• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra

http://kelasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/kelasa

p-ISSN : 1907-7165 e-ISSN: 2721-4672

FALSAFAH MAMBANGKIK BATANG TARANDAM DALAM KABA SUTAN LEMBAK TUAH: TINJAUAN SOSIOLOGIS

The Philosophy of Mambangkik Batang Tarandam in Kaba Sutan Lembak Tuah:

The Sociological Review

Fitria Dewia, Dini Oktarinab

a,bBalai Bahasa Provinsi Sumatera Barat

Pos-el: dewi_kinari@yahoo.com, oktarina.dini@gmail.com

Abstrak

Mambangkik batang tarandam adalah salah satu peribahasa yang hidup dalam masyarakat Minangkabau. Peribahasa itu bermakna membangkitkan kembali muruah atau kehormatan yang telah lama terpendam atau terabaikan karena suatu keadaan.

Makna peribahasa itu terefleksi dalam Kaba Sutan Lembak Tuah (KSLT). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai filosofis yang terkandung dalam peribahasa mambangkik batang tarandam dalam KLST, faktor-faktor penyebab batang terendam, dan upaya yang dilakukan untuk membangkit batang yang terendam tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk memotivasi generasi muda Minangkabau agar senantiasa bersemangat menggali potensi diri dan tidak mudah berputus asa. Pendekatan sosiologi sastra dengan teori refleksi dan metode analisis isi digunakan untuk menganalisis data.

Penelitian ini menggunakan metode simak dan teknik catat untuk mengumpulkan data.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan nilai filosofis yang terkandung dalam peribahasa mambangkik batang tarandam yakni semangat untuk terus berbuat kebaikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab batang terendam adalah 1) keegoisan, 2) kekuasaan, dan 3) fitnah. Sedangkan upaya yang dilakukan untuk membangkit batang terendam adalah 1) berserah diri pada Allah, 2) menjaga sikap, 3) suka menolong, 4) jujur dan amanah, dan 5) arif bijaksana.

Kata-kata kunci: kaba, peribahasa, masyarakat Minangkabau, sosiologi sastra

Abstract

Mambangkik Batang Tarandam is a proverb that lives in Minangkabau society. This proverb means to revive muruah or honor that has been hidden or neglected for a long time due to a situation. The meaning of the proverb is reflected in Kaba Sutan Lembak Tuah (KSLT). This study aims to describe the philosophical values contained in the proverb mambangkik batang tarandam in KSLT, the factors that cause "submerged stem", and the efforts made to "raise the submerged stem". This research uses observation methods and note taking techniques to collect data. The sociology of

Naskah Diterima Tanggal 23 Oktober 2020 —Direvisi Akhir Tanggal 22 April 2021—Disetujui Tanggal 30 April 2021 doi: https://doi.org/10.26499/kelasa.v6i1.136

(2)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

literature approach with the theory of reflection and content analysis methods were used to analyze the data. Based on the research, it was found that the philosophical value contained in the proverb Mambangkik Batang Tarandam is the spirit to keep doing good things. The results also showed that the factors causing the 'submerged trunk' were 1) selfishness, 2) power, and 3) slander. While the efforts made to raise the submerged stems are 1) surrender to Allah, 2) maintain attitude, 3) like to help, 4) honest and trustworthy, and 5) wise wisdom.

Keywords: kaba, proverbs, Minangkabau society, sociology of literature

PENDAHULUAN

Falsafah adalah cara pandang seseorang atau kelompok masyarakat atau suatu bangsa dalam melihat, memandang, menilai, dan mengevaluasi segala sesuatu yang ada di sekitarnya, dalam usaha mencapai tujuan hidup diperlukan aturan dan norma yang mengatur setiap bidang kehidupan. Untuk menyusun aturan dan norma kehidupan bermasyarakat itu diperlukan cara pandang yang sempurna, yakni tidak terbatas oleh ruang dan waktu dan tidak berubah sepanjang masa. Fatwa adat Minangkabau menyatakan ‘tak lapuak dek hujan tak lakang dek paneh’ (Putiah, 2007:1). Salah satu falsafah yang dipedomani oleh masyarakat Minangkabau adalah falsafah yang terkandung dalam peribahasa mambangkik batang tarandam ‘membangkit batang terendam’.

Peribahasa adalah kalimat atau kelompok perkataan yang biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang tentu (Poerwadaminta dalam Sudaryat, 2009:89). Secara harfiah, kalimat membangkit batang terendam dapat diartikan ‘mengeluarkan pohon yang terendam dalam air’. Secara filosofis, kalimat itu bermakna ‘suatu usaha untuk membangkitkan kembali muruah atau kehormatan yang telah lama terpendam atau terabaikan karena suatu keadaan’.

Masyarakat Minangkabau dan peribahasa ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Peribahasa yang di dalamnya termasuk bidal, ungkapan, perumpamaan, menghimpun segala kaidah dan ketentuan, peraturan, dan hukum yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, sampai saat ini dalam setiap komunikasi hampir selalu terselip peribahasa. Begitu pula dalam upacara adat Minangkabau, para datuk atau penghulu akan berpepatah-petitih, mengungkapkan maksud dan tujuan melalui peribahasa. Induk dari semua peribahasa itu adalah alam takambang jadi guru ‘alam terkembang jadi guru’ yang maknanya ‘menjadikan fenomena alam sebagai petunjuk dan pedoman dengan mengambil pelajaran kebaikan’.

(3)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Sebagaimana dikatakan Idris Hakimi bahwa masyarakat Minangkabau menyusun kalimat-kalimat peribahasa dengan memperhatikan ketentuan dan pembelajaran dari alam. Bahwa segala sesuatu hendaklah menurut kebenaran sesuai fenomena alam, sebagai pedoman hidup bermasyarakat menurut alur dan patut (Penghulu, 1994:119).

Peribahasa mambangkik batang tarandam juga mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi di alam. Hal itu secara simbolis dapat dilihat dari proses pendirian rumah gadang sebagai rumah adat Minangkabau. Bahan utama untuk mendirikan rumah gadang adalah kayu. Kayu tersebut berasal dari batang pohon terbaik yang diambil dari hutan secara bergotong royong. Pohon yang dipilih adalah pohon yang memiliki kualitas kayu terbaik dan ditebang pada waktu terbaik juga.

Proses penebangan pohon tidak dilakukan secara sembarangan karena membutuhkan kesabaran dan perhitungan yang tepat. Penebangan pohon dilakukan pada saat pohon sedang tidak berbunga dan usianya dipastikan sudah benar-benar tua. Setelah pohon ditebang, kayunya terlebih dahulu direndam dengan air mengalir untuk menghilangkan getahnya. Setelah itu, kayu tersebut kembali direndam dengan lunau (air yang bercampur lumpur) di sawah atau di kolam yang airnya mengalir dengan tenang.

Proses perendaman ini bisa berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun. Hal itu dilakukan agar kayu tersebut terbebas dari serangan jamur, bakteri, dan serangga sehingga didapatkan batang kayu yang sempurna. Demikian lamanya proses penyiapan kayu yang akan digunakan untuk membangun rumah gadang. Proses itu tidak hanya membutuhkan waktu yang lama, tetapi juga kesabaran.

Setelah proses perendaman, kayu sudah bisa digunakan dengan mengangkatnya dari tempat perendaman dan siap digunakan. Kayu sudah bisa digunakan untuk tonggak

‘tiang’ rumah gadang maupun untuk dinding dan lantai rumah gadang. Filosofi mengangkat (mambangkik) kayu dari tempat perendaman itu yang menjadi ruh dalam peribahasa mambangkik batang tarandam ‘membangkit batang terendam’. Filosofi tersebut dapat dimaknai sebagai suatu upaya, kerja keras dan semangat untuk mengembalikan kembali muruah, harga diri, dan kejayaan yang pernah ada namun hilang karena suatu keadaan. Gambaran semangat dan usaha mambangkik batang tarandam itu terefleksi dalam kisah yang diceritakan dalam kaba, salah satunya berjudul Kaba Sutan Lembak Tuah (KSLT).

(4)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Awalnya kaba disampaikan dalam bentuk lisan oleh seorang tukang kaba kepada pendengarnya, proses penyampaiannya adalah dengan cara berdendang diiringi dengan musik khas Minang seperti rabab atau saluang. Kaba di samping mengandung kritikan sosial, juga sarat dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan dalam memperjuangkan hak dan martabatnya.

Memahami karakteristiknya, KSLT tergolong kaba modern, karena kaba tersebut bercerita tentang anak muda yang pada mulanya bukan siapa-siapa namun berkat kecakapan dan usahanya berhasil menjadi orang yang terhormat dan berkuasa. KSLT dibukukan oleh Syamsuddin St. Radjo Endah. Kaba ini pertama kali diterbitkan oleh CV Pustaka Indonesia pada tahun 1964 di Bukittinggi. Selanjutnya diterbitkan ulang oleh Penerbit Buku Alam Minangkabau Kristal Multimedia pada tahun 2004 dan cetakan kedua diterbitkan pada tahun 2006.

Kaba ini mengantarkan kisah tentang seorang pemuda bernama Sutan Lembak Tuah yang bertunangan dengan Siti Rabiatun. Tali pertunangan Sutan Lembak Tuah dengan Siti Rabiatun terusik oleh perangai Angku Lareh yang juga menginginkan Siti Rabiatun.

Dengan memanfaatkan kekuasaannya, Angku Lareh memfitnah Sutan Lembak Tuah sebagai seorang pencuri sehingga dibuang menjadi orang rantai ke Pulau Jawa. Namun berkat kecakapan, kesungguhan, dan prestasinya, ia diangkat menjadi Tuanku Damang yang ditugaskan di kampungnya sendiri. Sutan Lembak Tuah akhirnya bisa menikahi tunangannya dan hidup berbahagia sebagai orang terhormat.

Secara umum tulisan ini bermaksud mengkaji nilai filosofis dalam peribahasa mambangkik batang tarandam yang tersirat dalam KSLT. Secara khusus, penelitian ini membahas beberapa masalah, yakni 1) apa saja faktor-faktor penyebab batang terendam

‘jatuhnya kehormatan Sutan Lembak Tuah’; 2) upaya apa yang dilakukan untuk membangkit batang yang terendam ‘upaya mengembalikan kehormatan Sutan Lembak Tuah’ tersebut? Dengan demikian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) mendeskripsikan faktor-faktor penyebab batang terendam ‘jatuhnya kehormatan Sutan Lembak Tuah, dan 2) mendeskripsikan upaya yang dilakukan untuk membangkit batang yang terendam atau upaya mengembalikan kehormatan Sutan Lembak Tuah. Hadirnya sebuah penelitian ilmiah pada hakikatnya tidak terlepas dari penelitian-penelitian lainnya. Penelitian tersebut merupakan pelengkap dari rantai panjang penelitian yang telah ada dan penyambung jalan bagi penelitian selanjutnya. Penelitian ini merujuk pada

(5)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

beberapa penelitian bertema peribahasa dan nilai-nilai sosial dalam kaba yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Penelitian pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh (Zubaidah, 2014). Melalui penelitian itu dikaji upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala konseling dengan menggali nilai-nilai yang dianut klien, salah satunya adalah nilai-nilai pepatah Minangkabau. Tujuan penelitian tersebut adalah mengungkap dan mendeskripsikan nilai-niai pepatah Minangkabau yang dapat diserap sebagai konsep dasar teori konseling dalam memandang karakteristik manusia, karakteristik suatu masalah, prosedur penyelesaian masalah, dan karakteristik pemimpin (konselor).

Penelitian itu menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode hermeneutik. Data berasal dari kumpulan pepatah Minangkabau dan fieldnotes. Langkah-langkah analisis data yaitu pengorganisasian data, eksplorasi dan pengkodean data, mereduksi data (data reduction), pemaparan data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclution drawing).Hasil penelitian menemukan, yaitu: (1) karakteristik manusia berdasarkan nilai pepatah Minangkabau adalah individu yang memiliki kekuatan akal untuk berpikir agar dapat berubah ke arah yang lebih baik dalam pemilihan peran melalui pembiasaan dan peka terhadap perubahan yang ada, serta menyadari kekurangannya, (2) karakteristik masalah berdasarkan nilai pepatah Minangkabau adalah sesuatu yang tidak dapat disembunyikan disebabkan oleh sifat ceroboh, salah paham, tidak waspada, kurang berpengetahuan, irasional, suka berkelakar, dan pesimis, sehingga mengakibatkan kegelisahan, munculnya kendala-kendala dan ketidak pastian dalam hidup, (3) prosedur penyelesaian masalah berdasarkan nilai pepatah Minangkabau adalah melalui musyawarah, kerjasama, konsultasi, dan pemberian contoh dengan optimis, bertanggungjawab, berhati-hati, komunikatif, konsisten, situasional, mengkombinasikan perasaan dan pikiran, dengan prosedur terstruktur, mengeksplorasi, mengidentifikasi, mencarikan alternatif-alternatif dalam pengambilan keputusan, (4) karakteristik konselor berdasarkan nilai pepatah Minangkabau adalah seorang yang memiliki pengaruh, tempat mengadu, suka membantu, dan melindungi, bijaksana, adil, tenang, cerdas, sabar, teguh pendirian, pantang menyerah dan berjiwa tangguh, dan (5) kontribusi nilai pepatah Minangkabau melahirkan model konsep dasar konseling FAT (Falsafah Alam Takambang).

(6)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Penelitian kedua tentang peribahasa adalah penelitian yang dilakukan oleh (Damayanti, 2020). Dalam penelitiannya, penulis memaparkan tentang nilai budaya yang terkandung dalam peribahasa minangkabau berdasarkan makna merantau bagi masyarakat Minang. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk menjelaskan peribahasa minangkabau terhadap makna merantau. Teori yang digunakan adalah teori etnolinguistik dengan pendekatan kualitatif dan metode analisis deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan tujuh peribahasa yang merupakan tradisi lisan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat minangkabau. Makna Peribahasa tersebut menjadi prinsip yang dipegang perantau minang kemanapun mereka pergi. Para perantau haruslah mengikuti semua aturan yang berlaku di tempat tersebut.

Penelitian-penelitian itu memiliki relevansi dengan penelitian ini. Persamaan yang paling mendasar adalah sama-sama menganalisis tentang peribahasa dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sepanjang penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan, dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai nilai filosofis peribahasa mambangkik batang tarandam dalam Kaba Sutan Lembak Tuah belum pernah dilakukan.

LANDASAN TEORI

Berdasarkan karakteristiknya, kaba dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu kaba klasik atau kaba lama dan kaba modern atau kaba baru. Ciri-ciri kaba klasik adalah 1) ceritanya mengenai perebutan kekuasaan antara dua kelompok dan 2) ceritanya dianggap berlaku pada masa lampau yang jauh, tentang anak raja dengan kekuatan supranatural. Kaba modern memiliki ciri-ciri 1) bercerita tentang anak muda yang pada mulanya miskin, tetapi karena usahanya dalam perdagangan, ia berubah menjadi seorang yang kaya yang dapat menyumbangkan kekayaannya bagi kepentingan keluarga matrilinialnya hingga ia berbeda dari mamaknya, 2) ceritanya dianggap berlaku pada masa lampau yang dekat, akhir abad ke-19 yang bercerita tentang manusia biasa tanpa kekuatan supranatural (Djamaris, 2004:7-8).

Penelitian mengenai faktor-faktor penyebab batang tarandam atau jatuhnya muruah Sutan Lembak Tuah dalam KSLT dan upaya-upaya yang dilakukan Sutan Lembak Tuah untuk mambangkik batang tarandam ‘mengembalikan muruah’nya tersebut dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra. Menurut Sapardi, pendekatan sosiologi sastra mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat (Damono, 1978). Berdasarkan pengertian itu,

(7)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

sastra dipahami sebagai cerminan dari masyarakat. Maksudnya, melalui karya sastra, pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang terjadi di masyarakaat.

Sehingga dapat dikatakan bahwa karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Hal itu sejalan dengan pendapat Pradopo yang mengatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra berorientasi mimetik, karena memandang karya sastra sebagai cerminan masyarakat, yang perhatiannya berpusat pada struktur kemasyarakatan dalam karya sastra (Pradopo, 1995:v). Berkaitan dengan itu, maka pendekatan sosiologi sastra digunakan untuk memahami problema kehidupan yang dikisahkan dalam KSLT sebagai cerminan kehidupan masyarakat Minangkabau pada masa itu.

Perspektif klasik sosiologi sastra adalah meletakkan sastra sebagai informasi tentang masyarakat. Pada level tertentu, sastra bisa dilihat sebagai sumber inspirasi tindakan sosial. Hal itu didasarkan pada prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya itu ditulis (Damono, 1978:19). Refleksi merupakan suatu proses dalam menciptakan dan mengklarifikasi makna terhadap suatu pengalaman baik yang terjadi sekarang atau masa lalu, yang berkaitan dengan diri sendiri maupun dalam kaitannya dengan dunia tempat individu berada. Pengalaman yang dieksplorasi dan diceritakan akan menciptakan makna yang berfokus pada keadaan sekitar atau merupakan hal yang penting bagi diri individu (Boyd, R. D., Fales, 1983).

Berdasarkan pemahaman itu, maka penelitian tentang faktor penyebab jatuhnya muruah Sutan Lembak Tuah dan upaya yang dilakukan untuk mengembalikan muruahnya dikaji dengan menggunakan teori refleksi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif karena bertujuan untuk memaparkan dan menjelaskan faktor-faktor jatuhnya muruah Sutan Lembak Tuah dan upaya yang dilakukan untuk mengembalikan muruahnya dalam KSLT. Selain itu, Penelitian ini juga bersifat kualitatif karena data penelitian tidak berhubungan dengan angka-angka, tetapi berupa kata, frasa, dan kalimat. (Arikunto, 1998:193) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian deskriptif karena penelitian ini berusaha menggambarkan data dengan kata-kata atau kalimat untuk memperoleh suatu kesimpulan.

(8)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data berupa data deskriptif tentang faktor-faktor jatuhnya muruah Sutan Lembak Tuah dan upaya yang dilakukan untuk mengembalikan muruahnya dalam kisah KSLT. Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati (Bogdan, Robert, 1992).

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan karena peneliti mengumpulkan data dari sumber tertulis berbentuk buku, yakni naskah kaba yang sudah dibukukan. Data penelitian ini adalah petikan isi kaba yang di dalamnya memuat faktor-faktor jatuhnya muruah Sutan Lembak Tuah dan upaya yang dilakukan untuk mengembalikan muruahnya dalam kisah KSLT (Kaba Sutan Lembak Tuah). Objek penelitian ini adalah kalimat atau petikan dialog yang memuat faktor-faktor jatuhnya muruah Sutan Lembak Tuah dan upaya yang dilakukan untuk mengembalikan muruahnya yang ditemukan dalam naskah KSLT.

Untuk menyediakan data mengenai faktor-faktor jatuhnya muruah Sutan Lembak Tuah dan upaya yang dilakukan untuk mengembalikan muruahnya dalam kisah KSLT, peneliti menggunakan metode simak dan teknik catat. Menurut (Sudaryanto, 2015:203), metode simak dilakukan dengan menyimak isi teks. Sumber data penelitian ini adalah teks tertulis berupa naskah KSLT. Oleh karena itu, penyimakan yang dimaksud dalam proses penyediaan data adalah menyimak isi cerita yang dikisahkan dalam naskah KSLT.

Salah satu metode yang digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap analisis data adalah metode analisis isi. Analisis isi merupakan suatu teknik penelitian untuk menguraikan isi komunikasi yang jelas secara objektif, sistematis, dan kuantitatif (Berelson dalam Ibrahim, 2009:97). Selain itu, analisis isi merupakan teknik penelitian yang ditujukan untuk membuat kesimpulan dengan cara mengidentifikasi karakteristik tertentu pada pesan-pesan secara sistematis dan objektif (Holsti dalam Ibrahim, 2009:

97).

PEMBAHASAN

1. Ringkasan Cerita Kaba Sutan Lembak Tuah

Dikisahkan di suatu tengah hari yang terik, Siti Rabiatun sedang mencari daun obat untuk ibunya. Siti tidak tahu kalau di semak itu ada ular. Siti hanya bisa menjerit

(9)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

ketakutan ketika ular besar melilitnya. Sutan Lembak Tuah yang sedang bekerja di sawahnya, mendengar jeritan Siti dan langsung menolongnya. Tak hanya menolong Siti dari ancaman ular, Sutan Lembak Tuah Juga membantu Siti mendapatkan daun untuk obat ibu Siti. Pertolongan Sutan Lembak Tuah itu diterima penuh syukur oleh keluarga Siti. Keluarga Siti sampai menggelar doa syukur dengan mengundang Sutan Lembak Tuah makan bersama.

Dua bulan sesudah selamat dari ular besar, Siti kembali terancam bahaya. Siti sedang dalam perjalanan pulang dari tepian mandi ketika ia dihampiri Lelo Kayo, kemenakan Angku Lareh. Lelo Kayo diperdaya syetan hingga ia berniat memperkosa Siti. Siti berusaha melindungi diri dengan menjerit meminta tolong. Sutan Lembak Tuah yang kebetulan melewati jalan itu mendengar jeritan Siti. Untuk kedua kalinya Sutan Lembak Tuah menyelamatkan Siti. Sesampai di rumah, Siti menceritakan kejadian buruk yang menimpanya. Ibunya hanya bisa berucap syukur Siti mendapat pertolongan.

Namun, Ibu Siti meminta Siti untuk mendiamkan saja perkara itu karena Lelo Kayo adalah kemenakan Angku Lareh yang berkuasa. Ibu Siti juga menceritakan bahwa kematian ayah Siti disebabkan karena sering dipukuli Angku Lareh.

Keluarga Siti merasa khawatir akan keselamatan anak gadisnya. Oleh karena itu, Ibu dan mamak-mamak Siti berunding mencarikan suami untuk Siti. Dari banyak nama yang muncul akhirnya bermuara pada Sutan Lembak Tuah. Pinangan dari keluarga Siti disambut dengan sangat baik oleh keluarga Lembak Tuah. Kedua keluarga sepakat

‘bertukar tanda’ sebagai bukti keduanya sudah bertunangan.

Sementara itu, di suatu hari yang terik juga, Siti sedang menjemur padi di halaman rumahnya. Pada saat itu, lewatlah Tuanku Lareh berdua dengan Angku Kapalo. Tuanku Lareh terpesona melihat kecantikan Siti. Tuanku Lareh meminta Angku Kapalo melamarkan Siti untuk menjadi istrinya. Namun sayang, Angko Kapalo menginformasikan bahwa Tuanku Lareh terlambat karena Siti sudah bertunangan dengan Sutan Lembak Tuah. Tuanku Lareh yang sombong dan egois, tidak menerima penolakan. Ia berniat akan menggagalkan perkawinan Siti dengan Lembak Tuah.

Dengan memanfaatkan kekuasaannya, Tuanku Lareh memfitnah Lembak Tuah sehingga Lembak Tuah dipenjara dan dibuang ke tanah jawa.

Selama Lembak Tuah dalam penjara, Ia berperilaku sopan dan berbicara dengan santun. Ia juga pandai membaca dan menulis. Kelebihannya itu mendapat perhatian dari

(10)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

sipir penjara. Lembak Tuah kerap diberikan tugas yang ringan-ringan. Suatu hari, Lembak Tuah ditugaskan mengantar surat. Dalam perjalanannya, Lembak Tuah melihat kuda bendi berlari kencang tanpa kendali. Ia bergegas menyelamatkan dua orang anak kecil yang ketakutan dalam bendi itu. Ternyata, anak-anak yang ditolong Lembak Tuah adalah putri dari Residen Kota Betawi. Tuan Residen mengundang Lembak Tuah ke rumahnya untuk mengucapkan terima kasih, namun Lembak Tuah menolak dengan sopan dan mengatakan bahwa ia hanya orang tahanan yang sedang melaksanakan perintah. Tuan Residen lalu mencari informasi tentang Lembak Tuah dan berniat membalas budi.

Selang beberapa hari setelah kejadian itu, Tuan Residen mendatangi penjara tempat Lembak Tuah ditahan. Dari Sipir penjara Tuan Residen beroleh informasi tentang kelebihan dan kecakapan Lembak Tuah. Tuan Residen berbicara dengan Lembak Tuah dari hati ke hati. Mendengar kisah Lembak Tuah yang difitnah Tuanku Lareh, Tuan Residen jatuh iba, semakin kuat keinginannya hendak membantu Lembak Tuah. Setelah masa kurungan Lembak Tuah berakhir, Tuan Residen membantu Lembak Tuah menjadi polisi. Karena prestasinya, Lembak Tuah berhasil menjadi komandan polisi di Tanah Abang. Karir Lembak Tuah melesat cepat, kebijaksanaan dan kecerdasannya mengantarkannya menjadi Asisten Demang di Kampung Labuhan Serang, Banten.

Sementara Lembak Tuah di pengasingan, Siti Rabiatun yang diinginkan Tuanku Lareh memilih pergi ke Padang dan meninggalkan kampung halaman. Siti Tidak rela dipersunting Tuanku Lareh. Di Padang, Siti tinggal dengan mamaknya sembari mengajar di sebuah sekolah di daerah Jati.

Lembak Tuah mendapat surat penangkatan menjadi Tuanku Damang di ranah Kampuang Dalam, kampungnya sendiri. Lembak Tuah ditugaskan memimpin negerinya menggantikan Tuanku Lareh. Kedatangan Lembak Tuah disambut dengan heran dan suka cita oleh keluarga dan orang-orang kampungnya. Hanya kepada ibunya, Mande Sakdiah, Lembak Tuah menceritakan semua perjalanan hidupnya. Dari Ibunya pula Lembak Tuah tahu bahwa Siti Rabiatun sudah menjadi guru di Padang dan belum menikah. Lembak Tuah senang sekali mendengar berita itu.

Pada suatu hari yang baik, Lembak Tuah pergi ke Padang mengunjungi Siti Rabiatun. Lembak Tuah sengaja memakai pakaian compang camping untuk menguji keteguhan hati Siti. Siti yang memang sudah jatuh hati pada Lembak Tuah,

(11)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

menunjukkan suka citanya meski Lembak Tuah datang seperti pengemis. Lembak Tuah juga disambut dengan baik dan sopan oleh mamak Siti. Mamak Siti memberikan Lembak Tuah pakaian yang pantas dan menitipkan Siti untuk pulang bersama ke kampung halaman mereka. Di perjalanan pulang, Lembak Tuah mengganti pakaiannya dengan pakaian dinas Tuanku Demang. Siti yang belum tahu apa-apa hanya termangu saja. Siti juga heran ketika dijemput oleh mobil demang di stasiun. Begitupun sesampai di rumah mande Syakdiah, Siti dibuat kagum karena rumah itu sudah seperti rumah pejabat. Siti maklum di dalam hati bahwa Lembak Tuah sudah menjadi Demang namun Siti menyimpan keheranannya sendiri.

Setelah makan dan minum di rumah Mande Syakdiah, Siti Rabiatun diantarkan Lembak Tuah ke rumahnya. Ibu Siti bertanya kepada Lembak Tuah, bagaimana bisa ia menjadi Tuanku Demang. Lembak Tuah menceritakan perjalanannya sejak Ia dipenjara, menjadi polisi, menjadi demang, sampai Ia menjemput Siti Ke Padang. Tiga minggu sepulang dari Padang, keluarga Siti dan Lembak Tuah sepakat melangsungkan pesta perkawinan yang dulu pernah tertunda. Pesta itu dihelat dengan mewah karena Tuanku Demang yang menjadi pengantinnya. Beberapa bulan setelah pesta perkawinannya, Lembak Tuah, Tuanku Demang, diangkat secara adat menjadi Pangulu Andiko dengan gelar Datuak Sinaro Panjang. Selama masa pemerintahan Lembak Tuah, kampung itu menjadi tentram dan sejahtera. Tidak ada maling ataupun perjudian. Negeri aman, ternak dan padi menjadi, kehidupan masyarakat damai dan bahagia.

2. Faktor-Faktor Penyebab Batang Tarandam ‘Jatuhnya Muruah Sutan Lembak Tuah’ dalam KSLT

Berdasarkan karakteristik kaba, KSLT termasuk kaba modern karena bercerita tentang Sutan Lembak Tuah yang diawal kisah difitnah dan menderita, namun karena kecerdasan dan perilaku baiknya, ia berhasil mengembalikan nama baiknya dan tetap bisa mempersunting tunangannya. Mengingat kaba adalah refleksi kehidupan sosial masyarakat pemiliknya, KSLT juga mencerminkan kehidupan masyarakat di ranah Kampuang Dalam. Berdasarkan latar waktunya, KSLT merupakan kisah yang terjadi setelah kemerdekaan. Hal itu disimpulkan dari diksi yang digunakan, yakni jabatan Tuan Demang dan Tuan Residence. Diksi jabatan tersebut adalah istilah yang digunakan pada masa sesudah penjajahan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa KSLT adalah kisah yang mencerminkan kehidupan masyarakat ranah Kampuang Dalam yang terjadi pada

(12)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

masa lampau yang dekat, akhir abad ke-19. Pengaruh kolonial masih terasa, yakni adanya penindasan dan penjajahan hak azazi manusia yang semena-mena. Penindasan tersebut dilakukan oleh seseorang yang berkuasa.

Kaba tidak hanya berisikan cerita semata, kaba juga sarat akan pesan moral. Salah satu pesan moral yang sangat jelas disiratkan dalam KSLT adalah bahwa setiap orang akan memanen hasil dari benih yang disemainya sendiri, baik benihnya, maka baik hasilnya, begitupun sebaliknya, buruk benihnya, maka buruk pulalah hasilnya. Oleh karena itu, semangat untuk terus berbuat kebaikan terasa kental dalam kisah KSLT.

Berdasarkan pemahaman terhadap isi cerita KSLT, maka ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan ‘batang terendam’ atau jatuhnya muruah Sutan Lembak Tuah.

Faktor-faktor itu adalah karena 1) Keegoisan, 2) kekuasaan, dan 3) fitnah.

Berikut paparan masing-masing faktor yang menyebabkan ‘batang terendam’ atau jatuhnya muruah Sutan Lembak Tuah dalam KSLT.

2.1 Keegoisan

Keegoisan atau sifat mementingkan diri sendiri menjadi bibit konflik dalam KSLT.

Merunut ke awal kisah KSLT maka akan dipahami bahwa jatuhnya muruah Lembak Tuah disebabkan karena keegoisan. KSLT diawali dengan narasi yang menggambarkan pertemuan Lembak Tuah dengan Siti Rabiatun. Pada dua kali kejadian, Lembak Tuah datang sebagai dewa penolong yang menyelamatkan Siti. Pertolongan Lembak Tuah yang tulus menimbulkan cinta di hati keduanya sehingga mereka bertunangan. Namun pertunangan itu mendapat cobaan. Tuanku Lareh yang berkuasa di kampung itu ternyata juga jatuh hati pada Siti. Hal itu seperti dikisahkan dalam petikan KSLT berikut,

“Kan iyo Tuanku Lareh, sadang maracak di ateh kudo, baduo dangan Angku Kapalo, tampak gadih dari jauah, sadang manjamua padi di laman, mato mamandang indak lapeh, tasirok darah di dado” (Endah, 1964:40).

’adalah Tuanku Lareh, sedang berkuda, berdua dengan Angku Kapalo, tampak gadis dari jauh, sedang menjemur padi di halaman, mata memandang tidak lepas, tersirap darah di dada’

Dalam petikan kaba itu diceritakan awal mula Tuanku Lareh melihat Siti. Ketika ia sedang berkuda mengelilingi kampung Dalam, tak sengaja ia melihat Siti yang sedang menjemur padi di halaman rumahnya. Melihat kecantikan Siti, Tuanku Lareh langsung jatuh hati. Ia meminta Angku Kapalo mencari informasi tentang Siti.

(13)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Dalam KSLT, sosok Tuanku Lareh digambarkan sebagai seorang pemimpin yang memiliki tabiat buruk. Hal itu seperti tercermin dalam petikan KSLT berikut,

“kan iyo Lareh panjang kuku, urang kuaso dalam kampuang, jikok mambunuah indak mambangun, apo dibuek indak dilarang, urang manggadang-gadang surang,…, kok tibo bangih baliau, alamat umua akan singkek, tambahan lai, lorong kapado Tuanku Lareh, bantiang jo kabau lareh juo”(Endah, 1964:26-27).

‘tentang lareh panjang kuku, orang berkuasa dalam kampung, jika membunuh tidak membangun, apa dibuat tidak dilarang, orang memperkasakan diri sendiri,…, jika ia marah, alamat umur akan penek, lagi pula, namanya Tuanku Lareh, suka mengambil sapi dan kerbau orang’

Membaca petikan kaba tersebut dapat disimpulkan bahwa Tuanku Lareh adalah pemimpin yang tidak disukai oleh rakyatnya. Ia dibenci karena perangainya yang tidak terpuji. Ia dikenal sangat egois, suka menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri sendiri, dan sama sekali tidak peduli pada orang lain. Keegoisannya itu dengan terang ditunjukkan saat mengetahui bahwa keinginannya memperistri Siti tidak tercapai, karena Siti sudah bertunangan dengan Lembak Tuah. Keegoisan Tuanku Lareh digambarkan dengan jelas dalam petikan KSLT berikut,

“anak rang Salo di Andaleh, pai ka koto Pariangan, Kahandak ambo Tuanku Lareh, pantang dihambek ditagahkan, mangayia ka kampuang ranah, tampaklah si ulan garang, sajak satimpok dari tanah, pantanglah ambo dilarang urang”(Endah, 1964:42).

‘anak rang salo di andalas, pergi ke koto Pariangan, kehendak saya tuanku Lareh, pantang dihambat dan dihalang, mengail ke kampung ranah, tampak si ulan garang, sejak sejengkal dari tanah, pantang saya dilarang orang’

Dalam petikan kaba di atas, digambarkan betapa egoisnya Tuanku Lareh. Ia marah ketika keinginannya tidak terpenuhi. Sebagai pimpinan negeri, Ia merasa tidak ada yang bisa menghalangi keinginannya. Begitupun ketika ia menginginkan Siti. Kenyataan bahwa Siti sudah menjadi tunangan orang lain membuatnya marah. Keegoisannya menyikapi itu juga digambarkan dalam petikan kaba berikut,

“Manolah Datuak Angku Kapalo, kito cari lantai tajungkek, kito buek titian nan barakuak, supayo inyo tak jadi kawin, dicari aka jo kalaka, kok tidak marasai Lembak Tuah, bukan den manjadi Tuanku Lareh” (Endah, 1964:43).

‘wahai Datuak Angku Kapalo, kita cari lantai terjungkat, kita buat titian lapuk, supaya ia tidak jadi kawin, dicari akal dan upaya, jika tidak menderita Lembak Tuah, jangan panggil saya Tuanku Lareh’

Dari petikan kaba di atas dijelaskan tentang Tuanku Lareh tidak bisa menerima bahwa Siti sudah bertunangan. Dengan egois Ia berbuat curang untuk mendapatkan Siti.

Karena tunangan Siti adalah Lembak Tuah, maka ia berniat mencelakai Lembak Tuah.

(14)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Hal itu dijelaskan dengan kalimat kita cari lantai terjungkat, kita buat titian lapuk. Dari kalimat itu dipahami bahwa Tuanku Lareh berniat menjebak Lembak Tuah agar tidak jadi menikahi Siti. Kalimat jika tidak menderita Lembak Tuah, jangan panggil saya Tuanku Lareh dengan jelas mencerminkan keegoisannya. Dia merasa akan mendapatkan semua yang diinginkannya, apabila ada orang yang menghalanginya, maka orang itu akan dimusnahkannya.

Berdasarkan analisis dari beberapa petikan kaba di atas, dapat disimpulkan bahwa keegoisan Tuanku Lareh merupakan awal mula konflik yang terjadi dalam KSLT.

Keegoisan Tuanku Lareh yang menginginkan Siti. Keegoisannya tidak menerima kenyataan bahwa Siti tunangan orang. Keegoisan yang membuatnya tega menjebak dan mencelakai Lembak Tuah, tunangan Siti. Keegoisannya itulah yang menyebabkan jatuhnya muruah Lembak Tuah, karena dituduh maling sehingga dibuang ke tanah jawa sebagai tahanan.

2.2 Kekuasaan

Dalam KSLT, kekuasaan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan batang terendam atau jatuhnya harga diri Sutan Lembak Tuah.

Sebagaimana dikisahkan dalam KSLT bahwa Siti sudah bertunangan dengan Lembak Tuah. Namun Tuanku Lareh juga jatuh hati pada Siti. Tuanku Lareh adalah orang yang berkuasa di Kampuang Dalam. Sebagaimana digambarkan dalam petikan kaba berikut,

“manolah Lareh panjang kuku, urang kuaso dalam kampuang, jikok mambunuah indak mambangun, apo dibuek indak dilarang, urang bagadang-gadang surang,…,kok tibo bangih baliau, alamaik umua akan singkek”(Endah, 1964:25).

‘tentang Lareh panjang kuku, orang kuasa dalam kampung, jika membunuh tidak membangun, apa dibuat tiak dilarang, orang membesarkan diri sendiri,…,jika beliau marah, alamat akan pendek umur orang’

Berdasarkan petikan kaba tersebut dipahami bahwa Tuanku Lareh merupakan pemimpin yang bengis dan kejam. Ia memerintah dengan penuh kekerasan sehingga ditakuti oleh masyarakat. Malang bagi Siti yang diinginkan oleh Tuanku Lareh. Siti sudah mengetahui tabiat Tuanku Lareh dan rahasia bahwa ayahnya meninggal dianiaya Tuanku Lareh. Kebencian Siti kepada Tuanku Lareh digambarkan dalam petikan kaba berikut,

(15)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

“mandanga carito mande kanduang, sakik hati Siti Rabiatun, banci mandanga Lareh nantun, parangai sarupo ayam gadang, tidak ado manaruah ibo, tidak ado manaruah sayang, kok gadang suko malendo, kok cadiak handak manjua” (Endah, 1964:26).

‘mendengar cerita ibu kandung, sakit hati Siti Rabiatun, benci mendengar Lareh itu, perangai serupa ayam besar, tidak memiliki rasa iba, tidak memiliki rasa sayang, jika besar suka melanda, jika cerdik ingin menjual’

Dalam petikan kaba tersebut digambarkan tabiat buruk Tuanku Lareh, di antaranya kejam, tidak memiliki simpati, dan pantang menerima penolakan. Menurutnya, semua keinginannya harus didapatkan. Seperti ketika Ia menginginkan Siti. Ia marah mendengar Siti sudah bertunangan. Seperti yang digambarkan dalam petikan kaba berikut,

“mandanga kato nan bak kian, sirah muko Tuanku Lareh, merah muko kabangisan, anak rang salo di andaleh, pai ka koto Pariangan, kahandak ambo Tuanku Lareh, pantang dihambek ditagahkan, mangayia ka kampuang ranah, tampaklah si ulan garang, sajak satimpo dari tanah, pantanglah ambo dilarang urang”(Endah, 1964:42- 43).

‘mendengar kata serupa itu, merahlah muka Tuanku Lareh, merah mukanya menahan amarah, anak orang salo andalas, pergi ke koto Pariangan, kehendak saya Tuanku Lareh, pantang dihambat dilarangkan, mengail ke kampung ranah, tampaklah si ulan garang, sejak setempa dari tanah, pantanglah saya dilarang orang’

Dari petikan kaba tersebut diperoleh gambaran bahwa Tuanku Lareh pantang menerima penolakan. Ia marah karena tidak berhasil memperistri Siti. Menurutnya, tidak ada yang bisa menghalangi niatnya. Dengan kekuasaannya, Ia melakukan segala cara untuk mendapatkan Siti. Seperti dikisahkan dalam petikan kaba berikut,

“Bakato Tuanku Lareh, “manolah Datuak Angku Kapalo, kito cari lantai tajungkek, kito buek titian nan barakuak, supayo inyo tak jadi kawin, dicari aka jo kalaka, kok tidak marasai Lembak Tuah, bukan den manjadi Tuanku Lareh” (Endah, 1964:43).

‘Berkata Tuanku Lareh, “wahai Datuak Angku Kapalo, kita cari lantai terjungkat, kita buat titian lapuk, supaya dia tidak jadi kawin, dicari akal dan kelekar, jika tidak menderita Lembak Tuah, jangan panggil saya Tuanku Lareh’

Dalam petikan kaba itu dikisahkan bahwa Tuanku Lareh menggunakan kekuasaannya untuk memisahkan Siti dengan Lembak Tuah. Dengan kekuasaannya, amatlah mudah menyingkirkan Lembak Tuah. Keangkuhan Tuanku Lareh yang memanfaatkan kekuasaannya untuk menyingkirkan Lembak Tuah diakui oleh Angku Kapalo. Seperti digambarkan dalam petikan kaba berikut,

“kan iyo Angku Kapalo, bakato surang dalam hati, sangaik jaheknyo Tuanku Lareh, namuah mambusuakkan urang elok, asa mandapek gadih rancak, indak ado ibo kasihan, indak manaruah hati saba, tapi sungguahpun nan bak kian, awak di bawah

(16)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

parentah urang, kato Lareh tak buliah disanggah,bakato sabuah sadang, manggayuang sakali putuih, cadiak nan tidak paguno” (Endah, 1964:45).

‘akan hal Angku Kapalo, berkata dalam hati, sungguh jahat Tuanku Lareh, mau membusukkan orang baik, demi mendapatkan gadis jelita, tiada rasa belas kasih, tiada berhati sabar, tetapi sugguhpun demikian, diri di bawah perintah orang, perintah Angku Lareh tidak boleh disanggah, berkata cukup satu kali, menggayung sekali putus, cerdik yang tiada guna’

Petikan kaba itu menjelaskan sifat Tuanku Lareh dari penilaian Angku Kapalo.

Tuanku Lareh dinilai tega menjatuhkan nama baik orang lain demi mendapatkan keinginannya. Tuanku Lareh juga dinilai jahat, tidak memiliki belas kasih, dan kesabaran. Meskipun Angku Kapalo tidak sependapat dengan Tuanku Lareh, namun Tuanku Lareh adalah atasannya. Sepatah kata dari Tuanku Lareh adalah perintah bagi Angku Kapalo. Jadi apapun yang dikatakan Tuanku Lareh, harus dilakukan oleh Angku Kapalo. Demikian kuatnya pengaruh kekuasaan Tuanku Lareh.

2.3 Fitnah

Kata fitnah dalam KBBI adalah ‘perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)’. Perbuatan Tuanku Lareh dalam KSLT adalah fitnah terhadap Lembak Tuah. Lembak Tuah yang dikenal baik dituduhnya maling.

Sebagaimana yang dipaparkan dalam petikan kaba berikut,

“adapun Tuanku Lareh, dapek pikiran maso itu, handak mancilakokan Sutan Lembak Tuah, dituduah maliang dalam rumah, iyo di rumah Haji Amat, nan kahilangan pakan dahulu”(Endah, 1964:43).

‘adapun Tuanku Lareh, dapat ide waktu itu, hendak mencelakakan Sutan Lembak Tuah, dituduh maling dalam rumah, yaitu di rumah Haji Amat, yang kehilangan minggu yang lalu’

Fitnah tersebut telah menodai nama baik Lembak Tuah. Fitnah itu juga menjatuhkan kehormatan Lembak Tuah. Tuanku Lareh bahkan menyediakan saksi dan bukti palsu untuk memperkuat fitnahnya. Seperti ditemukan dalam petikan kaba berikut,

“kini baitulah nan ka rancak, suruah japuik Sutan Lembak Tuah, anak dek Mande Sakdiyah, buliah dipuruak dibanamkan, buliah dibuek asuang pitanah, dicari saksi duo urang, dibuek tando beti, diupah urang jadi saksi”(Endah, 1964:44).

‘sekarang baiknya begini, suruh jemput Sutan Lembak Tuah, anak Mande Sakdiyah, agar dipuruk dibenamkan, agar dibuat asung fitnah, dicari saksi dua orang, dibuat tanda dan bukti, diupah orang jadi saksi’

(17)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Berdasarkan petikan kaba itu, dipahami bahwa Tuanku Lareh menjadi penyebab utama jatuhnya muruah Sutan Lembak Tuah dalam KSLT. Tuanku Lareh ingin membuat Lembak Tuah menderita karena telah menghalangi niatnya memperistri Siti.

Lembak Tuah difitnah dengan kejam. Dengan kekuasaannya, Tuanku Lareh memerintahkan anak buahnya menangkap Lembak Tuah dengan tuduhan maling. Hal itu sebagaimana dikisahkan dalam petikan kaba berikut,

“bakato Angku Kapalo, Mano Dubalang jo upeh nagari, baoklah Sutan Lembak Tuah, lakekkan palanggu basi, usah waang balalai-lalai, sabalun ari tinggi bana, baoklah ka gaduang Bukittinggi, masuakkan ka dalam paseban, barikan surek ka angku jaksa, buliah pakaro dipareso” (Endah, 1964:46-47).

‘berkata Angku Kapalo, wahai Dubalang dan opas nagari, bawalah Sutan Lembak Tuah, pasangkan belenggu besi, usah kalian berlalai-lalai, sebelum hari semakin siang, bawalah ke gedung di Bukittinggi, masukkan ke dalam penjara, berikan surat kepada Angku Jaksa, agar perkara diperiksa’.

Dengan kekuasaannya, Tuanku Lareh membuat bukti dan menghadirkan saksi yang memberatkan Lembak Tuah. Bukti dan saksi palsu itu menjerumuskan Lembak Tuah ke penjara. Hukuman Lembak Tuah lebih berat karena ia harus dibuang ke tanah jawa.

Sebagaimana yang dikisahkan dalam petikan kaba berikut,

“tidak nan utang nan babayia, tidak nan salah nan batimbang, padohal tidak salah badan, kanai pitanah Angku Lareh, saksi palasu dapek upah, upah nan dari Angku Lareh,…, kan iyo samaso itu, dihukum Sutan Lembak Tuah, dibuang ka tanah jawa”(Endah, 1964:49).

‘tidak yang berutang yang membayar, tiak yang bersalah yang dihukum, padahal badan tidak bersalah, korban fitnah Angku Lareh, saksi palsu mendapat upah, upah dari Angku Lareh,…, sehingga saat itu, dihukumlah Sutan Lembak Tuah, dibuang ke tanah Jawa’

Dalam petikan kaba itu tergambar bahwa kekuasaan Angku Lareh telah menyebabkan batang terendam. Kekuasaan Tuanku Lareh telah membuat Lembak Tuah menderita.

Dengan kekuasaannya, Tuanku Lareh bisa membuat Lembak Tuah yang terkenal santun dan berakhlak, jadi terpenjara dan terbuang. Lembak Tuah dihinakan dengan tuduhan maling. Lembak Tuah terbuang dari kampungnya sebagai ‘orang rantai’, gelar yang sangat memalukan.

3. Upaya Lembak Tuah membangkit batang terendam

Dalam KSLT, Sutan Lembak Tuah digambarkan sebagai sosok yang pemberani dan suka menolong. Ia bahkan sudah menolong Siti berkali-kali. Ketika keluarga Siti hendak menjodohkan mereka, keduanya sama menerima dengan senang hati. Namun sayang pertunangan itu mendapat ujian yang tidak mudah. Tuanku Lareh, penguasa di Kampung

(18)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Dalam, juga jatuh cinta pada Siti. Tuanku Lareh sangat murka mengetahui Siti sudah bertunangan. Tuanku Lareh yang bersifat egois tidak peduli akan pertunangan Siti sehingga ia menggunakan kekuasaannya untuk memfitnah Sutan Lembak Tuah. Lembak Tuah dituduh maling di rumah Angku Haji. Bukti dan saksi palsu yang dihadirkan Tuanku Lareh berhasil menjerumuskan Lembak Tuah ke penjara. Lembak Tuah harus menanggung malu atas fitnah yang kejam itu. Tak hanya itu, Tuanku Lareh memerintahkan agar Lembak Tuah dibuang ke tanah Jawa.

Tuduhan sebagai maling hingga menjadi ‘orang rantai’ telah menjatuhkan muruah Sutan Lembak Tuah dengan serta merta. Tuduhan dan hukuman itu mau tidak mau harus diterima Lembak Tuah. Rasa malu, terhina, dan sakit hati harus ditanggungkan tak hanya oleh Lembak Tuah tetapi juga keluarganya. Batang itu sudah terbenam, ‘nama baik dan kehormatan Lembak Tuah’ sudah terlanjur jatuh dan ternoda. Dalam kepasrahannya menjalani hari di penjara, Lembak Tuah tetap berupaya membangkitkan kembali batang terendam itu. Lembak Tuah tetap ingin mengembalikan nama baik dan kehormatannya yang sudah dihinakan oleh Tuanku Lareh.

Upaya yang dilakukan Lembak Tuah untuk ‘membangkit batang terendam’ itu adalah, 1) berserah diri pada Allah, 2) menjaga sikap, 3) suka menolong, 4) jujur dan amanah, 5) arif bijaksana. Berikut paparan upaya Lembak Tuah dalam membangkit batang terendam.

3.1 Berserah diri pada Allah

Lembak Tuah tidak menyangka akan mengalami kejadian yang memalukan. Ia sedang bersenang hati karena akan menikah dengan gadis yang dicintainya. Namun tiba- tiba ia dijemput dubalang nagari dengan tuduhan maling. Tangannya dibelenggu dan dimasukkan ke dalam penjara. Tak hanya menanggung malu, namun ia juga menahankan sakitnya pukulan dan tendangan di penjara. Menghadapi semua itu, Lembak Tuah memilih berserah diri pada Allah. Hal itu sebagaimana dikisahkan dalam petikan kaba berikut,

“Dek rang mudo Lembak Tuah, kato nan tidak dapek dijawab, parentah kareh Tuanku Lareh, mangaluah ramuak dalam hati, dinanti sajo apo nan tibo, disarahkan untuang kapado Allah” (Endah, 1964:47).

‘akan hal Lembak Tuah, kata yang tidak dapat dijawab, perintah keras Tuanku Lareh, mengeluh remuk dalam hati, dinanti saja apa yang tiba, diserahkan untung kepada Allah’

(19)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Kepasrahan Lembak Tuah pada takdir Allah tak hanya sekali itu diceritakan. Ketika jatuh hukuman dua tahun penjara dan dibuang ke tanah Jawa, Lembak Tuah pun meringankan hatinya dengan berserah diri pada Allah. Kekuatan iman dalam diri Lembak Tuah menjadi dasar kekuatannya menghadapi cobaan berat yang menimpanya.

Hal itu seperti dikisahkan dalam petikan kaba berikut,

“Birawari Sutan Lembak Tuah, dibulekkan pikiran maso itu, sudah takadia garak Allah, sudah suratan di rahim bundo, asa sabuik nak tarapuang, asa batu bia tabanam”

(Endah, 1964:51).

‘akan hal Sutan Lembak Tuah, dibulatkan pikiran masa itu, sudah takdir gerak Allah, sudah suratan di Rahim bunda, asal sabut biar terapung, asal batu biar terbenam’

Sutan Lembak Tuah menyadari bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan Allah taala jauh sebelum ia lahir. Dengan imannya, Ia yakin bahwa segalanya berjalan sesuai ketetapan yang Allah gariskan. Sebagaimana yang ditegaskan dalam petikan kaba berikut,

“kapa balayia hanyo lai, batulak dari Taluak Bayua, mambao untuang Lembak Tuah, indak guno diparusuah, disarahkan sajo badan ka nan satu, buruak baiak di tangan Allah” (Endah, 1964:51).

‘kapalpun berlayar, bertolak dari Teluk Bayur, membawa untung Lembak Tuah, tiada guna dirusuhkan, diserahkan saja badan pada yang Satu, buruk baiak di tangan Allah’

Sutan Lembak Tuah tidak menyesali cobaan yang menimpanya. Ia memutuskan untuk berpasrah diri pada kehendak Allah. Itulah hal pertama yang dilakukan Lembak Tuah dalam menjalani masa tahanannya.

3.2 Menjaga Sikap

Setelah menyerahkan diri pada takdir Allah. Sutan Lembak Tuah menjalani hari-hari di penjara dengan terus menjaga sikap. Kehidupan penjara yang keras tidak sedikitpun mempengaruhi perilakunya. Tinggal berbaur dengan orang-orang ‘rantai’ ternyata tidak mengubah tabiat baiknya. Hal itu seperti digambarkan dalam petikan kaba berikut,

“Lorong kapado Tuan Sapia, maliek tingkah Lembak Tuah, tidak sarupo urang nan banyak, tingkah parangai sangaik elok, tahu di untuang nasib badan, pandai babahua jo kawannyo, indak ado mandapek salah, sayang hati Tuan Sapia”(Endah, 1964:52).

‘Akan hal tuan Sipir, melihat tingkah Lembak Tuah, tidak serupa orang yang banyak, tingkah perangai sangat baik, tahu di untung nasib badan, pandai bergul dengan kawannya, tidak ada berbuat salah, sayang hati tuan Sipir’

Dari petikan kaba di atas diperoleh gambaran perilaku Lembak Tuah selama di penjara. Secara umum, penjara diketahui sebagai tempat berkumpulnya pelaku kejahatan. Sehingga dapat dibayangkan bagaimana tabiat orang-orang yang ada di sana.

(20)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Namun Lembak Tuah tetap bisa menjaga sikapnya. Lembak Tuah tetap bersikap baik, pandai menempatkan diri, dan pandai bergaul. Perilaku baiknya selama di penjara dinilai berbeda dari orang-orang kebanyakan. Hal itu membuat sipir memberikan perhatian khusus pada Lembak Tuah.

Lembak Tuah tidak hanya pandai menjaga sikap dengan sesama tahanan, ia juga pandai menjaga sikap kepada petugas penjara. Lembak Tuah yang pandai menulis dan membaca, kerap membantu meringankan tugas sipir. Kepandaian Lembak Tuah menjaga sikap itu, membuatnya mendapat perhatian khusus dari Sipir penjara. Hal itu seperti tergambar dalam petikan kaba berikut,

“dek urang Tuan Sapia, dibari karajo nan ringan-ringan, di sanan tingga siang malam, pandai manulih jo mambaco, tulisan rancak jaleh dibaco”(Endah, 1964:52).

‘oleh Tuan Sipir, diberi pekerjaan yang ringan-ringan, di sana tinggal siang malam, pandai menulis dan membaca, tulisan rapi jelas dibaca’

Dari petikan kaba tersebut diperoleh keterangan bahwa Lembak Tuah mendapatkan perhatian dari Tuan Sipir. Hal itu karena perilakunya yang senantiasa menjaga sikap baik ke sesama penghuni penjara maupun ke petugas penjara. Takdir baik Lembak Tuah datang seiring tugas yang diberikan sipir penjara kepada Lembak Tuah. Seperti yang dikisahkan dalam petikan kaba berikut,

“Mano ang Sutan Lembak Tuah, antakan surek ka tangsi baru, kapado sapia nan di sanan, katonyo Tuan Sapia” (Endah, 1964:52).

‘wahai Sutan Lembak Tuah, antarkan surat ke penjara baru, berikan kepada sipir yang di sana, ujar Tuan Sipir’

Dalam petikan kaba itu dikisahkan bahwa Sutan Lembak Tuah ditugaskan oleh sipirnya mengantarkan surat ke penjara lain. Lembak Tuah mengemban tugas itu dengan segera. Begitulah sikap Lembak Tuah yang membuat siapa pun menyukainya.

3.3 Suka Menolong

Dari awal kisah KSLT sudah diceritakan bahwa Lembak Tuah suka menolong.

Sifatnya yang suka menolong itu telah mempertemukannya dengan gadis yang dicintainya. Meski di dalam penjara, sifat Lembak Tuah yang suka menolong tidak berubah. Dalam perjalanannya mengantarkan surat, Ia kembali menjadi penyelamat.

Seperti yang dikisahkan dalam petikan kaba berikut,

“tampaklah bendi balari kancang, kudo takajuik maso itu, balari bak alang tabang, kusia di dalam tidak ado, tibo di bendi bendi ramuak, tibo di urang urang mati, kudo manduo balari kancang, surangpun tidak dapek manolong, hilang aka urang nan

(21)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

banyak, kan iyo Sutan Lembak Tuah, dikaja kudo dipintesi, indak ado manaruah takuik, dek untuang takadia Allah, kudo ditangkok dek Lembak Tuah, urang maliek habih tacangang, maliek barani Lembak Tuah” (Endah, 1964:53).

‘tampaklah bendi berlari kencang, kuda terkejut saat itu, berlari bagai elang terbang, kusir di dalam tidak ada, tiba di bendi bendi remuk, tiba di orang, orang mati, kuda sedang berlari kencang, tidak ada seorangpun yang bisa menolong, hilang akal semua orang, akan hal Sutan Lembak Tuah, dikejar kuda dipintasi, tidak ada merasa takut, karena untung takdir Allah, kuda ditangkap oleh Lembak Tuah, orang yang melihat tercengang semua, melihat berani Lembak Tuah’

Seperti yang dikisahkan dalam petikan kaba tersebut, Lembak Tuah melihat bendi dengan kuda yang berlari kencang tanpa kendali. Di dalam bendi itu ada dua orang anak kecil yang ketakutan. Tidak ada yang berani menghentikan bendi itu. Lembak Tuah dengan tanpa rasa takut mengejar dan menghentikan bendi serta menyelamatkan anak- anak kecil yang ada dalam bendi. Sikap heroik Lembak Tuah menimbulkan kekaguman di hati semua orang. Lembak Tuah muncul sebagai pahlawan penyelamat seperti yang ditegaskan dalam petikan kaba berikut,

“didukuang anak dalam bendi, anak baduo di dalamnyo, didukuang dibaok turun, urang maliek panuah sasak, kok tidak lakeh katolongan, alamat bendi masuak kali, baranang dalam ayia, anak baduo hancua luluah” (Endah, 1964:54).

‘digendong anak dari dalam bendi, anak berdua di dalamnya, digendong dibawa turun, orang melihat penuh sesak, jika tidak lekas ketolongan, alamat bendi masuk sungai, berenang dalam air, kedua anak hancur luluh’

Berdasarkan petikan kaba tersebut diperoleh gambaran bahwa sifat suka menolong sudah menjadi tabiat Lembak Tuah. Pada setiap peristiwa, Lembak Tuah memberikan pertolongan tanpa diminta.

3.4 Bersifat Jujur dan Amanah

Dalam KBBI, kata jujur didefinisikan ‘lurus hati; tidak berbohong; tidak curang;

tulus; ikhlas. Sedangkan kata amanah didefinisikan dengan ‘dapat dipercaya’. Membaca kisah dalam KSLT, Lembak Tuah dapat dikatakan memiliki kedua sifat tersebut, yakni jujur dan amanah.

Lembak Tuah dinilai jujur karena mengakui bahwa dirinya adalah seorang tahanan dan amanah karena konsisten pada tugas yang diberikan. Meskipun Ia diundang ke rumah Tuanku Residen, ia menolak dengan sopan karena sedang mengemban tanggung jawab. Sebagaimana yang dijelaskan dalam petikan kaba berikut,

“manolah Tuan ampunyo anak, ambo iko urang tahukum, disuruah sapia maantakan surek, kok lamo ambo pulang ka tangsi, alamat ambo kanai bangih, dapek hukuman di tuan sapia” (Endah, 1964:54).

(22)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

‘manalah Tuan yang punya anak, saya ini orang terhukum, disuruh sipir mengantarkan surat, jika lama saya kembali ke penjara, alamat saya akan kena marah, dapat hukuman dari Tuan Sipir’

Berdasarkan petikan kaba itu dikisahkan kejujuran Lembak Tuah yang mengakui bahwa Ia seorang tahanan. Ia juga bersikap amanah dengan tetap menunaikan tugas yng diberikan. Sikap Lembak Tuah yang jujur dan amanah itu juga dibenarkan oleh sipir penjara, seperti yang dikisahkan dalam petikan kaba berikut,

“lorong kapado urang rantai tu, sajak samulo masuak kamari, sabulan lai ka lapeh, balun ado salah parangai, indak ado kalakuan buruak, ambo nan sangaik saying bana, awak luruih parangai elok, tidak sarupo urang nan banyak, tambahan ciek lai, pandai manulih jo mambaco”(Endah, 1964:55).

‘akan hal orang rantai itu, sejak semula masuk kemari, sebulan lagi akan lepas, belum ada salah perangai, tidak ada kelakuan buruk, saya sangat sayang padanya, dia lurus perangai baik, tidak serupa orang yang banyak, apalagi, dia pandai menulis dan membaca’

Dari petikan kaba di atas diperoleh gambaran yang jelas, bahwa Sutan Lembak Tuah dinilai jujur dan amanah oleh sipir penjara. Menurutnya, selama hampir dua tahun dalam tahanan, Lembak Tuah senantiasa berperilaku baik, jujur, dan amanah. Perilaku yang berbeda dari orang tahanan kebanyakan. Lembak Tuah juga pandai menulis dan membaca. Kelebihan-kelebihan Lembak Tuah itu adalah alasan sang sipir mengistimewakan Lembak Tuah.

Sifat jujur Lembak Tuah juga diperlihatkan ketika berbicara dengan Tuan Jaksa. Ia dengan jujur menjawab tidak mungkin kembali ke kampungnya karena sudah terlanjur malu dituduh maling. Seperti yang dikisahkan dalam petikan kaba berikut,

“kok lapeh hukuman badan denai, ambo nan tidak ka babaliak pulang, malu ambo di urang kampuang, ambo dituduah urang maliang gadang…tambahan lai, kok ambo babaliak pulang, alamat sansai badan denai, mati dibunuah tuanku Lareh” (Endah, 1964:56).

‘jika lepas hukuman badan saya, saya tidak akan kembali pulang, malu saya di orang kampung, saya dituduh maling besar, …, tambahan lagi, jika saya kembali pulang, alamat celaka badan saya, mati dibunuh tuanku Lareh’

Dari petikan kaba di atas dapat dipahami bahwa kejujuran Lembak Tuah telah mengantarkannya pada takdir baiknya. Kejujuran itu membuat Tuan Residen memahami penderitaan dan malu yang ditanggung Lembak Tuah karena fitnah. Tuan Residen berniat membantu Lembak Tuah. Bukan hanya balas budi karena menyelamatkan anaknya, tetapi juga karena iba melihat nasib Lembak Tuah yang korban fitnah.

(23)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

3.5 Bersifat Arif Bijaksana

Dalam KBBI, kata arif berarti bijaksana; cerdik dan pandai; berilmu. Merujuk pada pengertian itu pantaslah kiranya Lembak Tuah dikatakan bersifat arif bijaksana. Upaya Lembak Tuah ‘mambangkik batang tarandam’ tidak lepas dari perilakunya yang senantiasa bijaksana menyikapi berbagai hal. Sebagaimana yang dikisahkan dalam petikan kaba berikut,

“kan iyo samaso itu, lah lapeh cando Lembak Tuah, kalua inyo dari dalam tangsi, dapek karajo jadi polisi, dek kuaik tolongan Tuan Residen, manjadi kumandan di tanah abang, kumandan polisi maso itu”(Endah, 1964:57).

‘kan iya semasa itu, bebaslah Lembak Tuah, keluar Ia dari dalam penjara, mendapat pekerjaan jadi polisi, berkat pertolongan Tuan Residen, menjadi komandan di Tanah Abang, komandan polisi masa itu’

Lembak Tuah menjadi polisi berkat bantuan Tuan Residen. Tetapi bantuan itu tidak didapatkan Lembak Tuah secara cuma-cuma. Sikap Lembak Tuah yang suka menolong telah menyelamatkan anak Tuan Residen. Sedangkan kejujuran Lembak Tuah telah meluluhkan hati Tuan Residen. Meskipun demikian, Lembak Tuah melakukan tugasnya sebagai polisi dengan sungguh-sungguh dan tetap bijaksana. Sebagaimana yang dikisahkan dalam petikan kaba berikut,

“dek lamo lambek bakarajo, pandai babahua ateh bawah, tahu di tipu muslihat, lagi arif bijaksano, dek untuang takadia Allah, dapek pangkek mantari polisi, dalam daerah Kota Bandung”(Endah, 1964:57-58).

‘karena lama bekerja, pandai bergaul atas bawah, tahu di tipu muslihat, lagi arif bijaksana, berkat untung takdir Allah, dapat pangkat mantari polisi, dalam daerah Kota Bandung’

Penggalan kaba di atas mengisahkan kebijaksanaan Lembak Tuah dalam mengemban tugas. Selama menjadi polisi, Lembak Tuah membuktikan kesungguhannya. Perilakunya yang pandai bergaul, arif dengan tipu muslihat, dan bijaksana dalam berbuat. Perilaku Lembak Tuah yang arif bijaksana itu juga dijelaskan dalam petikan kaba berikut,

“kan iyo Lembak Tuah, urang cadiak sajak dahulu, banyak manangkok maliang pancuri, tidak busuak tak babaun, pandai karajo siang malam, urang arif bijaksano, dek lamo lambek bak kian, dapek manjadi asisten damang, dalam daerah tanah Banten, dalam Kampuang Labuahan Serang” (Endah, 1964:58).

‘akan hal Lembak Tuah, orang cerdik sejak dahulu, banyak menangkap maling pencuri, tidak ada busuk yang tak terbaun, pandai bekerja siang malam, orang arif bijaksana, lambat laun, dapat menjadi asisten damang, dalam daerah tanah Banten, dalam Kampuang Labuahan Serang’

(24)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Dari penggalan kaba tersebut diperoleh gambaran tentang kebijaksanaan Lembak Tuah. Selama menjalankan tugas, Ia telah membuktikan dirinya mampu menjaga keamanan. Selama Lembak Tuah bertugas banyak maling yang tertangkap dan banyak kasus yang terungkap. Ia bersungguh-sungguh bekerja siang dan malam. Keberhasilan itu mengantarnya ke jabatan yang lebih tinggi, yakni asisten demang. Karirnya melesat cepat, Ia diangkat menjadi Tuanku Demang. Seperti yang dikisahkan dalam penggalan kaba berikut,

“Kan iyo Sutan Lembak Tuah, dek untuang takadia Allah, sadang manjadi asisten damang, dapek bisluit maso itu, diangkek manjadi Tuanku Damang, manjadi damang pangganti lareh, di dalam kampuang mandeh, di ranah kampuang dalam, pangganti lareh panjang kuku”(Endah, 1964:66).

‘akan hal Sutan Lembak Tuah, karena untung takdir Allah, sedang menjadi asisten demang, dapat bisluit masa itu, diangkat menjadi Tuanku Demang, menjadi Demang pengganti Laras, di dalam kampuang ibu, di ranah kampung dalam, pengganti laras panjang kuku’

Berdasarkan penggalan kaba di atas diketahui bahwa Lembak Tuah diangkat menjadi Tuanku Demang. Tidak hanya itu, Lembak Tuah ditugaskan di kampungnya sendiri, menggantikan Tuanku Lareh yang dulu menfitnahnya.

Begitulah perjalanan panjang Sutan Lembak Tuah ‘mambangkik batang tarandam’.

Harga diri dan kehormatan Lembak Tuah pernah jatuh berdarah karena dituduh maling hingga dipenjara sampai dibuang ke tanah Jawa. Namun dengan doa dan ikhtiarnya, Lembak Tuah berhasil mengembalikan kehormatannya. Lembak Tuah berhasil membangkit kembali batang terendam. Lembak yang dulu pergi meninggalkan kampung sebagai ‘orang rantai’ akhirnya kembali sebagai seorang demang, pemimpin yang dihormati. Tak hanya menjadi Demang di kampungnya, Lembak Tuah juga dikukuhkan menjadi penghulu di sukunya. Sebagaimana yang dikisahkan dalam penggalan kaba berikut,

“birawari Sutan Lembak Tuah, babarapo bulan sasudah itu, diangkek urang jadi pangulu, pangulu andiko pusako lamo, pusako gala sunduik basunduik, sajak nan dari niniak moyang, iyolah gala Datuak Sinaro Panjang”(Endah, 1964:93).

‘Akan hal Sutan Lembak Tuah, beberapa bulan sesudah itu, diangkat orang jadi penghulu, penghulu andika pusaka lama, pusaka gelar sundut bersundut, sejak dari nenek moyang, yaitu gelar Datuk Sinaro Panjang’

Demikianlah falsafah mambangkik batang tarandam yang dijadikan dasar pengkajian upaya Sutan Lembak Tuah dalam membangkit batang terendam. Semangat falsafah mambangkik batang tarandam itu mengantarkan Lembak Tuah menjemput

(25)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

kembali kehormatan dan harga dirinya. Berdasarkan pengkajian ini dapat disimpulkan bahwa siapapun hanya akan menuai hasil dari benih yang ditanam. Maka dari itu, teruslah berbuat kebaikan. Tuanku Lareh akhirnya diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, itulah ganjaran atas semua perilaku buruknya. Sebaliknya, Sutan Lembak Tuah menjadi Tuanku Demang di kampungnya sekaligus penghulu kaumnya, sebagai buah dari segala perilaku baik yang telah ia tanam sebelumnya.

PENUTUP

KSLT adalah kaba yang berlatarkan nagari Kampuang Dalam dan menceritakan kisah tentang anak muda yang diftnah namun berhasil mengembalikan nama baiknya.

Berdasarkan pembacaan yang cermat terhadap isi KSLT diperoleh kesimpulan bahwa batang terendam atau jatuhnya muruah Sutan Lembak Tuah dalam KSLT terjadi karena tiga faktor, yakni 1) Keegoisan, 2) Kekuasaan, dan 3) Fitnah. Sedangkan upaya yang dilakukan Sutan Lembak Tuah untuk membangkit batang terendam atau mengembalikan nama baik dan muruahnya adalah 1) berserah diri pada Allah, 2) menjaga sikap, 3) suka menolong, 4) bersifat jujur dan amanah, dan 5) bersifat arif bijaksana. Semangat membangkit batang terendam yang direfleksikan dalam kisah dalam KSLT diharapkan dapat menginspirasi pembaca untuk tidak mudah berputus asa menghadapi cobaan dan terus berbuat kebaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (1998). Metodologi penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Bogdan, Robert, and S. T. (1992). Pengantar Metode Penelitian. Usaha Nasional.

Boyd, R. D., Fales, A. (1983). Reflective Learning: Key to Learning from Experience.

Journal of Humanistic Psychology, 23(2), 99--117.

Damayanti, W. (2020). Nilai Budaya dalam Peribahasa Minangkabau Berdasarkan Makna Merantau: Kajian Etnolinguistik. Seminar Internasional Riksa Bahasa, 974.

http://proceedings2.upi.edu/index.php/riksabahasa/view/974

Damono, S. D. (1978). Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Jakarta.

Djamaris, E. (2004). Kaba Minangkabau. Pusat Bahasa.

Endah, S. S. R. (1964). Kaba Sutan Lembak Tuah. Kristal Media.

Ibrahim, A. S. (2009). Metode Analisis Teks dan Wacana. Pustaka Pelajar.

Penghulu, I. H. D. R. (1994). Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau.

Remaja Rosdakarya Offset.

Pradopo, R. D. (1995). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.

Pustaka Pelajar.

(26)

Fitria Dewi, Dini Oktarina

Putiah, J. D. M. N. (2007). Mambangkik Batang Tarandam dalam Upaya Mewariskan dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa. Citra Umbara.

Sudaryanto. (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Sanata Dharma University Press.

Sudaryat, Y. (2009). Makna dalam Wacana (Prinsip-prinsip Semantik dan Pragmatik.

Yrama Widya.

Zubaidah. (2014). Telaah Nilai-nilai Pepatah Minangkabau dan Kontribusinya dalam Konseling. Universitas Negeri Malang.

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti bidang ini dapat memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang teknologi inti seperti ekstraksi foreground frame tunggal dan ganda, metode deteksi objek

Tidak seperti autograft, salah satu kelebihan dari silikon adalah tidak terbatasnya jumlah bahan implan yang dapat digunakan. Silikon mudah untuk dibentuk, selain itu juga

Hasil Algoritma Fuzzy C-Means yang menggunakan Complete Linkage sebagai algoritma yang menentukan titik pusat cluster akan menghasilkan nilai fungsi objektif objektif yang berbeda

Institusi zakat menjadi unsur penting dalam kebijakan sosio-ekonomi baik di Indonesia melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) maupun di Brunei

Sementara itu, bahasan yang secara khusus mengkaji nama berdasarkan pendekatan sosio-onomastika masih sangat terbatas, yang salah satunya adalah Toponimi di Jantung

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kritik sosial yang muncul pada kumpulan puisi Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo dengan menggunakan pendekatan

Untuk membatasi wilayah kajian, maka tujuan yang dirumuskan dengan penelitian ini adalah (1) membahas cara remaja perempuan memandang tubuhnya, (2) menguraikan mitos

kehidupan sebagai manusia. Cinta ideal itu baru mereka peroleh utuh setelah mereka mengalami kematian dan reinkarnasi menjadi sepasang kupu-kupu. Cinta ideal itu