mungkin juga beberapa kepercayaan aneh Jepang tentang kupu-kupu berasal dari Cina; tetapi kepercayaan itu juga mungkin jauh lebih tua daripada negara Cina itu sendiri. (hlm. 119–120)

Salah satu cerita mistis (dan fantastik) kupu-kupu yang disampaikan Hearn dalam Kwaidan yaitu kisah kesetiaan cinta Takahama dengan kekasihnya, Akiko. Semasa muda, mereka berdua saling jatuh cinta dan bertunangan. Sayang, tak lama menjelang hari pernikahan mereka Akiko meninggal karena sakit paru-paru. Takahama yang berduka parah lalu bersumpah tidak akan pernah menikah selamanya. Ia kemudian juga memilih tinggal tak jauh dari permakaman Akiko dan berziarah setiap hari, hingga sekitar lima puluh tahun lamanya. Pada hari kematian Takahama, Akiko datang mengunjunginya dalam wujud kupu-kupu putih. Kehadiran Akiko dalam wujud kupu- kupu membuat Takahama bahagia, lalu meninggal dalam keadaan tersenyum damai (Hearn, 2020, hlm. 136–139).

Seorang penyair besar Jepang dari abad kedelapan belas, Kobayashi Issa, ketika bercerai dari istrinya juga pernah menulis haiku tentang kupu-kupu sebagai jiwa manusia yang telah meninggal. Berikut petikannya (Hearn, 2020, hlm. 129).

Mutsumashi ya! – Umare-kawaraba Nobe no cho.

(13)

Riki Fernando

Terjemahan haiku di atas kurang lebih begini: Bila (di kehidupan yang akan datang) kita terlahir sebagai kupu-kupu di tanah lapang, lalu mungkin kita akan bahagia bersama!

Makna Simbol Kupu-Kupu dalam Kebudayaan Cina

Kupu-kupu dalam fengsui berkaitan dengan soal percintaan romantis, kesetiaan, dan keabadian. Pada masyarakat Cina, orang-orang suka menghias rumah mereka dengan lukisan bergambar kupu-kupu. Bagi mereka yang sudah menikah, lukisan tersebut dipercaya dapat membuat pernikahan penghuni rumah menjadi langgeng.

Sementara itu, bagi mereka yang belum menikah, lukisan kupu-kupu di dalam rumah dipercaya dapat membuat penghuni rumah segera mendapatkan pasangan hidup (Anonim, 2013a).

Makna kesetiaan atau kelanggengan cinta yang terkandung dalam simbol kupu- kupu pada prinsipnya bukanlah tanpa alasan. Dalam sebuah haiku lama kupu-kupu dijadikan ikon metafora bagi sikap yang cinta damai (Hearn, 2020, hlm. 128).

Cho tobu ya – Kono yo no urami Naki yo ni!

Terjemahan haiku di atas kurang lebih begini: Senda gurau kupu-kupu, seperti tak ada rasa permusuhan di dunia ini! Selain perumpamaan tersebut, makna kesetiaan dalam simbol kupu-kupu juga didukung oleh sifat kupu-kupu yang “selalu terbang berpasangan melewati taman-taman indah–naik dan turun, tapi tak pernah terpisah jauh” (Hearn, 2020, hlm. 122).

Dalam buku A Dictionary of Chinese Symbols, Eberhard (1986) menulis penjelasan mengenai simbol kupu-kupu dalam kehidupan orang Cina sebagai berikut.

For no better reason than phonetic similarity, the butterfly may symbolise a man in his seventies (dies); more frequently and more reasonably, however, it is also the emblem of a lover sipping nectar from the calyx of a flower (a female symbol) …. Butterflies and plum-blossom together in a picture symbolise long life and immaculate beauty. (hlm. 58)

(14)

Riki Fernando

Selain mengandung makna asmara antara laki-laki dan perempuan, kupu-kupu memang sering juga dikaitkan dengan makna usia muda. Dalam sebuah haiku lama disebutkan ungkapan sebagai berikut.

Cho wa mina Jiu-shichi-hachi no Sugata kana

Terjemahan haiku di atas kurang lebih begini: Seperti kupu-kupu, mereka semua memiliki penampilan seperti berusia tujuh belas atau delapan belas tahun. Di sini kupu- kupu dipandang memiliki kemiripan sifat dengan penampilan anak muda. Hearn (2020) yang mengutip haiku tersebut dalam Kwaidan menjelaskan bahwa hubungan kupu-kupu dengan usia muda ialah “gerakan mereka yang anggun mengingatkan akan keanggunan gadis-gadis muda, dengan kostum yang cantik, dalam balutan jubah dengan lengan panjang yang mengayun-ayun …” (hlm. 128). Jika dikaitkan makna ini (usia muda) dengan makna sebelumnya (asmara antara laki-laki dan perempuan), maka dapat dijelaskan bahwa makna asmara yang disimbolkan oleh kupu-kupu secara lebih spesifik yaitu asmara di usia muda; asmara pada masa yang penuh gairah dalam perjalanan hidup manusia.

Makna cinta masa muda pada simbol kupu-kupu sebenarnya tampil sangat dominan dalam kisah Liang-Zhu. Dalam beberapa versi cerita disebutkan bahwa Liang Shanbo berusia tujuh belas tahun sementara Zhu Yingtai enam belas tahun. Dalam beberapa versi lain keduanya disebutkan berusia sama-sama tujuh belas tahun (Cho, 2018, hlm. 219). Bagaimanapun semua versi sama-sama menunjukkan bahwa mereka masih berusia sangat muda. Hal ini juga ditegaskan oleh jalan cerita bahwa mereka awalnya berkenalan dan kemudian saling jatuh cinta ketika sama-sama menjadi pelajar di akademi.

Secara keseluruhan, kisah Liang-Zhu memang sangat ideal mencerminkan makna simbol kupu-kupu dalam kebudayaan Cina. Selain cinta masa muda yang penuh gairah, kisah Liang-Zhu juga mengandung aspek kesetiaan dan keabadian cinta yang terwujud dalam sikap Zhu Yingtai ketika menolak menikah dengan pemuda lain dan memilih bunuh diri dengan cara masuk ke kuburan Liang Shanbo supaya mereka kembali bersatu dan bisa bersama untuk selamanya. Pada dasarnya ketiga aspek tersebut merujuk kepada kriteria cinta ideal. Hanya saja, cinta ideal itu tidak mereka peroleh sepenuhnya dalam

(15)

Riki Fernando

kehidupan sebagai manusia. Cinta ideal itu baru mereka peroleh utuh setelah mereka mengalami kematian dan reinkarnasi menjadi sepasang kupu-kupu. Cinta ideal itu mereka dapatkan setelah mereka mengalami kemalangan asmara sebagai sepasang manusia pada kehidupan sebelumnya. Kemalangan asmara di sini lebih spesifik dapat merujuk pada perpisahan yang sangat emosional, atau ketidakbisabersamaan yang membuat cinta ideal tak tercapai.

Jika kembali ke kisah cinta Takahama dan haiku Kobayashi Issa tentang kupu- kupu sebelumnya, motif kemalangan cinta ini juga muncul sebagai tahap krusial sebelum masing-masing pasangan mencapai tahapan cinta ideal. Dalam kisah Takahama, sepasang kekasih tak berbahagia karena mereka tak sempat hidup bersama dalam ikatan pernikahan, meski mereka sudah saling mencintai begitu dalam dan bahkan bertunangan. Sementara itu, dalam haiku Kobayashi Issa sepasang kekasih tak berbahagia karena mereka harus mengalami perpisahan, meski mereka sudah menjalin ikatan pernikahan dalam cinta masa muda yang penuh gairah. Dalam kedua kisah tersebut, sebagaimana Liang-Zhu, masing-masing pasangan sama-sama gagal mencapai cinta ideal, dan simbol kupu-kupu kemudian dijadikan sebagai penebus kegagalan cinta ideal tersebut. Transformasi dari cinta yang gagal ke cinta yang ideal ini selaras dengan proses metamorfosis kupu-kupu: berawal sebagai ulat yang buruk rupa dan kepompong yang terkekang, lalu berubah menjadi kupu-kupu yang cantik dan terbang bebas di antara bunga-bunga. Jadi, jika diperhatikan secara saksama, makna-makna yang disimbolkan oleh kupu-kupu pada akhirnya bertemu pada satu titik temu yang tegas, yaitu idealisasi cinta asmara.

Makna Simbol Kupu-Kupu dalam Cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu”

Setelah dilakukan analisis terhadap sejumlah tanda penting dalam teks menggunakan pendekatan semiotika, dapat dipahami bahwa simbol kupu-kupu dalam cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu” karya A.S. Laksana memiliki kaitan makna yang erat dengan kebudayaan Cina. Berdasarkan tinjauan terhadap teks-teks yang mengandung simbol kupu-kupu dalam khazanah kebudayaan Cina, dapat dilihat kesamaan motif antara cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu” dan kisah Liang-Zhu yang merupakan salah satu legenda terkenal asal Cina. Pada kedua kisah tersebut masing- masing tokoh utama sama-sama berubah menjadi kupu-kupu setelah meninggal di akhir

(16)

Riki Fernando

adalah sepasang kekasih, pada cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu” transformasi menjadi kupu-kupu hanya dialami oleh satu tokoh saja. Meski demikian, pada dasarnya makna simbol kupu-kupu pada kisah Liang-Zhu tetap bisa dirujuk untuk memahami simbol kupu-kupu pada cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu”.

Pada kisah Liang-Zhu, simbol kupu-kupu mengandung makna idealisasi cinta.

Ketika masih sebagai manusia, Liang-Zhu tak bisa mewujudkan cinta mereka sebagaimana yang mereka angankan karena Zhu dipaksa menikah dengan pemuda lain.

Setelah mereka kemudian meninggal, dalam reinkarnasi sebagai kupu-kupu barulah keduanya bisa mendapatkan cinta yang ideal, yaitu cinta dalam kebersamaan yang abadi dan penuh gairah masa muda. Jadi, mereka merayakan cinta dalam simbol kupu-kupu setelah sebagai manusia menanggung kemalangan cinta yang penuh duka.

Motif kemalangan cinta pada kisah Liang-Zhu dapat ditemukan juga pada cerpen

“Seto Menjadi Kupu-Kupu”. Seto yang jatuh cinta setengah mati pada si gadis anak penjual martabak, setelah melakukan usaha panjang yang sangat gigih tetap tak bisa mendapatkan cinta yang ia inginkan. Malah kemudian si gadis pindah rumah ke tempat yang jauh entah di mana, membuat Seto menunggu dalam ketidakpastian cinta, lalu akhirnya jatuh sakit. Karena dalam cerita tak dikisahkan bahwa si gadis juga jatuh cinta pada Seto, dapat disimpulkan bahwa cinta Seto hanyalah cinta yang sepihak. Artinya, kemalangan cinta yang terjadi hanya ditanggung oleh Seto seorang. Karena kemalangan cinta yang terjadi tak dialami oleh sepasang kekasih, idealisasi cinta yang ditampilkan pada kisah Seto pun juga sedikit berbeda dari akhir kisah Liang-Zhu. Seto menjadi kupu-kupu sendirian, sementara cintanya, yaitu si gadis anak penjual martabak disimbolkan dengan bunga mawar yang sering/biasa dicium oleh Seto ketika ia masih hidup sebagai manusia. Begitulah, di akhir kisah ibu Seto hanya menemukan seekor kupu-kupu di kamar anaknya itu.

Esok paginya tak ada lagi Seto. Ibunya hanya menemukan seekor kupu-kupu menciumi kelopak mawar di kamar pemuda itu. Orang-orang di kampung Merbabu percaya bahwa kupu-kupu itu berasal dari Seto, namun guru SD-ku tidak percaya. Ia membentakku ketika kujawab pertanyaannya bahwa kupu- kupu berasal dari Seto. (Laksana, 2014, hlm. 89)

Dalam kebudayaan Cina kupu-kupu dan bunga yang mekar merupakan simbol cinta asmara bagi pasangan muda. Lebih spesifik dijelaskan bahwa kupu-kupu adalah

(17)

Riki Fernando

simbol bagi laki-laki yang mencari cinta sementara bunga adalah simbol bagi perempuan. Selain itu, simbol kupu-kupu yang hadir bersamaan dengan bunga mekar dalam kebudayaan Cina juga bermakna keindahan yang tanpa noda (Eberhard, 1986, hlm. 58). Pada kisah ini kupu-kupu yang menciumi kelopak mawar menunjukkan dan menegaskan cinta suci Seto pada si gadis anak penjual martabak, sekalipun mereka tak pernah menjalani kebersamaan dalam jalinan cinta sebelumnya.

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa makna simbol kupu-kupu dalam cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu” berkaitan dengan konteks kebudayaan masyarakat Cina. Dalam kebudayaan Cina, simbol kupu-kupu mengandung makna ketulusan, kesucian, kesetiaan, keabadian, cinta romantis, dan gairah masa muda. Semua itu pada prinsipnya mengacu pada konsep cinta ideal, atau hubungan yang didamba- dambakan ketika seseorang jatuh cinta.

Meski pada dasarnya mengandung makna-makna yang positif, simbol kupu-kupu pada sejumlah literatur yang berkaitan dengan kebudayaan Cina berkaitan pula dengan reinkarnasi dan pengalaman buruk dalam hubungan cinta, terutama perpisahan dan kasih yang tidak sampai. Pada titik ini makna cinta ideal yang dikandung oleh simbol kupu- kupu dapat dipandang sebagai idealisasi cinta yang gagal menjadi ideal di kehidupan sebelumnya. Jadi, kupu-kupu menjadi simbol bagi cinta ideal pada kehidupan yang baru.

Dalam kaitannya dengan cerpen “Seto Menjadi Kupu-Kupu” simbol kupu-kupu menunjukkan bahwa cinta Seto terhadap gadis pujaan hatinya merupakan cinta yang tulus, suci, setia, dan abadi. Cinta itu ia rawat hingga akhir hayatnya, dan terus dibawanya ke kehidupan yang baru setelah kematian. Karena cinta Seto merupakan cinta yang sepihak, simbol kupu-kupu merupakan idealisasi bagi kasih tak berbalas tersebut.

Jadi, kupu-kupu yang menciumi mawar merupakan simbol bagi cinta suci Seto yang abadi terhadap gadis pujaan hatinya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2013a). Ahli Feng Shui: Ini 7 Hiasan Hewan yang Membawa Keberuntungan.

Wolipop.Detik.Com. https://wolipop.detik.com/home/d-2155993/ahli-feng-shui- ini-7-hiasan-hewan-yang-membawa-keberuntungan

Anonim. (2013b). Konferensi Pers Sampek Engtay: Kisah Cinta Tak Biasa yang Dicintai Indonesia. Indonesiakaya.Com. https://www.indonesiakaya.com/liputan-

(18)

Riki Fernando

budaya/detail/konferensi-pers-sampek-engtay--kisah-cinta-tak-biasa-yang-dicintai- indonesia

Arcana, F. P., & Sartono, F. (2013). “Sampek Engtay", dari Teater Koma sampai Basiyo.Kompas.Com.

https://nasional.kompas.com/read/2013/02/09/0904529/.quotsampek.engtayquot.da ri.teater.koma.sampai.basiyo?page=all

Bruun, O., & Feuchtwang, S. (2011). Fengshui in China: Geomantic Divination between State Orthodoxy and Popular Religion. NIAS Press.

Budriūnaitė, A. (2014). The Tension Between Illusion and Reality in Zhuangzi’s ‘Dream of the Butterfly'. Philosophical Analysis of Western Reception. The Polish Journal of Aestetics, 32.

Cho, S. (2018). Transforming Gender and Emotion: The Butterfly Lovers Story in China and Korea. University of Michigan Press.

Eberhard, W. (1986). A Dictionary of Chinese Symbols. Routledge.

Hanandira, H. (2016). Simbol Binatang dalam Cerpen-Cerpen Karya Djenar Maesa Ayu dan A.S. Laksana. Universitas Padjadjaran.

Hearn, L. (2020). Kwaidan: Kisah-Kisah dan Studi tentang Hal-Hal Aneh. Elex Media Komputindo.

Hoed, B. H. (2014). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya (3rd ed.). Komunitas Bambu.

Juliantini, L. (2012). Mastodon dan Burung Kondor Karya W.S. Rendra: Kritik Terhadap Penguasa Orde Baru. Students E-Journals Unpad, 1(1).

journal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/1575

Laksana, A. S. (2014). Bidadari yang Mengembara. Gagas Media.

Peirce, C. S. (1955). Philosophical Writings of Peirce (J. Buchler (ed.)). Courier Corporation.

Pradopo, R. D. (2015). Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik. In Jabrohim (Ed.), Teori Penelitian Sastra (pp. 89–110). Pustaka Pelajar.

Santana, S. (2010). Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif (2nd ed.). Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Saragih, F. A., & Riyadi, D. F. (2019). Analisis Kontrastif Simbol Metafora dan Budaya dalam Takhayul Masyarakat Jepang dan Indonesia. Ayumi, 6(2), 114–133.

Setyanti, C. A. (2017). Asal Martabak Manis, Kue ‘Perang’ Klaim Indonesia-Malaysia.

Cnnindonesia.Com. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20171009084637- 262-247056/asal-martabak-manis-kue-perang-klaim-indonesia-malaysia

Tan, C. A. (2016). The Butterfly Dream and Zhuangzi’s Perspectivism: An Exploration of the Differing Interpretations of the Butterfly Dream against the Backdrop of Dao as Pluralistic Monism. Kritike: An Online Journal of Philosophy, 10(2), 100–121.

https://doi.org/10.25138/10.2.a.8

Tiara, M. (2015). Makna dari Simbol Kunang-Kunang dalam Cerpen-Cerpen Karya Agus Noor: Tinjauan Semiotika. Universitas Pendidikan Indonesia.

Tracy, M. (2020). Kenapa Orang Cina Nikahnya Sama Orang Cina Lagi?

Mariskatracy.Com. http://mariskatracy.com/2015/11/kenapa-orang-cina-nikahnya- sama-orang-cina-lagi/

Wellek, R., & Warren, A. (2016). Teori Kesusastraan. Gramedia.

Yang, C. (2013). Cerita Rakyat dari Negeri China: Folklore Tionghoa. Elex Media Komputindo.

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, bahasan yang secara khusus mengkaji nama berdasarkan pendekatan sosio-onomastika masih sangat terbatas, yang salah satunya adalah Toponimi di Jantung

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kritik sosial yang muncul pada kumpulan puisi Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo dengan menggunakan pendekatan

Laybarge yang digunakan untuk proses instalasi pipa bawah laut dapat berupa kapal biasa atau semisubmersible yang sudah dimodifikasi. Pada laybarge terdapat welding

Peneliti bidang ini dapat memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang teknologi inti seperti ekstraksi foreground frame tunggal dan ganda, metode deteksi objek

Hasil Algoritma Fuzzy C-Means yang menggunakan Complete Linkage sebagai algoritma yang menentukan titik pusat cluster akan menghasilkan nilai fungsi objektif objektif yang berbeda

Institusi zakat menjadi unsur penting dalam kebijakan sosio-ekonomi baik di Indonesia melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) maupun di Brunei

Dari sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Syahrul, Sri Nurhayati, dan Muhammad Juhri (2012) mengenai “Desain Dan Implementasi Sistem Pemantau Cuaca

Pengaruh adanya individu yaitu dengan terbentuknya kelompok-kelompok pergaulan Pengaruh negatif interaksi sosial dalam kelompok teman sebaya (gang) di sekolah