• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Tania Intan

©2021, Kelasa, 16 (2), 223 – 242 | 223

Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra

http://kelasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/kelasa

p-ISSN : 1907-7165 e-ISSN: 2721-4672

TUBUH, REMAJA PEREMPUAN, DAN MITOS KECANTIKAN DALAM NOVEL KILOVEGRAM KARYA MEGA SHOFANI Beauty Myths, Body, and Teenage Girl in Kilovegram Novel by Mega Shofani

Tania Intan

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Pos-el: tania.intan@unpad.ac.id

Abstrak

Penelitian ini membahas novel remaja berjudul Kilovegram (2018) karya Mega Shofani, dengan tujuan untuk (1) membahas cara remaja perempuan memandang tubuhnya, (2) menguraikan mitos kecantikan sebagai konstruksi patriarki, serta (3) mengungkap upaya redefinisi standar kecantikan. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan kritik sastra feminis. Data berupa kata, frasa, dan kalimat dikumpulkan dengan teknik dokumentasi setelah dilakukan pembacaan tertutup. Data selanjutnya diklasifikasi sesuai dengan permasalahan yang dikaji, diinterpretasi, dan dianalisis dengan teori yang relevan terutama konsep mitos kecantikan dari Wolf dan Beauvoir. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa selain permasalahan khas remaja berupa percintaan dan persahabatan, novel Kilovegram mengangkat isu mitos kecantikan yang mengait pada tubuh tokoh remaja perempuan. Remaja perempuan ditampilkan sebagai korban dari mitos kecantikan yang terobsesi pada tubuh langsing.

Perilaku yang mencerminkan mitos kecantikan di antaranya adalah melakukan diet ketat, mengonsumsi obat pelangsing, serta merasa iri pada sosok yang dianggap merepresentasikan kecantikan. Adapun mitos kecantikan dalam novel tersebut dilandasi oleh selera laki-laki pada tubuh perempuan yang langsing, serta motif perempuan untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari laki-laki. Sebagai strategi untuk bertahan, remaja perempuan meredefinisi standar kecantikan dengan menawarkan kecantikan nonfisik sebagai kualitas intrinsik.

Kata-kata kunci: tubuh, remaja perempuan, mitos kecantikan, sastra remaja

Abstract

This study discusses a teen novel entitled Kilovegram (2018) by Mega Shofani with the objectives (1) to discuss how young women perceive their bodies, (2) to describe the myth of beauty as a patriarchal construct, and (3) to reveal efforts to redefine beauty standards. The method used is descriptive qualitative with a feminist literary criticism approach. Data in the form of words, phrases, and sentences were collected using documentation techniques after closed reading. The data are then classified according to the problems studied, interpreted, and analyzed with relevant theories, especially the concept of the myth of beauty from Naomi Wolf. The results of this study indicate that in

Naskah Diterima Tanggal 25 April 2021—Direvisi Akhir Tanggal 3 November 2021—Disetujui Tanggal 9 November 2021 doi: 10.26499/kelasa.v16i2.179

(2)

| 224 ©2021, Kelasa, 16 (2), 205 – 222 addition to the typical problems of adolescents in the form of love and friendship, the novel Kilovegram raises the issue of beauty myths that hook up to the bodies of female teenage figures. Teenage girls are portrayed as victims of the beauty myth that is obsessed with slim bodies. Behaviors that reflect the myth of beauty include having a strict diet, taking slimming drugs, and feeling jealous of someone who is considered to represent beauty. The myth of beauty in the novel is marked by the foundation of male tastes, namely a slim female body, as well as women's motives for getting recognition and praise from men. As a strategy of survival, young women redefine beauty standards by offering inner beauty as intrinsic quality.

Keywords: body, teenage girls, beauty myths, teen lit

PENDAHULUAN

Secara etimologis, teen lit terbentuk dari dua kata dalam bahasa Inggris, yaitu teenager ‘remaja belasan tahun’ dan literature ‘sastra’. Dengan demikian, teen lit adalah bacaan yang bersegmentasi remaja belasan tahun (Syahrul, 2017), dan menurut Djenar, pada umumnya teen lit berkisah tentang kehidupan sehari-hari melalui sudut pandang tokoh remaja perempuan (2012). Karena lebih banyak membincangkan tokoh perempuan, bertema masalah perempuan, dan kebanyakan ditulis oleh pengarang perempuan, menurut Rahmaningsih dan Martani (2014), teen lit lebih banyak menarik minat remaja perempuan.

Agar lebih disukai oleh publik tersebut, selain menggunakan bahasa yang tidak baku, gaul, ringan, dan mudah dipahami (Mahardika, 2013), teen lit juga kerap menggunakan ujaran-ujaran berbahasa Inggris (Safei, 2008). Selain dari faktor bahasa, teen lit juga dikenali melalui permasalahan cerita yang umumnya ringan, seperti percintaan, persahabatan, atau pun keluarga. Meskipun beberapa penelitian mengemukakan bahwa teen lit adalah karya sastra rendahan -yang tidak memiliki fungsi lain kecuali menghibur- bagi Noor (2017), teen lit membawa keuntungan berkaitan dengan pengembangan tradisi membaca dan apresiasi sastra pada remaja.

Dalam teen lit, para tokoh umumnya berusia muda/remaja. Kalau pun ada tokoh dewasa, jumlah dan perannya sangat terbatas. Safei dkk. (2008) menguraikan bahwa ciri penokohan pada teen lit yang terutama adalah tokoh remaja dengan penampilan fisik yang menarik, terlibat dalam pergaulan modern, serta mengikuti gaya hidup mapan kelas menengah.

Meskipun memiliki kemiripan, ada perbedaan di antara teen lit dengan young adult lit. Cerita teen lit biasanya digerakkan oleh para tokoh siswa SMP-SMA dan mengisahkan cinta remaja usia sekolah, sedangkan pada young adult lit, tokohnya

(3)

©2021, Kelasa, 16 (2), 223 – 242 | 225 merupakan siswa SMA atau mahasiswa dengan permasalahan-permasalahan yang lebih kompleks (Sulis, 2016). Menurut Santrock (2004), masa remaja merupakan saat yang krusial dalam perkembangan individu, karena pada periode inilah, ia mengalami transisi biologis, kognitif, maupun sosial. Sebagai dampaknya, individu pun mencari-cari identitasnya.

Salah satu permasalahan yang kerap ditampilkan dalam teen lit adalah citra tubuh tokoh utama perempuan. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa [lebih daripada laki-laki], remaja perempuan memiliki kecemasan yang tinggi terhadap citra tubuhnya (Sari, 2018). Isu tentang remaja perempuan dan tubuhnya memang selalu menarik untuk dipelajari karena hal ini merupakan permasalahan global (T. Intan, 2019).

Cara pandang remaja perempuan pada citra diri melalui tubuhnya dapat memiliki kelindan dengan mitos kecantikan, sebagaimana terindikasi muncul di dalam novel teen lit berjudul Kilovegram (2018) karya Mega Shofani. Penulis perempuan ini lahir di Klaten, Jawa Tengah, pada tanggal 17 Januari 1992. Kilovegram adalah karya keduanya setelah Love Apart (2014). Karya yang terdiri atas 272 halaman tersebut mengisahkan krisis ketidakpercayaan diri seorang remaja perempuan karena bentuk tubuhnya serta konflik antarremaja tentang persahabatan dan percintaan.

Perbincangan tentang tubuh perempuan dalam karya sastra telah dibahas oleh Rosida (2018) dengan dikaitkan pada budaya konsumen yang terdapat dalam novel Miss Jinjing Belanja Sampai Mati karya Amelia Masniari. Cara remaja perempuan memandang tubuhnya pun diungkapkan oleh Intan (2019) dalam novel Robert des Noms Propres karya Amélie Nothomb. Sementara itu, pemaknaan atas konsep cantik dalam konteks remaja perempuan pada novel Cantik karya Vanny Chrisma W diteliti oleh Inayah (t.t). Kajian tersebut menemukan bahwa tokoh utama dianggap tidak cantik karena tubuhnya terlalu kurus, tidak modis, dan tidak dapat merawat diri. Penilaian ini berdampak pada kejiwaan tokoh tersebut yang mengalami gangguan berupa fobia sosial, perubahan mood yang ekstrim, anoreksia, hingga keinginan untuk membunuh diri.

Beberapa penelitian terdahulu telah mempelajari mitos kecantikan dalam karya kontemporer, seperti Intan dan Agustina (2019) yang menelaah chick lit Beauty Case karya Icha Rahmanti. Mitos kecantikan dalam cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua karya dikaji oleh Anugrah (2015), sedangkan Ulpah (2016) memaparkan mitos tersebut

(4)

| 226 ©2021, Kelasa, 16 (2), 205 – 222 dalam novel Biru, Astral Astria, dan Paris Pandora karya Fira Basuki. Sementara itu, Julian (2016) menelaah cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany, dan Kartini dkk (2020) mengupas mitos kecantikan dalam novel Kompromi karya Soesilo Toer. Saguni dan Baharman (2016) juga mengupas sejumlah cerpen terbitan Jurnal Perempuan tahun 2012, sedangkan Fitria (2020) menelaah cerpen Fenghuang karya Wendoko. Selain pada novel dan cerpen, studi tentang mitos kecantikan juga dilakukan pada film seperti yang dilakukan Shuffa (2018) yang berfokus pada citra perempuan dalam To the Bone karya Marti Noxon dengan perspektif mitos kecantikan Naomi Wolf.

Dari paparan terhadap penelitian-penelitian terdahulu tersebut, terungkap bahwa kajian terhadap tubuh remaja perempuan dalam kelindannya dengan mitos kecantikan sebagai konstruksi patriarki belum banyak ditemukan pembahasannya. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat mengisi rumpang tersebut dan memperkaya khazanah analisis terhadap karya-karya populer bertema remaja perempuan dan permasalahannya dalam tinjauan kritik sastra feminis. Untuk membatasi wilayah kajian, maka tujuan yang dirumuskan dengan penelitian ini adalah (1) membahas cara remaja perempuan memandang tubuhnya, (2) menguraikan mitos kecantikan sebagai konstruksi patriarki, serta (3) mengungkap upaya redefinisi standar kecantikan dalam novel remaja berjudul Kilovegram (2018) karya Mega Shofani.

LANDASAN TEORI

Diskusi tentang tubuh dapat berkaitan dengan tubuh individual (corporal body) atau tubuh sosial (social body). Bordo, yang dikutip oleh Cavallaro (2004), menegaskan bahwa tubuh individu merupakan sebuah mikrokosmos yang mereproduksi kegelisahan dan kerentanan makrokosmos, yaitu tubuh sosial. Melalui tulisan Chasanah (2014), Shiling menyampaikan bahwa tubuh tidak hanya dapat dilihat sebagai fenomena biologis semata, melainkan juga dibentuk, dibatasi, dan dirumuskan oleh masyarakat.

Tubuh perempuan, sebagai tempat penindasan, selalu menjadi alat yang digunakan patriarki untuk mengendalikan perempuan itu sendiri (Sanchez-Grant, 2008).

Ketika memasuki usia remaja dan mengalami pubertas, remaja perempuan pada umumnya mulai memperhatikan penampilan diri, tidak terkecuali berat badannya (T.

Intan, 2019). Periode penting terjadi pada masa remaja awal, yang ditandai dengan body image yang negatif dan dorongan yang kuat untuk memiliki tubuh yang kurus dan hasrat melakukan pengaturan pola makan (Nurvita, 2015). Diakui atau tidak, hampir

(5)

©2021, Kelasa, 16 (2), 223 – 242 | 227 seluruh perempuan memang ingin terlihat langsing karena dengan demikian, mereka merasa menjadi bahagia dan enak dilihat. Itulah sebabnya, menurut Wolf (2017), banyak perempuan yang kemudian melakukan diet ketat, yaitu mengatur atau dengan sengaja mengurangi asupannya. Pada kondisi ekstrim, mereka dapat menolak untuk makan sehingga tubuh mereka menjadi sangat kurus.

Konstruksi budaya memiliki peranan yang dominan dalam menetapkan standar kecantikan perempuan. Kecantikan dikonstruksi dari realitas sosial budaya tertentu untuk kemudian disajikan kembali sebagaimana diatur oleh budaya patriarki. Seorang perempuan akan mendapat predikat cantik apabila memiliki kualifikasi berkulit putih mulis, bertubuh langsing, berambut lurus, berpenampilan modis, menarik, dan percaya diri (Kurnianto, 2014). Dalam konteks lain, kecantikan ditentukan melalui tubuh bagian luar, perawan, mampu bereproduksi, langsing, berkulit terang dan mulus, tinggi, cantik, berambut lurus, dan berhidung mancung (Ulpah, 2016). Penyebab situasi ini dijelaskan Arimbi (2013), karena perempuan sering menjadi objek atau bahkan korban dari ilusi kosong yang ditawarkan media seperti iklan. Perempuan pun terperangkap dalam stereotip sebagai mahluk yang terobsesi dengan kecantikan, lemah lembut, bodoh, dan hanya memiliki harga separuh dari laki-laki. Pembenaran atas konsep kecantikan itu diatur laki-laki dengan menciptakan standar yang disebut sebagai mitos kecantikan (Wolf, 2004).

Mitos kecantikan menyatakan bahwa kualitas yang disebut cantik itu benar-benar ada, objektif, dan universal (Wolf, 2004). Mitos tersebut dipercaya karena disebarluaskan secara intens oleh media massa. Menurut Beauvoir, yang dikutip Tong (2010), mitos kecantikan sebenarnya dikembangkan dari perilaku yang mengidealkan atau mengidolakan perempuan yang rela mengorbankan diri.

Wolf (2004) menjelaskan empat simbol kecantikan yang dominan dalam tenggang waktu berbeda di Barat. Pada abad pertengahan, perempuan disebut cantik bila ia mampu bereproduksi. Dengan demikian, perempuan yang mandul atau menopause akan teralienasi dari lingkungannya. Pada abad ke-15 hingga abad ke-17, perempuan yang memiliki perut dan panggul mengembang, serta dada yang montok berhak disebut cantik. Hal ini menunjukkan tidak adanya perubahan paradigma karena perut, panggul, dan dada masih berkaitan dengan kemampuan bereproduksi dan kesuburan.

Wolf (2004) juga menjelaskan bahwa perempuan cantik pada periode abad ke-18 dan abad ke-19 adalah mereka yang berwajah dan berbahu bulat atau gemuk. Kondisi

(6)

| 228 ©2021, Kelasa, 16 (2), 223–242 kegemukan merupakan wujud yang dipuja dan diupayakan terjadi pada perempuan.

Tubuh kurus akan menjadi sebab terasing dan terhinanya perempuan. Kemudian pada abad ke-20, perempuan yang disebut cantik adalah yang memiliki paha dan pantat yang besar dan kencang. Dalam masa yang lebih kontemporer, perempuan harus bekerja keras bila ingin menjadi langsing dan cantik (Wolf, 2004). Perempuan bertubuh gemuk merasa harus melakukan diet, memakan obat pelangsing, atau melakukan operasi sedot lemak yang menurut Wolf (2004) dapat menimbulkan pendarahan dan kehilangan rasa.

Perempuan harus kehilangan banyak waktu dan uang untuk mengusahakan kecantikan sekalipun hal itu menyakiti tubuhnya. Wolf berargumentasi bahwa perilaku-perilaku seperti inilah yang mencerminkan bekerjanya mitos kecantikan. Perilaku yang dimaksud adalah melakukan diet, sedot lemak, memutihkan tubuh, memakai krim awet muda, atau merasa iri pada sosok yang diidealkan dalam menanggapi simbol kecantikan.

Keberagaman simbol kecantikan pada ruang dan waktu tertentu ini menunjukkan bahwa tidak ada yang hakiki di dalam simbol kecantikan. Standar itu akan berubah atau bergeser seiring perkembangan kebudayaan. Dengan demikian simbol kecantikan tidak harus diyakini sebagai satu-satunya alat ukur yang ingin dicapai oleh perempuan (Ulpah, 2016).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pendekatan kritik sastra feminis. Budianta, melalui Yulianto (2018), menjelaskan bahwa pendekatan kritik sastra feminis merupakan studi ideologis terhadap cara pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Sementara itu, Priyatna dan Budhyono (2020) menjelaskan bahwa kritik sastra feminis menganalisis teks berdasarkan elemen- elemen pembentuknya seperti sudut pandang, tema, penokohan, dan latar, seperti “kritik sastra pada umumnya". Yang berbeda, dalam kritik sastra feminis, kajian dihidupkan oleh kesadaran tentang adanya ketimpangan di antara apa yang ditandai sebagai perempuan dan laki-laki dengan hasrat untuk melakukan resistensi menghadapi ketidaksetaraan tersebut.

Data yang berupa kata, frasa, dan kalimat dikumpulkan dengan teknik simak dan catat setelah melalui tahap pembacaan tertutup, yang menurut Janicke, dalam Nugraha dan Suyitno (2019), merupakan interpretasi yang menyeluruh dari suatu bagian teks

(7)

©2021, Kelasa, 16 (2), 223 – 242 | 229 dengan menentukan tema utama dan menganalisis perkembangannya. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca, dan mempelajari bagian-bagian teks yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, yaitu mengenai tubuh, remaja perempuan, dan mitos kecantikan. Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui tahap (a) mengidentifikasi data yang terkumpul, (b) menetapkan dan mengklasifikasikan data tersebut secara rinci agar mudah dipahami, (c) menganalisis data dengan teori-teori dari perspektif sastra feminis, dan terakhir (d) menarik kesimpulan.

Objek yang dipilih untuk kajian ini adalah novel bergenre teen lit berjudul Kilovegram karya Mega Shofani. Buku tersebut diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2018. Judul Kilovegram menyiratkan keberadaan dua kata yaitu kilogram dan love yang mengingatkan pembaca pada tema cerita cinta dan berat badan dalam novel tersebut.

PEMBAHASAN

Bagian pembahasan dibagi menjadi tiga bagian yaitu (a) permasalahan dalam teen lit Kilovegram, (b) remaja perempuan dan tubuhnya, (c) mitos kecantikan sebagai konstruksi patriarki, dan (d) upaya meredefinisi standar kecantikan.

Percintaan, Persahabatan, dan Keluarga: Permasalahan dalam Teen Lit Kilovegram

Aruna adalah seorang siswa SMA kelas 1 di Jakarta dengan ukuran tubuh plus.

Remaja perempuan ini berbobot 90 kilogram dan bertinggi badan 163 cm. Ukuran pakaian yang biasa ia gunakan adalah XXL dan nomor celana 38. Aruna kerap menerima berbagai macam ejekan terhadap tubuhnya sehingga membuatnya krisis percaya diri. Ia tidak memiliki teman selain Raka, sahabat yang juga merupakan kakak kelasnya. Berbeda dengan Aruna, Raka adalah laki-laki yang memiliki banyak teman dan penggemar, aktif dalam kegiatan OSIS, dan berwajah rupawan. Raka selalu menemani dan membela ketika Aruna diganggu. Ia juga menemani gadis itu makan di kantin.

Konflik dimulai ketika Nada, saudara sepupu Aruna yang berasal dari Tasikmalaya memilih melanjutkan sekolah di SMA yang sama dengan Aruna. Nada sangat baik, tenang, dan cantik. Ia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sepupunya.

Aruna awalnya senang dengan kehadiran Nada, tetapi lama-kelamaan ia menyadari

(8)

| 230 ©2021, Kelasa, 16 (2), 223–242 bahwa karena sepupunya itu, hubungannya dengan Raka merenggang. Nada dan Raka pun terlihat saling menyukai.

Aruna yang diam-diam menyukai Raka sempat terpuruk, tetapi kemudian ia bangkit dan bertekad ingin seperti Nada. Ia ingin menjadi kurus agar perhatian Raka kembali tercurah padanya. Ia pun mencoba berbagai cara untuk menjadi langsing meskipun dengan cara yang berbahaya untuk kesehatannya.

Remaja Perempuan dan Tubuhnya

Sebagai remaja perempuan, Aruna digambarkan tidak memiliki teman selain Raka, dan kemudian Nada. Ia cenderung dihindari, selalu menyendiri, dan tidak ada yang mau duduk semeja dengannya di kelas. Ia pun telah terbiasa dihina dan diejek oleh orang-orang di sekitarnya. “Diledekin, diolok-olok, dijadiin bahan tertawaan, itu udah jadi makanan cewek gendut kayak gue” (hal. 129). Sepanjang dua pertiga cerita novel Kilovegram, gadis itu menjadi sasaran perundungan dari segala arah. Bahkan, narator yang berada di luar cerita pun menyebut remaja perempuan itu sebagai “si cewek tambun” (hal. 9). Nada, sepupu yang menyayangi Aruna juga menyebutnya “makin subur aja lo!” (hal. 41).

Aruna memang hanya berteman dengan Raka sejak kecil. Sering diejek gendut oleh teman-teman perempuan sebayanya membuat Aruna menutup diri. Kalau bukan karena Raka, anak sahabat Mama, Aruna tak tahu harus berteman dengan siapa. (Shofani, 2018: 27)

Panggilan dari Sammy untuk Aruna adalah “si gendut jelek” (hal. 24). Sementara itu, Diana serta Imey, musuh Aruna sejak SMP, kerap merisak dan memanggilnya

“Arundut si Aruna gendut” (hal. 31), “seonggok lemak” (hal. 35), serta “peserta di kategori gembrot” (hal. 112). Olok-olok tersebut ternyata didasari oleh kompetisi intraseksual yang dilancarkan Diana karena ia sendiri menyukai Raka. Tindakan Diana merundung Aruna dan tubuhnya dilanjutkan dengan membandingkan hubungan gadis itu dengan Raka yang dianggapnya tidak sepadan.

“Mey, lo tahu nggak sih, cerita Beauty and the Beast? Bedanya, versi sekolah ini Handsome and the Beast. Jadi, ada cewek gendut buruk rupa yang nempel melulu sama cowok ganteng, tapi si cowok ganteng itu nggak pernah nyadar si cewek gendut buruk rupa ini nempel-nempel karena suka sama dia. Habis gimana, si cewek gendut nggak menarik sama sekali sih!” (Shofani, 2018:

70)

Gangguan dari Diana tidak hanya ditujukan pada Aruna tapi juga penghinaan pada ibunya yang membuat Aruna sangat terpukul sebagaimana ditunjukkan kutipan berikut

(9)

©2021, Kelasa, 16 (2), 223 – 242 | 231 ini. “Tapi kayaknya cuma mampu nyekolahin lo aja, ya? Dan belum mampu untuk masukin lo ke rumah sakit supaya bisa sedot lemak!” ejek Diana dengan suara lumayan lantang (hal. 33) dan “Mungkin otak lo ketutup lemak, jadi gue maklum kalo pemikiran lo nggak berkembang dengan baik.” (hal. 71). Ide tentang ‘sedot lemak’ tersebut bukan merupakan saran dari Diana, melainkan sebagai bentuk penghinaan pada tubuh Aruna yang tidak akan dapat diubah menjadi langsing dengan cara biasa seperti berolahraga atau mengatur pola makanan.

Raka, tokoh laki-laki yang ditampilkan sebagai Prince Charming yang selalu melindungi dan membela Aruna dari gangguan teman-temannya, ternyata juga tidak dapat menahan diri untuk tidak mengejek sahabatnya itu. Ia sebelumnya digambarkan tidak rela jika Aruna dihina, tetapi pada gilirannya, ia sendiri melakukan penghinaan pada gadis itu. Dengan alasan keakraban, Raka memanggil Aruna yang diam-diam menyukainya itu sebagai “pipi tembem”, “lengan petinju” (hal.), “badan doang gede, otot memble” (hal. 9), “pantes lo subur!” (hal. 38), “Tuh badannya air bag semua!”,

“kenyal-kenyal ga beraturan. Gue susah bedain lo sama ager-ager!” (hal. 57), “sampe bosen gue ngeliat bentuk Aruna, buleeet nggak berubah-ubah” (hal. 63), hingga “terlalu montok kayak elo”. Dalam konteks kekerasan, ujaran-ujaran tersebut dapat dikategorikan sebagai body shaming yang bersifat olok-olok dan penghinaan. Meskipun cukup terluka, Aruna (pada awalnya) tidak merasa keberatan jika diejek oleh sahabatnya itu, berbeda jika orang lain yang melakukannya.

“Tadi lo pingsan. Kepala lo kebentur lantai lapangan basket. Untung lantainya nggak retak!

Ngapain pake acara pingsan sih?Lo nggak sarapan, ya? Lain kali sadar diri dong, Run. Badan segede gitu pingsan seenak jidat. Yang ngangkat lo sampai delapan orang, tahu?” (Shofani, 2018:

13)

Dari uraian mengenai sejumlah besar panggilan stereotipik yang cenderung merupakan penghinaan pada tokoh utama tersebut, terungkap kesamaan cara pandang para tokoh lain yang merepresentasikan perspektif masyarakat secara umum terhadap tubuh perempuan yang tidak ideal. Seperti telah disepakati, orang akan menganggap perempuan yang tidak langsing sebagai tidak cantik, tidak pantas, dan aneh. Kelebihan berat badannya memang membuat Aruna sulit untuk bergerak dan berkegiatan dengan leluasa. Saat melakukan praktik olahraga lompat jauh, ia disoraki “gempa, gempa, gempa” (hal. 87) oleh teman-temannya dan dikasihani oleh sang guru yang menyatakan

“orang kelebihan bobot badan memang agak susah melakukan lompat jauh” (hal. 87).

Hanya ibunya saja yang menerima Aruna apa adanya dan menyebut putrinya itu sebagai

(10)

| 232 ©2021, Kelasa, 16 (2), 223–242

“anak Mama yang paling cantik” (hal. 76). Meskipun senang mendengarnya, remaja perempuan itu tidak menganggap penilaian ibunya objektif.

Perhatian perempuan pada tubuhnya serta gambaran tentang tubuh langsing sebagai tubuh ideal membuat perempuan cenderung tidak percaya diri (Natha, 2017).

Seiring bertambahnya usia dan pengalaman, remaja perempuan itu mulai merasa lebih sensitif dan tidak lagi dapat terus mengabaikan penilaian negatif dari orang di sekelilingnya. Kesadaran dan ketidakpuasan Aruna pada tubuhnya ditampilkan dengan cara tokoh tersebut memandang dan meresepsi pantulan gambar yang diperolehnya melalui cermin.

Di depannya ada cermin besar yang memantulkan setengah badannya. Aruna memikirkan badan ke kanan, lalu ke kiri, kemudian memutar. Sesaat ia merentangkan tangan, lalu mengangkat kaki, melihat refleksi dari lengan, paha, dan betisnya. Setelah itu ia mendekatkan wajah ke cermin dan meremas-remas pipi tembamnya. (Shofani, 2018: 21)

Remaja perempuan ini pun menyadari kondisi tubuhnya dan tidak segan membuat dirinya sendiri sebagai lelucon, “… wajah lo yang kelipet melulu kayak lemak di perut gue,” lanjut Aruna lirih (hal. 11), “Mau dipakein baju kayak apa gue nanti? Daster?

Atau seprai yang dibalut ke badan gue?” (hal. 94). Kurangnya penghargaan tokoh ini pada dirinya sendiri berimbas pada cara pandangnya terhadap dunia. “Siapa yang mau jatuh cinta sama gue?” (hal. 20). Aruna beranggapan perempuan dengan tubuhnya yang tidak langsing belum pantas memiliki pacar.

Aruna beranjak dari kasur ke depan cermin, kemudian menatap refleksi dirinya. Sejenak ia menghadap samping, kemudian membelakangi cermin dan melihat bagian belakang tubuhnya.

Dada dan perut terlihat balapan, pantat terlalu membengkak mundur, betis sebesar tiang listrik, dan paha lebar seperti bangku taman. (Shofani, 2018: 90)

Selain merasa tidak nyaman karena ejekan dari sekitarnya, ukuran tubuh yang melampaui “standar” ini juga membuat tokoh remaja perempuan mengalami kesulitan dalam memilih pakaian. “Entah soal tidak cocok bagian lengan karena membuat lengannya terlihat lebih besar, ataupun perkara tidak cocok di bagian pinggul karena membuat lipatan lemak di pinggulnya terlihat seperti roti sobek.” (hal. 100). Ia sering menemui kendala saat akan membeli pakaian karena terbatasnya ukuran yang disediakan pasar untuk remaja seumurnya.

Kesadaran tokoh Aruna pada kondisi tubuhnya yang dianggap tidak ideal bersifat ambigu, karena di satu sisi ia ingin menjadi langsing, tetapi di sisi lain ia memilih untuk

(11)

©2021, Kelasa, 16 (2), 223 – 242 | 233 menyantap setiap makanan yang disukainya dan menolak untuk berolahraga. Kepuasan atau ketidakpuasan Aruna pada tubuhnya ternyata dipengaruhi oleh penilaian dari orang-orang yang ia anggap penting. Pujian sang ibu tentang kecantikannya dianggap tidak objektif dan hanya bersifat penghiburan belaka. Ia yang lebih percaya pada kata- kata Nada dan Raka pun merasa tersanjung dan semringah saat disebut “makin putih, tambah tinggi, dan cantik” (hal. 41) oleh Nada. Gambaran itulah yang membuatnya ingin berubah dan memulai untuk berdiet (hal. 90).

Semangatnya untuk berubah juga terpacu saat Raka menyebutnya “lo boleh gendut tapi lo cantik” (hal. 94). Akan tetapi, pada kesempatan lain, laki-laki itu juga yang menjatuhkan mental Aruna ketika ia membandingkannya dengan Nada yang mengenakan pakaian serupa. “Baju kalian boleh sama, tapi bentuk emang nggak bisa bohong, Run. Lo kayak arem-arem, tahu nggak?” Mendengar ejekan itu, anak-anak lain pun ikut tertawa” (hal. 110). Kali ini, penghinaan Raka yang menyebutnya “kayak arem-arem” tidak dapat dimaafkan, terlebih karena Aruna menyadari dirinya menyayangi sahabatnya sejak kecil itu. Penilaian laki-laki itu dianggapnya penting dan mencerminkan kenyataan.

Selain ukuran tubuh, hal lain yang menjadi pusat perhatian remaja perempuan ini pada tubuhnya adalah warna kulitnya. Pipi Aruna kini memerah karena kepanasan.

“Kalo kulit gue sampe belang, pokoknya lo yang tanggung jawab beliin body lotion pemutih!” (hal. 10). Hal ini menunjukkan bahwa Aruna menyepakati pandangan umum bahwa perempuan cantik berkulit putih. Ia tidak ingin kulitnya menggelap karena dihukum saat MOS. Kulit gelap, menurutnya, tidak mencerminkan kecantikan.

Tubuh perempuan memang rentan mendapat intrusi, terutama dari laki-laki sebagaimana ditunjukkan Sammy yang mengacak-acak rambut Aruna dan menaburkan tanah di kepalanya saat mereka kecil (hal. 25). Sebagai sahabatnya, Raka pun tidak segan-segan untuk merengkuh leher, mencolek dagu Aruna, serta meletakkan sikunya di pundak gadis itu (hal. 30). Laki-laki itu pun tidak ragu-ragu mencubit pipi Aruna (hal.

74) yang menurutnya “menggemaskan”.

Kesadaran remaja perempuan tentang tubuhnya berkembang seiring bertambahnya pengetahuan dan ketertarikan pada orang yang disukai. Sebagaimana yang terjadi pada Aruna, referensi tentang pacaran pada umumnya diperoleh remaja perempuan dari media maupun pengalaman teman-temannya.

(12)

| 234 ©2021, Kelasa, 16 (2), 223–242

Mungkin semua khayalan dan bayangan Aruna tentang pacar masa depan adalah efek dari kebanyakan nonton film-film kisah cinta yang berakhir bahagia. Dulu sewaktu SMP, kalau beberapa teman-teman sekelas Aruna sudah menceritakan siapa pacar mereka, apa saja yang mereka lewatkan di malam minggu, tak jarang Aruna melewatkan malam sambil membayangkan siapakah kelak akan menjadi tambatan hatinya. (Shofani, 2018: 47)

Dalam pandangan Aruna, ia belum pantas berpacaran karena belum memiliki tubuh ideal perempuan. Hanya perempuan langsing dan cantik saja yang dapat berpacaran, karena hanya merekalah yang akan disukai oleh laki-laki. Melalui pendidikan, remaja perempuan pun dikonstruksi secara sosial dalam kehidupan yang terpola, yang umumnya disosialisasikan melalui lingkup keluarga. Hal ini tergambar melalui nasihat dari Mama Aruna pada putrinya.

“… Remaja itu masanya hanya sekelebat. SMA tiga tahun, lalu bergulat dengan dunia perkuliahan. Setelah itu bergulat lagi dengan dunia pekerjaan. Kelak kamu akan menemukan Prince Charming-mu, menikah dengannya. Semua itu akan berlalu cepat lho, Nak.” (Shofani, 2018: 78)

Dengan maksud menyemangati putrinya, Ibu Aruna justru menanamkan pandangan bahwa akhir perjalanan seorang perempuan adalah menikah. Untuk mencapai hal itu, perempuan harus menemukan laki-laki yang ia cintai. Namun, karena body image yang buruk pada diri Aruna, gadis itu tidak yakin akan dapat memenuhi pola kehidupan yang ditunjukkan ibunya. Tokoh tersebut merasa tidak akan ada laki- laki yang tertarik padanya. Ketidakpercayaan diri inilah yang membuat Aruna ragu dan tidak percaya ketika dua orang laki-laki yang tampan dan populer, Raka dan Valen, menyatakan menyukainya. Dalam pandangannya, hanya seorang putrilah yang akan menemukan Prince Charming dan bukan perempuan ‘sepertinya’.

Mitos Kecantikan sebagai Konstruksi Patriarki

Sebagian besar perempuan tidak menyadari bahwa masyarakat sebagai pusat motivasinya untuk menjadi cantik adalah masyarakat yang menganut budaya patriarki, yaitu budaya yang memberikan kebebasan kepada laki-laki sebagai penentu segalanya termasuk konsep cantik sendiri (Wolf, 2004). Secara ambigu, Aruna menerima kondisi tubuhnya yang besar, tetapi di dalam hatinya ia menolak kenyataan tersebut.

Banyak sekali teman-temannya bilang, “Runa sebenernya cantik, tapi gendut.” Itu membuat Aruna berpikir bahwa kecantikan hanya milik mereka yang tidak kelebihan bobot badan.

Sedangkan yang Aruna inginkan adalah, “Runa itu gendut, tapi cantik.” Nyatanya tidak ada yang berkomentar begitu. Kedua pernyataan itu begitu berbeda di telinga Aruna. (Shofani, 2018: 22)

(13)

©2021, Kelasa, 16 (2), 223 – 242 | 235 Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Aruna sebagai representasi remaja perempuan merasa insecure ‘tidak nyaman’ dengan kondisi tubuhnya yang dianggap tidak ideal. Meskipun tampak tidak acuh pada ejekan dari sekelilingnya, ia masih memiliki harapan agar orang lebih memperhatikan kecantikannya, gendut tapi cantikdianggapnya lebih baik daripada cantik tapi gemuk Aruna merasa kecantikan wajahnya menjadi tidak berarti karena pandangan orang telah tertutup oleh tubuhnya yang besar. Hal ini sejalan dengan gagasan Wolf (2004) bahwa penentuan standar kecantikan dalam masyarakat telah menyebabkan penderitaan bagi sebagian perempuan yang dianggap berada di bawah garis kecantikan. Mereka kemungkinan akan dihinggapi rasa tidak nyaman, kesepian, terasing, dan rendah diri.

“Gimana mau punya cowok kalo badan aja pipi semua? Gimana mau ada yang naksir, betis aja kayak tabung gas begini? Jatuh cinta sih jatuh cinta … Yang nangkep cintanya ada nggak? Boro- boro nangkep, baru lihat badan gue segede meja makan begini aja mungkin udah bikin cowok- cowok keburu kabur.” (Shofani, 2018: 21)

Mitos kecantikan menjadi kuat posisinya dalam masyarakat karena disosialisasikan secara terus menerus sehingga diyakini kebenarannya. Hal ini ditunjukkan oleh Aruna yang mempercayai bahwa selera semua laki-laki (termasuk Raka) adalah seragam, yaitu perempuan dengan ciri seragam (bertubuh langsing, berwajah cantik, dan berambut panjang seperti Nada). “Samperin sana. Selera lo kan, yang begitu? Cantik, langsing, rambutnya panjang ...” (hal. 38). Karena hidup dalam lingkar budaya laki-laki, perempuan tidak dipandang sebagai subjek kepribadian melainkan benda yang tertutup rapat dan tunduk pada ‘kodratnya’. Tuntutan kodrat ini merupakan manifestasi keinginan laki-laki yang berkaitan dengan gaya berpakaian perempuan, bentuk tubuh, hingga penggunaan make up dan perhiasan (Beauvoir, 2003).

Mitos kecantikan juga dapat didasari oleh keinginan perempuan untuk dipandang dan diinginkan oleh laki-laki. Hal ini memperlihatkan situasi yang disebut Julian (2016), bahwa ada relasi di antara mitos kecantikan dengan kontestasi antarperempuan.

Kontes kecantikan atau ‘ratu-ratuan’ sendiri menunjukkan bagaimana perempuan diobjektivikasi. Meskipun novel Kilovegram tidak benar-benar menampilkan kontes kecantikan, sebagai penggantinya, pengarang menghadirkan dua lomba busana yang hanya diikuti oleh remaja perempuan. Lomba pertama dilakukan dalam lingkungan sekolah Aruna yang terbagi atas tiga kategori, yaitu kelas ringan, menengah, dan berat.

Dengan bobot tubuhnya, tidak mengherankan jika Aruna ditempatkan pada kelas berat/C. Lomba kedua diselenggarakan dalam wilayah lebih luas yaitu tingkat kota.

(14)

| 236 ©2021, Kelasa, 16 (2), 223–242 Keberadaan lomba-lomba ini menguatkan gagasan bahwa seperti dalam dunia nyata, pada ajang kontes pun, perempuan menjadi pihak yang dilihat, diukur, diklasifikasi, dan dinilai oleh pihak juri yang maskulin, dominan, dan berkuasa. Aruna mengikuti kontes tersebut karena ia disemangati oleh Raka dan ia membutuhkan pengakuan tentang kecantikannya dari laki-laki itu.

Aruna memandangi penampilannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menurutnya ini penampilan terbaiknya. Padahal ia ingin menunjukkan pada Raka bahwa cewek seperti dirinya juga bisa terlihat cantik. (Shofani, 2018: 110)

Perilaku merupakan tolok ukur dalam pembahasan mitos kecantikan. Dalam novel Kilovegram, terungkap beberapa tindakan yang dilakukan tokoh Aruna yang menunjukkan keterikatannya pada prinsip mitos kecantikan. Pada hari pertamanya di SMA, untuk menarik perhatian Raka, Aruna berdandan menggunakan lip-gloss padahal sebelumnya ia tidak terlalu memperhatikan penampilannya. Situasi ini sejalan dengan pandangan Beauvoir, yang dikutip Wenerda (2018), bahwa berdandan merupakan upaya perempuan untuk menunjukkan daya tarik fisiknya. Dengan benda-benda yang ada di atas meja riasnya, perempuan dapat menaikkan nilai intrinsik dari dalam dirinya.

Mata Raka kemudian menelusuri wajah Aruna. “Kok bibir lo mengilat gitu?” Raka mendekatkan wajah untuk melihat lebih jelas. “Lo habis makan gorengan, ya? Pagi-pagi udah ngegiling makanan aja lo.” (Shofani, 2018: 30)

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa dandanan Aruna berhasil menarik perhatian Raka, tetapi alih-alih memuji, laki-laki itu justru mengejeknya. Bibir Aruna yang basah dan berkilat tidak dianggap menarik karena justru mengingatkan Raka pada minyak dari gorengan yang sering dimakan sahabatnya itu.

… kini kulit wajah dan tubuh Aruna terlihat semakin bersih berkat perawatan. Ia lebih rajin memakai pembersih wajah agar wajahnya terbebas dari jerawat, juga lebih memperhatikan rias wajah dan tatanan rambutnya. Rambutnya yang biasa tergerai bebas tak begitu terawat kini lebih dirawat menjadi lebih halus, licin, dan memukau. (Shofani, 2018: 147-148)

Pada level selanjutnya, make up tidak lagi dipandang memadai oleh Aruna karena ia menginginkan lebih dari sekedar wajah yang dipoles. Ia mulai melakukan perawatan tubuh dan berdiet ketat. Motivasi untuk menurunkan berat badan pun semakin kuat setiap ia ingat Raka pernah menyebutnya seperti arem-arem (hal. 146). Perundungan berupa body shaming yang dilakukan oleh laki-laki itu dapat dikategorikan sebagai

(15)

©2021, Kelasa, 16 (2), 223 – 242 | 237 kekerasan berbasis gender yang seringkali mengintimidasi perempuan sebagai pihak korban.

Setiap satu kilogram yang bergeser ke kiri adalah kebahagiaan tersendiri bagi Aruna, walaupun ia belum menyadari cara yang ia tempuh salah. Awalnya memang tidak gampang, ia harus mengurangi porsi nasi, mengganti semua minuman manis kesukaannya dengan air putih, mengurangi gula, mengurangi garam, mengurangi santan, memperbanyak sayur dan buah.

(Shofani, 2018: 146)

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa penghinaan-penghinaan yang diterimanya membuat Aruna termotivasi untuk berubah dan ‘mengorbankan diri’ untuk menjauhi makanan yang disukainya. Hal ini mencerminkan pemikiran Wolf (2017), bahwa perempuan harus makan makanan yang berbeda dengan yang dimakan laki-laki.

Karena begitu besar keinginannya untuk menjadi langsing secara instan, ia pun tidak segan mengonsumsi obat pelangsing yang kemudian mengakibatkan kerusakan tubuhnya. Meskipun obat tersebut cukup efektif membuat berat badannya turun, tetapi ia menjadi kecanduan hingga pingsan dan harus diopname.

“Obat pelangsing. Tante nggak pernah tahu selama ini dia minum obat pelangsing. Dokter bilang obat ini hampir merusk ginjal Aruna. Semakin lama Aruna minum obat ini, tubuhnya jadi kebal sehingga butuh dosis lebih banyak agar obat ini tetap berfungsi. Mungkin Aruna menyadari itu, ketika obat ini mulai nggak begitu berfungsi, Aruna minum terlalu banyak …” (Shofani, 2018:

199)

Kutipan tersebut mendeskripsikan kondisi Aruna yang terjebak dalam mitos kecantikan yang diyakininya, bahwa tubuh yang sempurna adalah tubuh yang langsing.

Demi mencapainya, ia melakukan perilaku pengorbanan diri, selain diet ketat juga mengonsumsi obat pelangsing. Situasi ini menggambarkan bahwa mitos kecantikan dilanggengkan melalui sosialisasi nilai patriarki dan bertambah kuat karena sifat ambivalen perempuan sendiri. Ia sebenarnya telah mengetahui dampak negatif dari obat pelangsing tapi tidak memedulikannya.

Perasaan iri Aruna pada sosok Nada yang diidealkan juga merupakan bentuk perilaku yang merefleksikan bekerjanya mitos kecantikan. Selain merasa takjub, Aruna juga rendah diri saat menghadapi sepupunya yang memenuhi konsep cantik yang diyakini umum.

Tubuh Nada tumbuh semakin tinggi, kulitnya berwarna kuning langsat, bersih, dan terawat.

Apalagi ia memakai kaus dan jins ketat sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas.

[…] Sekarang rambutnya makin panjang. Jadi keliatan makin cantik deh!”

(Shofani, 2018: 40 - 42)

(16)

| 238 ©2021, Kelasa, 16 (2), 223–242 Aruna menjadikan Nada sebagai figur yang mewakili kata cantik secara utuh karena di matanya, Nada sempurna.Selain berfokus pada rambut sepupunya itu, bagian tubuh lain yang diobservasi Aruna adalah mata Nada “yang jernih dan tampak berbinar-binar” dan bibir “ yang memiliki garis belahan samar-samar, membuatnya terlihat seksi.” (hal. 42). Dalam pandangan Aruna, Nada juga memiliki kepribadian yang baik. Nada selalu berbicara dengan sangat sopan dan anggun (hal. 58) sehingga Aruna pun tertarik untuk meniru perilaku tersebut.

Ketika Nada menanyakan alasan “cewek secantik dan sebaik Aruna belum punya pacar” (hal. 48), Aruna justru minder dan berkecil hati. Mitos kecantikan menimbulkan prasangka dan perasaan iri pada sang sepupu yang, karena kecantikannya, telah menarik perhatian semua orang termasuk Raka. “Kenapa Nada bisa dapat perhatian semua orang? Apa cuma orang-orang cantik kayak Nada yang berhak diperhatikan dan dapat kebahagiaan?” (hal. 89). Situasi ini seperti mengafirmasi gagasan Wolf (2017) bahwa mitos kecantikan membuat perempuan saling mencurigai dan mencemburui.

Dari pembahasan ini diketahui bahwa mitos kecantikan dalam novel Kilovegram dilandasi oleh gagasan tentang selera laki-laki pada tubuh yang langsing serta motif perempuan untuk mendapatkan pujian dan pengakuan dari laki-laki. Sementara itu, mitos kecantikan bekerja melalui perilaku tokoh remaja perempuan yang melakukan diet ketat, mengonsumsi obat pelangsing, dan merasa iri pada sosok yang diidealkan kecantikannya.

Upaya Meredefinisi Standar Kecantikan

Dengan mitos kecantikan, perempuan diyakinkan bahwa kualitas yang disebut cantik secara standar itu benar-benar ada. Padahal kenyataannya, konsep kecantikan selalu berubah dan tidak ada batasan yang tetap (Anugrah, 2015). Gagasan tersebut terimplikasi dalam pandangan berbeda tentang tubuh perempuan ditawarkan melalui tokoh Vio, kakak kelas Aruna.

Dunia sudah mulai membuka matanya. Di luar sana banyak lho, model plus size yang justru lebih dikagumi dibanding model-model biasa -maksudku- model-model dengan tubuh kayak lidi itu.

Intinya, semua model dengan tubuh mereka punya sisi indahnya masing-masing. […] Badan besar bukan halangan untuk berekspresi kok. (Shofani, 2018: 98)

Vio membuka pandangan Aruna bahwa cantik merupakan milik setiap perempuan, baik yang bertubuh langsing maupun gemuk. Ada hal-hal yang lebih penting yang patut dibanggakan remaja perempuan daripada kecantikan fisik. Aruna

(17)

©2021, Kelasa, 16 (2), 223 – 242 | 239 memahami bahwa perempuan berhak untuk cantik atau berusaha menjadi cantik.

Namun, ia menemukan bahwa kecantikan itu tidak seharusnya digunakan untuk menindas orang lain. Aruna muak karena mereka selalu merasa paling cantik.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan merasa cantik, selama kecantikan mereka tidak digunakan untuk merendahkan orang lain (Shofani, 2018).

Aksentuasi atas keunggulan prestasi dan kecantikan hati atau inner beauty atas kecantikan fisik ini diperlihatkan melalui kemenangan Aruna dalam kontes busana serta kesediaan Aruna yang menolong Diana saat berada dalam kesulitan. Sebagaimana dinyatakan Wiasti (2010), kecantikan akan berkurang artinya jika perempuan tidak memiliki inner beauty. Redefinisi makna kecantikan ini dapat dinyatakan merupakan strategi coping perempuan terhadap standarisasi konsep cantik dalam masyarakat, selain mengatasi masalah ‘kurang cantik’ dengan melakukan perawatan tubuh, seperti diungkapkan oleh Rizkiyah dkk. (2019).

Akhir cerita ditutup dengan situasi yang bahagia sebagaimana syarat sebuah cerita romance. Meskipun dalam novel Kilovegram ditemukan sejumlah hal yang tidak realistis, seperti penokohan yang biner antara protagonis-antagonis, keberadaan MOS (Masa Orientasi Siswa) yang tidak relevan karena menampilkan perpeloncoan, serta penggambaran stereotipik tokoh-tokoh seperti Nada yang tidak bercela, teen lit ini dinilai cukup menarik dan menghibur. Novel tersebut pun membawa gagasan yang cukup penting disampaikan pada para remaja pembaca tentang makna kecantikan yang dinamis.

PENUTUP

Penelitian ini menunjukkan bahwa selain permasalahan khas remaja berupa percintaan dan persahabatan, novel Kilovegram mengangkat isu mitos kecantikan yang mengait pada tubuh tokoh remaja perempuan. Remaja perempuan dalam novel tersebut ditampilkan sebagai korban dari mitos kecantikan dirinya yang terobsesi pada tubuh langsing. Perilaku yang mencerminkan mitos kecantikan di antaranya adalah melakukan diet ketat, mengonsumsi obat pelangsing, serta merasa iri pada sosok yang dianggap merepresentasikan kecantikan. Ia juga menjadi sasaran body shamming dari tokoh-tokoh lain. Adapun mitos kecantikan dalam novel tersebut ditandai oleh landasan selera laki- laki yaitu tubuh perempuan yang langsing, serta motif perempuan untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari laki-laki. Sebagai strategi kebertahanan, remaja perempuan

(18)

| 240 ©2021, Kelasa, 16 (2), 223–242 meredefinisi standar kecantikan dengan menawarkan inner beauty sebagai kualitas intrinsik.

DAFTAR PUSTAKA

Anugrah, A. (2015). Mitos Kecantikan dalam Cerpen Barbitch dan Lipstik Merah Tua Karya Sagita Suryoputri (Telaah Kritik Sastra Feminisme). Jurnal Humanika, 15(3), 1-15.

Arimbi, D. A. (2013). Beauty East dan Beauty West: Wacana Kecantikan Perempuan Muslim dalam Majalah Perempuan Muslim. (Laporan Penelitian), Universitas Airlangga, Surabaya.

Beauvoir, S. d. (2003). Beauvoir, Simone de (N. J. T. B. Febriantono, Trans.).

Yogyakarta: Pustaka Promethea.

Cavallaro, D. (2004). Critical and Cultural Theory (L. Rahmawati, Trans.). Yogyakarta:

Niagara.

Chasanah, I. N. (2014, 2 Oktober 2014). Membaca Tubuh dalam Rangkaian Sastra Indonesia. Paper presented at the Femininitas dan Maskulinitas dalam Karya- karya NH. Dini, Surabaya.

Djenar, D. N. (2012). Almost unbridled: Indonesian youth language and its critics.

South East Asia Research, 20(1), 35-51. doi:10.5367/sear.2012.0086

Fitria, S. (2020). Konstruksi Standar Kecantikan dalam Cerpen FengHuang Karya Wendoko. Paper presented at the Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Unpam.

Inayah, I. N. (t.t). Makna Cantik bagi Remaja Perempuan: Kajian Psikologi terhadap Tokoh Marissa di dalam Novel Cantik Karya Vanny Chrisma W. 1-15.

Intan, T. (2019). Balet, Anoreksia, dan Citra Diri Anak Perempuan dalam Robert des Noms Propres karya Amelie Nothomb. Sawerigading, 25(1), 1-12.

doi:http://dx.doi.org/10.26499/sawer.v25i1.556

Intan, T., Prima Agustina Mariamurti. (2019). Membongkar Mitos Kecantikan dan Budaya Konsumen dalam Novel Chick lit Beauty Case Karya Icha Rahmanti.

Sejarah dan Budaya, 13(2), 164-178.

Julian, R. (2016). Mitos Kecantikan dalam Cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany.

Jurnal POETIKA, 4(1), 52-60. doi:https://doi.org/10.22146/poetika.v4i1.13315 Kartini, J., Suarni. (2020). Mitos Kecantikan dalam Novel Kompromi Karya Soesilo

Toer: Kajian Feminisme. Neologia: Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia, 1(1), 24-35.

Kurnianto, E. A. (2014). Representasi Tubuh dan Kecantikan dalam Tiga Cerpen Intan Paramaditha: Sebagai Sebuah Tatanan Simbolik dalam Dunia Perempuan.

Metasastra, 7(1), 23-34.

(19)

©2021, Kelasa, 16 (2), 223 – 242 | 241 Mahardika, G., Swandono, Wardani, N.E. (2013). Konformitas dalam Novel Teenlit

Rahasia Bintang Karya Dyan Nuranindya (Kajian Sosiologi Sastra dan Resepsi Sastra). Basastra Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya, 2(1), 1-16.

Natha, G. (2017). Representasi Stereotipe Perempuan Dan Budaya Patriarki Dalam Video Klip Meghan Trainor “All About That Bass”. Jurnal E-Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra Surabaya, 5(2), 1-9.

Noor, R. (2017). Minat, Motif, Tujuan, dan Manfaat Membaca Novel Teenlit Bagi Remaja. Nusa, 12(1), 81-89.

Nugraha, D., Suyitno. (2019). On the Beginning of Modern Indonesian Literature.

Humanities & Social Sciences Reviews, 7(6), 604-616.

doi:http://dx.doi.org/10.18510/hssr.2019.7691

Nurvita, V. H., Muryantinah Mulyo. (2015). Hubungan Antara Self-esteem dengan Body Image pada Remaja Awal yang Mengalami Obesitas. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 4(1), 41 - 49.

Priyatna, A., Rasus Budhyono. (2020). Subjektivitas Perempuan dalam Dua Cerpen Karya Margaret Atwood dan Elizabeth Taylor. Aksara, 32(2), 191-208.

Rahmaningsih, N. D. M., W. . (2014). Dinamika Konsep Diri Pada Remaja Perempuan Pembaca Teenlit. Jurnal Psikologi Indonesia, 41(2), 179 – 189

Rizkiyah, I. A., Nurliana Cipta; Julina. (2019). Strategi Coping Perempuan terhadap Standarisasi Cantik di Masyarakat. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender, 18(2), 133 - 153. doi:10.24014/Marwah.v18i2.7371

Rosida, I. (2018). Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen: Antara Kesenangan Diri, Status Sosial, dan Nilai Patriarki. Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 20(1), 85-101. doi:10.25077/jantro.v20.n1.p85-101.2018

Safei, M. d. (2008). Novel Poppular dan Kecenderungan Khalayak Remaja. Jurnal E- Bangi, 3(3), 1-13.

Saguni; Syam, S. B. (2016). Narasi Tentang Mitos Kecantikan dan Tubuh Perempuan dalam Sastra Indonesia Mutakhir: Studi Atas Karya-Karya Cerpenis Indonesia.

Jurnal Retorika, 9(2), 90-163. doi:https://doi.org/10.26858/retorika.v9i2.3804 Sanchez-Grant, S. (2008). The Female Body in Margaret Atwood’s The Edible Woman

and Lady Oracle. Journal of International Women's Studies, 9(2), 77-92.

Santrock, J. W. (2004). Adolescence. New York; London: McGraw-Hill.

Sari, I. A. W. P. S., L. M. K. S. (2018). Hubungan antara Social Comparison dan Harga Diri terhadap Citra Tubuh pada Remaja Perempuan. Jurnal Psikologi Udayana, 5(2), 265 - 277.

Shofani, M. (2018). Kilovegram. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(20)

| 242 ©2021, Kelasa, 16 (2), 223–242 Shuffa, A. Z. (2018). Citra Perempuan dalam Film To The Bone Karya Marti Noxon:

Kajian Mitos Kecantikan. Bapala, 5(2), 24.

Sulis. (2016). Genres: Young Adult. Kubikel Romance.

https://www.kubikelromance.com/2016/11/GenresYoungAdult.html

Syahrul, N. (2017). Sastra Remaja (Teen lit) sebagai Media Alternatif dalam Meningkatkan Budaya Literasi. Parafrase, 17(02), 9-19.

doi:https://doi.org/10.30996/parafrase.v17i2.1367

Tong, R. P. (2010). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis (A. Priyatna, Trans.). Yogyakarta: Jalasutra.

Ulpah, S. (2016). Mitos Kecantikan dalam Novel Biru, Astral Astria, dan Paris Pandora Karya Fira Basuki. media.unpad.ac.id, 1-23.

Wenerda, I. (2018). Tata Rias Wajah sebagai Media Aktualisasi Diri bagi Mahasiswi.

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan, 22(1), 59-68.

Wiasti, N. M. (2010). Redefinisi Kecantikan dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja Perempuan Bali di Kota Denpasar. Piramida, 6(2), 1-22.

Wolf, N. (2004). Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan.

Yogyakarta: Niagara.

Wolf, N. (2017). Mitos Kecantikan: Menafsir Kecantikan dalam Berbagai Konteks (A.

S. Witakania Sundasari, Trans. L. M. Rahayu Ed.). Bandung: Unpad Press.

Yulianto, A. (2018). Novel Cinta di dalam Gelas Karya Andrea Hirata: Sebuah Perjuangan Seorang Perempuan. Kelasa, 13(1), 1-12.

Referensi

Dokumen terkait

kehidupan sebagai manusia. Cinta ideal itu baru mereka peroleh utuh setelah mereka mengalami kematian dan reinkarnasi menjadi sepasang kupu-kupu. Cinta ideal itu

Penelitian yang berbeda dari penelitian Sheli Shobur mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap ibu dengan pneumoni pada balita yang menyatakan

Sementara itu, bahasan yang secara khusus mengkaji nama berdasarkan pendekatan sosio-onomastika masih sangat terbatas, yang salah satunya adalah Toponimi di Jantung

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kritik sosial yang muncul pada kumpulan puisi Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo dengan menggunakan pendekatan

Pada kenyatannya, untuk mempertahankan suatu perusahaan diperlukan langkah – langkah untuk memberikan kualitas layanan produk dan jasa yang baik agar dapat memberikan kepuasan

Peneliti bidang ini dapat memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang teknologi inti seperti ekstraksi foreground frame tunggal dan ganda, metode deteksi objek

Hasil Algoritma Fuzzy C-Means yang menggunakan Complete Linkage sebagai algoritma yang menentukan titik pusat cluster akan menghasilkan nilai fungsi objektif objektif yang berbeda

Institusi zakat menjadi unsur penting dalam kebijakan sosio-ekonomi baik di Indonesia melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) maupun di Brunei